Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG RIMBA ASMARA

Thema apakah yang paling anda gandrungi dalam Sub Forum Cerita Bersambung ini?

  • Hubungan sedarah atau incest, dengan mama atau saudara kandung

    Votes: 316 17,6%
  • Hubungan setengah baya atau MILF, antara yang muda dengan yang tua

    Votes: 239 13,3%
  • Hubungan sex Cukold, eksib, voyeur, mengintip dan di tempat umum

    Votes: 132 7,3%
  • Hubungan sex di kalangan remaja atau SMU/pesantren/sederajat

    Votes: 99 5,5%
  • Hubungan sex di kos-kosan mahasiswa/mahasiswi

    Votes: 85 4,7%
  • Hubungan sex Perkosaan

    Votes: 46 2,6%
  • Hubungan Sex affair di kalangan bisnis atau antar pegawai kantoran

    Votes: 99 5,5%
  • Hubungan sex dengan Bini Orang

    Votes: 159 8,9%
  • Hubungan sex dengan Laki Orang

    Votes: 16 0,9%
  • Hubungan sex di kalangan selebriti Indonesia

    Votes: 80 4,5%
  • Hubungan sex di pedesaan/ di perkampungan

    Votes: 88 4,9%
  • Hubungan sex dengan wanita berhijap/kerudung

    Votes: 332 18,5%
  • Hubungan sex romantis

    Votes: 62 3,5%
  • Scandal sex para politisi atau pejabat

    Votes: 19 1,1%
  • Hubungan sex lesbian/gay

    Votes: 16 0,9%
  • Hubungan sex lainnya

    Votes: 8 0,4%

  • Total voters
    1.796
  • Poll closed .
Status
Please reply by conversation.
Rombongan para Patih dan Hulubalang bergerak maju dengan langkah yang senada dan seirama. Aku melihat bagaimana rapihnya mereka bergerak. Kupikir, bahwasannya mereka bergerak dengan cepat dan gesit, dengan jarak dan tinggi serta kecepatan langkah kaki yang sama; jelas merupakan suatu hasil latihan serius dan terarah. Aku pernah melihat beberapa kali bagaimana suatu pasukan militer bergerak dalam barisan, namun aku yakin mereka tidak akan melebihi bagus dan rapihnya barisan Para Patih dan Hulubalang Istana Kumala ini.

Aku kagum.

Barisan itu ke luar melalui pintu sebelah kanan, sedangkan aku tadi masuk melalui pintu sebelah kiri. Begitu ke luar dari pintu, kudapatkan teras pendopo Istana yang luas. Kuperkirakan panjangnya 20 meter dan lebarnya 10 meter. Beberapa pilar kayu berbentuk silinder dengan tekstur yang sangat indah, berjajar rapi dan lurus. Pilar-pilar itu menyangga atap yang terbuat dari anyaman bambu warna kuning.

Di tengah-tengah pendopo ada sebuah kursi terbuat dari kayu hitam yang diukir dan diberi berbagai hiasan batu-batu warna merah dan putih yang berkilauan. Tapi aku kira itu bukanlah kursi, itu adalah singgasana Raja bila duduk di pendopo.

Begitu aku masuk ke area pendopo, serentak orang-orang yang berkumpul di sana berlutut dan menyembah. Setelah aku duduk di singgasana, Ratu Wulandari duduk di lantai pendopo yang terbuat dari batu cadas yang dihaluskan demikian juga dengan Mahapatih Mada Rajasa.

Ratu Wulandari duduk di sebelah kiri, Mahapatih duduk di sebelah kanan.

Kemudian orang-orang yang bersengketa itu bangun berdiri. Mereka berbaris dengan sangat rapi di lapangan di depan pendopo. Mereka mengenakan pakaian dengan corak dan gaya yang berbeda, yang menunjukkan bahwa mereka bukan satu kelompok yang sama.

Mereka mengatur barisannya tanpa teriakan aba-aba. Langsung membuat formasi 3 baris berbanjar 3 dengan jumlah saf ke belakang sebanyak 5 saf. Tiap tiga baris memiliki corak dan gaya pakaian yang sangat mencolok berbeda. Tapi mereka semua sama menyandang gendewa dan anak panahnya serta keris terselip pada ikat pinggang kain di depan perutnya masing-masing.

3 Orang perwakilan melangkah dengan langkah yang gagah dan tegap melintasi lapangan dan menaiki 5 undakan tangga. Tiba di teras, mereka berlutut dan menyembahku dengan hormat. Lalu duduk bersila berhadap-hadapan denganku.

Jarak mereka dan aku terpaut 2 meter.

Aku tersenyum dan memandangi mereka satu per satu. Sekali lagi kutegaskan di sini, ada suatu perasaan yang sangat aneh yang menggeluguhi hatiku, suatu perasaan yang sangat kuat bahwa aku menyayangi mereka seperti saudara satu kampung.

"Aku telah mendengar laporan dari Mahapatih Mada Rajasa yang bijaksana, bahwa kalian bersengketa tentang 19 ekor kuda dan tak menemukan penyelesaian yang terbaik. Sekarang aku ada di sini untuk mendengarkan sekali lagi dari kata-kata kalian sendiri tentang permasalahannya. Aku akan mendengar dengan hatiku. Katakanlah semuanya jangan ada yang ditutup-tutupi." Kataku dengan suara sandiwaraku yang berpura-pura sebagai raja.

"Puja puji Dewa!" Semua serentak berseru.

"Mohon ampunkan kami semua Baginda Maharaja Marsudi Kasman Putra Dewa Matahari Perkasa, izinkan dan restui kami untuk menyampaikan permasalahan sengketa 19 kuda ini." Kata salah seorang yang duduk paling tengah, dia memakai ikat kepala bercorak batik dan rambutnya tampak telah memutih.
"Izin dan restu sudah kalian dapakan, ungkapkanlah."
"Ampun Paduka, sesungguhnya ini bukan sengketa. Kerajaan kami adalah bersaudara dan tidak berniat saling berperang. Hamba adalah Sugiri Pamungkas, Mahapatih Kerajaan Timbel Wetan, di samping kiri hamba Umbar Penjero, Mahapatih Kerajaan Gunung Kidul, sedangkan di samping kanan hamba adalah Gandar Respati, Mahapatih Kerajaan Turboyo. Kami di sini telah setia selama 17 purnama menantikan kedatangan Baginda Maharaja Marsudi Kasman Putra Dewa Matahari Perkasa, untuk memutus perkara.

Ampun Paduka yang mulia,

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa Patih Lingga Pangestu, Pakar Istana Kumala di bidang Peternakan Kuda, telah mangkat 20 purnama yang telah silam. Sebelum mangkat ke alam Nirwana, Patih Lingga telah membangun proyek pemibibitan Kuda Perang Untuk Kepentingan Kerajaan, yang berlokasi di Padang Rumput Pengasihan.

Ampun Paduka yang mulia, Baginda Maharaja Marsudi Kasman Putra Dewa Matahari Perkasa, yang kami banggakan dan kami cintai...

Adapun Padang Rumput Pengasihan luasnya adalah Selaksa Kati Depa berganda( 1000 Hektar) yang terdiri dari 1/2 Laksa Kati Depa merupakan wilayah Kerajaan Timbel Wetan, 1/4 Laksa Kati Depa merupakan wilayah Kerajaan Gunung Kidul dan 1/5 Laksa Kati Depa merupakan wilayah Kerajaan Turboyo sisanyanya merupakan Wilayah Kerajaan Pusat, yakni Kerajaan Janggala Nagara.

Seperti yang Paduka Mulia Baginda Maharaja Marsudi Kasman Putra Dewa Matahari Perkasa ketahui, bahwa proyek pembibitan Kuda Perang tersebut dibiayai oleh Kerajaan Janggala dengan lama proyek selama 100 purnama.

Puja Puji Dewa, proyek tersebut berjalan baik dan lancar. Ratusan kuda-kuda perang terbaik sekarang telah dimiliki oleh Kerajaan Janggala, yang telah dan sedang digunakan oleh Seno Patih Kidang Santang, untuk berpatroli berkeliling ke seluruh penjuru Kerajaan untuk melakukan tugas-tugas Pertahanan dan Keamanan.

Setelah proyek selama 100 purnama tersebut selesai, Ternak Patih Lingga Pangestu akan menyerahkan pengelolaan pembibitan kepada ke tiga kerajaan, dengan rincian 1/2 Jumlah Bibit Kuda akan diberikan kepada Kerajaan Timbel Wetan, 1/4 Jumlah Bibit Kuda untuk Kerajaan Gunung Kidul dan 1/5 Jumlah Bibit Kuda untuk Kerajaan Turboyo. Sedangkan Kerajaan Pusat tidak akan mendapatkan seekor pun karena Jumlah Kuda Perang yang dibutuhkan oleh Seno Patih telah mencapai target sesuai yang telah ditetapkan oleh Peraturan dan Perundang-Undangan Kerajaan Janggala Nagara yang berlaku.

Namun masalahnya adalah Bibit Kuda Perang tersebut jumlahnya ada 19 ekor. Sedangkan Ternak Patih Lingga Pangestu sebelum bisa memutuskan pembagian yang adil, beliau telah dipanggil untuk berpindah alam, mangkat paripurna setelah mengalami sakit selama 3 matahari tenggelam.

Dalam keadaan sakit beliau berpesan tidak boleh ada satu ekor pun bibit Kuda Liar yang dipotong atau disembelih, dengan alasan apapun. Bahkan walau dengan alasan untuk persembahan Kepada Dewa Matahari Yang Perkasa sekalipun. Sebab bibit Kuda Perang ini adalah bibit kuda perang terbaik di Mayapada ini.

Ampun Paduka yang Mulia Baginda Maharaja Marsudi Kasman Putra Dewa Matahari Perkasa, kami merasa buntu dan putus asa untuk membagikan 19 Ekor Bibit Kuda Perang tersebut secara adil tanpa memotong-motongnya beberapa ekor.

Jika kami membagikan kuda-kuda tersebut sesuai dengan jumlah pembagian 1/2, 1/4 dan 1/5 dengan memotong-motong beberapa ekor kuda, maka kami akan dikutuk Dewata karena tidak amanah terhadap pesan Ternak Patih Lingga Pangestu.

Namun apabila kami membagikan kuda-kuda tersebut tanpa mengikuti aturan 1/2, 1/4 dan 1/5, yakni dengan pembagian 9 ekor kuda untuk Kerajaan Timbel Wetan dan masing-masing 5 ekor untuk Kerajaan Gunung Kidul dan Turboyo, maka kami akan dikutuk juga oleh Dewata dan anak cucu kami karena berbuat tidak adil.

Demikianlah kesulitan kami yang tak terkira.

Sudilah kiranya Baginda Maharaja Marsudi Kasman Putra Dewa Matahari Perkasa, memutuskan agar kami terbebas dari kutukan Dewata serta bisa melaksanakan amanah Ternak Patih Lingga Pangestu.

Apapun yang Paduka putuskan, kami akan terima dengan segala Puja puji Dewa dan rasa suka cita yang tak terkira." Kata Sugiri Pamungkas, Mahapatih Kerajaan Timbel Wetan itu dengan panjang lebar.

Seluruh hadirin yang ada di pendopo semuanya terdiam mendengar penuturan Sugiri Pamungkas, Mahapatih Kerajaan Timbel Wetan yang terkenal jujur, adil dan bijaksana.

Aku mengangguk-angguk dan tersenyum.
"Itu masalah kecil wahai Mahapatih Kerajaan Timbel Wetan yang baik. Itu masalah kecil." Kataku.

Semua mata hadirin menatapku dengan tajam dan terheran-heran. Bahkan sepasang mata Ratu Wulandari yang lentik itu pun melirikku dengan tajam. Seakan-akan aku telah melakukan tindakan yang tidak bijaksana dengan menganggap sepele persoalan.

"Ba... bagaimana bisa itu merupakan masalah kecil Baginda?" Tanya Sugiri Pamungkas dengan wajah keheranan yang luar biasa.
"Itu masalah kecil. Apakah kalian membawa ke 19 ekor kuda tersebut?"
"Ampun Baginda, kami membawanya." Kata Sugiri.
"Baik. Tolong kumpulkan semua kuda-kudanya di halaman pendopo."

Sugiri Pamungkas menyembah dan berjalan mundur, lalu berbalik dan berteriak:
"Wahai para Patih 3 kerajaan, Baginda Maharaja Marsudi Kasman Putra Dewa Matahari Perkasa telah bersabda, kumpulkan ke 19 ekor bibit kuda perang di depan halaman pendopo ini. Sekarang!"

Seketika barisan patih-patih bubar berpencar dengan tertib dan gesit. Beberapa saat kemudian mereka telah datang bersama kuda-kuda yang tinggi gagah dengan aneka warna kulit. Ada yang putih, hitam, coklat bahkan ada pula yang brintik. Mereka berbaris dengan berbanjar. Menjajarkan kuda-kuda tunggangan perang itu dengan bangga.

"Mahapatih Mada Rajasa, tolong ambilkan satu kuda istana dan bawa ke halaman pendopo." Kataku dengan suara sandiwaraku sebagai raja.
"Ampun Baginda, hamba pamit melaksanakan perintah." Jawabnya.

Mahapatih Mada Rajasa segera pergi dan beberapa saat kemudian membawa sebuah kuda yang sama gagahnya dengan kuda-kuda yang dijajarkan.

"Wahai para Mahapatih 3 Kerajaan Bawahan yang bijaksana, wahai para Patih 3 Kerajaan Bawahan yang setia, dengarlah. Aku berikan kepada kalian 1 ekor Kuda Istana Kumala yang gagah, yang merupakan satu bibit keturunan dengan kuda-kuda gagah di samping kalian. Sehingga jumlah kuda-kuda kalian menjadi 20 ekor."

Semua yang hadir terdiam.
"Setelah genap jumlah kuda kalian 20 ekor, bagikanlah sesuai dengan pembagian 1/2, 1/4 dan 1/5. Kalian takkan dikutuk oleh Dewata dan aku menjadi saksi kalian adalah warga negara Janggala yang jujur dan adil. Kalian adalah warganegara terbaik!" Kataku.

Ketiga Mahapatih itu saling berpandangan. Setelah menyembah hormat, mereka pergi ke halaman dan membagi-bagi Kuda sesuai dengan jatah pembagian. 1/2 untuk Kerajaan Timbel Wetan berjumlah 10 ekor Kuda, 1/4 untuk Kerajaan Gunung Kidul berjumlah 5 ekor Kuda dan 1/5 untuk Kerajaan Turboyo berjumlah 4 ekor Kuda.

Setelah masing-masing Kerajaan mendapatkan bagiannya sesuai dengan angka pembagian 1/2, 1/4 dan 1/5 maka jumlah total kuda yang dibagikan adalah 19 ekor.

Mereka semua takjub dengan sisa 1 ekor kuda yang tak terbagikan.

Serentak semuanya menyembah kepadaku.
"Puja puji dewa! Puja puji dewa! Puja puji dewa! Puja puji dewa! Puja puji dewa! Puja puji dewa! Puja puji dewa! Puja puji dewa!" Demikian mereka bersorak sorai.
"Hidup Baginda Maharaja Marsudi Kasman Putra Dewa Matahari Perkasa!" Teriak salah seorang patih. Teriakan itu dikuti secara serentak oleh seluruh hadirin yang ada di pendopo dan di halaman.

Aku tersenyum mendapatkan wajah Sugiri Pamungkas yang kebingungan.
"Ampun Baginda Maharaja Marsudi Kasman Putra Dewa Matahari Perkasa, ini satu ekor lagi tak terbagikan, bagaimana nasibnya?"
"Kembalikan ke istal Istana." Kataku dengan santai.

***

"Sekarang mari kita meninjau pembangunan Candi." Kataku setelah seluruh rombongan dari tiga kerajaan itu bubar dengan rasa puas dan bahagia di hati mereka akan keputusan yang telah aku ambil.
"Ampun Baginda, mari kita berangkat." Jawab Mahapatih Mada Rajasa dengan wajah dilumuri kekaguman kepadaku.

Para Patih Pembangunan Candi beserta Para Punggawanya
Sedang Sibuk Bekerja Membangun Candi Persembahan Dewa Matahari




Seumur hidupku, aku belum pernah menunggang kuda. Namun ketika Mahapatih Madarajasa menyodorkan seekor Kuda Putih yang sangat tinggi dan gagah, aku entah bagaiman, tiba-tiba saja meloncat ke punggung kuda tersebut dan duduk di atasnya dengan rasa nyaman.

Kuda putih bersurai keemasan itu meringkik kegirangan ketika aku berada di atasnya. Dan aku merasa sangat aneh dengan diriku. Aku secara ajaib dapat menserasikan diriku dengan gerakan-gerakan tubuh kuda sehingga timbul kebersamaan langkah antara penunggang dan kudanya... ketika kami bergerak bersama. Melangkah maju. Aku sungguh-sungguh mersakan sensasi yang luar biasa.

Perasaan gagah dan keren menghinggapi dadaku.

Kami mencongklak kuda dengan kecepatan normal. Ratu Wulandari yang mendampingiku di sebelah kiri, tak henti-hentinya menatapku dengan tatapan kagum dan dipenuhi rasa asmara. Sorot matanya yang lembut dan penuh ajakan itu mustahil membohongiku bahwa dia ingin segera menemukan waktu agar aku bisa menunaikan tugasku yang tertunda menyetubuhi tubuh mulusnya.

Beberapa kali Ratu Wulandari memendam kecewa ketika aku berpura-pura sibuk menyapa rakyat di sepanjang jalan dan tidak menghiraukannya.

Kami melewati sejumlah perkampungan desa yang memiliki tata perumahan yang apik dan terstruktur. Beberapa desa, memiliki ciri khas bangunannya masing-masing. Terutama bangunan-bangunan publik seperti Bangunan Tempat Musyawarah, Bangunan Tempat Belajar Beladiri dan Tempat Kesenian serta Bangunan Tempat Pembuatan Alat-alat Pertanian.

Aku merasa sangat kagum.

Setelah melewati sejumlah desa, kami melewati hutan produktif yang dikelola kerajaan bawahan melalui penataan penanaman pohonnya yang sesuai dengan kebutuhan kerajaan bawahan tersebut. Hutan produktif itu umumnya ditumbuhi pohon randu putih sebagai bahan utama pembuatan kain. Rupanya kami sedang melewati Kerajaan Sandang Gumintang, yakni sebuah Kerajaan Bawahan yang pendapatan asli daerahnya diperoleh dari keuntungan penjualan kain yang mereka produksi.

Sepanjang perjalanan, Mahapatih Mada Rajasa menjelaskan berbagai kemajuan pembangunan di wilayah-wilayah yang kami lewati. Dia dengan semangat yang menyala-nyala menjelaskan statistik mengenai ketersediaan pangan berupa beras ladang, umbi-umbian, buah-buahan serta daging yang berasal dari peternakan Bandot (kambing).

"Patih Pertambangan Lodra Wisesa telah menemukan tambang Batu Api baru di Utara, yang jumlahnya cukup untuk kebutuhan seluruh desa di Kerajaan Janggala dan seluruh Kerajaan-kerajaan Bawahan lainnya. Sehingga masyarakat luas, tidak perlu khawatir akan kehilangan api jika musim hujan nanti tiba. Sehingga mereka akan tetap hangat dan sehat." Demikian penjelasan Mada Rajasa.

"Bagaimana dengan kemajuan pendidikan, Mahapatih?" Tanyaku.

"Ampun Paduka yang Mulia, pusat-pusat Bangunan Tempat Beladiri, Kesenian dan Sastra Titah Dewa telah dibangun di seluruh desa yang berada di bawah naungan Kerajaan Janggala Nagara. Selain itu kami juga telah melakukan Pendidikan dan Pelatihan secara khusus kepada Para Kyai di seluruh wilayah Kerajaan sebanyak Trisata (300) orang Kyai. Para kyai itu diharapkan akan mampu meningkatkan kualitas pendidikan beladiri, seni dan sastra titah dewa. Terutama Sastra Titah Dewa yang selama 100 purnama belakangan ini mengalami kemunduran. Soalnya anak-anak muda kita lebih suka mempelajari Seni Tari Egol yang dinamis dan menyenangkan ketimbang mempelajari Sastra Titah Dewa yang rumit dan membosankan."

Aku teresenyum kepada Mahapatih yang berwajah cemberut karena peminat Sastra Titah Dewa semakin menyusut.
"Itu masalah kecil, Mahapatih." Kataku.
"Ampun Paduka, bagaimana mungkin ini bisa disebut masalah kecil, sedangkan pelajaran Sastra Titah Dewa adalah sangat penting untuk keberlangsungan Tata Pemerintahan dan Tata Upacara Kerajaan Janggala. Sedangkan peminatnya pada 3 purnama terakhir sama sekali tidak ada seorang pun." Wajah Mahapatih tampak muram.
"Berikan saja hadiah, Mahapatih. Beri hadiah bagi siapa saja yang mau mendaftar menjadi siswa Sastra Titah Dewa pada pendaftaran Purnama yang akan datang. Menurutmu hadiah apa yang pantas bagi mereka?"

Mahapatih tampak terperangah. Sepasang matanya yang berbola mata kecil itu melebar.
"Ba.. Ba.. Baginda Maharaja Marsudi Kasman Putra Dewa Matahari Perkasa... Puja puji Dewa... Baginda sangat bijaksana. Soal hadiah, itu biar diurus Patih Bendahara Kerajaan."
"Bagus." Kataku. "Aku kira jalan menanjak ini menandakan kita akan sampai."
"Ampun Paduka yang mulia, benar sekali."

Kami melewati jalanan yang menanjak, mendaki sebuah bukit yang puncaknya telah dipapas. Luas papasan puncak bukit itu mungkin setara dengan luas dua kali lapangan sepak bola.

Begitu kami datang, para Patih dan Punggawanya langsung menyembah kepadaku dengan sangat hormat dan antusias. Namun aku segera mengangkat tangan dan memerintahkan mereka untuk tidak menghentikan pekerjaannya.

Kami kemudian menemui Tetua Pelaksana sekaligus Penanggungjawab Proyek, seorang Patih senior yang bermana Guruminda.

Patih Guruminda tidak mengetahui kedatangan kami. Dia tampak sibuk di Graha Kendali dengan tumpukkan lembaran-lembaran kulit kuda yang berisi berbagai catatan, contoh-contoh material batu dan puluhan batok tempurung kelapa berisi cairan lem perekat batu.

Ketika pertama kali melihat kami, dia langsung meloncat gembira dan memburuku. Dan langsung menyembah.
"Puja puji dewa!" Katanya "Ampun Paduka yang mulia, Baginda Maharaja Marsudi Kasman Putra Dewa Matahari Perkasa, hamba merasa sangat bangga mendapat kunjungan Baginda yang mendadak ini." Katanya.
"Bangunlah Patih Guruminda yang jenius. Aku juga gembira bisa melihatmu dalam keadaan sehat wal afiat." Kataku sambil turun dari kuda.
"Ampun Paduka yang mulia, kami telah bekerja selama hampir 47 purnama dan proyek Pembangunan Kompleks Candi Persembahan Dewa Matahari ini sudah rampung 80%. Kami yakin akan menyelesaikan proyek ini tepat pada waktunya... andai..."
"Andai apa Patih? Katakan terus terang."
"Ampun Paduka yang mulia, selama ini proses pembangunan kompleks persembahan candi ini berjalan dengan lancar sampai tiba-tiba Nyi Roro Shintaurus datang dan mengancam akan menghancurkan hasil kerja kami, padahal kita sudah teken kontrak kesepakatan sejak awal pembangunan. Yakni, kami telah menyerahkan sebukit Hutan Lumping sebagai kompensasi penggantian bukit cadas yang kering dan tidak subur ini yang semula adalah tempat tinggalnya." Katanya.
"Patihku Guruminda, coba renungkan secara cermat, apakah nilai kompensasi sebukit Hutan Lumping itu sama nilainya dengan bukit tandus ini?" Tanyaku.
"Ampun Paduka yang mulia, nilai sebukit Hutan Lumping 77 kali lipat lebih tinggi dari bukit tandus ini."
"Hemmm... pasti ada yang aneh. Baiklah, coba panggil ke sini Nyi Roro Shintaurus, biar aku langsung berbicara kepadanya." Kataku.
"Ampun Paduka yang mulia, mohon pamit untuk laksanakan perintah."

Tidak berapa lama kemudian, Patih Guruminda datang bersama seorang perempuan bertubuh semok dan berkepala Kuda. Aku sedikit tersentak juga melihat Nyi Roro Shintaurus ini. Walau dia tidak datang dengan menyembah namun sikapnya tetap hormat kepadaku.

Aku mengangguk dan tersenyum kepadanya.

Sementara itu tiba-tiba saja Ratu Wulandari merasa cemburu dan dengan sikap yang menurut para Patih kurang sopan, Ratu Wulandari menggamit tanganku dan memeluknya. Menggesek-gesekan pinggiran buah dadanya pada lenganku yang telanjang, membuat si betok yang merasa kentang langsung menggeliat bangun.

Aku meminta Ratu Wulandari melepaskan gamitan tangannya pada lenganku.

Ratu Wulandari menurut namun sepasang kakinya membentuk taki-taki, semacam kuda-kuda dengan posisi ofensif siap melakukan penyerangan berupa tendangan. Aku tersenyum jika melihat bahwa dia mengenakan kain samping hingga ke peretengahan betis, tendangan apa yang kira-kira bisa dilakukan oleh Ratu Wulandari.

"Bicaralah Shintaurus, aku ada di sini untuk mendengarkan." Kataku.

Nyi Roro Shintaurus meringkik-ringkik, kepala kudanya bergerak-gerak ke depan dan ke belakang, lalu ke kiri dan ke kanan. Kedua tangannya membuat sebuah gerakan tertentu berupa putaran setengah lingkaran. Lalu tiba-tiba dia menunjuk dahi kepala kudanya dengan kedua telunjuk kanan kirinya.

Selarik sinar warna biru menyorot langsung ke keningku. Sinar itu berasal dari tengah-tengah kening Nyi Roro Shintaurus yang terletak di bawah ujung poni rambutnya. Ketika sinar itu mengenai keningku, ada suatu rasa hangat yang menjalar ke mata dan telingaku.

Tiba-tiba saja aku bisa mendengarkan suaranya dan memahami bahasa yang diucapkannya. Dia menggunakan Bahasa Campuran Yunani Kuno dan Bahasa Inca Kuno. Aku menjadi sangat simpati setelah mendengarkan semua kisah sedihnya.

Nyi Roro Shintaurus, Wanita Berkepala Kuda yang sedang berduka


Nyi Roro Shintaurus bercerita bahwa dia sebenarnya merasa bahagia bisa menempati satu bukit Hutan Lumping yang sangat subur itu secara penuh. Di sana penuh dengan makanan berupa buah-buahan dan daun-daunan di pucuk-pucuk pohon yang sangat lezat. Namun sejak suaminya Shantorian meninggalkan dunia kasar dan berpindah ke dunia halus, Shintaurus sangat kesepian dan sering uringan-uringan karena hasrat seksualnya tidak terpenuhi.

Dia menjadi sering merasa sangat gelisah.

Dia tidak bermaksud mengganggu kelancaran pembangunan kompleks candi itu, tapi kalau hasrat seksualnya datang dan tak terpenuhi, dia menjadi jengkel dan melakukan tindakan-tindakan tidak waras sehingga kepalanya menjadi sangat gatal dan menubruk-nubruk bangunan candi setengah jadi.

Dia mohon maaf atas kelakuannya dan memintaku untuk menyerahkan kuda putih tungganganku kepadanya.
"Sekalian minta dikawinkan, Baginda." Katanya dengan penuh permohonan. Kulihat kedua matanya melelehkan air mata.
"Asalkan kau berjanji takkan menggangu lagi, aku akan luluskan permintaanmu." Kataku.

Tiba-tiba wanita berkepala kuda itu menjatuhkan dirinya, berlutut dan menyembah di kakiku. Dia mengucapkan terimakasih yang tak berhingga.

Aku menyuruhnya bangkit. Semua para patih dan punggawa tercengang-cengang melihat bagaimana kami berkomunikasi.

Aku lalu mengusap-usap punggung Kuda Putihku yang berjingkrak-jingkrak kegirangan. Rupanya si kuda putih gagah bersurai emas ini memahami pembicaraan aku dan Nyi Roro Shintaurus yang dilakukan secara telepati.
"Bawalah kami ke tempat sepi di bawah pohon." Tiba-tiba si Kuda Putih meringkik dan berbicara kepadaku.

Aku membawa si Kuda Putih dan Shintaurus ke belakang Graha kendali di mana sebuah pohon Kiara tumbuh dengan rendah. Kutahan Mahapatih dan patih-patih yang lain untuk tidak mengikutiku.

Namun Ratu Wulandari menolak perintahku. Dia mengikutiku sampai belakang graha tanpa bisa ditahan.

Di bawah pohon kiara, Si Kuda Putih langsung berguling sehingga kontolnya yang kemerahan terlihat jelas mulai membesar dan memanjang. Shintaurus segera menarik kain samping hingga lepas dan menunggangi perut kuda putih itu. Kulihat belum apa-apa, liang memek Shintaurus sudah memuai dan mengangakan liang mulut memeknya. Secara presisi Shintaurus menempelkan liang memeknya ke kepala kontol si kuda putih. Setelah menempel dan masuk ujung kepala kontol si kuda putih, Shintaurus memeluk dada kuda itu dengan erat.
"Kawinkan sekarang Baginda."
"Aku, Baginda Maharaja Marsudi Kasman Putra Dewa Matahari Perkasa, dengan ini mengawinkan kalian sebagai pasangan secara resmi." Kataku.

Begitu kalimatku selesai, kontol si putih langsung memanjang dan menembus ke dalam liang memek Shintaurus yang langsung meresponnya dengan memaju mundurkan pantatnya, sehingga gerakan-gerakan pengentotan itu berlangsung dengan baik.

Mereka saling mengentot dengan sangat cepat namun terlihat nikmat selama beberapa menit. Kemudian saling terdiam karena keduanya saling mengejan.

Mereka lalu tiba-tiba meringkik-ringkik dengan sangat keras. Suara ringkikkan keduanya melengking sampai ke langit ketika mereka secara bersamaan memuncratkan pejuhnya masing-masing dengan penuh kenikmatan.

Iiik iiik iiik... brrrr
Iik iik iik... brrrr
Ik ik ik... brrrr

Kulihat keduanya tampak bahagia. Mereka meringkik dan menggubris-gubriskan kepala mereka, sehingga tampak seperti menggigil kedinginan. Setelah menyembah, mereka pamit undur diri dan menuruni bukit untuk pergi menuju ke hutan Lumping.

Mereka segera menghilang ditelan pepohonan.

Ratu Wulandari Pertiwi Dwikencana Murni yang sejak tadi mendampingiku, langsung memelukku dan tangannya menyelusup ke balik kain pakaian kebesaran kerajaan, untuk menemukan batang si betok yang sudah mengeras.
"Ampun Paduka yang mulia, kontol Baginda lebih besar, lebih panjang dan lebih gagah selaksa kali lipat di banding kontol kuda jelek itu." Katanya dengan mulut tersenyum. "Kapan Baginda akan menunaikan tugas mengewe hamba?"
"Tidak sekarang Ratu Perawanku yang cantik. Tidak sekarang." Kataku sambil tersenyum dan melepaskan si betok dari genggaman tangannya secara halus.

Aku kemudian pergi menemui Mahapatih Mada Rajasa, Para Patih dan Punggawa, untuk memberikan instruksi dan wejangan terakhir.

***

(Bersambung)
 
Terakhir diubah:
Rombongan para Patih dan Hulubalang bergerak maju dengan langkah yang senada dan seirama. Aku melihat bagaimana rapihnya mereka bergerak. Kupikir, bahwasannya mereka bergerak dengan cepat dan gesit, dengan jarak dan tinggi serta kecepatan langkah kaki yang sama; jelas merupakan suatu hasil latihan serius dan terarah. Aku pernah melihat beberapa kali bagaimana suatu pasukan militer bergerak dalam barisan, namun aku yakin mereka tidak akan melebihi bagus dan rapihnya barisan Para Patih dan Hulubalang Istana Kumala ini.

Aku kagum.

Barisan itu ke luar melalui pintu sebelah kanan, sedangkan aku tadi masuk melalui pintu sebelah kiri. Begitu ke luar dari pintu, kudapatkan teras pendopo Istana yang luas. Kuperkirakan panjangnya 20 meter dan lebarnya 10 meter. Beberapa pilar kayu berbentuk silinder dengan tekstur yang sangat indah, berjajar rapi dan lurus. Pilar-pilar itu menyangga atap yang terbuat dari anyaman bambu warna kuning.

Di tengah-tengah pendopo ada sebuah kursi terbuat dari kayu hitam yang diukir dan diberi berbagai hiasan batu-batu warna merah dan putih yang berkilauan. Tapi aku kira itu bukanlah kursi, itu adalah singgasana Raja bila duduk di pendopo.

Begitu aku masuk ke area pendopo, serentak orang-orang yang berkumpul di sana berlutut dan menyembah. Setelah aku duduk di singgasana, Ratu Wulandari duduk di lantai pendopo yang terbuat dari batu cadas yang dihaluskan demikian juga dengan Mahapatih Mada Rajasa.

Ratu Wulandari duduk di sebelah kiri, Mahapatih duduk di sebelah kanan.

Kemudian orang-orang yang bersengketa itu bangun berdiri. Mereka berbaris dengan sangat rapi di lapangan di depan pendopo. Mereka mengenakan pakaian dengan corak dan gaya yang berbeda, yang menunjukkan bahwa mereka bukan satu kelompok yang sama.

Mereka mengatur barisannya tanpa teriakan aba-aba. Langsung membuat formasi 3 baris berbanjar 3 dengan jumlah saf ke belakang sebanyak 5 saf. Tiap tiga baris memiliki corak dan gaya pakaian yang sangat mencolok berbeda. Tapi mereka semua sama menyandang gendewa dan anak panahnya serta keris terselip pada ikat pinggang kain di depan perutnya masing-masing.

3 Orang perwakilan melangkah dengan langkah yang gagah dan tegap melintasi lapangan dan menaiki 5 undakan tangga. Tiba di teras, mereka berlutut dan menyembahku dengan hormat. Lalu duduk bersila berhadap-hadapan denganku.

Jarak mereka dan aku terpaut 2 meter.

Aku tersenyum dan memandangi mereka satu per satu. Sekali lagi kutegaskan di sini, ada suatu perasaan yang sangat aneh yang menggeluguhi hatiku, suatu perasaan yang sangat kuat bahwa aku menyayangi mereka seperti saudara satu kampung.

"Aku telah mendengar laporan dari Mahapatih Mada Rajasa yang bijaksana, bahwa kalian bersengketa tentang 19 ekor kuda dan tak menemukan penyelesaian yang terbaik. Sekarang aku ada di sini untuk mendengarkan sekali lagi dari kata-kata kalian sendiri tentang permasalahannya. Aku akan mendengar dengan hatiku. Katakanlah semuanya jangan ada yang ditutup-tutupi." Kataku dengan suara sandiwaraku yang berpura-pura sebagai raja.

"Puja puji Dewa!" Semua serentak berseru.

"Mohon ampunkan kami semua Baginda Maharaja Marsudi Kasman Putra Dewa Matahari Perkasa, izinkan dan restui kami untuk menyampaikan permasalahan sengketa 19 kuda ini." Kata salah seorang yang duduk paling tengah, dia memakai ikat kepala bercorak batik dan rambutnya tampak telah memutih.
"Izin dan restu sudah kalian dapakan, ungkapkanlah."
"Ampun Paduka, sesungguhnya ini bukan sengketa. Kerajaan kami adalah bersaudara dan tidak berniat saling berperang. Hamba adalah Sugiri Pamungkas, Mahapatih Kerajaan Timbel Wetan, di samping kiri hamba Umbar Penjero, Mahapatih Kerajaan Gunung Kidul, sedangkan di samping kanan hamba adalah Gandar Respati, Mahapatih Kerajaan Turboyo. Kami di sini telah setia selama 17 purnama menantikan kedatangan Baginda Maharaja Marsudi Kasman Putra Dewa Matahari Perkasa, untuk memutus perkara.

Ampun Paduka yang mulia,

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa Patih Lingga Pangestu, Pakar Istana Kumala di bidang Peternakan Kuda, telah mangkat 20 purnama yang telah silam. Sebelum mangkat ke alam Nirwana, Patih Lingga telah membangun proyek pemibibitan Kuda Perang Untuk Kepentingan Kerajaan, yang berlokasi di Padang Rumput Pengasihan.

Ampun Paduka yang mulia, Baginda Maharaja Marsudi Kasman Putra Dewa Matahari Perkasa, yang kami banggakan dan kami cintai...

Adapun Padang Rumput Pengasihan luasnya adalah Selaksa Kati Depa berganda( 1000 Hektar) yang terdiri dari 1/2 Laksa Kati Depa merupakan wilayah Kerajaan Timbel Wetan, 1/4 Laksa Kati Depa merupakan wilayah Kerajaan Gunung Kidul dan 1/5 Laksa Kati Depa merupakan wilayah Kerajaan Turboyo sisanyanya merupakan Wilayah Kerajaan Pusat, yakni Kerajaan Janggala Nagara.

Seperti yang Paduka Mulia Baginda Maharaja Marsudi Kasman Putra Dewa Matahari Perkasa ketahui, bahwa proyek pembibitan Kuda Perang tersebut dibiayai oleh Kerajaan Janggala dengan lama proyek selama 100 purnama.

Puja Puji Dewa, proyek tersebut berjalan baik dan lancar. Ratusan kuda-kuda perang terbaik sekarang telah dimiliki oleh Kerajaan Janggala, yang telah dan sedang digunakan oleh Seno Patih Kidang Santang, untuk berpatroli berkeliling ke seluruh penjuru Kerajaan untuk melakukan tugas-tugas Pertahanan dan Keamanan.

Setelah proyek selama 100 purnama tersebut selesai, Ternak Patih Lingga Pangestu akan menyerahkan pengelolaan pembibitan kepada ke tiga kerajaan, dengan rincian 1/2 Jumlah Bibit Kuda akan diberikan kepada Kerajaan Timbel Wetan, 1/4 Jumlah Bibit Kuda untuk Kerajaan Gunung Kidul dan 1/5 Jumlah Bibit Kuda untuk Kerajaan Turboyo. Sedangkan Kerajaan Pusat tidak akan mendapatkan seekor pun karena Jumlah Kuda Perang yang dibutuhkan oleh Seno Patih telah mencapai target sesuai yang telah ditetapkan oleh Peraturan dan Perundang-Undangan Kerajaan Janggala Nagara yang berlaku.

Namun masalahnya adalah Bibit Kuda Perang tersebut jumlahnya ada 19 ekor. Sedangkan Ternak Patih Lingga Pangestu sebelum bisa memutuskan pembagian yang adil, beliau telah dipanggil untuk berpindah alam, mangkat paripurna setelah mengalami sakit selama 3 matahari tenggelam.

Dalam keadaan sakit beliau berpesan tidak boleh ada satu ekor pun bibit Kuda Liar yang dipotong atau disembelih, dengan alasan apapun. Bahkan walau dengan alasan untuk persembahan Kepada Dewa Matahari Yang Perkasa sekalipun. Sebab bibit Kuda Perang ini adalah bibit kuda perang terbaik di Mayapada ini.

Ampun Paduka yang Mulia Baginda Maharaja Marsudi Kasman Putra Dewa Matahari Perkasa, kami merasa buntu dan putus asa untuk membagikan 19 Ekor Bibit Kuda Perang tersebut secara adil tanpa memotong-motongnya beberapa ekor.

Jika kami membagikan kuda-kuda tersebut sesuai dengan jumlah pembagian 1/2, 1/4 dan 1/5 dengan memotong-motong beberapa ekor kuda, maka kami akan dikutuk Dewata karena tidak amanah terhadap pesan Ternak Patih Lingga Pangestu.

Namun apabila kami membagikan kuda-kuda tersebut tanpa mengikuti aturan 1/2, 1/4 dan 1/5, yakni dengan pembagian 9 ekor kuda untuk Kerajaan Timbel Wetan dan masing-masing 5 ekor untuk Kerajaan Gunung Kidul dan Turboyo, maka kami akan dikutuk juga oleh Dewata dan anak cucu kami karena berbuat tidak adil.

Demikianlah kesulitan kami yang tak terkira.

Sudilah kiranya Baginda Maharaja Marsudi Kasman Putra Dewa Matahari Perkasa, memutuskan agar kami terbebas dari kutukan Dewata serta bisa melaksanakan amanah Ternak Patih Lingga Pangestu.

Apapun yang Paduka putuskan, kami akan terima dengan segala Puja puji Dewa dan rasa suka cita yang tak terkira." Kata Sugiri Pamungkas, Mahapatih Kerajaan Timbel Wetan itu dengan panjang lebar.

Seluruh hadirin yang ada di pendopo semuanya terdiam mendengar penuturan Sugiri Pamungkas, Mahapatih Kerajaan Timbel Wetan yang terkenal jujur, adil dan bijaksana.

Aku mengangguk-angguk dan tersenyum.
"Itu masalah kecil wahai Mahapatih Kerajaan Timbel Wetan yang baik. Itu masalah kecil." Kataku.

Semua mata hadirin menatapku dengan tajam dan terheran-heran. Bahkan sepasang mata Ratu Wulandari yang lentik itu pun melirikku dengan tajam. Seakan-akan aku telah melakukan tindakan yang tidak bijaksana dengan menganggap sepele persoalan.

"Ba... bagaimana bisa itu merupakan masalah kecil Baginda?" Tanya Sugiri Pamungkas dengan wajah keheranan yang luar biasa.
"Itu masalah kecil. Apakah kalian membawa ke 19 ekor kuda tersebut?"
"Ampun Baginda, kami membawanya." Kata Sugiri.
"Baik. Tolong kumpulkan semua kuda-kudanya di halaman pendopo."

Sugiri Pamungkas menyembah dan berjalan mundur, lalu berbalik dan berteriak:
"Wahai para Patih 3 kerajaan, Baginda Maharaja Marsudi Kasman Putra Dewa Matahari Perkasa telah bersabda, kumpulkan ke 19 ekor bibit kuda perang di depan halaman pendopo ini. Sekarang!"

Seketika barisan patih-patih bubar berpencar dengan tertib dan gesit. Beberapa saat kemudian mereka telah datang bersama kuda-kuda yang tinggi gagah dengan aneka warna kulit. Ada yang putih, hitam, coklat bahkan ada pula yang brintik. Mereka berbaris dengan berbanjar. Menjajarkan kuda-kuda tunggangan perang itu dengan bangga.

"Mahapatih Mada Rajasa, tolong ambilkan satu kuda istana dan bawa ke halaman pendopo." Kataku dengan suara sandiwaraku sebagai raja.
"Ampun Baginda, hamba pamit melaksanakan perintah." Jawabnya.

Mahapatih Mada Rajasa segera pergi dan beberapa saat kemudian membawa sebuah kuda yang sama gagahnya dengan kuda-kuda yang dijajarkan.

"Wahai para Mahapatih 3 Kerajaan Bawahan yang bijaksana, wahai para Patih 3 Kerajaan Bawahan yang setia, dengarlah. Aku berikan kepada kalian 1 ekor Kuda Istana Kumala yang gagah, yang merupakan satu bibit keturunan dengan kuda-kuda gagah di samping kalian. Sehingga jumlah kuda-kuda kalian menjadi 20 ekor."

Semua yang hadir terdiam.
"Setelah genap jumlah kuda kalian 20 ekor, bagikanlah sesuai dengan pembagian 1/2, 1/4 dan 1/5. Kalian takkan dikutuk oleh Dewata dan aku menjadi saksi kalian adalah warga negara Janggala yang jujur dan adil. Kalian adalah warganegara terbaik!" Kataku.

Ketiga Mahapatih itu saling berpandangan. Setelah menyembah hormat, mereka pergi ke halaman dan membagi-bagi Kuda sesuai dengan jatah pembagian. 1/2 untuk Kerajaan Timbel Wetan berjumlah 10 ekor Kuda, 1/4 untuk Kerajaan Gunung Kidul berjumlah 5 ekor Kuda dan 1/5 untuk Kerajaan Turboyo berjumlah 4 ekor Kuda.

Setelah masing-masing Kerajaan mendapatkan bagiannya sesuai dengan angka pembagian 1/2, 1/4 dan 1/5 maka jumlah total kuda yang dibagikan adalah 19 ekor.

Mereka semua takjub dengan sisa 1 ekor kuda yang tak terbagikan.

Serentak semuanya menyembah kepadaku.
"Puja puji dewa! Puja puji dewa! Puja puji dewa! Puja puji dewa! Puja puji dewa! Puja puji dewa! Puja puji dewa! Puja puji dewa!" Demikian mereka bersorak sorai.
"Hidup Baginda Maharaja Marsudi Kasman Putra Dewa Matahari Perkasa!" Teriak salah seorang patih. Teriakan itu dikuti secara serentak oleh seluruh hadirin yang ada di pendopo dan di halaman.

Aku tersenyum mendapatkan wajah Sugiri Pamungkas yang kebingungan.
"Ampun Baginda Maharaja Marsudi Kasman Putra Dewa Matahari Perkasa, ini satu ekor lagi tak terbagikan, bagaimana nasibnya?"
"Kembalikan ke istal Istana." Kataku dengan santai.

***

"Sekarang mari kita meninjau pembangunan Candi." Kataku setelah seluruh rombongan dari tiga kerajaan itu bubar dengan rasa puas dan bahagia di hati mereka akan keputusan yang telah aku ambil.
"Ampun Baginda, mari kita berangkat." Jawab Mahapatih Mada Rajasa dengan wajah dilumuri kekaguman kepadaku.

Para Patih Pembangunan Candi beserta Para Punggawanya
Sedang Sibuk Bekerja Membangun Candi Persembahan Dewa Matahari




Seumur hidupku, aku belum pernah menunggang kuda. Namun ketika Mahapatih Madarajasa menyodorkan seekor Kuda Putih yang sangat tinggi dan gagah, aku entah bagaiman, tiba-tiba saja meloncat ke punggung kuda tersebut dan duduk di atasnya dengan rasa nyaman.

Kuda putih bersurai keemasan itu meringkik kegirangan ketika aku berada di atasnya. Dan aku merasa sangat aneh dengan diriku. Aku secara ajaib dapat menserasikan diriku dengan gerakan-gerakan tubuh kuda sehingga timbul kebersamaan langkah antara penunggang dan kudanya... ketika kami bergerak bersama. Melangkah maju. Aku sungguh-sungguh mersakan sensasi yang luar biasa.

Perasaan gagah dan keren menghinggapi dadaku.

Kami mencongklak kuda dengan kecepatan normal. Ratu Wulandari yang mendampingiku di sebelah kiri, tak henti-hentinya menatapku dengan tatapan kagum dan dipenuhi rasa asmara. Sorot matanya yang lembut dan penuh ajakan itu mustahil membohongiku bahwa dia ingin segera menemukan waktu agar aku bisa menunaikan tugasku yang tertunda menyetubuhi tubuh mulusnya.

Beberapa kali Ratu Wulandari memendam kecewa ketika aku berpura-pura sibuk menyapa rakyat di sepanjang jalan dan tidak menghiraukannya.

Kami melewati sejumlah perkampungan desa yang memiliki tata perumahan yang apik dan terstruktur. Beberapa desa, memiliki ciri khas bangunannya masing-masing. Terutama bangunan-bangunan publik seperti Bangunan Tempat Musyawarah, Bangunan Tempat Belajar Beladiri dan Tempat Kesenian serta Bangunan Tempat Pembuatan Alat-alat Pertanian.

Aku merasa sangat kagum.

Setelah melewati sejumlah desa, kami melewati hutan produktif yang dikelola kerajaan bawahan melalui penataan penanaman pohonnya yang sesuai dengan kebutuhan kerajaan bawahan tersebut. Hutan produktif itu umumnya ditumbuhi pohon randu putih sebagai bahan utama pembuatan kain. Rupanya kami sedang melewati Kerajaan Sandang Gumintang, yakni sebuah Kerajaan Bawahan yang pendapatan asli daerahnya diperoleh dari keuntungan penjualan kain yang mereka produksi.

Sepanjang perjalanan, Mahapatih Mada Rajasa menjelaskan berbagai kemajuan pembangunan di wilayah-wilayah yang kami lewati. Dia dengan semangat yang menyala-nyala menjelaskan statistik mengenai ketersediaan pangan berupa beras ladang, umbi-umbian, buah-buahan serta daging yang berasal dari peternakan Bandot (kambing).

"Patih Pertambangan Lodra Wisesa telah menemukan tambang Batu Api baru di Utara, yang jumlahnya cukup untuk kebutuhan seluruh desa di Kerajaan Janggala dan seluruh Kerajaan-kerajaan Bawahan lainnya. Sehingga masyarakat luas, tidak perlu khawatir akan kehilangan api jika musim hujan nanti tiba. Sehingga mereka akan tetap hangat dan sehat." Demikian penjelasan Mada Rajasa.

"Bagaimana dengan kemajuan pendidikan, Mahapatih?" Tanyaku.

"Ampun Paduka yang Mulia, pusat-pusat Bangunan Tempat Beladiri, Kesenian dan Sastra Titah Dewa telah dibangun di seluruh desa yang berada di bawah naungan Kerajaan Janggala Nagara. Selain itu kami juga telah melakukan Pendidikan dan Pelatihan secara khusus kepada Para Kyai di seluruh wilayah Kerajaan sebanyak Trisata (300) orang Kyai. Para kyai itu diharapkan akan mampu meningkatkan kualitas pendidikan beladiri, seni dan sastra titah dewa. Terutama Sastra Titah Dewa yang selama 100 purnama belakangan ini mengalami kemunduran. Soalnya anak-anak muda kita lebih suka mempelajari Seni Tari Egol yang dinamis dan menyenangkan ketimbang mempelajari Sastra Titah Dewa yang rumit dan membosankan."

Aku teresenyum kepada Mahapatih yang berwajah cemberut karena peminat Sastra Titah Dewa semakin menyusut.
"Itu masalah kecil, Mahapatih." Kataku.
"Ampun Paduka, bagaimana mungkin ini bisa disebut masalah kecil, sedangkan pelajaran Sastra Titah Dewa adalah sangat penting untuk keberlangsungan Tata Pemerintahan dan Tata Upacara Kerajaan Janggala. Sedangkan peminatnya pada 3 purnama terakhir sama sekali tidak ada seorang pun." Wajah Mahapatih tampak muram.
"Berikan saja hadiah, Mahapatih. Beri hadiah bagi siapa saja yang mau mendaftar menjadi siswa Sastra Titah Dewa pada pendaftaran Purnama yang akan datang. Menurutmu hadiah apa yang pantas bagi mereka?"

Mahapatih tampak terperangah. Sepasang matanya yang berbola mata kecil itu melebar.
"Ba.. Ba.. Baginda Maharaja Marsudi Kasman Putra Dewa Matahari Perkasa... Puja puji Dewa... Baginda sangat bijaksana. Soal hadiah, itu biar diurus Patih Bendahara Kerajaan."
"Bagus." Kataku. "Aku kira jalan menanjak ini menandakan kita akan sampai."
"Ampun Paduka yang mulia, benar sekali."

Kami melewati jalanan yang menanjak, mendaki sebuah bukit yang puncaknya telah dipapas. Luas papasan puncak bukit itu mungkin setara dengan luas dua kali lapangan sepak bola.

Begitu kami datang, para Patih dan Punggawanya langsung menyembah kepadaku dengan sangat hormat dan antusias. Namun aku segera mengangkat tangan dan memerintahkan mereka untuk tidak menghentikan pekerjaannya.

Kami kemudian menemui Tetua Pelaksana sekaligus Penanggungjawab Proyek, seorang Patih senior yang bermana Guruminda.

Patih Guruminda tidak mengetahui kedatangan kami. Dia tampak sibuk di Graha Kendali dengan tumpukkan lembaran-lembaran kulit kuda yang berisi berbagai catatan, contoh-contoh material batu dan puluhan batok tempurung kelapa berisi cairan lem perekat batu.

Ketika pertama kali melihat kami, dia langsung meloncat gembira dan memburuku. Dan langsung menyembah.
"Puja puji dewa!" Katanya "Ampun Paduka yang mulia, Baginda Maharaja Marsudi Kasman Putra Dewa Matahari Perkasa, hamba merasa sangat bangga mendapat kunjungan Baginda yang mendadak ini." Katanya.
"Bangunlah Patih Guruminda yang jenius. Aku juga gembira bisa melihatmu dalam keadaan sehat wal afiat." Kataku sambil turun dari kuda.
"Ampun Paduka yang mulia, kami telah bekerja selama hampir 47 purnama dan proyek Pembangunan Kompleks Candi Persembahan Dewa Matahari ini sudah rampung 80%. Kami yakin akan menyelesaikan proyek ini tepat pada waktunya... andai..."
"Andai apa Patih? Katakan terus terang."
"Ampun Paduka yang mulia, selama ini proses pembangunan kompleks persembahan candi ini berjalan dengan lancar sampai tiba-tiba Nyi Roro Shintaurus datang dan mengancam akan menghancurkan hasil kerja kami, padahal kita sudah teken kontrak kesepakatan sejak awal pembangunan. Yakni, kami telah menyerahkan sebukit Hutan Lumping sebagai kompensasi penggantian bukit cadas yang kering dan tidak subur ini yang semula adalah tempat tinggalnya." Katanya.
"Patihku Guruminda, coba renungkan secara cermat, apakah nilai kompensasi sebukit Hutan Lumping itu sama nilainya dengan bukit tandus ini?" Tanyaku.
"Ampun Paduka yang mulia, nilai sebukit Hutan Lumping 77 kali lipat lebih tinggi dari bukit tandus ini."
"Hemmm... pasti ada yang aneh. Baiklah, coba panggil ke sini Nyi Roro Shintaurus, biar aku langsung berbicara kepadanya." Kataku.
"Ampun Paduka yang mulia, mohon pamit untuk laksanakan perintah."

Tidak berapa lama kemudian, Patih Guruminda datang bersama seorang perempuan bertubuh semok dan berkepala Kuda. Aku sedikit tersentak juga melihat Nyi Roro Shintaurus ini. Walau dia tidak datang dengan menyembah namun sikapnya tetap hormat kepadaku.

Aku mengangguk dan tersenyum kepadanya.

Sementara itu tiba-tiba saja Ratu Wulandari merasa cemburu dan dengan sikap yang menurut para Patih kurang sopan, Ratu Wulandari menggamit tanganku dan memeluknya. Menggesek-gesekan pinggiran buah dadanya pada lenganku yang telanjang, membuat si betok yang merasa kentang langsung menggeliat bangun.

Aku meminta Ratu Wulandari melepaskan gamitan tangannya pada lenganku.

Ratu Wulandari menurut namun sepasang kakinya membentuk taki-taki, semacam kuda-kuda dengan posisi ofensif siap melakukan penyerangan berupa tendangan. Aku tersenyum jika melihat bahwa dia mengenakan kain samping hingga ke peretengahan betis, tendangan apa yang kira-kira bisa dilakukan oleh Ratu Wulandari.

"Bicaralah Shintaurus, aku ada di sini untuk mendengarkan." Kataku.

Nyi Roro Shintaurus meringkik-ringkik, kepala kudanya bergerak-gerak ke depan dan ke belakang, lalu ke kiri dan ke kanan. Kedua tangannya membuat sebuah gerakan tertentu berupa putaran setengah lingkaran. Lalu tiba-tiba dia menunjuk dahi kepala kudanya dengan kedua telunjuk kanan kirinya.

Selarik sinar warna biru menyorot langsung ke keningku. Sinar itu berasal dari tengah-tengah kening Nyi Roro Shintaurus yang terletak di bawah ujung poni rambutnya. Ketika sinar itu mengenai keningku, ada suatu rasa hangat yang menjalar ke mata dan telingaku.

Tiba-tiba saja aku bisa mendengarkan suaranya dan memahami bahasa yang diucapkannya. Dia menggunakan Bahasa Campuran Yunani Kuno dan Bahasa Inca Kuno. Aku menjadi sangat simpati setelah mendengarkan semua kisah sedihnya.

Nyi Roro Shintaurus, Wanita Berkepala Kuda yang sedang berduka


Nyi Roro Shintaurus bercerita bahwa dia sebenarnya merasa bahagia bisa menempati satu bukit Hutan Lumping yang sangat subur itu secara penuh. Di sana penuh dengan makanan berupa buah-buahan dan daun-daunan di pucuk-pucuk pohon yang sangat lezat. Namun sejak suaminya Shantorian meninggalkan dunia kasar dan berpindah ke dunia halus, Shintaurus sangat kesepian dan sering uringan-uringan karena hasrat seksualnya tidak terpenuhi.

Dia menjadi sering merasa sangat gelisah.

Dia tidak bermaksud mengganggu kelancaran pembangunan kompleks candi itu, tapi kalau hasrat seksualnya datang dan tak terpenuhi, dia menjadi jengkel dan melakukan tindakan-tindakan tidak waras sehingga kepalanya menjadi sangat gatal dan menubruk-nubruk bangunan candi setengah jadi.

Dia mohon maaf atas kelakuannya dan memintaku untuk menyerahkan kuda putih tungganganku kepadanya.
"Sekalian minta dikawinkan, Baginda." Katanya dengan penuh permohonan. Kulihat kedua matanya melelehkan air mata.
"Asalkan kau berjanji takkan menggangu lagi, aku akan luluskan permintaanmu." Kataku.

Tiba-tiba wanita berkepala kuda itu menjatuhkan dirinya, berlutut dan menyembah di kakiku. Dia mengucapkan terimakasih yang tak berhingga.

Aku menyuruhnya bangkit. Semua para patih dan punggawa tercengang-cengang melihat bagaimana kami berkomunikasi.

Aku lalu mengusap-usap punggung Kuda Putihku yang berjingkrak-jingkrak kegirangan. Rupanya si kuda putih gagah bersurai emas ini memahami pembicaraan aku dan Nyi Roro Shintaurus yang dilakukan secara telepati.
"Bawalah kami ke tempat sepi di bawah pohon." Tiba-tiba si Kuda Putih meringkik dan berbicara kepadaku.

Aku membawa si Kuda Putih dan Shintaurus ke belakang Graha kendali di mana sebuah pohon Kiara tumbuh dengan rendah. Kutahan Mahapatih dan patih-patih yang lain untuk tidak mengikutiku.

Namun Ratu Wulandari menolak perintahku. Dia mengikutiku sampai belakang graha tanpa bisa ditahan.

Di bawah pohon kiara, Si Kuda Putih langsung berguling sehingga kontolnya yang kemerahan terlihat jelas mulai membesar dan memanjang. Shintaurus segera menarik kain samping hingga lepas dan menunggangi perut kuda putih itu. Kulihat belum apa-apa, liang memek Shintaurus sudah memuai dan mengangkan liang mulutnya. Secara presisi Shintaurus menempelkan liang memeknya ke kepala kontol si kuda putih. Setelah menempel dan masuk ujung kepala kontol si kuda putih, Shintaurus memeluk dada kuda itu dengan erat.
"Kawinkan sekarang Baginda."
"Aku, Baginda Maharaja Marsudi Kasman Putra Dewa Matahari Perkasa, dengan ini mengawinkan kalian sebagai pasangan secara resmi." Kataku.

Begitu kalimatku selesai, kontol si putih langsung memanjang dan menembus ke dalam liang memek Shintaurus yang langsung meresponnya dengan memaju mundurkan pantatnya, sehingga gerakan-gerakan pengentotan itu berlangsung dengan baik.

Mereka saling mengentot dengan sangat cepat namun terlihat nikmat selama beberapa menit. Kemudian saling terdiam karena keduanya saling mengejan.

Mereka lalu tiba-tiba meringkik-ringkik dengan sangat keras. Suara ringkikkan keduanya melengking sampai ke langit ketika mereka secara bersamaan memuncratkan pejuhnya masing-masing dengan penuh kenikmatan.

Iiik iiik iiik... brrrr
Iik iik iik... brrrr
Ik ik ik... brrrr

Kulihat keduanya tampak bahagia. Mereka meringkik dan menggubris-gubriskan kepala mereka, sehingga tampak seperti menggigil kedinginan. Setelah menyembah, mereka pamit undur diri dan menuruni bukit untuk pergi menuju ke hutan Lumping.

Mereka segera menghilang ditelan pepohonan.

Ratu Wulandari Pertiwi Dwikencana Murni yang sejak tadi mendampingiku, langsung memelukku dan tangannya menyelusup ke balik kain pakaian kebesaran kerajaan, untuk menemukan batang si betok yang sudah mengeras.
"Ampun Paduka yang mulia, kontol Baginda lebih besar, lebih panjang dan lebih gagah selaksa kali lipat di banding kontol kuda jelek itu." Katanya dengan mulut tersenyum. "Kapan Baginda akan menunaikan tugas mengewe hamba?"
"Tidak sekarang Ratu Perawanku yang cantik. Tidak sekarang." Kataku sambil tersenyum dan melepaskan si betok dari genggaman tangannya secara halus.

Aku kemudian pergi menemui Mahapatih Mada Rajasa, Para Patih dan Punggawa, untuk memberikan instruksi dan wejangan terakhir.

***

(Bersambung)
Mantap suhu
 
Ampun paduka guru, hebat king CashMan dalam menyelesaikan masalah di kerajaan, lanjutkaan
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd