Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG PENABUR BENIH (CUCKOLD INSIDE)

Nice4

Semprot Lover
Daftar
27 Aug 2023
Post
252
Like diterima
5.356
Bimabet
Cerita ini semata-mata bersifat fiktif, murni produk dari imajinasi author. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan. Cerita ini dibuat hanya untuk hiburan saja, tidak bermaksud mengatai atau menyinggung siapa pun tokoh yang ada di cerita ini. Dengan tulus dan kerendahan hati, author ingin menyampaikan permohonan maaf yang sedalam-dalamnya kepada suhu-suhu di forum ini karena author menyadari setiap kata, setiap kalimat, dan setiap nuansa cerita ini mungkin tidak sepenuhnya memenuhi harapan dan selera suhu-suhu sekalian. Setiap kritik dan tanggapan dari pembaca sangat berharga bagi author, dan author berjanji untuk terus belajar agar dapat memberikan karya yang lebih baik di masa mendatang. Terima kasih atas kesabaran dan dukungan suhu-suhu. Author berharap cerita ini mendapatkan tempat di hati suhu-suhu.

-----ooo-----

INDEKS:

CHAPTER 1 RISKA
CHAPTER 2 KEPUTUSAN HERI PART 1
CHAPTER 3 KEPUTUSAN HERI PART 2
CHAPTER 4 KAWIN BERSAMA YANG PERTAMA
CHAPTER 5 JALAN UNTUK NICKO
CHAPTER 6 ILMU DARI NICKO PART 1
CHAPTER 7 ILMU DARI NICKO PART 2
CHAPTER 8 TAKDIR TAK TERDUGA
CHAPTER 9 KEPASTIAN
CHAPTER 10 MAIN RASA
CHAPTER 11 TERJERAT
CHAPTER 12 GALAU
CHAPTER 13 BAHAYA
CHAPTER 14 PENGALAMAN PERTAMA
CHAPTER 15 PERUBAHAN RISKA




CHAPTER 1
RISKA
BASTIAN POV

Jam di dinding ruang kerjaku menunjukkan tepat pukul 17.00, sinyal bahwa waktunya untuk pulang ke rumah telah tiba. Setelah merapihkan meja kerja yang dipenuhi dengan tumpukan dokumen dan berkas, aku melangkah keluar dari ruang kerjaku, bergabung dengan rekan-rekan kerja seruangan yang juga bersiap-siap pulang. Gedung perusahaan yang megah tampak ramai, namun suasana itu segera terpecah ketika aku melangkah keluar dari pintu utama gedung perusahaan.

Tiba-tiba, langkahku dihalangi oleh seorang wanita yang tak lain adalah Riska Marsaulina. Wanita cantik berusia sekitar 29 tahun itu menatapku dengan senyuman ramah. Riska, teman dekatku di kantor, seringkali menjadi teman untuk menghabiskan waktu bersama. Hubungan kami yang hanya sebatas persahabatan sering kali diisukan oleh rekan-rekan sekantor sebagai pasangan selingkuh. Riska, yang telah berumah tangga dengan seorang pria bernama Heri Permana (30 tahun) selama lima tahun, memang memiliki pesona yang sulit diabaikan. Meskipun aku dan Riska sangat akrab, aku belum pernah bertemu dengan suaminya. Nama Heri sering terdengar dalam cerita-cerita Riska, tetapi kehadirannya belum pernah aku rasakan secara langsung.

“Aku ingin traktir kamu di kafe biasa.” Tiba-tiba Riska mengajakku nongkrong di kafe yang letaknya tidak jauh dari kantor kami.

“Wow! Lagi banyak duit nih.” Candaku sambil tersenyum.

“Nggak juga sih … Ada yang ingin aku bicarakan denganmu.” Katanya yang tiba-tiba serius.

“Hhhmm … Pentingkah?” Tanyaku penasaran.

“Sangat penting.” Jawabnya sambil menatapku lembut.

“Baiklah …” Jawabku sambil berjalan menuju motorku yang berada di area parkir perusahaan bersama Riska yang berjalan di sampingku.

Tak lama setelah itu, kami melangkah keluar dari area perusahaan dengan motor masing-masing. Dalam waktu sekitar sepuluh menit, kami tiba di depan kafe yang terlihat sepi. Kami pun memasuki ruangan kafe yang berhawa santai, memilih tempat duduk di pojokan setelah memesan makanan ringan dan segelas kopi. Aku dan Riska duduk berhadapan, menghiasi sudut ruangan yang tenang. Sambil menikmati pesanan, kami terlibat dalam percakapan ringan seputar pekerjaan kantor, membahas dinamika yang terjadi di lingkungan kerja kami.

“Bas … Aku ingin bicara sesuatu yang menurutku sangat memalukan.” Ucap Riska terkesan ragu.

“Katakan saja. Aku janji tidak akan mempermalukanmu.” Kataku bersungguh-sungguh.

“Kamu janji ya gak akan mempermalukanku?” Riska benar-benar terlihat ragu.

“Ya, aku janji.” Kataku sembari mengangkat dua jari tangan kananku.

“Begini Bas …” Riska menahan ucapannya hanya untuk menarik nafas dalam-dalam lalu menghempaskannya secara perlahan. “Aku dan suamiku sudah berusaha keras untuk mempunyai bayi. Tapi, sudah lima tahun berumah tangga, kami belum juga dikaruniai anak. Kemarin lusa, kami bersama-sama memeriksakan kesuburan ke dokter dan ternyata sperma suamiku bermasalah. Kata dokter sperma suamiku itu tidak memiliki motilitas yang mengakibatkan kesulitan untuk mencapai dan menembus lapisan pelindung ovum.” Jelas Riska pelan sambil pandangannya terarah ke jendela kafe.

Lagi-lagi Riska menghela nafas. Dia mengarahkan pandanganya padaku, “Suamiku … Suamiku menyuruhku untuk hamil oleh orang lain.”

“Maksudmu?” Sungguh aku terhenyak kaget sampai-sampai aku ingin kejelasan lebih lanjut dari ucapan Riska barusan.

“Suamiku ingin sekali mempunyai anak dari rahimku. Tapi dia sadar kalau dia tak mampu melakukan pembuahan. Aku dan suamiku akhirnya sepakat kalau aku boleh hamil oleh sperma orang lain.” Jelasnya lagi.

Sontak saja, aku terkejut mendengar pernyataannya. Mataku terhentak menatap, jantungku terasa berhenti dan mataku menatap kaget. Udara di sekitar kami seolah membeku, dan perasaan kebingungan serta ketidakpercayaan melingkupi pikiranku. Entah bagaimana menyikapi kabar yang begitu mengejutkan ini. Riska duduk di hadapanku dengan ekspresi tak menentu di wajahnya. Aku mencoba mencerna setiap kata yang baru saja diucapkan, mencari jawaban di matanya yang memandang jauh ke arah luar jendela kafe. Aku merasa terhanyut dalam gelombang ketidakpastian, tak tahu harus berbuat apa atau memberikan reaksi seperti apa.

“Kenapa kamu membicarakan itu denganku?” Tanyaku dengan perasaan was-was.

“Karena aku memilihmu …” Riska menahan lagi ucapannya. Tak lama ia melanjutkan, “Aku memilihmu untuk menjadi pendonor sperma.” Lanjutnya.

Aku semakin terkejut saja. Sungguh, aku tidak pernah membayangkan jika Riska memiliki pikiran seperti itu. Tatapan mata kami bertemu, dan dalam sekejap, dunia di sekitarku terasa berputar. Risiko yang tersembunyi dalam percakapan ini mulai mencuat ke permukaan, membentuk badai pikiran di benakku. Aku mencoba meresapi kata-kata Riska, mencari makna di balik keputusannya memilihku sebagai pendonor sperma. Rasa was-was yang sebelumnya hanya menyelinap di benakku kini bertransformasi menjadi kebingungan yang sulit dijelaskan. Aku mencoba menangkap ekspresi wajah Riska, mencari tanda-tanda yang dapat menggambarkan apa yang sesungguhnya terjadi di dalam pikirannya.

“Kenapa memilihku?” Suaraku bergetar.

Riska menjawab dengan suara pelan, "Karena kita sudah dekat, Bas. Aku hanya berani meminta itu hanya padamu. Aku yakin kamu akan mengerti, dan yang paling penting adalah aku butuh seseorang yang bisa aku percayai sepenuhnya dalam hal ini."

Mendengar jawabannya, kebingungan dalam benakku semakin kompleks. Aku mencoba memahami betapa besar kepercayaan yang diberikan Riska padaku, namun pada saat yang sama aku berpikir bagaimana kehidupan kami yang baik ini akan bergulir ke arah yang tak terduga.

Aku merenung sejenak sebelum akhirnya merespon dengan serius, "Riska, apa yang baru saja kita bicarakan sangat tidak lazim. Aku khawatir keinginan kamu dan suamimu itu akan membawa kompleksitas emosional di antara kita. Mengapa kalian tidak mencari solusi lain yang bisa membantu kamu hamil, seperti melalui prosedur bayi tabung? Menurutku cara itu adalah pilihan yang lebih umum dan bisa meminimalkan potensi masalah di masa depan.”

"Bas, aku merasa sangat tidak nyaman dengan ide prosedur medis seperti bayi tabung. Aku ingin merasakan kehamilan alami. Bagiku, itu lebih dari sekadar fisik, tapi juga pengalaman dan ikatan yang tak tergantikan dengan proses alamiah. Selain itu, aku juga merasa takut terhadap prosedur medis dalam kehamilan melalui bayi tabung. Aku tahu itu mungkin menjadi solusi yang lebih cepat dan tepat, tetapi ketakutanku terhadap prosedur medis membuat aku memilih untuk mencoba secara alami saja.” Jelas Riska.

Aku bukan orang munafik. Sejujurnya, aku sangat senang dengan permintaan Riska agar aku menjadi pendonor sperma baginya. Bayi tabung mungkin menjadi solusi yang lebih umum, tetapi Riska begitu teguh pada keinginannya merasakan kehamilan alami. Melihat Riska begitu teguh untuk memiliki momongan dengan cara alami dan memilihku sebagai pendonornya, membuat hatiku hangat. Namun, dalam kegembiraan itu, berkecamuk juga pertimbangan-pertimbangan rumit dalam benakku. Aku tidak bisa mengabaikan konsekuensi dan menyingkirkan begitu saja rasa was-was terhadap segala konsekuensi yang mungkin akan terjadi.

Aku merenung sejenak, memikirkan bagaimana keputusan ini akan mempengaruhi dinamika hubungan kami, serta bagaimana kami akan menangani potensi kompleksitas emosional di masa depan. Tak hanya soal ikatan emosional di antara kami, tetapi juga soal bagaimana hal ini akan memengaruhi kehidupan pribadi dan keluarganya. Akan seperti apa dinamika keluarga dia nanti? Bagaimana hubungan antara kami bertiga? Semua pertanyaan itu menggelayuti pikiranku, menciptakan keraguan dan kekhawatiran yang perlahan merayap dalam hatiku.

“Riska … Apakah kamu mencintai suamimu?” Tanyaku mencoba membuka tabir keraguanku.

Riska tersenyum lembut, matanya penuh dengan kilatan kejujuran. "Ya, Bas, aku sangat mencintai Heri, suamiku," jawabnya dengan tulus. Suaranya penuh dengan kepastian. "Heri bukan hanya sekadar pasangan hidupku, tapi juga teman sejati yang selalu ada untukku. Cinta kami telah tumbuh seiring waktu, menghadapi berbagai liku hidup. Dalam setiap suka dan duka, Heri adalah pendamping setia yang memberiku dukungan tanpa syarat.”

“Baiklah … Kalau begitu potret aku dengan ponselku dan aku akan mengirim fotoku padanya.” Ujarku sembari menyodorkan ponsel pintarku pada Riska.

“Apakah itu perlu?” Riska menerima ponselku dengan ragu.

“Sangat perlu … Aku butuh kepastian kalau suamimu memang benar-benar menginginkan semua ini. Aku tidak ingin dia menyesal atas keputusannya. Aku juga akan mengatakan padanya gar dia berpikir ulang sebelum semuanya terjadi. Sungguh, aku tidak ingin suamimu menyesal nantinya.” Tegasku.

“Dia tidak akan menyesal, Bas … Aku jamin.” Riska memberikan keyakinan padaku.

“Lakukan saja, ok?” Kataku.

Riska pun memotret diriku dengan menggunakan ponsel milikku. Aku melihatnya fokus mengatur frame, mata kami bertemu melalui lensa kamera, tanpa senyum yang mencolok, hanya sekadar sebuah dokumentasi sederhana. Setelah selesai memotret, Riska memberikan lagi ponsel di tangannya padaku. Ponsel itu berpindah tangan. Riska menunjukkan ekspresi wajah yang netral, memberikan alat tersebut seolah ini adalah hal yang lumrah. Aku pun menerimanya dengan santai.

Aku segera meminta nomor telepon Heri pada Riska. Setelah mendapatkannya, aku merenung sejenak sebelum akhirnya mengirim fotoku pada Heri, disertai dengan pesan teks yang mungkin akan menciptakan keraguan dalam pikirannya. Pesanku menyatakan bahwa aku adalah teman baik Riska yang akan tidur dengannya. Dalam teks tersebut, aku juga memberikan saran dengan nada yang penuh pertimbangan, mengajak Heri untuk berpikir ulang terhadap keputusannya itu. Aku berusaha untuk menyampaikan pesanku dengan jelas, tanpa menciptakan suasana yang menekan. Pesan itu menjadi upaya dari diriku untuk menciptakan ruang refleksi bagi Heri, sekaligus memberikan wawasan lebih jauh mengenai konsekuensi dari keputusannya.

Aku tidak perlu menunggu lama, ternyata Heri langsung membalas pesanku. Saat membaca responsnya, aku terkejut dan tidak menyangka kalau Heri memberikan izin secara terbuka untukku tidur dengan istrinya. Pesan suami Riska itu sangat tegas, menguatkan bahwa aku tidak perlu ragu atau merasa bersalah. Heri menegaskan bahwa baginya, peristiwa ini dianggap sebagai sesuatu yang baik-baik saja, seolah-olah memandangnya sebagai suatu hal yang wajar dan dapat diterima.

“Ini jawaban suamimu.” Kataku pada Riska dengan memperlihatkan balasan pesan teks dari Heri.

“Aku sudah katakan kalau dia akan baik-baik saja.” Ucap Riska setelah membaca balasan pesan teks tersebut.

“Jadi …?” Tanyaku sambil tersenyum.

“Bas … Aku akan melakukannya denganmu. Tapi kamu perlu tahu, ini hanya sekedar seks. Aku tidak ingin ada ikatan emosional di antara kita setelah melakukannya. Aku dan kamu harus berkomitmen kalau ini hanya sekedar seks dan setelah aku hamil semuanya harus berakhir.” Tegas Riska bersungguh-sungguh.

“Aku sangat setuju.” Jawabku sambil mengulurkan tangan lalu Riska menjabat tanganku sebagai tanda persetujuan.

Setelah membicarakan beberapa syarat lain tentang hubungan tak lazim ini, kami pun memutuskan untuk menyewa hotel di dekat posisi kami sekarang. Kami keluar dari kafe, melangkah yang diwarnai oleh getaran ketidakpastian. Aku merasa hubungan ini telah menciptakan ruang eksklusif di luar norma.

Tak lama, kami sampai di hotel. Di lobi, rona cat dinding dan pencahayaan yang lembut mengesankan suasana yang sepi, mengingatkan bahwa hotel bukan hanya tempat singgah, tetapi juga menyimpan banyak rahasia. Proses check-in berjalan cepat, resepsionis berbicara dengan keramahan tanpa menunjukkan kecurigaan apa pun. Mungkin mereka sudah terbiasa dengan kisah-kisah serupa yang melibatkan para tamunya.

Akhirnya, kami berdua sudah berada di kamar hotel yang kami sewa. Dalam keremangan kamar yang diliputi oleh pencahayaan lembut, suasananya menciptakan perasaan emosional yang bertentangan. Kami menempati tempat yang seakan menjadi wilayah terlarang, dan di saat yang sama, kamar itu menjadi saksi dari kesepakatan yang kami buat. Dalam momen ini, kami menangkap perasaan waspada, kebingungan, dan penasaran, tetapi semuanya terbungkus dalam kesepakatan yang sudah terucap.

“Aku ingin mandi. Apakah kamu mau ikut?” Candaku pada Riska.

“Tidak … Kamu duluan saja …” Ucapnya sambil duduk di tepi ranjang.

Aku pun mandi di kamar mandi hotel, terguyur oleh air yang dingin dari pancuran mandi, yang mengalir dengan tenang. Suara gemericik air menjadi teman dalam momen ketika pikiranku melayang, mencerna segala peristiwa yang baru saja terjadi. Aku kemudian melihat pantulan tubuhku di cermin besar depan shower yang sedang aku gunakan. Setitik air yang masih tersisa dari pancuran mandi menyentuh permukaan kaca, menciptakan jejak-jejak yang melengkapi gambaran tubuhku yang tampak segar dan energik. Olahraga yang rutin kulakukan memberikan bentuk tubuh yang terlihat atletis, dan bayangan tubuhku di cermin memberikan refleksi visual dari dedikasi itu.

Aku perhatikan wajahku sejenak, menyusuri detail setiap ciri yang membentuk identitasku. Tersenyum-senyum sendiri, aku merasa puas melihat citra tampan dan rupawan yang tercermin di pantulan cermin. Nama yang diberikan orangtuaku, Bastian Aji Saputro, seolah-olah cocok dengan sosok yang kini berdiri di depan cermin. Di usiaku yang baru saja masuk di angka 27 tahun, aku termasuk kategori pria yang menawan. Aku sering mendapat lamaran dari seorang gadis, namun aku selalu menolaknya karena aku belum mempunyai niat serius dalam suatu hubungan.

Saat melihat 'barang pusaka' yang bergelantungan di pangkal pahaku, senyumku semakin melebar. Di sana, aku melihat betapa besar dan panjangnya kepemilikan yang paling pribadiku itu. Ukuran panjangnya sekitar 18 cm, dan ketebalannya tak pernah bisa tanganku melingkarinya. Mataku menangkap detail dengan bangga, memperlihatkan kepuasan pribadi di saat momen intim seperti ini.

Tak lama, aku selesai mandi dan keluar kamar mandi dengan hanya menggunakan lilitan handuk di tubuh bagian bawahku. Sinar lampu kamar yang lembut menciptakan bayangan yang melintas di dinding, memperlihatkan bagian tubuh yang tertutup oleh handuk. Aku melihat Riska berjalan ke kamar mandi, kemudian terdengar gemericik suara air yang jatuh ke lantai. Suara air membentuk latar belakang yang tenang, menciptakan ruang di mana pikiranku bergerak antara keinginan dan rasa was-was.

Aku berdiri di depan jendela kamar hotel sambil berusaha menentramkan diri dan membangkitkan kepercayaan diri. Di momen ini, aku mencari kekuatan dan ketenangan, mencoba menghadapi situasi yang semakin dekat dengan langkah-langkah pasti. Aku pikir semua yang akan terjadi adalah sesuatu yang harus aku nikmati tanpa harus memikirkan hal-hal lain yang akan merusak peristiwa yang luar biasa ini. Dan inilah saatnya untuk melepaskan diri dari beban pikiran dan meresapi setiap detik yang akan tercipta.

Aku menengok saat mendengar pintu kamar mandi terbuka. Suara pelan pintu itu memberi sinyal bahwa momen yang diantisipasi telah tiba. Riska dengan tubuh terlilit handuk keluar dari sana. Kehadirannya yang muncul dari balik pintu kamar mandi menarik perhatianku. Dia menatapku dengan tatapan tulus, senyum di bibirnya seolah menyiratkan pemahaman akan situasi yang tengah terbentuk. Aku menghampiri Riska kemudian kami duduk di sisi ranjang bersebelahan.

“Apakah kamu siap?” Tanyaku hati-hati.

“Aku siap.” Jawab Riska tampak yakin dengan keputusannya.

“Kalau begitu … Kita buka penutup ini bersama-sama.” Kataku yang dijawab anggukan Riska.

Kami lantas membuka handuk yang menutupi tubuh kami secara bersama-sama. Gaya santai yang kami terapkan seolah menghapus batasan-batasan kecanggungan, menyingkap lapisan keraguan. Kami saling mengamati tubuh masing-masing. Tidak ada kata-kata yang diucapkan, hanya pandangan-pandangan yang berbicara dalam bahasa diam. Harus aku akui, Riska memiliki tubuh yang indah. Semua hiasan tubuhnya terpampang begitu sempurna, mengekspos keanggunan dan keindahan yang sulit diabaikan.

“Wow …!” Pekik Riska yang membuyarkan hayalanku.

“Ada apa?” Tanyaku pura-pura tidak tahu.

“Punyamu … Wow …” Tatapan kagum tergambar jelas di matanya.

Riska memperhatikan batang kejantananku yang setengah bangun. Pandangannya menyisir setiap detail ‘barang pusaka’ milikku, meresapi bentuk dan dimensi yang terpampang di hadapannya. Dalam tatapan wanita cantik itu, tersembunyi keterkejutan dan kekaguman yang bergelombang. Nuansa ekspresi di wajahnya membentuk perasaan tercengang dan pesona yang dihadirkan dalam satu paket.

“Kok terkejut?” Candaku. “Pasti kamu sering melihat punya suamimu.” Lanjutku sembari mengambil tangannya lalu aku letakkan di kejantananku. Riska pun tanpa ragu mulai membelai dengan sedikit pijatan.

“Punya suamiku tidak sebesar ini. Setengahnya dari punyamu ini.” Kata Riska sembari menstimulasi ketegangan di batang kemaluanku.

“Aku juga tidak bisa memegangnya kalau lagi tegang.” Ucapku bangga dan terasa penisku mulai bereaksi.

“Ya, ampun … Punyamu bahkan tak bisa aku pegang.” Ucap Riska setengah berbisik saat batangku mengembang dan mengeras.

Riska menaik-turunkan tangannya dengan lembut di batang kejantananku yang sudah keras. Setiap gerakan tangannya menggambarkan perasaan dan niat, menciptakan getaran yang membawa ketidakpastian berubah menjadi kejelasan. Momen ini semakin menghilangkan kecanggungan dan keraguan. Dalam setiap sentuhan dan respon, kami berdua secara perlahan merasakan gelombang-gelombang getaran birahi yang tumbuh di antara kami. Sepertinya kami berdua sudah siap dengan petualangan baru kami. Setiap detik yang berlalu membawa kami lebih dalam, memicu keberanian dan kesiapan untuk menjelajahi wilayah yang belum terjamah bersama-sama.

“Berikan ponselmu.” Kataku saat melihat ponsel Riska berada di sampingnya.

“Buat apa? Jangan bilang kamu mau memfotoku.” Ucap Riska bernada protes.

“Tidak … Aku ingin mengambil foto tanganmu sedang memegang penisku. Aku akan mengirimkan foto itu pada suamimu lagi dan memberikan kesempatan lagi untuknya untuk mundur. Jika dia ingin ini terus berlanjut, aku akan menidurimu tanpa alasan." Kataku.

“Oh …” Gumam Riska.

Riska mengambil ponselnya dan menyerahkan ponsel itu padaku. Tiba-tiba Riska berlutut di depanku dengan batang kerasku hanya beberapa senti dari wajahnya. Tangan wanitanya memegang tongkatku dengan menyisakan bagian atasnya, menciptakan gambaran yang sangat artistik. Aku pun tersenyum lalu mengabadikannya dengan ponsel Riska. Setelah mendapatkan foto yang aku inginkan, aku pun mengembalikan ponsel tersebut pada Riska.

“Dia akan senang melihat foto ini.” Ucap Riska yang membuatku termenung sejenak.

“Maksudmu?” Tanyaku jadi ingin tahu.

“Heri itu punya fantasi istrinya ngesek dengan orang lain. Sekarang fantasinya itu menjadi kenyataan.” Jawab Riska sambil tersenyum sambil melihat fotonya di layar ponsel.

“Oh …” Aku terkejut. “Suamimu itu cuckold kah?” Tanyaku kemudian. Aku tidak menyangka kalau Heri memiliki fantasi semacam itu.

“Suamiku memang memiliki fantasi cuckold yang cukup parah. Baginya, melihat istrinya bersama orang lain memberikan kepuasan tersendiri," ujarnya sambil tetap tersenyum.

“Gitu ya … Tolong, kirim pesan padanya. Bilang sama suamimu, apakah kamu perlu melanjutkan semua ini?” Perintahku pada Riska.

Riska langsung saja mengirim pesan pada suaminya, menanyakan apakah semua ini layak diteruskan. Setelah menunggu beberapa saat, Heri membalas dengan pernyataan bahwa semua yang telah terjadi sebaiknya diteruskan saja. Sungguh, aku tidak percaya saat Riska memperlihatkan jawaban pesan teks dari Heri, dimana suami Riska itu ingin menyaksikan secara live.

Aku dan Riska setuju untuk menayangkan secara live persenggamaan kami untuk ditonton oleh Heri. Riska mengatur smartphone-nya sedemikian rupa sehingga tangkapan kamernya penuh mengarah atas ranjang. Setelah semuanya siap, Riska mulai membaringkan badannya di atas kasur. Setiap aktivitas yang akan kami lakukan sudah pasti menjadi bagian dari tontonan yang akan disaksikan oleh Heri.

Dengan perlahan aku bergerak hingga kepalaku tepat berada di kedua pahanya yang telah lebar mengangkang yang seakan menantangku. Aku menyusuri bulu kemaluannya dengan lidahku hingga lidahku berhenti di klitorisnya. Riska melenguh sambil lebih membuka kakinya. Dengan satu sapuan yang menghentak dan seketika, aku menyapu permukaan vaginanya dengan seluruh telapak lidahku. Riska mengerang di atas sana. Kemudian ujung lidahku bermain di klitorisnya lagi.

Selain dengan lidah, bibirku memagut, mengulum dan mengisap klitorisnya. Pelan-pelan aku melakukan gigitan-gigitan kecil di sekitar situ sehingga membuat gerakan pahanya semakin menggila. Kedua tanganku memegangi pahanya atau memeluk pantatnya. Dari klitoris, ujung lidahku menemukan lubang vagina dan segera menembusnya kemudian melakukan gerakan memutar dan menyapu, juga gerakan lidah maju mundur. Lidahku menemukan lapisan-lapisan lunak, ada juga seperti lekukan, benjolan atau suatu permukaan seperti handuk.

Riska tak henti-hentinya mengeluarkan suara erangan atau lenguhan. Tangannya meremas-remas kepalaku atau menekan-nekan kalau dia merasa lidahku kurang dalam. Semakin lama lubangnya semakin basah sehingga gerakan lidahku mengelurakan suara kecipak-kecipak. Tidak ada bagian yang terlewat oleh lidahku. Aku melihat dia masih tangguh dan belum ada tanda-tanda orgasme padahal aku ingin membuat dia orgasme dengan lidahku.

Lidahku segera menyusuri lubang kelaminnya, kujulurkan, kemudian lidahku terkunci di dalam. Tanganku memeluk kedua pahanya. Seperti tahu maksudku, dia melakukan gerakan menggoyang. Pantatnya bergerak memutar, kemudian maju mundur tak ubahnya seperti orang bersenggama. Lidahku kutahan agar tidak meleset dari lubang kemaluannya. Aku tidak tahu ekspresi wajah Riska, yang jelas dia begitu enjoy dengan gerakan-gerakannya. Selain suara erangan, aku masih bisa mendengar suara kain seprai diremas-remas. Gerakannya makin kencang dan menggila. Kalau saja tidak karena dia orgasme, mungkin aku tidak sanggup bertahan lebih lama lagi karena kehabisan nafas. Akhirnya Riska meregang, ada sentakan kecil, selama beberapa detik tidak ada suara atau gerakan apa-apa, hening, cuma sedutan-sedutan di sepanjang lorong kelamin Riska. Akhirnya dia terkulai, aku segera keluar dari jepitan pahanya. Aku mengambil nafas dan berjongkok di antara kedua pahanya.

Beberapa detik kemudian, aku memanjat tubuhnya dan mengecup bibirnya dengan lembut yang disambut dengan pagutan liar lidah dan bibir bernafsu. Kami berciuman dan saling melilit lidah beberapa saat hingga akhirnya ia melepas bibirku dengan napas terengah-engah dan kami berpelukan erat.

"Hhhhh … Bas ... Nikmat sekali ..." Ucapnya dengan mata terbuka lebar.

“Memekmu juga lezat sekali.” Kataku sambil tersenyum

"Nakal ihk! Bikin aku tambah terangsang aja!" Katanya sambil mencubit hidungku. Kami sama-sama tersenyum, lalu kembali saling berciuman beberapa saat hingga ia membuka kakinya hingga terkangkang sambil meraba-raba penisku yang tegang sempurna sedari tadi di depan selangkangannya.

"Bas, ayo dong.. Masukin.. Nggak tahan nich.."

"Oke.. sayang.."

Sambil berkata begitu, kutekan penisku yang dituntun oleh tangannya ke bibir vaginanya yang ternyata telah kembali basah oleh lendirnya.

"Ssllpp..!" Dengan mudah seluruh penisku masuk tertelan oleh liang vaginanya. Kugerakkan pantatku maju-mundur perlahan sambil menikmati gesekan dinding vaginanya yang basah berlendir itu.

"Hhh.. mmhh.. Ooohh sayang.. hhmm.."

Sambil terus menggerakkan pantat maju-mundur seirama, sehingga kenikmatan persetubuhan terasa dengan lembut oleh kami berdua. Kami pun berciuman dengan lembut. Kecupan dan hisapan pada bibirnya benar-benar kunikmati dengan gairah membara seirama dengan sodokan lembut penisku pada vaginanya. Kami terus bergerak seirama menjalani perjalanan untuk menemukan dan merasakan kenikmatan yang muncul dari penyatuan tubuh ini. Dalam pelukan satu sama lain, kami menemukan keindahan yang tersembunyi di balik kata-kata dan tatapan, menciptakan ruang yang dipenuhi dengan gairah dan birahi yang menggelora.

"Hhh.. hhh.. hhh..."

"Mmmhh… Oooohh..."

"Oooohh, Bas.. Ooohh … Nikmat Bas... Ooohh… Teerruuss... Baass.."

Semakin lama, semakin liar kami saling menyerang satu sama lain. Pantat kami sama-sama maju-mundur semakin cepat dan keras. Kuremas buah dadanya dan kujilati sekali-sekali sementara dia menjambak rambutku. Kedua kakinya melingkari pahaku seakan ingin membantu gerakan pantatku agar sodokan penisku menancap semakin keras dan dalam pada vaginanya. Batang kerasku semakin intens timbul tenggelam di lorong nikmatnya yang licin terbanjiri oleh cairan cintanya.

"Ohh… Bass... Teruuss… Ooohh..."

"Ohh.. "

Gerakan pantat kami sudah semakin liar dan cepat, dan tubuhnya pun terbanting-banting lepas kendali di atas kasur dengan mata terpejam rapat. Gerakan tubuh kami semakin liar, menjadi tarian tak terduga dari ekspresi kenikmatan yang kami rasakan. Dalam persetubuhan yang semakin liar ini, kami menemukan kenikmatan dan kesenangan yang tak terlukiskan. Mendadak Riska menggigit bibir sesaat, lalu melepasnya dengan sebuah pekikan kecil.

"Akhh! Baass.. Akkuuh.. ngghhaak tahh.. aahh.. aaahh!"

Jeritan panjang Riska menyertai sentakan pantatnya yang liar dan keras menancapkan penisku sedalam-dalamnya pada vaginanya, sementara tubuhnya dengan liar tersentak bangkit dari posisi tidur menjadi setengah duduk dan tangannya menarik pantatku sekuat tenaga hingga penisku benar-benar menancap sedalam-dalamnya di dalam vaginanya yang berkontraksi dengan liar beberapa detik sebelum akhirnya meledakkan orgasme hebat yang melepas tumpahan demi tumpahan lendir orgasme.

"Aaaaaccchhhhh...!!!" Tubuh Riska mengejang hebat dan kepalanya terlempar ke belakang dengan liar sementara kedua tangannya meremas pantatku dengan keras hingga kukunya menancap di pantatku.

Pemandangan liar menggairahkan di depan mataku ini memancing ledakan kenikmatan dalam tubuhku yang menyerbu ke batang penisku yang seakan tersumbat itu. "Oohh… Aakhh…" dan pertahananku pun jebol juga. "Crraatt.. Crriitt.. Crroott.." semprotan demi semprotan air mani kental dan panas muncrat dari penisku, memenuhi vaginanya hingga begitu penuh dan meleleh keluar membasahi paha kami berdua. Aku memeluk erat tubuhnya yang telah basah kuyup oleh keringat dan kuhisap dadanya dengan tak terkendali sehingga kembali tercetak cupang membiru di atas putingnya. "Crraatt!" Dengan muncratan terakhirku, aku pun melemas dan kami ambruk bersama-sama di atas kasur. Aku pun menjatuhkan diri di samping Riska yang juga telah tergolek lemas.

Kami diam tergeletak beberapa saat dengan napas tersengal-sengal. Lalu aku memandang Riska yang menggairahkan itu dan membelai-belai rambutnya. Dia pun menoleh memandangku dan kami sama-sama tersenyum bahagia. Lalu, kami pun berbaring berpelukan.

“Suamimu pasti masih menonton kita. Apakah kita akan melanjutkannya?” Tanyaku.

“Ya, aku mau … Biarkan saja dia terus menyaksikan kita. Dia senang kok.” Ujar Riska penuh semangat.

“Kalau begitu, buat adikku bangun lagi.” Pintaku.

Dengan senang hati Riska menggapai penisku yang masih setengah terjaga. Urutan dan pijatannya membuat kejantananku kembali bangun dan tegang. Tanpa membuang waktu, kami pun memulai ronde kedua dengan Riska berada di atas tubuhku. Kami terus berpacu mengejar kenikmatan demi kenikmatan. Berbagai gaya bercinta kami lakukan. Riska terkejut dengan staminaku yang prima, kejantananku dengan mudah kembali tegang tak lama setelah klimaks. Malam itu entah berapa kali Riska mengalami orgasme sehingga ia kehabisan tenaga dan akhirnya wanita itu tertidur pulas.

Aku menatap Riska yang tertidur dengan senyuman kemenangan. Untuk masalah yang satu ini, aku tidak pernah kalah oleh wanita manapun. Cahaya lampu kamar hotel, menerangi wajahnya yang tenang. Aku menengok ke smartphone Riska yang diletakkan di meja kecil samping tempat tidur. Aku tahu Heri masih standby di seberang sana.

"Apakah kamu masih di sana, Heri?" Tanyaku.

"Ya." Bisiknya dengan suara serak.

"Riska kelelahan dan perlu tidur sekarang. Aku akan mengirimnya pulang besok pagi setelah aku menidurinya lagi. Tidak apa-apa?"

"Ya."

"Selamat malam, Heri. Tidurlah yang nyenyak."

"Selamat malam."

Setelah menutup teleponku, aku segera menyambungkan ponsel Riska ke pengisi daya karena baterainya hampir habis. Saat itulah, aku memutuskan untuk berbaring di samping Riska. Dia terlihat begitu damai dalam tidurnya yang tenang. Tanpa ragu, aku meraih tubuhnya yang hangat dan memeluknya erat. Mata kami pun sama-sama terpejam, meresapi keheningan malam. Dalam keheningan itu, penisku bersentuhan dengan bokongnya, hampir saja aku melakukan lagi 'kekerasan' padanya. Segera aku menarik diri, menyadari betapa pentingnya menghormati dan menjaga batas-batas yang ada. Meskipun begitu, aku tetap merasa nyaman, merangkul tubuhnya seolah-olah aku adalah suaminya.


********


Badanku digoyang-goyang oleh tangan yang lembut, dan refleksku langsung membuka mata. Di sebelahku, Riska duduk gelisah, matanya memandangku dengan ekspresi khawatir. Aku bangkit dan duduk di atas kasur lalu menatap wajahnya dengan mata yang masih setengah tertutup oleh kantuk.

“Ada apa?” Tanyaku.

“Aku seharusnya pulang tadi malam." Jawab Riska.

“Kamu langsung tidur semalam. Tapi aku sudah memberitahukan Heri kalau kamu akan pulang pagi ini setelah aku menidurimu lagi. Dia bilang tidak apa-apa.” Jelasku.

“Dia menonton sepanjang waktu? Oh, ini gila. Pasti dia menganggapku pelacur.” Ucap Riska semakin gelisah.

“He he he … Kamu bukan pelacur karena aku tidak membayarmu untuk seks.” Kataku sambil terkekeh.

“Gak lucu tau?!” Riska memanyunkan bibirnya.

“Ha ha ha … Kamu jangan mengkhawatirkan suamimu. Aku sudah bilang kamu akan pulang pagi ini. Dan aku juga mengucapkan selamat malam kepadanya kemarin. Dia baik-baik saja.” Kataku.

“Aku tidak tahu bagaimana perasaannya. Aku kasihan … Aku sudah melukai hatinya …” Riska mendesah.

“Riska, aku rasa kamu perlu menghilangkan perasaan bersalah itu. Bagaimana pun juga, semua ini terjadi atas kehendaknya. Heri akan baik-baik saja, percayalah. Temui Heri seakan ini adalah sesuatu yang normal dan wajar. Bersikaplah pada Heri seperti yang kamu lakukan sehari-hari sebelum kejadian ini terjadi.” Aku coba menghiburnya.

“Aku tahu, tapi rasanya sulit, ya. Suamiku pasti merasa tidak enak.” Ujar Riska sendu.

“Percayalah, Heri tidak akan merasa tidak enak. Dia sangat menerima apa yang telah kita perbuat. Ayo, coba untuk bersikap normal dan hilangkan rasa bersalahmu.” Tegasku.

“Iya, aku akan mencoba. Tapi tetap saja, rasanya sulit meyakinkan diri.” Ungkap Riska sembari menatapku.

“Kamu pasti bisa, Riska. Ingatlah, Heri mengerti dan menerimanya. Jadi, jangan terlalu khawatir.” Kataku lagi sambil tersenyum.

Aku dan Riska kemudian mandi bersama, suasana yang penuh keakraban terasa di kamar mandi. Setelah itu, kami bersiap-siap dengan ceria untuk berangkat ke tempat kerja. Proses check-out dari hotel dilakukan dengan cepat, dan kami pun melangkah ke arah tempat kerja sambil bercengkrama ringan.

Hari ini, semangatku untuk bekerja begitu membara, seolah energiku berlipat-lipat. Semalam bersama Riska meninggalkan kesan yang mendalam di hatiku. Tak pernah terbayangkan sedikit pun, aku bisa meniduri wanita bersuami seperti Riska. Pengalaman pertama bercinta dengan wanita bersuami semalam itu terasa begitu membekas di jiwa, menciptakan pengalaman berharga yang tak terlupakan. Ada semacam candu yang merayapi hati, suatu sensasi yang sulit diungkapkan dengan kata-kata saat bercinta dengan wanita yang sudah bersuami. Bercinta dengan wanita single itu hal biasa, bercinta dengan wanita yang sudah bersuami baru luar biasa.


*******


Malam baru saja menyapa di daerah Selatan Kota Jakarta. Aku asik menyaksikan siaran langsung pertandingan sepakbola antara Timnas Indonesia dan Timnas Vietnam. Senang dan puas merayakan kemenangan tipis Timnas kesayanganku atas Vietnam. Sambil tersenyum puas, aku menenggak kopi yang sudah dingin hingga tuntas, menikmati momen kemenangan itu dengan bahagia. Ketika aku hendak bangkit dari sofa setelah mematikan televisi, smartphone di saku celanaku berdering dan bergetar. Aku ambil alat komunikasiku dan ternyata itu adalah panggilan dari Riska.

“Hallo …” Sapaku pada Riska di seberang sana.

Aku duduk sedikit lebih tegak dan merasakan penisku mulai menegang. “Ya, Riska, ada yang bisa aku bantu?”

“Kamu harus dengar kabar baikku, Bas …” Ucap Riska penuh keceriaan.

“Syukurlah … Aku akan mendengar kabar baik.” Responku setengah bercanda. “Apa itu kabar baikmu?” Tanyaku kemudian.

“Ini tentang Heri, Bas …” Ucapnya.

“Apakah dia bersamamu sekarang?" Tanyaku.

"Tidak, dia ada di ruangan lain. Dia sedang menerima tamu di ruang tamu.”

"Apakah dia tahu kalau kamu sedang berbicara denganku?"

“Ya … Aku bilang padanya kalau aku akan memberitahumu keadaan kami baik-baik saja.”

“Dan, bagaimana dengan Heri?” Tanyaku penasaran.

“Tadi aku ngobrol sama Heri, kata-katamu benar. Dia sangat menerima kejadian kemarin malam antara kita berdua. Malah, dia senang banget nontonin kita di kamar hotel. Tapi, dia kayaknya pengen tahu detail banget, deh. Banyak banget pertanyaan dari suamiku.” Kata Riska yang terdengar sangat bahagia.

“Seperti apa pertanyaannya?”

“Dari yang simple sampe yang kompleks. Dia nanya, kayak, gimana sih dirimu sebenernya? Nikmatin nggak? Terus dia juga tanya apakah aku ada rencana ketemu kamu lagi, dan yang paling penting, apakah aku masih cinta sama dia.”

“Dan apa jawabanmu?”

“Tentu saja aku bilang kalau aku masih cinta samanya. Aku jelasin kalau ini cuma seks, hanya seks, bukan menggantikan hubungan kami. Dia juga tanya, apakah aku mau tidur lagi sama dia nggak?"

“Terus, apa jawabanmu?” Aku semakin antusias mendengar cerita Riska.

“Aku bilang ke dia kalau aku nggak akan bercinta lagi sama kamu tanpa seizin dia sebagai suamiku. Jelasin juga kalau ini bukan tentang mencintai orang lain, tapi lebih kepada seks semata agar aku bisa hamil. Aku bilang padanya kalau aku tidak akan pernah mencintai orang lain selain dirinya. Seks denganmu sebaik apapun itu gak bisa menggantikan posisinya sebagai suamiku.” Jelasnya lagi.

“Aku setuju dengan pernyataanmu. Kita harus hati-hati menghadapi situasi ini.” Kataku.

Saat aku menyadari bahwa Heri memiliki sesuatu yang menyimpang, timbul perasaan kasihan yang sulit dijelaskan. Situasinya terasa sangat tidak menguntungkan baginya, dan melihatnya dalam keadaan seperti itu membuatku merasa perlu untuk bertindak. Aku ingin berkontribusi untuk memperbaiki situasi yang tengah dialaminya, aku tidak bisa meninggalkan pria itu begitu saja, meskipun aku belum tahu pasti bagaimana caranya.

"Apa Heri ngaceng waktu kamu bicara tentang seks kita?" Tanyaku.

“Nggak tahu Bas … Hi hi hi …” Jawab Riska lalu terkikik pelan.

“Kok gak tahu?” Aku ingin kepastian.

“Dilihat dari gelisah-gelisahnya waktu aku cerita kayaknya sih dia terangsang. Aku sih lihat nafasnya yang cepet dan mukanya yang agak memerah. Tapi waktu aku ngajak dia gituan, dia menolak. Alasannya dia masturbasi berkali-kali waktu nonton kita. Dia gak sanggup bercinta denganku.” Jelas Riska gamblang.

“Kalau sekarang?” Tanyaku semakin dalam.

"Dia masih belum bisa ereksi."

"Apakah kamu tidak keberatan jika aku berbicara dengan Heri sekarang?"

“Kamu tidak akan mempermalukannya, kan?”

“Tentu tidak … Aku hanya ingin mengatakan sesuatu yang mungkin bisa meringankan beban dia saja.”

“Oh ya? Bagaimana caranya?”

“Makanya aku ingin bicara dengannya …”

“Oh … Itu dia datang …” Tiba-tiba Riska berkata pada suaminya dengan suara samar di telingaku, dan tak lama terdengar suara Heri di seberang sana.

“Hallo …” Sapa Heri padaku.

“Hai kawan … Bagaimana keadaanmu hari ini?” Tanyaku seakrab mungkin.

“Aku baik.” Jawabnya.

“Heri … Apa kamu yakin perasaanmu baik-baik saja?”

“Ya, aku sangat baik.”

“Heri … Aku akan mengatakan sesuatu yang terdengar kasar dan menyakitkan. Tapi, aku tidak bermaksud menyakitimu, aku ingin memberimu wawasan saja, agar kamu bisa mengambil tindakan yang diperlukan.” Aku coba menjelaskan maksudku secara perlahan.

“Hhhmm … Apa yang ingin kamu katakan?” Tanya Heri dengan suara datar.

“Apakah kamu siap dan tidak akan marah setelah mendengarkan ucapanku?” Tanyaku ingin kepastian.

“Ya, aku berjanji tidak akan marah.” Ucapnya terdengar penuh keyakinan.

“Baiklah … Dengarkan baik-baik agar tidak salah paham.” Aku menjeda ucapanku sambil memikirkan kata yang tepat. “Heri … Aku tahu kalau kamu memiliki kelainan yang tidak umum, yang dalam bahasa sehari-hari sering disebut sebagai 'cuckold.' Aku yakin kamu mengerti apa yang aku maksud. Aku khawatir, jika kelainan ini dibiarkan berkembang tanpa kendali, misalnya Riska berhubungan dengan banyak pria dan kamu hanya menonton, ada kemungkinan besar kalau Riska bisa jatuh hati pada salah satu dari mereka dan meninggalkanmu. Apakah kamu pernah memikirkan kemungkinan ini, Heri?" Kataku jelas dan lugas.

“Hhhmm … Kamu benar dan aku tidak sampai memikirkan hal itu,” Jawabnya sendu.

“Riska adalah wanita yang cantik, banyak pria yang menginginkannya, dan aku paham kalau sebagai suami, kamu mungkin merasa khawatir. Namun, aku ingin kamu tahu bahwa tidak perlu khawatir dengan diriku. Meskipun aku menyukai Riska, aku tidak pernah memiliki niat untuk memilikinya. Aku bukan tipe orang yang suka menikah, dan aku lebih suka menjalani kehidupan tanpa terikat pada satu pasangan. Aku suka main perempuan, tidak bisa membatasi diri hanya pada satu atau dua orang saja. Jadi, aku ingin menegaskan padamu bahwa Riska akan tetap aman bersamaku dan tetap menjadi istrimu." Jelasku lagi.

“Aku percaya padamu.” Respon Heri lemah.

"Heri, aku yakin cintamu pada Riska sangat mendalam, sampai kamu bersedia berkorban dengan mengijinkan Riska tidur bersamaku hanya untuk membuktikan sejauh mana rasa cintamu padanya. Namun, aku ingin memberikan sebuah peringatan. Jika kamu tidak memberikan nafkah batin yang layak bagi Riska, aku khawatir ada orang lain yang mungkin menggantikan posisimu. Riska mencintaimu, itu aku tahu, tapi kamu juga harus mempertimbangkan segala kemungkinan dan tetap waspada. Ingatlah, jika kamu tidak memenuhi kebutuhannya, tidak menutup kemungkinan Riska akan pergi bersama orang yang bisa memberikannya." Kataku mantap.

“Jadi apa saranmu.” Heri seperti pasrah.

“Aku siap membantu menjaga Riska untukmu, mulai dari saat ini sampai dia hamil dan mungkin melahirkan nanti. Aku ingin memastikan bahwa Riska tidak terlibat dengan laki-laki lain selain kamu dan aku. Jadi, izinkan aku tinggal bersamamu. Kamu bahkan bisa menonton saat aku berhubungan seks dengan Riska di rumahmu sendiri, dan mungkin kita akan menidurinya bersama-sama. Aku berpikir, dengan cara ini, kita bisa melindungi pernikahanmu. Dia akan memperoleh kebutuhan batinnya dariku, sementara kamu masih memberikan kasih sayang, perhatian, dan pengabdian yang seharusnya. Aku yakin, dengan cara ini, Riska tidak akan mencari kebahagiaan di tempat lain. Aku juga akan terus menjalani hubungan seks dengan wanita lain, dengan menggunakan kondom, agar kamu tahu bahwa aku tidak terikat secara emosional dengan Riska. Selain itu, aku akan mendorongmu untuk terus memberikan nafkah batin untuk istrimu, sehingga kamu tetap menjadi bagian dari proses kehamilan Riska.” Jelasku.

Terjadi keheningan selama beberapa detik. Sepertinya Heri sedang mencerna kata-kataku. Aku paham bahwa ini adalah keputusan yang sangat sulit baginya. Aku memberinya beberapa detik tambahan untuk berpikir, tetapi ketika suaranya tak kunjung terdengar, aku akhirnya memutuskan untuk melanjutkan pembicaraan.

"Heri, aku tidak mengharapkan kamu mengambil keputusan sekarang. Aku tahu ini adalah langkah besar dan sulit bagi dirimu. Aku ingin kamu memikirkannya dengan matang, pertimbangkan segalanya. Semuanya aku serahkan sepenuhnya padamu. Yang terpenting, aku berharap kamu menjaga dirimu dan kesehatanmu. Aku juga menyarankan agar kamu bercinta sesering mungkin dengan istrimu yang cantik itu, karena seks adalah cara mempererat hubungan suami istri dalam kehidupan keluarga. Aku berharap kamu dapat menemukan keputusan yang terbaik untukmu dan Riska." Kataku sambil memutuskan sambungan telepon.

Aku benar-benar merasa ingin membantu dan memberikan dukungan padanya dalam menghadapi situasi rumit ini. Namun, aku sadar bahwa usulanku mungkin tidak akan diterima dengan mudah. Meskipun begitu, aku tak berkeberatan jika akhirnya Heri tidak memilih jalur yang kusarankan. Langkah-langkah dalam membantu Heri telah aku tawarkan, dan sekarang aku memutuskan untuk memberinya ruang dan waktu untuk memikirkan semuanya. Semoga ia bisa menemukan jalan keluar yang terbaik bagi kebahagiaannya.

Mengamati layar smartphone yang menunjukkan pukul 21.30 malam, aku menyadari bahwa saatnya istirahat sudah tiba. Tubuh dan pikiranku butuh waktu untuk beristirahat. Dengan langkah santai, aku melangkah menuju kamar tidur, berharap semuanya akan membaik untuk Heri dan Riska.
BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd