Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG RIMBA ASMARA

Thema apakah yang paling anda gandrungi dalam Sub Forum Cerita Bersambung ini?

  • Hubungan sedarah atau incest, dengan mama atau saudara kandung

    Votes: 316 17,6%
  • Hubungan setengah baya atau MILF, antara yang muda dengan yang tua

    Votes: 239 13,3%
  • Hubungan sex Cukold, eksib, voyeur, mengintip dan di tempat umum

    Votes: 132 7,3%
  • Hubungan sex di kalangan remaja atau SMU/pesantren/sederajat

    Votes: 99 5,5%
  • Hubungan sex di kos-kosan mahasiswa/mahasiswi

    Votes: 85 4,7%
  • Hubungan sex Perkosaan

    Votes: 46 2,6%
  • Hubungan Sex affair di kalangan bisnis atau antar pegawai kantoran

    Votes: 99 5,5%
  • Hubungan sex dengan Bini Orang

    Votes: 159 8,9%
  • Hubungan sex dengan Laki Orang

    Votes: 16 0,9%
  • Hubungan sex di kalangan selebriti Indonesia

    Votes: 80 4,5%
  • Hubungan sex di pedesaan/ di perkampungan

    Votes: 88 4,9%
  • Hubungan sex dengan wanita berhijap/kerudung

    Votes: 332 18,5%
  • Hubungan sex romantis

    Votes: 62 3,5%
  • Scandal sex para politisi atau pejabat

    Votes: 19 1,1%
  • Hubungan sex lesbian/gay

    Votes: 16 0,9%
  • Hubungan sex lainnya

    Votes: 8 0,4%

  • Total voters
    1.796
  • Poll closed .
Status
Please reply by conversation.
Bimabet
Badanku sepertinya panas dingin ketika mobil melaju menuju ke Cicadas. Aku menggigil. Kulihat jam di HP menunjukkan pukul 10.30.
"Mang, ada yang enggak beres nih dengan badan ini." Kataku sambil menggigil kedinginan. Sambil nyetir Mang Emen melirik ke arahku, dia tampaknya merasa khawatir.
"Kita cari dokter ya, Bos."
"Iya Mang."

Mobil melaju kencang melewati jalan raya Rancaekek, lalu melewati Cileunyi dan tiba di Bunderan Cibiru tepat pukul 11.
"Kita ke Puskesmas Cibiru saja, ya Bos?"
"Iya, Mang. Terserah. Aku sudah enggak tahan." Kataku sambil terus menggigil.

Mang Emen hampir saja berbelok ke Puskesmas Cibiru, ketika di sebelah kiri jalan kulihat sebuah rumah dengan halaman yang luas, berdiri sebuah plang yang bertuliskan:





PRAKTEK UMUM
dr. Magdalena Santosa
SIP: 1/B.15A/32.72.02.1077/-1.777.3/E/2018
Buka Setiap Hari
Jam 10.00 - 18.00
Minggu Tutup
Jl. Raya Cibiru No.777​

"Mang ke situ saja." Kataku.
"Eh, iya, Bos. Siap."

Mang Emen dengan gesit membelokkan mobil, masuk ke halaman yang luas dan memarkir mobil di dekat teras. Dia turun dan memasuki teras yang pintunya tertutup. Dia mencoba membukanya tapi terkunci.
"Tutup?" Tanyaku.
"Kelihatannya sih Bos, masih tutup."

Mang Emen kemudian membalikkan badan dan bersiap menuju mobil ketika seorang gadis berwajah imut dengan rambut ikal pendek yang ringkas, datang dari samping teras.
"Ada apa, Pak?" Tanya Gadis imut itu.

Aku rasa-rasanya mengenal gadis imut itu. Entah kapan dan di mana. Dia mengenakan kemeja lengan pendek warna putih berrenda dan rok selutut yang sopan. Kakinya memakai sendal jepit.

Betisnya putih dan panjang.

Kulihat Mang Emen menoleh ke arah gadis itu.
"Dokter Magdalena buka Praktek, teh?" Tanya Mang Emen sopan. Mang Emen mengira gadis muda itu tentulah staff dokter praktek itu.
"Buka. Siapa yang sakit? Bapak?"
"Bukan saya, teh, tapi Bos. Ada di mobil."
"Oh, suruh masuk saja. Saya dokter Lena." Kata Gadis itu.

Aih, ternyata gadis imut yang masih muda itu adalah seorang dokter.

Aku segera ke luar dari mobil sambil bersidekap tangan karena menggigil. Kaki melangkah dengan lutut gemetar dan kepalaku terasa berat. Sejenak kulihat dokter muda jelita itu berdiri terpaku di teras dan menatapku.

Tiba-tiba gadis muda imut itu memanggil namaku.
"Marsudi? Benarkah?"

Aku mendongak dan menatap dokter muda itu. Kepalaku yang pening tak sanggup menemukan di mana aku pernah kenal dengan gadis imut yang jelita itu.
"Benar." Kataku. "Maaf jika aku lupa sama Bu Dokter."

Da tertawa. Manis sekali. Wajahnya cantik, imut dan lembut. Matanya sipit. Kulitnya putih seperti kertas HVS yang masih baru.
"Jangan panggil aku bu dokter." Katanya. "Ayo masuk dulu. Eh, ke sini saja, jangan di tempat praktek."

dr. Lena membawaku menyusuri teras samping rumah dan memasuki pintu yang terbuka. Mang Emen tidak ikut, dia duduk di kursi rotan yang terdapat di teras samping. Begitu kaki melewati ambang pintu, sebuah ruangan yang luas berisi 3 set kursi sofa menebar di beberapa sudut ruangan. Kelihatannya itu adalah ruang keluarga.

"Kamu pasti lupa, Mar. Aku Lena, temannya Grace. Kita pernah ketemu di Kafe Katulistiwa, 3 bulan yang lalu, waktu itu aku merayakan terbitnya Surat Izin Praktekku. Dan kalian aku undang."
"Saya lupa lagi, maaf."

Lena tersenyum.
"Duduklah dulu di sofa, sebentar aku ambil stetoskp dulu ke ruang praktek." Katanya. Dia kemudian melangkah ke pintu di sebelah dan kembali lagi dengan stetoskop menggantung di lehernya dan tensimeter di genggaman tangannya.

"Berbaring rilek ya Mar." Katanya. Dia kemudian menarik kursi yang berbentuk kotak dan duduk di sampingku.

Aku manut. Kulepaskan sepatuku dan berbaring di sofa yang nyaman itu. Tangan Lena yang lentik menyentuh beberapa bagian dada dan perut. Dia menyentuh-nyentuhkan stetoskop itu ke dadaku dan menyuruhku menarik nafas dalam-dalam.

Kulihat pipi Lena yang putih dan bibir merahnya yang tipis. Kayaknya bibir itu cukup lembut jika kuemut. Tapi aku merasa kedua kelopak mataku terasa panas.

Aku juga sempat melihat pahanya yang putih mulus yang sejenak tersingkap. Dia duduk di kursi kotak itu dengan kedua betisnya yang panjang merapat. Tapi dengkulnya itu hanya beberapa centimeter saja jaraknya dari hidungku.
"Kamu demam, mungkin karena kecapean." Katanya. Dia kemudian memasang tensimeter pada pangkal lenganku, memegang pergelangan tanganku dan menghitung tekanan darahku.
"Normal, koq." Katanya sambil melipat kembali tensi meter itu. Kemudian jari-jari tangannya menusuk-nusuk perutku. "Sakit enggak?"

Aku menggelengkan kepala. Aku menarik nafas sekali lagi untuk mencium aroma tubuh Lena.
"Kamu belum mandi ya?" Kataku. Kulirik buah dadanya yang kecil. Tak begitu menarik.

Lena tertawa.

"Maaf." Jawabnya. "Aku baru bangun. Semalam capek juga pulang nyopir sendiri dari Jakarta. Aku malah sempet ketemu Grace di kantornya. Dia mengeluh Mar, kangen sama kamu. Bener-bener kasian. Kamu kemana aja koq tiba-tiba menghilang?"

Aku memasang wajah cemberut dan tidak senang.
"Sori, aku tidak bermaksud turut campur urusan kalian." Katanya sambil terus memeriksa tubuhku. Kali ini dia memeriksa bagian paha dan betisku. Dia memukul-mukul dengkulku dengan suatu alat seperti batang besi kecil sebesar pensil.
"Aku enggak mau ketemu dia lagi. Males."
"Kenapa?" Tanya Lena.
"Ah, sudahlah. Aku tak ingin menjelek-jelekkan dia."

Lena menatapku. Rambut ikalnya jatuh di kening. Eh, dia imut dan cantik.
"Kamu sudah tahu ya rupanya?" Kata Lena.
"Tahu apa?" Tanyaku balik bertanya.
"Tidak. Sudahlah." Katanya.
"Maksudmu dia selingkuh dengan Pak Alex?"

Magdalena mengangguk.
"Mar, kamu dikacangin Grace sudah lama." Katanya.
"Aku tahu." Kataku. "Karena itu aku ingin menghilang darinya selamanya."
"Tapi dia kelihatannya tersiksa, Mar. Kasihan. Dia sampai nangis-nangis ingin ketemu kamu."
"Tapi aku enggak mau ketemu dia."
"Kamu marah?"
"Enggak." Jawabku.
"Kamu kecewa?"
"Enggak juga, Len." Kataku, sekejap tiba-tiba tatapan mata kami bertubrukan.
"Terus kenapa?" Tanyanya. Dia menghindari adu tatapan.
"Aku males saja. Tapi aku sudah memaafkan dia koq." Kataku. "Walaupun cuma dalam hati."

Magdelana menarik nafas.
"Kamu oke oke aja. Cuma demam sedikit, nanti aku kasih parasetamol." Katanya. Sekejap kulihat dia melirik ke arah selangkanganku. Pipinya sedikit memerah. "Atau jangan-jangan kamu sudah punya pengganti Grace." Katanya.
"Tidak." Jawabku. "Aku belum mau berpikir lagi soal berhubungan secara serius dengan seorang cewe. Aku jomblo. Dan aku bahagia." Kataku.
"Aku juga jomblo." Kata Magdalena dengan nada guyon. "Tapi aku enggak bahagia." Katanya. Ujung kalimatnya diakhiri dengan tawa kecil.
"Itu salah kamu sendiri." Kataku dengan tersenyum.

Magdalena tertawa.
"Kamu lucu." Katanya. "Ngomong-ngomong kamu di Bandung lagi ngapain?"
"Kalau kamu janji mau merahasiakannya dari Grace, aku akan jawab dengan jujur." Kataku.
"Aku janji."
"Aku dimutasi ke sini, jadi Kacab."
"Wow. Hebat. Selamat ya."
"Makasih. Eh, kamu juga kenapa buka prakteknya di sini? Apa rumahmu di sini?"
"Bukan, ini rumah Opa." Katanya. "Rumahku di Jakarta."
"Sudah lama buka praktek di sini?"
"Mmm, ada sebulan. Tapi masih sepi. Baru satu dua pasien yang datang, itu juga biasanya datangnya sore."
"Sabar. Cepat atau lambat mereka akan mengenalmu sebagai dokter baik yang cantik."

Lena tersenyum malu.
"Makasih udah bilang aku cantik."
"Kamu memang cantik koq."
"Mar, kamu mengigau karena demam." Katanya. "Kamu harus segera minum obat."

Aku tertawa.
"Tidak. Aku tidak mengigau. Minum obatnya nanti saja." Kataku. Lena tersenyum dan kali ini dia menatapku dengan tajam. Aku melawan matanya yang sendu. Kelihatannya gadis ini merindukan belaian hangat seorang pria.

Kami bertatapan dan saling menduga isi hati. Tiba-tiba Lena mendekatkan wajahnya dan mencium bibirku. Aku menerima ciuman itu dengan nikmat dan membalasnya. Kami saling berbalas pagut dan aku sungguh menikmati bibirnya yang lembut. Kedua tanganku meraih pinggang Lena yang halus dan kedua tangan Lena memegangi kedua lenganku. Kami menikmati ciuman dan merasakan gairah yang menyenangkan.

"Lena. Lena." Terdengar suara seorang lelaki tua memanggil-manggil.

Mendengar suara itu, kami auto saling melepaskan diri.
"Itu Opa." Bisik Lena. Pipinya merah dan lehernya berdenyut. "Kamu suka?"
"Enggak suka berhenti. Lagi yuk." Kataku.
"Iya Opa." Kata Lena, suaranya keras. Lehernya yang putih tampak masih berdenyut-denyut.
"Kacamata di mana?"
"Di belakang, di meja kebun."
"Kamu sudah buka praktek?"
"Sudah, Opa. Lena lagi ada pasien." Kata Lena, dia menatapku. Bibirnya tersenyum. Merekah. Menantangku.
"Jangan di sini." Bisik Lena ketika aku hendak mengecup bibirnya. "Di ruang praktek aja, biar aman. Yuk." Katanya.

Lena menarik tanganku dan membawaku memasuki pintu yang terletak di sebelah. Tidak lupa dia meraih tensimeter dengan tangan satunya. Setelah melewati pintu itu, aku menemukan ruang praktek dokter yang didominasi warna putih. Lena meletakkan tensimeter dan stetoskop di meja periksanya, lalu mengunci pintu.

Kedua tangannya lalu menggelantung di tengkukku dan aku mendapatkan lagi kehangatan bibirnya dan kekenyalan buah pantatnya.

***

Kami nyaris tak bisa dihentikan dalam pelukan badai gelora asmara. Pipi Lena sudah demikian memerah dan kurasakan jantungnya berdetak keras. Dia melenguh ketika jariku mengoles-oles memeknya dari luar celana dalamnya. Bahkan dia meminta lebih ketika tangannya menangkap tanganku untuk terus melakukannya. Membawanya masuk menelusup ke balik celana dalamnya yang sudah sangat basah oleh lendir kenikmatan. Aku pun mengerang ketika jari jemarinya yang lentik masuk secara paksa ke balik celana panjangku.

Kami betul-betul nyaris tak bisa dihentikan jika Mang Emen tak mengetuk-ngetuk pintu dan memanggil-manggilku.
"Bos... bos... sudah jam setengah 12." Katanya.

Lena menarik tangannya dari celanaku demikian juga aku dari celananya. Kami tersengal-sengal dan saling menatap dengan senyum lucu.
"Kontol kamu gede." Bisik Lena di telingaku.
"Memek kamu basah. Gak tahan ih pengen masuk ke situ." Jawabku, berbisik juga.
"Sama aku juga pengen. Tapi sopirmu itu mengganggu."
"Itu sudah tugas dia. Aku ada agenda kerja yang harus dipatuhi."
"Kamu sibuk ya Mar."
"Begitulah. Sekarang aku harus ke cicadas."
"Mar, tadi kita spontan ya."
"Iya. Kamu suka?"
"Aku suka banget. Sebetulnya aku udah kesengsem sama kamu waktu pertama kali melihatmu di kafe bersama Grace."
"Kesengsem?"
"Iya. Soalnya kamu ganteng sih."
"Ah, masa?"
"Iya. Swear." Kata Lena. "Mar kamu mau engga jadi cowok aku biar aku enggak jomblo." Kata Lena.
"Ih, masa sih kamu yang nembak aku. Len, kamu mau enggak jadi cewek aku biar aku enggak jomblo tapi tetep bahagia."

Lena tertawa.
"Aku mau banget." Katanya. "Sekarang aku cun bibir kamu ya, setelah itu kamu boleh pergi."

Lena kemudian memelukku dengan erat dan mencium bibirku dengan ganas.
"Bos... bos..." Mang Emen mengetuk-ngetuk pintu dan memanggil-manggilku.
"Iya, Mang. Tunggu sebentar." Kataku. Lena kemudian membukakan pintu dan Mang Emen dengan safari biru pendeknya yang ketat, menunggu di luar dengan perasaaan khawatir.
"Maaf, dok." Kata Mang Emen dengan hormat. "Berapa biayanya?"

Magdalena tercenung sebentar.
"Dua puluh juta rupiah." Katanya, wajah Lena tampak serius. Dia membuka laci obat dan mengambil parasetamol. "Plus obat, jadi dua puluh lima juta rupiah."

Wajah Mang Emen pucat. Dia gugup.
"Kalau tak bisa bayar dengan uang, boleh bayar dengan kecupan di sini." Kata Lena sambil memonyongkan mulutnya.

Mang Emen tersenyum, dia menarik nafas lega.
"Terpaksa, Mang, harus dibayar." Kataku sambil memeluk Lena dan melumat bibirnya selama beberapa menit.
"Sebelum pergi, kita tukeran nope dulu. Mar, makasih ya atas semuanya. Sekarang aku tidak jomblo dan bahagia."
"Sama-sama, sayang." Kataku.

Kami berpelukan dan berciuman lagi sebelum Mang Emen berdehem keras dan mempersilakan aku berjalan duluan menuju mobil.

***

Aku masih merasa demam ketika melangkah ke luar ruangan praktek Lena. Bagaimana pun aku tidak menyangka akhir pertengahan hari ini berakhir dengan sangat mengejutkan. Tapi kejutan yang menyenangkan. Hatiku menjadi hangat bukan sekedar oleh ciuman tapi juga oleh perasaan bahwa ada seseorang yang menginginkan aku dengan tulus. Seseorang yang akan berusaha mencintaiku. Seseorang yang akan mencoba menerimaku denga segala kelebihan dan kekuranganku. Itulah sebabnya aku merasa hangat.

Mang Emen melajukan mobil melalui jalan Raya Ujungberung, sebelum mobil melalui Cicaheum, sebuah video call berdering dari Magdalena.
"Baru aja kamu pergi 15 menit aku udah kangen... ga nyangka aku bisa sayang sama kamu." Katanya dengan mata mengedip-ngedip.
"Tapi aku masih demam." Jawabku. "Lihat nih, masih gemetar."
"Aku juga jadi demam, gara-gara kentang (kena tanggung) tadi... Mar aku masih kangen..."
"Iya iya nanti kita cari waktu secepatnya buat berdua yah."
"Iya sayang dadah aku mau kerja dulu ya ada pasien satu."
"Dadah sayang cup cup."
"Mmuachh... mmuachhh..."

Klik. Video call ditutup.

Mobil melaju sedang dan berhenti di depan sebuah apotik. Mang Emen turun dan masuk ke dalam apotik tersebut, beberapa menit kemudian dia ke luar membawa sebuah tas plastik kecil berlogo apotik tersebut. Kemudian berjalan ke mini market di sebelah apotik, masuk sebentar dan ke luar lagi membawa tas kresek besar berisi minuman air mineral 1,5 liter.

Masuk ke dalam mobil, Mang Emen menyerahkan kedua bungkusan tersebut. Bungkusan kecil berlogo apotik berisi sebuah kemasan berbahan gelas dan bertutup alumunium. Isinya butiran-butiran ketumbar hitam.

Aku membuka tutup botol air kemasan itu dan menelan parasetamol yang diberi Lena, lalu minum air kemasan seteguk. Mang Emen lalu memintaku untuk membuka kemasan yang terbuat dari gelas itu. Saat membukanya dengan cara memutar tutup alumunium yang masih disegel, tanganku terasa lemah tak bertenaga. Setelah terbuka, aku mencium harum yang aneh dari ketumbar hitam itu. Sebuah aroma harum yang mirip dengan minyak kayu cendana, tapi ini aromanya lebih lembut. Saat hidungku mengisapnya, terasa dada ini menjadi plong.
"Bos, telan satu biji bos. Rasakan bedanya." Kata Mang Emen.

Aku mengerutkan kening. Tidak percaya tentu saja. Mang Emen tersenyum dan menadahkan tangannya ke belakang, tanda dia meminta ketumbar itu. Aku mencomot satu biji dan meletakannya di atas tangan yang menadah itu.
"Lihat, Bos." Katanya. Mang Emen lalu memasukkan ketumbar itu ke dalam mulutnya seperti orang memasukkan permen ke dalam mulut. "Hm, segar."

Walau agak ragu, aku melakukan juga apa yang dicontohkan Mang Emen. Kutelan satu biji ketumbar hitam itu dan langsung saja kurasakan perutku demikian panas.

Betul-betul panas.

Selama beberapa menit aku menahan rasa panas itu dan meminum air kemasan hampir setengah botol. Tubuhku banjir dengan keringat. Namun, setelah rasa panas itu berlalu, aku merasa tubuhku menjadi enteng dan pandangan mataku menjadi jernih. Rasa demam yang sejak pagi menggangguku kini hilang entah ke mana.

Soalnya aku sudah lupa.

***

Dari Cicadas ke Dago itu normalnya bisa ditempuh dengan waktu 20 menit. Tapi entah kenapa kami malah berputar-putar di Jalan Dipatiukur dan Tengku Umar selama hampir satu jam. Semula wajah Mang Emen tampak bingung, lalu tiba-tiba dia tertawa. Dia melajukan mobil ke arah taman Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat, berhenti di dalam situ dan merokok sebentar.

Setelah merokok sebentar, dia ke luar dari mobil dan membuat sebuah guratan lingkaran dan cakra di aspal, lalu meludahinya.
"Siap, Bos. Kita berangkat sekarang."

Aku mengangguk dan merasa yakin Mang Emen sedang melakukan sesuatu yang terbaik.

***

Kami mencapai curug Dago 20 menit kemudian. Tidak ada kendala yang berarti ketika aku berdiri di bawah curahan air terjun yang kecil itu dan tidak tajam itu sambil memeluk kendi. Hanya dalam waktu 10 menit, prosesi pengambilan air berjalan dengan baik dan sukses.

Setelah prosesi selesai, seperti biasa Mang Emen mengambil kendi itu dan menutupnya. Lalu menyerahkan handuk dan aku mengeringkan badanku di dalam mobil.

Ketika aku mengenakan baju, kulihat Mang Emen seperti orang mengantuk di belakang stir. Dia diam dan tak menyalakan mesin mobil.
"Yuk berangkat." Kataku.

Tapi Mang Emen diam saja.
"Mang, ayo berangkat."

Tapi Mang Emen diam. Kepalanya menunduk. Lalu secara tiba-tiba, Mang Emen berteriak sesuatu yang tidak jelas. Dia cepat ke luar dari mobil dan berjongkok di tanah dengan cara menungging.
"Oaakkkss... oakkksss...." Mang Emen muntah darah.

Aku cepat ke luar dari mobil dan mendekati Mang Emen. Tapi Mang Emen menjulurkan tangannya dengan jari jemari rapat menegak, menyuruh aku jangan mendekatinya. Dari mulutnya kulihat dia mengucurkan darah hitam dan berbau anyir.

Aku merasa takut dan khawatir. Apalagi ketika dari kucuran muntah itu Mang Emen mengeluarkan beberapa ekor kepiting kecil.

Setelah sekitar setengah jam Mang Emen berjongkok dengan cara agak menungging di tanah dan muntah-muntah, Mang Emen lalu berdiri. Wajahnya kelam menahan rasa sakit.
"Bos, saya tidak bisa nyopir, Bos. Maaf. Saya tidak kuat."
"Ga papa Mang, biar saya saja yang nyopir."
"Maaf, Bos. Sebaiknya kita pulang saja ke Cicalengka."
"Baik, Mang, kita pulang ke Cicalengka. Tapi Mang Emen enggak apa-apa kan?"
"Enggak apa-apa, Bos. Saya cuma perlu istirahat beberapa jam dan 3 biji ketumbar hitam."
"Kalau perlu besok Mang Emen istirahat seharian juga tidak apa-apa. Dan ketumbar hitam itu jika Mang Emen perlu semuanya, ambillah semuanya. Saya tidak peduli. Yang penting Mang Emen sehat."

Kulihat Mang Emen nyengir. Dia tersenyum dan masuk mobil melalui pintu belakang. Dia mengambil tiga biji ketumbar hitam dan menelannya sekaligus. Dia lalu meringkuk di jok belakang. Mulutnya menahan erangan. Wajahnya bertambah kelam.

Begitu berada di belakang stir, aku melarikan mobil dengan kecepatan tinggi. Satu jam kemudian sampailah di Cicalengka.

***

Tiba di halaman rumah, hari sudah larut sore, kulihat Mang Emen sedang tidur dengan sangat nyenyak di jok belakang. Roman mukanya terlihat lebih terang, tidak sekelam tadi. Aku memasukkan mobil ke garasi dan meminta Juber untuk menyelimuti Mang Emen dan memberinya bantal.
"Jangan dibangunkan." Kataku.

Masuk ke dalam rumah, Mang Kemed, Mang Kanta, Ojang dan 5 orang lainnya yang tidak aku kenal namanya, memenuhi ruang tamu. Aku menyalami mereka dan mengatakan bahwa uang sebesar 125 juta itu telah aku siapkan.

Mereka tampak gembira.

Setelah menyelimuti Mang Emen, Juber datang dari arah garasi dan masuk ke ruang kerja. Dia mengambil tas uang dan menyerahkannya kepadaku.
"Silahkan, ini uangnya." Kataku.

Mereka menghitung uang itu dengan cermat. Semuanya tersenyum gembira. Lalu mereka berpamitan. Kecuali Mang Kemed.

Dia masih membeku di kursi ruang tamu. Ekspresi wajahnya ingin mengatakan sesuatu.
"Mang Kemed, tidak ikut pulang?" Tanyaku.

Wajah Mang Kemed tampak bingung. Kelihatannya lidahnya kelu untuk mengatakan sesuatu secara sejujurnya.
"Apakah Aden mengijinkan Mamang nginep satu malam di sini?" Tanyanya. Wajahnya penuh dengan keraguan.
"Tentu saja saya mengizinkan." Kataku. "Tapi Mang, di sini tak ada kamar lain. Paling Mamang tidur di kursi sofa, enggak apa-apa Mang?"
"Asal diijikan aden, tidur di lantai juga tidak masalah bagi Mamang mah."
"Baiklah, saya izinkan."

Wajah Mang Kemed tampak bersinar sumringah. Aku tersenyum dan meninggalkan Mang Kemed di ruang tamu menuju dapur. Perutku kelaparan karena tadi siang lupa makan siang.

Di dapur Icih sedang mempersiapkan makan malam, menggoreng ikan dan membuat ulukutek (salad) leunca. Icih menoleh ke arahku dan tersenyum.
"Aa." Katanya. Dia lalu berlari ke arahku dan memelukku. Aku mencium ubun-ubunnya lalu bibirnya. "Satu kali lagi aja, A. Setelah itu Icih tidak akan mengganggu Aa lagi."
"Satu kali lagi apanya?" Tanyaku.
"Eweannya." Bisik Icih di telingaku.

***
(Bersambung)
 
Mantab hu ceritnya mengalir sempurna..***ngguan2 sudah mulai muncul perlahan lahan...keep strong mar...hahahah
 
Terimakasih atas update ceritanya suhu @Purbaya1 ..
Koq kayaknya gampang bgt Mar dpt wanita, ga perlu melet kayak si Juber..
Pokoknya sikat kabeh Hu..
Penasaran knp itu bisa muntang kepiting, knp yg kena malah mang Emen bukan Mar?
Ditunggu update cerita berikutnya suhu..
#timsikatkabeh..
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd