Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG RIMBA ASMARA

Thema apakah yang paling anda gandrungi dalam Sub Forum Cerita Bersambung ini?

  • Hubungan sedarah atau incest, dengan mama atau saudara kandung

    Votes: 316 17,6%
  • Hubungan setengah baya atau MILF, antara yang muda dengan yang tua

    Votes: 239 13,3%
  • Hubungan sex Cukold, eksib, voyeur, mengintip dan di tempat umum

    Votes: 132 7,3%
  • Hubungan sex di kalangan remaja atau SMU/pesantren/sederajat

    Votes: 99 5,5%
  • Hubungan sex di kos-kosan mahasiswa/mahasiswi

    Votes: 85 4,7%
  • Hubungan sex Perkosaan

    Votes: 46 2,6%
  • Hubungan Sex affair di kalangan bisnis atau antar pegawai kantoran

    Votes: 99 5,5%
  • Hubungan sex dengan Bini Orang

    Votes: 159 8,9%
  • Hubungan sex dengan Laki Orang

    Votes: 16 0,9%
  • Hubungan sex di kalangan selebriti Indonesia

    Votes: 80 4,5%
  • Hubungan sex di pedesaan/ di perkampungan

    Votes: 88 4,9%
  • Hubungan sex dengan wanita berhijap/kerudung

    Votes: 332 18,5%
  • Hubungan sex romantis

    Votes: 62 3,5%
  • Scandal sex para politisi atau pejabat

    Votes: 19 1,1%
  • Hubungan sex lesbian/gay

    Votes: 16 0,9%
  • Hubungan sex lainnya

    Votes: 8 0,4%

  • Total voters
    1.796
  • Poll closed .
Status
Please reply by conversation.
belum owiih ya.....
 
Pertanyaan sebenarnya bukan itu. Aku nulis enggak ngasal koq.

Pertanyaan pentingnya adalah seperti ini:
  1. Pada hari apa Kasman masuk kerja pada tanggal berapa?
  2. Pada hari apa dan tanggal berapa Kasman berangkat ke Garut dan harus tiba di lereng Gunung Guntur sebelum jam 12 tengah malam?
  3. Berapa hari kira-kira Kasman berada di dalam rimba asmara?
Walau aku nulis langsung di notepad, tapi aku punya garis besar (outline) yang jelas. Silahkan check urutan waktunya. Alurnya maju. Aku enggak suka flashback. Aku menggunakan "aku Kasman" sebagai gelandang pengangkut air alur cerita. Tehnik ini aku gunakan semata-mata karena aku ingin berlatih mempertajam cara bercerita.

Soal apakah tehnik ini berhasil atau enggak, itu urusan nanti. Menulis cerita di sini bagiku adalah sebagai sarana latihan. Sekalian melepaskan otak ngeresku. Biar plong.

Begitu kira-kira.
Terima kasih suhu atas penjelasannya serius saya penasaran aja kemarin tanya begitu, dan jgn sampai mandek suhu ane nunggu2 nich update nya saya pengemar cerita begini
 
SASGARDA ( Pintu Enam)



Setelah melewati pintu 5, suasana hutan secara drastis berubah total. Aku menemukan pohon-pohon yang tinggi, lebat dan tumbuh rapat itu berubah menjadi pepohonan tanaman produktif yang jaraknya jarang dan berjauhan. Aku merasa seperti berada di pinggiran sebuah desa. Seketika perasaan itu mengetuk kesadaranku bahwa aku dalam keadaan telanjang yang sempurna.

Sebelum meneruskan langkah di jalan yang bukan jalan setapak lagi, aku bersembunyi di belakang pohon nangka yang besar untuk mengenakan celana pendek sekaligus celana dalam. Sebab sekilas kulihat ada sejumlah rombongan orang berjalan di jalan yang terbuat dari tanah merah yang dikeraskan itu. Aku, entah mengapa, tiba-tiba saja merasa malu.

Tidak berapa lama, ada beberapa ekor kuda dengan penunggangnya yang bertelanjang dada, mengenakan celana selutut dari bahan kain yang menurutku agak aneh, rambut mereka diikat-sanggulkan di atas ubun-ubunnya; mereka mencongklang kuda dengan santai dan tenang menuju ke ujung jalan yang aku tidak tahu menuju ke mana.

Kukatakan bahan kain itu agak aneh karena aku belum pernah melihatnya selama hidupku.

Aku tidak bermaksud bersembunyi di belakang pohon nangka itu, ketika kulihat sejumlah rombongan lain datang melintas. Mereka berjalan sambil memanggul berbagai hasil bumi di atas kepalanya masing-masing. Berturut-turut, rombongan yang lain berdatangan pula. Mereka berjalan beriringan di pinggiran jalan.

Rombongan itu umumnya adalah rombongan laki-laki. Bertelanjang dada dan mengenakan celana pendek selutut yang berwarna coklat, yang terbuat dari bahan yang aku belum pernah melihatnya sebelumnya.

Mereka sedang menuju ke suatu tempat dengan wajah-wajah serius namun gembira.

Ada suatu perasaan yang asing menggeluguhi hatiku ketika aku melihat mereka. Semacam rasa sayang persaudaraan yang mesra. Aku merasa mereka sepertinya adalah saudara-saudaraku.

Aku menarik nafas dalam-dalam, mengatur pernafasan dan menahan rasa lapar yang semakin menekan. Aku ke luar dari balik pohon nangka dan melangkah tenang menuju pinggiran jalan. Mencoba mencegat sebuah rombongan dan berniat menanyakan ke manakah tujuan mereka pergi.

Aku memasang wajah ramah dan tersenyum kepada mereka.

Namun sungguh aneh dan luar biasa sekali reaksi mereka. Kulihat dengan jelas sorot-sorot tatapan mata mereka bersinar penuh kebahagiaan namun ekspresi wajah-wajah itu jelas sekali sangat terkejut.

Mereka melontarkan bawaan mereka dan mendeprak di atas tanah untuk berdiri dengan lututnya, kepala mereka menunduk dengan kedua jari jemari tangan ditempelkan saling berhadapan.
"Ampun Baginda." Kata mereka kompak seperti dikomando. "Mohon dimaafkan atas kelancangan sikap kami yang tidak patut terhadap Baginda. Kami tidak tahu Baginda ada di pinggir jalan dan menatap kami. Sungguh kami tidak beradat." Kata salah seorang di antara mereka yang paling tua.

Mereka berkata dengan menggunakan bahasa Sanskerta yang dengan sangat aneh dapat kupahami dengan baik.

Untuk menyembunyikan keterkejutanku dan ketidaktahuanku mengapa mereka bersikap seperti itu, aku diam tercenung sambil tersenyum. Ini adalah langkah terbaik. Namun aku sungguh menjadi bingung ketika beberapa rombongan yang lain berdatangan melakukan hal yang sama seperti rombongan yang pertama. Akibatnya, jalanan yang semula kosong kini menjadi penuh.

"Kisanak berdirilah." Kataku.
"Tidak berani baginda." Kata Lelaki yang paling tua itu dengan tetap menunduk dan kedua tangan menempel di depan wajahnya. "Sungguh kami di sini tidak melihat baginda. Mata kami buta tetapi hati kami sangat gembira dan bahagia. Untuk itu baginda yang mulia, izinkan dan restui kami untuk melanjutkan perjalanan menuju Istana Kumala. Kami mohon baginda." Katanya.

Aku diam dan perasaanku mengatakan aku menyayangi mereka semua sebagai saudaraku.
"Baiklah kisanak, kalian semua mendapat izin dan restuku." Kataku dengan keraguan yang membegal otak warasku secara brutal.

Lelaki tua itu menyembah beberapa kali. Setelah itu dia meluruskan badannya dengan lutut di atas tanah, dia berpali dariku dan wajahnya mengarah kepada rombongannya dan rombongan lainnya.
"Saudara-saudaraku." Teriak lelaki tua itu dengan lantang. "Baginda Marsudi Kasman yang mulia, Pembela Keadilan dan Kebenaran Umat Manusia, Putra Dewa Matahari yang diturunkan ke Bumi untuk membimbing kita, telah bersabda kepadaku bahwa kita semua telah mendapat izin dan restunya menuju ke Istana Baginda yang mulia, Istana Kumala!"

"Hidup Baginda!" Teriak mereka yang berlutut di atas tanah itu seperti dikomando.

Kemudian mereka dengan serentak berbalik dan berjalan mundur dengan cara berjongkok sambil menyeret barang-barang bawaan mereka. Setelah kira-kira berjarak lima puluh meter, barulah mereka berdiri dan melangkah melanjutkan perjalanan.

Aku memasang wajah senyum dan tak habis mengerti apa yang sebenarnya terjadi.

***

Aku masih berada dalam kebingungan yang tak berujung ketika melangkahkan kaki menuju ke arah rombongan itu pergi. Kutolehkan pandangan ke kiri dan ke kanan dan kunikmati pemandangan hamparan ladang yang sedang menghijau dihembus angin. Walau pikiranku bingung namun perasaanku nyaman dan damai. Kulihat gunung di kejauhan, entah gunung apa, yang tampak membiru. Sebiru langit yang dihiasi awan-awan nan tipis.

Pada saat melangkah itu, dari kejauhan kulihat debu mengepul dan serombongan kuda beserta kereta di belakangnya melaju dengan kencang. Mereka kelihatannya terburu-buru dengan melajukan kudan dan kereta seperti itu.

Aku merasa khawatir mereka akan menabrakku dan dengan sengaja aku segera melangkah ke pinggir jalanan untuk menghindarinya. Dua ekor kuda terdepan dengan penunggangnya yang sangat gagah, berhenti di depanku dengan cara mendadak. Kedua penunggangnya meloncat dengan sangat sigap dan langsung berlutut di hadapanku.
"Baginda sudah kembali, terimalah hormat dan salam bakti kami." Kata mereka dengan kompak.

Dua orang penunggang kuda berikutnya melakukan hal yang sama.

Sejak awal aku sudah dilanda oleh kebingungan menghadapi situasi dan kondisi yang kuhadapi ini, maka aku tak punya jalan lain selain tersenyum.
"Bangkitlah." Kataku dengan pura-pura santai dan tenang.
"Mohon ampun baginda, kami gembira dan bahagia Baginda bisa kembali. Tapi ampun sekali lagi Baginda, izinkan dan restui kami menanyakan kabar kesehatan baginda. Apakah Baginda selama ini baik-baik saja? Dan kenapa kaki baginda berubah? Kemanakah jari-jari kaki Baginda? Benda apakah yang ada di punggung Baginda? Serta mengapa... mengapa Baginda mengenakan celana yang aneh... Sekali lagi ampunkan Patih baginda." Kata salah seorang yang rambutnya telah memutih namun tubuhnya terlihat masih tampak kuat.
"Patih?" Tanyaku kepada diriku sendiri dengan pikiran yang sangat bingung.
"Hamba Baginda, ampunkan atas kelancangan hamba bertanya. Ini semata-mata Patih sangat bahagia Baginda bisa kembali dalam keadaan selamat sentausa." Kata Lelaki berambut putih itu dengan sangat antusias. Aku heran sekali. Aku bertanya kepada diriku sendiri tetapi lelaki tua itu langsung menukas dengan sikap yang teramat sangat hormat.

Aku menarik nafas panjang dan berat.

"Aku baik-baik saja, Patih." Kataku. Tiba-tiba saja seluruh hati dan perasaanku menerima semua kebingungan ini dan berpura-pura seakan-akan aku adalah Baginda seperti yang mereka sangkakan. Aku berkata dalam hatiku, suatu saat jika waktunya tepat, aku akan menjelaskan semuanya kepada mereka.
"Puja puji untuk dewa." Kata Patih serempak beserta yang lain secara kompak.
"Aku hanya sedikit merasa lapar." Kataku. "Soal kakiku, jari-jarinya masih ada." Jawabku sambil tersenyum. "Sedangkan Ransel Keranjang Bambu dan Celana ini nanti saja aku jelaskan kalau ada waktu."

Aku lalu membungkuk dan membuka sepatuku.

"Puja puji untuk dewa!" Mereka serempak lagi mengatakan kalimat itu, kali ini dengan cara seperti bersorak.
"Ini namanya sepatu." Kataku.

Tapi mereka kelihatannya tidak paham. Pada saat itu, seorang lelaki yang sudah sangat tua ke luar dari kereta dan mendekatiku dengan cara membungkuk.
"Baginda sudah melakukan perjalanan jauh yang melelahkan, sebaiknya kalian biarkan beliau beristirahat dulu." Kata Lelaki yang sangat tua itu.
"Titah Mahapatih sangat bijaksana." Kata si Patih, dia segera mundur dan memberi jalan kepada lelaki tua itu.
"Silahkan Baginda." Katanya sambil kedua tangannya yang terbuka lebar menunjuk ke arah kereta. "Seluruh pakaian yang mulia sudah hamba persiapkan di dalam." Katanya lagi.

Aku menatap dalam-dalam ke arah lelaki yang sangat tua yang dipanggil Mahapatih itu, lalu mengikuti arahannya dan melangkah mendekati kereta tanpa banyak bicara. Sebelum memasuki peron kereta, sesaat aku merasa takjub dengan interiornya yang sangat mencengangkan. Kereta itu terbuat entah dari kayu jenis apa dan bagaimana caranya dibuat, aku tak berani menduga. Tapi jelas bahwa kayu itu tidak dipelitur dengan menggunakan pelitur modern, itu aku bisa pastikan. Semua ornamen dan hiasan yang bersifat abstrak pada interior dinding peron kereta, jelas merupakan berasal dari tekstur alami bahan kayunya.

Sementara lantainya dilapisi oleh hamparan kulit, aku menduga kulit kuda, yang cukup lembut ketika aku masuk dan duduk di atasnya.

Aku meletakkan ransel keranjang bambu di salah satu sudut kereta dan menerima permintaan Lelaki tua itu untuk melepaskan celana pendek dan celana dalamku, yang kemudian kulipat dan kusimpan di dalam ransel keranjang bambu.

Kurasakan kereta melaju dengan pelahan.

Sebelum membantuku menyelendangkan kain yang panjang dan lebar pada pundak kiriku, sepasang mata Mahapatih memelototi batang kemaluanku dan langsung menyembah.
"Ampun baginda... apakah ini adalah berkah dari para dewa selama Baginda mengembara?" Katanya dengan suara gemetar yang tak bisa dia sembunyikan.
"Ya, mungkin saja Mahapatih." Kataku, asal.
"Puja puji dewa." Kata Si Mahapatih. "Ampunkan hamba baginda... bukan hamba ingin mengagulkan pengabdian hamba pada Kerajaan Janggala Nagara ini yang sudah lebih dari 177 Purnama... ampunkan hamba baginda, tapi dari seluruh warga kerajaan, hambalah yang paling berhak mengajukan lebih dahulu..." Kata Mahapatih sambil melilitkan suatu kemben ke pinggangku dan kemudian menerapkan ikat pinggang logam yang terbuat dari emas. Ikat pinggang logam itu diukir dan dibentuk sedemikian rupa sehingga bisa menahan kemben agar tidak lepas. Dia dipenuhi dengan hiasan batu warna warni dengan hiasan utama batu warna merah darah. Aku tak ingin meyakinkan diriku bahwa batu itu adalah batu berlian.

Aku sejenak memperhatikan kain yang kukenakan, warnanya krem pias dan cenderung putih. Walau terlihat seperti kain kasar namun ternyata kain itu cukup lembut ketika menyentuh kulit dan terasa nyaman dipakai.
"Jonggrang Seloka cucu perempuan hamba yang paling jelita, sekarang sudah tumbuh menjadi gadis dewasa..." Kata Mahapatih sambil memakaikan tiga untai kalung emas ke leherku. Saat itu, tiba-tiba saja aku sadar jika ternyata rambutku telah tumbuh panjang sampai pundak. Aku juga merasa, wajahku ditumbuhi kumis dan jenggot. "Menurut undang-undang Kerajaan, hamba boleh mengajukan Jonggrang untuk menemani baginda jika baginda berkenan." Katanya sambil memasangkan gelang emas pada pergelangan lengan kanan dan kiriku. Kemudian dia memasangkan gelang emas lain ke pangkal lenganku.
"Tentu saja Mahapatih." Kataku sambil menerima sebuah buku tebal yang terbuat dari kulit beserta alat tulisnya yang terbuat dari tulang binatang, entah binatang apa.
"Ampun baginda, terimalah rasa terimakasih dan hormat keagungan para dewa untuk baginda." Katanya dengan suara gemetaran karena senang. Kedua tangannya ikut gemetar saat memasangkan mahkota emas berhias batu merah darah yang menyala di kepalaku.

Aku mengangguk kepadanya dan tersenyum.

***

Setelah sekian lama berjalan, akhirnya kereta berhenti dan Mahapatih mendahuluiku ke luar dari peron kereta. Aku kemudian mengikutinya. Si Patih yang tadi, dengan cekatan mengambil ransel keranjang bambu dan berjalan di belakangku.

Aku turun dari peron kereta dan berdiri sejenak menatap sebuah pintu gerbang berupa gapura yang terbuat dari susunan bata merah yang diplester dengan rapih. Wuwungannya terdiri dari dua tingkat dan tangga untuk memasukinya memiliki 5 undakan.

"Itulah pintu ke enam." Bisikku dalam hati.

Di kejauhan kulihat gunung yang biru menjulang. Beberapa orang yang terlihat di belakang pintu gerbang itu, tampak bergerak ke sana ke mari dengan tenang mengerjakan kesibukannya masing-masing.
"Silahkan Baginda melalui Sas Garda lebih dahulu sebelum ke istana, sesuai dengan undang-undang kerajaan." Kata Mahapatih.

Sas Garda itu artinya Pintu Ke Enam. (Sas = enam, Garda= Pintu Gerbang Depan).

Tak ada keraguan bagi kakiku untuk melangkahi undakan demi undakan itu dengan langkah pasti dan tenang. Saat memasuki pintu itu dan berada di bawah atap gerbang, aku merasa aneh dengan diriku. Kulihat di dindingnya seperti memiliki cermin yang terbuat dari logam perak dan aku sangat terkejut melihat bayanganku di sana.

Orang itu bukan Marsudi Kasman Kepala Cabang Bank BUMN Cicalengka, tapi itu adalah oranglain. Dan mereka menyebut bayangan di cermin itu adalah Baginda.

Baginda Maharaja Marsudi Kasman



(Bersambung)
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd