Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG PENABUR BENIH (CUCKOLD INSIDE)

Nyempil mlumah ngudud ngopi disini

Salam kental om @Nice4
Salken juga om @Kudarab
Aya kang @Nice4 , kamari nge camp heula, kopi rusia mah masih atuh jos jos hangat 🤣🤣🤣
Siap Mang ... Biasa di pojokan ...
Turuknuwun sentilan mesumnya den

Slonjoran sambil rogoh-rogoh sempak
Lah ini baru muncul ... Konco lawas ...
Pie kabare Kang Mas @bendhi
Muluncur, untung masih ada tendo kosong :spy::spy:
Siap ... Selalu ada lapak kosong di sini mah om ...
Eh aku kok curiga ya kalo om @Nice4 itu ...
Kebawa-bawa sama Mang @Garonk84
 
CHAPTER 3
KEPUTUSAN HERI PART 2



BASTIAN POV

Berlokasi di Pantai Utara Jakarta, Kafe Loman menjadi incaran warga Jakarta dan sekitarnya yang ingin merasakan suasana kafe yang unik, dipadu dengan keindahan alam yang menawan. Lokasi Kafe Loman menawarkan lebih dari sekadar tempat nongkrong. Tempat ini dibangun di sisi laut, menciptakan suasana yang begitu menenangkan dan romantis, dengan pemandangan laut yang memukau. Dikelilingi oleh pepohonan yang tinggi, pengunjung dapat menikmati keindahan alam sambil menikmati kopi atau makanan lezat. Tak hanya pesona alam, Kafe Loman juga menarik perhatian dengan desain interior yang unik. Bagian dalamnya memadukan gaya industrial dengan ornamen kayu, yang menampilkan suasana nyaman dan penuh karakter. Di bagian outdoor, terdapat beberapa gazebo di bawah rindangnya pohon cemara menambah kesan alami.

Bangunan gazebo di Kafe Loman dibuat dengan desain yang unik, menyerupai panggung namun dengan ketinggian yang rendah. Kesan intim dan akrab akan terasa bila berdiam di sana. Gazebo-gazebo ini terbuat dari kayu yang indah dan kokoh, dengan atap berbahan genting yang memberikan sentuhan tradisional. Setiap sisi gazebo sengaja dibuat terbuka, memberikan kesejukan alami dan memungkinkan pengunjung secara langsung bisa menikmati pemandangan alam sekitar. Di tengah gazebo terdapat meja kayu jati yang elegan, melengkapi keindahan dan membuat gazebo tersebut menjadi tempat ideal untuk menikmati kopi atau bersantap dengan pemandangan laut yang menakjubkan.

Gazebo-gazebo di Kafe Loman menjadi tempat istimewa bagi pengunjung yang menginginkan pengalaman bersantap yang penuh keintiman. Dengan pencahayaan yang lembut dan remang-remang, suasana di dalam gazebo begitu romantis dan menenangkan. Setiap gazebo didesain dengan lesehan yang nyaman, memberikan kesempatan bagi para tamu untuk bersantai sambil selonjoran atau berbaring dengan bebas. Dikelilingi oleh dedaunan pohon cemara yang rindang, gazebo-gazebo ini menjadi tempat yang ideal untuk meresapi keindahan alam sembari menikmati kopi atau makanan lezat.

Malam ini, di dalam gazebo Kafe Loman, suasana begitu indah dan damai. Cahaya lembut dari lentera-lentera kecil di sekeliling kami memberikan sentuhan remang yang menambah kesejukan di malam yang syahdu. Suara riak ombak yang tenang dan angin yang melintas di antara pepohonan cemara menjadi latar belakang alam yang menenangkan. Aku, Vera, dan Renata duduk bersama di lesehan yang nyaman, terhanyut dalam keindahan pemandangan laut yang memukau di depan kami. Ekspresi Vera dan Renata menggambarkan kekaguman mereka dan ini adalah pertama kalinya mereka menginjakkan kaki di Kafe Loman. Senyuman bahagia terukir di wajah mereka, seakan menangkap keajaiban malam yang penuh kenangan ini.

“Tempat ini luar biasa indahnya! Aku tak pernah menduga Kafe Loman sehebat ini." Vera menatap pemandangan laut yang memukau sambil tersenyum lebar.

“Tempat ini benar-benar mempesona. Pantai, pepohonan cemara, gazebo-gazebo ini, semuanya begitu pas." Renata setuju sambil mengangguk.

Sambil menikmati suasana malam yang menyenangkan ini, aku memutuskan untuk berbagi rahasia kecil dengan Vera dan Renata. "Kafe Loman ini kepunyaan pamanku, adik ibuku," ucapku sambil tersenyum. "Dia seorang pengusaha hotel dan restoran yang cukup sukses. Karena itu, tempat ini bukan hanya kafe biasa bagi pamanku, tapi juga hasil dari kecintaannya pada seni kuliner dan keindahan alam."

Vera dan Renata sama-sama terkejut mendengar kabar ini. Renata bertanya dengan penuh antusias, "Serius, sehebat ini? Benar ini punya pamanmu? Sungguh luar biasa tempatnya, sangat mengagumkan!"

Aku mengangguk, "Iya, betul. Aku juga terkejut saat pertama kali datang ke sini. Pamanku benar-benar punya selera yang luar biasa, bukan hanya dalam bisnisnya tetapi juga dalam menciptakan tempat-tempat istimewa seperti Kafe Loman ini."

Vera menatap sekitar dengan mata berbinar-binar. "Sungguh, betapa indahnya tempat ini! Tidak heran Kafe ini ramai pengunjung. Suasana pantai, desain kafe, semuanya begitu menakjubkan."

Renata setuju sambil tertawa, "Hi hi hi ... Kafe ini sepertinya penuh dengan pengunjung. Untung saja kita dapat gazebo yang agak terpencil, jadi kita masih bisa nikmatin ketenangan sambil menikmati keindahan alam tanpa terlalu terganggu oleh keramaian pengunjung."

Kami menikmati hidangan lezat dan segarnya kopi di meja lesehan yang nyaman, sambil bercerita dan tertawa riang. Terkadang, suara tawa pengunjung dan gemerincing piring menyatu dalam keselarasan, membuat suasana hidup namun tetap damai. Tiba-tiba, aku melihat Heri dan Riska berjalan ke arahku, mereka terlihat begitu serasi, namun juga tampak sedikit kecanggungan yang menyelip di antara mereka. Langkah mereka terasa hati-hati, senyum di wajah masing-masing terlihat ada kegugupan yang halus. Aku menyambut mereka dengan berdiri, dan saat kami saling bersalaman, terasa ada sentuhan keheningan singkat dan keceriaan yang sedikit tertahan.

“Silahkan …” Sambutku dengan mempersilahkan Heri dan Riska bergabung di dalam gazebo setelah kami bersalaman. “Em maaf, Her … Kamu duduk di antara mereka, dan aku duduk dengan Riska.” Aku segera mengatur posisi duduk.

Tanpa membantah, Heri duduk bersila diapit oleh Vera dan Renata menghadap Utara, sementara aku duduk bersila bersebelahan dengan Riska menghadap Selatan. Meja kayu jati menjadi pemisah di antara kami, sudah penuh dengan hidangan makanan lezat dan cangkir-cangkir kopi yang mengepulkan aroma harum.

“Riska … Apakah kamu sudah tahu kalau aku akan mengenalkan Heri pada kedua wanita cantik ini?” Tanyaku pada Riska.

“Ya, Heri memberitahuku.” Jawab Riska sambil mengangguk dan tersenyum pada Vera dan Renata. “Tapi, Heri mengatakan hanya satu, dan ternyata yang datang dua.” Lanjut Riska.

“Apakah kamu keberatan?” Tanyaku lagi pada Riska.

“Oh, tidak … Aku malah senang.” Senyuman Riska semakin melebar.

“Oke kalau begitu … Aku perkenalkan kedua wanita cantik ini pada kalian. Yang ini bernama Vera.” Kataku sambil menunjuk Vera.

“Hai … Senang berkenalan dengan kalian berdua.” Sambut Vera sambil menangkupkan kedua telapak tangannya dengan sedikit membungkukan badan. Perkenalan Vera disambut anggukan dan senyuman oleh Riska dan Heri.

“Dan ini namanya Renata.” Ujarku sembari menunjuk Renata.

“Hai …” Ucap Renata dengan melakukan gerakan yang sama dengan Vera sebelumnya. Renata pun disambut oleh Riska dan Heri dengan anggukan kecil dan senyuman.

Aku kemudian menuntun semua yang ada untuk saling mengakrabkan diri. Awalnya, terasa kecanggungan yang melingkupi pertemuan kami, namun dengan setiap tawa yang tercipta dan cerita yang dibagikan, kecanggungan itu perlahan pudar. Saling pandang yang awalnya ragu kini menjadi ramah, dan suara tawa yang terdengar semakin nyaring menggambarkan keceriaan yang merebak di antara kami. Kulihat Vera dan Renata berhasil mengajak Heri bercanda dan tertawa bersama. Vera dan Renata dengan lincahnya membawa suasana menjadi lebih santai, sementara Heri menanggapi dengan senyum yang menyiratkan kenyamanan dan keceriaan di hatinya.

“Oke … Kita akan membicarakan hal yang menjadi tujuan pertemuan kita ini.” Kataku berusaha meredakan suasana. Semua pun terdiam dan pandangan mereka terarah padaku. “Heri … Jadi apa keputusanmu?” Tanyaku pada Heri.

“Keputusanku adalah kamu hanya bertugas menghamili Riska saja. Setelah Riska hamil perjanjian kita berakhir, artinya kita kembali pada kehidupan kita semula. Aku harap kamu bisa memahami atas keputusanku ini. Aku sangat menghargai tawaranmu untuk memberiku teman wanita, tapi aku rasa aku tidak ingin melibatkan siapa pun dalam hal ini. Kepada Vera dan Renata, aku ingin menyampaikan permohonan maafku. Aku harap kalian juga memahami keputusanku ini, dan aku juga berharap kita masih bisa menjalin hubungan baik sebagai teman atau sahabat.” Jelas Heri dengan penuh keyakinan.

Jujur saja aku terkejut dengan keputusan Heri tersebut namun bagaimana pun aku harus menghormatinya, “Aku sangat menghormati keputusanmu mengenai situasi ini. Aku tidak ingin lagi membahas atau berargumen mengenai hal ini dan aku akan menghormati persyaratan yang telah kita sepakati. Aku berjanji akan segera menghamili Riska dan mengakhiri persetujuan ini sesuai dengan yang telah kita bicarakan.”

“Terima kasih atas pengertianmu. Aku sangat menghargai komitmenmu untuk menghormati keputusan ini. Semoga semuanya berjalan lancar, dan kita bisa tetap menjaga persahabatan kita.” Ungkap Heri sambil tersenyum.

Kami akhirnya menutup pembicaraan yang baru saja kami lalui, memilih untuk meneruskan perbincangan dengan suasana yang lebih ringan. Duduk di kafe yang indah ini, kami menikmati hidangan yang lezat di meja kami, berusaha untuk meredakan ketegangan yang masih sedikit terasa. Seiring berjalannya waktu, suasana menjadi lebih nyaman dan cair, seperti biasa. Setelah setengah jam berlalu, Heri dan Riska memberikan salam perpisahan, menyatakan bahwa mereka harus meninggalkan kafe. Aku memilih untuk membiarkan mereka pergi tanpa mencoba menahan atau merayu untuk tinggal lebih lama.

“Aku kok merasa gak yakin.” Ungkap Vera setelah Heri dan Riska pergi.

“Gak yakin gimana?” Tanya Renata sembari menatap wajah sahabatnya.

“Aku merasa agak tidak yakin apakah kehidupan rumah tangga Heri dan Riska akan berjalan dengan baik ke depannya. Mungkin ini hanya perasaan kecilku saja. Aku khawatir suatu saat nanti Heri mungkin akan meminta Riska untuk terlibat dalam hal-hal yang tidak seharusnya, seperti berhubungan seks dengan orang lain. Selain itu, aku percaya kalau seorang wanita pernah merasakan kontol laki-laki lain selain suaminya, besar kemungkinan dia akan merasakan keinginan untuk mengulangi pengalaman itu. Ah, tapi semoga saja aku salah dalam perkiraanku ini, dan semoga saja mereka bisa membuktikan bahwa cinta dan kesetiaan mereka bisa mengatasi segala cobaan yang datang pada mereka.” Vera menjabarkan prediksinya.

“Sejujurnya, aku juga memiliki pemikiran yang serupa denganmu. Ada sesuatu yang membuatku merasa cemas mengenai kestabilan hubungan Heri dan Riska. Lebih parahnya lagi, aku merasa khawatir kalau Riska benar-benar menyukai laki-laki barunya, kemungkinan besar dia akan meninggalkan Heri. Melihat dinamika yang terjadi, aku tidak bisa mengabaikan kemungkinan ini.” Kataku.

“Sebaiknya kita gak perlu terlalu mikirin nasib rumah tangga orang lain. Nasib mereka adalah tanggung jawab mereka sendiri, dan terlalu banyak berspekulasi yang membuat kita terus merasa khawatir tanpa alasan yang jelas. Memang kita bisa memberikan dukungan dan nasihat, tapi kita juga harus membatasi diri agar tidak terlalu ikut campur dalam kehidupan pribadi orang lain. Ngomong-ngomong, bagaimana nasib lamaran pekerjaanku untuk Riska?” Ungkap Renata sambil menatapku.

“Iya … Gimana, Bas?” Tanya Vera juga.

“Senin besok aku akan bicarakan sama Riska. Tapi, aku gak jamin berhasil. Dia itu orangnya idealis untuk masalah pekerjaan. Seharusnya kalian deket dulu sama dia, baru kalian sendiri yang merayunya.” Jelasku.

“Ya udah … Aku minta nomor kontaknya.” Pinta Vera.

Tanpa berlama-lama, aku langsung memberikan nomor kontak Riska kepada Vera dan Renata. Setelah pertukaran nomor, suasana pembicaraan kami tetap hangat dan akrab. Kami pun melanjutkan menikmati suasana kafe yang begitu nyaman hingga larut malam. Percakapan ringan, tawa, dan candaan mengalir di antara kami. Kafe yang tenang dengan lampu lembut memberikan latar belakang yang pas untuk perbincangan kami yang menyenangkan.


********


Suasana pagi yang indah adalah ketika sinar mentari di pagi hari menyambut dengan sinarnya yang cerah, seolah mengucap selamat pagi pada dunia. Aku bangun pagi ini dengan sensasi lemas dan kaku di tubuh, setelah semalaman bercinta bersama Renata dengan penuh gairah. Dia masih terlelap di ranjang, terlihat begitu damai di atas tempat tidurku. Aku pun berjalan menuju kamar mandi. Sesaat menggeliat dan meregangkan otot-otot yang kaku, kemudian aku merasa kesegaran menyusup ke seluruh tubuh. Air dingin yang keluar dari shower menyejukkan setiap inchi tubuhku.

Setelah selesai mandi, aku membungkus tubuh dengan handuk dan menyelinap keluar menuju kamar. Renata masih terlelap dalam tidurnya. Tanpa ingin mengganggu wanita cantik itu, aku dengan cepat berpakaian dan merapikan diri, lalu meninggalkan Renata yang masih ingin menikmati kedamaiannya. Aku berjalan menuju dapur dan langsung saja membuat kopi. Akan kunikmati kopi buatanku ini hingga ke ampasnya, karena pasti akan kutemukan manis sesudahnya.

Aku menemani pagiku dengan secangkir kopi yang nikmat sambil merasakan ketenangan. Setiap tegukan kopi menyapa lidahku dengan kehangatan, seolah menyatu dengan keheningan pagi yang masih terasa. Namun, ketenangan itu terputus ketika Renata tiba-tiba muncul di pintu dapur dengan langkah ringan, mengenakan daster transparan dengan motif lembut yang seksi. Dengan santai, dia tanpa ragu mengambil gelas kopiku yang diletakkan di meja, meminumnya penuh nikmat. Sesaat kemudian, Renata sambil tersenyum mengambil tempat di kursi sebelahku

“Pagi pejantanku …” Sapanya yang telat.

“Pagi juga betinaku. Apa kamu ada acara hari ini?” Tanyaku.

“Aku ada janji sama Vera mau ke mall.” Jawab Renata dan kembali menikmati kopiku.

“Banyak duit ya kalian.” Candaku sembari mencubit puncak payudaranya.

“Ihk! Kamu!” Renata memekik sambil memukul bahuku pelan.

“He he he …” Aku terkekeh ringan.

“Bas … Semalam kamu ngasih credit card sama Vera. Kok, aku nggak sih?” Goda Renata manja.

“Ya beginilah nasib kalau deket sama kalian berdua.” Aku geleng-geleng kepala.

“Sekali-kali kan gak apa-apa, Bas.” Ucap Renata sambil mengelus-elus pahaku.

“Kamu pakai saja barengan sama Vera kalau mau belanja.” Kataku sedikit kesal.

“Aih … Makasih … Makasih …” Seru Renata kegirangan sambil menciumi pipiku.

“Tapi isinya gak banyak, cuma empat juta.” Kataku.

“Itu lebih dari cukup, Bas … Hi hi hi …” Ujar Renata.

Tiba-tiba, Renata bangkit dari kursi, meninggalkan ruangan tanpa sepatah kata pun. Aku memandangnya pergi dengan kebingungan sebelum akhirnya menoleh ke arah gelas kopi yang kini sudah kosong di meja. Aku menghela nafas sambil berdiri, dan menuju mesin kopi untuk membuat segelas lagi. Suara mesin yang berdesir dan aroma kopi yang segar menguar ke udara. Aku kembali aku duduk, menggenggam gelas kopi yang masih panas, sambil membiarkan sentuhan kafein mengalir di setiap seruputan. Dalam kesendirian, aku mengambil smartphone, berselancar, dan membiarkan pagi bergulir dengan nikmat kopi dan dunia digital yang menyertainya.

“Bas …” Aku terkejut karena tanpa kusadari Renata sudah berada di sampingku dengan dandanan rapi. “Hi hi hi … Sorry.” Katanya kemudian.

“Udah rapi. Mau langsung pergi?” Tanyaku sambil memperhatikan penampilan Renata.

“Iya …” Jawabnya dan ia mengambil lagi gelas kopiku dan menyeruputnya perlahan. Aku melongo sambil geleng-geleng kepala. Tak lama, Renata menyimpan gelas kopi itu di atas meja. “Bas … Aku yakin sekarang Riska lagi mikirin kontolmu.” Ucap Renata tiba-tiba.

“Sok tahu …” Responku.

“Serius, Bas. Aku semalam memperhatikan Riska yang kelihatannya kecewa dengan keputusan Heri. Aku bisa baca kegalauan di wajahnya. Tatapan dia yang sendu dan senyumannya yang kaku, semuanya nunjukin kalau ada sesuatu yang sedang mengganggu hatinya. Mungkin ini hanya pengamatanku sepintas, tapi aku yakin ada cerita yang dia sembunyikan.” Ungkap Renata.

“Kamu yakin?” Tanyaku ingin keyakinan.

“Aku yakin banget. Perasanku ini halus banget loh …” Katanya lalu berdiri. “Aku pergi ya …” Ucap Renata lalu mencium lagi pipiku dan beranjak pergi.

Mendengar ucapan Renata, entah kenapa aku tiba-tiba mempunyai rencana gila. Pikiran konyol muncul begitu saja, ingin nekat datang ke rumah Riska dan membiakinya di sana. Tanpa berpikir panjang, aku segera mencari nomor kontak Riska dan menghubunginya. Aku mendengar suara sambungan dari speaker ponsel, dan lalu suara sambungan ponsel terangkat.

“Hallo …” Riska menyapaku dengan lembut.

“Ris, apakah suamimu ada di rumah?” Tanyaku.

“Ada … Emangnya ada apa?” Tanya Riska dengan nada penasaran.

“Di mana dia?” Tanyaku.

“Ada di halaman depan, sedang nyuci mobil.” Jawab Riska.

“Begini … Aku akan ke rumahmu dan akan bercinta di depan suamimu.” Kataku langsung pada intinya.

“Oh … Gi..gimana kalau dia marah?” Riska terdengar gugup.

“Percayalah padaku. Dia tidak akan apa-apa.” Tegasku penuh keyakinan.

“A..aku ragu, Bas …” Ungkap Riska dengan sendu.

“Dengarkan! Kamu pura-pura punya kerjaan kantor yang bermasalah. Bilang sama Heri kalau kerjaan kantormu itu hanya aku yang bisa menyelesaikannya. Paksakan agar aku bisa ke rumahmu. Acara selanjutnya, kita buat spontan saja kalau aku sudah di rumahmu. Kita harus nekad dan berani bercinta di depan suamimu.” Jelasku.

“Ah! Bas … Aku gak bisa …” Lirih Riska.

“Kamu pasti bisa, Ris … Pecayalah, Heri gak bakalan marah. Aku jamin dia bakalan menyuruhku sesering mungkin ke rumahnya.” Aku coba meyakinkan Riska.

“Baiklah, tapi aku gak jamin hasilnya.” Ucap Riska.

“Aku tunggu kabarmu.” Kataku sembari memutuskan sambungan telepon.

Aku menunggu balasan dari Riska dengan perasaan gelisah. Aku mondar-mandir di ruang ini, berharap kabar baik segera datang. Aku terus berjalan, berharap pesan dari Riska segera muncul dan membawa kabar baik yang aku tunggu. Akhirnya ponselku berdering dan Riska yang sedang menghubungiku.

“Hallo …” Sapaku.

“Bas … Kamu diijinkan ke sini.” Suara Riska pelan nyaris berbisik.

“Oke … Suamimu ada di sampingmu?” Tanyaku hati-hati.

“Tidak … Dia masih mencuci mobil di depan.” Jawabnya.

“Aku akan datang dan kamu jangan pakai celana dalam.” Kataku sambil tersenyum.

“Apa?!” Pekik Riska di sana.

Aku langsung memutuskan sambungan telepon dan bergerak cepat ke garasi. Bingung antara motor atau mobil, akhirnya aku memilih motor untuk perjalananku. Keputusan ini kuambil agar bisa lebih cepat sampai, dengan harapan bisa memotong waktu menggunakan jalur tikus. Motorku segera keluar dari sarangnya dan melaju cepat menuju rumah Riska. Motor meluncur dengan gesit di jalanan. Aku memilih jalur tikus yang sepi, melewati gang-gang sempit demi mencapai rumah Riska lebih cepat.

Hanya butuh empat puluh menit, aku sudah sampai di rumah Riska, yang terletak di sebuah cluster perumahan elit di kawasan selatan kota. Heri menyambut kedatanganku begitu aku memasuki halaman rumah. Tanpa menunggu lama, aku memarkirkan motor dan melangkah mendekati Heri, yang sudah berdiri siap menyambut. Kami bertukar sapaan hangat, dan saling menjabat tangan.

“Aku harap kedatanganku tidak mengganggu waktu tenangmu.” Kataku berbasa-basi.

“Oh, tidak sama sekali. Santai saja. Silahkan …” Heri mengajakku masuk.

Aku mengikuti langkah Heri yang mengajakku ke ruang tengah rumahnya. Di sana, aku melihat Riska tengah sibuk dengan sebuah laptop, dan ia pun berdiri untuk menyambut kedatanganku. Tanpa disangka oleh siapa pun, aku spontan mendekat dan mencium pipi Riska, tangan kananku melingkar di pinggangnya. Dari sudut mata, aku melihat Heri terperangah menyaksikan tindakanku yang tak terduga itu, namun tak ada reaksi yang jelas dari sikapku tersebut.

“Jadi … Apa masalahnya?” Tanyaku sambil memandang wajah Riska yang sedang terkejut.

“Oh ini …” Riska langsung duduk di sofa menghadapkan lagi wajahnya pada laptop. “Aku tidak bisa membuka data pegawaiku. Aku curiga data-dataku kena virus.” Ucapnya terdengar normal.

“Sini aku periksa.” Kataku sambil menggeser tubuh Riska dengan tubuhku. Tak ayal kami duduk tanpa jarak. Tubuh kami saling menempel.

Aku sadar bahwa semua ini hanyalah bagian dari drama yang diciptakan Riska. Tidak ada satu pun data pekerjaannya yang hilang. Riska sengaja menyembunyikan datanya agar tidak terlihat di layar. Sejenak, Heri masih berdiri di tempatnya, memperhatikan aku dan Riska yang sedang berpura-pura sibuk memperbaiki data kerjaan. Namun, tak berapa lama, Heri memutuskan untuk pergi dan meninggalkan kami berdua. Pria itu melangkah menuju ruang depan.

“Kamu siap?” Bisikku.

“Aku takut.” Balas bisiknya.

“Jangan takut … Kamu harus percaya padaku. Dia malah ingin kita bersetubuh di depannya.” Aku coba meyakinkan Riska.

“Bukan itu masalahnya. Aku masalahnya, Bas. Aku masih belum bisa ngeseks di depannya langsung.” Ungkap Riska.

“Hhhmm … Jadi kemarin itu, keputusan Heri sebenarnya keputusanmu?” Tanyaku curiga.

“Ya.” Riska mengangguk.

“Apa kamu gak kasian sama suamimu?” Tanyaku masih dengan suara pelan.

“Aku malu, Bas. Aku belum siap kalau kita melakukannya sambil ditonton dia.” Riska mendesah.

“Berarti kamu yang harus membiasakan diri.” Kataku sambil memeluk wanita ini tanpa ragu.

“Bas … A..aku …” Ucapan Riska tidak selesai.

Aku menarik dagunya, membawa bibirnya ke hadapan bibirku. Aku menciumnya. Bibirku mencium lembut permukaan bibirnya. Aku berusaha memperlakukannya selembut mungkin. Namun hal itu tidak dapat bertahan lama saat aku mulai mengecap sebuah rasa di bibirnya. Rasa buah Strawberry, rasa yang ditimbulkan dari lip gloss yang dipakainya. Ciumanku tak lagi lembut. Ciumanku kini dipenuhi desakan. Kemampuanku mengontrol diri sepertinya sudah mencapai batas. Aku meraih tengkuknya untuk memperdalam ciuman. Dia tidak membalas ciumanku, aku tidak peduli. Aku ingin memuaskan hasratku.

Ciumanku berubah menjadi lumatan-lumatan kecil di permukaan bibirnya. Akhirnya Riska merespon. Dia membalas ciumanku dan menjulurkan lidahnya ke dalam mulutku. Aku mengemut lidahnya dan aku sudah mulai meremas-remas payudaranya yang besar dan kenyal. Riska mendesah saat payudaranya aku remas, tidak sampai di situ aku juga mencubit putingnya dari balik kaos yang ia pakai. Aku berusaha membangkitkan nafsu birahi Riska, menggali lebih dalam hingga keluar seperti letusan gunung berapi. Setiap sentuhan dan lumatan kecil menjadi upaya untuk menaikkan intensitas gairahnya. Riska semakin meresponsku dengan penuh nafsu, menyambut setiap tindakan dengan kehangatan yang semakin memanas.

Tiba-tiba, Riska melepas ciumannya dan berusaha mendorong tubuhku. Wajahnya penuh keterkejutan, dan matanya memandang ke belakangku. Aku menyadari bahwa Riska melihat sesuatu yang tidak diinginkannya. Meski begitu, dengan gerakan paksaan, aku kembali menciumnya. Riska sedikit memberontak, namun perlawanan itu tidak berlangsung lama. Wanita itu membalas ciumanku dengan intensitas yang sama, seolah-olah kesadaran akan situasi yang mengejutkan itu lenyap di antara getaran gairah yang semakin memanas di antara kami.

Kami masih terus berciuman dan saling meraba untuk beberapa menit. Akhirnya, aku memutuskan untuk menyudahi ciuman dan belaian kami. Aku segera menoleh ke belakang, dan di sana Heri masih berdiri mematung. Aku memperhatikan celana pendek yang ia kenakan, terlihat tonjolan di pangkal pahanya.

“Heri … Kemarilah …” Kataku.

Heri melangkah mendekati kami, kemudian duduk di sofa tunggal. Ekspresi di wajahnya menggambarkan sesuatu yang lebih kompleks. Aku melihat tanda-tanda di tubuh Heri yang sedang terangsang. Posisi duduknya tidak bisa menyembunyikan tonjolan yang terlihat jelas di pangkal pahanya. Meskipun ia berusaha mempertahankan ekspresi serius, kegelisahan dan ketertarikan tercampur jadi satu dalam mimik wajahnya.

“Heri … Aku akan mengawini istrimu sekarang. Apakah kamu ingin melihat kami atau tidak?” Tanyaku gamblang.

Heri terdiam membisu seakan dia sedang merenungkan kebimbangan yang mendalam. Pandangannya berputar di antara kami. Tatapannya yang terhenti padaku seakan melukiskan pertimbangan dan perasaan yang sulit diungkapkan. Aku tahu, Heri malu mengungkapkan keinginannya, dan dalam hening itu, aku merasakan beban rasa malu yang menyelimuti dirinya.

"Dengar, Heri," ujarku dengan tegas, mencoba membuka ruang untuk pembicaraan yang terbuka. "Kalau kamu benar-benar ingin fantasimu terwujud, kamu harus berani mengatasi rasa malu dan keraguanmu. Terbukalah pada dirimu sendiri dan akui bahwa kamu menginginkan aku dan Riska melakukannya di depan matamu. Dan kalau kamu tidak melepaskan rasa malu dan ragu, fantasi itu hanya akan tetap menjadi fantasi."

Akhirnya, Heri mengangguk tanpa berkata-kata. Aku menjawab anggukan Heri dengan senyuman, mencoba memberinya dukungan. Kemudian, aku mengarahkan wajahku pada Riska yang sedang menunduk malu. Suasana di ruangan itu begitu tegang, tapi senyuman di wajahku mencoba membangun kehangatan. Aku mengangkat dagu Riska hingga kami saling bertatapan. Aku berusaha mengajak Riska untuk merasa lebih nyaman di dalam situasi yang tidak biasa ini.

"Heri butuh bantuan kita. Dia terlihat sangat tersiksa dengan fantasinya. Jadi, jangan merasa malu atau ragu. Mari kita berikan apa yang suaminya inginkan.” Kataku lembut pada Riska. “Kita harus kasihan pada dia. Jika kita tidak memberikan apa yang dia inginkan, kemungkinan besar dia akan merasa sangat stres atau bahkan depresi. Pastinya, kita tidak ingin hal itu terjadi pada suamimu. Jadi, ayo kita lakukan di depannya, agar dia bisa merasa lebih baik dan tenang." Lanjutku.

Riska dan Heri terlihat saling menatap. Mata mereka seolah-olah sedang saling berkomunikasi, mengungkapkan banyak perasaan dan pemikiran di balik hening ruangan ini. Beberapa detik kemudian, kulihat anggukan kepala Heri, memberikan isyarat setuju yang disambut oleh anggukan kepala Riska. Tanpa kata-kata, pertukaran anggukan kepala itu merupakan tanda keputusan bersama di antara mereka.

Tiba-tiba, Riska berdiri dan berjalan menuju kamarnya, memberi sinyal untuk aku mengikutinya. Aku pun berdiri, memandang wajah Heri. Aku mengangguk pada laki-laki itu, dia pun membalas dengan gerakan yang sama. Aku berjalan duluan meninggalkan Heri menuju kamar tidur yang baru saja dimasuki Riska. Tak lama, aku sudah berada dalam kamar tidur itu.

Aku melihat Riska berdiri di sisi tempat tidur. Dia sedang melepaskan roknya, sementara baju bagian atasnya sudah tidak ada lagi di tubuhnya. Dalam sekejap, tubuh Riska hanya terlapisi bra berwarna krem saja. Tanpa ragu, aku mendekatinya dan memeluknya dari belakang, merasakan kehangatan tubuhnya yang hampir telanjang.

“Apa yang sebenarnya yang kamu rasakan?” Tanyaku lalu mencium leher jenjangnya.

“Malu dan kasihan.” Jawab Riska singkat dan kedua tangannya menangkup lenganku yang melingkar di perutnya.

“Apakah saat kita pertama kali melakukan ini dengan membiarkan suamimu menonton lewat ponsel, kamu merasakan malu dan kasihan?” Tanyaku.

Riska terdiam sejenak lalu berkata, “Tidak.”

“Kenapa?” Tanyaku.

“Saat itu Heri begitu bersemangat, tapi setelah kita melakukan itu di hotel, dia terus murung. Sepertinya ada kegalauan dengan dirinya. Makanya aku malu pada diriku sendiri karena aku merasa sudah mempermalukan dirinya, dan kasihan karena dia terlihat sangat sedih.” Jawabnya.

Kini aku mengerti situasi yang terjadi. Prediksiku adalah Heri merasa malu pada dirinya sendiri, mungkin karena ia merasa memiliki kekurangan dan kelainan yang diyakininya mengecewakan istri tercintanya. Tanpa banyak basa-basi, aku melepas pelukanku pada Riska lalu berjalan keluar kamar, mendekati Heri yang masih duduk termenung di sofa. Aku segera duduk di dekatnya, berusaha menciptakan ruang untuk berbicara dan memberikan dukungan padanya.

“Heri …” Aku memulai pembicaraan dengan nada serius. "Kamu tidak perlu merasa malu atau resah dengan apa yang ada pada dirimu. Semua ini adalah takdir yang harus kamu terima dengan lapang dada. Riska menerima dengan tulus segala kelemahan dan kekuranganmu. Aku yakin, cintanya kepadamu sungguh tulus dan ia tak akan pernah meninggalkanmu. Kamu harus melepaskan diri dari rasa bersalah dan kesedihan. Hadapilah semuanya dengan senyum dan kebahagiaan.”

“Aku juga tahu, tetapi rasa itu tak pernah ingin lepas dariku.” Ucap Heri sendu.

"Saatnya untuk membebaskan dirimu dari belenggu rasa tersebut, Heri. Lihatlah segala hal yang indah di dalam dirimu dan di sekitarmu. Fokus pada hal-hal yang membuatmu bahagia dan terus bergerak maju. Riska ada di sini untukmu, bukan karena kekuranganmu, tapi karena cintanya yang tulus.” Kataku berharap Heri terbuka hatinya.

Namun, Heri terdiam sejenak seolah merenungi kata-kataku, lalu dengan nada yang penuh keraguan, ia berkata, "Tapi bagaimana jika kekuranganku menjadi batu sandungan untuk kebahagiaan Riska? Bagaimana jika satu hari nanti dia merasa menyesal memilihku?"

Dengan penuh perhatian, aku menjawab, "Heri, cinta tidak terukur oleh kekurangan atau kelebihan fisik. Riska mencintaimu karena siapa dirimu seutuhnya. Percayalah padanya, dan terutama, percayalah pada dirimu sendiri. Apa yang kamu miliki sekarang ini membuatmu istimewa, dan itulah yang membuatmu dicintai olehnya. Ingatlah, cinta sejati bukanlah tentang menemukan seseorang yang sempurna, tetapi tentang menemukan seseorang yang membuat kehidupanmu menjadi sempurna dengan segala keunikan dan kekurangannya. Jadi, bukalah hatimu untuk menerima cinta dan kebahagiaan yang sebenarnya sudah ada di hadapanmu. Ayo tersenyum, karena kebahagiaanmu sekarang sedang menanti untuk dirayakan bersama-sama."

Heri menatapku dalam-dalam. Perlahan, air mukanya berubah. Awan mendung yang menghiasi wajah pria itu mulai pudar dan digantikan oleh senyuman. Rupanya, kata-kataku mampu mengetuk hati pria ini. Heri pun dengan semangat berdiri dari tempat duduknya, seolah-olah beban yang selama ini ia pikul kini telah hilang. Senyumannya menyinari ruangan, menciptakan suasana penuh kelegaan dan harapan.

“Mari kita bersenang-senang.” Ucap Heri dengan antusias yang memancar dari kata-katanya.

Senyuman Heri tidak hanya menyinari wajahnya, tetapi juga membawa semangat baru ke dalam jiwanya. Seolah-olah, ia telah menemukan kunci untuk membuka pintu kebahagiaan yang selama ini terkunci. Dalam getaran positifnya, kami semua merasakan perubahan energi, seakan-akan hari ini menjadi titik balik yang membawa keceriaan dan harapan.

“Ha ha ha … Aku akan membuahi istrimu, kamu bisa berpartisipasi dengan kami.” Kataku sambil bangkit dari duduk.

“Aku sudah tidak sabar.” Jawabnya.

“Lebih baik kamu hibur dulu istrimu. Aku akan pulang dulu. Aku ingin kalian merasa bahagia dan saling menerima. Jika sudah siap, aku akan kembali ke sini.” Kataku sambil memegang bahu Heri.

“Terima kasih, Bas … Terima kasih atas kebaikan dan perhatianmu pada kami. Memang sebaiknya aku dan Riska memperbaiki suasana hati kami dulu.” Ungkap Heri.

“Setuju … Tapi ingat, aku tidak mau ada awan mendung di rumah ini saat aku datang nanti.” Kataku sambil tersenyum.

“Aku janji, itu tidak akan terjadi.” Jawab Heri.

Aku memeluk Heri sebagai ungkapan rasa syukur dan bahagia. Heri pun merespon dengan memelukku erat, menepuk-nepuk punggungku sebagai tanda kebersamaan. Suasana hangat dan penuh kelegaan tercipta di antara kami. Tak lama kemudian, aku berpamitan untuk kembali ke rumahku. Meluncur pulang, membawa segudang harapan, seolah-olah terbawa oleh angin kebahagiaan yang baru saja bertiup di hati Heri.

BERSAMBUNG
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd