Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG RIMBA ASMARA

Thema apakah yang paling anda gandrungi dalam Sub Forum Cerita Bersambung ini?

  • Hubungan sedarah atau incest, dengan mama atau saudara kandung

    Votes: 316 17,6%
  • Hubungan setengah baya atau MILF, antara yang muda dengan yang tua

    Votes: 239 13,3%
  • Hubungan sex Cukold, eksib, voyeur, mengintip dan di tempat umum

    Votes: 132 7,3%
  • Hubungan sex di kalangan remaja atau SMU/pesantren/sederajat

    Votes: 99 5,5%
  • Hubungan sex di kos-kosan mahasiswa/mahasiswi

    Votes: 85 4,7%
  • Hubungan sex Perkosaan

    Votes: 46 2,6%
  • Hubungan Sex affair di kalangan bisnis atau antar pegawai kantoran

    Votes: 99 5,5%
  • Hubungan sex dengan Bini Orang

    Votes: 159 8,9%
  • Hubungan sex dengan Laki Orang

    Votes: 16 0,9%
  • Hubungan sex di kalangan selebriti Indonesia

    Votes: 80 4,5%
  • Hubungan sex di pedesaan/ di perkampungan

    Votes: 88 4,9%
  • Hubungan sex dengan wanita berhijap/kerudung

    Votes: 332 18,5%
  • Hubungan sex romantis

    Votes: 62 3,5%
  • Scandal sex para politisi atau pejabat

    Votes: 19 1,1%
  • Hubungan sex lesbian/gay

    Votes: 16 0,9%
  • Hubungan sex lainnya

    Votes: 8 0,4%

  • Total voters
    1.796
  • Poll closed .
Status
Please reply by conversation.
Beuh chapter yang deskriptif banget ini...
Akhirnya sampe di curug seven...
Ga sabar pengen tau setelah dapet aer di curug jadi gimana mr. Cashman
 
Setelah melewati lorong gua yang sempit, aku menemukan sebuah ruang gua yang terang dan leluasa. Meskipun leluasa namun aku tak bisa berdiri karena langit-langit tidak mencukupi tinggi badanku untuk berdiri. Lagi pula, lantai gua itu sangat licin dan menurun. Di mulut gua yang terang itu, kulihat air mengalir tenang gemericik.

Setelah menuruni lantai gua yang licin menurun, aku menemukan lantai gua yang datar dan penuh dengan bebatuan. Begitu ke luar dari mulut gua yang lebar namun tingginya kurang satu meter itu, akhirnya aku menemukan sebuah ruangan gua yang sangat lega dengan langit-langit yang tinggi.

Bentuk ruangannya melengkung. Langit-langitnya seperti kristal demikian juga dengan beberapa dinding-dindingnya. Di salah satu dinding kristal, mengucur suatu air terjun kecil dengan ketinggian sekitar 1, 5 meter. Namun airnya tercurah demikian deras. Beberapa kristal kecil berbentuk kerikil berwarna bening ikut terlontar dari air curug yang lebih mirip pancuran itu. Aku memunguti kerikil-kerikil kristal bening itu dan memasukkannya ke dalam ransel keranjang bambu.

Setelah merasa cukup, aku melepaskan pakaian kerajaan Jenggala dan meletakkannya di atas ransel keranjang bambu yang kusimpan agak jauh dari curug biar tidak terkena air. Aku mengambil kendi dan membuka tutupnya. Memeluk kendi itu di bawah air curug sambil duduk. Kubiarkan terjangan air memijiti seluruh pundak dan punggung serta kepalaku.

Ketika mulut kendi itu penuh, aku segera keluar dari pancuran curug dan segera menutup mulut kendi. Aku mengeringkan tubuhku dengan menggunakan pakaian kerajaan Jenggala dan kemudian mengenakan kembali celana pendek dan celana dalamku yang lebih nyaman.

Pada saat aku mengeringkan tubuhku, aku tiba-tiba sadar jika rambut gondrongku yang sebahu serta kumis dan jenggotku, ternyata telah hilang. Pantes aku tidak lagi merasa geli di bagian bawah cuping hidungku.

Sebelum pergi meninggalkan ruang gua yang bagai kubah itu, aku menyisipkan kendi ke dalam ransel keranjang bambu dan menguburnya dengan kerikil-kerikil yang telah aku kumpulkan yang jumlahnya sangat banyak. Setelah itu, aku menyumpal mulut ransel keranjang bambu dengan pakaian Kerajaan Jenggala beserta kembennya, sehingga baik kendi maupun kerikil-kerikil di dalamnya tertutup oleh kain-kain tersebut.

Sambil menggendong ransel keranjang bambu yang terasa semakin berat, aku melangkah mengikuti alur sungai yang berkelak-kelok seperti ular. Sungai itu sangat dangkal hanya kira-kira semata kaki. Di dasar sungainya dipenuhi batu-batu kecil yang licin karena lumut.

Meskipun aku mengikuti alur sungai yang mengalir di dalam gua, namun aku tidak kekurangan cahaya karena beberapa dinding gua tersebut seperti terbuat dari kristal dan memantulkan cahaya, sehingga suasana sepanjang lorong gua itu terasa terang. Dan aku bisa melangkah kaki dengan baik dan dengan kecepatan yang cukup stabil.

Satu-satunya halanganku dalam melangkah adalah batu-batu licin di dasar sungai. Batu-batu yang dipenuhi lumut yang tebal itu beberapa kali nyaris membuatku terjatuh karena tergelincir.

Akhirnya, setelah sekian lama berjalan, kulihat mulut gua yang terang benderang itu di kejauhan. Aku bersorak dan mempercepat langkahku.

Sebentar lagi, aku akan memasuki dunia nyataku kembali.

***

Aku mengembangkan tanganku dan menarik nafas dengan sedalam-dalamnya begitu ke luar dari mulut gua. Kulihat langit gelap dan sangat mendung. Aku tidak tahu persis sekarang aku berada di mana. Tapi kalau kulihat sekeliling, aku benar-benar tengah berada di duniaku. Dunia yang benar-benar nyata.

Setelah sekian lama berada di dunia yang aneh, maka tebing pinggiran sungai yang miring yang ditumbuhi berbagai pepohonan, serta bau udara yang khas kaki gunung; membuatku sedikit terlena. Aku terbawa oleh euforia kegembiraanku, bahwa aku benar-benar telah melalui semuanya dengan baik.

Dan aku dalam keadaan baik-baik saja.

Sebuah ledakan halilintar yang sangat keras mengejutkanku sedikit, tapi lebih banyak menggembirakanku. Ketika hujan tiba-tiba turun bagai air terjun super raksasa yang langsung dicurahkan dari langit, aku mengangakan mulutku ke langit dan menelan air hujan dengan gembira. Hari mungkin sudah suntuk sore tapi aku tidak tahu hari ini hari apa. Yang aku tahu langit semakin gelap dan hujan semakin lebat menggila.

Kedua kakiku entah mengapa seperti masih tertanam di dasar sungai oleh kenikmatan menghirup udara. Aku seperti dikuasai oleh euforia kemenangan yang diam. Aku terpaku di tengah-tengah sungai dan merasa telah memenangkan semua pertarungan.

Aku terlena.

Seperti tiba-tiba, air yang semata kaki itu naik meninggi dan tahu-tahu sudah selutut. Aku kira, aku masih sempat menoleh ke belakang untuk melihat aliran air dari mulut goa, namun pandanganku terhalang curahan air hujan dan goa itu samar-samar menghilang. Dan benar-benar menghilang dari pandanganku ketika air sungai meninggi hingga pinggang.

Hujan semakin lebat dan aku terbawa oleh arus sungai. Kakiku kesulitan mencari pijakan dan pandangan semakin kabur oleh ciptran air hujan dan air sungai. Aku terlambat menemukan pinggiran sungai dan terlambat melepaskan beban ransel keranjang bambu di punggungku.

Aku terlena terlalu lama. Aku terlambat menyadari perubahan yang sangat cepat di sekililingku.

Aku sungguh tak sanggup menahan terjangan derasnya sungai dan aku kini benar-benar terbawa arus. Tanganku menggapai-gapai karena rasanya aku tersedot oleh arus sungai dan aku sulit mempertahankan diri untuk tidak tenggelam.

Aku mungkin setengah pingsan ketika kulihat ke atas, aku sedang meluncur dibawa arus dan akan melewati jembatan 7 bambu yang warnanya masih hijau. Diikat dengan tali bambu yang cukup kuat, kelihatannya jembatan bambu itu belum lama dibuat.

"Bos tangkap bos bambunya!" Sebuah suara yang aku kenal, suara Mang Emen, samar terdengar di telingaku yang digemuruhi air yang riuh. Kedua tanganku mencoba menggapai namun aku sepertinya kehilangan tenaga. Kukerahkan seluruh tenaga dalamku namun aku tak sanggup melawan kekuatan arus yang begitu deras.

Aku sepertinya akan tenggelam dan terbawa arus ketika pangkal lengan dan kepalaku mengenai sesuatu penghalang; sepertinya ada bambu yang melintang di sepanjang lebar sungai.
"Tangkap bos bambunya!"

Aku mendengar suara Mang Emen tapi aku tidak bisa menangkap bambu itu. Bambu yang mana? Aku tak tahu. Aku hanya bisa berusaha mengangkat daguku dan mengkaitkanya pada bambu yang melintang itu.

Tanganku menggapai-gapai dan aku meminum banyak sekali air sungai. Sebelum aku benar-benar hilang kesadaran selama beberapa detik, aku ingat ada sebuah tali yang mengikat lengan kananku. Aku menggengam tali itu dengan kuat.

Aku sepertinya tertidur ketika sesuatu yang sangat kuat menghantam kepalaku. Terasa sakit tapi hantaman itulah yang membuat aku segera tersadar dan kurasakan betapa sakitnya pergelengan tanganku karena lilitan tali di pergelangan tangan.

Aku melihat bayangan yang memukul itu adalah sebuah batang pisang yang berlari kencang dibawa arus.
"Bosssss! Pegang talinya bossssss!" Kudengar secara samar Mang Emen berteriak. Aku menggerakkan tangan kiriku dan meraih tali itu dan menggenggamnya dengan kuat. Sementara kurasakan ada tangan lain menarik tali ransel keranjang bambuku yang terbuat dari kulit domba Garut yang sangat kuat.

Tangan itulah yang memberi kekuatan terbesar bagi kedua tanganku untuk terus menggenggam tali tambang yang besar dan kuat.

Pelahan tubuhku bergerak ke pinggiran sungai. Tangan itu terus menarik tali ransel kulit dan sepertinya tidak pernah menyerah sampai kakiku benar-benar menyentuh dasar sungai yang berupa tanah.
"Pak, cepat pak naik, Pak." Kata Suara itu. Sekarang aku tahu pemilik tangan yang menarik tali ranselku dengan kuat. Siapa lagi kalau bukan Juber.

Aku merayap di tanah pinggiran sungai yang miring dan licin. Hujan semakin deras dan halilintar meledak-ledak seperti raksasa gila yang tertawa-tawa di langit.

Tapi aku benar-benar tak sadarkan diri beberapa saat setelah dua buah tangan itu menggengam pergelangan tanganku dan menariknya dengan tenaga yang sangat kuat.

Aku benar-benar tak sadarkan diri ketika aku merasa tubuhku seperti melayang terbang. Aku hanya merasa tertidur dengan kepala masih terasa sakit berdenyut-denyut.

***

Mula-mula aku melihat kotak langit-langit itu dengan buram. Bergoyang-goyang. Kurasakan ke dua lubang hidungku gatal demikian juga dengan pangkal lengan kananku. Kepala terasa berat dan sakit. Telinga tak mendengar apa pun selain suara desiran angin.

Aku merasa di lubang pantatku ada suatu masalah yang aneh.

Beberapa bayangan putih mendekat dan menjauh, mereka bergerak-gerak membentuk bayangan abstrak yang tak bisa kupahami. Salah satu bayangan putih yang sangat buram mendekatiku. Wajahnya mendekati wajahku tapi tampaknya masih saja buram bahkan ketika dia mempermainkan pupil mataku. Aku masih tak bisa melihatnya dengan jelas.

"Infus oksigennya dicabut saja, Sus." Kata bayangan putih yang mempermainkan pupil mataku. Suaranya jelas suara perempuan. "Dia sudah sadar dan pernafasannya sudah membaik. Nanti dicek tekanan darahnya ya."
"I ya, Dok." Kata suara lain, yang juga perempuan.
"Selang kotoran yang di anusnya dicabut juga. Perutnya sudah bersih."
"Baik, dok." Jawab suara perempuan yang lain lagi.

Aku merasa antara tertidur dan terjaga ketika sesuatu yang mengganjal di hidung dan anusku pelahan-lahan menghilang. Aku merasa nyaman sekarang. Aku menarik nafas dengan teratur dan kentut beberapa kali.

Tapi aku belum benar-benar terlelap ketika waslap yang hangat itu menyusuri tubuhku dan menggosok-gosok bagian tubuhku dengan lembut.

"Ssstt... cepat bersihkan." Kata suara perempuan itu, berbisik.
"Iya... ini kan lagi. Mira... ini... kontolnya gede banget." Kata suara perempuan yang lain. "Orangnya ganteng lagi."
"Hey, jangan macem-macem kamu ya. Di luar pengawalnya lagi nungguin."

Perempuan yang dipanggil Mira itu terkikik.
"Ada gotrinya lagi... wuih... pasti kenyang disodok-sodok pake ini." Katanya lagi.
"Lisa, sudah. Sekarang punggungnya."

Aku benar-benar tertidur ketika kedua mulut perempuan yang tak kukenal itu mengemut-ngemut dan menggelomoh si betok secara bergantian.

***

(Bersambung)
 
Setelah melewati lorong gua yang sempit, aku menemukan sebuah ruang gua yang terang dan leluasa. Meskipun leluasa namun aku tak bisa berdiri karena langit-langit tidak mencukupi tinggi badanku untuk berdiri. Lagi pula, lantai gua itu sangat licin dan menurun. Di mulut gua yang terang itu, kulihat air mengalir tenang gemericik.

Setelah menuruni lantai gua yang licin menurun, aku menemukan lantai gua yang datar dan penuh dengan bebatuan. Begitu ke luar dari mulut gua yang lebar namun tingginya kurang satu meter itu, akhirnya aku menemukan sebuah ruangan gua yang sangat lega dengan langit-langit yang tinggi.

Bentuk ruangannya melengkung. Langit-langitnya seperti kristal demikian juga dengan beberapa dinding-dindingnya. Di salah satu dinding kristal, mengucur suatu air terjun kecil dengan ketinggian sekitar 1, 5 meter. Namun airnya tercurah demikian deras. Beberapa kristal kecil berbentuk kerikil berwarna bening ikut terlontar dari air curug yang lebih mirip pancuran itu. Aku memunguti kerikil-kerikil kristal bening itu dan memasukkannya ke dalam ransel keranjang bambu.

Setelah merasa cukup, aku melepaskan pakaian kerajaan Jenggala dan meletakkannya di atas ransel keranjang bambu yang kusimpan agak jauh dari curug biar tidak terkena air. Aku mengambil kendi dan membuka tutupnya. Memeluk kendi itu di bawah air curug sambil duduk. Kubiarkan terjangan air memijiti seluruh pundak dan punggung serta kepalaku.

Ketika mulut kendi itu penuh, aku segera keluar dari pancuran curug dan segera menutup mulut kendi. Aku mengeringkan tubuhku dengan menggunakan pakaian kerajaan Jenggala dan kemudian mengenakan kembali celana pendek dan celana dalamku yang lebih nyaman.

Pada saat aku mengeringkan tubuhku, aku tiba-tiba sadar jika rambut gondrongku yang sebahu serta kumis dan jenggotku, ternyata telah hilang. Pantes aku tidak lagi merasa geli di bagian bawah cuping hidungku.

Sebelum pergi meninggalkan ruang gua yang bagai kubah itu, aku menyisipkan kendi ke dalam ransel keranjang bambu dan menguburnya dengan kerikil-kerikil yang telah aku kumpulkan yang jumlahnya sangat banyak. Setelah itu, aku menyumpal mulut ransel keranjang bambu dengan pakaian Kerajaan Jenggala beserta kembennya, sehingga baik kendi maupun kerikil-kerikil di dalamnya tertutup oleh kain-kain tersebut.

Sambil menggendong ransel keranjang bambu yang terasa semakin berat, aku melangkah mengikuti alur sungai yang berkelak-kelok seperti ular. Sungai itu sangat dangkal hanya kira-kira semata kaki. Di dasar sungainya dipenuhi batu-batu kecil yang licin karena lumut.

Meskipun aku mengikuti alur sungai yang mengalir di dalam gua, namun aku tidak kekurangan cahaya karena beberapa dinding gua tersebut seperti terbuat dari kristal dan memantulkan cahaya, sehingga suasana sepanjang lorong gua itu terasa terang. Dan aku bisa melangkah kaki dengan baik dan dengan kecepatan yang cukup stabil.

Satu-satunya halanganku dalam melangkah adalah batu-batu licin di dasar sungai. Batu-batu yang dipenuhi lumut yang tebal itu beberapa kali nyaris membuatku terjatuh karena tergelincir.

Akhirnya, setelah sekian lama berjalan, kulihat mulut gua yang terang benderang itu di kejauhan. Aku bersorak dan mempercepat langkahku.

Sebentar lagi, aku akan memasuki dunia nyataku kembali.

***

Aku mengembangkan tanganku dan menarik nafas dengan sedalam-dalamnya begitu ke luar dari mulut gua. Kulihat langit gelap dan sangat mendung. Aku tidak tahu persis sekarang aku berada di mana. Tapi kalau kulihat sekeliling, aku benar-benar tengah berada di duniaku. Dunia yang benar-benar nyata.

Setelah sekian lama berada di dunia yang aneh, maka tebing pinggiran sungai yang miring yang ditumbuhi berbagai pepohonan, serta bau udara yang khas kaki gunung; membuatku sedikit terlena. Aku terbawa oleh euforia kegembiraanku, bahwa aku benar-benar telah melalui semuanya dengan baik.

Dan aku dalam keadaan baik-baik saja.

Sebuah ledakan halilintar yang sangat keras mengejutkanku sedikit, tapi lebih banyak menggembirakanku. Ketika hujan tiba-tiba turun bagai air terjun super raksasa yang langsung dicurahkan dari langit, aku mengangakan mulutku ke langit dan menelan air hujan dengan gembira. Hari mungkin sudah suntuk sore tapi aku tidak tahu hari ini hari apa. Yang aku tahu langit semakin gelap dan hujan semakin lebat menggila.

Kedua kakiku entah mengapa seperti masih tertanam di dasar sungai oleh kenikmatan menghirup udara. Aku seperti dikuasai oleh euforia kemenangan yang diam. Aku terpaku di tengah-tengah sungai dan merasa telah memenangkan semua pertarungan.

Aku terlena.

Seperti tiba-tiba, air yang semata kaki itu naik meninggi dan tahu-tahu sudah selutut. Aku kira, aku masih sempat menoleh ke belakang untuk melihat aliran air dari mulut goa, namun pandanganku terhalang curahan air hujan dan goa itu samar-samar menghilang. Dan benar-benar menghilang dari pandanganku ketika air sungai meninggi hingga pinggang.

Hujan semakin lebat dan aku terbawa oleh arus sungai. Kakiku kesulitan mencari pijakan dan pandangan semakin kabur oleh ciptran air hujan dan air sungai. Aku terlambat menemukan pinggiran sungai dan terlambat melepaskan beban ransel keranjang bambu di punggungku.

Aku terlena terlalu lama. Aku terlambat menyadari perubahan yang sangat cepat di sekililingku.

Aku sungguh tak sanggup menahan terjangan derasnya sungai dan aku kini benar-benar terbawa arus. Tanganku menggapai-gapai karena rasanya aku tersedot oleh arus sungai dan aku sulit mempertahankan diri untuk tidak tenggelam.

Aku mungkin setengah pingsan ketika kulihat ke atas, aku sedang meluncur dibawa arus dan akan melewati jembatan 7 bambu yang warnanya masih hijau. Diikat dengan tali bambu yang cukup kuat, kelihatannya jembatan bambu itu belum lama dibuat.

"Bos tangkap bos bambunya!" Sebuah suara yang aku kenal, suara Mang Emen, samar terdengar di telingaku yang digemuruhi air yang riuh. Kedua tanganku mencoba menggapai namun aku sepertinya kehilangan tenaga. Kukerahkan seluruh tenaga dalamku namun aku tak sanggup melawan kekuatan arus yang begitu deras.

Aku sepertinya akan tenggelam dan terbawa arus ketika pangkal lengan dan kepalaku mengenai sesuatu penghalang; sepertinya ada bambu yang melintang di sepanjang lebar sungai.
"Tangkap bos bambunya!"

Aku mendengar suara Mang Emen tapi aku tidak bisa menangkap bambu itu. Bambu yang mana? Aku tak tahu. Aku hanya bisa berusaha mengangkat daguku dan mengkaitkanya pada bambu yang melintang itu.

Tanganku menggapai-gapai dan aku meminum banyak sekali air sungai. Sebelum aku benar-benar hilang kesadaran selama beberapa detik, aku ingat ada sebuah tali yang mengikat lengan kananku. Aku menggengam tali itu dengan kuat.

Aku sepertinya tertidur ketika sesuatu yang sangat kuat menghantam kepalaku. Terasa sakit tapi hantaman itulah yang membuat aku segera tersadar dan kurasakan betapa sakitnya pergelengan tanganku karena lilitan tali di pergelangan tangan.

Aku melihat bayangan yang memukul itu adalah sebuah batang pisang yang berlari kencang dibawa arus.
"Bosssss! Pegang talinya bossssss!" Kudengar secara samar Mang Emen berteriak. Aku menggerakkan tangan kiriku dan meraih tali itu dan menggenggamnya dengan kuat. Sementara kurasakan ada tangan lain menarik tali ransel keranjang bambuku yang terbuat dari kulit domba Garut yang sangat kuat.

Tangan itulah yang memberi kekuatan terbesar bagi kedua tanganku untuk terus menggenggam tali tambang yang besar dan kuat.

Pelahan tubuhku bergerak ke pinggiran sungai. Tangan itu terus menarik tali ransel kulit dan sepertinya tidak pernah menyerah sampai kakiku benar-benar menyentuh dasar sungai yang berupa tanah.
"Pak, cepat pak naik, Pak." Kata Suara itu. Sekarang aku tahu pemilik tangan yang menarik tali ranselku dengan kuat. Siapa lagi kalau bukan Juber.

Aku merayap di tanah pinggiran sungai yang miring dan licin. Hujan semakin deras dan halilintar meledak-ledak seperti raksasa gila yang tertawa-tawa di langit.

Tapi aku benar-benar tak sadarkan diri beberapa saat setelah dua buah tangan itu menggengam pergelangan tanganku dan menariknya dengan tenaga yang sangat kuat.

Aku benar-benar tak sadarkan diri ketika aku merasa tubuhku seperti melayang terbang. Aku hanya merasa tertidur dengan kepala masih terasa sakit berdenyut-denyut.

***

Mula-mula aku melihat kotak langit-langit itu dengan buram. Bergoyang-goyang. Kurasakan ke dua lubang hidungku gatal demikian juga dengan pangkal lengan kananku. Kepala terasa berat dan sakit. Telinga tak mendengar apa pun selain suara desiran angin.

Aku merasa di lubang pantatku ada suatu masalah yang aneh.

Beberapa bayangan putih mendekat dan menjauh, mereka bergerak-gerak membentuk bayangan abstrak yang tak bisa kupahami. Salah satu bayangan putih yang sangat buram mendekatiku. Wajahnya mendekati wajahku tapi tampaknya masih saja buram bahkan ketika dia mempermainkan pupil mataku. Aku masih tak bisa melihatnya dengan jelas.

"Infus oksigennya dicabut saja, Sus." Kata bayangan putih yang mempermainkan pupil mataku. Suaranya jelas suara perempuan. "Dia sudah sadar dan pernafasannya sudah membaik. Nanti dicek tekanan darahnya ya."
"I ya, Dok." Kata suara lain, yang juga perempuan.
"Selang kotoran yang di anusnya dicabut juga. Perutnya sudah bersih."
"Baik, dok." Jawab suara perempuan yang lain lagi.

Aku merasa antara tertidur dan terjaga ketika sesuatu yang mengganjal di hidung dan anusku pelahan-lahan menghilang. Aku merasa nyaman sekarang. Aku menarik nafas dengan teratur dan kentut beberapa kali.

Tapi aku belum benar-benar terlelap ketika waslap yang hangat itu menyusuri tubuhku dan menggosok-gosok bagian tubuhku dengan lembut.

"Ssstt... cepat bersihkan." Kata suara perempuan itu, berbisik.
"Iya... ini kan lagi. Mira... ini... kontolnya gede banget." Kata suara perempuan yang lain. "Orangnya ganteng lagi."
"Hey, jangan macem-macem kamu ya. Di luar pengawalnya lagi nungguin."

Perempuan yang dipanggil Mira itu terkikik.
"Ada gotrinya lagi... wuih... pasti kenyang disodok-sodok pake ini." Katanya lagi.
"Lisa, sudah. Sekarang punggungnya."

Aku benar-benar tertidur ketika kedua mulut perempuan yang tak kukenal itu mengemut-ngemut dan menggelomoh si betok secara bergantian.

***

(Bersambung)
Nuhun kang Purbaya update nya
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd