Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG RIMBA ASMARA

Thema apakah yang paling anda gandrungi dalam Sub Forum Cerita Bersambung ini?

  • Hubungan sedarah atau incest, dengan mama atau saudara kandung

    Votes: 316 17,6%
  • Hubungan setengah baya atau MILF, antara yang muda dengan yang tua

    Votes: 239 13,3%
  • Hubungan sex Cukold, eksib, voyeur, mengintip dan di tempat umum

    Votes: 132 7,3%
  • Hubungan sex di kalangan remaja atau SMU/pesantren/sederajat

    Votes: 99 5,5%
  • Hubungan sex di kos-kosan mahasiswa/mahasiswi

    Votes: 85 4,7%
  • Hubungan sex Perkosaan

    Votes: 46 2,6%
  • Hubungan Sex affair di kalangan bisnis atau antar pegawai kantoran

    Votes: 99 5,5%
  • Hubungan sex dengan Bini Orang

    Votes: 159 8,9%
  • Hubungan sex dengan Laki Orang

    Votes: 16 0,9%
  • Hubungan sex di kalangan selebriti Indonesia

    Votes: 80 4,5%
  • Hubungan sex di pedesaan/ di perkampungan

    Votes: 88 4,9%
  • Hubungan sex dengan wanita berhijap/kerudung

    Votes: 332 18,5%
  • Hubungan sex romantis

    Votes: 62 3,5%
  • Scandal sex para politisi atau pejabat

    Votes: 19 1,1%
  • Hubungan sex lesbian/gay

    Votes: 16 0,9%
  • Hubungan sex lainnya

    Votes: 8 0,4%

  • Total voters
    1.796
  • Poll closed .
Status
Please reply by conversation.
Malam semakin larut. Angin dingin menyapa jendela.

"Sebetulnya aku ingin mengatakan banyak hal kepadamu, Jang. Tapi waktuku tidak banyak. Aku harus segera pulang." Kata Eyang Suta dengan suaranya yang tenang. "Intinya aku ingin menyampaikan pesan bahwa 7 Kerbau Jantan dan 7 Kambing Jantan Hitam sudah aku suruh carikan kepada muridku yang lain, namanya Emen. Besok dia akan datang ke sini. Terimalah dia sebagai sopir pribadimu dan sebagai pengawalmu. Sedangkan Juber biarkan dia jadi pembantumu di sini, dia cocok dengan si Onah. Kau memiliki uang yang cukup untuk membiayai semuanya, tak perlu khawatir."

Kulirik Juber, dia mesam-mesem.

"Mungpung masih ada waktu, besok kamu ditemani Si Emen, pergi mencari air di 7 Curug. Simpan di dalam Jambangan Tanah Liat atau Kendi juga boleh, Emen tahu. Biar nanti dia yang memberi tahumu di mana membelinya. Sekalian mencari 7 rupa jenis bunga."
"Saya sudah mendapatkan bunganya, Eyang."
"Hm, apa betul? Coba lihat?"

Aku pergi ke ruang tengah dan mengambil freezer tempat menyimpan bunga, lalu menyerahkannya kepada Eyang Suta.
"Buka kotaknya." Kata Eyang Suta.

Aku pun membuka kotak freezer itu dan membiarkan Eyang Suta memeriksa isinya.
"Ini bagus sekali, Jang. Kamu memetiknya di pinggiran hutan ya?"
"Iya Eyang."
"Kotaknya bagus, saya menyukainya. Bisa untuk menyimpan buah Maja kesukaan aku nih biar tidak cepat busuk. Ini kotak apa namanya, Jang?"
"Namanya Freezer, Eyang."
"Prijer? Nama yang aneh. Kamu cari lagi kotak seperti ini dua ya. Satu untukku dan satu lagi untuk keperluanmu. Besok Aku akan datang lagi ke sini bersama Ki Jiwo Permadi dan Ki Bodho Rogo. Kami akan menjelaskan tatacara ritualnya. Biarkan Juber yang mengatur ruang kerja ini. Sementara itu kamar tidurmu sudah aku amankan dari segala jenis gangguan, jadi kamu bisa tidur dengan tenang di situ. Ke depan, kalau semua urusan sudah selesai, aku akan carikan rumah untukmu yang paling nyaman dan aman. Nah, sekarang aku permisi." Kata Eyang Suta sambil berdiri dari duduknya.
"Khusus untuk kamu Juber, bekerja yang baik. Kalau istrimu minta cerai, luluskan saja. Toh kamu juga sudah tidak bisa menikmatinya lagi setelah mendapatkan sedotan Onah. Untuk Neneng, kamu jangan mencoba terus menundukkannya. Suratan gadis itu berbeda, Juber. Bila Jang Kasman berkenan menidurinya, nasib Neneng akan berubah." Kata Eyang Suta sambil membuka jendela ruang kerja. Dia menatapku sejenak, lalu dengan sekali hentakan dia menembus jendela yang sempit dan ke luar dengan kepala terlebih dahulu.

Ketika aku mendekati jendela untuk melihat ke mana perginya, bayangan Eyang Suta sudah tidak kelihatan lagi.

Jangankan melihat gerak tubuhnya di luar halaman, sedangkan melihat bayangannya saja aku tak dapat.

Tiba-tiba saja aku merasa aneh dengan diriku. Aku merasa hampa dan sunyi. Lalu mengapa juga aku tiba-tiba teringat kepada si Mata Biru itu! Ah, sudahlah. Aku harus tidur. Aku letih.

***

"Juber, aku mau tidur dulu." Kataku.
"Iya, Pak."
"Kamu jangan terlalu berisik di kamar Mak Onah."
"Enggak, Pak. Bukan Juber yang berisik." Juber berkata dengan sepasang matanya yang kecil dan bandel. "Tapi Ceu Onah yang enggak bisa diam."
"Kamu kalau dikasih tahu harusnya nurut, Juber."
"Siap, Pak." Katanya, tapi nadanya kurang serius. "Maaf, Pak. Apa Juber perlu tundukkan Teh Neneng untuk bapak?"
"Tidak, Juber. Tidak perlu."
"Juber cuma menawarkan, Pak. Kalau-kalau Bapak pengen, tinggal bilang aja."
"Sudah sana, periksa pintu-pintu dan mobil." Kataku.
"Tidak perlu, Pak. Semuanya aman." Katanya.

Aku pergi ke kamar dan berbaring di ranjang sunyi. Tapi suara jeritan Mak Onah itu benar-benar mengangguku.
"Juber...ah...ah... terussh sayang... aaaah... Ceuceu sudah enggak kuat... ahkkh... ah... aaakkkkkhhh... Jubeeeeeerrrrrr.... eeenaaaaakkkk...."

Setelah menutup telingaku dengan headphone sambil mendengarkan lagu-lagu slow rock, akhirnya, aku bisa tidur juga.

***

Pagi itu aku dibangunkan Juber yang tampak segar. Kulitnya yang coklat kehitaman itu kelihatan bersih karena sudah mandi. Kudengar dari dapur Mak Onah sedang bersenandung, hatinya kelihatannya riang. Janda tanpa anak berumur 40 tahun itu tampak sibuk membakar sosis ketika aku memasuki dapur. Beberapa tumpuk roti bakar sudah tersedia di meja makan, masih hangat, demikian juga dengan segelas susu murni yang terletak di pinggir tumpukan roti itu.
"Cep, ayo sarapan dulu." Katanya dengan nada yang gembira.
"Kelihatannya Mak Onah lagi ceria nih." Kataku.
"Ah, enggak Cep. Biasa aja."
"Semalem aku mendengar ada perempuan yang menjerit-jerit keenakan... siapa ya Mak?"
"Enggak tahu, Cep. Mungkin tetangga sebelah."
"Oh, begitu ya?"
"Sudah atuh cep, jangan membahas itu. Cepat sarapan dulu, nanti rotinya keburu dingin, enggak enak." Katanya dengan wajah merah. "Katanya hari ini Cep Kasman mau pergi jauh ya?"
"Ya, mungkin jauh mungkin tidak. Aku sendiri belum tau, Mak."
"Tapi kata Juber, katanya Cecep akan bepergian seharian."
"Mungkin, Mak. Sekarang Juber di mana?"
"Lagi nyuci mobil, Cep. Biar nyaman dan aman dipake sama Bapak, begitu katanya."
"Mmm, begitu ya Mak? Apa kalian masih suka berantem?"
"Aduh, Cep. Kapan kita berantem? Enggak pernah koq. Cuma perselisihan dan salah paham kecil, emak dan Juber enggak ada masalah, Cep."
"Syukurlah." Kataku. "Tolong sosisnya, Mak, tambahin lagi."
"Iya, Cep."

Setelah sarapan dan mandi lalu berganti pakaian, Juber memberitahuku kalau Emen sudah tiba dan ada di ruang tamu.

Aku pun melangkah ke ruang tamu.

"Hormat, Bos!" Katanya ketika aku menemuinya di ruang tamu. Aku memperhatikan lelaki bertubuh gempal itu dengan seksama.
"Namamu siapa?" Tanyaku.
"Emen, Bos. Saya disuruh Eyang Suta mengabdi kepada bos. Semoga bos berkenan menerima saya."
"Baiklah. Kamu sudah sarapan belum?"
"Belum, bos."
"Sarapan dulu sana, kalau semuanya sudah siap, kita berangkat."
"Siap, Bos!" Katanya dengan sangat hormat, lalu pergi ke dapur.

Aku sendiri pergi ke ruang kerja dan memeriksa notifikasi HP, baik dari HP yang lama yang belum aku offkan maupun dari HP yang baru. HP baru ini, yang nomornya hanya dikenal oleh beberapa gelintir orang, sengaja kukhususkan untuk pekerjaan kantor. Jadi belum ada notifikasi apa pun.

Notifikasi pertama, dari Bu Dian.
Pak Mar, terimakasih atas bantuannya. Dengan modal hasil penjualan rumah, si Papah langsung mendapat untung sepuluh kali lipat. Padahal baru satu hari loh. Kata Papah komisinya sudah ditransfer. I Miss your konde. Swear.

Notifikasi dari Grace.
Sayang, kamu ke mana aja? Aku ingin merayakan promosi jabatanku menjadi direktur pemasaran yang baru. Aku kangen banget, ih. Sayang jawab yah. Aku selalu menunggumu.

Notifikasi dari Bu Nita.
Mar, aku ditipu mentah-mentah. Kirain jadi Kacab Utama Provinsi Sumut, eh aku malah ditarik ke kementrian. Sialan. Aku ditipu yang menyenangkan. Surprise banget. Karirku jadi naik sayang, senang banget.
Tapi aku tetep kangen kamu, konde.
Tunggu ya kalau enggak sibuk aku pasti mampir ke CCLK. Hanya untuk 30 menit bersamamu.
Forever love, Nita.
(NB Pesan ini akan kuhapus setelah 5 jam)


Aku terdiam. Merenung dan melamun.
"Apakah ini semua bukti seperti yang dikatakan oleh Eyang Suta?" Kataku dalam hati. Entahlah.

***

Emen sebetulnya tidak begitu pendek. Cuma karena badannya gempal, jadi kelihatan seperti pendek. Umurnya 37. Kulitnya coklat terang seperti aku. Rambutnya dipotong sangat pendek, satu senti. Dia sudah menikah dua kali dan menjadi duda dua kali. Tapi anaknya satu, lahir dari perkawinan pertamanya. Emen berasal dari kampung Radaberes, Subang. Secara umum, perawakannya mirip seorang petarung One Pride MMA (Mix Martial Art) yang sering tayang di sebuah stasiun televisi swasta.

Mang Emen menyarankan aku membawa beberapa celana pendek dan celana dalam, handuk, sabun mandi dan shampo. Juga beberapa stel pakaian.

Dia juga menjelaskan 7 curug yang akan didatangi, yang pertama, yang paling dekat tentulah Curug Cinulang. Selanjutnya curug Neglasari Garut, dari Garut balik lagi ke Bandung, ke Curug Dago lalu curug Cimahi.
"Mudah-mudahan terkejar satu hari, Bos." Katanya. "Sekarang kita beli kendi dulu ke Parakan, ke Kampung Cileungit." Katanya.
"Aku ikut rencanamu aja Pak Emen." Kataku.
"Jangan panggil saya Pak, Bos. Panggil saja Mang Emen."
"Baik Mang Emen."
"Jangan lupa, Bos. Siapkan uang cash secukupnya."
"Berapa kira-kira?"
"Mudah-mudahan 15 juta cukup, Bos."
"Sekalian cari ketumbar hitam, Mang."
"Ketumbar hitam saya sudah pesan, Bos. Dari Lahat barangnya. Kalau sudah sampai Bandung, orangnya nanti nelpon. Kita ambil di tempat yang ditentukan dan bayar. Harganya satu once (100gram) 500 ribu."
"Banyak amat, Mang. Kita kan cuma butuh 7 biji."
"Maaf, Bos. Ketumbar hitam banyak gunanya. Terutama untuk kekuatan pria." Kata Mang Emen. "Lagi pula, itu jumlah pesanan minimal, Bos. Tidak boleh kurang dari itu."
"Baiklah, yuk jalan."
"Sebelumnya, saya ingatkan ya Bos, Bos harus mengikuti tatacara yang nanti akan saya sebutkan, sesuai dengan perintah Eyang."
"Ngomong-ngomong, Eyang Suta itu nama lengkapnya apa, Mang? Di mana rumahnya? Umurnya sudah berapa tahun?"
"Nama lengkapnya Eyang Suta Wijaya, rumahnya di gunung Guntur, usianya saya tidak tahu, Bos."
"Baiklah, oke." Kataku. "Kamu dan Juber jadi murid beliau, beliau itu guru apa sih Mang?"
"Guru Kehidupan, Bos. Yuk, siap, kita berangkat."
"Guru kehidupan ya?"
"Iya Bos."
"Hm. Yuk, berangkat." Kataku sambil membuka pintu dan masuk ke dalam mobil.

***

"Jadi tujuan pertama kita adalah curug Cinulang?"
"Iya, Bos. Tapi kita mampir dulu sebentar ke kampung Cileungit untuk membeli kendi yang ada tutupnya."
"Oke, sip."

Sementara mobil melaju, aku membuka HP dan googling mengenai Curug Cinulang ini. Dari sekian banyak artikel tentang Curug Cinulang, aku mengambil kesimpulan, di curug ini ada suatu mitos yang mengatakan bahwa: barang siapa yang mengunjungi curug ini bersama pacarnya, maka menurut mitos ini, mereka akan putus dan tak berjodoh. Sedangkan jika ada orang yang berangkat sendirian, maka ada kemungkinan jodohnya dekat. Demikianlah konon menurut mitos.

Curug Cinulang ini juga ternyata ada lagu khususnya yang berbahasa Sunda, penyanyi aslinya bernama Darso. ( Namanya koq mirip nama Jawa ). Aku lalu mendownload lagu itu dan mencoba mendengarnya dengan baik-baik.

Di Curug Cinulang
Bulan béntang narémbongan
Hawar-hawar aya tembang
Tembang asih tembang kadeudeuh duaan

Di Curug Cinulang
Anjeun ceurik balilihan
Muntang kana panghareupan
Cinta urang mugi asih papanjangan


Reff:
Kabaseuhan cai kahéman
Kacérétan ibun kamelang
Meungkeut pageuh geter rasa kahariwang
Hariwang cinta urang panungtungan


Setelah menanyakan artinya kata demi kata kepada Mang Emen, akhirnya aku mengambil kesimpulan bahwa lagu itu mengisahkan tentang sepasang kekasih yang sedang di landa asmara dan mereka khawatir kalau ikatan cinta mereka akan berakhir.

Hm. Lagu yang cukup sedih.

"Bos, sebentar saya turun dulu." Kata Mang Emen ketika mobil memasuki suatu perkampungan dan berhenti di depan sebuah rumah panggung yang terbuat dari bambu.
"Iya, Mang. Silakan."

Mang Emen ke luar dari mobil dan masuk ke dalam pekarangan rumah itu, dia tidak mengetuk pintunya tapi berjalan mengeliling ke pinggir rumah. Beberapa menit kemudian Mang Emen ke luar dari jalan yang sama sambil memeluk dua buah kendi bertutup dengan kedua tangannya. Masing-masing tangan memeluk satu kendi.

Mang Emen diikuti oleh seorang kakek tua yang membawa kendi dengan cara yang sama.

Mereka menuju ke belakang mobil dan menyimpannya di bagasi. Aku berbalik dan berdiri di atas lututku untuk melihat kendi-kendi itu, ternyata Mang Emen telah membuat semacam kotak kayu sederhana yang bentuknya memanjang. Kotak itu disekat-sekat menjadi tujuh kotak kecil yang berbentuk bujur sangkar. Kendi-kendi tepat masuk ke dalam kotak-kotak itu hingga yang tersisa cuma lehernya.
"Kapan Mang Emen bikin kotak kayu triplek ini, Mang?" Tanyaku.
"Kemarin Bos, waktu Eyang Suta menyuruh saya menghadap kepada Bos."
"Oh."

Seteleah selesai dengan kendi-kendi itu, Mang Emen kemudian meminta uang sebesar 700 ribu untuk membayar kendi-kendi itu. Aku lalu memberi Mang Emen uang dua juta rupiah dan memintanya menyimpan sisa uang itu untuk berbagai keperluan. Sehingga dia tidak perlu bolak-balik minta uang kepadaku.

Dari kampung Cileungit perjalanan menuju Curug Cinulang hanya memakan waktu 15 menit.

***
(Bersambung)
 
Terakhir diubah:
Malam semakin larut. Angin dingin menyapa jendela.

"Sebetulnya aku ingin mengatakan banyak hal kepadamu, Jang. Tapi waktuku tidak banyak. Aku harus segera pulang." Kata Eyang Suta dengan suaranya yang tenang. "Intinya aku ingin menyampaikan pesan bahwa 7 Kerbau Jantan dan 7 Kambing Jantan Hitam sudah aku suruh carikan kepada muridku yang lain, namanya Emen. Besok dia akan datang ke sini. Terimalah dia sebagai sopir pribadimu dan sebagai pengawalmu. Sedangkan Juber biarkan dia jadi pembantumu di sini, dia cocok dengan si Onah. Kau memiliki uang yang cukup untuk membiayai semuanya, tak perlu khawatir."

Kulirik Juber, dia mesam-mesem.

"Mungpung masih ada waktu, besok kamu ditemani Si Emen, pergi mencari air di 7 Curug. Simpan di dalam Jambangan Tanah Liat atau Kendi juga boleh, Emen tahu. Biar nanti dia yang memberi tahumu di mana membelinya. Sekalian mencari 7 rupa jenis bunga."
"Saya sudah mendapatkan bunganya, Eyang."
"Hm, apa betul? Coba lihat?"

Aku pergi ke ruang tengah dan mengambil freezer tempat menyimpan bunga, lalu menyerahkannya kepada Eyang Suta.
"Buka kotaknya." Kata Eyang Suta.

Aku pun membuka kotak freezer itu dan membiarkan Eyang Suta memeriksa isinya.
"Ini bagus sekali, Jang. Kamu memetiknya di pinggiran hutan ya?"
"Iya Eyang."
"Kotaknya bagus, saya menyukainya. Bisa untuk menyimpan buah Maja kesukaan aku nih biar tidak cepat busuk. Ini kotak apa namanya, Jang?"
"Namanya Freezer, Eyang."
"Prijer? Nama yang aneh. Kamu cari lagi kotak seperti ini dua ya. Satu untukku dan satu lagi untuk keperluanmu. Besok Aku akan datang lagi ke sini bersama Ki Jiwo Permadi dan Ki Bodho Rogo. Kami akan menjelaskan tatacara ritualnya. Biarkan Juber yang mengatur ruang kerja ini. Sementara itu kamar tidurmu sudah aku amankan dari segala jenis gangguan, jadi kamu bisa tidur dengan tenang di situ. Ke depan, kalau semua urusan sudah selesai, aku akan carikan rumah untukmu yang paling nyaman dan aman. Nah, sekarang aku permisi." Kata Eyang Suta sambil berdiri dari duduknya.
"Khusus untuk kamu Juber, bekerja yang baik. Kalau istrimu minta cerai, luluskan saja. Toh kamu juga sudah tidak bisa menikmatinya lagi setelah mendapatkan sedotan Onah. Untuk Neneng, kamu jangan mencoba terus menundukkannya. Suratan gadis itu berbeda, Juber. Bila Jang Kasman berkenan menidurinya, nasib Neneng akan berubah." Kata Eyang Suta sambil membuka jendela ruang kerja. Dia menatapku sejenak, lalu dengan sekali hentakan dia menembus jendela yang sempit dan ke luar dengan kepala terlebih dahulu.

Ketika aku mendekati jendela untuk melihat ke mana perginya, bayangan Eyang Suta sudah tidak kelihatan lagi.

Jangankan melihat gerak tubuhnya di luar halaman, sedangkan melihat bayangannya saja aku tak dapat.

Tiba-tiba saja aku merasa aneh dengan diriku. Aku merasa hampa dan sunyi. Lalu mengapa juga aku tiba-tiba teringat kepada si Mata Biru itu! Ah, sudahlah. Aku harus tidur. Aku letih.

***

"Juber, aku mau tidur dulu." Kataku.
"Iya, Pak."
"Kamu jangan terlalu berisik di kamar Mak Onah."
"Enggak, Pak. Bukan Juber yang berisik." Juber berkata dengan sepasang matanya yang kecil dan bandel. "Tapi Ceu Onah yang enggak bisa diam."
"Kamu kalau dikasih tahu harusnya nurut, Juber."
"Siap, Pak." Katanya, tapi nadanya kurang serius. "Maaf, Pak. Apa Juber perlu tundukkan Teh Neneng untuk bapak?"
"Tidak, Juber. Tidak perlu."
"Juber cuma menawarkan, Pak. Kalau-kalau Bapak pengen, tinggal bilang aja."
"Sudah sana, periksa pintu-pintu dan mobil." Kataku.
"Tidak perlu, Pak. Semuanya aman." Katanya.

Aku pergi ke kamar dan berbaring di ranjang sunyi. Tapi suara jeritan Mak Onah itu benar-benar mengangguku.
"Juber...ah...ah... terussh sayang... aaaah... Ceuceu sudah enggak kuat... ahkkh... ah... aaakkkkkhhh... Jubeeeeeerrrrrr.... eeenaaaaakkkk...."

Setelah menutup telingaku dengan headphone sambil mendengarkan lagu-lagu slow rock, akhirnya, aku bisa tidur juga.

***

Pagi itu aku dibangunkan Juber yang tampak segar. Kulitnya yang coklat kehitaman itu kelihatan bersih karena sudah mandi. Kudengar dari dapur Mak Onah sedang bersenandung, hatinya kelihatannya riang. Janda tanpa anak berumur 40 tahun itu tampak sibuk membakar sosis ketika aku memasuki dapur. Beberapa tumpuk roti bakar sudah tersedia di meja makan, masih hangat, demikian juga dengan segelas susu murni yang terletak di pinggir tumpukan roti itu.
"Cep, ayo sarapan dulu." Katanya dengan nada yang gembira.
"Kelihatannya Mak Onah lagi ceria nih." Kataku.
"Ah, enggak Cep. Biasa aja."
"Semalem aku mendengar ada perempuan yang menjerit-jerit keenakan... siapa ya Mak?"
"Enggak tahu, Cep. Mungkin tetangga sebelah."
"Oh, begitu ya?"
"Sudah atuh cep, jangan membahas itu. Cepat sarapan dulu, nanti rotinya keburu dingin, enggak enak." Katanya dengan wajah merah. "Katanya hari ini Cep Kasman mau pergi jauh ya?"
"Ya, mungkin jauh mungkin tidak. Aku sendiri belum tau, Mak."
"Tapi kata Juber, katanya Cecep akan bepergian seharian."
"Mungkin, Mak. Sekarang Juber di mana?"
"Lagi nyuci mobil, Cep. Biar nyaman dan aman dipake sama Bapak, begitu katanya."
"Mmm, begitu ya Mak? Apa kalian masih suka berantem?"
"Aduh, Cep. Kapan kita berantem? Enggak pernah koq. Cuma perselisihan dan salah paham kecil, emak dan Juber enggak ada masalah, Cep."
"Syukurlah." Kataku. "Tolong sosisnya, Mak, tambahin lagi."
"Iya, Cep."

Setelah sarapan dan mandi lalu berganti pakaian, Juber memberitahuku kalau Emen sudah tiba dan ada di ruang tamu.

Aku pun melangkah ke ruang tamu.

"Hormat, Bos!" Katanya ketika aku menemuinya di ruang tamu. Aku memperhatikan lelaki bertubuh gempal itu dengan seksama.
"Namamu siapa?" Tanyaku.
"Emen, Bos. Saya disuruh Eyang Suta mengabdi kepada bos. Semoga bos berkenan menerima saya."
"Baiklah. Kamu sudah sarapan belum?"
"Belum, bos."
"Sarapan dulu sana, kalau semuanya sudah siap, kita berangkat."
"Siap, Bos!" Katanya dengan sangat hormat, lalu pergi ke dapur.

Aku sendiri pergi ke ruang kerja dan memeriksa notifikasi HP, baik dari HP yang lama yang belum aku offkan maupun dari HP yang baru. HP baru ini, yang nomornya hanya dikenal oleh beberapa gelintir orang, sengaja kukhususkan untuk pekerjaan kantor. Jadi belum ada notifikasi apa pun.

Notifikasi pertama, dari Bu Dian.
Pak Mar, terimakasih atas bantuannya. Dengan modal hasil penjualan rumah, si Papah langsung mendapat untung sepuluh kali lipat. Padahal baru satu hari loh. Kata Papah komisinya sudah ditransfer. I Miss your konde. Swear.

Notifikasi dari Grace.
Sayang, kamu ke mana aja? Aku ingin merayakan promosi jabatanku menjadi direktur pemasaran yang baru. Aku kangen banget, ih. Sayang jawab yah. Aku selalu menunggumu.

Notifikasi dari Bu Nita.
Mar, aku ditipu mentah-mentah. Kirain jadi Kacab Utama Provinsi Sumut, eh aku malah ditarik ke kementrian. Sialan. Aku ditipu yang menyenangkan. Surprise banget. Karirku jadi naik sayang, senang banget.
Tapi aku tetep kangen kamu, konde.
Tunggu ya kalau enggak sibuk aku pasti mampir ke CCLK. Hanya untuk 30 menit bersamamu.
Forever love, Nita.
(NB Pesan ini akan kuhapus setelah 5 jam)


Aku terdiam. Merenung dan melamun.
"Apakah ini semua bukti seperti yang dikatakan oleh Eyang Suta?" Kataku dalam hati. Entahlah.

***

Emen sebetulnya tidak begitu pendek. Cuma karena badannya gempal, jadi kelihatan seperti pendek. Umurnya 37. Kulitnya coklat terang seperti aku. Rambutnya dipotong sangat pendek, satu senti. Dia sudah menikah dua kali dan menjadi duda dua kali. Tapi anaknya satu, lahir dari perkawinan pertamanya. Emen berasal dari kampung Radaberes, Subang. Secara umum, perawakannya mirip seorang petarung One Pride MMA (Mix Martial Art) yang sering tayang di sebuah stasiun televisi swasta.

Mang Emen menyarankan aku membawa beberapa celana pendek dan celana dalam, handuk, sabun mandi dan shampo. Juga beberapa stel pakaian.

Dia juga menjelaskan 7 curug yang akan didatangi, yang pertama, yang paling dekat tentulah Curug Cinulang. Selanjutnya curug Neglasari Garut, dari Garut balik lagi ke Bandung, ke Curug Dago lalu curug Cimahi.
"Mudah-mudahan terkejar satu hari, Bos." Katanya. "Sekarang kita beli kendi dulu ke Parakan, ke Kampung Cileungit." Katanya.
"Aku ikut rencanamu aja Pak Emen." Kataku.
"Jangan panggil saya Pak, Bos. Panggil saja Mang Emen."
"Baik Mang Emen."
"Jangan lupa, Bos. Siapkan uang cash secukupnya."
"Berapa kira-kira?"
"Mudah-mudahan 15 juta cukup, Bos."
"Sekalian cari ketumbar hitam, Mang."
"Ketumbar hitam saya sudah pesan, Bos. Dari Lahat barangnya. Kalau sudah sampai Bandung, orangnya nanti nelpon. Kita ambil di tempat yang ditentukan dan bayar. Harganya satu once (100gram) 500 ribu."
"Banyak amat, Mang. Kita kan cuma butuh 7 biji."
"Maaf, Bos. Ketumbar hitam banyak gunanya. Terutama untuk kekuatan pria." Kata Mang Emen. "Lagi pula, itu jumlah pesanan minimal, Bos. Tidak boleh kurang dari itu."
"Baiklah, yuk jalan."
"Sebelumnya, saya ingatkan ya Bos, Bos harus mengikuti tatacara yang nanti akan saya sebutkan, sesuai dengan perintah Eyang."
"Ngomong-ngomong, Eyang Suta itu nama lengkapnya apa, Mang? Di mana rumahnya? Umurnya sudah berapa tahun?"
"Nama lengkapnya Eyang Suta Wijaya, rumahnya di gunung Guntur, usianya saya tidak tahu, Bos."
"Baiklah, oke." Kataku. "Kamu dan Juber jadi murid beliau, beliau itu guru apa sih Mang?"
"Guru Kehidupan, Bos. Yuk, siap, kita berangkat."
"Guru kehidupan ya?"
"Iya Bos."
"Hm. Yuk, berangkat." Kataku sambil membuka pintu dan masuk ke dalam mobil.

***

"Jadi tujuan pertama kita adalah curug Cinulang?"
"Iya, Bos. Tapi kita mampir dulu sebentar ke kampung Cileungit untuk membeli kendi yang ada tutupnya."
"Oke, sip."

Sementara mobil melaju, aku membuka HP dan googling mengenai Curug Cinulang ini. Dari sekian banyak artikel tentang Curug Cinulang, aku mengambil kesimpulan, di curug ini ada suatu mitos yang mengatakan bahwa: barang siapa yang mengunjungi curug ini bersama pacarnya, maka menurut mitos ini, mereka akan putus dan tak berjodoh. Sedangkan jika ada orang yang berangkat sendirian, maka ada kemungkinan jodohnya dekat. Demikianlah konon menurut mitos.

Curug Cinulang ini juga ternyata ada lagu khususnya yang berbahasa Sunda, penyanyi aslinya bernama Darso. ( Namanya koq mirip nama Jawa ). Aku lalu mendownload lagu itu dan mencoba mendengarnya dengan baik-baik.

Di Curug Cinulang
Bulan béntang narémbongan
Hawar-hawar aya tembang
Tembang asih tembang kadeudeuh duaan

Di Curug Cinulang
Anjeun ceurik balilihan
Muntang kana panghareupan
Cinta urang mugi asih papanjangan


Reff:
Kabaseuhan cai kahéman
Kacérétan ibun kamelang
Meungkeut pageuh geter rasa kahariwang
Hariwang cinta urang panungtungan


Setelah menanyakan artinya kata demi kata kepada Mang Emen, akhirnya aku mengambil kesimpulan bahwa lagu itu mengisahkan tentang sepasang kekasih yang sedang di landa asmara dan mereka khawatir kalau ikatan cinta mereka akan berakhir.

Hm. Lagu yang cukup sedih.

"Bos, sebentar saya turun dulu." Kata Mang Emen ketika mobil memasuki suatu perkampungan dan berhenti di depan sebuah rumah panggung yang terbuat dari bambu.
"Iya, Mang. Silakan."

Mang Emen ke luar dari mobil dan masuk ke dalam pekarangan rumah itu, dia tidak mengetuk pintunya tapi berjalan mengeliling ke pinggir rumah. Beberapa menit kemudian Mang Emen ke luar dari jalan yang sama sambil memeluk dua buah kendi bertutup dengan kedua tangannya. Masing-masing tangan memeluk satu kendi.

Mang Emen diikuti oleh seorang kakek tua yang membawa kendi dengan cara yang sama.

Mereka menuju ke belakang mobil dan menyimpannya di bagasi. Aku berbalik dan berdiri di atas lututku untuk melihat kendi-kendi itu, ternyata Mang Emen telah membuat semacam kotak kayu sederhana yang bentuknya memanjang. Kotak itu disekat-sekat menjadi tujuh kotak kecil yang berbentuk bujur sangkar. Kendi-kendi tepat masuk ke dalam kotak-kotak itu hingga yang tersisa cuma lehernya.
"Kapan Mang Emen bikin kotak kayu triplek ini, Mang?" Tanyaku.
"Kemarin Bos, waktu Eyang Suta menyuruh saya menghadap kepada Bos."
"Oh."

Seteleah selesai dengan kendi-kendi itu, Mang Emen kemudian meminta uang sebesar 700 ribu untuk membayar kendi-kendi itu. Aku lalu memberi Mang Emen uang dua juta rupiah dan memintanya menyimpan sisa uang itu untuk berbagai keperluan. Sehingga dia tidak perlu bolak-balik minta uang kepadaku.

Dari kampung Cileungit perjalanan menuju Curug Cinulang hanya memakan waktu 15 menit.

***
(Bersambung)
Asyik nih ...ada misterinya
 
Rasanya aku tak perlu juga mendeskripsikan Curug Cinulang secara detil, enggak begitu perlu. Tempatnya adem dan alami. Pemandangannya bagus. Itu saja.

Aku diminta oleh Mang Emen untuk melepaskan baju di mobil dan hanya memakai celana pendek katun ke curug sambil memeluk kendi yang tutupnya sudah dibuka. Ketika melangkah menuju curug, cipratan air dari curug yang dingin menerpa tubuhku. Seketika membuat pori-pori seluruh tubuhku menjadi berdiri.

Mang Emen memakai celana pendek bersaku dan kaos singlet, dia menuntunku menyusuri batu-batu untuk menuju jeram tertentu yang menurutnya tepat. Tiba di titik tertentu air terjun, aku disuruh berdiri di bawah siraman air sambil memeluk kendi dan menghadap ke arah tebing batu. Apabila air kendi itu sudah penuh, maka aku diperbolehkan ke luar dari siraman air curug tersebut.

Jadi, sesuai perintah, aku melangkah pelahan menuju hujaman air terjun itu.

Saat itu masih pagi, para wisatawan lokal belum banyak yang berdatangan. Aku cukup tenang menghadapi hujaman air terjun yang cukup pedas menerpa pundak dan kepalaku.

Sekejap kulihat Mang Emen berjongkok di atas sebuah batu yang cukup besar yang terletak di sebelah kiriku. Tampaknya, sambil merokok dan memeluk handuk, dia terus mengawasiku.

***

Tak ada yang aneh pada menit-menit pertama. Rasa sakit hujaman air terjun itu kuanggap sebagai pijatan pada tubuhku. Namun lama kelamaan, kepalaku seperti berdenyut menahan terjangan air terjun dan pundakku terasa perih.
"Tahan, Bos. Tahan." Kata Mang Emen menyemangatiku.

Entah mengapa aku tiba-tiba merasa tersinggung dengan kata-kata Mang Emen, padahal kata-kata yang diucapkannya bermaksud mendukungku secara penuh. Emosi yang muncul tiba-tiba itu kuredam. Lalu mendadak perasaan lain datang, semacam perasaan hampa dan merasa sia-sia.
"Elo ngapain ngerjain kayak beginian, Tong." Kata sebuah suara, entah dari mana. Mungkin dari kedalaman hatiku. "Udeh, ke luar aje. Udah penuh tuh kendi."

Aku melirik ke arah mulut kendi tapi isinya masih kosong atau setidak-tidaknya baru terisi di bagian bawahnya saja. Belum ada tanda-tanda penuh. Lalu kulihat di dinding tebing ada bayangan Grace sedang tersenyum, dia berlari ke arahku dan mengembangkan kedua tangannya minta pelukan.
"Jangan dilepas kendinya, Bos. Pegang yang kuat."

Bayangan Grace menghilang dan kendi itu tiba-tiba beratnya menjadi ratusan ton. Otot-otot bisep pada lenganku terasa mau putus. Pegal dan nyeri.

Aku bertahan.

Beberapa saat kemudian kulihat mulut kendi itu mulai tampak berisi air. Secara pelahan dan diam-diam, datang merayap suatu hawa panas yang dimulai dari telapak kakiku. Lalu naik ke betis seperti mencubit-cubit. Aku mengeluh. Ketika hawa panas itu naik ke paha dan menyelusup masuk ke dalam batang kemaluanku, aku merasakan kesakitan yang luar biasa.
"Tahan, Bos. Tahan." Samar kudengar suara Mang Emen seperti dikejauhan.

Rasa sakit itu adalah rasa sakit yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Batang kemaluanku rasanya seperti ditusuki oleh ribuan jarum. Aku menggigit bibir untuk menahan rasa sakit itu dan aku merasa bibirku berdarah. Sebab aku merasakan rasa asin, yang kemungkinan berasal dari darahku. Tapi tiba-tiba rasa asin itu berubah menjadi rasa manis. Lalu menghilang, entah ke mana, seiring dengan hilangnya rasa sakit di kemaluanku. Lalu hawa panas itu menyelusup ke dalam perutku.

Aku ingin muntah.

Perutku terasa panas dan mual, kutahan dengan sekuat tenaga. Namun ketika hawa panas itu menjalar ke dada, aku benar-benar merasa kesakitan. Sepertinya aku menjerit menahan rasa sesak yang sangat luar biasa. Dadaku seperti dihimpit oleh dua lempeng baja yang keras dan tajam. Dan aku nyaris menjatuhkan kendi yang kupeluk.

Aku melihat kendi itu mulai penuh dengan air ketika hawa panas menjalari wajahku dan tiba-tiba saja pandanganku menjadi gelap. Kubuka mataku selebar-lebarnya tapi tetap saja aku tak bisa melihat apa pun. Gelap. Semuanya gelap.
"Aku buta." Kataku.
"Aku buta!" Teriakku.
"Mang, aku buta! Aku tidak bisa melihat!" Aku berteriak.

Tapi aku ternyata juga tidak bisa mendengar suaraku.
"Aku tuli. Aku juga tuli." Kataku. "Aaaaaaaaaaaaaaa!!!!!!!!" Aku berteriak sekuatnya. Tapi telingaku tak mendengar apa pun.

Secara mendadak gelombang ketakutan yang sangat aneh menerjang pikiranku. Aku dicekam oleh rasa was-was yang berloncatan bagai pijaran lelatu api pada kembang api.

Kemudian secara mendadak, semuanya hening.
"Bos, sudah, Bos. Sudah penuh."

Suara Mang Emen menyadarkanku dan aku merasa seperti diriku sendiri lagi. Kini aku sadar sedang berada di bawah hujaman air terjun dan kulihat air di mulut kendi sudah penuh.
"Selesai, Bos." Kata Mang Emen.

Aku cepat ke luar dari curahan air terjun dan mendekati Mang Emen. Kudengar beberapa wisatawan yang sudah datang, terutama perempuan, menjerit-jerit.
"Cepat Bos sinikan kendinya. Pake handuk, Bos, cepat."

Aku santai saja mendekati Mang Emen dan menyerahkan kendi itu. Rasanya tubuh terasa enteng. Kulihat wajah Mang Emen mempamerkan suatu ekspresi gembira dan lucu.
"Cepat Bos, pake handuknya." Katanya. "Itu ibu-ibu banyak menjerit-jerit."

Aku merasa heran dengan kata-kata Mang Emen. Namun rasa heranku berubah begitu melihat celana pendek katun dan celana dalamku mengapung-apung di aliran air dan tersangkut pada sebuah batu.

Dengan sigap dan cepat kurebut handuk dari tangan Mang Emen dan melilitkannya ke pinggangku. Sambil menutup mulut kendi dengan tutupnya yang juga terbuat dari tanah liat, Mang Emen tak segan memperlihatkan senyum nyengirnya kepadaku.
"Siap, Bos. Hormat, Bos. Naga."
"Apa maksudnya, Mang?"
"Naga Bos. Bentuknya seperti naga." Katanya.
"Sudah. Kamu enggak tahu aku merasa risih?"
"Iya Bos, risih Bos. Itu ibu-ibu pada ngelihatin Bos terus."

Aku cepat memungut celana pendek dan celana dalamku yang tersangkut di bebatuan, lalu berjalan menunduk melewati sejumlah wisatawan ibu-ibu yang memandangiku seperti dengan tanpa kedip.

Beberapa kata-kata nakal sempat juga hinggap di telingaku dari mulut ibu-ibu itu.
"Pentungannya bagus, pinjem dong mau dicobain di rumah." Katanya.

Hadeuh.

Aku cepat masuk ke dalam mobil dan meminta Mang Emen untuk segera berangkat.

***

Aku mengeringkan badan di dalam mobil yang melaju dengan kecepatan sedang. Mang Emen mengendarai mobil dengan sangat halus. Kelihatannya dia adalah sopir yang berpengalaman.
"Kita langsung ke Pameungpeuk, Bos."
"Bukannya mau ke Garut?"
"Iya Bos, ke Garut. Kita menuju Curug Neglasari." Katanya. "Tadi bagaimana rasanya, Bos? Menyenangkan?"
"Pengalaman yang sangat aneh, Mang." Kataku sambil mengenakan celana dalam, lalu mengambil celana pendek dan memperhatikan tali karet elastisnya. "Mudah-mudahan yang ini enggak merosot."

Terdengar suara tawa pelan Mang Emen.

"Kelihatannya tadi Bos seperti menahan rasa sakit."
"Begitulah, Mang. Hujaman air curug ternyata tajam juga ya."
"Bos juga tadi berteriak-teriak tidak jelas."
"Begitu ya, Mang?"
"Iya Bos."

Aku menyusupkan kaos ke dalam kepalaku dan mengenakannya.
"Apalagi yang kamu lihat dan dengar, Mang?"
"Takkan sebanyak yang Bos dengar dan lihat, Bos."

Aku tertawa. Kering.
"Mang, sebetulnya tadi adalah pengalaman yang paling aneh yang pernah aku alami." Kataku.
"Siap-siap, Bos. Mungkin nanti di Garut akan lebih aneh lagi."
"Dari mana Mang Emen tau?"
"Saya diwanti-wanti Eyang, jangan sampai Bos mengalami hal-hal yang tidak diinginkan."
"Seperti apa misalnya, Mang?"
"Menurut Eyang, beberapa saat setelah berada di bawah curahan air curug, hal yang paling tidak diinginkan dan perlu diwaspadai adalah bos ke luar dari curug dan berlari pergi. Tugas saya untuk menangkap Bos dan mengembalikan kesadaran Bos."
"Benarkah?"
"Benar tidaknya saya tidak tahu, Bos. Bos sendiri bagaimana tadi perasaannya?"
"Bisa saja benar, Mang. Bisa saja. Memang tadi perasaan saya juga merasa sangat aneh."
"Pokoknya saya sudah disiapkan untuk menghadapi segala kemungkinan yang terburuk, Bos." Kata Mang Emen sambil matanya terus mengawasi jalanan di depannya. "Pokoknya Bos, jangan pernah menyerah."
"Betul, Mang. Aku tidak akan mudah menyerah."
"Berjuang sampai titik rasa sakit yang tersakit." Kata Mang Emen. "Bos jangan khawatir Mang Emen selalu ada di samping Bos."
"Terimakasih, Mang."
"Siap, Bos. Sama-sama."

***

(Bersambung)
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd