Rabu, 30 Januari 2019.
Pagi.
Aku terjaga dengan seluruh badan terasa seperti habis disetrika oleh Truk Toronton.
Semalam, meskipun aku sudah meminum 3 cangkir kopi dan menyedot 4 linting rokok daun kawung, tapi mataku benar-benar tak sanggup menahan kantuk. Aku tertidur di tengah pembicaraan. Entah siapa yang memindahkan aku ke kamar tidur, aku tak tahu.
Aku terhuyung-huyung ke kamar mandi. Kencing, BAB, gosok gigi dan mandi. Lalu ke ruang makan, sarapan tanpa semangat ditemani Mang Emen yang sudah siap berangkat, dia memakai seragam safari lengan pendek warna biru tua.
"Hari ini, kita akan ke mana, Mang?" Tanyaku.
"Ke Curug Dago dan Curug Cimahi, Bos, kalau sempat. Tapi sebelumnya kita ke Cicadas dulu, mengambil Ketumbar Hitam pesanan. Kalau Ojang sudah mengirim nomor rekening, sekalian Bos juga transfer uang."
"Baiklah. Sisa uang kemarin masih ada, Mang?"
"Masih, Bos."
"Nih, aku kasih 5 juta lagi."
"Siap, Bos." Kata Mang Emen. "Semuanya sudah siap, Bos. Kalau Bos mau berangkat, sekarang juga kita bisa berangkat."
"Telpon Hendra dulu, suruh ke sini."
"Baik, Bos."
"Mang, kalau Mang Emen perlu pulsa atau rokok, ambil aja uangnya dari situ."
"Siap, Bos." Kata Mang Emen.
Hendra datang 10 menit setelah ditelpon.
"Siap, Pak. Ada apa, Pak?"
"Jum'at besok saya masuk kantor sesuai TMT, tolong beritahu semua karyawan, terutama Manajer Operasional jangan pergi ke mana-mana dulu. Terus, Kamis besok, Pak Hendra ke Kantor Cabang Utama Provinsi dan menemui Manajer HRD, saya lupa namanya, kalau tidak salah Pak Agus, tanyakan berkas apa saja yang belum lengkap. Sekalian minta jadwal Bu Ningrum, kapan saya bisa menghadap untuk melapor."
"Baik, Pak."
"Terus, Kamis minggu depan tanggal 7 Februari, saya akan menggelar syukuran memotong kerbau dan kambing, bisa dikondisikan enggak agar warga masyarakat juga bisa ikut hadir dan menikmatinya."
"Siap, Pak. Bisa."
"Bagus, Pak Hendra. Terimakasih." Kataku. "Nah, sekarang saya mau berangkat bersama Mang Emen."
"Siap, Pak. Semoga selamat di perjalanan."
"Terimakasih, Pak Hendra."
***
Baru saja aku duduk di mobil dan Mang Emen mau memasukkan persneling ke gigi 1, tiba-tiba saja HP Mang Emen berdering keras.
"Maaf, Bos, sebentar, ini dari Ojang." Kata Mang Emen. "Iya, halow, kang Ujang, hallow?"
Terdengar suara tidak jelas dari speaker HP Mang Emen namun Mang Emen mendengar suara itu dengan serius.
"Iya Jang, iya. Nanti saya sampaikan sama Bos. Iya, mangga, mangga." Jawab Mang Emen, lalu mematikan HPnya.
Mang Emen berpaling ke arahku.
"Bos, Ojang tidak bisa membuat rekening. Jadi mereka akan berangkat dari Garut ke sini untuk mengambil uang."
"Begitu, ya Mang."
"Iya, Bos. Jadi sekarang sebaiknya Bos ambil uang dulu."
"Kalau begitu panggil si Juber biar dia yang pegang uangnya."
"Baik, Bos."
Mang Emen turun dari mobil dan memanggil Juber. Si anak bengal itu datang dengan cengengesan sambil memperbaiki celananya. Dia duduk di kursi depan. Mobil pun melaju menuju Bank BUMN, kantor baruku.
Turun di tempat parkir, Hendra hampir saja berteriak. Tapi aku mengedipinya agar jangan ribut. Sekilas kusapukan pandanganku ke sekeliling tempat parkir yang cukup luas, kumuh dan kotor. Ketika masuk, suasananya tampak malas. Dua orang nasabah sedang duduk menunggu sedangkan lobby teller kosong tak ada orang. Meja CS juga tidak ada orang.
Aku melangkah ke lobby dan mengintip ke balik partisi, Teller dan CS sedang sarapan. Aku mendesis geram.
15 menit kemudian mereka melayani nasabah. Ketika giliranku tiba, sikap teller agak genit dan kurang teliti. Juber yang mengekorku di belakang, terpana menatap teller yang bernama Winda itu. Juber berkali-kali menelan ludahnya.
"Pak." Bisik Juber kepadaku ketika dia memasukkan uang yang baru saja kutarik ke dalam tas ransel yang digendongnya. "Yang itu boleh saya tundukkan."
Aku melotot ke arah Juber dengan galak.
"Boleh." Bisikku. Lalu tersenyum kepada Juber.
Juber melengak. Tapi kakinya setengah meloncat karena gembira.
"Hai, teteh cantik." Kata Juber. "Namanya Winda ya?"
"Ape lu tanya-tanya, dasar pembantu tidak tahu diri." Kata Teller itu. Juber malah tersenyum dijudesin seperti itu.
Aku pura-pura tidak peduli dan pergi meninggalkan ruang layanan Bank yang menyedihkan ini. Juber membuntutiku. Di luar aku mendekati Hendra dan memintanya mempersiapkan berkas Winda dan Sindi, yang bertugas sebagai CS saat itu.
"Siap, Pak." Kata Hendra.
Di dalam mobil, ketika kami mengantar Juber pulang, anak itu sudah komat-kamit tidak jelas. Tiba di rumah, aku turun dulu karena ingin minum kopi sebentar di dapur. Sambil mengaduk kopi, Mak Onah dengan memberengut mendengar kata-kata yang diucapkan Juber.
"Ceu, maap ya, hari ini sampai nanti malam, Juber enggak bisa diganggu." Kata Juber. "Soalnya Juber mau jagain uang punya Bapak di kamar kerja."
"Ya udah kalau enggak mau nganter ke pasar, mah. Ceuceu juga tidak apa-apa."
"Jangan gitu dong, ini uang bapak 125 juta kalau ada apa-apa gimana?"
"Iya enggak apa-apa." Kata Mak Onah.
Aku memperhatikan tingkah Juber. Dia nyengir kepadaku sambil memilih-milih biji leunca yang ada di kulkas. Dia mengambil 6 biji leunca dengan ekspresi wajah bersemangat.
"Pak, Uang ini akan saya simpan di ruang kerja. Ruang kerjanya mau Juber kunci dari dalam, boleh kan, Pak?"
"Terus kamu mau ke mana?"
"Saya ada di dalam ruangan, Pak." Katanya.
"Kenapa harus dikunci?"
"Biar tidak ada yang mengganggu, Pak."
"Kamu yakin bisa menundukkan Winda?"
Juber tersenyum licik.
"Yakin dong, Pak." Katanya dengan penuh percaya diri.
***
(Bersambung)