Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG RIMBA ASMARA

Thema apakah yang paling anda gandrungi dalam Sub Forum Cerita Bersambung ini?

  • Hubungan sedarah atau incest, dengan mama atau saudara kandung

    Votes: 316 17,6%
  • Hubungan setengah baya atau MILF, antara yang muda dengan yang tua

    Votes: 239 13,3%
  • Hubungan sex Cukold, eksib, voyeur, mengintip dan di tempat umum

    Votes: 132 7,3%
  • Hubungan sex di kalangan remaja atau SMU/pesantren/sederajat

    Votes: 99 5,5%
  • Hubungan sex di kos-kosan mahasiswa/mahasiswi

    Votes: 85 4,7%
  • Hubungan sex Perkosaan

    Votes: 46 2,6%
  • Hubungan Sex affair di kalangan bisnis atau antar pegawai kantoran

    Votes: 99 5,5%
  • Hubungan sex dengan Bini Orang

    Votes: 159 8,9%
  • Hubungan sex dengan Laki Orang

    Votes: 16 0,9%
  • Hubungan sex di kalangan selebriti Indonesia

    Votes: 80 4,5%
  • Hubungan sex di pedesaan/ di perkampungan

    Votes: 88 4,9%
  • Hubungan sex dengan wanita berhijap/kerudung

    Votes: 332 18,5%
  • Hubungan sex romantis

    Votes: 62 3,5%
  • Scandal sex para politisi atau pejabat

    Votes: 19 1,1%
  • Hubungan sex lesbian/gay

    Votes: 16 0,9%
  • Hubungan sex lainnya

    Votes: 8 0,4%

  • Total voters
    1.796
  • Poll closed .
Status
Please reply by conversation.
Ijin nyimak suhu ...cerita yang menarik buat di tunggu...kalau bisa jangan lama2 y suhu update nya.....
 
Anjirrt kasbon :taimacan:ini Karya pertama suhu kah ? Semoga LA car sample tamat
 
Bagus ini cerita...
Alurnya ga buru buru....
Hanya agak merasa 'aneh' ada plot mistisnya...
Ga papa sih asal berkaitan kuat dengan jalan cerita dan tak menjadi tempelan..
 
Pagi itu, setelah mandi dan sarapan nasi goreng yang dibuatkan Mak Onah, aku berjalan-jalan lagi ke sekitar alun-alun dengan tujuan menemukan pangkalan ojeg. Ternyata pangkalan itu tidak jauh, sebelum menemukan lapangan alun-alun yang semrawut, pengkolan itu tampak jelas dipenuhi tukang ojeg yang sedang asyik bercanda menunggu giliran narik.

Aku mendekat ke arah mereka. Salah seorang di antara tukang ojeg itu langsung menghampiriku dan menanyakan tujuanku mau pergi ke kampung mana.
"Tidak. Aku takkan ke mana-mana. Aku mau ke tukang serabi." Kataku sambil kakiku terus melangkah mendekati Tukang Kue Serabi yang secara sepintas dari kejauhan, sudah kulihat.

Tukang serabi itu dikelilingi oleh sejumlah pembeli. Aku ikut duduk di bangku kayu panjang dekat perapian. Tukang serabi itu seorang pria setengah baya berkulit coklat tua. Dia tampak sibuk mengucurkan adonan ke atas wajan serabi yang terbuat dari tanah liat. Menutupnya. Lalu memasukkan kayu-kayu bakar ke tungku-tungku yang apinya mulai mengecil. Di antara kesibukannya, tukang serabi itu masih sempat menanyakan pesanan kepadaku.

Ada empat pilihan rasa, serabi polos, serabi kacang, serabi oncom dan serabi manis, pake kinca gula merah. Paket spesial ditambah telor untuk semua jenis rasa kecuali yang pake kinca.

Aku sudah menghabiskan satu piring nasi goreng tapi kukira perutku masih terbuka untuk beberapa potong kue serabi. Jadi aku memesan paket spesial pake telor semua rasa masing-masing dua biji.

Sementara menunggu, mataku berputar-putar mencari Juber. Tidak menemu. Mungkin sedang narik atau mungkin belum datang.

Tukang Serabi itu bekerja dibantu oleh istrinya. Mereka bekerja dengan giat dan semangat karena pembeli semakin banyak. Aku entah antrian ke berapa, satu demi satu pembeli yang sedang mengantri dilayani oleh istrinya tukang serabi.

Seorang gadis muda yang mengenakan kerudung sederhana, terlihat ke luar dari sebuah gang sambil membawa panci yang cukup berat. Langkahnya cepat dan segera memasuki area kecil di mana Tukang serabi dan istrinya sedang sibuk bekerja. Gadis muda itu meletakkan panci di dekat tukang serabi yang tidak begitu mempedulikannya.

Gadis muda itu cukup manis menurutku. Usianya mungkin 18 atau 19 tahun. Dia kemudian menyibukkan diri dengan merapikan kayu-kayu bakar sambil berjongkok. Pinggulnya besar dengan lingkar pinggang yang kecil. Hem, cukup bohay. Lumayan.

Setelah menunggu cukup lama, akhirnya pesananku selesai juga.

Kukira, menyantap serabi dalam keadaan panas-panas memiliki sensasinya sendiri. Apalagi kalau serabinya enak, bikin nagih. Tidak menunggu lama, enam biji serabi spesial itu masuk ke dalam perutku. Aku pesan lagi serabi spesial pake telor dengan bumbu kacang dan oncom, masing-masing dua biji.

Aku menunggu lagi pesananku. Mataku berputar-putar lagi mencari sosok Juber. Tidak juga menemu.
"Aa Kasman nuju naon?" Sebuah suara memecah kebekuanku yang duduk di antara orang-orang yang saling tidak bicara. Suara itu sangat merdu. Suara Neneng. Aku membalas sapaannya dengan senyum dan sepenuhnya lengkap tidak paham pada apa yang dikatakannya.
"Neneng mau pesen serabi juga?"
"Iya A." Katanya. Neneng lalu duduk di sebelahku. Aku sudah mandi dan menyemprotkan minyak wangi (yang harganya lumayan) ke tubuhku dan aku merasa yakin Neneng nyaman dengan bau tubuhku.

Tukang serabi menanyakan pesanan Neneng. Ibu muda ini memesan dua buah serabi polos untuk sarapan anaknya dan serabi bumbu kacang untuk sarapan dirinya.

"Dedenya koq enggak dibawa?" Tanyaku.
"Masih bobo. Aa enggak kerja?"
"Engga. Masih libur."
"Aa ngajar apa?"
"Perasaan saya bukan guru deh." Kataku. "Saya engga ngajar koq."

Neneng menutup mulutnya untuk menahan cekikikannya. Istri tukang Serabi itu melirik ke arah Neneng dengan lirikan setengah sinis, sedangkan mataku fokus pada anaknya yang manis yang sudah selesai merapikan kayu bakar.
"Lis, ini anterin pesanan Pak RW." Kata istri tukang serabi itu.
"Iya Mah." Kata Gadis muda itu. Dia bangkit dari jongkoknya dan sekilas menatap ke arahku. Aku sengaja tersenyum kepadanya. Dia melengos malu, menghindari tatapanku. Mengambil pesanan yang dibungkus kantong kresek hitam dan melangkah pergi.
"Lilis, tunggu. Sekalian sama pesanan Ceu Odah." Kata istrinya tukang serabi itu sambil menyorongkan kantong kresek hitam yang lain.

Lilis berpaling. Dan sekali lagi aku tersenyum kepadanya. Tapi Lilis hanya menunduk.

Neneng sepertinya mengetahui kalau aku tersenyum kepada Lilis.
"Ceu Anih, Lilis teh tos gadis ayeuna mah nya. Tos gaduh kabogoh panginten." Kata Neneng. Itu kira-kira artinya, menurut google translate, "Kak Anih, Lilis sudah menjadi seorang gadis ya sekarang. Sudah punya pacar kayaknya." Tetapi pada saat pembicaraan itu terjadi, aku selengkap-lengkapnya tidak paham.

Orang yang dipanggil Ceu Anih itu adalah istrinya tukang serabi itu.
"Iya, udah tunangan, Neng." Jawabnya. Jawaban Ceu Anih itu aku paham. Jadi Lilis sudah bertunangan? Hm. Siapa yang peduli ya?

"Jadi Aa Kasman lagi libur ya?" Neneng membuka pembicaraan lagi.
"Iya. Neneng engga ke kedai kopi?"
"Engga. Mamah yang di kedai mah. Rencananya hari ini Neneng sama Abah mau ke Kampung Karimbi membeli kopi." Katanya.
"Di mana itu?" Tanyaku.
"Di Sumedang."
"Jauh sekali."
"Enggak jauh koq. Cuma satu jam setengah naik motor."
"Aa boleh ikut enggak?"
"Boleh, tapi Aa harus bawa motor sendiri."
"Sayangnya Aa engga ada motor." Kataku. Neneng menatapku dengan tatapan redup, seperti menyesali sesuatu. "Tapi kalau mobil ada." Kataku lagi.

Tatapan Neneng berubah.
"Aa punya mobil?"
"Ya. Punya. Memang kenapa? Engga boleh?"

Neneng terkikik.
"Kalau bawa mobil mah Neneng bisa ikut numpang. Neneng malah bisa beli kopi lebih banyak."
"Yuk kita ke sana beli kopi, Aa sekalian jalan-jalan."
"Hayu." Kata Neneng semangat. "Tapi Aa bilang dulu sama abah."
"Kenapa harus bilang dulu? Kan abah juga ikut."
"Abah mah enggak suka naik mobil, suka mabok." Kata Neneng.

Aku tertawa kecil.

Pesanan serabiku yang ke dua sudah selesai dibuatkan.
"Neneng mau?" Aku menawarinya. Neneng mengangguk. Dia menyantap serabi spesial itu dengan lahap sambil menunggu pesanannya selesai dibuatkan.

Aku lalu menelpon Hendra untuk mengantarkan mobil dinas ke rumah kontrakan.
"Sudah saya antar, Pak. Barusan. Tapi Bapak enggak ada di rumah. Jadi saya langsung pergi ke kantor. Kuncinya saya titipin ke Ceu Onah."
"Ya udah. Makasih ya Pak Hendra."
"Iya Pak sama-sama."

Tidak lama kemudian pesanan serabi Neneng sudah dibuatkan. Aku menahan tangan Neneng ketika dia mau membayar pesanannya. Serabi polos 2 biji, 4000 rupiah ditambah 2 biji serabi bumbu kacang 6000 rupiah. Total yang harus dibayar, Rp 10 ribu rupiah. Sedangkan aku sendiri 2 biji serabi polos spesial 8000, 8 biji serabi spesial bumbu kacang dan oncom (harganya sama) 40 ribu. Total semua yang aku bayar 58 ribu rupiah. Uangnya 60 ribu. Kembalian 2 ribu rupiah dengan serabi polos satu biji lagi. Dibungkus ke dalam pesanan serabi Neneng.

Wajah Neneng kulihat sumringah.

Walau gagal menemukan Juber tapi aku cukup senang mendapatkan ucapan terimakasih yang tulus dari Neneng serta sebuah elusan pada tangan yang putih lembut berbulu. Aku merasakan bulu-bulu roma lengannya meremang saat kuelus. Sepertinya menjanjikan kemesraan.

***

Kami berpapasan dengan Abah dan Ambu beberapa meter sebelum mencapai rumah kontrakanku, yang merupakan rumah mereka, dan Neneng memintaku untuk minta izin sama Abah.

Abah dengan senang hati mengizinkan.
"Neng sekalian bawa barang-barang jualan ini ke Mang Uday. Abah sudah hitung, nilai totalnya sama dengan 100 kilogram kopi beras." Kata Abah.
"Barang-barang apa?" Tanyaku, penasaran.
"Biasa Cep." Kata Abah. "Bisnis."
"Bisnis?"
"Iya Aa. Bisnis." Kata Neneng Dia tersenyum. "Ini barang-barang keperluan sehari-hari seperti sabun, odol, mie instan, minyak, gula dan lain-lain."
"Oh."
"Hitung-hitung Mang Uday yang belanja ke kota. Tadinya kita mau anter pake dua motor, tapi mungpung ada mobil, sekalian aja." Kata Neneng.
"Jadi Neneng belanja kopi dengan barang-barang ini?"

Neneng mengangguk dan tersenyum cerdik.
"Baiklah, masukan saja ke belakang, kalau tidak cukup simpan di jok tengah." Kataku.
"Oke." Kata Neneng. Dia sangat gembira.

***

Aku mengenakan T-Shirt polo dan celana panjang denim ketika sudah siap berangkat dan duduk di belakang stir. Aju juga mengenakan sepatu sport kulit serta membawa uang cash yang cukup banyak di dompet. Jaga-jaga kalau-kalau ada sesuatu di jalan, sebab uang adalah pembantu yang sangat berguna dan selalu bisa diandalkan.

HP yang lama dan yang baru kubawa dua-duanya.

HP lama dengan nomor lama itu penuh dengan notifikasi puluhan panggilan yang gagal serta puluhan pesan, kebanyakan berasal dari Grace.

Ketika HP lama itu kusimpan di dashboard, sebuah bunyi notifikasi berbunyi nyaring.
Tring!

Aku membaca notif itu, "Mar, aku kangen." Itu pesan ke sekian dari Grace. Tapi aku tidak membuka pesannya.
"Aku tidak." Kataku dalam hati. Kulihat Neneng ke luar dari gang dan sudah berdandan. Cantik sekali. Poni rambutnya dan bando merahnya sangat serasi. Neneng lucu mirip ABG. Lipstiknya juga merah, kontras dengan kulitnya yang putih. Sayangnya Neneng memakai lipstik berharga murah.

Wajahnya terlihat berseri saat membuka pintu mobil. Senyum dan matanya berbinar-binar. Neneng mengenakan T-Shirt krem yang tipis dan ketat. Sekilas kulihat tali BHnya mencetak di punggunngnya. Sementara dadanya yang membusung itu terlihat tajam menonjol menekan kaosnya yang ketat. Dia mengenakan bawahan berupa celana panjang kulot dari katun warna hitam.

Dia duduk dengan nyaman di kursi di sebelahku.
"Yuk berangkat." Katanya.
"Tunggu sebentar, tolong spionnya dibelokkan dikit." Kataku. Tapi Neneng melakukannya dengan ragu-ragu. Ini sebenarnya alasanku saja agar bisa menyentuhkan badanku ke badannya.
"Maaf." Kataku, lalu aku menyorongkan badanku melewati buah dadanya yang berdegup kencang, merentangkan tanganku untuk meraih spion itu dan memperbaiki posisinya agar tepat seperti semula, sebelum aku tadi sengaja membengkokkannya.

Aku merasakan nafas Neneng sedikit tersengal. Hm. Minyak wangiku cukup harum kan? Ah, pasti dia menyukai harum tubuhku. Bisakah aku mendapatkan sedikit kecupan di pipi? Aku tersenyum kepada diriku sendiri.

"Nah, sudah." Kataku.
Sekejap kurasakan Neneng menatapku dengan sendu.

***

Aku melajukan mobil sesuai dengan arahan Neneng, soalnya aku belum tahu jalan dan tidak tahu di mana Kampung Karembi itu berada. Kami menempuh jalan pedesaan yang sepi sambil berbincang tentang bisnis kedai kopi yang sedang digeluti Neneng.

Neneng berencana membeli (atau lebih tepatnya barter) kopi langsung dari petani sebanyak 100 kg. Menurut Neneng, usaha kedai kopinya cukup menguntungkan. Walau dia menjual kopi hasil sangraiannya sendiri bersama dengan kopi kemasan, namun peminat kopi aslinya tak pernah surut.
"Lumayan A. Dari satu kilo kopi yang sudah disangrai itu bisa menghasilkan 40 sampai 50 gelas. Harga per gelas 3000 rupiah. Jadi bisa menghasilkan uang antara 120 sampai dengan 150 ribu rupiah, kotor." Kata Neneng. "Dipotong dengan biaya tabung gas, 25 ribu, Neneng bisa mendapatkan bersih antara 100 sampai dengan 125 ribu rupiah per kilo. Sedangkan harga kopi beras (greenbean) dari petani adalah 35 ribu rupiah per kilo. Jadi keuntungan Neneng kurang lebih antara 65 sampai dengan 95 ribu rupiah. Lumayan kan?"
"Itu lebih dari lumayan." Kataku. "Kamu pinter sekali. Suamimu pasti bahagia punya istri secantik dan sepinter kamu."

Mendapat pujian seperti itu Neneng malah diam membisu.

Tiba-tiba HP lamaku yang kuletakkan di dashboard berdering keras. Telpon dari Grace. Aku sengaja cuma melihat telpon itu dan membiarkan Neneng mengetahui siapa penelponnya.
"Angkat atuh, Aa." Kata Neneng.
"Ga mau ah. Males." Kataku. Kuletakkan lagi HP itu ke dashboard.
"Itu siapa? Koq cantik banget." Kata Neneng. "Pacarnya ya?"
"Namany Grace. Orangnya cantik. Tapi mungkin dia sudah bukan pacar saya lagi." Kataku.
"Oh. Kenapa?"
"Mungkin dia sudah menjadi pacar orang lain ketika saya menjadi pacar dia." Kataku.

Neneng diam.
"Maksudnya, Aa jadi selingkuhan dia?"

Aku mengangguk.
"Ah, sudahlah. Buat apa mikirin dia?" Kataku. "Lebih baik menikmati apa yang bisa dinikmati hari ini."
"Tapi dia nelpon terus, A. Tuh bunyi lagi."
"Saya bosan dengan kebohongan dia... ah, seandainya dia mau jujur, tentu saat ini bukan Neneng yang duduk di sebelah saya." Kataku. "Matikan aja telponnya Neng."

Neneng mengambil HP dan menatap foto penelpon dengan tidak berkedip. Setelah panggilan itu berhenti, dia lalu mencari-cari tombol untuk mematikan HP tersebut. Akhirnya ketemu dan HP bisa dimatikan.
"Grace kelihatan cantik dan kaya." Kata Neneng. "Apakah dia juga bekerja?"
"Dia manajer di sebuah perusahaan asuransi." Jawabku.
"Mengapa... mengapa dia suka berbohong?" Tanya Neneng.
"Seandainya saya tahu. Dibohongin itu tidak enak, Neng."
"Aa sendiri suka bohong... pekerjaan Aa itu sebenarnya apa? Aa bukan guru?"
"Dalam beberapa hal, ya, tapi bener koq saya kerja di bank."
"Gajinya besar enggak A?"
"Ya, lumayan."
"Berapa?"

Aku menoleh ke arah Neneng. Dia menatapku dengan lekat. Tersenyum.
"Kenapa jawabnya cuma senyum?" Tanya Neneng.
"Saya tidak suka bohong jadi saya tidak akan jawab pertanyaan Neneng. Tapi gajinya cukup untuk ngontrak rumah dan bayar pembantu."
"Oh, Mak Onah itu pembantu Aa? Kirain saudara." Kata Neneng. "Kalau gaji Mak Onah berapa A?"

Aku tertawa.
"Tanya aja sendiri sama Mak Onah." Kataku.
"Iih... Aa koq gitu. Neneng cuma pengen tau."
"Kenapa pengen tau?"
"Kalau gajinya besar, siapa tau Neneng juga minat." Neneng tersenyum menyeringai.

Aku tertawa lagi.
"Tidak." Kataku. "Lebih baik Neneng jadi pengusaha kedai kopi saja."
"Untungnya kecil."
"Tadi kan sudah hitung-hitungan... keuntungannya hampir dua bahkan tiga kali lipat."
"Itu teori, A."
"Ya. Tapi teorinya masuk akal. Tadi Aa pengen nanya sebenarnya."
"Nanya apa?"
"Sehari habis berapa kilo?"
"Pertanyaan Aa salah. Seharusnya berapa gelas per hari orang membeli kopi di kedai Neneng."
"Ya, berapa gelas?"
"Paling banyak 20 gelas. Setengahnya mereka membeli kopi kemasan."
"Jadi rata-rata pembeli kopi asli hanya 10 gelas per hari? Berarti per kilo bisa habis antara 4 sama 5 hari ya?"
"Aa koq pinter sih."
"Hm. Itu memang angka yang kecil. Tapi tetap saja hitung-hitungannya Neneng punya keuntungan yang lebih tinggi daripada menjual kopi kemasan." Kataku. "Kalau Neneng sekarang belanja 100 kilo, itu habisnya kapan kira-kira?"
"Enggak tau, A. Tapi kalau berkaca dari pembelian kemaren, enam bulan yang lalu Neneng membeli 50 kg, sekarang tersisa antara 3 sampai 5 kilo."
"Berarti kalau Neneng beli sekarang 100 kilo, ada kemungkinan habisnya tahun depan, betul enggak?"
"Ya, mungkin. Tapi kan siapa tau A tahun ini pembelinya lebih banyak." Kata Neneng dengan nada optimis.
"Saya senang Neneng bersikap optimis seperti itu."
"Kalau Neneng bersikap pesimis, sudah dari dulu jadi stress." Katanya.
"Masa jadi stress sih, kan ada suami yang menghibur." Kataku.

Neneng terdiam sebentar.
"Sebenarnya... mmm... Papahnya Dani sudah satu tahun setengah belum pulang." Suara Neneng gemetar.
"Wah... maaf. Saya tidak bermaksud... " Kalimatku dipotong.
"Enggak apa-apa A. Neneng harus terima nasib ini dengan ikhlas."
"Dani sekarang umurnya berapa tahun?"
"Jalan dua tahun, A."

Kami saling diam sejenak. Jalanan desa itu semakin lama semakin sepi. Pembicaraan terakhir kelihatannya sangat sensitif bagi Neneng. Dia berkali-kali menarik nafas berat dan matanya tampak kosong menatap ke jalanan.
"Apakah Aa menyayangi Grace?" Neneng tiba-tiba memecah kesunyian.
"Ya. Tentu saja. Tapi itu dulu."
"Sekarang?"
"Saya tidak tahu. Rasanya setiap kali mengingat dia, hati saya sangat sakit dan tak bisa memaafkan." Kataku.
"Neneng bisa mengerti." Katanya. "Dulu ketika Neneng hamil, ada tetangga yang mengatakan kalau Aa Jajang selingkuh di Tanah Abang. Baru dengarnya aja Neneng sudah nangis karena sakit hati."
"Padahal belum tentu, kan?"
"Ketika Aa Jajang pulang, dia mengatakan bahwa kabar itu bohong. Aa Jajang tidak pernah selingkuh, katanya. Neneng yakin saat itu kalau Aa Jajang mengatakan yang sejujurnya. Cuma... "
"Cuma apa?"
"Pada saat itu, kadang-kadang Neneng merasa Aa Jajang menyembunyikan sesuatu... entahlah. Sekarang, dia sudah hampir satu tahun setengah tidak pulang... aneh sekali, bukan rasa kangen yang tumbuh di hati Neneng, tapi justru rasa kecewa dan sakit hati yang menumpuk, yang bikin dada ini sesak. Aa Jajang mungkin sudah membohongi Neneng."
"Mungkin di sana jualannya rugi dan tengah berjuang dari nol lagi." Kataku.
"Mungkin. Tapi tidak juga. Dia pernah pulang ke rumah beberapa kali dalam keadaan rugi dan bangkrut. Tapi Neneng tidak merasa kecewa apalagi sakit hati, seperti yang Neneng rasakan saat ini. Yah, namanya jualan, kadang untung kadang rugi." Neneng berkata degan suara gemetar. "Terakhir kali ketika dia pergi, dia pinjam uang ke Abah 25 juta untuk modal. Nanti diganti katanya... tapi sejak saat itu dia tidak pernah kembali."

Aku terdiam. Mencoba fokus ke jalanan yang sepi dan berlubang. Mobil kulajukan dengan kecepatan normal, 60 km/jam.
"Nanti di depan belok kiri A, dari situ jalanannya menanjak. Pas sampai ujung, di situlah letaknya kampung itu. Kita nanti berhenti di depan rumah Mang Uday, saudaranya Abah."
"Baik." Kataku.

Kami terdiam lagi. Melewati belokan yang tajam, jalanan benar-benar menanjak dan lebarnya hanya sekitar dua meter. Untung aspalnya masih bagus jadi mobil masih bisa melaju dengan kecepatan normal di gigi 2. Akhirnya, setelah melewati tanjakan nonstop sepanjang sekitar 2 km, aku menemukan jalan yang datar dan rata.
"Belok kiri belok kanan?" Tanyaku.
"Kanan, A."

Setelah beberapa menit melewati belokan yang datar dan rata, kulihat di kejauhan sebuah perkampungan yang kelihatannya sepi. Rumah-rumah yang bertumpuk dan berhimpitan itu seakan-akan membisu di pinggang gunung yang sunyi.

***

Ketika kami memasuki gapura kampung itu, beberapa anak-anak yang melihat kami, berlari-lari mengikuti jalannya mobil sambil meneriakkan sesuatu yang aku tidak paham betul apa artinya. Tapi kelihatannya mereka sangat gembira akan kedatangan kami.

Aku melewati jalanan kampung yang belum beraspal, tapi padat oleh lapisan pasir dan kerikil, dengan laju mobil yang sangat pelahan. Sampai tiba di sebuah rumah setengah tembok yang cukup kokoh dan halamannya luas, kami berhenti. Anak-anak itu masih mengikuti dan mengerubungi mobil ketika aku selesai memarkirkannya persis di depan rumah tersebut.

Lelaki berrambut gondrong yang sebagian rambutnya sudah ditumbuhi uban itu, menyambut kami dengan wajah terkejut tapi gembira. Usia lelaki itu mungkin antara sekitar 45 sampai dengan 50 tahun.
"Euleuh euleuh... sugan teh saha, geningan Neneng (Euleuh euleuh... kirain siapa, ternyata Neneng)." Katanya dengan nada gembira yang benar-benar polos.

(Selanjutnya, semua pembicaraan yang berlangsung menggunakan bahasa Sunda itu langsung aku translate ke dalam Bahasa Indonesia, biar para pembaca semua bisa mengerti.)

"Apa Kabar Mang Uday?"
"Baik, Neng. Mana Abah?"
"Abah sama Ambu nungguin kedai sambil ngasuh Dani."
"Kalau ini siapa?" Mang Uday menunjuk ke arahku.
"Ini Aa Kasman."
"Guru ya?" Tanyanya, polos.
"Bukan." Jawabku.

Neneng terkikik.
"Bukan, Mang. Bukan guru. Ngakunya sih pegawai bank." Kata Neneng.
"Ah masa?"Seru Mang Uday dengan sedikit keheranan. "Yakin Ujang bukan guru?" Tanyanya kepadaku.
"Yakin, Mang." Jawabku dengan sedikit nyengir.
"Ah, engga apa-apalah bukan guru juga, yang penting Ujang kelihatan sebagai orang baik-baik." Katanya. "Yuk, masuk ke dalam."

Aku melepas sepatu dan memasuki rumah yang berlantai bambu.
"Eeehhh, Neneng." Seorang seorang perempuan berusia sekitar 35-an, berkulit coklat kekuningan dengan rambut disanggul ala kadarnya, muncul dan berseru nyaring dari arah ruangan lain. Nanti aku tahu kalau ruangan itu sangat luas berlantai tanah. Ruangan itu selain berfungsi sebagai dapur juga sebagai tempat penyimpanan kopi.
"Bi Uti." Kata Neneng. "Kenapa warungnya tutup?"

Aku baru sadar kalau paviliun sebelah kiri rumah itu, yang dindingnya ditutup dengan menggunakan papan-papan yang berdiri vertikal, adalah warung.
"Kan barang dagangannya sudah habis semua. Mana abah?"
"Abah di rumah."
"Terus, bagaimana? kamu bawa barang belanjaan enggak?"
"Bawa atuh, Bi. Ada di mobil."
"Banyak?"
"Banyak, Bi. Kata Abah harganya sama dengan 100 kilo kopi beras."
"Alhamdulillahhh... Yuk atuh kita turunin sekarang." Kata Bi Uti.
"Nanti dulu atuh, Ibi. Kasihan baru juga datang, masih kelihatan cape." Kata Mang Uday.
"Enggak apa-apa, Mang. Neneng mah enggak cape, kan naik mobil. Aa Kasman aja yang mungkin cape mah."
"Ya sudah atuh kalau begitu mah. Sana turunin." Kata Mang Uday sambil mengambil gulungan tikar dan menghamparkannya. "Silakan duduk, Jang."

Aku duduk di atas tikar itu dengan cara bersila. Tikarnya empuk dan hangat.
"Ini tikar apa, Mang? Koq empuk dan hangat." Kataku. Mendengar perkataanku Mang Uday malah tertawa.
"Hadeuh, Jang. Ini mah tikar biasa atuh, dibikinnya juga sendiri dari bahan-bahan yang ada di sini." Katanya.
"Bahannya dari apa Mang, koq enak didudukinnya?"
"Dari pandan. Di kota mah tikar yang kayak beginian sudah tidak ada, Jang. Kalah bersaing dengan tikar jerami dan karpet plastik."
"Tapi saya suka dengan tikar ini, Mang." Kataku. Aku ingat bahwa Eyang Suta hanya mau duduk di atas tikar pandan, mungkin yang dimaksud adalah tikar yang seperti ini.
"Yaaahhh, kalau suka mah bagus-bagus aja, Jang." Katanya.
"Kalau boleh tukeran, Mang."
"Boleh. Mang Uday punya dua gulung yang masih baru." Katanya sambil masuk ke dalam kamar dan membawa dua gulung tikar. "Niihhh... masih baru kan?"
"Iya, Mang. Masih baru."
"Nah, tukerannya sama empat slop rokok aja. Dua slop jisamsu dan dua slop lagi garpit."
"Boleh, Mang. Tapi sayangnya saya enggak bawa. Bagaimana kalau uang?"
"Uang? Boleh. Boleh sekali. Bagaimana kalau 700 ribu?"
"Jadi." Kataku.
"Bener, Jang jadi? Enggak akan ditawar?"
"Enggak atuh, Mang. Buat Mang Uday mah saya enggak akan menawar."
"Ambuing ambuing... makasih atuh Jang kalau begitu mah." Katanya. "Yakin Ujang teh bukan guru?"
"Bukan, Mang."
"Nih atuh tikarnya, mana uangnya?"

Aku merogoh dompet dan menarik 7 lembar uang pecahan seratus ribu.
"Nih mang uangnya."
"Euleuh euleuh... uangnya juga masih baru." Kata Mang Uday sambil menerima uang itu dan menciuminya. "Nah, ini saya serahkan tikarnya dua gulung dan saya terima uangnya 700 ribu dengan segala senang hati."
"Saya terima tikar pandannya dua gulung dan saya serahkan uangnya 700 ribu dengan segala senang hati." Kataku.

Mang Uday tersenyum.
"Yakin Ujang teh bukan guru?" Katanya sekali lagi dengan nada yang tak percaya.
"Yakin, Mang. Masa harus bersumpah?"
"Aneh. Kenapa Ujang sangat baik atuh?"
"Apa saya harus jadi guru dulu supaya bisa berbuat baik?"

Sekali lagi Mang Uday tertawa.

"Tidak, tidak perlu. Semua orang bisa berbuat baik apa pun pekerjaannya." Katanya. "Eh, dari tadi ngobrol melulu. Mana si Nyai ya?" Katanya. "Nyai!!! Nyai!!!" Mang Uday berteriak. "Bikinin kopi atuh, tau kan ini ada tamu."
"Enggak usah repot-repot Mang." Kataku.
"Sebentar ya, Jang." Kata Mang Uday, dia pergi ke luar dan berbicara dengan Bi Uti. Aku bangkit dari dudukku dan mengikuti Mang Uday ke luar.

Papan-papan penutup warung itu sudah dibuka. Bi Uti dan Neneng sibuk memindahkan barang-barang belanjaan dari mobil ke dalam warung. Anak-anak berkerumun menyaksikan.
"Bi, kalau si Nyai ke mana?" Tanya Mang Uday.
"Engga tau, tadi mah di belakang lagi ngejemur kopi."
"Mau disuruh bikinin kopi." Kata Mang Uday.
"Bikin sendiri atuh Mang apa susahnya." Kata Bi Uti.
"Mamang kan lagi ngobrol bisnis sama Jang Kasman."
"Ini juga lagi bisnis." Kata Bi Uti.

Aku mengenakan sepatu dan berjalan mengitari rumah hingga ke halaman belakang. Sepanjang halaman samping hingga halaman belakang, terhampar biji-biji kopi yang sedang dijemur. Biki-biji kopi itu dijemur dengan beralaskan terpal plastik warna biru dan oranye.

Tiba di halaman belakang yang lebih luas, terletak di sebelah ujung yang memanjang, tumbuh berjajar pohon-pohon kopi setinggi sekitar satu meter.

Karena penasaran, aku melangkah menuju kebun kopi itu dan melihat pohon kopi dari dekat. Kucium daunnya, ternyata tidak harum kopi. Kulihat pada beberapa tangkainya terdapat kerumunan biji-biji kopi yang berwarna merah, hijau dan kuning.

Kebun kopi ini terasa sepi dan sunyi... ketika aku setengah terkejut terpesona oleh suara senandung yang sangat merdu. Muncul dari balik pepohonan. Seorang gadis dengan rambut hitam lurus yang tebal sepanjang bahu, berjalan santai sambil memeluk bakul bambu di pinggangnya dengan sebelah tangannya.

Gadis itu terus bersenandung. Dia tidak sadar aku mematung tanpa kedip menatapnya. Hingga akhirnya jarak antara aku dan dia yang satu meter, menegurnya untuk menghentikan senandung.

Dia memakai kaos tua yang sudah sangat belel, celana pendek selutut dan sandal jepit. Kulitnya coklat terang. Hidungnya tidak mancung, tapi tipis dan runcing seperti pensil. Cupingnya mencuat ke langit. Bibirnya berwarna pink tua asli tanpa lipstik. Pipinya mulus lembut seperti buah tomat.

Dia merandek di situ, di 95 cm jauhnya dari hidungku. Setengah terkejut setengah tidak, dia berdiri mematung. Sekejap matanya terbelalak. Lalu tajam mengawasiku. Aku menatap matanya yang istimewa itu tanpa kedip. Benar-benar takjub dan tersihir oleh pesona sepasang bola mata itu.

Sepasang bola mata itu sangat istimewa karena memiliki warna yang berbeda. Biru. Bola mata itu berwarna biru. Seperti langit ketika matahari bersinar terang dan awan menghilang. Jernih. Teduh. Misterius. Biru. Seperti hatiku saat itu.

Dia juga melakukan hal yang sama. Membalas tatapanku tanpa kedip.

Dia gadis yang sangat cantik. Bahkan dia adalah gadis tercantik yang pernah aku temui selama hidupku. Tubuhnya ramping dengan ukuran buah dada yang standar. Badannya cukup tinggi. Mungkin sekitar 165 cm.

Selama puluhan detik kami terpaku dan saling menyilet dengan tatapan yang langsung di mata!!!

Jantungku berdegup. Mulutku terkatup. Otakku jadi idiot.

Aku melangkah mendekatinya satu langkah. Dia diam. Aku melangkah selangkah lagi, dia masih juga diam. Namun tatapan kami masih saling menyilet.

Aku mendekatinya lagi hingga kami berjarak 5 cm. Dia masih diam dan masih menyilet mataku. Kudengar gemuruhh jantung itu bukan berasal dari jantungku saja. Angin yang mendesir pada wajahku adalah hembusan nafasnya.

Aku adalah orang paling idiot sedunia ketika kuraih kedua tangannya dan kukecup bibirnya. Tapi juga paling bahagia.

Dia menjatuhkan bakul bambunya. Dan menamparku. Lalu menebah tubuhku dan berlari. Aku terjatuh ke tanah dan menyadari ketololanku. "Tolooollllllll!" aku memaki diriku sendiri. Aku menjambak rambutku sendiri dan tak henti-hentinya menyesali kebodohanku.

Ah, tapi sudahlah. Toh semuanya sudah terjadi. Lagi pula itu adalah ciuman terindah yang pernah aku rasakan selama hidupku.

***

"Nyai, kamu teh ke mana aja dicari-cari?" Tanya Mang Uday, aku mendengar suara Mang Uday yang kesal ketika aku tiba di halaman depan. Sebelumnya aku telah memungut bakul bambu yang berisi biji-biji kopi berwarna merah dan meletakkannya dekat pintu belakang.
"Ke kebun sebentar, Abah." Jawab gadis yang dipanggil Nyai itu. Aku menatapnya dan gadis itu menoleh sejenak kepadaku. Lalu melengos. Dia masuk ke dalam rumah.
"Bikinin kopi." Kata Mang Uday.
"Iya, Abah." Jawab gadis itu dari dalam rumah.
"Jang, kalau kotak warna merah yang di dalam mobil itu apa?" Tanya Mang Uday. Dia bertanya kepadaku yang sedikit melamun.
"Itu... itu freezer, Mang." Jawabku. Sedikit gugup.
"Prijer? Buat apa?"
"Aslinya sih sebetulnya buat menyimpan minuman dingin." Aku menjawab dengan lebih tenang.
"Di sini mah tidak memerlukan minuman dingin, Jang. Justru minuman panas. Buat apa itu dibawa-bawa."
"Buat nyimpan bunga, Mang Uday. Nanti sekalian pulang mau mencari bunga 7 rupa."
"Nyari aja di hutan, banyak. Buat apa sih, Jang?"

Aku terdiam.
"Buat mandi ya? Mandi kembang tengah malam? Ha ha ha..." Neneng datang menimpali sambil tertawa. "Udah selesai, Mang. Tinggal kopinya."
"Ini nih sudah disiapkan, dua karung."
"Masukin atuh Mang ke bagasi."
"Boleeh, tenang aja." Kata Mang Uday. Dia lalu mengangkut karung kopi itu satu-satu dan memasukkannya ke dalam bagasi.
"Makasih, Mang." Kata Neneng.
"Sama-sama." Kata Mang Uday. "Nah, sekarang Neneng istirahat dulu di dalam."
"Hayu A, kita masuk ke dalam." Ajak Neneng kepadaku.

Aku menurut.

***

Sambil menikmati kopi yang dibuat Nyai, kami berbincang di dalam rumah selama beberapa menit. Tapi pikiran dan mataku selalu tertuju pada gadis itu. Ternyata dia usianya baru 16 tahun, baru lulus SMP. Nama aslinya Adelia. Dia adalah anak semata wayang Mang Uday dan Bi Uti.

Adelia sebetulnya ingin meneruskan sekolah ke SMU atau ke SMK, tapi terbentur biaya dan lokasi sekolah yang jauh. Tidak punya kendaraan motor.

Setelah berbasa-basi, kami pun pulang. Tidak lupa dua gulung tikar pandan itu kusimpan di jok belakang.

***

Kami menuruni jalanan dengan santai.

Neneng tampak gembira dengan dua karung kopi yang berhasil dibawanya. Sementara aku tercenung-cenung mencoba melupakan Adelia.

"Kalau lewat melihat ada pohon bunga, kita berhenti sebentar ya." Kataku. Kulihat jam di HPku menunjukkan pukul 11.10.
"Nanti pas di belokan, ada A." Kata Neneng sambil memperbaiki bandonya. "Aa nyari kembang buat pake mandi ya? Tujuannya buat apa?"
"Yah begitulah..." Kataku dengan nada tawar.
"Buat nyari jodoh ya?"

Aku menoleh ke arah Neneng, tersenyum. Tapi pikiranku dihantui oleh si mata biru itu. Adelia.

***

Sepanjang perjalanan pulang, akhirnya aku berhasil mengumpulkan 7 jenis bunga yang berbeda. Semuanya kusimpan dalam mini freezer biar awet dan masih segar pada saat nanti jika akan digunakan.

Aku mengantar Neneng ke kedai kopinya di dekat alun-alun. Istirahat sebentar dan berharap orang yang bernama Juber itu muncul. Tapi sayangnya tidak.

Setelah merasa cukup istirahat, aku pamitan dan melajukan mobil ke pangkalan ojeg. Tapi di sana juga ternyata tidak ada. Waktu aku tanyakan kepada tukang ojeg yang tengah mangkal, mereka menjawab kalau Juber semalam ditangkap polisi karena ketahuan berjudi kartu.
"Biasa Pak dia mah. Polsek Cicalengka adalah rumah keduanya."

Aku mengangguk dan mengucapkan terimakasih.

***

Aku pulang dulu ke rumah untuk makan siang yang terlambat. Kusuruh Mak Onah menyingkirkan kursi sofa di ruang tengah dan menggantinya dengan Tikar Pandan. Sedangkan Freezer berisi bunga kusimpan di sudut ruang tengah dekat TV. Setelah berganti pakaian dengan kemeja, celana pantalon dan jas blazer, aku pergi ke Polsek Cicalengka untuk menemukan Juber.

Tiba di Polsek sekitar pukul setengah dua siang. Kanit Reskim Polsek Cicalengka IPTU Usep Karnadi menerimaku dengan sopan dan ramah. Usianya sekitar 50-an. Beberapa anak buahnya menyalamiku dengan hormat. Aku menjelaskan kedatanganku untuk menjenguk dan menjemput Juber yang semalam tertangkap main judi kartu.

Setelah menempuh prosedur yang berlaku dan menyelesaikan sejumlah masalah administrasi, aku diantar menuju ruang tahanan dan melihat Juber sedang duduk menekur memeluk lutut.

Dia keheranan ketika aku membebaskan dia dari tahanan. Badannya sangat bau ketika dia kubawa menuju mobil, dia tidak berbicara apa-apa. Setelah berada di dalam mobil, barulah dia bicara.
"Saya tahu, bapak adalah orang yang di kedai kopi Teh Neneng." Katanya.
"Ya, betul. Aku menjemputmu karena disuruh Eyang Suta."

Juber terperanjat.
"Eyang mendatangi Bapak atau Bapak yang mendatangi Eyang?" Tanyanya.
"Eyang yang mendatangi saya, Ber." Kataku.
"Kalau begitu Bapak pasti orang penting." Katanya. "Saya sudah lama tidak sowan ke rumah Eyang di Gunung Guntur."
"Kenapa, Ber?"

Dia diam sambil nyengir.

Beberapa menit kemudian kami tiba di rumah, aku menyuruhnya mandi dan ganti baju. Tapi dia tidak punya baju untuk ganti. Aku memberinya salah satu kaosku yang paling kecil. Mak Onah protes ketika aku menyuruhnya membuatkan makanan untuk Juber.
"Saya masak hanya untuk Cep Kasman bukan untuk orang jelek seperti dia." Katanya dengan nada tidak senang.
"Saya masak sendiri aja, Pak." Kata Juber menjawab kata-kata Mak Onah dengan bahasa Sunda.
"Aku akan ke ruang kerja, mohon kalian jangan ribut." Kataku.

Di ruang kerja, seperti biasa, aku meneruskan catatan rencana-rencanaku sampai maghrib menjelang. Ke luar dari ruang kerja kulihat Mak Onah cemberut karena peralatan masaknya dipakai secara sembarangan oleh Juber.

Aku memanggil Juber di ruang kerja dan menjelaskan keberatan Mak Onah atas sikap dan perilaku Juber yang kurang respek. Juber tertunduk.
"Pak, kalau boleh tanya, Mak onah ini siapanya Bapak?" Tanya Juber dengan bola matanya yang kecil sekejap menatapku.
"Bukan siapa-siapaku, Ber. Dia saudaranya Pak Hendra."
"Pak Hendra itu siapa, Pak?"
"Satpam di kantor. Dia yang membantuku menyediakan rumah kontrakan ini bersama pembantu rumah tangganya sekaligus, yaitu Mak Onah."
"Oh, begitu, Pak. Dia digaji berapa, Pak?"
"Tiga juta setengah per bulan." Jawabku.
"Boleh enggak Pak dia saya tundukkan."
"Maksudmu apa, Juber?" Tanyaku.

Wajah Juber terlihat mengekspresikan sesuatu yang nakal dan jahat.
"Maksud saya... euh... itu, Pak."
"Itu apa?"
"Saya pelet, Pak. Biar baik sama saya."

Aku menatapnya tajam.
"Mak Onah itu cuma seorang janda, Juber. Kamu tidak kasihan sama dia?"
"Justru karena Juber kasihan makanya Juber pelet... boleh tidak, Pak?"
"Kalau sudah kamu pelet, apakah kalian tidak akan bertengkar lagi?"
"Saya jamin Pak seribu persen." Kata Juber sambil cengengesan. "Dia akan menjadi baik, Pak."

Aku diam.
"Tapi dosa-dosanya kamu yang tanggung semua." Kataku.
"Siap, Pak. Saya tidak akan berdosa, malah akan mendapat pahala." Katanya. "Saya izin pinjam Tikar pandannya digelar di sini."

Juber kemudian mengambil satu gulung tikar pandan yang belum digelar dan membawanya ke ruang kerja. Dia menghamparkannya di sudut dan duduk di atasnya. Juber kemudian meletakkan tiga biji Leunca, yang diambilnya dari dapur, di hadapannya. Dia duduk bersila, menekur dan merapal sesuatu mantra.

Juber lalu mengambil satu demi satu biji leunca itu dan menggosok-gosoknya menggunakan jari telunjuk dan jempol. Setelah satu jam berlalu, satu demi satu biji leunca pecah di jarinya. Aku dengan cermat memperhatikannya sambil pura-pura mengetik sesuatu di Laptop.

Juber kemudian mengusapkan cairan pecahan biji leunca ke wajahnya dan ke seluruh bagian tubuhnya yang bisa dijangkau dengan tangannya. Lalu tangannya menepuk-nepuk tikar pandan sebanyak tiga kali.

"Nah, selesai." Katanya. Dia kemudian menggulung kembali tikar pandan itu dan membawanya ke ruang tengah.

Sementara itu Mak Onah tengah membuat opor ayam kampung di dapur. Ketika aku menemukannya tengah menyiapkan piring di meja makan, Mak Onah sedang tersenyum-senyum sendirian.
"Sudah siap, Mak?" Tanyaku. "Saya sudah lapar nih."
"Sudah, Pak." Katanya. Lalu tiba-tiba dia berbisik. "Juber sekalian diajak makan, Pak. Kasihan, dia cuma baru makan mie instan."

Aku mengerutkan kening. Sikap Mak Onah langsung berubah 180 derajat. Aku lalu memanggil Juber yang sedang asyik menonton TV di ruang tengah. Juber cengar cengir ketika masuk ke ruang makan yang tergabung dengan ruang dapur.

Setelah Mak Onah mengambilkan nasi dan opor ke piringku, dia lalu melayani Juber dengan mesra.
"Yang banyak makannya biar sehat." Kata Mak Onah kepada Juber.
"Iya Mak Onah." Kata Juber.
"Jangan panggil emak atuh Juber mah, panggilnya Ceuceu aja." Katanya dengan sedikit centil.
"Iya Ceu."

Melihat pemandangan itu aku hampir saja tersedak. Juber mengedipiku dan makan dengan lahap. Selesai makan, aku kembali lagi ke ruang kerja dan meneruskan pekerjaan yang tertunda. Sempat kulihat Juber dan Mak Onah tampak akur sebelum kutinggalkan ke ruang kerja, bahkan aku mendengar mereka tertawa-tawa sambil mencuci piring.

Sekitar pukul setengah delapan malam, samar-samar kudengar suara perempuan merintih-rintih. Karena penasaran, aku ke luar ruang kerja dan menemukan sumber suara itu berasal dari kamar Mak Onah. Kudekati dan kubuka pintunya yang tak dikunci.

Kulihat Mak Onah tengah terbaring dalam keadaan telanjang bulat. Kedua pahanya terbuka dan kepala Juber ada di tengah-tengah paha tersebut.
"Terus Juber terus." Kata Mak Onah Manja.

Slurp slurp slurp... Juber dengan semangat tinggi menyeruput memek Mak Onah. Aku menutupkan pintu dan pergi ke ruang kerja.

Meneruskan pekerjaanku yang masih menumpuk.

***
(Bersambung)
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd