Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG RIMBA ASMARA

Thema apakah yang paling anda gandrungi dalam Sub Forum Cerita Bersambung ini?

  • Hubungan sedarah atau incest, dengan mama atau saudara kandung

    Votes: 316 17,6%
  • Hubungan setengah baya atau MILF, antara yang muda dengan yang tua

    Votes: 239 13,3%
  • Hubungan sex Cukold, eksib, voyeur, mengintip dan di tempat umum

    Votes: 132 7,3%
  • Hubungan sex di kalangan remaja atau SMU/pesantren/sederajat

    Votes: 99 5,5%
  • Hubungan sex di kos-kosan mahasiswa/mahasiswi

    Votes: 85 4,7%
  • Hubungan sex Perkosaan

    Votes: 46 2,6%
  • Hubungan Sex affair di kalangan bisnis atau antar pegawai kantoran

    Votes: 99 5,5%
  • Hubungan sex dengan Bini Orang

    Votes: 159 8,9%
  • Hubungan sex dengan Laki Orang

    Votes: 16 0,9%
  • Hubungan sex di kalangan selebriti Indonesia

    Votes: 80 4,5%
  • Hubungan sex di pedesaan/ di perkampungan

    Votes: 88 4,9%
  • Hubungan sex dengan wanita berhijap/kerudung

    Votes: 332 18,5%
  • Hubungan sex romantis

    Votes: 62 3,5%
  • Scandal sex para politisi atau pejabat

    Votes: 19 1,1%
  • Hubungan sex lesbian/gay

    Votes: 16 0,9%
  • Hubungan sex lainnya

    Votes: 8 0,4%

  • Total voters
    1.796
  • Poll closed .
Status
Please reply by conversation.
Bimabet
Aku terjaga oleh cahaya hangat matahari.

Langit biru seperti lukisan membentang di depan mataku. Awan-awan tipis berlari beriring-iringan. Suara burung-burung saling berkicau. Aku merasa demikian tenang dan nyaman.

Aku berbaring di atas rumput yang basah. Kedua tangan dan kaki membentang. Seluruh permukaan punggungku, punggung tanganku, pantat dan belakang paha dan betisku merasakan kesegaran embun di atas rumput.

Aku telentang menghadap langit.

Si betokku yang ganteng tengah berdiri gagah. Mengahadap lurus ke arah langit seperi menara monas Jakarta. Mulutnya megap-megap menikmati cahaya matahari yang hangat. Mungkin bagi sebagian orang, mulut si betok mirip mata sipit yang sedang berkedip genit.

Aku tersenyum menikmati kenyamanan tubuhku. Rasa segar dan kuat terasa sangat menyenangkan. Kugerak-gerakkan jari-jari tangan dan jari-jari kaki dan merentang-rentangkan otot-otot lengan, paha dan betis.

Kutarik nafas pelahan... hmm. Kutahan. Lalu kuhembuskan pelahan. Suatu aliran udara hangat mengisi seluruh relung tubuhku. Kulakukan sekali lagi, kali ini kutarik nafas dengan lebih pelahan dan lama, lalu kutahan di dalam dada dan perut secara bersamaan dengan lebih lama lagi... lalu kukeluarkan pelahan-lahan. Luar biasa. Rasanya sangat luar biasa.

Aku sekarang mencoba menggerakkan otot-otot perut sambil menahan nafas. Hm. Terasa kuat hawa hangat itu mengalir ke pusat jantungku.

Tiba-tiba aku merasa aneh ketika tak sengaja menggerak-gerakan batang kontolku. Aku dengan sengaja menggerakkannya ke arah perut, kepala si betok langsung memukul perutku. Kugerakan ke bawah, si betok memukul rumput. Awh! Si betok kesakitan, aku juga.

Kugerak-gerakan si betok naik turun seperti bandul ke atas dan ke bawah. Ha ha ha... enak sekali rasanya. Aku lalu mencoba menggerak-gerakan si betok ke kiri dan ke kanan, dia dengan lincah memukul-mukul pangkal pahaku. Ho ho ho...
"Mantap betok, kamu mantap!" Kataku. Aku lalu mencoba menggerakan si betok dengan gerakan melingkar, berputar... waduh, ternyata dia juga bisa. Edan sekali!

Aku benar-benar tak bisa dihentikan bermain-main dengan si betok terutama menggerak-gerakannya berputar-putar seperti angin puyuh; seandainya Eyang Suta tidak berdiri sambil bersidekap dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Berhentilah bersikap kekanak-kanakan, Jang." Katanya.

Aku terkejut dan nyengir. Aku segera bangkit dan melepaskan tenaga dari si betok agar dia bisa terkulai.
"Pakailah bajumu, siap-siap berangkat menunaikan tugas."
"Siap, Eyang." Kataku. Aku segera mengenakan pakaianku dan mengikuti Eyang Suta duduk di dalam saung.
"Eyang yang lain pada kemana, Eyang?"
"Mereka sudah pulang ke kediamannya masing-masing, mereka harap kamu bisa melaksanakan tugas dengan baik."
"Saya siap, Eyang."
"Sarapan dulu. Biar pulih tenaganya." Katanya. Dia menyodorkan sebuah mangkok batok kelapa berisi buah-buahan yang mirip jambu batu.
"Ini buah apa Eyang? Jambu batu bukan?" Tanyaku sambil mencomot satu biji buah berwarna hijau yang besarnya sebesar kepalan tangan itu. Eyang Suta tersenyum simpul. Sepasang matanya yang letih menatapku dengan tatapan mesra seorang ayah terhadap anaknya.
"Bukan. Kamu cobain dulu." Katanya.

Aku mengira buah itu tentu keras seperti jambu batu. Namun ketika kugigit... amboi, ternyata kenyal dan lembut seperti buah mangga. Tapi rasanya mirip seperti timun. Cuma buah ini tidak berarir. Rasanya pahit tapi enak. Baunya sangat harum. Harumnya seperti harum bunga Melur.

Buah itu seluruhnya berisi daging tanpa biji di dalamnya, aku memakannya segigit demi segigit untuk menikmati rasa pahitnya yang aneh dan lezat.
"Bagaimana, Jang?" Tanya Eyang.
"Rasanya enak dan lezat Eyang." Kataku. "Boleh nambah satu lagi?"

Eyang Suta tersenyum dan mengangguk. Setelah habis buah yang ke dua, aku minta izin untuk menghabiskan buah yang ke tiga, ke empat, ke lima, ke enam dan ke tujuh.

"Namanya Buah Maja, Jang." Kata Eyang Suta. "Buah ini adalah buah satu-satunya di kolong langit ini yang hanya bisa tumbuh di pulau Jawa. Di tempat lain tidak bisa. Bahkan Lawe Ametung yang sangat ahli dalam bidang tanaman, pernah mencoba menanam secara stek di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Irian, Halmahera, Lombok, Irian.... semuanya gagal. Pohon Maja mati tak bisa tumbuh. Sekarng ini, Pohon Maja ini sudah sangat langka dan hampir punah. Di Jawa, pohon Maja ini tumbuh satu dua di Alas Purwa, Blora. Timurnya Jawa. Itu pun tumbuhnya sangat tersembunyi dan mustahil dikenali oleh mata biasa. Di Tengah Jawa, pohon Maja ini tumbuh di Alas Roban, Kabupaten Batang. Kalau di Barat Jawa, di kita ini, cuma tumbuh di sini, di Rimba Asmara. Sebetulnya, dulu ada ada satu batang pohon Maja yang tumbuh Subur di Leuweung Kanyaah (Hutan Kasih Sayang) di Gunung Salak. Tapi sebuah kecelakaan pesawat yang menghantam pohon itu, membuat pohon itu layu dan akhirnya mati.

"Apakah Eyang Lawe Ametung pernah juga mencoba menanam pohon Maja ini di hutan-hutan yang ada di Jawa?" Tanyaku.
"Tentu, Jang. Tentu saja."
"Bagaimana hasilnya?"
"Lawe Ametung telah menanam berratus-ratus stek pohon Maja, mulai dari Barat Jawa, Banten, hingga ke Tengah Jawa dan akhinya ke bagian paling Timur Jawa, semuanya tumbuh dengan baik namun tumbuhnya kerdil seperti pohon Cengek (Cabe Rawit) dan mengeluarkan bau busuk. Tidak menghasilkan buah. Setelah tiga tahun tumbuh, pohon itu pun mati."

"Owh." Kataku.
"Kamu akan berangkat sendirian di Rimba Asmara, kamu harus menemukan jalan menuju curug. Ikuti kata hatimu, teguhkan tekadmu, jangan terlena."
"Tapi Eyang, bagaimana saya bisa tahu jalan ke curug, sedangkan saya tidak tahu letaknya dan pedoman google mapnya pun tak ada." Kataku.
"Google map itu tak berguna di sini, Jang. Hutan ini adalah hutan perbatasan Kasat Mata dan Tak Kasat Mata. Kamu ikuti jalan setapak, dari saung ini, kamu lihat itu adalah mulut Rimba Asmara, kamu masuk ke situ, terus ikuti jalannya. Nanti ada 7 pintu yang harus kamu lalui. Setiap pintu itu dijaga oleh Bidadari. Kamu harus mengalahkannya agar bisa melewati pintu itu."
"Caranya bagaimana Eyang?"

Eyang Suta tersenyum getir.
"Eyang tidak tahu." Katanya dengan nada suara yang bergetar. "Sebab Eyang belum pernah ke sana."

Aku terdiam.

"Apakah kamu takut, Jang?" Tanya Eyang.
"Sedikit."
"Tapi di dalam hutan itu banyak Pohon Langka, Jang. Kamu bisa memetiknya dan memakannya langsung. Kebutuhan energi untuk hidupmu akan tercukupi di dalam rimba itu."
"Benarkah Eyang? Ada pohon apa aja di sana Eyang?"
"Selain pohon Maja yang bentuknya mirip seperti pohon Nangka, ada pohon Palapa yang sangat terkenal dulu di Jaman Majapahit, buahnya manis seperti anggur. Bahkan lebih lezat dari anggur sebab tak ada bijinya, warnanya coklat gula aren. Ada juga Pohon Lengka, buahnya rasanya gurih dan manis, bentuknya seperti pohon jeruk, buahnya seperti buah mangga tapi daging buahnya mirip buah sukun. Serta pohon-pohon aneh lainnya. Semua pohon yang berbuah di dalam Rimba ini, tidak mengandung racun. Justru malah mengandung khasiat yang luar biasa."
"Kedengarannya sangat menyenangkan Eyang."
"Karena itu kamu di sana jangan terlena. Ingat ya Jang pesan Eyang, jangan terlena."
"Iya Eyang."
"Nah, mumpung matahari masih rendah, pergilah berangkat sekarang. Jangan lupa pake keranjang gendong bambu ini dan kendinya jangan ketinggalan."
"Iya Eyang." Kataku sambil mengikat tali sepatu kulitku, menggendong ransel yang terbuat dari anyaman bambu. Kendi tanah liat kusimpan di dalam ransel.
"Pamit, Eyang." Kataku sambil hendak mencium tangannya. Tapi Eyang Suta menolak. Dia merangkapkan kedua tangannya dan membungkukkan badannya kepadaku.

Aku melakukan hal yang sama.

***

Dari saung bambu Eyang Suta, aku menuruni tangga batu yang sangat curam. Aku menuruninya dengan langkah enteng. Bahkan aku meloncati tiga buah tangga batu sekaligus dengan gesit dan sama sekali tidak kehilangan keseimbangan dan merasa berat. Mataku terasa jernih dan sangat awas terhadap benda-benda dan pepohonan. Aku bisa melirik kepada burung-burung yang beraneka warna di ujung-ujung ranting, ular yang melilit di dahan pohon dan beberapa ekor kijang yang berkerumun di bawah pohon sambil memamah rerumputan.

Aku melangkah menyusuri jalan setapak itu sebagai orang asing yang dilanda ekstasi pengelanaan yang menyenangkan. Apalagi setelah kulewati mulut rimba ini dan tercengang dengan pemandangannya yang indah. Kucium harum bunga cempaka yang membuat hati menjadi riang dan kulangkahkan kaki dengan perasaan optimis.

Sepanjang jalan setapak ini, hanya pepohonan dan tanaman-tanaman bunga saja di kiri kanan, cahaya matahari terang dan hangat, aneka binatang jinak berloncatan seperti kelinci dan tupai.

Wah, hidup ini indah.

Aku terus melangkah dengan gembira dan menemukan jalan setapak ini mengarahkanku pada jembatan lima batang pohon kelapa yang disusun rapi dan diikat entah dengan ikatan apa. Kelihatannya seperti dipaku dengan lidi besi, sehingga ke 5 batang pohon kelapa itu rapat melekat.

Jembatan itu tampak kokoh. Sungai di bawahnya terlihat dangkal dan airnya jernih, berkilauan diterpa cahaya matahari. Tanpa pikir panjang, aku meloncat ke atas jembatan yang letaknya tinggi dan melangkah menyebrangi sungai dengan enteng.

Tiba di ujung jembatan, kulihat ada sebuah bangunan yang terbuat dari bata merah. Bentuk bangunannya mirip seperti pura di Bali, tapi bangunan itu bukan pura tempat sembahyang. Ini seperti rumah biasa. Tempat tinggal orang-orang biasa.

Aku terus melangkah dan sedikit terkejut menemukan ada dua orang perempuan sedang bercengkrama. Kepalanya dihias mahkota gelung yang terbuat janur. Tubuh mereka dibalut oleh kemben dan kain samping... tapi kembennya melorot sehingga kedua bukit kembarnya tampak terpampang jelas. Kulit tubuh mereka kecoklatan dan giginya putih.

Aku memperkirakan usia kedua gadis itu tidak akan kurang dari 17 tahun.

Mereka tersenyum ketika aku mengangguk dan terus melangkah melewati mereka.
"Tunggu dulu, Mas. Mau kemana?" Tanya salah seorang gadis itu yang badannya lebih semok. Kedua buah susunya yang cukup besar dan bulat itu tampak jatuh, kelihatannya sih sudah agak kendor.
"Maaf, permisi numpang lewat. Saya mau ke curug." Kataku.

Gadis yang satu lagi, yang lebih ramping dengan senyum khasnya yang menawan, terkikik geli.
"Tapi kalau lewat situ jalannya salah, Maasss..." Katanya dengan suaranya yang renyah merdu nan manja.

Aih! Tiada kusangka, di tengah hutan seperti ini, ternyata ada gadis-gadis cantik seperti ini.
"Masa sih, mbak, jalannya salah." Kataku.

Mereka berdua tertawa mengikik bersamaan saat aku meneruskan langkahku menyusuri jalan setapak itu dan setelah beberapa langkah, ternyata jalan itu buntu. Pepohonan bambu yang rapat yang menjadi pembuntunya. Aku melangkah berbalik arah dan menemukan ke dua gadis itu mengerling genit ke arahku.
"Mampir dulu, Mas. Biar nanti kita tunjukkan jalannya." Kata Gadis Semok itu.
"Iya, mas, ayo, jangan malu-malu." Kata Gadis yang satunya lagi.

Aku diam sejenak. Merasa ragu.

Tapi kemudian aku mengikuti mereka dan masuk ke dalam rumahnya. Dan aku segera saja tercengang melihat isi rumahnya yang terang benderang dan sangat indah. Di luar, rumah itu sepertinya terbuat dari tumpukan bata merah yang direkat dengan menggunakan adukan sederhana, tapi di dalam... sungguh luar biasa.

Berbagai peralatan rumah tangga yang terbuat dari emas berwarna kuning berkilauan. Lantainya terbuat dari hamparan batu panca warna yang indah. Kursi dipannyanya terbuat dari batu giok... wah... hebat sekali.
"Silahkan duduk, Mas. Nama saya Sumi." Kata Gadis Semok itu.
"Saya Nuri." Kata Gadis yang satunya lagi.
"Terimakasih, mBak Sumi dan mBak Nuri." Kataku. "Kalau boleh, saya ingin langsung saja tanya, ke mana jalan yang menuju curug." Kataku.
"Ndak boleh, Mas. Ndak boleh langsung. Mas harus duduk dulu dan melihat tarian kami, lalu menilei, siapa di antara kami yang tariannya paling bagus." Kata Sumi.
"Iya, Maaaasss... lihat dulu tarian kami." Kata Nuri.

Lalu tiba-tiba terdengar suara musik gamelan, entah datangnya dari mana. Ruang tengah rumah itu sangat luas, Sumi bergerak ke tengah dan mulai menari. Sepasang susunya yang bulat itu bergetar-getar. Mengangguk-angguk dan menggeleng-geleng seiring dengan gerakan tarian.

Musik gamelan itu seperti musik gamelan Bali tapi Sumi menari seperti menari Jaipong. Namun antara musik dan gerakan tari tampak serasi. Sangat aneh tapi menarik. Kemudian tiba-tiba Nuri masuk ke tengah ruangan, kedua susunya yang mancung tampak gemetar mengikuti gerak tangannya yang lincah.

Mereka berdua menari seperti sepasang burung merak yang kasmaran. Gerakannya sangat indah dan merangsang. Jantungku berdegup kencang dan darah kelelakianku mulai naik ke kepala.

Tiba-tiba, suatu gerakan yang sangat indah mereka lakukan secara bersamaan... sebuah gerakan yang aneh... mereka dengan cepat memutar tubuhnya dengan kedua tangan seperti melambangkan sayap burung yang terbang... lalu kemben dan kain samping mereka dengan secara bersamaan berjatuhan.

Mereka kini menjadi telanjang bulat dan melanjutkan gerakan-gerakan tarian erotis yang fantastis.

Aku melotot dan terengah-engah. Pusaran berahi naik ke kepala lalu turun ke selangkangan. Tanpa sadar, aku melepaskan seluruh bajuku dan mengacung-acungkan kontolku si betok yang langsung saja menegang keras seperti laras tank baja.

Bersiap sedia untuk melakukan serangan dan tembakan ke arah mereka!!!

***
(Bersambung)

Dua Orang Gadis Cantik Di Rimba Asmara
Penunggu Pintu Pertama menuju Curug Terakhir

 
Penasaran dibuka di akhir cerita bank nya, disana hanya ada 1 bank, oke hu tetep menjadi misteri seperti yang suhu bilang, jadi ingat cerita orang tua tentang kakek yang belajar ilmu Kanuragan, (tahun 40-65) saat2 negara genting sama penjajahan dan pemberontak (Deket banget sama markas besar mereka, yang tiap malam pasti turun gunung untuk menjarah dan minta jatah) berhubungan sama 7 Curug, tapi beda versi (ga perlu dibahas ya he he) yang penting sehat selalu suhu nya terus berkarya
 
Siiiipppp romo @Purbaya1 cerita manarik penuh mistik dan kadang di luar nalar tapi itu yang membuat penasaran reader jadi semua ini di anggap cerita beneran atau real tapi ini hanyalah hasil imajinasi romo yang tertuang di cerita penuh fantasi dan ini membuat reader suka. Cerita khayal penuh imajinatif seperti cerita narnia kan .

Lanjut suhu
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd