Sambil menyemburkan asap rokok daun kawungnya, Eyang Jiwo menjelaskan kesalahan yang aku lakukan di Curug Cimahi dan Curug Malela, yakni melakukan persenggamaan terlarang di bawah curug bersama Lena.
"Akibatnya ada dua, Le." Kata Eyang Jiwo. "Pertama, tengah malam ini sampai pagi, kamu akan terksiksa oleh rasa sakit yang luar biasa pada batang kemaluanmu. Untuk sedikit meredakannya, kamu boleh minum 3 biji ketumbar hitam. Sebetulnya, itu bukan untuk meredakan rasa sakit, tapi memberi kekuatan dan daya tahan pada batang kemaluanmu itu. Kamu akan merasa putus asa dan hampa. Kami, saya, Ki Seta, Emen dan Juber, di sini akan terus menjagamu agar kamu tidak melakukan hal-hal yang berbahaya seperti merusak dan menghancurkan dirimu sendiri. Kamu harus sabar dan tabah.
Saya dan Ki Seta secara khusus memohon maaf karena telah melalaikan tugas menjagamu, sehingga kamu melakukan kesalahan dan Emen juga jadi cidera kemarin, walau sekarang dia sudah lumayan dan mengantarmu ke kantor.
Yang kedua, perempuan yang bersamamu itu, dia akan menjauhimu dan melupakanmu. Dia akan sangat sibuk dengan pekerjaannya dari pagi sampai malam. Lalu dia akan meneruskan sekolah dan terus sibuk hingga larut malam. Dia akan melupakan semua lelaki dan menjadi perempuan yang sangat ahli di bidang pekerjaannya... dia akan kehilangan gairah kewanitaannya karena kamu telah mencukupi kebutuhannya sampai 30 tahun ke depan.
Kalau kamu menyayangi perempuan itu, sebaiknya kamu lupakan dia. Kalau kamu mendekatinya, dia akan menyakitimu dengan kata-kata yang tajam. Kamu akan sakit hati. Biarkan saja hal terakhir yang diingatnya darimu adalah keindahan. Jangan dirusak.
Kamu paham, Le?"
Aku terdiam. Merasakan suatu kehampaan yang tiba-tiba datang merayap ke dalam dada sanubariku. Kepalaku mendenyut keras dan tubuhku gemetar.
"Emen! Cepat ambilkan 3 biji ketumbar, sebentar lagi masuk tengah malam." Kata Eyang Suta berteriak. Emen kemudian datang dan menyerahkan 3 biji ketumbar hitam kepadaku. Aku langsung menelannya sekaligus.
***
Mula-mula aku merasa langit-langit itu berputar. Lalu tiba-tiba ada sebuah palu godam menghantam kepalaku. Aku menahan rasa sakit itu dengan tabah. Namun ketika ribuan jarum itu menusuk-nusuk batang kemaluanku, rasa sakitnya membuat gigi-gigiku seakan rontok dan kepala rasanya terbelah.
Aku menjerit-jerit untuk meringankan rasa sakit dan membentur-benturkan kepalaku ke tembok. Seluruh tubuhku seperti dibakar api dan mataku terasa sangat panas. Telingaku mendenging keras seperti dipecut geledek.
Hidungku mengucurkan darah. Seluruh pori-poriku tubuhku mengeluarkan darah.
Rasa sakit yang tak terhingga membuatku pingsan berkali-kali. Seluruh sendi-sendi tulangku rasanya seperti dicabuti dan lepas. Daging dan kulitku serasa disobek-sobek.
Aku menjerit.
Aku melolong.
Aku menggelepar-gelepar dan menjadi gila. Aku ingin mengakhiri hidupku sekarang juga. Kedua tanganku segera mencengkram mulutku sendiri untuk merobeknya. Lalu mencolok mataku untuk menghancurkannya.
Namun tangan-tanganku itu menahanku. Mereka menahanku dengan rasa kasihan dan iba. Mereka memegangi kedua kaki dan kedua tanganku yang tak henti meronta-ronta.
Selangkanganku terasa meledak menjadi serpihan-serpihan cipratan daging dan darah merah. Dadaku meletus. Wajahku pecah. Tulang-tulangku berantakan dan berserakan di mana-mana.
Aku remuk redam di saat fajar. Jiwaku menghilang. Yang tersisa kini cuma pikiranku saja. Pikiranku inilah yang mengatakan kepadaku bahwa aku masih hidup.
Aku masih hidup.
"Marsudi Kasman, you're still alive." Bisikku pada ruang kosong tak bertepi.
***
(Bersambung ke RIMBA ASMARA)