Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG PENABUR BENIH (CUCKOLD INSIDE)

Bimabet
CHAPTER 13
BAHAYA



BASTIAN POV


Suasana remang-remang dan alunan musik lembut menciptakan suasana romantis di restoran ini. Hanya beberapa orang yang mengisi meja, membuat aku dan Neti bisa menikmati hidangan makan malam dengan tenang. Neti terlihat sangat cantik malam ini. Gaun brokatnya yang berwarna biru tua membuatnya tampak begitu anggun dan elegan. Rambutnya yang dibiarkan terurai menambah kesan feminin. Aku tak henti-hentinya mengamati wajahnya yang menawan di bawah cahaya lampu. Sambil makan, pikiranku sudah melayang-layang. Aku membayangkan kami berada di tempat yang lebih privasi, hanya berdua denganku. Aku ingin memeluknya, ingin merasakan kehangatan tubuhnya, dan berbagi kenikmatan bersamanya.

"Bajumu bagus banget malam ini, Net ... Warnanya cocok banget sama kamu." Kataku sambil menatapnya lekat.

“Oh … Padahal baju lama tapi aku jarang memakainya.” Neti tersenyum.

“Gak kelihatan baju lama. Sungguh cocok banget. Biru tua gitu bikin kamu keliatan … Seksi …” Aku memujinya dengan sedikit sentuhan kata-kata sensual.

“Lebay ah kamu.” Senyuman Neti semakin mengembang.

“Enggak lebay. Beneran. Apalagi rambut kamu dibiarin lurus gitu. Kesannya jadi tambah ..." Sengaja aku menggantung kata-kataku.

“Tambah apa?” Terlihat Neti mengangkat alisnya.

“Tambah ….” Aku menjeda lagi sambil menatap matanya. “Mengairahkan …” Lanjutku pelan.

“Duh … Ternyata kamu pintar ngegombal.” Pipi Neti sedikit merona.

"Nggak gombal. Seriusan. Kamu cantik banget dan menggairahkan malam ini, Net." Ucapku sambil tersenyum.

"Makasih, Bas. Kamu juga rapih malam ini." Katanya sambil tertunduk malu.

“Rapi? Ganteng kali …” Candaku.

“Hi hi hi … Dasar pede! Udah ah, makanannya keburu dingin.” Neti pun terkikik dan mengalihkan pembicaraan.

Makan malam berlanjut dengan candaan-candaan sensual. Sesekali Neti tertawa kecil menanggapi candaanku. Suasana romantis semakin terasa saat pelayan mengantarkan hidangan penutup. Lilin kecil di atas piring berkilauan, memantulkan cahaya di mata Neti yang penuh gairah. Aku menggenggam tangan Neti, merasakan kelembutan kulitnya yang membangkitkan hasrat dalam diriku.

"Kau cantik malam ini," bisikku, menatap Neti dengan penuh arti. Neti membalas tatapanku dengan senyuman menggoda.

"Terima kasih," jawabnya dengan suara lirih. "Kau juga terlihat tampan."

Hening menyelimuti kami, namun keintiman yang terjalin terasa begitu kuat. Semua keintiman ini, membuatku merasa penuh dengan emosi yang tak bisa kuungkapkan. Birahiku seakan bangkit menggeliat meminta untuk dipuaskan. Ya, aku ingin merasakan kehangatan tubuh seksinya.

"Bagaimana kalau kita..." Aku memulai kalimatku dengan ragu.

"Bagaimana kalau apa?" tanya Neti dengan penuh harap.

"Bagaimana kalau kita... menghabiskan malam ini bersama?" Aku menyelesaikan kalimatku dengan penuh keberanian.

Neti terdiam sejenak, seolah menimbang tawaranku. Namun, keraguannya sirna seketika saat melihat tatapan penuh gairah di mataku.

"Baiklah," jawabnya dengan suara pelan.

Aku mencium tangannya mesra lalu mengajaknya pergi dari tempat ini. Bersama-sama, kami berjalan menuju hotel yang terhubung dengan restoran. Tanganku melingkari pinggangnya, erat dan penuh makna. Setelah check in kamar hotel, kami bersama-sama menuju kamar hotel yang kami sewa. Di dalam kamar hotel, suasana semakin memanas. Gairah yang tertahan selama ini akhirnya terlepaskan. Neti dan aku menjelajahi tubuh masing-masing dengan penuh kelembutan dan gairah. Satu persatu pakaian kami lepas dari tubuh kami dan kami bercumbu di ranjang.

Neti menarik kepalaku ke arah buah dadanya, aku menyusu di dada Neti, mulutku melahap buah dadanya yang besar dengan rakus. Neti pun mendesah-desah saat jemariku bermain di kewanitaannya yang lembab. Tangan kiriku memberikan sentuhan di klitorisnya, aku pilin dan kugoyang ujung jariku di sana.

“Oh, Bas … Aku gak tahan lagi … Masukin aku Bas …” Rengek Neti sambil meremas-remas rambutku.

Tentu saja aku tak berani membantah. Kuatur posisiku sedemikian rupa hingga kepala rudalku tepat pada sasarannya. Aku tekan pinggulku agar kejantananku melesak masuk ke rongga kenikmatan Neti. Desahan manja lolos dari mulut Neti saat penisku masuk membuka liangnya. Meski sudah puluhan kali melakukannya, namun selalu berhasil membuatku merasakan nikmat menguar hebat. Lubang nikmat Neti dipenuhi secara sempurna, sementara penisku diapit rapat oleh dinding lembut vaginanya.

“Oh … Ini nikmat sekali …” Gumam Neti.

“Kalau begitu, akan kutunjukkan sesuatu yang lebih nikmat daripada ini.” Kataku.

Setelah itu, aku benar-benar menempati janjiku. Penisku masuk dengan keras lalu bergerak dengan cepat. Tubuh Neti tersentak ke atas ke bawah dengan gerakan amat sensual. Aku tak pernah diam selama penisku terus menghujam semua sudut dalam lubang peranakan Neti. Wanita di bawahku mengerang penuh kenikmatan, dan aku sangat tahu kalau aku harus melakukannya berulang kali. Aku memanjakan Neti dengan menghantam vaginanya secepat yang aku bisa. Aku ingin Neti benar-benar merasakan nikmat di dalam sana.

“Aaahh … Aaahh … Aaahh … Terusss … Aaaahh … Ennaaakk Baaass …” Erang Neti.

Mendengar erangan Neti, aku memompa vagina Neti semakin cepat dan tanganku meremas payudaranya yang sangat keras. Setiap hentakan penisku, menusuk-nusuk liang senggama Neti sampai titik terdalam. Neti kini menjerit-jerit kenikmatan. Penisku terus menggesek titik kenikmatannya. Memalu vaginanya dengan sangat brutal. Hal itu membuat vagina Neti semakin dibanjiri cairan kental, lendir cintanya semakin banyak menetes di pahanya. Tak ayal, perjalanan penisku di lubang nikmat itu semakin lancar.

Lenguhan demi lenguhan terus keluar dari mulut Neti sampai akhirnya kurasakan tubuhnya mengejang dan bergetar dengan mengeluarkan teriakan yang tidak bisa ditahan dari mulutnya, akhirnya dia menggelepar sambil memeluk tubuhku erat-erat seolah tidak ingin lepas dari tubuhnya, karena pelukannya itu aku jadi terhenti dari kegiatanku. Beberapa saat kemudian Neti melepaskan pelukannya dan terkulai lemas, tapi aku melihat sebuah senyuman puas di wajahnya dan itu membuat aku merasa puas. Kali ini aku belum mengeluarkan jurus andalanku karena aku merasa masih jauh dari ejakulasi, mungkin akibat spermaku yang dihabiskan oleh Eva.

“Gimana?” Bisikku.

“Enak sekali Bas ...” Jawabnya pelan.

“Kita pake gaya yang lain ya?”

“Emm …”

Kubangunkan tubuhnya dan kugerakkan untuk membelakangiku, kudorong pundaknya dengan pelan sampai dia menungging di hadapanku, kumasukkan kejantananku ke dalam lubang senggamanya dan dia mengeluarkan teriakan kecil.

“Aaahh … Bas, enak sekali, dorong terus ...”

Aku keluar masukkan kemaluanku ini ke dalam tubuhnya dengan irama yang semakin lama semakin kupercepat, lama juga aku melakukan itu sampai akhirnya dia berkata “Bas … Aku mau lagi ... Aaaahh …”

Kurasakan getaran-getaran halus lewat pinggulnya yang sedang kepegang, menahan gelora nafsunya yang membahana. Tubuh Neti tiba-tiba mengejang lagi yang menandakan dia orgasme untuk kedua kalinya.

“Akhhhh… Okkhhhhh… Datang… Nikmat…” Gumam Neti dengan desahannya yang erotis.

Saat inilah aku mengeluarkan jurus andalanku dengan segera memijat urat seks di pinggul Neti.

Vagina Neti menurutku agak sempit, aku lumayan sulit menggerakkan penisku walau vaginanya sudah basah kuyup. Vagina Neti terasa nikmat yang membuat aku melayang. Syaraf-syaraf dan otot-otot vagina Neti memijit penisku. Neti pun seperti cacing kepanasan menggoyangkan pantatnya tidak beraturan yang membuat penisku keluar-masuk dengan ritme tidak beraturan.

“Akkhh… Oookhh…” Desah Neti sambil mengejang karena dia orgasme ketiga kalinya dalam waktu kurang dari lima menit dari orgasme keduanya.

Dan cairan Neti yang keluar kali ini agak memudahkan aku melakukan gerakan penisku di vaginanya. Neti menjatuhkan kepalanya ke bantal dan merenggangkan kedua pahanya untuk lebih memudahkan aku menggerakkan penisku. Aku kocok vaginanya berirama, kadang pelan kadang cepat yang semakin membuat Neti merintih.

“Akhh… Teruus nikmat.. Yaa…”

Aku semakin bersemangat dengan gaya doggie style ini aku merasa nikmat dan pantat Neti mengikuti irama goyanganku. Penisku terlumuri cairan vaginanya. Aku memasuk-keluarkan penisku dengan keras dan cepat, terdengar suara senggama kami, suara becek makin terdengar seiring dengan suara benturan biji penisku. Tak lama, otot vagina Neti mengedut dan aku yakin Neti orgasme lagi untuk keempat kalinya.

“Ah… Bas... Aku... Keluar laghiii...” Erangnya, dengan pantatnya ditahan ke belakang, lalu aku pun sama menghentakkan pantatku ke depan, arah yang berlawanan supaya dia benar-benar menikmatinya. Penisku tertekan lebih dalam lagi ke lobang vaginanya.

Aku semakin meningkatkan irama keluar masuk batang kemaluanku pada vagina Neti. Suara senggama kami mengiringi dengan alunan lembut. Selang lima menit, puncak kenikmatan itu kucapai sempurna, “Creet… Croot… Creet…”

“Ouuugghh… Aaaacchh… Aaaakkhh…” Jerit nikmat Neti sambil menggelepar-gelepar lunglai.

Aku membaringkan diri di samping Neti. Tanganku merengkuh tubuh Neti yang tertelengkup tanpa tenaga seraya memeluknya erat. Aku cium keningnya dua kali kemudian aku kecup kedua pipinya. Dalam keadaan terpejam, bibir Neti melengkung ke atas membentuk sebuah senyuman.

“Terima kasih.” Lirihku.

Neti membuka mata dan menatapku lembut, “Kamu luar biasa. Aku belum pernah merasakan seperti tadi.”

“Kamu akan selalu merasakannya denganku.” Godaku sambil menempelkan keningku di keningnya.

Neti bergerak dan membalas pelukanku dengan menyamping, “Aku beruntung mengenalmu. Aku ingin selalu bersamamu.”

“Aku juga …” Balasku.

Kami pun berciuman sebelum akhirnya melanjutkan permainan panas kami ke ronde berikutnya. Malam ini kami bercinta hingga dua kali lagi, membuat rahimnya berkali-kali harus menampung spermaku. Aku terbaring di sampingnya setelah melepaskan nikmat yang tiada tara. Neti tersenyum sambil menatapku dan memelukku, lalu kami tertidur dengan perasaan puas.

*********

Untung saja hari ini adalah hari Sabtu. Kalau tidak, mungkin aku harus beralasan lagi pada perusahaan untuk tidak masuk kerja. Aku bangun tidur saat jam menunjukkan pukul 08.30 pagi, itu pun setelah Neti membangunkanku. Rasanya baru saja aku memejamkan mata, dan kini aku sudah harus bersiap untuk meninggalkan hotel ini. Aku dan Neti kemudian mandi dan berpakaian. Sesaat setelah itu, kami pun check out dari hotel. Kami menyempatkan diri untuk sarapan di sebuah kafe kecil di dekat hotel. Sambil menikmati roti bakar dan secangkir kopi hangat, kami menghabiskan sisa waktu sarapan dengan berbincang-bincang ringan.

“Bas … Apakah seorang sepertiku pantas mendapatkan cinta tulus dari seseorang?” Tanya Neti sangat berharap, ada tanda penasaran dan ekspresi yang susah dipahami.

"Emang kenapa?” Aku balik bertanya.

“Aku ini seorang wanita peliharaan yang mungkin kamu menilaiku rendahan. Kehidupanku penuh kemewahan. Aku memiliki semua yang aku inginkan. Rumah yang besar, mobil yang mewah, pakaian yang branded. Tapi...” Neti menjeda ucapannya sambil menundukan kepala.

“Tapi apa?” Tanyaku penasaran.

“Tapi aku tidak merasakan cinta di sana. Aku selalu merasa kesepian. Kemewahan yang kumiliki tak mampu mengisi kekosongan di hatiku. Aku merindukan cinta yang tulus, cinta yang murni, cinta yang mampu menghangatkan jiwa dan raga.” Jelasnya sembari mengangkat wajahnya menatapku.

“Aku turut prihatin mendengarnya.” Responku.

“Terima kasih, Bastian. Tapi sekarang ... Aku merasakan cinta yang murni.” Katanya membuatku deg-degan.

“Benarkah?” Aku pura-pura tak merasakan getaran hatinya.

“Ya. Aku ingin mencintai dan dicintai. Suatu perasaan yang sudah lama tidak pernah aku rasakan. Aku ingin merasakan kehangatan cinta yang menyelimuti hati dan jiwaku.” Jawabnya.

“Aku senang kamu menemukannya.” Kataku sambil memberinya senyuman.

“Dan... aku ingin kamu tahu, Bastian...”

“Ya, Neti?”

“Aku mencintaimu, Bastian. Aku mencintaimu dengan segenap hatiku. Aku mencintaimu dengan ketulusan dan kemurnian yang tak pernah aku rasakan sebelumnya.” Wanita di hadapanku menatapku dengan tatapan sedih.

“Neti...” Gumamku lalu terdiam. Sungguh, aku tak tahu harus menjawab apa.

“Aku tahu aku tidak pantas untukmu. Aku hanya wanita biasa dengan masa lalu yang kelam.” Suara Neti semakin sendu saja.

“Neti, masa lalumu tidak penting bagiku. Yang penting adalah bagaimana perasaanmu sekarang. Aku merasakan cintamu, dan itu yang terpenting.” Kataku mencoba menghalau kesedihannya.

“Tapi …”

“Neti, aku...”

Neti langsung menempelkan telunjuknya ke bibirku, “Bastian … Kamu tidak perlu membalas perasaanku. Aku hanya ingin kamu tahu apa yang ada di hatiku. Aku ingin kamu tahu bahwa aku telah merasakan cinta yang murni untuk pertama kalinya dalam hidupku.”

“Aku sangat menghargai kejujuranmu, Aku juga sangat tersanjung dengan pengakuanmu. Tetapi aku malah sedih karena aku takut tidak bisa membahagiakanmu. Kehidupanku sangat jauh dengan kehidupanmu. Aku gak yakin bisa menghidupimu karena aku hanya pegawai biasa dengan penghasilan pas-pasan.” Kataku.

"Bastian, aku ingin menegaskan lagi kalau aku tidak mengharapkan balasan cinta darimu. Aku sudah bahagia dengan kamu mau menemaniku," kata Neti dengan suara lirih namun tegas.

Aku meraih tangannya dan berkata, “Kamu wanita yang unik … Aku berjanji akan membuatmu selalu bahagia.”

Kami saling melempar senyum. Dalam momen obrolan ini, tanganku setia menggenggam dan mengusap tangan Neti. Sejujurnya, aku menyukai Neti, tetapi aku takut mencintainya. Mencintai seseorang adalah hal terberat yang aku dapat lakukan di hidupku. Menurutku, untuk bisa mencintai seseorang, manusia harus melakukan banyak hal di luar kemampuannya sendiri. Mencintai berarti membiarkan seseorang masuk ke dunia masing-masing individu dan siap menerima kehadiran orang lain yang bisa mengindahkan atau sebaliknya memporak-porandakan dunia seseorang. Dengan seratus satu juta kemungkinan yang ada, aku selalu kebingungan mencari langkah untuk yakin bisa mencintai seseorang.

Selama ini aku menganggap cinta hanyalah ilusi yang diciptakan oleh manusia untuk menghibur diri mereka dari kesepian dan ketakutan. Cinta hanyalah permainan hormon, sebuah reaksi kimiawi yang menipu manusia untuk percaya pada sesuatu yang tidak nyata. Pandangan ini bukan tanpa alasan. Aku telah melihat banyak contoh hubungan yang gagal, pernikahan yang retak, dan hati yang hancur akibat cinta. Aku melihat bagaimana orang-orang terjebak dalam ilusi kebahagiaan dan kasih sayang, hanya untuk kemudian dikecewakan dan disakiti.

Bagi diriku, konsep cinta tidak masuk akal. Bagaimana mungkin perasaan sesaat dapat mengikat dua orang selamanya? Bagaimana mungkin dua orang yang berbeda dapat benar-benar memahami dan mencintai satu sama lain? Aku lebih memilih untuk hidup dengan logika. Aku menjalin hubungan dengan orang lain berdasarkan keuntungan bersama, bukan cinta. Meskipun banyak orang yang tidak memahami prinsip hidupku, aku tidak peduli. Aku telah menemukan kebahagiaan dan kedamaian dalam hidupku tanpa cinta. Aku tidak perlu ilusi untuk merasa bahagia.

“Neti … Bolehkah aku bertanya sesuatu yang sangat pribadi?” Tanyaku.

“Apa itu?” Tanya Neti.

“Aku ingin tahu laki-laki yang menjadi suamimu sekarang.” Jawabku.

“Hi hi hi … Dia bukan suamiku, bas, tapi yang memeliharaku.” Neti malah terkikik.

“Aku tidak ingin menyebutnya laki-laki yang memeliharamu, kesannya gimana gitu. Aku akan menganggap dia suamimu.” Kataku yang bermaksud agar Neti tidak terlalu mendesakku nantinya.

“Hhhhmm … Baiklah … Namanya Burhan. Dia pengusaha dan pengelola casino di tengah laut. Maksudku dia mempunyai casino di sebuah kapal pesiar. Aku dan peliharaan-peliharaannya yang lain sangat termanjakan oleh penghasilannya itu.” Jelas Neti membuat mataku terbuka lebar.

Jadi … Burhan mempunyai beberapa lagi wanita peliharaan?” Tanyaku ingin keyakinan.

“Ya … Ada empat lagi wanita sepertiku.” Jawabnya membuatku melongo. “Hei … Biasa aja kali …” Ujar Neti sambil mengibaskan telapak tangannya di depan mukaku.

“Beruntung sekali suamimu itu …” Kilahku sambil tersenyum. “Pasti wanita-wanitanya cantik-cantik, seperti kamu.” Kataku setengah bercanda.

“Hi hi hi … Aku bahkan merasa paling jelek di antara yang lain.” Ucap Neti sembari terkekeh ringan.

“Aku gak percaya … Kamu yang pasti yang tercantik …” celotehku sambil memanyunkan bibir.

“Ihk …! Aku gak bohong, Bas. Aku yang paling jelek.” Sanggah Neti serius.

“Coba lihat foto-foto istri Burhan yang lain. Baru aku bisa menilainya.” Kataku masih kurang percaya.

“Oke …” Ujar Neti sambil mengambil smartphone dalam tas tangannya.

Neti mulai membuka galeri foto di ponselnya. Jari telunjuknya menari di layar, menyingkap rahasia wanita simpanan Burhan. Wajahku sedikit menegang, penasaran dengan wanita-wanita yang telah terjerat pesona dan kekayaan Burhan. Foto pertama menampilkan seorang wanita cantik dengan rambut panjang terurai. Senyumnya merekah, memancarkan aura keanggunan dan kedewasaan. Neti menyebutnya Ratna, wanita simpanan Burhan yang tertua dan paling lama bersamanya.

"Ratna sudah bersama Burhan hampir lima tahun," Neti menjelaskan, suaranya datar tanpa emosi. "Dia boleh dibilang pemimpin kami. Burhan sangat menyayanginya."

Foto berikutnya menunjukkan wanita yang lebih muda dengan rambut pendek dan mata yang tajam. Neti memperkenalkannya sebagai Firda, simpanan Burhan terlama kedua setelah Ratna.

"Firda adalah seorang model," kata Neti. "Dia ambisius dan haus akan harta. Burhan menjanjikannya kehidupan yang mewah makanya dia mau menjadi simpanan Burhan."

Jantungku berdebar kencang saat Neti membuka foto berikutnya. Di layar muncul wanita cantik dengan senyum manis dan lesung pipi yang menawan. Dia adalah Sinta, wanita yang menurutku paling cantik di antara semua simpanan Burhan yang telah Neti perlihatkan padaku.

"Sinta adalah seorang penyanyi kafe," Neti menjelaskan. "Dia memiliki suara yang indah dan Burhan terpesona olehnya."

Saat Neti memperlihatkan foto terakhir, mataku terbelalak seperti ingin meloncat keluar dari kelopaknya. Jantungku seakan berhenti berdetak, dan darahku membeku, membuat seluruh tubuhku menggigil saking terkejutnya. Di layar ponsel Neti, dengan sangat jelas aku melihat wajah Riska. Wajah yang selama ini aku rindukan, yang menghilang tanpa kabar berita dalam beberapa minggu terakhir ini. Pikiranku terhenti sejenak, berusaha memahami apa yang terjadi di hadapanku. Rasa bingung dan kaget bercampur aduk dalam hatiku. Bagaimana bisa Riska menjadi salah satu simpanan Burhan?

“Namanya Riska. Riska adalah wanita terakhir yang datang. Sebenarnya Riska adalah wanita yang Burhan sukai sejak mereka muda. Kata Burhan, Riska adalah cinta pertamanya. Riska diambil dengan paksa oleh Burhan.” Jelas Neti sambil terus menatap layar ponselnya.

“Pa..paksa? Maksudmu?” Tanyaku sambil menetramkan hati.

“Burhan menjebak suaminya dengan terus berjudi dan terus memberinya pinjaman. Sampai suami Riska benar-benar tidak bisa membayar hutangnya pada Burhan. Ya, dan kemudian Burhan berhasil mengambil Riska dari suaminya.” Jelas Neti sembari mengembalikan ponsel ke dalam tas tangannya.

Aku segera membenahi perasaan terkejutku agar tidak menimbulkan kecurigaan Neti. Aku mengatur nafas perlahan-lahan sambil berusaha menenangkan diri dari gejolak yang melanda. Senyum terbaikku terukir di bibir, berusaha menutupi badai yang berkecamuk di dalam hati. Walaupun pikiranku penuh dengan rasa penasaran yang membuncah, namun aku memutuskan untuk menyembunyikannya. Aku harus tetap tenang. Aku tidak ingin Neti mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

“Bagaimana hubungan kalian? Maksudku hubunganmu dengan simpanan Burhan yang lain?” Tanyaku.

"Hubungan kami? Oh, kami seperti keluarga. Saling mendukung dan penuh rasa persaudaraan. Kami tidak pernah bersaing atau cemburu satu sama lain. Kami saling memahami dan menghormati. Mungkin terdengar aneh bagi orang luar, tapi kami benar-benar peduli satu sama lain. Kami saling membantu dalam kesulitan dan berbagi kebahagiaan bersama." Jawab Neti dengan senyum tipis.

Mendengar penjelasan Neti, aku merasakan sedikit kelegaan di hati. Mengetahui bahwa Riska tidak sendirian dan memiliki teman yang baik, sedikit meringankan beban di hatiku. Kami terdiam sejenak, menikmati secangkir kopi yang tersisa. Aku masih memiliki banyak pertanyaan, tetapi aku tahu Neti tidak akan bisa menjawab semuanya.

“Sekarang, apa rencanamu?” Tanya Neti.

“Aku tidak mempunyai rencana apa-apa.” Jawabku.

“Sebenarnya aku masih ingin bersamamu. Tapi, hari ini ada sesuatu yang harus aku kerjakan.” Ucap Neti dengan nada penyesalan.

“Kita masih punya hari besok, Net … Kita bisa bertemu lagi besok.” Kataku.

“Ya … Aku akan meneleponmu.” Neti pun berdiri sambil tersenyum.

Akhirnya kami pun berpisah. Neti meninggalkan aku yang berdiri di pelataran parkir. Mobil mewahnya melaju dengan anggun, menggambarkan kehidupan wanita itu yang glamor. Setelah mobil Neti tak terlihat, aku segera menghampiri mobilku dan melaju meninggalkan kafe dengan pikiran yang kusut masai. Percakapan dengan Neti barusan masih terngiang jelas di telingaku. Wajah Riska yang muncul di layar ponsel Neti terus menghantui pikiranku. Banyak sekali pertanyaan yang ingin aku ajukan padanya. Aku ingin tahu apa yang terjadi padanya selama ini. Pertanyaan demi pertanyaan terus berputar di kepalaku. Satu hal yang pasti, aku tidak akan tinggal diam. Aku harus mencari Riska dan mendapatkan jawaban atas semua pertanyaanku.

########


RISKA POV


Siang ini udara terasa bersahabat. Sinar mentari yang hangat menembus jendela kamarku, membawa aroma segar yang menenangkan. Sejuknya angin sepoi-sepoi membelai rambutku, membangkitkan semangat untuk memulai hari. Setelah puas dengan penampilanku di depan cermin, aku melangkah keluar dari kamar. Seperti biasa, aku menuju mini bar di lantai satu. Di sana, aku sudah disambut oleh Ratna, Firda, Neti, dan Sinta. Mereka tampak ceria, tawa mereka memenuhi ruangan. Senyum lebar menghiasi wajah mereka, seakan-akan mereka baru saja mendapatkan lotre dengan nilai miliaran.

Aku pun segera bergabung, duduk di sofa dan menyapa mereka dengan senyuman. Obrolan mengalir begitu saja, dari topik ringan tentang film terbaru hingga cerita lucu tentang berbagai hal. Tawa dan canda mewarnai momen kebersamaan kami. Beberapa saat kemudian, Firda, Nita, dan Sinta memutuskan untuk bermain biliar. Aku dan Ratna memilih untuk tetap di bar mini, menikmati suasana yang lebih tenang sambil menyesap minuman favorit kami. Diiringi alunan musik yang santai, kami bertukar cerita tentang kehidupan pribadi kami sehari-hari. Ratna banyak bertanya tentang latihan menembak dan tarung derajatku. Dan tiba-tiba saja aku teringat kebersamaan Neti dan Bastian.

“Semalam Neti tak ada di sini. Apakah kamu tahu kemana dia pergi?” Tanyaku dengan nada datar.

“Dia menginap di hotel dengan gebetannya.” Jawab Ratna santai lalu menyesap minuman yang tinggal setengah gelas lagi.

“Oh …” Gumamku pura-pura tak peduli.

“Ah … Aku berani bertaruh, Neti akan membuang laki-laki itu gak bakal sebulan lagi.” Kata Ratna dengan nada penuh keyakinan.

“Kok bisa?” Tanyaku penasaran.

“Neti itu lagi punya keinginan. Dia ingin membeli tanah di kampung halamannya seluas satu hektar. Dia pasti akan menukar gebetannya dengan uang dari Burhan.” Jawab Ratna membuatku semakin penasaran.

“Aku gak ngerti … Apa maksudnya?” Tanyaku sambil memperbaiki duduk.

“Maksudku, dia akan menjual gebetannya pada Burhan. Biasanya Burhan akan membeli satu orang dengan harga satu milyar. Kalau gak salah, Neti sudah nyetor ke Burhan lima orang, dan gebetannya yang sekarang adalah yang keenam. Entah berapa lagi yang dia perlukan?” Jelas Ratna yang sukses membuat jantungku berdebar kencang.

“Oh, begitu?” Gumamku tak percaya bercampur panik.

“Kamu harus tahu … Semua kita kalau memerlukan uang yang sangat banyak, caranya memberikan orang pada Burhan. Burhan akan membayar satu orang seharga satu milyar.” Ratna tersenyum padaku.

“Hhhhmm …” Aku pura-pura tersenyum sambil mengangguk-angguk kepala. “Nah, Burhan apain tuh orang itu?” Sekarang aku bertanya karena benar-benar ingin tahu.

“Biasanya Burhan menjual ginjalnya ke China.” Jawab Ratna.

Aku merinding mendengar penjelasan Ratna. Tak menyangka kehidupan damai dan tenang di istana ini ternyata menyimpan sisi gelap yang begitu mengerikan. Tentu saja, aku merasa terpanggil untuk menyelamatkan Bastian. Bagaimana pun juga, dia adalah sahabatku. Selain itu, dia juga adalah ayah dari jabang bayiku yang sedang aku kandung. Otakku berputar dengan cepat, mencari cara untuk menyelamatkan Bastian dari nasib tragis yang sedang mengancamnya. Meskipun aku tahu bahwa tindakan semacam itu akan membawa risiko besar bagi diriku sendiri, tetapi aku tidak bisa membiarkan Bastian menjadi korban dari kekejaman Neti dan Burhan.

Hatiku memang dipenuhi dengan ketegangan dan kekhawatiran akan nasib Bastian, namun aku mencoba menjaga sikap tenang dan mengendalikan setiap gerakanku. Tak lama, aku berpamitan kepada Ratna untuk berlatih menembak di belakang istana. Segera saja aku berjalan ke arena latihan menembak, tetapi raut wajah Gunawan tidak terlihat di antara keramaian. Aku bertanya pada salah seorang yang sedang berlatih menembak, dan mendapat informasi bahwa Gunawan sedang tidak enak badan dan berada di kamarnya. Tanpa ragu, aku melangkah cepat menuju kamar pelatihku itu. Setelah mengetuk kamarnya beberapa kali, pintu kamar Gunawan terbuka perlahan. Tanpa menunggu izin, aku memasuki kamarnya. Kamar itu tampak kacau balau, aku berdiri sambil menggeleng-gelengkan kepala.

“Maaf … Berantakan …” Ujar Gunawan sambil mulai merapihkan kamarnya.

“Ini bukan berantakan, tapi kapal pecah.” Kataku.

Tanpa banyak bicara, kami berdua merapikan dan membersihkan kamar yang berantakan ini. Aku menata buku-buku dan peralatan latihan menembak dengan rapi di rak, sementara Gunawan dengan cermat merapikan tempat tidurnya yang sempat kacau balau. Kamar yang semula dalam keadaan berantakan, kini menjadi bersih dan teratur dengan cepat.

“Terima kasih …” Ucap Gunawan sambil tersenyum malu.

“Kemarilah!” Kataku pada Gunawan yang masih berdiri di tengah kamar.

Gunawan berjalan mendekatiku yang tengah duduk di sisi ranjangnya. Saat Gunawan hendak duduk di sisiku, aku segera menahannya agar tetap berdiri.

“Berdirilah di depanku!” Kini aku memerintah Gunawan.

Dengan patuh, Gunawan berdiri di depanku. Kepalaku sejajar dengan pinggangnya. Tanpa ragu, tanganku dengan cepat meraih karet celana pendek yang ia kenakan, lalu dengan keras menariknya ke bawah. Gunawan tampak cukup terkejut oleh tindakanku, namun sebelum ia bisa bereaksi, aku mengambil tindakan lebih lanjut. Aku menghentikan Gunawan untuk menarik kembali celananya ke atas dengan memukul tangannya. Gunawan berdiri kaku di hadapanku, wajahnya mencerminkan kebingungan dan ketidakpercayaan atas apa yang aku perbuat.

Aku meraih penisnya yang layu dengan tangan kananku lalu kukocok hingga kurasakan penis itu mengeras. Tak lama, aku mengambil penis Gunawan dengan mulutku. Aku senang mendengar rintihan nikmat Gunawan. Penis itu berdenyut-denyut di mulutku, mengeras, membesar. Dengan buas, aku menghisap kepala yang merah muda itu, seperti mengulum lolipop. Karena penisnya sudah menjadi panjang dan besar, aku melingkarkan jari-jariku yang lentik. Ketika ujung ibu jari dan jari tengah bertemu, pas melingkari penis yang kokoh ini. Aku mulai menyukai urat-uratnya, guratan-guratannya. Terasa enak ketika lidahku menyapu di sepanjang batang yang indah ini.

Aku melumat penis Gunawan. Meluncur deras dalam mulutku. Aku kocok penisnya sembari aku keluar masukan penisnya dari mulutku. Gunawan nampak menikmati sekali merasakan seponganku. Dia meracau sembari tangannya menekan-nekan kepalaku.

“Aaaahh, Ris … Aaaaahh …” Ucapnya terus meracau nikmat.

Aku himpit kuat-kuat penisnya dengan bibirku dan aku keluar masukan penisnya secara terus menerus. Aku terus mengulum penis Gunawan dengan penuh nafsu. Gunawan pun selalu meracau sepanjang aku mengulum penisnya. Sekitar lima belas menit berselang, terasa tanda-tanda Gunawan akan menembakan spermanya, dan aku pun semakin beringas mengocok penis Gunawan dengan mulut dan tanganku.

“Aaaahh … Ris … Akkkuuuu …..” Tubuh Gunawan mengejang.

Aku merasakan semburan spermanya di dalam mulutku, begitu hangat dan banyak. Aku yang tidak ingin terkotori oleh sperma Gunawan, aku telan habis spermanya hingga tak bersisa.

“Sana mandi!” Perintahku setelah benar-benar selesai.

“Oh … I..iya …” Jawabnya tergagap.

Gunawan berjalan ke kamar mandi, sementara aku mengambil sebotol air mineral dari dalam kulkas kecil di pojok kamar. Rasa amis di mulutku mulai mengganggu, dan dengan cepat aku menenggak air mineral tersebut untuk menetralkan rasa di mulutku yang terasa amis. Sambil menunggu Gunawan selesai mandi, aku berdiri di depan jendela kamar, memperhatikan pemandangan di luar. Meskipun pemandangan di luar sana begitu damai, namun pikiranku tak dapat lepas dari kekhawatiran tentang Bastian. Aku benar-benar tidak ingin Bastian mengalami hal yang buruk.

“Apakah kita akan latihan?” Tiba-tiba terdengar suara Gunawan.

Aku menoleh ke belakang, tampak Gunawan telah mengenakan pakaian, “Cepat berdandan! Aku akan mengajakmu ke suatu tempat.” Lanjutku.

“Kita mau kemana?” Tanya Gunawan.

“Nanti, kamu akan tahu.” Kataku sembari berjalan keluar kamar dan menunggu Gunawan di depan kamarnya.

Beberapa menit berselang, aku dan Gunawan sudah berada di jalan raya dengan menggunakan mobilnya. Dalam perjalanan, aku menegaskan pada Gunawan untuk mengikuti saja perintahku tanpa bertanya banyak. Meskipun ia tampak ragu, namun dengan patuh Gunawan berhenti bertanya dan diam, hanya mengikuti setiap petunjuk yang kuberikan untuk mengarahkan mobilnya. Setelah satu jam lebih berkendaraan, aku menyuruh Gunawan menepikan mobil di tepi jalan yang lumayan sepi.

“Kamu lihat rumah itu …” Kataku sambil mengarahkan pandangan ke kaca jendela mobil.

“Ya … Apa kamu kenal dengan pemilik rumah itu?” Tanya Gunawan.

“Aku sangat mengenalnya. Pemiliknya adalah sahabatku dan dia dalam bahaya.” Jawabku sambil menoleh ke arah Gunawan.

“Bahaya?” Gumam Gunawan dengan ekspresi terkejut.

“Aku ingin kamu menemui sahabatku itu dan bilang padanya agar menjauh dari Neti. Tapi, jangan bilang padanya kalau aku yang mengatakan hal ini. Aku ingin kamu merahasiakan keberadaanku darinya.” Kataku lagi.

“Sebentar … Aku ingin jelas ceritanya seperti apa, supaya aku tak salah bercerita pada sahabatmu itu.” Ungkap Gunawan.

Aku menatap Gunawan, kata-kata perlahan terucap, menceritakan tentang rencana kejam Neti untuk menjual Bastian kepada Burhan. Semua detail yang aku ketahui kuungkapkan, membiarkan Gunawan memahami setiap lapisan kecemasanku. Setelah aku selesai menceritakan semuanya, aku melihat ekspresi yang penuh pertimbangan di wajahnya. Setelah beberapa saat, Gunawan akhirnya mengangguk, memberiku tanda bahwa ia mengerti akan keresahanku.

“Kalau begitu … Aku akan memarkirkan mobil agak jauh.” Ujar Gunawan.

Aku mengangguk setuju dan mobil pun bergerak menjauh rumah Bastian. Gunawan memarkir di depan taman kompleks yang hanya berjarak beberapa puluh meter saja dari rumah Bastian. Setelah itu, Gunawan turun dari mobil lalu bergerak ke rumah yang baru saja aku tunjukkan padanya.

########


BASTIAN POV


Siang itu, suasana di ruang tengah rumahku terasa hangat dan nyaman. Aku, Eva, dan Anton duduk bersama, mengobrol dengan santai sambil menikmati secangkir teh hangat. Senyum hangat terukir di wajah kami, suara tawa ringan terdengar di ruangan ini, mengisi suasana dengan keceriaan yang menyenangkan. Namun, tiba-tiba terdengar suara bel pintu berbunyi beberapa kali, menghentikan keceriaan kami. Dengan malas, aku bangkit dari tempat dudukku dan berjalan ke depan untuk membuka pintu.

Di balik pintu, seorang pria bertubuh tinggi dan berwajah tampan berdiri dengan senyuman lembut yang terukir di bibirnya. Saat mata kami bertemu, ia langsung menundukkan sedikit badannya sebagai tanda penghormatan. Tanpa ragu, aku membalas pria itu dengan melakukan hal yang sama.

“Maaf sudah mengganggu. Apakah saya sekarang sedang berhadapan dengan Bastian?” Tanya pria tersebut.

“Benar …” Jawabku dengan terkejut karena pria ini mengetahui namaku.

“Oh … Kebetulan sekali … Em, ada sesuatu yang ingin saya bicarakan dengan Mas. Apakah Mas Bastian ada waktu?” Tanya pria itu sangat ramah. Dari sikapnya aku tidak mungkin menolak permintaan pria ini.

“Silahkahkan masuk …” Aku membuka pintu lebar-lebar.

“Bagaimana kalau kita bicara di sini saja.” Si pria malah menunjuk kursi teras.

“Oh, baiklah.” Jawabku sambil mempersilahkan si pria duduk di salah satu kursi teras.

“Perkenalkan … Nama saya Tirta. Saya adalah orang yang satu atap dengan Neti.” Katanya yang untuk kedua kalinya aku terkejut.

“Jujur saja ya Mas … Aku kok dibuat terus terkejut oleh Mas Tirta. Sebenarnya ada apa ya?” Tanyaku yang ingin langsung pada intinya.

“Sebelum saya menceritakan apa yang sebenarnya sedang terjadi. Bisakah Mas Bastian berjanji untuk tidak memberitahukan apa yang akan saya katakan ini pada Neti?” Pintanya sangat serius.

“Ya … Saya berjanji …” Jawabku penuh keyakinan.

“Terima kasih …” Ucapnya sambil membetulkan posisi duduknya. “Ketahuilah, Neti adalah wanita yang berbahaya. Dia mempunyai niat untuk menjual Mas Bastian kepada seseorang untuk diambil ginjal Mas Bastian. Saya sarankan agar Mas Bastian menjauh dari Neti.”

“Apa? Mas Tirta tidak sedang melucu, kan?” Tanyaku dengan jantung berdebar hebat.

“Mas … Saya dan Neti hidup di istana kegelapan. Saya sangat tahu apa yang terjadi di dalam istana itu. Saya merasa kasihan saja sama Mas Bastian. Saya tidak ingin orang tidak bersalah menjadi korban kekejaman dari penghuni istana itu. Saya berani mengambil risiko kehilangan nyawa saya dengan memberitahukan hal ini pada Mas Bastian karena saya termasuk orang yang tidak setuju dengan praktik kejahatan ini. Sebaiknya, Mas Bastian percaya pada kata-kata saya dan menjauh dari Neti. Maaf Mas, saya tidak bisa lama-lama. Saya takut ada yang mengetahui saya di sini.” Katanya sambil berdiri.

“Terima kasih atas informasinya …” Kataku sambil ikut berdiri.

Aku memandang kepergian orang itu sampai tak terlihat lagi oleh indera penglihatanku. Instingku mulai bereaksi, aku menyangka Riska bersama orang itu. Bagaimana mungkin orang yang baru kenal bisa mengetahui nama dan alamat rumahku? Tanpa ragu, aku berlari ke gerbang dan mengintip. Perlahan, aku berjalan mengikuti pria itu, berusaha tidak diketahui sembari sesekali bersembunyi di balik gerbang rumah tetanggaku. Tak berapa lama kemudian, aku melihat pria itu memasuki sebuah mobil, dan benar saja, aku melihat seorang wanita bersamanya. Tanpa menyia-nyiakan waktu, aku segera mencatat nomor polisi mobil tersebut dalam ponselku dan mengingat merek serta warnanya. Dalam sekejap, mobil itu meluncur pergi, meninggalkan diriku dengan berjuta pertanyaan yang menggelitik di benakku.

Sekarang aku tahu, Riska sedang berusaha menyelamatkanku. Tetapi, pertanyaan yang mengganggu terus berputar di benakku, kenapa dia tidak mengatakannya sendiri padaku? Kenapa dia seolah menghindari diriku? Meskipun demikian, keberanian dan kasih sayang yang ia tunjukkan membuat hatiku hangat. Walau kehidupannya sekarang diliputi misteri, ternyata Riska masih memikirkan keselamatanku. Setelah beberapa saat berpikir dan merenung, akhirnya aku memutuskan untuk kembali ke rumah.

Dari informasi yang aku dapatkan, kini aku tahu kalau hidupku dalam bahaya besar. Aku tidak bisa mengabaikan kekhawatiran ini, terutama karena informasi itu datang dari seseorang yang selama ini aku percayai sepenuhnya. Dan kini aku harus berhati-hati juga menyusun siasat agar aku bisa selamat sekaligus bertemu dengan Riska.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Langsung absen
Nice updet huu:beer:
trimakasih updatenya
Terima kasih suhu....
Emang boleh cerita seseru ini 🤔
suwun apdetane kangmas @Nice4
Mantap lah...
Lnjut.....
Pasang alarm aja kayaknya
makasih tuk update nya
Semakin menarique..
Suwun om ...ijin :baca: dulu ya om @Nice4
suwun barengan :Peace:
Makasih updatenya suhu
Sama-sama hu ... Maaf yang nulisnya sambil ngantuk, agak belepotan ceritanya ...
:beer:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd