Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG RIMBA ASMARA

Thema apakah yang paling anda gandrungi dalam Sub Forum Cerita Bersambung ini?

  • Hubungan sedarah atau incest, dengan mama atau saudara kandung

    Votes: 316 17,6%
  • Hubungan setengah baya atau MILF, antara yang muda dengan yang tua

    Votes: 239 13,3%
  • Hubungan sex Cukold, eksib, voyeur, mengintip dan di tempat umum

    Votes: 132 7,3%
  • Hubungan sex di kalangan remaja atau SMU/pesantren/sederajat

    Votes: 99 5,5%
  • Hubungan sex di kos-kosan mahasiswa/mahasiswi

    Votes: 85 4,7%
  • Hubungan sex Perkosaan

    Votes: 46 2,6%
  • Hubungan Sex affair di kalangan bisnis atau antar pegawai kantoran

    Votes: 99 5,5%
  • Hubungan sex dengan Bini Orang

    Votes: 159 8,9%
  • Hubungan sex dengan Laki Orang

    Votes: 16 0,9%
  • Hubungan sex di kalangan selebriti Indonesia

    Votes: 80 4,5%
  • Hubungan sex di pedesaan/ di perkampungan

    Votes: 88 4,9%
  • Hubungan sex dengan wanita berhijap/kerudung

    Votes: 332 18,5%
  • Hubungan sex romantis

    Votes: 62 3,5%
  • Scandal sex para politisi atau pejabat

    Votes: 19 1,1%
  • Hubungan sex lesbian/gay

    Votes: 16 0,9%
  • Hubungan sex lainnya

    Votes: 8 0,4%

  • Total voters
    1.796
  • Poll closed .
Status
Please reply by conversation.
Ngopi sore mas bro, mbak sis
udah mau kelar jam kerja nih nunggu ojol.

kopinya biar manis juga nggak akan lebih manis dari staff sebelah yang pake kacamata dan rok mini
kue bika ambon ini juga kelihatannya enggak akan seempuk dan selembut buah dadanya

wadadidaw
jadi gemes duech.

Matur suwun everybody
malem ini mudah-mudahan bisa ngapdet.

ciao.
Jngn bika ambon suhu lembut n empuknya bika ambon dari bolong2nya... laen hal ama yg disebelah yg kental kentul... mungkin bakpao lebih mirip... hayooo ngopi siaaang
 
Ceritanya mantapp jd penasaran...makasih suhu,ceritanya bikin ketagihan :beer: :beer:
 
Ngopi siang yang kesorean mas bro, mbak sis
kebetulan lagi di Bandung
nyari teman yang tinggal di Jl. Teuku Umar, di sebelah Kampus Unpad Dipatiukur
nongkrong dulu di kafe ramah kantong
sambil berpantun:

jalan-jalan ka kota Bandung (Cakeeepppp)
Batagor Panas sangat Gurih (Cakeeepppp)
kaduhung abdi kaduhung
dipapanas dipeuperih... (alah siah, kusaha jang? Karunya teuing)



ngapdet yuk!
 
Aku benar-benar terjaga kali ini.

Aku terbaring dan aku tahu dalam keadaan telanjang bulat. Kubuka mataku, lampu di langit-langit kamar tampak sudah dinyalakan. Aku bangkit dan duduk di bibir ranjang, kepalaku berat. Tapi tubuhku sudah agak mendingan.

Lantai keramik kamar seperti terbuat dari es ketika aku berdiri. Telapak kakiku mengkerut dan lututku sepertinya kehilangan tenaga untuk menopangku berdiri. Aku mengembangkan kedua tangan dan menarik nafas sedalam-dalamnya. Hidungku terasa lega dan mataku lebih jelas melihat.

Aku berjalan ke luar kamar menuju kamar mandi dalam keadaan si betok tegak lurus membentuk sudut 90 derajat dengan perutku. Sekarang kurasakan dia semakin berat ketika bangun.

Kulihat Neneng dan Mak Onah tercengang menatapku di dapur saat aku melewati mereka. Aku tak peduli. Aku merasa seluruh kulit tubuhku terasa lengket dan aku harus mandi. Di kamar mandi aku kencing lama sekali. Mula-mula air seninya berwarna merah darah, lalu berwarna kuning dan akhirnya bening.

Setelah BAB yang sangat menyakitkan, aku berdiri di bawah shower air panas selama hampir setengah jam. Aku kemudian keramas, menyabuni seluruh tubuh dan kemudian membilasnya dengan air panas, maka badanku terasa bersih segar.

Pada saat itu barulah aku sadar jika perutku benar-benar sangat kelaparan.

***

Malam ternyata sudah jatuh sejak lama.

Aku pingsan dari jam 6 pagi hingga jam 9 malam. Berarti 15 jam. Ditemani Mak Onah dan Neneng, aku makan malam sendirian. Kuhabiskan semua hidangan yang tersedia di meja. Nasi setengah bakul, ayam panggang satu ekor, sop kambing satu mangkok dan dua gelas besar air jeruk panas.

Setelah kenyang, aku ke kamar kerja dan mendapatkan Mang Emen sedang menyusun 6 kendi di tengah-tengah tikar pandan. Susunannya berbentuk melingkar, di tengah-tengahnya diletakkan toples gelas berisi ketumbar hitam. Tidak jauh dari kendi yang melingkar, terletak kotak freezer berisi bunga 7 rupa.

Mang Emen menoleh ke arahku dan tersenyum. Juber pun menatapku dengan sorot mata khawatir. Tidak biasanya si bengal itu memancarkan ekspresi seperti itu.
"Malam ini, kita harus ke Garut, Bos." Kata Mang Emen. "Mudah-mudahan Bos sudah kuat."
"Aku sudah kuat." Kataku sambil bersendawa. Mang Emen mengambil 7 butir ketumbar hitam dan memintaku menelannya.
"Biar kuat, Bos." Kata Mang Emen. Aku menerimanya dan langsung menelan seluruhnya.
"Pak, sudah tidak ada waktu. Sebelum jam 12 kita sudah harus sampai di tempat Eyang Suta." Kata Juber.
"Baik, sekarang juga kita bisa berangkat." Kataku. "Mang Emen, apa uang bekalnya masih cukup?"
"Tinggal sisa 2 juta lagi, Bos. Tadi saya pake buat tune up, ganti oli dan mengisi bensin sampai full."
"Baik, nih 5 juta lagi." Kataku sambil mengambil uang di dompet. "Yuk, berangkat."

***

Juber duduk di depan dan memberi petunjuk arah menuju jalan terpendek kepada Mang Emen. Mang Emen dengan tenang mengikuti arahan navigator dan melajukan kendaraan dengan kecepatan sedang.

Jalan yang ditunjukkan Juber bukan jalan biasa. Kami menempuh jalanan kampung yang sebagian besarnya berupa jalan aspal yang sudah tipis, berjerawat dan berlubang. Bahkan kami harus melewati jalan tanah merah yang licin dan hanya cukup dilalui 1 mobil. Kami menembus kegelapan kebun singkong dan kebun bambu, melintasi sawah dan bukit serta menyisir jurang kecil yang di bawahnya mengalir sungai penuh batu.

Setelah 1,5 jam berlalu, akhirnya kami menembus kegelapan hutan bambu yang pekat. Mang Emen dengan ketenangannya terus melajukan kendaraan tanpa ragu. Sampai akhirnya jalanan tiba di tempat paling ujung. Mobil berhenti di depan sebuah jembatan bambu yang hanya bisa dilintasi oleh satu orang.

Jembatan bambu itu terbuat dari 7 bilah bambu yang diikat dengan tali bambu. Warna bambunya masih hijau bila dilihat dari jarak yang sangat dekat, pertanda bahwa jembatan itu masih baru. Di bawah jembatan bambu, bergemericikan suara air yang mengalir tapi mataku tak sanggup menembus kekelaman kedalamannya. Di sebrang jembatan, kegelapan yang tak terduga bersiap menyambutku dengan kebisuannya yang sempurna.

Lampu mobil sengaja menyoroti jembatan agar kami, Aku dan Juber, bisa melaluinya tanpa terjatuh. Sebelumnya, Juber berpesan kepada Mang Emen untuk menunggu di situ sampai dia kembali.

Juber mendahuluiku menyebrangi jembatan itu. Aku di belakangnya mengikuti. Kami berbelok ke arah kiri, menyusuri jalan setapak yang tak terlihat dan kelam. Cahaya terang yang berasal dari lampu mobil, pelahan-lahan kutinggalkan. Langkah demi langkah semakin jauh menembus kegelapan. Hanya langit yang biru dan bintang gemintang yang menjadi lampu penerangan.

Aku tak berpikir apa pun. Hidup adalah apa yang kujalani dan kunikmati. Aku menjalaninya dengan berani dan mencoba menikmatinya.

Aku terus melangkah, mengikuti langkah Juber yang semakin cepat. Memasuki kegelapan di antara pepohonan yang tak kukenal, angin yang semakin dingin, bumi yang kupijak dan bintang-bintang di langit yang sangat luas. Sehingga akhirnya kami memasuki sebuah jalanan setapak yang menanjak dan licin. Beberapa kali sepatu kulitku yang didisain untuk melewati jalanan yang keras, tergelincir. Dan aku terjatuh. Juber menolongku berdiri dan memaksaku terus melanjutkan perjalanan tanpa istirahat.

Udara semakin dingin ketika aku merasakan lututku gemetar dan engsel bahuku seperti mau copot. Tubuhku belum fit benar ketika harus mendaki jalanan ini.

Aku tersengal dan minta berhenti.
"Sebentar lagi, Pak. Hampir sampai." Kata Juber sambil terus menarik tanganku. Kalimat itu adalah kalimatnya yang ketiga kalinya ketika aku memintanya untuk beristirahat sejenak.

Aku benar-benar hampir ambruk ketika tiba di sebuah batu besar yang kehitaman karena kelam, ketika Juber menarik tanganku dan membawaku kepada suatu undakan batu yang melingkar ke kanan.
"Sedikit lagi, Pak. Beberapa langkah lagi." Katanya. Aku memaksakan diri mendaki undakan batu itu, melingkar ke kanan dan kulihat sebuah gapura kecil yang sangat sederhana seperti kusen pintu.

Tapi kakiku benar-benar letih dan aku sudah merasa kehabisan tenaga.

Tapi Juber terus menarik tanganku, membuat langkahku yang terseok-seok terbawa mengikuti irama langkahnya yang juga berat. Tinggal beberapa undakan lagi, aku hampir saja menyerah. Aku ingin menggelosor dan tergeletak di tanah. Aku sangat letih.

Juber sepertinya menyeret tubuhku.

Aku tak tahu jika sebenarnya dia juga bekerja sangat keras untukku. Kulihat wajahnya dipenuhi keringat dan kaosnya tampak kuyup.
"Juber... berhenti..." Aku meminta.
"Tiga langkah lagi, Pak... ayo."
"Aku sudah tak kuat."
"Tidak, Pak. Bapak kuat. Ayo, Pak. Dua langkah lagi... satu langkah lagi..."

Aku terhuyung-huyung memasuki gapura itu dan jatuh terjerembab di tanah merah yang lembab dan dingin. Aku menelungkup dan membiarkan diriku beberapa saat menikmati bau tanah di hidungku.
"Sudah, Pak. Sudah sampai." Kata Juber.

Aku duduk, menarik nafas dan mengembalikan tenaga. Aku belum sepenuhnya sadar di mana aku berada sampai aku berdiri dan melihat sekelilingku. Ketika berdiri, sejauh mata memandang adalah kekelaman yang biru gelap. Langit berubah menjadi kubah raksasa yang melengkung. Bintang-bintang bertaburan, terasa demikian dekat dan bisa dipetik.

Aku seakan tengah berdiri di pusat alam semesta. Dan aku terpana. Terpesona.

Aku baru sadar beberapa menit kemudian ternyata ada 7 orang yang sedang duduk berjajar di depanku. 3 di antaranya aku kenal walau tampak samar. Eyang Suta, Eyang Jiwo dan Eyang Rogo. Empat yang lain aku tak kenal.

Aku menoleh ke arah Juber, tetapi lelaki bertubuh kecil kurus itu sedang melangkah pergi, meninggalkanku.
"Juber." Kataku. "Mau kemana?"

Juber menoleh. Tapi tak menjawab.
"Juber sudah melaksanakan tugasnya mengantarkanmu ke sini, Nak." Kata Seorang yang duduk di tengah-tengah. Aku tak mengenalnya oleh karena itu aku mencoba menatapnya dengan lekat. "Duduklah di sini." Lelaki itu menepuk tanah di depannya dan seperti otomatis aku mengikuti perintahnya.

Aku duduk berjarak satu meter di depan lelaki itu. Ke enam yang lain yang duduk berjajar bergerak mengelingiku.
"Marsudi Kasman sang pembinor, selamat datang di Purwa Kahyangan." Kata Lelaki itu. "Namaku Gajah Malela." Katanya. Suaranya tenang dan dalam. "Yang ini, yang di sebelah kiri saya, Lawe Amatung, Jiwo Permadhi dan Suta Wijaya, dua orang terakhir kamu sudah kenal dengan baik. Di sebelah kanan saya, Balu Sangkuni, Goyo Arkidam dan Rogo Bodho. Orang terakhir, kamu sudah kenal juga dengan baik."

Suaranya yang tenang dan dalam itu membuat aku merasa nyaman.

"Hari ini kamu akan memasuki Rimba Asmara untuk menemukan Air Terjun ke 7 sebagai prasyarat prosesi penyelamatan umat manusia di Nusantara. Ini merupakan suatu anugrah dan berkah bagi kami yang telah puluhan tahun mencari seorang Pembinor sejati, kami berharap kamulah orangnya.

Sebelumnya, kami sebagai perwakilan Masyarakat Hening Nusantara Purwa Kahyangan, telah bermusyawarah ghaib dan non ghaib di Candi Sukuh, Karanganyar, Tengah Jawa, untuk mendukung terselenggaranya Prosesi 7 Senggama bersama para Binor ternama, demi menyelamatkan puluhan juta cucu cicit kami di seluruh Nusantara.

Mengingat,
Pada saat ini dan 6 purnama ke depan, diperkirakan akan ada serangan laten dari Kerajaan Laut Selatan berupa Mahluk Halus yang disisipkan ke dalam hewan laut yang dimakan manusia utara. Mahluk halus ini akan menular dan membunuh puluhan juta orang di seantero dunia, terutama di nusantara, jika tidak dicegah. Seandainya dicegah pun, masih akan tetap timbul korban jiwa walau pun jumlahnya ribuan atau puluh ribuan saja.

Selain itu, serangan air berupa banjir laut dan gelombang badai seperti kejadian di Aceh dan Pangandaran yang menelan ratusan ribu jiwa serta merusak harta benda cucu cicit kita, sedang dipersiapkan oleh Kerajaan Laut Selatan dengan kekuatan yang lebih dahsyat lagi. Diperkirakan kekuatannya setara dengan kekuatan menelan Pulau Bali, yakni ombak laut yang datang dari arah selatan akan terus berlari dan tidak akan berhenti sampai tiba di laut utara.

Seluruh cucu cicit kita yang tinggal di sepanjang selatan Jawa akan habis dimakan ombak yang menggelora. Sementara di Sumatra ombak akan berlari dari barat. Sedangkan di pulau-pulau lain akan terjadi gempa bumi yang gonjang ganjing memporakporandakan daratan, di mana cucu cicit kita tinggal akan mengalami kesengsaraan dan ketiwasan paripurna.

Menimbang,
Kamu memiliki keistimewaan aneh yang belum diketahui asal muasalnya.

Memutuskan,
Akan menyalurkan 1/7 tenaga dalam kami masing-masing, yang telah kami latih selama puluhan tahun, kepada tubuhmu, agar kamu memiliki kekuatan dalam menyelesaikan tugas dari alam, untuk menyelamatkan umat manusia.

Kami juga telah sepakat untuk menurunkan 1/7 kekuatan penerawangan tak kasat mata kami kepada dirimu, agar kamu memiliki kebijaksanaan, kewibawaan, kewisesaan dan keageman yang tenang dalam menjalankan tugas.

Untuk itu, kami mohon dengan sangat, kamu melepaskan seluruh pakaian dan berdiri tegak sempurna dengan sikap tubuh seperti Arca Pembinor ini, yang pada waktu Kerajaan Majapahit yang jaya dulu, pernah menyelamatkan jutaan jiwa dari amukan gunung krakatau, gunung merapi, gunung bromo dan gunung-gunung lainnya di Sumatra dan Kalimantan, yang meledak menghambur-hamburkan lahar." Berkata panjang lebar begitu, Gajah Malela kemudian berdiri, diikuti oleh enam orang lainnya, lalu menepuk bahuku agar ikut pula berdiri.

Aku berdiri.

Gajah Malela melambaikan tangannya menunjuk sebuah arca dari batu cadas, yang sudah ada sejak tadi di situ yang karena gelap aku tidak jelas melihatnya.

Aku melangkah mendekati Arca Pembinor itu yang ternyata tingginya sama dengan tinggi badanku. Arca itu berdiri tegak sempurna dengan tangan kanan menggenggam batang kemaluannya dan ditempelkan ke arah perut.
"Selarang tanggalkan seluruh pakaianmu." Kata Gajah Malela.

Aku menurut.

Aku berdiri di samping arca dan meniru sikapnya. Tujuh pasang mata menatap ke arahku dan ke arah si betok yang kini sedang kugenggam.
"Belum bangun tapi panjangnya sudah melewati udel." Kata Lawe Ametung yang berdiri di sebelah kiri Gajah Malela.
"Besar diameternya sama seperti bambu kuning di Pusat Alas Roban, cocok." Kata Balu Sangkuni yang berdiri di sebelah kanan Gajah Malela.
"Cocok!" Serentak semuanya berseru.
"Siap semuanya, Kisanak?" Tanya Gajah Malela.
"Siap!" Semuanya serentak menjawab.
"Sekarang pejamkan matamu dan tarik nafas secara pelahan serta tenang dan teratur." Kata Gaja Malela.

Aku manut.

Tiba-tiba, tangan-tangan itu mulai menyentuh dan menempel di beberapa bagian tubuhku. Yakni, di ubun-ubun, di kedua pundak, di punggung, pinggang dan kaki.

Beberapa detik kemudian kurasakan tangan-tangan itu mengeluarkan hawa panas yang lembut, yang masuk menyelusup ke dalam tubuhku. Terasa nyaman dan menentramkan. Sehingga aku merasa tenang dan mengantuk, aku pun tertidur dengan perasaan melayang-layang.

***
(Bersambung)
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd