Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG PENABUR BENIH (CUCKOLD INSIDE)

Bimabet
CHAPTER 11
TERJERAT


RISKA POV


Aku meraba langkahku dengan hati-hati di dalam kegelapan hutan yang rapat. Cahaya bulan hanya menyelinap melalui rerimbunan pepohonan. Suara daun kering yang hancur di bawah langkah kakiku menambah suasana semakin tegang. Senter yang kugenggam erat memberikan sinar yang terbatas, mengungkapkan pohon-pohon tua yang menjulang tinggi dan batang-batang yang berserakan di sepanjang jalur setapak. Gunawan, yang berada di depanku, memegang senapan sniper dengan penuh kewaspadaan. Kami berdua dikelilingi oleh keheningan hutan malam, hanya dipecahkan oleh suara desiran angin dan beberapa suara hewan hutan yang tidak terlihat.

Aku melihat di depan sana, keempat orang pemburu yang pergi bersamaku bergerak dengan sigap, menjaga jarak antara satu sama lain, dan sepertinya mereka sedang mengintai sesuatu. Salah satu dari mereka melambaikan tangan memberi tanda agar aku dan Gunawan cepat menghampirinya. Kami pun berjalan cepat dan tak lama orang tersebut menunjuk ke sebuah arah. Saat senterku menyinari sebuah celah antara pohon-pohon besar, mataku menangkap sesuatu yang bergerak di kegelapan. Dengan perlahan, kuarahkan senapan sniper yang telah kusiapkan. Cahaya senterku memantul di pipa senapan, memberikan kilauan yang mengesankan.

“Tembak!” Bisik Gunawan memerintah padaku.

Dengan ketegangan yang melonjak, satu tembakan merobek keheningan malam. Suara dentuman senapan menggetarkan hutan, diikuti oleh suara daun yang terinjak-injak. Seekor babi hutan, yang sebelumnya tak terlihat, roboh ke tanah dengan tubuhnya yang besar. Saat itu, kegelapan hutan terkoyak oleh cahaya senter yang kembali menyinari tempat kami berdiri. Kami berhasil menaklukkan malam yang gelap dan berbahaya, dan keberhasilan itu tercermin di mataku yang penuh kepuasan.

“Mantap …!” Seru salah satu pemburu sambil berdiri di sisi babi hutan yang tergeletak tak bernyawa.

“Bawa … Kita kembali ke kemah.” Perintah Gunawan lalu mengajakku kembali ke kemah.

Langkah kami terus menembus hutan yang lebat, cahaya bulan menyinari jalur setapak yang sudah kami lalui. Gunawan berjalan di depanku, senapan sniper tetap siap di tangan kami. Setiap suara yang terdengar di hutan seakan-akan menjadi sinyal peringatan bagi kami. Meskipun dalam perjalanan pulang, tetapi rasa waspada masih melekat, mengingat kami masih berada di wilayah yang alami dan liar.

Jejak-jejak kaki kami memandu kami keluar dari belantara pohon-pohon dan semak belukar. Saat kami mendekati tepi hutan, suara ombak yang menghantam pantai mulai menggema. Cahaya bulan menerangi pasir pantai, dan kemah kami terlihat sebagai tempat peristirahatan di bawah kegelapan malam. Kami memasuki area terbuka, mengikuti jejak pasir yang membawa kami kembali ke kemah. Senter kami mengarah ke tenda, menyoroti jalan kami tanpa mengungkapkan terlalu banyak rahasia malam. Suara angin laut dan deburan ombak menambah kesan pulang yang nyaman setelah perburuan malam yang penuh tantangan.

Aku dan Gunawan memutuskan untuk membuat api unggun. Kami mulai mengumpulkan kayu-kayu kering dan dedaunan kering untuk membuat api unggun. Sambil duduk di dekat api unggun yang mulai berkobar, kami menyiapkan peralatan untuk membuat kopi. Kami saling berbagi tugas, Gunawan memasang ketel di atas api unggun yang semakin membara, sementara aku membuat adonan kopi. Sambil menunggu air mendidih, kami menikmati kehangatan api unggun dan berbagi cerita di bawah langit malam yang dipenuhi bintang.

“Nanti babi tadi mau diapain. Gun?” Tanyaku sambil terus menatap lurus ke arah api unggun yang ada di depan kami.

“Paling dijual sama anak-anak. Lumayan lah buat beli rokok mereka.” Jawab Gunawan santai.

“Dijual? Dijual kemana?” Tanyaku heran.

“Tak tau lah … Aku gak pernah ikut campur urusan mereka.” Kata Gunawan sembari tersenyum padaku.

Hening sejenak sebelum aku berkata lagi, “Gun … Apakah kamu punya keluarga?”

“Maksudmu?” Tanya Gunawan sambil menoleh padaku.

“Maksudku … Apakah kamu punya anak dan istri?” Ulangku dengan pertanyaan lebih jelas.

“Tidak … Aku tidak beristri. Aku masih sendiri.” Jawabnya dan kembali mengatur kayu dan ranting pada api unggun.

“Aku pikir kamu cukup mudah untuk mendapatkan istri. Kamu tampan kok …” Kataku dengan senyum dikulum.

“Makasih … Tapi aku belum berniat mempunyai istri untuk saat ini. Aku belum siap karena pekerjaanku yang seperti ini.” Jawabnya dengan suara tertekan.

“Kenapa pekerjaan menjadi alasanmu untuk tidak beristri?” Tanyaku penasaran.

“Pekerjaanku nyerempet-nyerempet bahaya, Ris … Aku gak ingin nanti istriku apa-apa. Kamu tahu sendiri kan, kita itu hidup di dunia yang gak pasti. Nyawa kita selalu terancam dan bisa lepas kapan saja. Aku tidak ingin risiko ketidak-pastian ini menimpa pada anak dan istriku.” Jelas Gunawan.

“Aku memang belum lama bersama Burhan. Tapi, menurutku kehidupan kita baik-baik saja.” Aku coba menelisik lebih dalam.

“Kamu harus tahu, Ris … Dunia kita sebenarnya dunia yang sangat gelap. Kita berada di dunia kriminal yang kejam. Setiap langkah yang kita ambil, setiap keputusan yang kita buat, membawa risiko besar. Ancaman dan bahaya selalu mengintai. Organisasi rahasia, intrik politik, dan konspirasi yang melibatkan kekuatan besar. Kita mungkin saja menjadi sasaran atau terjebak tanpa kita sadari." Jelas Gunawan sedikit membuka wawasanku.

Sementara kami duduk di dekat api unggun, kehangatan api unggun menjadi kontras dengan dinginnya realitas yang dijelaskan oleh Gunawan. Dengan mata serius, Gunawan memberi penggambaran tentang dunia mafia yang kelam. Dia merinci kehidupan di balik tirai, di mana setiap langkah dan keputusan membawa risiko besar. Dunia ini penuh dengan bahaya yang mengintai setiap saat. Kepercayaan dapat hilang dalam sekejap, dan pengkhianatan tumbuh seperti bara api yang tak terduga.

“Bahkan di antara sekutu terdekat, pengkhianatan bisa tumbuh seperti bara api yang tak terduga. Kita hidup di dunia yang penuh intrik dan rahasia, di mana pertahanan diri dan kecerdikan adalah kunci kita untuk bertahan." Gunawan menutup penjelasannya.

“Apakah sekeji itu, Gun? Kok bisa sekutu menjadi pengkhianat?” Tanyaku lumayan terkejut dengan penjelasan Gunawan tersebut.

"Kepercayaan terkadang bisa dihancurkan oleh orang yang paling kita percayai. Kita harus tetap waspada, siap akan pengkhianatan yang bisa muncul kapan saja. Sahabat bisa menjadi ancaman terbesar, dan dalam dunia yang keras ini, kita harus belajar membaca setiap tanda dan menjaga tindakan kita. Aku akan kasih contoh peristiwa yang pernah terjadi. Dua tahun yang lalu, ada selir Burhan bernama Intan. Dia menyukai laki-laki bernama Sena, dan ternyata Intan ditelikung oleh Ratna. Ratna ternyata menaruh hati pada Sena. Intan difitnah dan dijebak oleh Ratna. Akhirnya Intan dibuang oleh Burhan dan entah bagaimana nasibnya sekarang. Ris, di antara selir-selir Burhan terkadang ada persaingan. Kamu harus berhati-hati dan selalu membaca situasi dengan cermat. Contoh peristiwa itu hanya salah satu dari banyak kejadian di dunia kita yang penuh dengan intrik dan pengkhianatan. Persaingan di antara selir-selir Burhan hanya bagian kecil dari dunia yang kita jalani. Dalam permainan ini, Ris, kita harus tetap waspada terhadap bujukan dan godaan. Kita tidak pernah tahu apa yang ada di belakang senyuman manis atau kata-kata ramah mereka." Kata Gunawan dengan ekspresi serius.

“Oh … Begitu ya …” Lirihku dengan jantung berdebar.

Gunawan pun melanjutkan kata-katanya, "Ingatlah, Ris, dalam dunia yang keras ini, kekuatan dan naluri adalah pelindung terbaik. Jangan mudah terperangkap dalam jaring pengkhianatan. Saat kita menikmati momen seindah apapun, kita juga harus sadar kalau dunia kita adalah medan perang yang sangat berbahaya.”

Di dalam alam pikiranku, terbentang lanskap yang gelap. Pikiranku dirundung oleh kekhawatiran, di mana kepercayaan dapat hancur dalam sekejap, dan setiap tindakan bisa menjadi pemicu konsekuensi yang tak terduga. Dunia yang tampaknya indah ternyata menyembunyikan kekejaman yang tak kasat mata. Ya benar kata Gunawan, kekuatan dan ketajaman naluri menjadi senjata utama di kehidupanku yang baru ini.

Suasana tenang kami terpecah ketika empat orang pemburu tiba, membawa beban berupa sekarung daging babi hutan yang baru saja mereka potong-potong. Kami berenam akhirnya berkumpul di sekitar api unggun, menikmati secangkir kopi yang hangat sambil bercerita tentang pengalaman malam ini. Tak terasa, waktu berlalu dengan cepat, dan seiring matahari mulai muncul di ufuk timur, cahaya pagi menyinari wajah-wajah kami yang berseri-seri.

Kami pun akhirnya memutuskan untuk kembali ke daratan. Perlahan, perahu boat yang membawa kami meluncur melalui gelombang yang tenang menuju pelabuhan. Perahu berayun-ayun di atas gelombang dengan ritme yang seirama, menciptakan suasana damai di tengah kepenatan setelah berburu. Senyap yang sesekali terputus oleh percakapan ringan dan tawa kecil, menjadi pelengkap perjalanan pulang.

#######


BASTIAN POV

Aku terbangun kesiangan dan melihat jam dinding di kamarku menunjukkan pukul 08.20 pagi. Segera kurasakan kepanikan karena aku sudah terlambat untuk masuk kantor. Dengan langkah terburu-buru, aku meraih smartphone di atas nakas dan segera menghubungi HRD untuk memberitahu bahwa aku tidak dapat masuk kerja karena alasan kesehatan. Setelah mendapatkan izin dari kantor, aku kembali merebahkan diri di atas kasur. Namun, hanya dalam waktu dua menit, tubuhku merasakan kehangatan dan kelembutan, dan tiba-tiba ada sentuhan sensual yang membuat kejantananku merespons.

“Kamu gak kerja?” Tanya Veras dengan suara khas bangun tidur.

“Aku telat.” Jawabku sambil masih terpejam.

“Baguslah, berarti aku bisa merasakan inimu lagi.” Ucap Vera yang kini mulai membelai kejantananku agak keras.

“Em …” Gumamku merasakan reaksi nikmat dari belaian Vera.

Terasa Vera menggerakan badannya dan saat itu pula aku membuka mata. Ternyata Vera sedang mengarahkan mulutnya ke arah penisku. Tangannya menggenggam batang penisku lalu ia mengecup ujung penisku. Tak lama, ia mulai menjilati kepala dan batang penisku sambil dikocok-kocok dengan tangan lembutnya. Vera kemudian memasukan batang penisku ke dalam mulutnya dan kurasakan ia begitu pintar memainkan lidahnya menggelitik penisku.

Disapunya semua permukaan penisku mulai dari bawah hingga ke atas, lidahnya dengan lincah menggelitik setiap mili bagian penisku. Begitu nikmat yang kurasakan, dan tak ayal aku mendesah pelan meresapi kepiawaian Vera memberikan blowjob pada penisku. Setelah beberapa lama Vera puas menikmati ereksiku, ia melepaskan kulumannya.

“Bas … Puaskan aku sekarang ya …” Katanya sambil terlentang di sampingku.

Tanpa berkata-kata, aku segera memposisikan tubuhku di atasnya lalu mengarahkan penisku ke arah vaginanya. Kini penisku telah sampai di mulut vaginanya, kepala penisku menempel di bibir vaginanya yang merah basah. Aku mulai melesakkan penisku ke dalam vagina itu dengan perlahan sambil kunikmati nikmatnya gesekan batang penisku dengan dinding vaginanya. Penisku tidak mengalami kesulitan membelah vagina Vera yang sudah sangat basah. Kulihat Vera juga menikmati hal ini, matanya terpejam meresapi sensasi gesekan alat kelamin kami sambil menggigit-gigit sendiri bibirnya.

Aku mulai menggerakkan pinggulku pelan-pelan. Kurasakan gesekan penisku dengan vaginanya begitu nikmat. Vera seperti biasa, ia mendesah-desah, matanya merem melek kenikmatan. Ia gerakkan pinggulnya mengimbangi permainanku. Sekitar dua puluh menit berlalu, aku menambah kecepatan pompaanku di vaginanya. Terdengar bunyi berkecipak dari gesekan alat kelamin kami, terdengar indah, menggairahkan.

"Aahh… Ssthh… Aarghh… Come on baby… Yess… Lebih cepat…!" Rintihnya sambil mempercepat gerakan pinggulnya mengimbangi gerakan pinggulku.

Setelah berjuang beberapa lama, akhirnya Vera mendapatkan yang diinginkannya. Puas rasanya melihat Vera orgasme sambil menggelepar-gelepar seperti ikan kehabisan air. Ia menghentak-hentakkan kakinya seperti ingin melepaskan sesuatu yang seakan teramat berat. Ia menjerit-jerit dan mengerang-ngerang keras melampiaskan kepuasan yang baru saja diraihnya. Ia gigit pundakku dengan gemas. Pinggulnya terangkat ke atas, tangannya mencengkeram pantatku yang ditekannya ke arah bawah.

"Oh my god, oh my god… Oggh… Yess… Aaww, sshh… Aaaaccchhh…!!" Vera mengerang kenikmatan dan menjerit panjang.

Kurasakan cairan orgasmenya menyiram batang penisku yang terjepit di dalamnya. Beberapa detik lamanya ia dilandai puncak birahi, kurasakan jepitan vaginanya kuat seakan-akan meremas-remas penisku. Saat itulah kedua tanganku memegangi kedua sisi pinggul wanita itu lalu menekan urat seks yang terasa berdenyut-denyut di jariku tanpa menghentikan genjotanku. Tubuhnya terus bergetar lembut, nafasnya mendengus-dengus terputus-putus. Aku terus menghujami vaginanya dengan penisku dengan gerakan yang semakin cepat. Aku melanjutkan gerakan ini sampai aku merasakan orgasmenya berkali-kali dalam waktu yang relatif singkat, tubuhnya terus gemetar, dan cairan vaginanya membanjir.

"Aku mau keluar... Ahh... Sstt..." Desahku.

"Keluarin di dalam aja Bas... Ayo sayangg... Aaahh…" Katanya sambil memelukku sangat erat.

Akhirnya air maniku keluar dengan deras menyembur ke dalam rahimnya. Crat.. Crat.. Crat.. Kurasakan beberapa kali dan liang vagina itu pun semakin banjir, terasa hangat. Kurasakan penisku tegang hebat, serasa memenuhi lubang vagina Vera. Nikmat luar biasa serasa terbang di angkasa. Aku terbaring lemas di atas tubuh Vera. Aku cumbu bibirnya sambil menikmati sisa-sisa kenikmatan yang baru saja kami raih. Kubelai rambutnya sambil kuusap pipi halusnya yang penuh dengan keringat. Penisku terasa mengecil di dalam liang vaginanya. Kurasakan dua buah dadanya menekan lembut dadaku. Beberapa saat kemudian aku turun dari atasnya dan terlentang di samping badan wanita cantik ini.

Setelah sekitar dua menit hening, terdengar suara Vera, “Bagaimana kamu bisa membuatku keluar begitu banyak?”

“Entahlah …” Jawabku sekenanya.

“Kamu punya sesuatu ya, Bas?” Tanya Vera lagi.

“Sesuatu apa? Aku cuma punya kontol saja.” Candaku sambil bangkit dari terlentang dan duduk bersila.

Aku melirik Vera yang terpejam sambil tersenyum. Segera saja aku turun dari tempat tidur lalu berjalan ke kamar mandi. Tanpa berlama-lama, aku langsung membasuh tubuhku dengan air dingin. Tubuhku pun terasa segar dan kembali fit. Selesai mandi aku memakai pakaian dan merapihkan diri, setelah itu aku keluar kamar dan menuju dapur. Kuseduh kopi hitam, kunikmati rasa pahitnya, kuteguk dan kuteguk lagi, hingga ampaslah yang tersisa.

“Hai …” Tiba-tiba suara Eva mengejutkanku.

“Hai juga …” Balasku sambil memberinya senyuman ramah. Kuperhatikan Eva sudah rapi dan wangi.

“Kamu gak kerja?” Tanyanya.

“Aku cuti.” Jawabku berbohong. “Oh ya, tadi malam Anton meneleponku, katanya ponselmu tidak bisa dihubungi. Dia bilang tidak pulang dan akan pulang malam ini.” Lanjutku.

“Ya … Baru saja dia meneleponku.” Respon Eva yang sedang membuat minuman di pantry.

“Bagaimana malammu kemarin?” Tanyaku berbasa-basi.

“Luar biasa, Bas … Ternyata selama ini aku salah menilai. Ya, ternyata memang luar biasa.” Jawabnya setengah mendesah.

“Dunia ini penuh kenikmatan, banyak pilihan, penuh rupa, dan banyak warna. Karena hidup sangat singkat, kita harus menikmatinya sepenuh hati.” Kataku mencoba memasukan pahamku padanya.

“Aku ingin sekali, Bas … Tapi …” Ucap Vera terdengar ragu.

“Tapi apa?”

Eva berjalan sambil membawa gelas kopinya lalu duduk di kursi meja makan tepat di depanku, “Jika saja Anton tahu, apa yang aku lakukan tadi malam, mungkin dia akan menceraikanku saat itu juga. Aku mabuk, berdansa dengan laki-laki lain, diraba, dicium dan lain sebagainya. Aku tidak mau itu terjadi, aku tidak mau Anton menceraikan aku. Aku sangat bahagia hidup dengan Anton. Aku akan selalu berusaha menjaga hatinya.”

“Aku sangat tahu Anton, Va … Dia itu orangnya sangat terbuka dan selalu mau mendengar keluhan orang dengan hati yang terbuka. Kesediaannya untuk memahami sudut pandang orang lain sungguh luar biasa. Aku yakin, dengan logika yang masuk akal, kamu bisa meyakinkan Anton untuk membuka diri terhadap ide open marriage. Bicaralah padanya dengan jujur, sampaikan perasaan dan pandanganmu secara terbuka. Berikan penjelasan yang matang mengenai keinginanmu dan bagaimana hal itu dapat memberikan keuntungan bagi hubungan kalian. Saat berbicara, dengarkan juga apa yang Anton pikirkan dan rasakan. Berikan ruang untuk dialog terbuka dan penuh pengertian.” Jelasku sungguh-sungguh.

“Aku takut, Bas … Aku takut disangka istri tidak setia.” Responnya setengah mendesah.

“Apa aku turun tangan?” Tanyaku sambil tersenyum.

Eva menatapku dalam-dalam, tak lama dia bicara, “Kamu yang membukanya, setelah itu aku yang meneruskan.”

“Oke … Nanti aku akan bicara padanya.” Jawabku sambil menganggukan kepala.

Dalam hatiku, aku tersenyum senang saat menyaksikan perubahan yang terjadi pada Eva dalam waktu yang sangat singkat. Aku sangat senang karena Anton dan Eva akan segera membuka lembaran baru dalam pernikahan mereka, yaitu open marriage. Obrolan kami pun berlanjut, dan aku menyampaikan pemikiranku tentang kebebasan, mengungkapkan bahwa kebebasan itu sangat dekat dengan kesenangan dan kebahagiaan.

Ketika aku menceritakan pandanganku tentang kebebasan, aku tidak bisa tidak memperhatikan perubahan ekspresi di wajah Eva. Tatapan matanya seolah-olah menangkap setiap kata yang aku sampaikan, dan aku merasakan getaran emosi yang bermain di wajahnya. Senyumnya yang tipis dan berbinar-binar mengisyaratkan bahwa kata-kataku telah mencapai hatinya. Semuanya mengungkapkan betapa dia terpengaruh oleh ceritaku tentang kebebasan.

Suasana di dapur sangat nyaman saat aku dan Eva berbincang-bincang. Kami ngobrol serius tapi santai, suara cekikikan ringan terdengar di antara kalimat-kalimat kami. Tiba-tiba, pintu dapur terbuka lebar, Vera dan Renata memasuki ruangan dengan penampilan yang begitu rapi, dan senyuman ceria terpancar dari wajah mereka. Dengan sopan, Vera dan Renata memberikan salam perpisahan kepada kami. Mereka menjelaskan bahwa mereka harus pulang ke rumah masing-masing, karena pukul 14.00 siang nanti mereka akan ada wawancara di sebuah perusahaan. Aku dan Eva memberikan doa dan semangat kepada Vera dan Renata sebelum mereka meninggalkan dapur. Setelah pintu tertutup, suasana kembali tenang, namun kehangatan percakapanku dan Eva masih terasa di ruangan ini.

“Kamu enak sekali ya, Bas … Punya dua cewek cantik temen tidurmu …” Ucap Eva dengan senyum dikulum.

“He he he … Mereka gak bisa lepas sama punyaku, Va …” Candaku mulai menjurus.

“Punyamu itu?” Ucap Eva sambil melirik genit.

“Ya apa lagi? Punyaku ini membuat mereka terpuaskan. Makanya mereka terus datang lagi padaku.” Ujarku diiringi senyum mesum. Aku melihat Eva tersenyum malu-malu.

Tiba-tiba, dering di ponselku berbunyi, pertanda seseorang menelponku. Kulihat sekilas, "Anton" nama suami Eva yang menelpon. Tanpa basa basi lagi aku langsung mengangkatnya.

“Ya, Nton …” Sapaku sambil menatap Eva.

“Apakah Eva ada di sana?” Tanya Anton.

“Ada nih …” Kataku sambil memberikan ponselku pada Eva.

Aku melihat Eva tengah berbicara dengan suaminya menggunakan ponselku. Meskipun aku tidak mengetahui secara pasti apa yang mereka diskusikan, namun terdengar suara tawa terselip di antara percakapan mereka. Setelah sekitar dua menit, percakapan mereka berakhir, dan Eva mengatakan kalau Anton ingin berbicara denganku. Dengan senyum, Eva kemudian memberikan ponseku itu kepadaku.

“Ya, Nton …” Kataku.

“Gimana perkembangannya?” Tanya Anton seperti sedang berbisik padaku walaupun dia harusnya tahu kalau Eva tak bisa mendengar suaranya karena speaker ponsel tidak aktif.

Aku memutar otak karena tak mungkin aku bicara hal ini di depan Eva. Akhirnya aku mendapat ide, “Nton … Em, aku ingin bicara serius denganmu.”

Hening sejenak sebelum akhirnya Anton berkata di seberang sana, “Ya … Silahkan …”

“Gini Nton … Apakah kamu gak marah kalau Eva menginginkan variasi dalam pernikahan kalian?” Tanyaku sambil menatap Eva yang kini menatapku dengan mata terbuka lebar.

“Maksudnya?” Tanya Anton entah serius atau pura-pura tak mengerti.

Aku berdiri lalu berjalan ke halaman belakang sambil berkata, “Jadi gini, Nton …”

Aku bergerak menuju halaman belakang dengan sengaja, menjauhi Eva agar bisa berbicara dengan Anton tanpa diawasi. Setelah merasa dalam jarak yang aman, aku langsung menyambung pembicaraanku.

“Nton … Eva sudah siap. Tapi, dia malu bicara samamu.” Kataku agak pelan.

“Oh, jadi dia mau?” Tanya Anton.

“Ya, Nton … Dia mau membuka perkawinannya denganmu.” Kataku.

“Bagus kalau begitu. Thank ya Bas.” Ucap Anton senang.

“Ya gak cukup dengan terima kasih dong.” Kataku.

“Terus? Aku harus bayar gitu?” Cerocos Anton.

“Nton … Kamu kan tahu, kalau aku ngebet banget sama istrimu … Aku minta izinmu …” Kataku sambil tersenyum sendiri.

“Terserah kamu saja!” Anton pun memutuskan sambungan telepon.

Aku merasa puas melihat hasil usahaku mengubah Eva sesuai dengan harapanku. Segera saja aku kembali ke dapur, di mana Eva menatapku dengan wajah penuh tanda tanya. Tanpa ragu, aku bergerak ke arahnya, menarik tangannya, mengajaknya ke ruang tengah. Di sana, aku duduk bersebelahan dengan Eva, merangkul pinggangnya dengan hangat.

“Suamimu bilang setuju. Artinya Anton siap membuka perkawinannya denganmu.” Kataku.

“Serius?” Eva melotot memandangku.

“Gimana kalau kita buktikan?” Aku menantang Eva.

“Caranya?” Tanya Eva.

Tanpa meminta izin terlebih dahulu, aku semakin mengeratkan pelukanku. Dengan keyakinan tinggi, telapak tanganku nekat memegang buah dada Eva yang terbalut pakaiannya. Hatiku bersorak riang saat Eva tak menggeser tanganku. Tanpa menunggu lama, aku mengambil smartphone dan mengabadikan momen tersebut dalam sebuah foto. Foto itu segera aku kirim ke Anton, disertai pesan teks di bawahnya yang berbunyi, "Coba tebak, dada siapa ini dan tangan siapa ini?"

“Apa ini akan berhasil?” Tanya Eva penuh keraguan.

“Kita lihat saja.” Jawabku sambil mengedipkan sebelah mata.

Tidak berselang sampai setengah menit, aku mendapat balasan dari Anton berupa foto tangan dengan jempol menyelip di antara jari tengah dan jari telunjuk. Aku pun tertawa ngakak sambil memperlihatkan kiriman foto Anton kepada Eva. Wanita itu pun terkikik pelan.

“Gimana kalau kita kasih dia foto yang lebih panas?” Godaku pada Eva.

“Maksudmu?” Eva menatapku tajam.

“Em … Aku pegang susumu tanpa pakaian.” Jawabku hati-hati dan siap-siap mendapat tamparan darinya.

Tanpa kusangka, dia perlahan membuka kancing-kancing blouse yang ia kenakan. Dalam sekejap, blouse itu sudah terlepas dari tubuhnya. Tubuh indah Eva terbungkus oleh bra berwarna hitam terlihat jelas olehku. Tonjolan buah dada indahnya tampak begitu memikat. Tak berselang lama, bra hitam itu pun terlepas, menampilkan gunung kembar dengan puncak yang menakjubkan. Putingnya tampak tegang berwarna merah kecoklatan.

“Wow!” Gumamku tanpa mengalihkan pandangan pada buah dada Eva yang bulat dan kencang.

“Kamu suka?” Suara Eva mendesah seolah menantang birahiku.

“Tentu saja … Aku sangat menyukainya.” Kataku sambil menggapai dua benda cantik itu.

Aku jamah buah dada Eva dengan kelembutan, kuremas pelan mengundang hormon-hormon yang mengisi ruang buah dadanya sehingga menjadi tegang. Tiba-tiba Eva memijit hidungku keras.

“Katanya mau buat foto!” Ucapnya sambil tersenyum.

“Oh ya …” Kataku.

Sekarang posisiku memangku tubuh Eva dengan tangan kiri melingkari tubuhnya dan telapak tangan memegang buah dada sebelah kiri Eva yang tak tertutupi oleh telapak tanganku. Segera aku memotret tanganku yang sedang meremas lembut benda kenyal itu. Setelahnya, aku bersama-sama Eva mengirim foto itu kepada Anton. Dan lagi-lagi Anton segera membalasnya dengan sebuah emoji “wow”. Aku dan Eva tertawa bersama melihat balasan Anton tersebut.

“Sekarang kamu sudah sah menjadi istri yang binal, Eva. Dan aku sangat suka pada istri binal.” Kataku.

“Hi hi hi … Aku juga suka jadi istri yang binal.” Jawab Eva sembari terkikik.

Kini tanpa ragu lagi, aku menggendong Eva ke dalam kamarku. Di sana aku melucuti seluruh pakaiannya tanpa perlawanan di atas ranjang. Dia begitu pasrah dan mendamba mendapat perlakuanku seperti itu. Aku pun segera melepas seluruh pakaianku lalu membenamkan wajahku di pangkal pahanya.

“Aaaaaahhh …” Eva menjerit saat lidahku menyentuh klitorisnya.

Aku mengunyah-ngunyah kemaluan Eva beberapa saat yang membuat istri sepupuku ini mengerang dan merintih dengan tubuh menggelinjang jalang. Lidahku menyusuri belahan kemaluan yang telah membengkak lantas sekujur permukaan kemaluan yang membukit montok hingga ke sela-sela kedua pahanya.

“Ooooohhh … Baassss ….” Eva mengerang sambil meremas-remas rambutku.

Aku melepaskan ciuman dan jilatanku sejenak untuk melihat kewanitaannya. Tanganku terulur menjamah bagian kewanitaan Eva. Aku merasakan kewanitaannya berdenyut liar, bagai memiliki kehidupan tersendiri. Warnanya yang merah basah, kontras sekali dengan rambut-rambut hitam di sekitarnya, dan dengan tubuhnya yang putih seperti pualam. Dari jarak yang sangat dekat, aku dapat melihat betapa liang kenikmatan Eva membuka-menutup dan dinding-dindingnya berdenyut-denyut. Aku juga bisa melihat betapa otot-otot di pangkal paha Mbak Nurul menegang seperti sedang menahan sakit. Kedua kakinya terentang dan sejenak kaku sebelum akhirnya melonjak-lonjak tak terkendali. Begitu hebat puncak birahi yang melanda Eva, sampai satu menit lamanya perempuan yang menggairahkan ini bagai sedang dilanda ayan. Ia menjerit, lalu mengerang, lalu menggumam, lalu hanya terengah-engah.

“Itu baru pembukaan.” Kataku sembari menempatkan pangkal pahaku di antara kedua pahanya.

Eva tidak merespon karena dia masih menggeliat-geliat dengan mata terpejam. Aku buka lebar-lebar pahanya membuat kewanitaannya semakin terbuka.

Tanpa aku duga sama sekali, tiba-tiba tangan Eva meraih penisku dan segera menuntun batang kejantananku memasuki gerbang kewanitaannya. Tak sabar, Eva menjepit pinggangku dengan kedua kakinya, membuat tubuhku terhuyung ke depan, dan dengan cepat penisku yang tegang segera melesak ke dalam tubuh Eva melalui liang kemaluannya. Bagiku, rasanya seperti memasuki cengkraman licin yang panas berdenyut. Aku pun segera melakukan tugasku dengan baik, mendorong dan menarik kejantananku dengan cepat. Gerakanku begitu ganas dan liar, seperti hendak meluluh-lantahkan tubuh putih Eva yang sedang menggeliat-geliat kegelian itu. Tak kenal ampun, batang penisku menerjang-nerjang, menerobos dalam sekali sampai ke dinding belakang yang sedang berkontraksi menyambut orgasme. Eva merintih dan mengerang penuh kenikmatan.

Aku mengerahkan seluruh tenaga menyetubuhi istri sepupuku ini. Otot-otot bahu dan lenganku terasa menegang dan terlihat berkilat-kilat karena keringat. Pinggangku bergerak cepat dan kuat bagai piston mesin-mesin di pabrik. Suara berkecipak terdengar setiap kali tubuhku membentur tubuh Eva, di sela-sela derit ranjang yang bergoyang sangat keras. Eva merintih dan mengerang begitu jalang merasakan kenikmatan yang ganas dan liar.

“Aaahhh … Aaaahhh … Aaaahhh … Oooohhh … Bassss … Aaaaaaccchhh …!!” Dengan mata terus terpejam, Eva mengerang dan merintih sekaligus pengesahan atas datangnya puncak birahi yang tak terperi.

Saat seperti ini lah aku lantas mengarahkan tanganku ke pinggulnya. Aku pijat urat seks di area itu dan hasilnya adalah erangan dan jeritan Eva tak pernah terputus dibarengi dengan letupan-letupan orgasmenya yang datang bertubi-tubi dalam jarak waktu yang singkat. Liang kemaluannya mengeluarkan cairan yang cukup banyak sampai melumeri batang kejantananku dan sebagian meleleh ke pantatnya yang seksi.

”Clebh … Clebh … Clebh … Clebh … Clebh … Clebh …” Aku terus memompa dalam tempo tusukan yang dipercepat. Ketika sudah berasa mau keluar, aku bertanya pada Eva.

”Eva … Mau coitus apa keluarin di dalem?” Tanyaku dengan terengah-engah.

Eva yang terus mendesah-desah saat menjawab, ”Di dalam aja Basss … Aku minum pilll … Aahh… Aaahh… Aaahhhh…”

Dan sesaat kemudian penisku menyemprotkan air mani yang kental dan cukup banyak. ”Oooooghhh!!!” Teriakku kala kenikmatan menyergap diriku menjalari segenap tulang belakangku. Dan segera saja aku ambruk menindih Eva yang juga terengah-engah.

Dalam keheningan nikmat, kubiarkan penisku di dalam vaginanya yang masih terasa sempit, kucium lembut bibirnya dan Eva pun membalas manja. Aku pun melepas ciuman sambil mengatur nafas. Sesaat kemudian, mata kami saling pandang dan kami pun saling memberikan senyuman kepuasan.

“Kamu luar biasa sekali, Bas … Kamu bisa membuatku datang berkali-kali. Rasanya enak sekali, Bas.” Puji Eva dengan mata sayu.

“Kamu akan seperti Renata dan Vera. Gak bisa lupa sama kontolku.” Candaku.

“Itu pasti … Bahkan aku mau lagi sekarang juga …” Katanya mendesah.

“Aku istirahat dulu ya …” Segera saja aku melepas pertautan kelamin lalu beranjak dari atas tubuhnya.

Aku meninggalkan kamar dan menuju dapur dalam keadaan telanjang bulat. Di sana, aku mengambil dua botol air mineral dingin dari kulkas sebelum kembali ke dalam kamar. Kuberikan satu botol air mineral dingin kepada Eva, dan ia dengan lahap meminum setengahnya. Kami berbincang sejenak sebelum akhirnya melanjutkan pertarungan kami untuk ronde kedua dan seterusnya.

#######


RISKA POV


Aku bangun pukul 16.00 sore, kemudian mandi dan bersolek ala kadarnya. Setelah merasa rapi dengan tampilanku, aku bergegas keluar kamar. Menuruni anak tangga satu persatu sambil memainkan ponsel. Aku melihat-lihat timeline twit**ter kemudian beranda Instagramku. Sesekali menekan tanda hati pada foto yang aku lihat. Saat kaki sudah berpijak di lantai satu, aku lantas berjalan keluar gedung utama. Langkah kaki ini membawaku ke tempat latihan menembak, sesuatu yang sekarang sangat aku sukai.

“Hai …” Sapaku pada Gunawan, pelatihku yang baik hati.

“Hai juga … Mau latihan sekarang?” Tanya Gunawan dengan senyum ramah.

“Gimana kalau kita ngopi dulu?” Ajakku.

“Dengan senang hati.” Jawab Gunawan sambil berlalu.

Tak lama, Gunawan datang dengan membawa dua cangkir kopi panas. Dengan senyuman ramah, dia memberikan satu cangkir padaku, dan aku merasa beruntung memiliki pelatih sebaik dia. Kami berdua duduk di area latihan menembak yang tenang sambil menikmati kopi panas yang terasa nikmat. Gunawan kemudian berbagi informasi seputar dunia yang aku jalani sekarang ini, menciptakan rasa ingin tahu dalam diriku.

“Kita ini hidup dalam dunia yang kejam, Ris … Kamu harus menyesuaikan dengan kehidupan ini. Maksudku, kamu harus mulai melepaskan sedikit demi sedikit rasa belas kasihanmu. Di sini, belas kasihan hanya akan menjadi masalah.” Gunawan menatapku dengan serius. Dia melanjutkan penjelasannya, "Rasa belas kasihan hanya akan dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak memiliki belas kasihan. Itu bisa diartikan sebagai kelemahan.”

Gunawan memberikan contoh dan insight yang mendalam, menggambarkan bagaimana kehidupan yang kejam ini mengajarkan bahwa terlalu banyak belas kasihan adalah faktor penghambat untuk bisa bertahan dan berkembang di tempat ini. Saat itu, aku merenung dalam diri, menyadari kalau pelajaran ini adalah sesuatu yang sulit diterima, namun sangat penting dalam mengarungi kehidupan keras yang sedang aku jalani.

“Aku tidak yakin bisa seperti itu, Gun … Rasanya aku gak bisa kejam sama orang lain.” Responku.

“Kamu bisa … Salah satu caranya adalah kamu ikut latihan bela diri. Dengan latihan bela diri hatimu akan menjadi kuat dan keras. Di sebelah timur taman bunga, ada tempat latihan tarung derajat. Aku sarankan kamu ikut latihan di sana.” Ungkap Gunawan sambil tersenyum.

“Oh ya? Apakah kamu ikut latihan juga?” Tanyaku bersemangat.

“Aku sudah lama tidak latihan. Tapi, kalau kamu mau latihan, aku bisa menemanimu.” Ucap Gunawan.

“Ya, aku mau … Kamu temani aku latihan.” Pintaku.

“Oke … Malam ini kita akan mulai latihan. Latihan biasanya dimulai jam delapan malam.” Ekspresi Gunawan tampak sekali senang.

“Baiklah. Kita akan ke sana bareng-bareng setelah latihan menembak.” Kataku.

Beberapa menit kemudian, aku mulai latihan menembak bersama Gunawan. Bersama-sama, kami berlatih dengan fokus pada teknik dan presisi. Gunawan memberikan petunjuk dengan penuh ketelitian, mengarahkan agar setiap gerakan dan posisi tubuhku terkoordinasi dengan sempurna. Akhirnya senja perlahan menyapa, matahari tenggelam semakin memberikan nuansa pada sesi latihan ini. Sekitar pukul 19.30 malam, aku sudahi latihan menembakku, dan kami pun bergerak ke tempat latihan tarung derajat di sebelah timur gedung utama.

Aku melangkah masuk ke dalam dojo dengan rasa penasaran, di mana sekitar enam orang tengah asyik berlatih tarung derajat. Di depan mereka, tampak sosok tinggi dan kekar yang aku pastikan dia adalah pelatih mereka. Matanya menangkap keberadaanku, dan tanpa ragu, dia melangkah mendekat.

“Selamat datang, Riska … Apakah kamu tertarik bergabung bersama kami?” Tanya sang pelatih.

Aku tersenyum karena dia sudah mengenalku, “Hi hi hi … Sebenarnya aku nyasar sih, tapi kayaknya menarik juga. Aku ingin ikut latihan?"

“Oke kalau begitu … Silahkan …” Ujarnya sembari merentangkan tangan sebagai tanda mengundangku untuk bergabung dengan yang lain.

Saat itu juga aku berlatih tarung derajat. Aku diberi tahu oleh pelatih yang bernama Fadli kalau tarung derajat adalah seni bela diri yang menekankan pada agresivitas serangan dalam memukul dan menendang. Namun, tidak terbatas pada teknik itu saja, bantingan, kuncian, dan sapuan kaki juga termasuk dalam metode pelatihannya. Fadli dengan cermat memberikan arahan terkait teknik yang perlu aku kuasai, memberikan wawasan bagaimana memaksimalkan potensi dalam setiap serangan dan bertahan dari serangan lawan. Setiap gerakan menjadi bagian dari latihanku, di mana agresivitas dan ketangkasan menjadi dua hal yang tak terpisahkan. Bantingan dan kuncian yang diajarkan Fadli memperkaya pembendaharaan gerakanku. Terkadang, aku merasa terhuyung-huyung mencoba menyeimbangkan diri setelah melakukan bantingan yang baru dipelajari. Aku sadari kalau latihan ini membantu memperkuat tubuh dan pikiran, membuatku semakin percaya diri dengan kemampuanku. Pada akhir latihan, meskipun tubuhku terasa lelah, senyum puas menghiasi wajahku. Latihan tarung derajat di bawah bimbingan Pelatih Fadli bukan hanya sekadar fisik, tetapi juga tentang memahami strategi, kelincahan, dan kekuatan batin.

“Gimana? Seru kan?” Tanya Gunawan saat kami berjalan keluar dari dojo.

“Ya … Sangat menyenangkan.” Jawabku sambil tersenyum senang.

“Sekarang, apa acaramu?” Tanya Gunawan terkesan ragu.

“Em … Paling nongkrong sama para selir.” Jawabku.

“Oh …” Gumam Gunawan yang terdengar sedikit aneh di telingaku.

“Ada apa sih, Gun … Kamu kelihatan kikuk begitu?” Tanyaku ingin tahu.

“Em … Aku … Aku …” Benar-benar Gunawan tampak grogi.

Aku memegang tangannya hingga kami berhenti melangkah, “Katakan! Apa yang ada di pikiranmu?”

“A..aku … Aku ingin mengajakmu makan malam.” Katanya sambil memalingkan wajah.

“Hi hi hi …” Aku pun terkikik sambil mengambil wajahnya hingga menghadapku. “Kamu mengundangku berkencan ya?” Lanjutku dengan nada persahabatan.

“Begitulah …” Jawabnya pelan.

“Bukannya ini sudah terlalu malam?” Godaku sambil mengusap pipinya.

“Aku punya tempat yang indah. Bukanya sampai jam dua malam.” Ujar Gunawan sembari menatap wajahku.

“Em … Lain kali saja, Gun … Aku sedang tidak ingin keluar malam ini.” Dengan sangat menyesal aku harus menolak ajakannya.

“Oh …” Kentara sekali kekecewaan Gunawan di wajahnya.

“Gun … Sekali lagi aku ucapkan terima kasih kalau kamu sudah memperhatikanku. Tapi, aku merasa belum siap menerima seseorang. Aku ingin masih bebas dan tak ingin ada ikatan emosional dengan siapa pun. Aku harap kamu bisa memahami keputusanku ini. Lebih baik kita tetap berteman saja seperti selama ini." Kataku sembari menatapnya sendu.

“Ya … Aku mengerti …” Responnya sambil tersenyum yang dipaksakan.

“Bagaimana kalau kita habiskan malam ini di ruangan bersenang-senang?” Ajakku yang aku yakin Gunawan tahu maksudku yang sebenarnya.

“Ris … Aku gak bisa … Aku tidak bisa melakukannya kalau tidak ada rasa cinta.” Katanya.

Aku melongo mendengar ucapannya. Tak menyangka masih ada orang yang mengagungkan cinta dalam hubungan intim. Meski awalnya aku agak terkejut, rasa kagum mulai muncul dalam diriku terhadap Gunawan. Mendengar seseorang menghargai cinta dalam hubungan seks terasa seperti menemukan permata langka. Di tengah gempuran arus kekinian yang lebih fokus pada kenikmatan seks semata, Gunawan justru menunjukkan bahwa rasa cinta memegang peranan penting baginya.

“Gun … Jujur, aku semakin kagum padamu. Tapi, aku tidak ingin hal ini terjadi. Aku takut, Gun. Aku masih trauma untuk mencintai seseorang. Aku harap kamu mengerti perasaanku.” Aku teguh dengan keputusanku.

“Percayalah, aku akan selalu menunggumu.” Ujar Gunawan.

Aku melepaskan tangkupan tanganku di wajahnya. Segera saja aku berjalan meninggalkan Gunawan yang masih terpaku di tempatnya. Aku berjalan dengan langkah yang berat, tak menentu, menuju kamarku. Suasana hatiku terasa terombang-ambing di antara berbagai perasaan yang memenuhi benakku. Sesampainya di kamar, aku merenung di sudut ruangan, meresapi peristiwa yang baru saja terjadi. Pemandangan di luar jendela kamar seolah mencerminkan kebimbangan yang kuhadapi.

Aku merasa terhormat dan dihargai atas perasaan Gunawan, namun di lubuk hatiku, terdapat kekacauan emosi yang sulit dijelaskan. Aku tidak mungkin menerima perasaan Gunawan karena hatiku masih tertambat pada seseorang yang belum bisa aku lupakan. Rasa tak menentu dan kebingungan merajut benang kekhawatiran di dalam diriku. Aku ingin tetap jujur dengan perasaanku, namun aku juga tidak ingin menyakiti Gunawan yang dengan tulus menyayangi dan mencintaiku.

BERSAMBUNG
 
menarique .... terima kasih @Nice4
Terima kasih update ceritanya suhu. Salut deh sama suhu yang cepet sekali updatenya.
:mantap:
Suwun updatenya suhu
suwun updetnya
Thx update nya
Makasih updatenya om
Makasih updatenya hu
Makasih update nya om @Nice4 :beer:
Nubie ijin :baca: dulu yaa
Sama-sama suhu-suhu ... Terima kasih juga atas apresiasinya ...
:ampun:
 
makin liar alurnya ya hu.. btw ini emang ane aja apa tulisannya jdi kyk baca hasil translate ya..
Thx hu udah update
 
Bimabet
Makasih updatenya om @Nice4 :beer:
Suwun @Nice4 , Riska diupgrade jadi super Riska wkwkwk
Good job bas
makasih tuk update nya
Riska mau jadi apa ya? Makasih updatenya suhu. Lanjutkan!
Sama-sama hu ... Makasih udah mau pada mampir ...
makin liar alurnya ya hu.. btw ini emang ane aja apa tulisannya jdi kyk baca hasil translate ya..
Thx hu udah update
He he he ... Biar gak ada yang copas hu ...
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd