Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG RIMBA ASMARA

Thema apakah yang paling anda gandrungi dalam Sub Forum Cerita Bersambung ini?

  • Hubungan sedarah atau incest, dengan mama atau saudara kandung

    Votes: 316 17,6%
  • Hubungan setengah baya atau MILF, antara yang muda dengan yang tua

    Votes: 239 13,3%
  • Hubungan sex Cukold, eksib, voyeur, mengintip dan di tempat umum

    Votes: 132 7,3%
  • Hubungan sex di kalangan remaja atau SMU/pesantren/sederajat

    Votes: 99 5,5%
  • Hubungan sex di kos-kosan mahasiswa/mahasiswi

    Votes: 85 4,7%
  • Hubungan sex Perkosaan

    Votes: 46 2,6%
  • Hubungan Sex affair di kalangan bisnis atau antar pegawai kantoran

    Votes: 99 5,5%
  • Hubungan sex dengan Bini Orang

    Votes: 159 8,9%
  • Hubungan sex dengan Laki Orang

    Votes: 16 0,9%
  • Hubungan sex di kalangan selebriti Indonesia

    Votes: 80 4,5%
  • Hubungan sex di pedesaan/ di perkampungan

    Votes: 88 4,9%
  • Hubungan sex dengan wanita berhijap/kerudung

    Votes: 332 18,5%
  • Hubungan sex romantis

    Votes: 62 3,5%
  • Scandal sex para politisi atau pejabat

    Votes: 19 1,1%
  • Hubungan sex lesbian/gay

    Votes: 16 0,9%
  • Hubungan sex lainnya

    Votes: 8 0,4%

  • Total voters
    1.796
  • Poll closed .
Status
Please reply by conversation.

Purbaya1

Adik Semprot
Daftar
22 Jan 2020
Post
110
Like diterima
13.099
Bimabet
Setelah menjadi silent reader sekian lama di Sub Forum Cerita Bersambung ini, aku yang nubie, mencoba memberanikan diri untuk ikut berbagi cerita. Sebagai nubi, tentunya banyak sekali kekurangan-kekurangan, untuk itu aku mohon kepada para suhu dan para pembaca untuk memberikan masukan berupa kritik dan saran. Semoga juga, cerita bersambung ini bisa aku selesaikan sampai tamat.

Semoga cerita ini bisa berkenan.

Oh ya, aku juga membuat polling. Tolong diisi ya. Agar ke depan, jika membuat cerita lagi, bisa sesuai dengan harapan para suhu dan para pembaca.
Terimakasih.






 
Terakhir diubah:
PROLOG
Namaku Marsudi Kasman. Lahir di Kotagede, Jogja, 27 tahun yang lalu. Aku anak tunggal. Tapi dari SD hingga kuliah, aku menghabiskannya di Jakarta. Jadi aku tidak bisa bahasa Jawa dengan baik walau mengerti sedikit-sedikit.

Ayah dan ibuku adalah pedagang batik.

Dulu, ketika kecil dan kami masih tinggal di Jogja, penisku pernah terkena sengat entah binatang apa ketika bermain di pantai Parang Tritis, sehingga menjadi bengkak. Selama seminggu aku sakit demam. Kata dokter aku enggak apa-apa. Tapi ketika orangtuaku membawaku kepada orang pintar, orang pintar itu malah tertawa terkekeh-kekeh.
"Tidak usah khawatir. Ini berkah dari yang maha kuasa." Katanya.

Secara umum, untuk ukuran orang Indonesia keturunan Jawa, aku cukup tinggi. 173 cm. Berat badanku yang stabil adalah 68 kg. Cukup ramping kan? Wajahku tidak jelek-jelek amat. Hidung lumayan mancung walau agak lebar, gigi putih rata, mata hitam, alis tebal, kulit kuning langsat.

Secara kepribadian, aku memiliki karakter dan pembawaan tenang. Tidak grasa-grusu dan cenderung pendiam.

Setelah lulus S1 akutansi, aku melamar kerja di sebuah bank BUMN. Setelah melalui serangkaian test, akhirnya aku diterima. Aku bekerja di Bank itu sampai dengan sekarang.

Omong-omong, semua cerita yang akan anda baca ini adalah fiktif. Alias bohong. He he he.
 
Terakhir diubah:
Bagian Satu
MENGHILANGLAH DARI KEHIDUPANKU
ATAU AKU YANG MENGHILANG DARI KEHIDUPANMU​


Awal Januari 2019

Aku sebetulnya tidak ingin menceritakan pekerjaanku secara detil. Soalnya enggak penting. NamuN mau enggak mau, aku harus menceritakannya juga. Walau cuma selintas lalu.

Setelah lima tahun bekerja, aku mendapatkan tawaran yang menarik dari manajemen. Mereka menilai kinerjaku bagus dan aku dinilai cakap memimpin sebuah kantor cabang. Walau pun kantor cabang yang mereka tawarkan adalah sebuah kantor cabang yang kecil, yang berlokasi di pinggiran Bandung, dengan aset transaksi di bawah 100 juta/hari dan aset nasabah hanya 1 milyar. Namun bagiku itu merupakan sebuah peluang. Sekaligus tantangan.

Kukatakan peluang karena sebagai pegawai, ini adalah langkah awal karir menuju jenjang jabatan berikutnya yang lebih tinggi. Juga sebagai tantangan, karena apabila aku sanggup menemukan resep untuk meningkatkan aset bank, itu artinya program-programku akan menjadi tolok ukur sekaligus contoh untuk diterapkan di kantor-kantor cabang kecil lainnya.

Lagi pula, para petinggi bank BUMN ini, rata-rata dibesarkan oleh bank-bank kecil di sekitaran Bandung dan Bogor. Kedua tempat ini, dengan caranya yang aneh, sanggup membentuk seseorang menjadi seorang bankir tulen atau menjatuhkannya menjadi orang biasa saja.

Namun ada 3 hal yang harus kupikirkan jika pindah ke Jakarta, yang pertama adalah bagaimana pendapat Grace, pacarku, mengenai hal itu. Bisa saja dia tidak setuju. Yang kedua tentang niatku untuk mengambil rumah yang letaknya persis di pinggir rumah Grace. Yang ketiga, tentu saja kedua orangtuaku.

Pada dasarnya ayah dan ibuku tidak keberatan. Tapi mereka lebih senang jika aku dipindahkan ke kantor cabang yang ada di Jogja. Jadi mereka bisa ikut. Tapi mereka menyerahkan semua keputusan kepadaku. Ke mana pun aku pindah, mereka tak mempunyai masalah yang berarti.

Sedangkan Grace, aku sudah beberapa kali mencari waktu agar bisa ngobrol dengan leluasa. Namun sampai saat ini belum ketemu. Soalnya Grace juga sibuk. Dia adalah manajer pemasaran sebuah perusahaan asuransi yang cukup tenar.

Aku dan Grace sudah berpacaran selama dua tahun. Selama itu, kami belum pernah melakukan hubungan badan. Dia sering menolak jika aku mencumbunya lebih jauh. Menurutku, walaupun Grace sering tampil sangat seksi. Tapi dia cukup alim dan bisa menjaga batas. Aku sangat menghargainya. Aku berharap, aku akan memetik tubuhnya nanti, jika kami sudah menikah.

Sedangkan soal rumah itu, aku sudah setengah berjanji kepada pemiliknya akan mengambilnya. Tapi jika aku membelinya sekarang, kemudian aku pindah ke Bandung, tentunya pembelianku menjadi kurang efektif. Aku menjadi ragu.

Soal pembelian rumah ini pun aku ingin membicarakannya dengan Grace. Tadinya, kupikir akan menjadi suatu surprise jika tiba-tiba aku memberikan kunci rumah itu kepada Grace.

Aku senang jika melihat belalak matanya.

***​

Sore itu, usai jam kantor, Bu Dian tanpa menelpon lebih dahulu, mendatangi ruang kerja dan meminta kepastian tentang pembelian rumahnya. Aku sedikit gugup ketika secara frontal dia duduk di kursi klien dengan menumpangkan kaki. Memperlihatkan betis dan paha mulus putihnya kepadaku.
"Bu, kemungkinan besar saya tidak akan membelinya." Kataku setelah dia tanpa basa-basi menanyakan kapan aku akan melakukan transaksi jual beli dengan suaminya.
"Serius, Pak Mar?" Tanyanya dengan wajah kecewa. "Bukankah minggu kemarin Pak Mar sangat antusias dengan rumah itu. Bahkan Pak Mar mengatakan harga tidak menjadi masalah."
"Itu betul, Bu." Kataku. "Sebelum beberapa jam kemudian saya diberitahu mendapat promosi ke Kabupaten Bandung." Kataku.

Bu Dian menatapku tidak percaya. Dia sudah bekerja hampir selama 10 tahun di divisi CS, namun kelihatannya dia belum mendapatkan promosi apa pun.
"Suamiku sudah berharap banyak, Pak Mar." Katanya dengan nada lemah. "Kini Pak Mar membatalkannya, pasti dia juga sangat kecewa."
"Maafkan." Kataku.
"Bagaimana kalau Pak Mar sendiri yang menjelaskan semua ini kepada Mas Herman?"
"Saya..."
"Biar Mas Herman lebih percaya. Saat ini, usahanya sudah bangkrut dan hutangnya sangat banyak. Kalau saya yang menjelaskan, kemungkinan besar Mas Herman tidak akan percaya. Dia nanti akan mengganggumu dengan telepon yang terus menerus. Bagaimana?"
"Baiklah." Kataku.

Aku menelpon Pak Herman berkali-kali tapi tidak nyambung juga.
"Handphonenya mati." Kataku.
"Mungkin dia di rumah sedang tidur." Kata Bu Dian. "Kita ke rumah saja. Sekalian anterin aku, soalnya aku ga bawa kendaraan." Katanya.

Akhirnya kami pergi ke luar kantor bersama, menuju tempat parkir. Bu Dian kaget ketika aku menyalakan motor 250cc yang kupakai sehari-hari.
"Koq motor? Bukannya Pak Mar punya mobil?"

Aku mengangkat bahu.
"Saya lebih senang naik ini, Bu." Kataku.

Dengan ragu-ragu Bu Dian menaiki jok belakang, roknya yang mini membuat pahanya berkibar dengan merdeka. Ketika motor kulajukan, dia memelukku dengan erat. Buahdadanya yang lembut menyapa punggungku. Tapi tampaknya, Bu Dian menikmatinya juga.

Tiba di rumahnya, suasana tampak sepi. Pembantunya mengatakan Pak Herman sedang merenung di teras loteng. Bu Dian tak berani mengganggu. Dia menyuruhku langsung menemui Pak Herman di teras loteng.

Aku menaiki tangga menuju teras loteng dan menemukan Pak Herman sedang fokus memandang ke arah samping rumahnya.
"Pak Herman..." Kataku.
"Ssstt... Diam dulu." Katanya. Pandangannya masih fokus ke arah samping rumahnya. Aku berdiri sejajar dengan Pak Herman dan melihat apa yang dilihat oleh Pak Herman.

Halaman belakang rumah itu cukup luas. Aku tahu. Ada sofa untuk bersantai dan kandang burung kenari serta beberapa pot bunga. Walau aku belum pernah duduk di sofa santai itu, tapi aku pernah melihatnya dari dekat. Aku dan Pak Herman sedang memandangi halaman belakang rumah Grace, pacarku.

Aku menarik nafas.

Grace ke luar dari pintu belakang mengenakan gaun daster mini. Seorang lelaki setengah baya, aku tahu namanya Pak Alex, mengikutinya. Pak Alex adalah bosnya Grace. Di halaman belakang itu mereka tertawa-tawa, bercanda. Aku belum pernah bercanda dan tertawa-tawa seperti itu bersama Grace.

Tiba-tiba Pak Alex memeluk Grace dari belakang. Dia menciumi telinga Grace dan tangannya meremas-remas payudara Grace.
"Gadis itu sudah tidak memakai celana dalam." Bisik Pak Herman.

Aku diam. Kepalaku tiba-tiba saja sakit. Tapi aku bersikap tenang dan mengeluarkan HPku, merekam pemandangan itu.

Grace menarik gaunnya ke atas, memperlihatkan buah pantatnya yang putih mulus. Tahu-tahu celana panjang Pak Alex jatuh dan kontolnya yang sudah menegang itu nongol, lalu langsung diselipkan ke antara belahan pantat halus yang bulat putih itu.

Maka terjadilah sebuah goyangan paradoks, yang satu menusuk yang lain mendorong ke belakang.
"Sangat berirama." Kata Pak Herman. "Kelihatanya mereka menikmatinya dengan baik."

Aku mengepalkan tangan. Tubuhku gemetar dan dalam hati aku memaki-maki.

Setelah kurang lebih lima menit, Pak Alex pun pecah di dalam kuluman memek Grace. Mereka kemudian saling berciuman dan kemudian duduk-duduk di sofa santai. Si Bibik kemudian datang membawakan mereka minuman.

Pak Herman kemudian berpaling ke arahku dan tersenyum. Sebelumnya aku sudah memasukkan HPku ke dalam saku.
"Lumayan kan untuk tontonan gratis?" Katanya. "Nah, jadi bagaimana caranya kita akan bertransaksi?"

Aku diam. Darahku membeku.
"Pemandangan yang menarik." Kataku. Dingin. "Tapi Pak Herman, saya kemungkinan besar akan dimutasi ke Kabupaten Bandung. Rumah ini, urung saya beli."

Pak Herman tampak tercenung. Sepasang matanya memerah dan kemudian mengangguk.
"Maafkan jika membuat Pak Herman kecewa." Kataku.
"Saya bisa paham." Katanya. Nadanya sangat kecewa.

***​

Di halaman rumah itu, aku menelpon Grace. Setelah dering yang ke tiga, barulah Grace mengangkat telpon.
"Halo beb, ada apa?" Katanya. Aku membayangkan dia menjawab telpon dalam pangkuan Pak Alex.
"Ga pa pa. Cuma kangen. Kamu sekarang ada di rumah?" Tanyaku.
"Aku lagi rehat meeting. Mungkin pulang sekitar jam delapan malam. Kamu mau ke rumah?"
"Engga." Kataku setenang mungkin. "Kapan bisa ketemuan?"
"Mmm... sayang, jadwalku awal januari ini padat banget. Paling bulan depan."
"Aduh, yang. Kamu jangan terlalu capek ya. Jangan lupa makan teratur dan istirahat." Kataku.
"Makasih, beb." Katanya. "Eh, apa betul kamu lagi pesan cincin ke Antique Jewellery?" Kata Grace dengan nada gembira.
"Koq tahu? Seharusnya itu jadi kejutan untuk ulangtahunmu februari nanti."

Terdengar suara tawa Grace yang renyah di belakang telpon sana.
"Aku tahu, Marsudi sayang. Soalnya Liza itu kan temenku." Katanya.
"Maksudmu, Liza pemilik Antique Jewellery?"
"Iya."
"Hadeuh. Ga jadi deh bikin kejutan untuk kamu." Kataku.

Grace tertawa lagi. Perempuan cantik seksi yang kelihatannya alim itu ternyata bangsat.
"Udah ya sayang, aku mau pulang." Kataku.
"Iya, hati-hati di jalan ya sayang. Mmmuaacchh."

Aku mematikan telpon. Menaiki motor 250cc hitamku dan pergi meninggalkan rumah Bu Dian yang tak jadi kubeli.

***​

Sore itu aku tidak langsung pulang. Aku mampir ke sebuah gerai handphone dan membeli smartphone terbaru beserta nomornya sekalian. Setelah itu, aku menelpon Pak Budiman dan minta bertemu. Direktur HRD itu keheranan dan menyediakan waktunya selama 30 menit di Kafe Loka, di mana dia sedang bersantai bersama selingkuhannya seperti biasanya.

Lima belas menit kemudian, aku tiba di kafe itu dan menemukan Pak Budiman dengan wajah mengkerut menatapku tajam.
"Ada apa?" Tanyanya.

Aku akan menjawab dan menjelaskan semua rencanaku kepadanya. Aku mengeluarkan laptop dan menyalakannya. Tiba-tiba terjadi keributan di lobby kafe.
"Di mana dia? Di mana? Jangan sembunyikan!" Seorang perempuan setengah baya dengan wajah beringas mengancam seorang pegawai kafe.

Wajah Pak Budiman tiba-tiba berubah. Dia sangat ketakutan.
"Kamu akan menjelaskan apa?" Bisiknya. "Kau jelaskanlah dengan kencang dan aku akan fokus terhadap penjelasanmu." Katanya.

Pak Budiman menatapku. Bola matanya mengerling-ngerling.

Perempuan setengah baya itu dengan mencak-mencak mendekati meja kami diantar oleh pelayan kafe yang gemetar dan gugup.
"Papah! Mana perempuan itu!" Katanya. "Mamah tahu kalian berselingkuh di sini!" Jerit perempuan setengah baya itu.
"Mamah, sabar. Ada apa datang-datang sambil teriak-teriak? Papah malu, Mah. Ini Papah sedang membicarakan strategi perusahaan." Kata Pak Budiman dengan nada bergetar.
"Jangan bohong!"
"Papah tidak bohong. Coba mamah duduk di sini, mari kita sama-sama dengar penjelasan Marsudi." Kata Pak Budiman. "Dan jangan memotong dengan satu kata pun. Marsudi adalah staf terbaik yang pernah dimiliki perusahaan. Dia akan menjelaskan sesuatu."

Perempuan setengah baya itu menyiletku dengan tatapannya.
"Sungguh?"
"Iya, Bu." Kataku. "Saya sedang, akan, mempresentasikan strategi pengembangan Kantor Cabang Cicalengka." Kataku.

Setelah mendapat kedipan rahasia dari Pak Budiman, aku kemudian memaparkan secara bertele-tele mengenai sejarah pembentukan Kantor Cabang itu, oleh siapa dan mengapa. Lalu menjelaskan hal yang tidak perlu seperti kondisi sosiologis masyarakat Kabupaten Bandung dan persepsinya terhadap perbankan.
"Geliat perekonomian masyarakat di Kabupaten Bandung sebenarnya sangat dinamis, dengan nilai nominal yang bisa kita raih minimal satu milyar per hari... " Aku terus mengecap dan menjabarkan data-data, yang dalam kondisi normal bisa membuat Pak Budiman membantingkan laptopku, tapi kali ini dia tersenyum. Bahkan dengan santai menyalakan rokoknya.

Bu Sarah, istri Pak Budiman, bukan orang bodoh. Dia mengikuti penjelasanku dengan baik dan mengangguk-angguk.
"Papah di sini mau sampai jam berapa?" Tiba-tiba Bu Sarah memotong pembicaraan, suaranya lembut dan lemah.
"Tuh, kan mamah memotong penjelasan Marsudi. Konsentrasi papah jadi pecah nih."

Wajah Bu Sarah tampak merah karena malu.
"Maafin mamah, ya pah. Sudah menduga yang tidak-tidak."
"Mamah, sudahlah. Papah engga marah koq. Papah sengaja mengundang Marsudi ke sini untuk memahami fenomena perbankan di daerah pinggiran. Ini sangat penting bagi perusahaan, Mah. Dan kelihatannya Marsudi memiliki program ambisius yang enggak mungkin cuma didengar sambil lalu. Mungkin Papah pulangnya tengah malam. Mungkin juga papah akan mengadakan meeting dadakan dengan yang lain. Semuanya tergantung dari pemaparan Marsudi."
"Iya Pah, mamah pulang dulu ya. Maafin mamah."
"Iya, hati-hati di jalan." Kata Pak Budiman dengan lembut dan senyum lebar.

Setelah Bu Sarah pergi, Pak Budiman menampar pipiku dengan hangat.
"Jancuk!" Katanya. "Kamu telah menyelamatkan perkawinanku."

***​

Sebetulnya, maksud tujuanku menemui Pak Budiman sore itu, bukan untuk mengajukan berbagai fasilitas seandainya aku bersedia dimutasi ke Kantor Cabang, tapi lebih untuk mempercepat kapan SK mutasi akan ditindaklanjuti. Sekarang, semuanya sudah terlanjur. Pak Budiman memberiku kesempatan belajar S2 di Unpad dengan biaya kantor, memberi fasilitas kendaraan roda 4, memberi tambahan tunjangan dan peningkatan gaji dan memberiku mess tempatku tinggal. Tapi soal mess ini, Pak Budiman secara khusus menyatakan bahwa, walau pun fasilitas itu diberikan untuk digunakan atas namaku, tapi dialah yang sesungguhnya yang akan memakainya. Setidaknya untuk beberapa bulan.
"Cuma itu saja permintaanku, Mar. Selebihnya kau mendapatkan apa yang kau inginkan." Katanya.
"Siap, Pak. Saya bisa ngontrak di dekat kantor."
"Bagus. Sekarang silahkan pergi." Katanya dengan nada gembira. Sementara Lina, anak magang yang baru masuk sebulan lalu itu, senyam-senyum di meja sebrang sana. Tak sabar menunggu percintaannya dengan Pak Budiman Suratmoko.

***​

Selama satu minggu itu aku mencoba berpuluh kali merayu Grace agar meluangkan waktu untuk ketemuan. Tapi dia selalu menolak karena sibuk dan sibuk. Sementara itu, aku secara diam-diam mempersiapkan kepindahanku ke Cicalengka. Aku meminta manajemen untuk merahasiakan mutasiku dengan alasan bahwa formula yang akan aku terapkan di Cicalengka adalah rahasia.
"Jangan ada berita atau apa pun. Kalau ada orang yang bertanya, bilang saja dipindahkan ke Papua." Kataku.
"Mengapa?" Tanya Direktur Utama, Pak Kahar, ketika meeting tertutup tadi pagi.
"Karena saya yakin bisa meningkatkan nilai transaksi beberapa kali lipat dalam waktu maksimal 3 tahun."
"Wow! Ambisius sekali. Aku suka." Kata Pak Kahar. "Baik, mutasimu bersifat konfidensial dan rahasia." Katanya dengan tersenyum.

***​

Pada minggu ke tiga bulan Januari, aku sudah selesai dengan semua persiapan kepindahanku. Hendra Sanjaya, Satpam yang sudah mengabdi selama 20 tahun di Kantor Pusat, dengan sangat gembira membantuku mempersiapkan segala kebutuhanku. Dia bolak-balik Jakarta Bandung untuk mengerjakan persiapan seperti menemukan rumah kontrakan terdekat ke dan dari kantor beserta pembantu yang bisa dipercaya, membereskan barang-barang bawaanku di rumah kontrakan serta mempersiapkan ruang kerjaku di Kantor Cabang itu dan menghembuskan issue keada seluruh karyawan bahwa Kepala Cabang yang baru orangnya sadis terhadap siapa pun yang melakukan kesalahan. Namun tajir kepada siapa pun pegawai yang rajin dan berprestasi.

Hendra juga membantuku memata-matai Grace.

Pagi itu, Senin di minggu ke 4 Januari 2019, aku hendak mengambil SK Mutasi kepindahanku dan SK Mutasi kepindahan Hendra, ketika Wakil Dirut Ibu Bonita menelponku dan menyuruhku menemuinya di ruang kerjanya. Setelah melewati sekretaris yang julid dan sudah tua, Bu Ine, aku memasuki ruang kerja Bu Nita.
"Duduklah di sofa panjang." Katanya. Dia berdiri di belakang mejanya dan membereskan beberapa berkas. Lalu melepaskan kacamatanya dan membereskan sejenak rambut pendek ikalnya. Bu Nita adalah seorang wanita berusia sekitar 40 tahun, memiliki bodi semok STW yang istimewa.
"TMTnya kapan?" Tanyanya. (TMT= Tanggal Melaksanakan Tugas)
"Per 1 Februari, Uni." Kataku.

Dia tersenyum, melangkah mendekatiku dan duduk di sampingku.
"Kamu tahu, Mar. Yang bikin aku nyesek adalah kita akan berjauhan." Katanya. "Aku pasti kangen dengan konti-mu."
"Jakarta Bandung deket, Uni. Cuma 4 jam. Jangan khawatir." Kataku.
"Kamu belum tahu ya?" Katanya. "Dewan Komisaris memutuskan aku pindah ke Sumatra Utara sebagai Kepala Cabang Utama Provinsi."
"Oh, Tuhan." Kataku. "Itu jauh."
"Kamu sedih engga?"
"Sedih? Uni, saya kehilangan. Bagaimana kalau saya juga kangen sama meki Uni yang tembem?" Bisikku.

Bu Nita memelukku dan menangis di pundakku.
"Mar, kamu ingat waktu aku menelponmu malam-malam dan menyuruhmu datang ke rumah?"
"Tentu saja ingat, Uni sayang. Saya datang diam-diam dan masuk ke dalam kamar Uni, waktu itu Pak Joni sudah lelap karena mabuk minuman dan Valium. Saya memuaskan Uni di lantai kamar."
"Itu sangat indah sekali, Mar. Aku ingin sekali lagi."
"Tidak bisa Uni, kamarnya sudah dipasang CCTV kan?"

Bu Nita mengangguk.
"Ruang kerja ini juga sudah dipasang CCTV." Katanya sambil melepaskan pelukan. "Tadinya aku mau pesan hotel, tapi tidak bisa. Siang ini aku harus meeting dengan Dewan Direksi."
"Besok kan bisa, uni sayang."
"Besok aku harus sudah ada di Medan, Konde." Katanya dengan cemberut. (Konde= konti gede). "Mar, sejak aku melihatmu lima tahun yang lalu, waktu kita pertama kali bertemu di ruang screening, aku tahu kamu akan jadi asset perusahaan ini. Kamu brilian dan ganteng. Tapi sebetulnya waktu itu kamu dinyatakan tidak lulus oleh Tim P3B (Panitia Penerimaan Pegawai Baru) padahal nilaimu yang terbaik."
"Iya Uni, saya tahu. Uni kan sudah berkali-kali cerita."
"Lalu berbagai job strategis yang kamu kerjakan dengan baik, semuanya adalah uni yang mengusahakan." Katanya. "Termasuk tawaran kamu jadi Kacab Ranting di Cicalengka."
"Iya Uni."
"Uni bukan itung-itungan. Uni ikhlas koq. Kamu bisa menjadi seperti ini adalah bukan karena upaya Uni saja, tapi sebagian besarnya lagi adalah karena kamu memang layak mendapatkannya. Kamu tekun, ulet dan cerdas dalam bekerja. Uni juga ingin mengingatkan, jika suatu saat kita bertemu lagi, Uni ingin kamu jangan lupa... bahwa kita pernah menghabiskan saat-saat yang indah dan menyenangkan."
"Iya Uni, Marsudi takkan lupa." Kataku. "Terimakasih atas semua kebaikan dan bimbingan Uni selama ini."

Bu Nita tampak tersenyum pedih.
"Sama-sama sayang."
"Uni." Bisikku.
"Ya, konde sayang."
"Untuk ucapan perpisahan, saya ingin memuaskan Uni... di balik lemari arsip itu, tidak ada CCTV." Bisikku, lagi.

Senyum pedih berubah menjadi gembira.
"Kunci dulu pintunya."
"Baik."

Kami mengendap-endap memepet ke tembok lalu masuk ke dalam celah antara Lemari arsip dan tembok. Aku langsung memeluknya dan mencium bibirnya. Menggerayangi buah dadanya dan mengobel-ngobel memeknya hingga licin.
"Sekarang sayang, sekarang."

Uni melepaskan celana dalam dan roknya, aku juga sama melepaskan celana panjang dan celana dalamku. Kontolku kalau sudah ngaceng dan tegang, panjangnya satu jengkal dan diameternya tebalnya sebesar timun. Ujung kepalanya sudah disunat dan pada batangnya, terdapat benjolan-benjolan kecil sebesar setengah kelereng. Itu adalah bekas sengatan binatang laut di Parang Tritis, dulu ketika kecil.

Untuk memuaskan Bu Nita, cukup setengahnya saja yang masuk. Dengan lutut agak menekuk, aku memasukkan kepala kontolku ke dalam liang memeknya. Mendorongnya pelahan dan menggenjotnya dengan irama teratur. Tapi tusukan dari depan itu hanya akan mengucurkan sedikit saja cairan kenikmatan, Uni paling suka jika dia kugenjot dari belakang. Benar saja, setelah beberapa menit kugenjot dari depan, Bu Nita mendorong dadaku lalu berbalik. Dia menghadap ke tembok dengan pantat menungging dan kedua paha terbuka lebar.

Dia mengerang dan mendesis-desis.
"Terusshh sayang... terushhh." Pintanya. Aku meraih pinggangnya dan dengan menekuk lutut lebih dalam, aku menyodok-nyodok memek Bu Nita dari bawah ke atas. Tidak menunggu lama, cairan kenikmatan itu bermuncratan dan Bu Nita akhirnya terduduk lemas di atas kedua pahaku yang merapat.
"Sudah sayang makasih... enak sekali kontolmu."
"Memek Uni juga enak, boleh saya ke luar sekarang?"
"Keluarin aja di dalam, uni enggak akan hamil."

Aku lalu menyodok-nyodok Uni beberapa kali lagi sampai berasa akan ke luar. Beberapa detik sebelum pecah, aku memeluk uni dari belakang dengan keras.
"Akhhh... Uni..." Desahku. Lalu crot... srrr... crot... crot... ah, enak juga crot di dalam memek Bu Nita.

(bersambung)
 
Terakhir diubah:
Sepertinya menarik, menunggu updet selanjutnya
 
Status
Please reply by conversation.
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd