Malam semakin larut. Angin dingin menyapa jendela.
"Sebetulnya aku ingin mengatakan banyak hal kepadamu, Jang. Tapi waktuku tidak banyak. Aku harus segera pulang." Kata Eyang Suta dengan suaranya yang tenang. "Intinya aku ingin menyampaikan pesan bahwa 7 Kerbau Jantan dan 7 Kambing Jantan Hitam sudah aku suruh carikan kepada muridku yang lain, namanya Emen. Besok dia akan datang ke sini. Terimalah dia sebagai sopir pribadimu dan sebagai pengawalmu. Sedangkan Juber biarkan dia jadi pembantumu di sini, dia cocok dengan si Onah. Kau memiliki uang yang cukup untuk membiayai semuanya, tak perlu khawatir."
Kulirik Juber, dia mesam-mesem.
"Mungpung masih ada waktu, besok kamu ditemani Si Emen, pergi mencari air di 7 Curug. Simpan di dalam Jambangan Tanah Liat atau Kendi juga boleh, Emen tahu. Biar nanti dia yang memberi tahumu di mana membelinya. Sekalian mencari 7 rupa jenis bunga."
"Saya sudah mendapatkan bunganya, Eyang."
"Hm, apa betul? Coba lihat?"
Aku pergi ke ruang tengah dan mengambil freezer tempat menyimpan bunga, lalu menyerahkannya kepada Eyang Suta.
"Buka kotaknya." Kata Eyang Suta.
Aku pun membuka kotak freezer itu dan membiarkan Eyang Suta memeriksa isinya.
"Ini bagus sekali, Jang. Kamu memetiknya di pinggiran hutan ya?"
"Iya Eyang."
"Kotaknya bagus, saya menyukainya. Bisa untuk menyimpan buah Maja kesukaan aku nih biar tidak cepat busuk. Ini kotak apa namanya, Jang?"
"Namanya Freezer, Eyang."
"Prijer? Nama yang aneh. Kamu cari lagi kotak seperti ini dua ya. Satu untukku dan satu lagi untuk keperluanmu. Besok Aku akan datang lagi ke sini bersama Ki Jiwo Permadi dan Ki Bodho Rogo. Kami akan menjelaskan tatacara ritualnya. Biarkan Juber yang mengatur ruang kerja ini. Sementara itu kamar tidurmu sudah aku amankan dari segala jenis gangguan, jadi kamu bisa tidur dengan tenang di situ. Ke depan, kalau semua urusan sudah selesai, aku akan carikan rumah untukmu yang paling nyaman dan aman. Nah, sekarang aku permisi." Kata Eyang Suta sambil berdiri dari duduknya.
"Khusus untuk kamu Juber, bekerja yang baik. Kalau istrimu minta cerai, luluskan saja. Toh kamu juga sudah tidak bisa menikmatinya lagi setelah mendapatkan sedotan Onah. Untuk Neneng, kamu jangan mencoba terus menundukkannya. Suratan gadis itu berbeda, Juber. Bila Jang Kasman berkenan menidurinya, nasib Neneng akan berubah." Kata Eyang Suta sambil membuka jendela ruang kerja. Dia menatapku sejenak, lalu dengan sekali hentakan dia menembus jendela yang sempit dan ke luar dengan kepala terlebih dahulu.
Ketika aku mendekati jendela untuk melihat ke mana perginya, bayangan Eyang Suta sudah tidak kelihatan lagi.
Jangankan melihat gerak tubuhnya di luar halaman, sedangkan melihat bayangannya saja aku tak dapat.
Tiba-tiba saja aku merasa aneh dengan diriku. Aku merasa hampa dan sunyi. Lalu mengapa juga aku tiba-tiba teringat kepada si Mata Biru itu! Ah, sudahlah. Aku harus tidur. Aku letih.
***
"Juber, aku mau tidur dulu." Kataku.
"Iya, Pak."
"Kamu jangan terlalu berisik di kamar Mak Onah."
"Enggak, Pak. Bukan Juber yang berisik." Juber berkata dengan sepasang matanya yang kecil dan bandel. "Tapi Ceu Onah yang enggak bisa diam."
"Kamu kalau dikasih tahu harusnya nurut, Juber."
"Siap, Pak." Katanya, tapi nadanya kurang serius. "Maaf, Pak. Apa Juber perlu tundukkan Teh Neneng untuk bapak?"
"Tidak, Juber. Tidak perlu."
"Juber cuma menawarkan, Pak. Kalau-kalau Bapak pengen, tinggal bilang aja."
"Sudah sana, periksa pintu-pintu dan mobil." Kataku.
"Tidak perlu, Pak. Semuanya aman." Katanya.
Aku pergi ke kamar dan berbaring di ranjang sunyi. Tapi suara jeritan Mak Onah itu benar-benar mengangguku.
"Juber...ah...ah... terussh sayang... aaaah... Ceuceu sudah enggak kuat... ahkkh... ah... aaakkkkkhhh... Jubeeeeeerrrrrr.... eeenaaaaakkkk...."
Setelah menutup telingaku dengan headphone sambil mendengarkan lagu-lagu slow rock, akhirnya, aku bisa tidur juga.
***
Pagi itu aku dibangunkan Juber yang tampak segar. Kulitnya yang coklat kehitaman itu kelihatan bersih karena sudah mandi. Kudengar dari dapur Mak Onah sedang bersenandung, hatinya kelihatannya riang. Janda tanpa anak berumur 40 tahun itu tampak sibuk membakar sosis ketika aku memasuki dapur. Beberapa tumpuk roti bakar sudah tersedia di meja makan, masih hangat, demikian juga dengan segelas susu murni yang terletak di pinggir tumpukan roti itu.
"Cep, ayo sarapan dulu." Katanya dengan nada yang gembira.
"Kelihatannya Mak Onah lagi ceria nih." Kataku.
"Ah, enggak Cep. Biasa aja."
"Semalem aku mendengar ada perempuan yang menjerit-jerit keenakan... siapa ya Mak?"
"Enggak tahu, Cep. Mungkin tetangga sebelah."
"Oh, begitu ya?"
"Sudah atuh cep, jangan membahas itu. Cepat sarapan dulu, nanti rotinya keburu dingin, enggak enak." Katanya dengan wajah merah. "Katanya hari ini Cep Kasman mau pergi jauh ya?"
"Ya, mungkin jauh mungkin tidak. Aku sendiri belum tau, Mak."
"Tapi kata Juber, katanya Cecep akan bepergian seharian."
"Mungkin, Mak. Sekarang Juber di mana?"
"Lagi nyuci mobil, Cep. Biar nyaman dan aman dipake sama Bapak, begitu katanya."
"Mmm, begitu ya Mak? Apa kalian masih suka berantem?"
"Aduh, Cep. Kapan kita berantem? Enggak pernah koq. Cuma perselisihan dan salah paham kecil, emak dan Juber enggak ada masalah, Cep."
"Syukurlah." Kataku. "Tolong sosisnya, Mak, tambahin lagi."
"Iya, Cep."
Setelah sarapan dan mandi lalu berganti pakaian, Juber memberitahuku kalau Emen sudah tiba dan ada di ruang tamu.
Aku pun melangkah ke ruang tamu.
"Hormat, Bos!" Katanya ketika aku menemuinya di ruang tamu. Aku memperhatikan lelaki bertubuh gempal itu dengan seksama.
"Namamu siapa?" Tanyaku.
"Emen, Bos. Saya disuruh Eyang Suta mengabdi kepada bos. Semoga bos berkenan menerima saya."
"Baiklah. Kamu sudah sarapan belum?"
"Belum, bos."
"Sarapan dulu sana, kalau semuanya sudah siap, kita berangkat."
"Siap, Bos!" Katanya dengan sangat hormat, lalu pergi ke dapur.
Aku sendiri pergi ke ruang kerja dan memeriksa notifikasi HP, baik dari HP yang lama yang belum aku offkan maupun dari HP yang baru. HP baru ini, yang nomornya hanya dikenal oleh beberapa gelintir orang, sengaja kukhususkan untuk pekerjaan kantor. Jadi belum ada notifikasi apa pun.
Notifikasi pertama, dari Bu Dian.
Pak Mar, terimakasih atas bantuannya. Dengan modal hasil penjualan rumah, si Papah langsung mendapat untung sepuluh kali lipat. Padahal baru satu hari loh. Kata Papah komisinya sudah ditransfer. I Miss your konde. Swear.
Notifikasi dari Grace.
Sayang, kamu ke mana aja? Aku ingin merayakan promosi jabatanku menjadi direktur pemasaran yang baru. Aku kangen banget, ih. Sayang jawab yah. Aku selalu menunggumu.
Notifikasi dari Bu Nita.
Mar, aku ditipu mentah-mentah. Kirain jadi Kacab Utama Provinsi Sumut, eh aku malah ditarik ke kementrian. Sialan. Aku ditipu yang menyenangkan. Surprise banget. Karirku jadi naik sayang, senang banget.
Tapi aku tetep kangen kamu, konde.
Tunggu ya kalau enggak sibuk aku pasti mampir ke CCLK. Hanya untuk 30 menit bersamamu.
Forever love, Nita.
(NB Pesan ini akan kuhapus setelah 5 jam)
Aku terdiam. Merenung dan melamun.
"Apakah ini semua bukti seperti yang dikatakan oleh Eyang Suta?" Kataku dalam hati. Entahlah.
***
Emen sebetulnya tidak begitu pendek. Cuma karena badannya gempal, jadi kelihatan seperti pendek. Umurnya 37. Kulitnya coklat terang seperti aku. Rambutnya dipotong sangat pendek, satu senti. Dia sudah menikah dua kali dan menjadi duda dua kali. Tapi anaknya satu, lahir dari perkawinan pertamanya. Emen berasal dari kampung Radaberes, Subang. Secara umum, perawakannya mirip seorang petarung One Pride MMA (Mix Martial Art) yang sering tayang di sebuah stasiun televisi swasta.
Mang Emen menyarankan aku membawa beberapa celana pendek dan celana dalam, handuk, sabun mandi dan shampo. Juga beberapa stel pakaian.
Dia juga menjelaskan 7 curug yang akan didatangi, yang pertama, yang paling dekat tentulah Curug Cinulang. Selanjutnya curug Neglasari Garut, dari Garut balik lagi ke Bandung, ke Curug Dago lalu curug Cimahi.
"Mudah-mudahan terkejar satu hari, Bos." Katanya. "Sekarang kita beli kendi dulu ke Parakan, ke Kampung Cileungit." Katanya.
"Aku ikut rencanamu aja Pak Emen." Kataku.
"Jangan panggil saya Pak, Bos. Panggil saja Mang Emen."
"Baik Mang Emen."
"Jangan lupa, Bos. Siapkan uang cash secukupnya."
"Berapa kira-kira?"
"Mudah-mudahan 15 juta cukup, Bos."
"Sekalian cari ketumbar hitam, Mang."
"Ketumbar hitam saya sudah pesan, Bos. Dari Lahat barangnya. Kalau sudah sampai Bandung, orangnya nanti nelpon. Kita ambil di tempat yang ditentukan dan bayar. Harganya satu once (100gram) 500 ribu."
"Banyak amat, Mang. Kita kan cuma butuh 7 biji."
"Maaf, Bos. Ketumbar hitam banyak gunanya. Terutama untuk kekuatan pria." Kata Mang Emen. "Lagi pula, itu jumlah pesanan minimal, Bos. Tidak boleh kurang dari itu."
"Baiklah, yuk jalan."
"Sebelumnya, saya ingatkan ya Bos, Bos harus mengikuti tatacara yang nanti akan saya sebutkan, sesuai dengan perintah Eyang."
"Ngomong-ngomong, Eyang Suta itu nama lengkapnya apa, Mang? Di mana rumahnya? Umurnya sudah berapa tahun?"
"Nama lengkapnya Eyang Suta Wijaya, rumahnya di gunung Guntur, usianya saya tidak tahu, Bos."
"Baiklah, oke." Kataku. "Kamu dan Juber jadi murid beliau, beliau itu guru apa sih Mang?"
"Guru Kehidupan, Bos. Yuk, siap, kita berangkat."
"Guru kehidupan ya?"
"Iya Bos."
"Hm. Yuk, berangkat." Kataku sambil membuka pintu dan masuk ke dalam mobil.
***
"Jadi tujuan pertama kita adalah curug Cinulang?"
"Iya, Bos. Tapi kita mampir dulu sebentar ke kampung Cileungit untuk membeli kendi yang ada tutupnya."
"Oke, sip."
Sementara mobil melaju, aku membuka HP dan googling mengenai Curug Cinulang ini. Dari sekian banyak artikel tentang Curug Cinulang, aku mengambil kesimpulan, di curug ini ada suatu mitos yang mengatakan bahwa: barang siapa yang mengunjungi curug ini bersama pacarnya, maka menurut mitos ini, mereka akan putus dan tak berjodoh. Sedangkan jika ada orang yang berangkat sendirian, maka ada kemungkinan jodohnya dekat. Demikianlah konon menurut mitos.
Curug Cinulang ini juga ternyata ada lagu khususnya yang berbahasa Sunda, penyanyi aslinya bernama Darso. ( Namanya koq mirip nama Jawa ). Aku lalu mendownload lagu itu dan mencoba mendengarnya dengan baik-baik.
Di Curug Cinulang
Bulan béntang narémbongan
Hawar-hawar aya tembang
Tembang asih tembang kadeudeuh duaan
Di Curug Cinulang
Anjeun ceurik balilihan
Muntang kana panghareupan
Cinta urang mugi asih papanjangan
Reff:
Kabaseuhan cai kahéman
Kacérétan ibun kamelang
Meungkeut pageuh geter rasa kahariwang
Hariwang cinta urang panungtungan
Setelah menanyakan artinya kata demi kata kepada Mang Emen, akhirnya aku mengambil kesimpulan bahwa lagu itu mengisahkan tentang sepasang kekasih yang sedang di landa asmara dan mereka khawatir kalau ikatan cinta mereka akan berakhir.
Hm. Lagu yang cukup sedih.
"Bos, sebentar saya turun dulu." Kata Mang Emen ketika mobil memasuki suatu perkampungan dan berhenti di depan sebuah rumah panggung yang terbuat dari bambu.
"Iya, Mang. Silakan."
Mang Emen ke luar dari mobil dan masuk ke dalam pekarangan rumah itu, dia tidak mengetuk pintunya tapi berjalan mengeliling ke pinggir rumah. Beberapa menit kemudian Mang Emen ke luar dari jalan yang sama sambil memeluk dua buah kendi bertutup dengan kedua tangannya. Masing-masing tangan memeluk satu kendi.
Mang Emen diikuti oleh seorang kakek tua yang membawa kendi dengan cara yang sama.
Mereka menuju ke belakang mobil dan menyimpannya di bagasi. Aku berbalik dan berdiri di atas lututku untuk melihat kendi-kendi itu, ternyata Mang Emen telah membuat semacam kotak kayu sederhana yang bentuknya memanjang. Kotak itu disekat-sekat menjadi tujuh kotak kecil yang berbentuk bujur sangkar. Kendi-kendi tepat masuk ke dalam kotak-kotak itu hingga yang tersisa cuma lehernya.
"Kapan Mang Emen bikin kotak kayu triplek ini, Mang?" Tanyaku.
"Kemarin Bos, waktu Eyang Suta menyuruh saya menghadap kepada Bos."
"Oh."
Seteleah selesai dengan kendi-kendi itu, Mang Emen kemudian meminta uang sebesar 700 ribu untuk membayar kendi-kendi itu. Aku lalu memberi Mang Emen uang dua juta rupiah dan memintanya menyimpan sisa uang itu untuk berbagai keperluan. Sehingga dia tidak perlu bolak-balik minta uang kepadaku.
Dari kampung Cileungit perjalanan menuju Curug Cinulang hanya memakan waktu 15 menit.
***
(Bersambung)