Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG RIMBA ASMARA

Thema apakah yang paling anda gandrungi dalam Sub Forum Cerita Bersambung ini?

  • Hubungan sedarah atau incest, dengan mama atau saudara kandung

    Votes: 316 17,6%
  • Hubungan setengah baya atau MILF, antara yang muda dengan yang tua

    Votes: 239 13,3%
  • Hubungan sex Cukold, eksib, voyeur, mengintip dan di tempat umum

    Votes: 132 7,3%
  • Hubungan sex di kalangan remaja atau SMU/pesantren/sederajat

    Votes: 99 5,5%
  • Hubungan sex di kos-kosan mahasiswa/mahasiswi

    Votes: 85 4,7%
  • Hubungan sex Perkosaan

    Votes: 46 2,6%
  • Hubungan Sex affair di kalangan bisnis atau antar pegawai kantoran

    Votes: 99 5,5%
  • Hubungan sex dengan Bini Orang

    Votes: 159 8,9%
  • Hubungan sex dengan Laki Orang

    Votes: 16 0,9%
  • Hubungan sex di kalangan selebriti Indonesia

    Votes: 80 4,5%
  • Hubungan sex di pedesaan/ di perkampungan

    Votes: 88 4,9%
  • Hubungan sex dengan wanita berhijap/kerudung

    Votes: 332 18,5%
  • Hubungan sex romantis

    Votes: 62 3,5%
  • Scandal sex para politisi atau pejabat

    Votes: 19 1,1%
  • Hubungan sex lesbian/gay

    Votes: 16 0,9%
  • Hubungan sex lainnya

    Votes: 8 0,4%

  • Total voters
    1.796
  • Poll closed .
Status
Please reply by conversation.
Aku mengeringkan badan di dalam mobil yang melaju dengan kecepatan sedang. Mang Emen mengendarai mobil dengan sangat halus. Kelihatannya dia adalah sopir yang berpengalaman.
"Kita langsung ke Pameungpeuk, Bos."
"Bukannya mau ke Garut?"
"Iya Bos, ke Garut. Kita menuju Curug Neglasari." Katanya. "Tadi bagaimana rasanya, Bos? Menyenangkan?"
"Pengalaman yang sangat aneh, Mang." Kataku sambil mengenakan celana dalam, lalu mengambil celana pendek dan memperhatikan tali karet elastisnya. "Mudah-mudahan yang ini enggak merosot."

Terdengar suara tawa pelan Mang Emen.

"Kelihatannya tadi Bos seperti menahan rasa sakit."
"Begitulah, Mang. Hujaman air curug ternyata tajam juga ya."
"Bos juga tadi berteriak-teriak tidak jelas."
"Begitu ya, Mang?"
"Iya Bos."

Aku menyusupkan kaos ke dalam kepalaku dan mengenakannya.
"Apalagi yang kamu lihat dan dengar, Mang?"
"Takkan sebanyak yang Bos dengar dan lihat, Bos."

Aku tertawa. Kering.
"Mang, sebetulnya tadi adalah pengalaman yang paling aneh yang pernah aku alami." Kataku.
"Siap-siap, Bos. Mungkin nanti di Garut akan lebih aneh lagi."
"Dari mana Mang Emen tau?"
"Saya diwanti-wanti Eyang, jangan sampai Bos mengalami hal-hal yang tidak diinginkan."
"Seperti apa misalnya, Mang?"
"Menurut Eyang, beberapa saat setelah berada di bawah curahan air curug, hal yang paling tidak diinginkan dan perlu diwaspadai adalah bos ke luar dari curug dan berlari pergi. Tugas saya untuk menangkap Bos dan mengembalikan kesadaran Bos."
"Benarkah?"
"Benar tidaknya saya tidak tahu, Bos. Bos sendiri bagaimana tadi perasaannya?"
"Bisa saja benar, Mang. Bisa saja. Memang tadi perasaan saya juga merasa sangat aneh."
"Pokoknya saya sudah disiapkan untuk menghadapi segala kemungkinan yang terburuk, Bos." Kata Mang Emen sambil matanya terus mengawasi jalanan di depannya. "Pokoknya Bos, jangan pernah menyerah."
"Betul, Mang. Aku tidak akan mudah menyerah."
"Berjuang sampai titik rasa sakit yang tersakit." Kata Mang Emen. "Bos jangan khawatir Mang Emen selalu ada di samping Bos."
"Terimakasih, Mang."
"Siap, Bos. Sama-sama."

***

Memasuki kota Garut, Mang Emen melajukan mobil pelahan. Dia menelpon seseorang dan menyebutkan nama sebuah rumah makan.
"Maaf Bos, kita mampir dulu ke rumah makan."
"Masih terlalu pagi, Mang. Ini baru jam setengah 12. Baiknya makan siang jam setengah 1-an."
"Ini sudah janjian, Bos. Terkait pembelian domba jantan berwarna hitam. Mereka menunggu di rumah makan... tuh rumah makan yang itu, Bos."
"Oh, oke. Mudah-mudahan masakannya enak." Kataku.

Mobil memasuki pelataran parkir rumah dan seorang lelaki yang tinggi berkumis, mendekati dan menyelidiki kami. Mang Emen melambaikan tangannya, dibalas oleh lelaki itu dengan mengacungkan jempol.

Mang Emen turun dan menyalami lelaki itu. Setelah berbicara sejenak Mang Emen mendekati mobil dan membukakan pintu. Aku pun turun.

Lelaki jangkung berkumis itu bersikap sangat sopan. Dia menuntunku ke sebuah meja di mana dua orang lain sedang duduk menunggu. Ke dua orang itu langsung berdiri ketika mereka melihat kedatanganku. Langkah Mang Emen ringan dan cepat, dia mendahuluiku beberapa langkah dan menarik sebuah kursi untukku duduk.
"Mohon pakai Bahasa Indonesia, Bos tidak lancara Bahasa Sunda." Kata Mang Emen.
"Iya, silahkan, Den." Kata salah seorang yang paling tua. Dia mengenakan ikat kepala dan baju pangsi hitam. "Sebelumnya kami ucapkan selamat datang di Kota Garut tercinta, mungkin ini adalah kunjungan pertama Aden ke sini."
"Panggil saja saya Kasman, jangan terlalu banyak adat." Kataku.
"Tidak berani, Den. Sesuai dengan perintah sesepuh kami, guru kami, orang tua kami, pelindung Garut kami, Eyang Suta Wijaya Wirahadikesuma Natadilaga, kami telah menyediakan domba Garut terbaik warna hitam mulus tanpa cacat sebanyak 7 ekor. Kami telah mengumpulkan ke 7 ekor domba tersebut di gubuk kami, hasil dari penjelajahan ke seluruh wilayah Garut dalam tempoh 2 hari. Untuk itu mohon maap kami sekali lagi jika hal ini kurang mengenakkan di hati. Kami tidak bermaksud minta dibayar untuk domba-domba tersebut, tetapi sekedar untuk penggantian kepada para peternak sekaligus bantuan untuk transportasi ke Bandung pada waktu yang telah ditentukan."

Aku mengangguk-angguk.
"Baik, Pak. Tidak masalah. Berapa uang yang diperlukan?"
"Sekali lagi mohon maap, Den. Kami membutuhkan dua buah treuk (truk) juga untuk mengangkut kerbau-kerbau jantan yang kuat dan sehat, yang telah disediakan oleh kami juga merupakan hasil penjelajahan ke seluruh kampung di wilayah Garut sampai ke pelosoknya yang paling kidul. Kami mohon maap Aden jangan sungkan kalau keberatan biayanya sebesar 125 juta rupiah."

Aku diam sejenak. Menatap mereka yang wajah-wajahnya tampak tegang dan seperti ketakutan.
"Kalau uang cash, maaf, uang kontan sebanyak itu, saat ini saya tidak membawanya." Kataku, tenang. Sekejap aku melihat wajah-wajah itu bertambah tegang. "Tapi kalau bapak-bapak memiliki rekening di Bank BUMN ( Aku takkan menyebutkan nama Bank di mana aku bekerja sampai cerita ini nanti berakhir) kota Garut ini, maka saya bisa menstransfernya sekarang juga."
"Maksudnya rekening itu apa, Den?"

Aku diam sejenak. Berpikir dengan cara pikir mereka.
"Bapak-bapak ada yang punya buku tabungan di Bank?"

Mereka saling menatap. Lalu semuanya kompak menggelengkan kepala.
"Baiklah. Mang Emen kalau Bank BUMN Garut tahu enggak di mana?"
"Siap, Bos. Tau."
"Kalau begitu kita semua pergi ke sana dan bikin rekening." Kataku.
"Maaf, Bos. Sebaiknya pembicaraannya diselesaikan dulu." Kata Mang Emen.

Aku kemudian menoleh kepada ke 3 orang tersebut.
"Baik, silahkan dilanjutkan."
"Jadi Aden setuju?" Tanya lelaki paling tua yang mengenakan pangsi hitam dan ikat kepala itu.
"Setuju. 125 juta kan?"
"Betul, Aden. Terimakasih sebelumnya sudah menyetujui tanpa menawar, ini sungguh merupakan sebuah penghormatan kepada kami. Namun juga perlu Aden ketahui bahwa kami bertiga ini sengaja menghadap dan menunggu Aden di sini untuk juga secara jelas mendapatkan keterangan yang lengkap akan hak-hak yang diperbolehkan kepada kami untuk mendapatkannya, yaitu kami menjadi orang yang ditugaskan untuk melakukan penyembelihan domba-domba tersebut. Yakni, bahwa kami telah mengetahui seluruh syarat-syarat pelaksanaannya serta tatacaranya sesuai tepat seperti apa yang diminta dan dipersyaratkan oleh Eyang Suta Wijaya, yang mana belum tentu orang lain sanggup melaksanakannya." Kata lelaki tua itu.

"Saya setuju." Kataku.

Lelaki tua itu tersenyum demikian juga dua orang lelaki lain yang mendampingi di kiri kanannya. Wajah mereka tampak sumringah walau tampak seperti masih menanggung sesuatu beban.

"Dan karena Aden sudah penujui dengan penugasan ini yang kami terima dengan rasa bahagia dan merasa terhormat yang tidak terhingga, maka dengan ini kami nyatakan pula bahwa hak-hak sebagai petugas yang akan kami laksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab, maka semua kulit domba dan kulit kerbau yang masing-masing berjumlah 7 ekor itu adalah menjadi hak kami untuk kami miliki dan kami gunakan sesuai dengan keinginan kami tanpa bisa diganggu gugat."

"Saya setuju."
"Tanpa syarat apa-apa, Den?"
"Tanpa syarat apa-apa."

Seketika wajah ke tiga orang lelaki itu berubah menjadi penuh dengan kelegaan dan sumringah yang benar-benar tanpa beban. Kami pun bersalaman bahkan lelaki itu memelukku dengan hangat.
"Nama Saya Kanta. Panggil saja Mang Kanta, yang ini saudara sepupunya saya, namanya Kemed. Sedangkan ini, yang paling tinggi badannya bernama Ojang. Sebelumnya kami mohon maap kepada Aden, sehubungan dengan penugasan yang telah kita setujui bersama, ini artinya kami pun berhak ikut mengawal dan menemani Aden ke Curug Neglasari alias Curug Limbung alias Curug 7 karena jumlahnya ada tujuh jeram. Karena aden sudah penujui kami sekali lagi mohon maap Aden wajib melihat domba-domba jantan hitam itu serta kerbau-kerbau yang sudah kami sediakan di tempat kami, serta wajib melaksanakan santap siang di gubuk kami. Sedangkan untuk rekening yang dimaksudkan Aden, biar nanti Ojang dan Emen yang menindaklanjuti. Kami yakin bahwa semua urusan ini akan beres dan terlaksana dengan baik sesuai dengan harapan kita semua. Amin."
"Amin."
"Bagaimana, Den?"
"saya setuju."
"Terimakasih, Den. Mari kita pergi dari sini." Kata Lelaki tua itu sambil menunjukkan jempolnya ke arah pintu ke luar.
"Mang Emen, apa kita tidak menyinggung pemilik rumah makan ini, kita cuma ikut duduk tapi tidak membeli makanannya?" Tanyaku.
"Tidak apa-apa, Bos."
"Bener?"
"Bener, Bos." Kata Mang Emen. "Bos, mereka bertiga itu adalah Jawara paling sangar dan paling ditakuti di seantero Garut ini. Tenang aja, Bos. Jangan khawatir."

Aku menarik nafas berat.
"Yah, tapi bagaimana pun aku kurang merasa enak." Kataku. Tapi Mang Emen tidak menyahut. Dia membukakan pintu depan dan mempersilakan aku duduk di kursi depan, sementara ke tiga orang itu duduk di kursi belakang.

***

Mang Emen melajukan kendaraan dengan kecepatan cukup tinggi dan aku mengingatkannya untuk tidak terlalu terburu-buru. Setengah jam kemudian kami mencapai sebuah perkampungan yang tertata rapi. Jalan-jalannya tampak bersih walau aspalnya sudah mengelupas di sana sini.

Kami berhenti di halaman sebuah rumah tembok yang mungkin merupakan rumah termegah di kampung ini. Beberapa ibu-bu dan gadis-gadis muda yang semula berkerumun di halaman, langsung bubar begitu mobil datang ke arah mereka.

Mang Kanta menggandeng tanganku dan langsung mengajakku masuk ke dalam rumah. Begitu masuk, seketika kutemukan ruang tamu yang sangat luas dan di lantainya yang beraubin keramik, telah dihamparkan tikar di mana di atas tikar tersebut terhidang berbagai masakan khas Sunda. Lalap, sambel, jengkol, pete, tahu dan tempe goreng, ikan mas goreng, ayam goreng serta suatu makanan khas yang disebut karedok. Itu adalah makanan khas yang terdiri dari leunca, kacang panjang plus kemangi, diberi bumbu kacang sehingga menghasilkan rasa dan aroma yang khas.

Mang Emen duduk di sampingku dan mempersilahkan aku untuk mendahului tuan rumah mengambil makanan.
"Kelihatannya hari ini kita cuma sampai Garut saja Bos." Kata Mang Emen.
"It's oke. Kalem aja Mang. Besok-besok masih ada waktu kan?"
"Siap, Bos. Masih ada waktu."

Aku mengambil nasi secukupnya, menyendok karedok dan menjumput beberapa lembar lalap serta mengambil dua ekor ikan mas goreng. Tuan rumah dan kedua saudaranya, Mang Kemed dan Ojang, memperhatikanku dengan seksama.
"Silahkan yang lainnya, Den."
"Tidak, Mang Kanta. Terimakasih. Ini sudah lebih dari cukup."
"Pete, jengkol, ayam dan tahu tempe masih ada, Den." Kata Ojang.
"Terimakasih, Kang Ojang. Ini cukup." Kataku.
"Silahkan, Den, ikan mas sama karedoknya tambah lagi." Kata Mang Kemed, wajahnya tampak gembira.

Walau agak heran dengan wajah Ojang dan Mang Kanta yang kurang semangat, karena sudah cukup merasa lapar, aku dengan lahap menghabiskan makanan sampai piringnya bersih. Mang Kemed dengan gembira mendekatiku dan duduk di sebelahku. Dia lalu menceritakan bahwa karedok dan ikan mas goreng itu di masak oleh anak perempuan satu-satunya yang sudah menjanda selama 1 tahun dan belum punya anak.
"Suaminya meninggal karena kecelakaan waktu kerja di Jakarta." Kata Mang Kemed, dia lalu memanggil anaknya yang sejak tadi berada di ruangan sebelah.
"Icih, sini." Kata Mang Kemed. "Temani Aa Aden di sini."
"Enggak usah, Mang. Enggak perlu repot-repot ditemani." Kataku.

Kulihat sekilas wajah Mang Kemed memerah. Dia menelan ludah dan dengan sedikit terbata-bata dia berkata, "Begini, Aden, sebagai yang menjadi salah seorang petugas seperti yang telah kita setujui bersama tadi, maka untuk Aden ketahui bahwa salah seorang petugas itu boleh dan berhak mengajukan kehormatan untuk anak perempuannya, apakah itu masih berstatus gadis, janda atau bahkan sudah bersuami. Boleh dan berhak, Den."

Aku tertegun dan mengerutkan kening.
"Kewajiban Aden adalah melaksanakan semua persetujuan sesuai dengan perjanjian seperti yang dipersyaratkan oleh Eyang Suta Wijaya agar kita semua mendapatkan keberkahan."

Aku terdiam.
"Aden boleh melaksanakan kewajiban boleh tidak, tapi kalau tidak melaksanakan kewajiban tentu saja kami akan merasa kecewa dan akan mempertanyakan semua ini kepada Eyang Suta Wijaya yang tidak mungkir dari janji."

Aku masih terdiam. Mang Emen menatapku dan mengedipiku.
"Saya paham." Kataku.
"Aden paham?" Tanya Mang Kemed dengan tatapan menyelidik.
"Saya paham, Mang. Saya akan melaksanakan kewajiban."
"Terimakasih, Den. Terimakasih. Icih, ke sini geulis (cantik) temani Aa Aden di sini."

Janda cerai mati itu muncul dari ruang sebelah, mengenakan kebaya brokat berrenda-renda dan kain samping yang melilit pinggangnya hingga ke betis. Kerudung transparan warna pink itu dilingkarkan begitu saja di kepalanya. Dia berjalan sambil menunduk.

Mang Emen segera menyingkir dan menjauh, sementara Icih mendekat dan kemudian duduk di sampingku.
"Terimakasih sudah memasak masakan yang sangat lezat dan luar biasa enak." Kataku. Icih mengangguk dengan kepala tetap menunduk.
"Icih sudah makan belum?"
"Sudah, A."
"Mau makan lagi?"

Dia menggelengkan kepalanya.

"Ehm, Den, sebaiknya, ngobrolnya diteruskan saja di rumah kami yang sudah disediakan dan dalam keadaan kosong." Kata Mang Kemed. "Pegang tangan Aa Aden Icih, tuntun dia ke rumah."
"Iya Abah. Hayu Aa." Kata Icih, dia menarik tanganku dan membawaku ke luar dari rumah tembok itu. Setelah menyebrangi jalan, Icih memeluk tanganku dan merapatkan pada pinggiran buah dadanya yang bagiku terasa sangat kenyal namun lembut dan halus.

Kami memasuki sebuah gang dan menemukan sebuah rumah berbentuk panggung yang terbuat dari campuran papan dan bambu. Sebuah rumah yang sangat sederhana.

Sementara kami berjalan menuju ke rumah itu, aku merasa secara diam-diam ada puluhan pasang mata mengikuti langkah-langkah kami.

Beberapa saat sebelum Icih membawaku masuk ke dalam rumah itu, Handphone lamaku berdering. Panggilan dari Grace. Aku membiarkannya sampai dering itu berhenti dan kemudian mematikan power HP tersebut.
"Icih punya HP?"
"Tidak, Aa."
"Mau Aa kasih HP?"
"Mau."
"HP yang ini? Mau?"
"Mau. Yuk, Aa masuk dulu ke dalam."
"Hayu, siapa takut?" Kataku.

Tiba-tiba Icih menoleh kepadaku, bibirnya tersenyum dan tatapan matanya bersinar penuh harap. Ya, ampun, Janda ini ternyata masih belia. Dan sangat cantik.

***
(Bersambung)
 
Bimabet
Menang banyak, jangan2 tiap abis ritual dapet cewek ini .. dan ceweknya bakal jadi kaya setelah dientot..
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd