Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG RIMBA ASMARA

Thema apakah yang paling anda gandrungi dalam Sub Forum Cerita Bersambung ini?

  • Hubungan sedarah atau incest, dengan mama atau saudara kandung

    Votes: 316 17,6%
  • Hubungan setengah baya atau MILF, antara yang muda dengan yang tua

    Votes: 239 13,3%
  • Hubungan sex Cukold, eksib, voyeur, mengintip dan di tempat umum

    Votes: 132 7,3%
  • Hubungan sex di kalangan remaja atau SMU/pesantren/sederajat

    Votes: 99 5,5%
  • Hubungan sex di kos-kosan mahasiswa/mahasiswi

    Votes: 85 4,7%
  • Hubungan sex Perkosaan

    Votes: 46 2,6%
  • Hubungan Sex affair di kalangan bisnis atau antar pegawai kantoran

    Votes: 99 5,5%
  • Hubungan sex dengan Bini Orang

    Votes: 159 8,9%
  • Hubungan sex dengan Laki Orang

    Votes: 16 0,9%
  • Hubungan sex di kalangan selebriti Indonesia

    Votes: 80 4,5%
  • Hubungan sex di pedesaan/ di perkampungan

    Votes: 88 4,9%
  • Hubungan sex dengan wanita berhijap/kerudung

    Votes: 332 18,5%
  • Hubungan sex romantis

    Votes: 62 3,5%
  • Scandal sex para politisi atau pejabat

    Votes: 19 1,1%
  • Hubungan sex lesbian/gay

    Votes: 16 0,9%
  • Hubungan sex lainnya

    Votes: 8 0,4%

  • Total voters
    1.796
  • Poll closed .
Status
Please reply by conversation.
Menarik cerita nya suhu
 
Bagian Dua
PEMBINOR
(PEMUAS DAN PENIKMAT BINI ORANG)​


Dari tangga loteng, aku melangkah melewati ruang makan dengan langkah pelan. Bu Dian mengiringiku dari belakang.
"Kapan berangkat ke Bandung, Pak Mar?" Tanya Bu Dian, saat itu kami sedang melewati ruang tengah. Aku merandek sejenak dan tanganku sengaja menyentuh bagian tengah pahanya yang terhalang gaun daster panjang berbahan katun. Aku melakukannya seakan-akan tidak sengaja.
"Maaf." Kataku. "Secepatnya Bu Dian." Kulihat wajah Bu Dian sedikit terkejut. Dia kemudian mendahuluiku melangkah melewati ruang tengah menuju ruang tamu. Kali ini tangan Bu Dian yang sengaja menyentuh bagian tengah pahaku.
"Maaf, disengaja." Bisiknya. "Mungkin kita tidak akan bertemu lagi."
"Tidak apa-apa." Bisikku. Membalas bisikkannya. "Ya, mungkin, Bu Dian."
"Benarkah itu benda asli?" Wajah Bu Dian tampak sedikit pucat.
"Maksud Bu Dian?"
"Ini." Katanya. Dia meraih batang penisku dari luar celana dan meremasnya. "Apakah asli?"
"Untuk apa saya memakai benda palsu di situ." Bisikku.
"Boleh lihat?" Bisiknya. "Cuma lihat aja. Soalnya penasaran."

Aku menatap Bu Dian langsung ke matanya. Pipinya dan lehernya tampak berdegup-degup.
"Sekarang?" Tanyaku.

Bu Dian mengangguk. Kami memasuki ruang tamu dan Bu Dian menutupkan pintunya. Aku lalu menarik ritsluiting celana panjangku hingga full ke bawah.
"Lihatlah sendiri." Kataku. Bu Dian lalu berjongkok di depanku, melalui rits yang terbuka, dia menarik celana dalamku dan mengeluarkan kontolku hingga menongol ke luar dari celana.
"Oh, Tuhan!" Desisnya. "Ini masih bobo ya?"
"Iya."
"Yang bulet bulet kecil ini apa Pak Mar? Bisul?"
"Bukan."
"Daging jadi bukan?"
"Bukan juga." Kataku. Elusan lembut tangan Bu Dian membuat kontolku mulai naik menegang.
"Eh, malah bangun." Kata Bu Dian. Tiba-tiba Bu Dian membuka ikat pinggang dan menjatuhkan celana panjang sekaligus celana dalamku ke sepatuku. "Nah, sekarang lebih jelas. Gagah benar Pak Mar... boleh dijilat kepalanya?"
"Aghkh... Bu Dian... apa maksudnya ini?" Aku mengerang ketika Bu Dian bukan hanya menjilat ujung kepala kontolku tapi malah mengulumnya. "Addduuuhhh...."
"Emmm...nyam...nyam... kontol Pak Mar enak dan gurih... benjolan-benjolannya juga enak..." Kata Bu Dian.

Aku merintih-rintih ketika mulut Bu Dian mengocok-ngocok kontolku. Lidah dan bibir yang hangat itu memberikan suatu kenikmatan yang luar biasa.
"Pak Mar, boleh enggak jika kontol ini dimasukkan ke sini." Kata Bu Dian. Dia melepaskan kocokan mulutnya dan duduk bersandar di sofa ruang tamu. Dia menarik gaun dasternya sampai pinggang dan kedua kakinya membuka lalu telunjuknya menunjuk belahan memeknya yang gundul tanpa jembut. Ternyata Bu Dian sejak awal sudah tidak memakai celana dalam.
"Bu Dian, memeknya gundul." Bisikku.
"Memang." Katanya. Dia tersenyum nyengir. "Pak Mar masukin dong kontolnya ke sini... lihat, liang memeknya sudah basah."
"Bagaimana kalau Pak Herman tahu?"
"Tidak. Dia masih sibuk nelpon." Katanya. "Cepat sini, masukkan." Bu Dian meraih kontolku dan menariknya hingga mendekati memeknya.

Aku terpaksa nurut dan mengikuti tarikannya. Karena posisi sofa tamu itu rendah jadi aku terpaksa berdiri di atas lututku.
"Nah... akh... masuk... tekan Pak Mar." Kata Bu Dian. "Dorong terus... terus..." Kepala Bu Dian menunduk memperhatikan selangkangannya. Kedua tangan Bu Dian memegang kedua pahanya agar kangkangannya stabil.
"Iihhh... iihhh... terus Pak Mar... itu baru setengahnya.... ehhh.... aku ngecrot..." Kata Bu Dian. "Pak Mar terus Pak Mar terus... aghkh... dorong terus... sampai mentok... ooohhh... enak... enak... enak... berasa banget kontolnya..."
"Akhhh... Bu Dian... ini sudah masuk semuanya... kayaknya mentok."
"Pak Mar. ah... aku ngecrot lagi...aduh lendirnya banyak... owhh... enak... genjot Pak Mar... genjot...owh... iya...memang udah mentok...iiihkkh..."

Aku menggenjot kontolku sesuai permintaan Bu Dian.
"Aduh banyak... banyak... ihkhhhh... terus genjot Pak Mar...AWW!!! Pak Mar Enakkkk..."
"Ssstt... Bu Dian... jangan keras-keras..."
"Ah iya ah ah ah ah... awwwww....adduh aku muncrat lagi.... Pak Mar... Pak Mar... aku... ini... aku mau ke luar lagi... ini... ini... puncaknya.... Pak Mar... ayo sama-sama... keluarin Pak Mar juga... ayo... Pak Mar... di dalem aja... di dalem aja... aku minum pil KB koq... PakMMMAARR.... AAAKKKKHHHH..."

Memek Bu Dian mengedut keras sekali. Berdenyut-denyut. Cairan lendirnya yang pekat menetes-netes di ujung memeknya. Aku sebetulnya masih kuat mengentot Bu Dian 10 atau 20 menit lagi, tapi berhubung Bu Dian sudah selesai, maka aku pun terpaksa menyemprotkan pejuh di dalam memek Bu Dian.

Srrr... Crot crot crot crot... ah... enak juga ngentot memek Bu Dian yang gundul.

***

Aku baru saja mengancingkan ikat pinggangku ketika suara Pak Herman terdengar keras memanggil-mangil Bu Dian.
"Mah... mamah...Lihat BPKB mobil kijang enggak?"

Bu Dian yang baru saja menikmati puncak asmaranya, tersentak dari duduknya. Dia dengan cepat membuka pintu luar dan mendorongku ke teras.
"Ya Paah... ada koq... di laci lemari kamar sebelah kiri..." Katanya.

Aku membuka handphone dan memesan taksi online.
"Koq pintunya ditutup sih Mah?" Kata Pak Herman. Dia muncul dari ruang tengah dan membuka pintu kamar tamu.
"Kan pintu luar dibuka, Pah."
"Oh. Pak Marsudi belum dapat taksi ya?"
"Belum, Pak. Tapi ini sudah ada koq... nah... sekarang sedang bergerak menuju ke mari." Kataku.
"Di mana Mah?"
"Di lemari pakaian lama, laci paling bawah sebelah kiri."
"Oh, ya udah." Kata Pak Herman, dia kemudian pergi lagi.

Bu Dian tiba-tiba mengikik.
"Hampir saja." Katanya. "Makasih ya Pak Mar."
"Sama-sama, Bu Dian."

Bu Dian mendekatiku dan berbisik.
"Kontolnya madep benerrr... kapan-kapan boleh lagi dong."

Aku menjawab dengan tersenyum kepada Bu Dian. Lalu melangkah menuju taksi yang sudah menunggu di luar pagar.

***

Aku pulang dan tiba di rumah sekitar jam sembilan malam. Sedikit terkejut aku menemukan Pak Hendra sedang merokok di teras depan.
"Loh, koq Pak Hendra ada di sini?"
"Maaf, Pak." Katanya sambil mematikan rokok. "Saya ikut numpang nginep... soalnya kontrakan saya sudah habis kemarin. Saya tidak memperpanjangnya."
"Oh. Baiklah." Kataku. "Kita mungkin berangkat besok."
"Mobil dinasnya sudah saya bawa, Pak. Sekarang ada di garasi."
"Baik."
"Barang-barang yang akan dibawa juga sudah saya masukan ke dalam mobil. Jadi besok kita tinggal berangkat."
"Trimakasih, Pak Hendra."
"Siap, Pak."

Setelah mandi dan gosok gigi, aku pun tidur. Tak sabar menunggu hari esok yang lebih cerah.

***

Hal pertama yang aku lakukan ketika tiba di Cicalengka adalah menyusuri alun-alun mencari tempat makan yang enak. Aku sengaja berjalan kaki sendirian dan menyuruh Pak Hendra untuk mengabarkan bahwa aku akan mulai bekerja mulai 1 Februari, sesuai SK. Jadi, aku punya beberapa hari untuk berkenalan dengan kota kecil ini.

Seperti seorang pengelana yang tersesat, aku celingukan dan kebingungan menentukan pilihan. Banyak penjual makanan, toko-toko dan pedagang lainnya, tapi aku mencari sebuah tempat yang bersih dan tenang.

Ada warung makan sunda atau warung padang, tapi aku melihat penampilannya kurang menarik. Maka kulewati. Di sekeliling alun-alun ini, selain Bank tempatku bekerja, ada beberapa kantor lain yang berada di kawasan ini. Kantor Kecamatan, Sekolah SMU Negri, Markas Polsek, Kantor Pengurus Ranting Partai Banteng Merah Indonesia dan Kantor Koperasi Cicalengka.

Tidak ada yang menarik.

Rasa bosan akhirnya membawa langkahku menuju sebuah kedai kopi yang agak terpencil. Tempatnya bersih dan kelihatannya ekslusif. Kubaca tulisannya "Kedai Kopi Santai". Hm, cukup menarik juga.

Aku memasuki kedai kopi itu namun sambutannya agak aneh. Seorang perempuan setengah baya berkulit putih bersih, yang kusangka pelayan, mendekatiku dan menanyakanku mau pesan apa. Aku tersenyum bingung karena tidak tahu mau pesan apa.
"Di sini, ada apa aja ya?" Tanyaku.

Tiba-tiba seorang perempuan lain yang lebih muda, sambil menggendong seorang anak lelaki berumur sekitar dua tahun, datang mendekatiku. Perempuan muda itu memberikan anak dalam gendongannya kepada perempuan yang lebih tua.
"Selain roti dan bakpaw di sini juga ada risoles." Katanya. Dia menatapku.

Aku memasang wajah bingung.
"Roti dan bakpaw ya? Baiklah. Itu juga boleh." Kataku.
"Maksud bapak, bapak pesan roti dan bakpaw?"
"Apakah harus dengan risoles?" Tanyaku. Perempuan muda itu sangat cantik. Dia mengenakan bando plastik berwarna merah, rambutnya lurus pendek dan kulitnya putih. Mirip wanita keturunan Tionghoa. Mungkin type-type perempuan Sunda seperti ini yang disebut panda lokal.

Perempuan muda itu tersenyum. Aku menaksir usianya tidak akan lebih tua dari usiaku.
"Tidak, Pak." Katanya. "Jadi bapak pesan roti dan bakpaw?"
"Ya."
"Kopinya, kopi susu atau hitam?"
"Kopi hitam."
"Mau kopi kemasan atau kopi asli?"
"Kopi asli, benarkah?"
"Ya, Pak. Benar. Kopi yang kami produksi sendiri."
"Oh. Kopi asli lebih baik. Jangan pake gula ya." Kataku.
"Maksud bapak, kopi pahit?"

Aku mengangguk.

Perempuan muda itu kemudian menuju ke bagian dalam kedai. Aku duduk di bangku panjang dengan mejanya yang juga panjang. Menghadap ke tembok.
"Kelihatannya aku akan menempuh hari-hari yang panjang dan membosankan di sini." Bisikku kepada diriku sendiri. Ada sedikit perasaan sesal menggumpal di dada. Bila teringat Jakarta yang menyebalkan karena macet dan banjir, tapi saat ini aku sangat merindukannya.

Di sini kosong dan sepi.

Perempuan muda itu kembali dengan roti dan bakpaw. Keduanya masih hangat.
"Oh rupanya roti kukus." Kataku. Ketika menyorongkan piring berisi roti kukus dan bakpaw, kulihat lengan yang putih itu sangat mulus berbulu halus. Dia menyajikan kopi dalam gelas belimbing, bukan dalam cangkir.

Aku sedikit gelagapan ketika perempuan muda itu mengajakku berbasa-basi dengan menggunakan bahasa Sunda.

Sekali lagi, aku memasang wajah bingung. Dia tertawa halus.
"Aslinya dari mana, Pak?" Tanyanya.
"Saya dari Jakarta."
"Koq mirip orang Bandung." Katanya. "Di sini cuma lewat, mampir ke saudara atau kerja?"
"Kerja." Kataku.
"Oh. Kerja di proyek kecamatan ya?" Katanya menduga.
"Bukan."
"Oh. Kerja di mana?"
"Saya kerja di bank."
"Bapak tidak kelihatan seperti pegawai bank yang sombong-sombong itu." Katanya. "Bener bapak kerja di Bank?"
"Iya. Benar."
"Di bank yang di ujung dekat terminal?"
"Iya. Masa saya bohong, Bu." Kataku.

Perempuan muda itu tiba-tiba tertawa kali ini agak keras. Dia merasa ada yang lucu.
" Emmm... kalau menurut saya, Bapak ini pantesnya bukan pegawai bank. Tapi guru."

Kali ini aku tersenyum. Aku merasa lucu.
"Mana bisa, Bu. Saya bukan seorang guru." Berkata demikian aku menggigit roti kukus itu. Lumayan.
"Bapak sudah menikah?"
"Belum."
"Tuh kan bohong lagi." Katanya dengan nada tidak bermaksud menuduh apa pun. "Seorang pegawai bank seumuran bapak belum menikah... aneh." Katanya. "Neneng menduga umur bapak sekitar 25 tahun."

Perempuan itu memperkenalkan namanya secara tidak langsung.
"Tepat." Kataku. "Tapi orang seumuran saya belum menikah, enggak aneh koq." Kataku lagi.
"Kalau enggak aneh, tentu bapak orang yang rajin. Rajin mencuci baju sendiri, menyetrika, memasak, beres-beres rumah..."
"Saya tidak aneh dan juga tidak rajin beres-beres rumah, mencuci dan lain-lain."
"Terus? Ini kemeja bapak rapih banget. Siapa yang nyuci dan nyetrikanya?"
"Nyuruh orang." Kataku. Roti dan bakpaw itu satu demi satu masuk ke dalam perutku. "Kalau ibu Neneng sudah menikah belum?" Tanyaku.
"Sudah. Tuh hasilnya." Katanya sambil menunjuk anak kecil yang sedang digendong oleh perempuan setengah baya itu.
"Suaminya kerja di mana?"
"Suami saya kerja di Jakarta." Katanya. "Di Tanah Abang, jualan."
"O." Kataku pendek.
"Kadang dia pulang sebulan sekali. Kadang dua minggu sekali. Tidak tentu."
"Kalau suami pulang pasti minta itu ya." Kataku dengan nada sedikit nakal.
"Ya iya lah. Setor uang sama setor pejuh...eh." Neneng kelepasan bicara. Wajahnya yang putih itu kemerahan karena malu.

Aku tertawa.

"Teh Neneng... kopi." Seorang pemuda berusia 20-an memasuki kedai kopi dengan lagak seorang juragan kaya. Dia dengan seenaknya menepuk pantat Neneng yang dibalut celana jeans.
"Eh, kamu teh yang sopan atuh." Kata Neneng dengan kesal. Pemuda itu menyeringai, memamerkan gigi-giginya yang kuning.
"Ah, nepuk sedikit enggak apa-apa atuh." Kata pemuda itu. Dia duduk tidak jauh dari tempat dudukku. "Teh Neneng tambah bahenol aja." Katanya.
"Berisik, Juber." Kata Neneng. "Kamu mau pesen kopi atau cuma ngegodain?"
"Ya, kopi atuh teh."
"Bayar dulu utang yang kemaren, baru aku layanin."
"Deeuuuhh... koq judes. Kangen sama si Aa ya? Sama Juber aja atuh teh kalau kangen mah. Sama aja koq. Sama-sama punya burung... he he he."
"Gandeng siah Juber, tong oces. Bisi dibejakeun ku aing ka pamajikan maneh!" Kata perempuan setengah baya itu dengan nada yang keras.

Belakangan aku nanti akan tahu, kalau kalimat itu menggunakan bahasa Sunda yang kasar, yang artinya kira-kira begini" Diam kamu, Juber. Jangan genit. Nanti aku beritahukan kelakuanmu itu kepada istrimu.

Pemuda yang bernama Juber itu tiba-tiba mengkerut. Dia menerima gelas kopinya sambil berusaha mengelus lengan Neneng. Neneng dengan tangkas menghindar. Sekilas pada saat itu, tatapanku dan tatapan Neneng tiba-tiba saja bertemu. Neneng melengos sambil menyembunyikan senyum.

Hm. Boleh juga. Pikirku.

Juber menumpahkan kopinya ke piring kecil yang menjadi tatakan gelas, dia dengan tergesa menyeruput kopinya. Setelah kopi itu habis, dia buru-buru pergi.
"Teh Neneng kasbon dulu ya." Katanya. Lalu pergi.

Neneng mengelus dada.
"Dasar si Juber kurang ajar." Katanya."Kerjaannya cuma kasbon melulu."

***
(Bersambung)
 
Terakhir diubah:
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd