Kami akhirnya tiba di sebuah gubuk kayu (bukan gubuk bambu) yang terbuat dari gelondongan kayu yang disusun sedemikian rupa, sehingga membentuk gubuk yang sederhana. Aku menurunkan gendongan ransel bambuku dan mengeluarkan semua buah Lapo yang terdapat di dalamnya. Si Kakek Tua dengan matanya mengikuti gerakan tanganku ketika memindah-mindahkan buah itu ke atas dipan kayu. Setelah aku merasa selesai, si Kakek Tua dengan tidak percaya menggeledah isi ransel keranjang bambuku dan dia terkekeh ketika mengetahui sudah tidak ada buah Lapo itu di dalamnya.
Si Kakek Tua mengernyitkan kening dan melecehkanku saat melihat kendi dan puluhan kerikil warna warni yang memenuhi bagian dasar ransel keranjang bambuku. Dia menceramahiku jangan bersikap seperti anak kecil sambil menyedot-nyedot buah lapo.
Aku sudah berkali-kali minta pamit kepada Kakek Tua itu agar dia mau segera membukakan pintu dan aku bisa segera pergi, tapi si Kakek Tua itu kelihatannya tidak begitu peduli untuk membukakan pintu. Dia asyik menyedot-nyedot buah Lapo sambil terus berceloteh menceritakan hal-hal yang tak bisa aku mengerti. Apalagi kupahami.
"Kek, saya permisi, Kek." Kataku.
"He he he... " Dia terkekeh. "Sekarang dengarkan ceritaku yang lain yang tidak lucu. Dengarlah cucuku, dengarlah baik-baik. Di seantero rimba ini, ada seorang bidadari yang sangat jelek. Di tengah-tengah antara kedua alisnya ada andeng-andeng sebesar kutil. Walau dia sangat jelek tapi dia mengaku sebagai bidadari yang paling cantik. Semua mahluk yang ada di sini sudah muak. Aku sudah berjanji pada bulan, bintang dan matahari tidak akan membocorkan kejelekannya... he he he... kamu tahu cucuku, janji adalah janji. Aku tidak akan membocorkan rahasia telinga kirinya yang keriput... he he he... itu sangat jelek sekali... ha ha ha..."
Si Kakek Tua itu menyedot buah Laponya sekali lagi.
"Loh, masa baru disedot sedikit sudah kering lagi?" Katanya sambil meneliti buah Lapo yang sudah sangat mengkerut itu. Dia kemudian memijit-mijit buah Lapo itu agar mengembung kembali, lalu menyedotnya lagi.
"Huaha ha ha ha... segarrrrr... ada satu cerita lagi... he he he... ini juga tidak lucu. Ada seorang bidadari yang sangat cantik... tapi dia selalu menangis sepanjang pagi hingga petang karena merasa jelek. Seluruh mahluk rimba selalu meledeknya dan menghinanya... padahal dia adalah bidadari tercantik yang ada di kolong langit ini. He he he... tidak ada satu pun mahluk rimba yang mengetahuinya kecuali aku. Ha ha ha... sayangnya aku sudah berjanji pada langit dan bumi tidak akan membocorkan rahasia ini... ho ho ho... seandainya dia sudah diperawani dan merasakan kenikmatan kenthu... ho ho ho... tentulah lendir kenikmatannya itu akan menghilangkan semua kejelekan dan kesedihannya. He he he... aku janji aku tidak akan membocorkan rahasia... aku juga janji takkan nyedot Lapo sambil wara-wiri... nanti ke luar tersesat ke pintu dua dan harus menunggu 77 purnama untuk bisa kembali... he he he..."
"Kakek memang hebat dan luar biasa. Sangat bisa dipercaya." Kataku.
"Cucuku, aku tidak mabuk. Aku tidak mengatakan apa pun kepadamu hal-hal yang penting dan sangat rahasia, iya kan?"
"Iya, Kek. Kakek tidak mabuk dan sangat bisa dipercaya. Kakek tidak mengatakan apapun yang penting. Nah, Kek, sekarang saya mohon pamit mau pergi ke luar."
"Loh? Kamu mau ke luar dari pintu 3 toh?"
"Iya, Kek."
"Mau ngapain ke sana? Sudah di sini saja, nemenin kakek. Aku bisa ceritakan hal lain kalau kamu mau."
Aku diam sejenak. Berpikir.
"Saya cuma mau jalan-jalan sebentar, siapa tahu ada pohon Lapo. Buahnya bisa saya ambil dan saya masukkan ke dalam ransel keranjang bambu ini." Kataku sambil menggendong keranjang bambu ke punggungku yang telanjang.
"Ho ho ho... ide bagus. Terus kalau sudah kau ambil, mau kau apakan buah lapo itu? Apakah kau akan menyedotnya?"
"Saya akan meletakkannya di sini seperti tadi saya meletakan buah-buah lapo ini di sini." Kataku.
"Aaaaaaa..... sungguhkah itu?"
"Tentu saja Kakek yang baik. Kakek dapat dipercaya kan jika saya menitipkannya di sini sebentar?"
"Oh, Tentu. Tentu Cucuku. Kakek sangat bisa dipercaya. Kamu jangan ragukan itu. He he he... sekarang biar Kakek buka pintunya dulu ya... he he he... kunciiii.... kunciii... mana kunciiii... he he he... kalian semua tidak tahu kalau tongkat ini adalah kuncinya... ha ha ha..." Kata Si Kakek Tua sambil mendekati pintu dan mencolok lubang kuncinya dengan tongkatnya.
Seketika pintu terbuka. Aku segera ngeloyor pergi meninggalkan si Kakek Tua yang menutupkan pintu sambil menyedot-nyedot buah Lapo.
***
Jalan setapak menuju pintu ke 4 adalah jalan setapak yang sangat indah, sebab di kiri kanannya tumbuh aneka jenis tanaman bunga yang berwarni warna. Di antara tanaman bunga yang harum dan berwarni warna itu, ada sebuah tanaman yang agak tinggi mirip tanaman kaca piring. Bunganya berwarna merah seronok, bentuknya kecil sekali dan buahnya bulat seperti anggur tetapi warnanya coklat seperti gula aren.
Aku mendekati tanaman itu dan memetik satu buahnya lalu mengendusnya. Sangat harum. Seperti harumnya aroma kopi.
Aku tidak tahu buah apa ini. Mungkin buah Palapa yang dulu pernah dijadikan Sumpah oleh Maha Patih Gajah Mada, kalau belum mempersatukan Nusantara, dia bersumpah tidak akan memakan buah Palapa ini.
Mungkin.
Aku mencoba menjilatnya, mmm lembut di lidah. Lalu kumasukkan ke dalam mulut, kukulum sebentar lalu kugigit. Kresss...
Amboiii... rasanya nikmat sekali. Kenyal seperti anggur, lumer seperti bola-bola coklat, manis segar seperti mangga. Aku mengunyahnya dan menikmatinya dengan sepenuh hati. O, rupanya buah yang luarbiasa ini memang lezat. Sangat lezat. Bila Maha Patih Gajah Mada bersumpah dengan buah ini, tentu sumpahnya bukan main-main. Terbukti juga dia bisa membuktikan sumpahnya mempersatukan Nusantara.
Aku memetik dan mengumpulkan buah itu ke dalam ransel keranjang bambu, aku hanya memilih buah yang warnanya sudah coklat tua. Sebab kalau yang masih muda, rasanya asem dan kecut. Aku kurang suka.
Pohon Palapa itu tumbuh sangat jarang di antara ratusan bahkan mungkin ribuan pohon lainnya. Jadi aku fokus mencari pohon itu yang disembunyikan oleh pohon-pohon lainnya sambil terus menyusuri jalan setapak ini.
Tak terasa, langkah pun semakin jauh. Rasanya pohon Palapa itu sudah tidak ada lagi. Tapi kukira aku cukup banyak mengumpulkan buahnya. Cukup untuk menangsal perutku selama perjalanan ini.
Setelah melewati hamparan tanaman bunga, langkahku akhirnya menemukan jalan setapak ini menuju suatu dataran tinggi yang dipenuhi rerumputan. Dataran berrumput itu bentuknya bergelombang, lebarnya tidak mungkin lebih dari 50 meter, sedangkan panjangnya aku tak tahu. Sebab dataran rumput ini di kiri kanannya berdiri pepohonan tinggi yang rapat, memanjang jauh ke depan. Nun jauh di depan itu, kulihat bayangan hutan bambu raksasa yang hijau kehitaman.
Aku terus melangkah, menikmati kesunyian cahaya matahari yang hangat dan angin yang sejuk. Suara-suara binatang hutan seperti monyet dan burung, seakan menemaniku. Mataku fokus memandang ke depan, berharap menemukan pintu ke 4 dan segera melewatinya.
Aku menghentikan langkahku sejenak ketika secara samar kudengar suara perempuan tertawa-tawa. Lalu tawa itu berubah menjadi tangisan yang menyedihkan. Setelah menangis, dia tertawa lagi. Lalu menangis lagi. Dan terus menangis. Aku jadi ikut sedih.
Mataku segera mencari-cari di mana sumber suara itu berada. Kulayangkan pandangan ke sekeliling dengan teliti. Setelah beberapa lama, akhirnya kutemukan juga sumber suara itu, ternyata berasal dari seorang gadis yang sedang duduk di atas rumput. Aku tak bisa segera menemukannya karena dia duduk terhalang oleh gelombang dataran rumput yang agak menonjol tinggi. Dia duduk membelakangiku.
Yang pertama-tama kulihat tentu adalah punggungnya yang putih agak kecoklatan. Tampak halus dan lembut. Pinggulnya semok dengan pinggang ramping, buah pantatnya ketat dengan belahan yang menggoda di tengah-tengahnya. Rambutnya ikal jatuh sepunggung berwarna pirang kecoklatan. Dia menghias kepalanya dengan lilitan tanaman merambat berbunga putih.
Aku berdehem.
Dia menoleh dan menatapku dengan mata birunya yang terang jernih. Hidungnya mancung, bibir sensual dan dagu bagai lebah bergantung. Sekilas terlihat buah dadanya yang kecil dengan puting coklat sebesar biji leunca.
Mata birunya seperti keheranan menatapku.
"Who are you?" Tanyanya. Ah, sejak awal aku sudah menduga kalau dia bukanlah gadis lokal.
"Aku... I am Kasman."
"Oh really? Do you mean Cashman? You don't even need anything cash in here. Everything free here." ("Ah, yang bener? Maksudmu, kamu orang yang membawa uang cash? Kamu sama sekali tidak membutuhkan apapun secara cash di sini. Di sini semuanya gratis.)
Selanjutnya aku langsung translate aja dengan Bahasa Indonesia.
"Nama saya Kasman."
"Oh, O.K." Katanya sambil berbalik ke arahku. Sekarang aku bisa melihat dengan jelas kedua susunya, perut dan udelnya serta memeknya yang masih sangat belia yang kelimis, tanpa satu lembar jembut pun. "Kamu mau apa ke sini?"
"Aku sedang lewat, hendak menuju ke Curug." Kataku. "Tadi kamu menangis, kenapa?"
"Aku tidak menangis." Katanya. "Mengapa kamu menutupi kontolmu dengan celana jelek itu? Apakah kamu malu? Apakah ada yang menghinamu?"
"Aku tidak malu." Kataku.
"Lepaskan, aku ingin melihatnya."
"Kau ingin melihatnya?"
"Ya."
Aku kemudian melepaskan celana pendekku dan celana dalamnya sekalian, lalu menyimpan keduanya di dalam ransel keranjang bambu.
"Oh, indah sekali." Katanya. Mata birunya mengerjap-ngerjap. "Aku pernah melihat kontol monyet, macan dan tupai, tapi semuanya jelek. Kontolmu bagus sekali."
"Terimakasih. Memekmu juga bagus." Kataku.
"Sungguh? Kamu tidak berdusta?"
"Tidak. Aku tidak berdusta. Aku mengatakan yang sesungguhnya." Kataku.
"Tidak, kamu bohong. Kamu pasti berdusta. Semua mahluk di rimba ini mengatakan tidak ada satu pun dari tubuhku yang bagus." Katanya. Lalu dia tiba-tiba menangis sesenggukan.
"Mereka buta. Mereka tak bisa melihat kecantikan wajahmu. kemancungan payudaramu dan kemolekan bibir-bibir memekmu. Mereka buta. Jangan menangis gadis cantik, aku jadi ikut sedih." Kataku.
"Aku tidak bersedih." Katanya. "Apa yang kamu bawa di keranjangmu?"
"Buah-buahan."
"Kau memakan buah-buahan ya?"
"Iya. Kamu?"
"Aku lebih suka makan kelopak-kelopak bunga. Lebih kenyang dan harum." Dia kemudian berdiri dan melangkah mendekatiku. Ternyata dia lebih tinggi dua atau tiga centi dariku. "Kamu pergi ke curug, ya?"
"Iya."
"Kamu harus melewati pintu ke empat. Dan aku petugas penunggunya."
"Oh, begitukah? Apakah kau akan mengizinkan aku melewati pintu itu?"
"Maaf. Aku tidak bisa." Katanya sambil menangis lagi. "Aku tidak bisa membiarkan orang yang mengatakan aku cantik pergi meninggalkanku."
"Kalau aku mengatakan kamu jelek, apakah kamu akan mengizinkan aku pergi?"
"Aku akan izinkan. Tapi jika kamu mengatakan aku jelek, berarti kamu telah berbohong. Pintu ke empat tidak akan bisa dilewati oleh orang pembohong."
"Tapi aku tadi jujur koq bilang kamu cantik."
"Kamu bohong. Aku jelek."
"Tidak, kamu cantik." Kataku.
"Aku jelek."
"Kamu cantik."
"Jelek."
"Cantik."
"Jeleeeeekkkk..."
"Cantiiiiikkkkkk...."
"Je...." Aku menutup mulutnya dengan jariku.
"Cantik cantik cantik cantik cantik kamu cantiiiiiiikkkk." Kataku.
Dia tiba-tiba tertawa. Suara tawanya sangat renyah.
"Kalau kamu mengatakan aku cantik, apakah itu artinya kamu mau bercinta denganku?" Tanya dengan sorot mata birunya yang berbinar-binar.
"Aku katakan kamu cantik bukan berarti aku menginginkan bercinta denganmu. Tetapi aku mau bercinta denganmu. Apakah sebelumnya kau pernah bercinta?" Tanyaku.
"Belum. Aku belum pernah merasakan rasanya bercinta. Aku masih perawan."
"Benarkah?"
"Ya, benar. Coba lihat baik-baik." Katanya. Dia lalu berjongkok dengan satu betis dan pahanya saling menempel, kemudian satu kakinya lagi bergerak agak menjauh. "Lihat ini lekukan pada pahaku... dan ini lihat kelentitku... kamu lihat ini tandanya aku masih perawan." Katanya.
Penunggu Pintu ke 4 sedang memperlihatkan lekukan pahanya
dan ujung kelentitnya sebagai tanda bahwa dia masih perawan
Aku tersenyum menyaksikan tingkahnya.
"Nah, kamu lihat kan aku masih perawan?" Katanya. "Kenapa kamu tersenyum?"
"Aku melihat memek dan itilmu yang cantik, paha dan betismu yang panjang dan indah... tapi aku tidak melihat keperawananmu." Kataku.
"Masa sih kamu tidak melihatnya?"
Aku menggelengkan kepala.
"Bagaimana kalau aku begini?" Katanya, lalu dia duduk di atas rumput, membuka kedua pahanya lebar-lebar. Tangan kanannya ke belakang untuk menopang tubuhnya sedangkan tangan kirinya terselip di antara paha dan lututnya, mencoba merenggangkan pahanya lebih lebar lagi.
"Nah, kamu lihatkan sekarang memekku terbuka? Coba lihat liangnya yang berwarna pink? Itu tandanya aku masih perawan." Katanya.
Penunggu ke empat memperlihatkan liang memeknya
pertanda bahwa dia masih perawan
Aku tersenyum lagi kepadanya. Dan menggelengkan kepala.
"Itu sama sekali tidak membuktikan kalau kamu adalah seorang perawan." Kataku.
"Benarkah?" Tanyanya dengan wajah yang sangat sedih.
"Ya."
"Terus bagaimana caranya aku memperlihatkan kepadamu kalau aku masih perawan?"
"Tidak. Kamu tidak bisa hanya dengan memperlihatkan memekmu saja." Kataku. "Tapi... "
"Tapi apa?" Tanyanya.
"Tapi, memekmu harus diewe dulu sampai selaput dara perawan di dalam memekmu pecah, lalu akan ke luar darah. Itulah buktinya bahwa kamu adalah perawan."
"Diewe itu maksudnya apa?"
"Maksudnya... liang memekmu dimasuki kontol terus sampai dalam, nanti kepala kontol itu akan mengenai selaput daramu dan memecahkannya."
"Aku mau diewe." Katanya dengan nada memelas. "Aku mau diewe sama kontolmu yang besar dan gagah ini... tapi apakah kamu mau mengewe aku? Aku tahu pasti kontolmu sakit jika ditancapkan hingga masuk ke dalam liang memekku... aku tahu dia pasti akan megap-megap di dalam sini." Katanya sambil telunjuknya menunjuk ke arah liang memeknya. "Aku tahu, Cashman. Tapi pengorbananmu akan kubayar dengan membukakan pintu dan kau boleh pergi menuju pintu ke lima."
"Bukan Cashman, tapi Kasman." Kataku. "Apakah kau berjanji?"
"Aku berjanji. Asal kau mau mengewe memekku ini, maka aku akan melepaskanmu pergi."
"Kamu tidak akan bohong?" Tanyaku sedikit ragu.
"Aku tidak akan bohong." Katanya.
"Baiklah kalau begitu, aku mengewe memekmu." Kataku.
Gadis bermata biru melonjak gembira.
"Horeee... memekku akan diewe." Katanya dengan wajah gembira dan dengan suara yang keras. Suara kerasnya kurasa menggema hingga ke seluruh penjuru rimba.
***
(Bersambung)