Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG RIMBA ASMARA

Thema apakah yang paling anda gandrungi dalam Sub Forum Cerita Bersambung ini?

  • Hubungan sedarah atau incest, dengan mama atau saudara kandung

    Votes: 316 17,6%
  • Hubungan setengah baya atau MILF, antara yang muda dengan yang tua

    Votes: 239 13,3%
  • Hubungan sex Cukold, eksib, voyeur, mengintip dan di tempat umum

    Votes: 132 7,3%
  • Hubungan sex di kalangan remaja atau SMU/pesantren/sederajat

    Votes: 99 5,5%
  • Hubungan sex di kos-kosan mahasiswa/mahasiswi

    Votes: 85 4,7%
  • Hubungan sex Perkosaan

    Votes: 46 2,6%
  • Hubungan Sex affair di kalangan bisnis atau antar pegawai kantoran

    Votes: 99 5,5%
  • Hubungan sex dengan Bini Orang

    Votes: 159 8,9%
  • Hubungan sex dengan Laki Orang

    Votes: 16 0,9%
  • Hubungan sex di kalangan selebriti Indonesia

    Votes: 80 4,5%
  • Hubungan sex di pedesaan/ di perkampungan

    Votes: 88 4,9%
  • Hubungan sex dengan wanita berhijap/kerudung

    Votes: 332 18,5%
  • Hubungan sex romantis

    Votes: 62 3,5%
  • Scandal sex para politisi atau pejabat

    Votes: 19 1,1%
  • Hubungan sex lesbian/gay

    Votes: 16 0,9%
  • Hubungan sex lainnya

    Votes: 8 0,4%

  • Total voters
    1.796
  • Poll closed .
Status
Please reply by conversation.
Bimabet
Mantap omm.. pinter bgt habis nyicip di tinggal hahah
 
Mantab updatenyam Grace mendapatkan kenangan yang akan membuat dia menyesali perbuatannya selama ini. Swmoga cepat terhibur Grace, selamat promosi Boss Marsudi...

Thanks Suhu updatenya.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
buang ajja kelaut huu,si grace....huna sekali buat di perjuangkan
 
Dari Losmen Kafe, siang itu, aku meluncur menuju ke sebuah kompleks perumahan di Kemang. Menuju sebuah rumah seorang yang memiliki rekening sangat gendut di Bank di mana aku bekerja. Sebut saja namanya Pak Hendri.

Pada akhir tahun 2018 yang lalu, Pak Hendri pernah memintaku untuk mencari suatu bentuk investasi yang aman. Waktu itu aku mengusulkan untuk membeli properti. Sekarang, setelah aku urung membeli rumah Bu Dian, aku akan menawarkan rumah itu kepada Pak Hendri.

Dari mobil, aku menelpon Pak Hendri. Setelah beberapa kali bunyi dering, akhirnya Pak Hendri mengangkat telpon dan dengan pembicaraan yang singkat, dia bersedia menungguku di rumahnya.

Pak Hendri adalah seorang lelaki setengah baya yang ramah. Dia logis dan memiliki tatapan mata yang cerdik. Aku tanpa basa-basi menawarkan rumah Bu Dian dengan harga yang dulu telah kusepakati antara aku dengan Pak Herman, suaminya.
"Itu harga yang wajar." Kata Pak Hendri usai mendengar uraian singkatku. "Tapi aku tidak ingin ribet. Aku akan bayar jika rumah itu sudah atas namaku." Katanya, singkat dan padat.
"Baik. Itu mudah koq." Kataku. "Bank kami punya notaris, bapak tidak perlu khawatir."
"Oke. Kapan kira-kira bisa direalisasikan?"
"Bapak tidak akan melihat kondisi rumahnya dulu?" Kataku balik bertanya.

Pak Hendri tertawa pelan.
"Tidak perlu. Hanya menghabiskan waktu saja. Aku percaya dengan uraianmu dan aku bisa menduga bahwa rumah itu dalam kondisi baik. Mereka, pemiliknya, masih tinggal di situ kan?"
"Betul, Pak."
"Dan mereka menjualnya karena butuh uang cash kan?"
"Iya, Pak."
"Itu cukup bagiku mengambil kesimpulan kalau rumah itu masih baik kondisinya." Pak Hendri memandangku dengan tatapan matanya yang cerdik. Dia tersenyum.

Aku mengangguk-angguk.
"Saya akan realisasikan sore ini juga kalau bapak mau." Kataku.
"Itu yang saya mau. Realisasikan secepatnya. Jika dalam minggu ini selesai, kamu akan dapat uang jasa dariku sebesar 15 juta rupiah." Katanya, yakin.
"Siap, Pak. Walau pun sebenarnya biaya notaris akan ditanggung oleh penjual."
"It's oke. Ini dari aku untuk kamu. Aku mendapatkan harga yang wajar untuk sebuah rumah tanpa bersusah payah... wajar jika aku memberimu imbalan."
"Baik, Pak. Saya permisi."

***

Sore itu aku menelpon Pak Rudy, notaris perusahaan dan memintanya untuk menelpon Pak Herman. Aku meminta Pak Rudi untuk menjelaskan berkas-berkas apa saja yang perlu dipersiapkan untuk transaksi jual beli rumah. Bahkan kalau bisa, Pak Rudy menemui Pak Herman langsung di rumahnya.

Pak Rudy mengiyakan.

Dari rumah Pak Hendri aku langsung pulang, namun setibanya di rumah, Pak Herman menelpon dan memintaku datang ke rumahnya. Pak Herman tidak lupa mengucapkan terimakasih atas upayaku untuk menjualkan rumahnya.

Aku sebenarnya sempat menolak permintaan Pak Herman dengan alasan belum makan. Tapi Pak Herman mendesakku dan mengatakan bahwa Bu Dian sudah mempersiapkan sop kaki kambing untuk tamu-tamunya.

Akhirnya aku mengalah.

Karena merasa badan sudah letih dan merasa malas jika terjebak macet, maka aku memesan taxi online dan segera meluncur ke rumah Pak Herman. Tiba di sana, Pak Rudy dengan kacamata khasnya tengah membolak-balik berkas di ruang tamu. Aku segera bergabung dan menanyakan, sebenarnya ada masalah apa sehingga aku harus hadir di situ.
"Pak Marsudi harus jadi saksi." Kata Pak Rudy dengan wajah dinginnya yang biasa. "Maaf, kalau yang nelpon Pak Herman. Soalnya saya yakin, kalau saya yang nelpon Pak Mar pasti akan menjawab besok."
"Oalah." Keluhku. "Kan bisa besok, Pak. Mana yang harus saya tandatangan?"
"Maaf, Pak Mar. Sudah merepotkan." Kata Pak Herman. "Oh, ya Pak Mar, tadi saya sepakat dengan Pak Rudy bahwa untuk semua keperluan pembiayaan balik nama dan lain-lain, itu angkanya 5% dari harga jual termasuk pajak." Kata Pak Herman.
"Sesuai dengan aturan main saja Pak." Kata Pak Rudy. "Nah, yang ini, yang ini sama yang ini... tolong ditandatangan Pak."
"Baiklah. Saya ikut sepakat jugalah." Kataku sambil menandatangan semua kolom kosong yang ditunjuk.
"Nah, pekerjaan saya, sampai tahap ini selesai." Kata Pak Rudy. "Saya minta permisi."

Pak Rudy memasukkan semua berkas itu ke dalam map lalu memasukkan map itu ke dalam tas kulitnya.
"Loh, Pak Rudy tidak akan makan malam bersama kami di sini?" Kata Pak Herman.
"Tidak, terimakasih. Saya sudah dua tahun dilarang dokter makan segala jenis makanan yang berbahan kambing." Kata Pak Rudy. "Sekarang, Permisi."
"Baiklah, Pak. Terimakasih, hati-hati di jalan." Kata Pak Herman. "Saya dengan berat hati, tidak akan menerima alasan apa pun jika Pak Marsudi ikut juga menolak makan malam bersama kami."
"Tidak, saya tidak akan menolak." Kataku. "Saya tidak mungkin menolak sup kaki kambing yang lezat."
"Oh, syukurlah." Kata Pak Herman.

Beberapa saat kemudian Bu Dian muncul. Dia tinggi ramping dengan buah dada yang besar dan menantang. Apalagi sekarang Bu Dian mengenakan gaun daster dengan belahan sangat rendah. Ah, menggoda saja.
"Sudah selesai, Pah?" Tanya Bu Dian. Sekejap dia mengerling ke arahku.
"Alhamdulillah, Mah. Lancar. Dalam waktu dua tiga hari Papah akan memiliki uang cash untuk menyelesaikan berbagai persoalan hutang piutang perusahaan Papah. Kita juga harus siap-siap pindah rumah."
"Yuk, sekarang kita ke ruang makan, mumpung sopnya masih anget." Kata Bu Dian.

Kami melangkah dari ruang tamu menuju ruang makan. Pak Herman lebih dahulu melangkah, diikuti Bu Dian dan terakhir aku.

Jujur saja aku tidak tahu secara persis bagaimana kejadiannya. Apakah itu suatu kejadian yang disengaja atau tidak disengaja, aku sekali lagi tidak tahu persis. Ketika melangkah di belakang Bu Dian, tiba-tiba saja tangan Bu Dian yang mengayun ke belakang itu persis menyentuh kemaluanku. Dan aku sedikit tersentak ketika jari jemari itu meraupnya dari balik celana panjangku.

Lalu Bu Dian menoleh ke arahku dengan mata melotot.
"Konde!" Katanya dengan keras tanpa sadar. Pak Herman berpaling ke arah Bu Dian dan menanyakan apak maksud ucapannya.
"Anu... Pah... Mamah inget kalau rambut mamah disanggul harus pake konde." Kata Bu Dian dengan wajah pucat.

Aku melengak. Menelan ludah. Bagaimana pun Bu Dian itu seniorku. Dia telah bekerja 5 tahun lebih lama dariku. Sebagai petugas Front Office, Bu Dian mustahil dikatakan tidak memiliki penampilan fisik yang baik. Walau kulitnya agak hitam, tapi hitam manis menurutku, dia memiliki postur tubuh yang sempurna. Kuduga tingginya tidak akan kurang dari 170 dan ukuran BHnya sekitar 34B atau 34C.

Ramping, tinggi dan memiliki buah dada yang besar... ah. Bini orang memang sangat menggoda.

Kami segera menuju ruang makan dan harum sop itu langsung saja menggoda perutku yang kelaparan padahal tadi siang makanku cukup banyak.

Kami makan bertiga, padahal kursi yang disediakan ada empat. Anak laki-laki mereka yang berumur delapan tahun tampak asyik bermain game di ruang tengah menggunakan laptop. Sementara si Bibik setia mengintai di dapur, berjaga-jaga kalau-kalau kami membutuhkan sesuatu.

Sambil ngobrol santai kami makan malam dengan nyaman. Seperti biasa, setiap kali ada obrolan santai, pastilah soal statusku yang bujangan selalu menjadi bahan perbincangan yang menarik bagi orang, termasuk suami istri yang usianya terpaut sepuluh tahun, yang sedang duduk di hadapanku.
"Pertanyaan ini pasti kilse untukmu." Kata Pak Herman. "Mengapa Pak Marsudi masih melajang sampai saat ini."

Aku tertawa pelan menanggapinya.
"Entahlah, mungkin belum ada yang pas untukku." Kataku sambil menyuap potongan besar daging kambing yang lembut.
"Maksudnya 'pas' itu apa Pak Marsudi?" Tanya Bu Dian, sepasang matanya mencorong ke arahku.
"Yah, pas segala-galanya. Pas baiknya, pas cantiknya... pas ada... eh, malah enggak mau."
"Ah, masa enggak ada yang mau sama Pak Marsudi. Masih muda, punya jabatan, ganteng... apalagi yang bisa diharapkan cewek-cewek itu dari seorang lelaki, bukan begitu, Pah?"
"Papah setuju, Mah." Kata Pak Herman, suaranya tenang. Namun ketenangan suaranya terganggu oleh bunyi handphone yang berdering nyaring.

Pak Herman mengambil lap tangan, mengelap tangan dan mulutnya, lalu meraih HPnya.
"Ya, Hallo? Siap Pak Dedi... Oke, oke. Tunggu sebentar, saya lagi ada tamu. Satu menit saja, Pak. Kita Lanjutkan setelah saya mengantar tamu pulang." Katanya. Pak Herman lalu menutup telponnya dan berpaling ke arahku.
"Pak Marsudi, dengan segala hormat, saya tak bisa menemani makan malam sampai selesai, ini ada pembicaraan yang sangat penting dengan rekan bisnis saya."
"Oh, tidak apa-apa, Pak." Kataku. "Tanpa ditemani siapa pun saya bisa menghabiskan seluruh sop kambing ini tanpa sisa."

Pak Herman tertawa lebar.
"Silakan, habiskan saja kalau Pak Marsudi sanggup. Permisi ya." Katanya. "Mah, Papah ke atas dulu ya."
"Iya, Pah. Bikinin kopi jangan?"
"Bikinin." Kata Pak Herman sambil terus melangkah menaiki tangga yang menuju teras loteng.

Setelah Pak Herman pergi, Bu Dian menatapku dengan tatapan yang aneh.
"Yakin Pak Marsudi bisa menghabiskan seluruh sop ini?" Tanya Bu Dian dengan nada penuh tantangan.
"Yakin." Kataku.
"Awas loh daging kambing itu bahaya."
"Ah, enggak koq. Malah sangat bergizi. Gizinya lebih baik dari daging sapi." Kataku.
"Maksud saya bukan itu lo Pak... itu... nanti itunya jadi nakal." Bu Dian berkata dengan sedikit mengikik.
"Rangga enggak nakal koq, Mah!" Tiba-tiba saja anak laki-lakinya Bu Dian yang ternyata bernama Rangga itu, menimpali.
"Sayang... Maksud Mamah bukan kamu." Katanya. Bu Dian kemudian bangkit dari duduknya, berjalan mendekati Rangga dan dengan lembut dia mencium rambut buah hatinya itu. "Rangga enggak nakal, apalagi kalau sekarang berhenti main gamenya dan masuk kamar. Bobo ya sayang."
"Iya, Mah."
"Duh, anak Mamah. Udah ganteng, pinter, nurut lagi. Cun dulu... mmmuuaachhh."

Bu Dian kemudian melangkah menuju dapur dan menyuruh si Bibik membuatkan kopi. Dia kembali lagi ke meja makan dan terkejut sop kambing itu sudah hampir ludes. Aku tak begitu memperhatikan keterkejutan Bu Dian karena sibuk menggerogoti tulang rawan yang terakhir.
"Bu, kalau boleh, mangkok sop Pak Herman juga saya habisin deh. Sayang, masih banyak dagingnya."
"Ya, boleh. Sekalian punya saya juga. Saya sudah kenyang." Kata Bu Dian. Dia kemudian melongok panci sop dan mengeluarkan beberapa gelintir daging yang tersisa dengan sinduk kemudian dimasukkan ke dalam mangkuk sopku.
"Makasih, Bu Dian baik deh."

Beberapa menit kemudian semua daging kambing itu telah berpindah ke dalam perutku. Setelah menenggak segelas besar air jeruk hangat hingga habis, aku pun bersendawa.
"Maaf." Kataku.

Bu Dian tidak menjawab. Dia menatapku dengan sepasang matanya yang seperti terperanjat. Mungkin dia merasa aneh, baru pertama kali melihat ada orang yang sanggup menghabiskan 4 porsi sop kaki kambing. Aku juga tidak aneh. Bu Dian bukan orang pertama yang memandangku seperti itu.

Setelah ikut berkumur, mencuci tangan dan ikut kencing, aku pun bersiap-siap untuk pulang. Aku naik ke teras loteng dan berpamitan kepada Pak Herman yang masih sibuk menelpon. Sekilas, dari teras loteng, aku melihat Grace sedang duduk sendirian di sofa santai.

Kelihatannya dia sedang menangis.

Maafkan Grace, aku akan menghilang dari kehidupanmu. Suatu saat, jika waktu mempertemukan kita lagi, kamu akan tahu bahwa cuma akulah satu-satunya yang sanggup membuat memekmu berbusa oleh lezatnya lendir kenikmatan. ***

Bersambung ke...
Bagian Dua
PEMBINOR
(PEMUAS DAN PENIKMAT BINI ORANG)​
 
Mantab..
Apa nggak habis tu kambing, baru menggas Grace.. kwkwkkwkw



Petualangan baru pun akan segera dimulai..;)

Thanks upnya suhu
:beer:
 
Hahahahah sok suci akhirnya nyesel juga krn dia pikir petualangan dia mencari konti sdh hpir berakhir tp sayang sdh terlambat jahaha
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd