Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG PENABUR BENIH (CUCKOLD INSIDE)

Bimabet
CHAPTER 8
TAKDIR TAK TERDUGA



BATIAN POV

Dengan hati yang berdebar, aku memacu motor melintasi hiruk-pikuk jalanan Jakarta yang tak pernah sepi, menuju rumah Nicho. Angin malam mengusik rambutku, sementara deru kendaraan dan kehidupan malam kota memenuhi telingaku. Roda motor terus berputar seiring bisikan hatiku yang terus memburu waktu. Dengan setiap putaran roda, aku merasakan kecepatan motor semakin meningkat, seolah-olah aku sedang mengejar sesuatu yang sulit dijangkau. Hujan rintik-rintik mulai turun, menambah kesan dramatis dengan setiap tetesan air yang meluncur di wajahku yang berkeringat. Akhirnya, aku sampai di depan rumah Nicho. Motor berhenti dengan derap rem yang terdengar di antara suara kota yang terus berdetak. Aku terduduk di atas motor, mencoba menangkap nafas yang terengah-engah.

Aku turun dari motorku, langkahku terhenti di depan pintu rumah Nicko yang tampak sunyi dengan lampu di dalamnya yang telah mati. Rasa tidak enak menyelinap begitu saja ke dalam hati, namun terpaksa aku menekan bel rumah dengan ujung jari yang gemetar. Detik-detik menunggu terasa panjang, dan aku mendengar bunyi langkah kaki yang mendekat dari dalam rumah. Pintu akhirnya terbuka, dan untung saja, yang membukakan pintu adalah Nicko. Dengan wajah sayu yang baru saja bangun tidur, Nicko menatapku penuh keheranan. Sorot matanya yang masih setengah tertutup menunjukkan keterkejutan dan tanda-tanda ketidaksiapan akan kedatanganku.

“Nick sorry banget … Aku butuh bantuanmu … Temanku, hilang dari rumahnya. Aku perlu menemui Lia untuk menemukan mereka.” Kataku setengah memelas.

“Masuk dulu … Aku harus meneleponnya dulu. Aku takut tanteku sudah tidur.” Jawab Nicko sambil membuka pintu lebar-lebar.

Aku masuk ke dalam rumah Nicko dan duduk di sofa setelah Nicko menyalakan lampu ruang tamu. Nicko berjalan masuk ke ruang tengah, dan aku menunggu dengan gelisah, merasa kekhawatiran semakin merayap di setiap detik. Tak lama kemudian, Nicko kembali dengan smartphone di tangannya. Sorot matanya tampak serius, dan aku bisa merasakan ketegangan yang terpendam. Dia menatapku dengan pandangan sendu, sambil menggeleng-gelengkan kepala seperti mencoba mencari kata-kata yang sulit diutarakan.

“Tanteku tidak bisa dihubungi. Ponselnya mati.” Kata Nicko membuatku merasakan getaran kebingungan semakin menyelimuti suasana hatiku.

“Coba kamu hubungi lagi.” Pintaku setengah memaksa.

Nicko menuruti permintaanku dan kali ini dia mengaktifkan speakernya. Benar saja, panggilan Nicko dijawab oleh suara mesin operator yang menyatakan nomor ini tidak bisa dihubungi. Meskipun rasa kekecewaan menyelinap ke dalam hati, namun aku tidak ingin menyerah. Aku memandang Nicko dengan tekad yang semakin menguat, siap mencari jalan keluar dari kebuntuan ini.

“Nick … Antar aku ke tempatnya …” Pintaku lagi dan langsung saja mata Nicko terbelalak.

“Mana aku berani?” Desah Nicko sambil geleng-geleng kepala. “Ini sudah jam sebelas malam, Bas.” Lanjut Nicko.

“Ini darurat Nick … Mereka pasti paham dan mengerti.” Aku coba memaksa.

Nicko menatapku dengan tatapan yang tidak bisa aku artikan. Terlukis di wajahnya mimik kekhawatiran dan keraguan. Namun, tak lama kemudian, dia memainkan jari-jarinya di atas layar ponsel dengan gesit. Terdengar suara sambungan yang membuatku seperti mempunyai harapan. Beberapa detik berselang, terdengar suara laki-laki yang ramah menyapa Nicko di seberang sana.

“Hallo …” Suara laki-laki yang berat menyapa telinga Nicko dan telingaku.

“Om … Maaf mengganggu. Aku hanya ingin tanya, apakah Tante Lia ada dengan om?” Tanya Nicko dengan nada sungkan.

“Tantemu pergi dengan bosnya ke Eropa, Nick … Tantemu baru saja berangkat sore tadi.” Jawab laki-laki yang ternyata om Nicky yang berarti suami Lia. Namun bukan itu yang membuatku menjadi lemas.

“Oh, begitu ya om … Kapan pulangnya om?” Tanya Nicko lagi.

“Tantemu bilang sekitar dua minggu sampai sebulan, tidak tentu sih tantemu pulang ke rumah.” Sahut om Nicko yang membuat tubuhku semakin lemas.

“Terima kasih ya om … Maaf mengganggu …” Kata Nicko.

“Ya, Nick … Gak apa-apa.” Sahutnya di sana.

Nicko memutuskan sambungan telepon sambil menatapku lekat-lekat. Aku hanya bisa menghela nafas sambil merasakan kebingungan yang melanda. Aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan untuk menemukan keberadaan Riska dan Heri. Tanganku terasa dingin, menjadi simbol dari keputusasaan yang semakin menggelayuti pikiran. Dalam keheningan yang menyakitkan, aku merenung, mencari jalan keluar untuk menemukan Riska dan Heri.

“Bas … Lebih baik kamu istirahat dulu. Kamu kelihatan lelah sekali. Tidurlah di sini. Ada kamar kosong di sebelah kamarku.” Ucap Nicko penuh perhatian.

“Terima kasih, Nick … Aku akan pulang saja. Benar katamu, aku perlu istirahat. Makasih Nick dan maaf telah mengganggu istirahatmu.” Kataku sambil berdiri lalu berjalan keluar rumah Nicko.

“Hati-hati di jalan.” Ucap Nicko di belakangku.

“Ok, thanks …” Jawabku.

Aku melangkah ke motorku lalu melajukannya dengan kecepatan sedang. Angin malam menyapu wajahku dengan pikiran yang masih saja mengarah pada hilangnya Riska dan Heri. Aku begitu yakin mereka hilang, karena apa yang aku temukan di luar kebiasaan mereka. Suasana malam terasa semakin suram seiring perjalanan menuju rumahku. Hanya sepuluh menit, aku sampai di rumahku dan langsung saja membaringkan tubuh di kasur. Kelelahan fisik dan mental seakan menyatu, merayap ke seluruh tubuh. Sejenak pikiranku melayang entah kemana sebelum akhirnya tertidur pulas.

********

Suasana pagi ini di kantor tidak begitu baik. Tidak ada yang bertegur sapa satu sama lain, dan setiap pegawai sibuk dengan dirinya sendiri. Aku sendiri tenggelam dalam pekerjaanku, mencoba untuk tetap fokus. Namun, pikiran dan hatiku terus tertuju pada Riska dan Heri yang hilang tanpa jejak. Fakta tentang mereka membuatku semakin gelisah, dan sulit untuk membuang perasaan khawatir di benakku.

Saat waktu istirahat tiba, aku merasa lelah setelah melekatkan mataku pada layar komputer sejak pagi. Aku pun mengisi waktu istirahat dengan makan siang di kantin perusahaan. Ketika aku hendak bersantap, atasan Riska, seorang pria bernama Vincent, mendekatiku. Dia menanyai aku tentang ketidakhadiran Riska di kantor. Tentu saja dia menanyaiku karena aku adalah orang yang paling dekat dengannya. Aku lantas menceritakan penemuanku pada Vincent, berbagi informasi tentang keberadaan Riska dan Heri yang menghilang sejak kemarin. Vincent terlihat sangat terkejut mendengar ceritaku, tatapannya penuh kebingungan dan kekhawatiran. Vincent turut prihatin atas kabar yang aku sampaikan. Kendati kantor masih dipenuhi dengan ketidaknyamanan, melihat reaksi Vincent membuatku merasa lebih lega. Sepanjang hari ini, aku kurang fokus pada pekerjaan. Pikiranku terus bercabang, terus memikirkan nasib Riska dan Heri.

Sekitar pukul 15.00 sore, ponselku yang tergeletak di atas meja kerja berdering. Suara deringannya memecah keheningan di kantor. Aku dengan cepat mengambil ponselku dan melihat nama yang tertera di sana yaitu ‘Linda’. Hatiku berdegup lebih cepat, segera saja aku mengangkat panggilan itu dengan harapan mendapat kabar baik tentang Riska dan Heri dari Linda.

“Hallo …” Sapaku.

“Bas, aku merasa sangat cemas! Aku telah melaporkan kepada pihak kepolisian mengenai hilangnya Riska dan Heri semalam.” Ungkap Linda dengan nada khawatir.

“Oh, sungguh? Gimana hasilnya?” Tanyaku.

“Polisi segera melakukan investigasi di rumah Riska dan Heri. Namun, sayangnya, mereka tidak menemukan tanda-tanda atau petunjuk di sana.” Linda memaparkan hasil penyelidikan polisi.

“Apa penjelasan yang diberikan oleh pihak kepolisian?” Tanyaku lebih lanjut.

“Mereka mengungkapkan bahwa mereka belum dapat menyimpulkan kalau Riska dan Heri benar-benar hilang, karena belum mencapai dua hari. Tapi, mereka memberikan jaminan bahwa mereka akan segera mencari mereka.” Jelasnya dengan nada berharap.

“Semoga mereka segera ditemukan. Mungkin saja ada masalah kecil yang sedang mereka hadapi.” Harapku.

“Ya, aku juga berharap begitu. Tetapi, aku tetap merasa sangat khawatir, Bas.” Suara Linda terdengar penuh kekhawatiran.

“Kita harus tetap tenang. Selain melaporkan ke polisi, mungkin kita bisa mencoba menghubungi teman-teman atau kerabat mereka.” Kataku dengan suara penuh pertimbangan.

“Ya, aku sudah menelepon keluarga Riska. Tapi bahkan keluarganya juga gak tahu keberadaan Riska. Aku merasa sangat khawatir, jadi aku langsung melaporkannya pada pihak kepolisian.” Jawab Linda dengan nada prihatin.

“Kita harus tenang sambil terus berusaha. Selepas kerja, aku juga mau ke tempat Riska, siapa tahu aku menemukan petunjuk atau semacamnya.” Aku coba memberikan saran.

“Ya, Bas … Kita harus sama-sama mencarinya. Temukan Riska secepatnya. Kalau begitu, sudah dulu ya …” Kata Linda terdengar putus asa.

“Oke …”

“Bye …” Belum sempat membalas sambungan telepon langsung terputus.

Aku meletakkan kembali smartphone di atas meja kerja, menyadari bahwa kekhawatiran akan keberadaan Riska dan Heri terus mengganggu pikiranku. Langsung saja, aku menghalau kegalauanku agar kembali fokus pada pekerjaan yang menumpuk di hadapanku. Meskipun berusaha untuk tetap profesional, kekhawatiran itu tetap menyelinap di benakku sepanjang waktu.

Tak terasa waktu kerja usai, dan aku dengan cepat memburu motorku di parkiran. Adrenaline meningkat ketika aku membayangkan kemungkinan menemukan petunjuk atau informasi di rumah Riska dan Heri. Aku melesat membawa motorku menuju ke arah rumah mereka, berharap menemukan jawaban atas kehilangan misterius ini. Hanya setengah jam, aku pun sampai di tempat tujuanku. Pemandangan di depan mataku terlihat sepi dan sunyi. Aku menghampiri rumah mereka dengan hati yang berdebar-debar. Terbersit harapan di dalam diriku bahwa mungkin saja Riska dan Heri sudah kembali atau paling tidak aku bisa menemukan tanda-tanda keberadaan mereka.

Saat aku turun dari motor, tiba-tiba mataku tertuju pada dua sosok pria tinggi besar yang keluar dari rumah Riska, masing-masing membawa koper besar. Instingku langsung bergerak. Tanpa ragu, aku melangkahkan kakiku dengan cepat memburu kedua orang itu. Aku sangat yakin bahwa kedua orang ini memiliki informasi tentang keberadaan Riska dan Heri. Kecurigaanku berkembang menjadi keyakinan bahwa mereka mungkin terlibat dalam hilangnya sahabat-sahabatku. Aku mencegat mereka tepat di gerbang masuk rumah Riska. Kedua orang itu memakai masker dan kacamata hitam, sehingga wajah mereka kurang jelas terlihat. Aku tidak bisa menahan dorongan untuk mencari jawaban dari mereka.

“Dimana teman-temanku?” Tanyaku dengan keberanian dan keyakinan yang sulit disamarkan dari wajahku.

Kedua orang itu tidak menjawab pertanyaanku, mereka hanya menatapku tanpa kubisa melihat ekspresi mereka. Tak lama kemudian, salah satu dari mereka melangkah mendekatiku, dan tanpa aba-aba dia langsung menyerangku dengan pukulan jab keras mengarah ke wajahku. Aku menghindari pukulannya dengan memundurkan kepalaku ke belakang sedikit, lalu aku melayangkan kepalan tanganku ke arah tulang lunak hidungnya. Namun, tak kusangka, penyerangku dengan cepat menangkis seranganku dengan menangkis tanganku dengan lengannya, lalu menyerangku lagi dengan hook tangan kanannya yang cepat. Aku menghindari pukulannya yang ditujukan ke kepalaku dengan merundukkan badan, mencoba melakukan pukulan atas yang dia berhasil hindari dengan lengannya yang lain.

“Duuukk …!” Dua tangan beradu. Penyerangku terdorong ke belakang sementara aku terjajar ke samping.

“Hentikan main-mainnya!” Terdengar suara seorang pria lain yang sejak tadi menonton saja.

Aku terkesiap ketakutan setengah mati saat melihat moncong pistol yang mengarah ke tubuhku. Getaran panik mengalir di setiap sel tubuh, seolah kematian mau menjemput. Aku mundur beberapa langkah dengan gemetaran, sementara kedua pria itu berjalan membawa koper, tetap mengarahkan pistol padaku. Salah satu dari mereka memasukkan koper-koper ke dalam sedan mewah, pria yang satunya tetap mengarahkan pistolnya ke arahku. Tak lama kemudian, keduanya memasuki mobil dan pergi, meninggalkanku yang merasa lemas di sekujur tubuh. Tanpa berniat mengejar, kubiarkan mereka pergi. Masih dalam keadaan panik karena baru saja lolos dari maut, rasanya seperti seluruh tubuh terperangkap dalam ketegangan, dan bayangan moncong pistol masih menghantui pikiranku. Dalam keadaan yang masih cemas, aku berusaha menenangkan diri dan mencoba mengatasi rasa lemas yang menyelubungi diriku.

Nyata sudah, Riska dan Heri dibawa atau diculik oleh seseorang. Kejadian tadi membuktikan bahwa mereka dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. Sepertinya, mereka terlibat dengan kelompok berbahaya. Akhirnya, aku kembali ke atas motor, sejenak menenangkan diri, lalu pergi dari tempat ini dengan pikiranku yang penuh dengan pertanyaan. Dengan kecepatan pelan, aku mengendarai motorku melalui jalanan yang sunyi menuju rumahku.

Saat melintasi rumah Nicko, entah mengapa, aku tergerak untuk mampir sebentar ke rumahnya. Motorku melaju masuk ke halaman rumah Nicko, dan dari luar, terdengar suara ramah Nicko sedang berbincang dengan seseorang yang suaranya terdengar maskulin. Aku memarkirkan motor di sisi teras rumah dan baru saja menginjakkan kaki ke tanah, Nicko keluar dari pintu rumah dengan senyum ramah yang melekat di wajahnya.

“Aku baru saja mau meneleponmu.” Sambut Nicko.

“Oh ya?” Aku membalas senyuman sambutannya.

“Di dalam ada temanku. Dia detektif abal-abal. Tapi, bisa kita andalkan.” Ujar Nicko bersemangat.

“Detektif abal-abal?” Aku jadi ingin tertawa mendengar ucapan Nicko tersebut.

“Masuk! Aku kenalin sama dia.” Ujar Nicko mengajakku masuk ke dalam rumahnya.

“Ibumu ada?” Tanyaku sebelum memasuki ruangan.

“Dia lagi pergi sama ayah ke kampung, Bas. Baru besok mereka pulang.” Jawab Nicko.

Aku melangkah masuk ke ruang tamu dan mendapati seorang pemuda tampan yang duduk di sofa, berkacamata dengan tatapan penuh semangat. Tanpa ragu, aku langsung memperkenalkan diri padanya. Pemuda tampan itu bernama Soni, dan dari pembicaraannya, terlihat bahwa ia sangat menyukai cerita-cerita misteri dan detektif. Kami duduk bersama di ruang tamu, kami bertiga terlibat dalam obrolan tentang masalahku yang tak bisa aku sembunyikan, yaitu kehilangan dua sahabatku, Riska dan Heri.

“Aku tadi menemukan dua orang di rumah Heri dan Riska. Mereka membawa koper besar. Aku yakin itu adalah pakaian Heri dan Riska. Aku pikir, kedua sahabatku diculik atau disandera oleh kelompok berbahaya.” Jelasku pada Nicko dan Soni.

“Itu sangat dimungkinkan. Tapi menurutku, lebih baik kita memeriksa rumahnya. Siapa tahu kita mendapatkan sesuatu yang bisa mengarahkan kita kepada pelaku penculikan.” Sambar Soni bersemangat.

“Gimana, Bas?” Tanya Nicko sambil menatapku.

“Aku sudah memeriksa rumahnya, polisi pun sudah. Tak ditemui apa-apa, kecuali dua orang tadi yang membawa koper. Aku pikir untuk memeriksa rumah tak ada gunanya lagi. Dan aku pikir, kalau kita melibatkan diri, kita akan berhadapan kelompok yang berbahaya. Mereka mempunyai senjata api.” Jawabku.

“Apa?” Nicko terperanjat.

“Aku barusan ditodong oleh mereka. Rasanya aku akan mati saja tadi. Jujur, hatiku menjadi ciut setelah ditodong pistol.” Kataku yang memang masih merasakan ketakutan akan kematian.

“Jadi menurutmu bagaimana kelanjutannya?” Tanya Nicko lagi.

“Aku belum tahu, Nick. Aku gak yakin mau meneruskan pencarianku.” Kataku.

Kami bertiga akhirnya melanjutkan obrolan yang isinya saran-saran dari Nicko dan Soni agar aku tetap tegar. Meskipun hatiku masih terasa berat, tetapi kehadiran mereka berdua membawa keceriaan. Aku cukup terhibur oleh topik obrolan ringan yang penuh masukan ini. Sepertinya memang aku harus dialihkan dari obrolan berat dan serius. Gelak tawa pun mulai saling kami lontarkan dan bersahutan satu sama lain. Rasanya bebanku sedikit terangkat, setidaknya untuk sementara.


#####



RISKA POV



Malam belum begitu larut, jam masih menunjukkan pukul sembilan malam. Ini adalah malam kedua aku berada di rumah Burhan sekaligus markas besarnya. Saat aku pingsan di rumahku, ternyata Burhan membawaku ke sini. Aku hanya bisa pasrah dengan nasib yang menghampiriku. Ruangan ini menjadi saksi bisu atas keputusanku. Tak ada daya untuk melawan lagi, kucabut urat maluku, dan kulepas harga diriku.

Aku pasrah tubuhku menjadi tumpahan nafsu hewaninya. Aku diam saja, membiarkan Burhan memuaskan hasratnya untuk menyemprotkan spermanya dalam liang vaginaku. Entah sudah berapa liter spermanya menyirami rahimku, aku sudah tidak peduli. Siraman benih kehidupan itu tidak sebanding dengan rintihan hatiku yang hancur. Aku hanya bisa menangis meratapi nasibku ini. Kepercayaanku yang tulus telah dihancurkan oleh Heri, sosok yang begitu tega membodohi dan menipuku. Seperti air yang terus mengalir, begitu pula luka di hatiku semakin mendalam. Rasa kekecewaan dan pengkhianatan merajai pikiranku, membuatku terjebak dalam kepahitan yang sulit terlupakan ini.

Sekarang aku hanyalah seorang pemain yang tak lebih dari pelaku alur takdir. Tanpa niatan untuk melawan takdir, aku terdiam dalam kepasrahan, menyadari bahwa kuasa untuk mengubah alur kisah ini tak pernah ada padaku. Seperti pion di papan catur tak berdaya, aku bergerak sesuai aturan permainan yang sudah ditentukan. Setiap langkah yang kutempuh, setiap pilihan yang kulakukan, semuanya telah diukur dan diatur oleh kekuatan yang tak terlihat. Di antara cahaya lampu yang menyinari, aku mengenali ketidakpastian hidup yang mengalir begitu deras, tanpa kemampuan untuk menentangnya.

Aku meringkuk sambil menangis di atas kasur, tanpa sehelai benang pun saat Burhan keluar dari kamar ini. Rasanya seperti hatiku hancur berkeping-keping. Burhan tampaknya merasa cukup menyetubuhiku malam ini, tanpa menyadari seberapa dalam luka yang ia tinggalkan. Aku terus menangis hampir setengah jam, sebelum akhirnya aku mengumpulkan keberanian untuk membersihkan tubuhku di kamar mandi. Air dingin mengguyur tubuhku yang semampai, membasahi setiap lekuk-lekuknya. Sambil merasakan air yang menyegarkan, aku berharap air dingin ini bisa membawa pergi seluruh kesedihanku.

Setelah selesai, aku memutuskan untuk memakai gaun tidur. Saat aku duduk di meja hias untuk menyisir rambut, pintu kamarku terbuka. Tiba-tiba, aku merasa lega karena yang datang bukanlah Burhan, tetapi seorang wanita cantik seumuranku. Wanita itu membawa baki berisikan piring dan gelas yang aku pastikan itu berisi makanan untukku. Tatapan matanya penuh pengertian, seolah-olah ia bisa merasakan betapa rapuhnya hatiku saat ini.

“Makanlah … Kamu sangat kurang makan selama di sini.” Katanya sangat lembut.

“Aku tidak ingin makan.” Jawabku putus asa.

“Sesedih apapun dirimu, makan itu harus. Bagaimana kamu bisa menikmati hidup kalau kelaparan?” Ucapnya sambil menghampiriku lalu menarik tanganku lembut ke tempat tidur.

Kami pun duduk di sisi tempat tidur, dan wanita cantik itu memberikan piring berisi makanan padaku. Sambil tersenyum ramah, dia menganggukan kepala, memberi isyarat agar aku mau menerima piring di tangannya. Rasanya aneh, namun hangat. Perlahan, aku ambil piring tersebut, merasakan persahabatan dari tangan perempuan itu. Meskipun hatiku masih penuh dengan kepedihan, senyumnya membuatku merasa diberikan secercah harapan. Namun, aku tak langsung memakan makanan yang berada di atas piring. Sejenak, aku hanya memandanginya, berusaha menyusun kata-kata yang bisa keluar dari bibirku.

“Makanlah … Karena kalau kamu tetap ingin menyiksa diri, aku pastikan kamu akan lebih menderita. Kamu harus tetap sehat dan seksi agar Burhan tidak menjualmu ke luar negeri. Sudah ratusan wanita yang membandel dia jual ke luar negeri dan dijadikan pelacur di sana. Maka dari itu, makanlah dan tersenyumlah.” Ungkapnya membuatku terkesiap.

“Oh, begitukah?” Tanyaku sambil menatapnya lekat-lekat.

“Burhan paling tidak suka jika ada pelacur-pelacurnya menyusahkan dia, seperti sakit, terus bersedih, apalagi tidak menarik. Dia akan menjual pelacurnya ke China atau ke Hongkong dan dijadikan budak di sana. Menurutku, kehidupanmu akan lebih indah jika mengikuti permainan Burhan. Buat dia senang padamu, niscaya kamu akan diberi apa saja yang kamu mau.” Jelas wanita itu.

Mendengar wanita di depanku ini, aku menjadi merinding. Suara-getarannya membawa rasa ketakutan yang tak terhingga. Aku takut setengah mati bila aku dijual ke China atau ke Hongkong untuk dijadikan budak. Semua pikiranku berkecamuk, terpenuhi oleh kegelisahan. Setelah aku pikir, ternyata benar juga apa yang dikatakan wanita itu. Aku tidak tahan tinggal di sini, tetapi aku tidak mempunyai pilihan. Tepatnya, aku tidak bisa membuat pilihan. Daripada aku tersiksa dan menderita, lebih baik aku mengikuti permainan Burhan. Paling tidak, aku tidak akan tersiksa bahkan mungkin aku akan mendapatkan kesenangan. Meskipun itu adalah suatu bentuk penyerahan diri, tapi mungkin itu satu-satunya cara agar aku bisa bertahan di tengah keterbatasan dan ketidakberdayaan yang melilitku.

Aku mulai menyuap makananku. Setiap suapan memberikan sentuhan kehidupan pada lidahku, dan makanan itu masuk ke mulutku, akhirnya mengisi perut yang kosong. Rasanya aneh, merasakan kenikmatan sederhana di tengah situasi yang seharusnya penuh kegelapan. Wanita di depanku terus tersenyum melihatku makan, seolah memberikan waktu untukku menghabiskan makanan. Senyumnya itu membawa secercah kehangatan di dalam dinginnya situasi ini, dan untuk sejenak, aku melupakan rasa takut dan keputusasaan. Setelah merasa kenyang, aku menyudahi makanku. Wanita itu memberikan segelas air putih, dan aku langsung meminumnya. Air itu menyegarkan tenggorokanku yang kering.

“Namaku Neti …” Katanya mengajakku bersalaman.

“Riska …” Balasku sambil menjabat tangannya.

“Sudah saatnya untukmu mengikuti alur kehidupan barumu, Riska … Percayalah, kehidupan di isntana ini tidak seburuk yang kamu bayangkan.” Ucap Neti lemah lembut.

“Apa maksudmu?” Tanyaku jadi penasaran.

“Seperti kataku tadi, kamu akan mendapatkan apa yang kamu mau asalkan bisa menyenangkan hati Burhan. Dia akan memberimu apa saja asalkan kamu patuh padanya, termasuk kebebasan yang kamu idam-idamkan. Kamu bebas kemana saja, mau apa saja, asalkan kamu harus selalu mengikatkan diri pada Burhan. Burhan hanya menginginkan tubuhmu dan pengakuanmu, tetapi dia akan membalasnya dengan harga yang sebanding dengan penyerahan dirimu.” Jelas Neti dengan senyumannya yang menenangkan.

“Benarkah?” Tanyaku masih tak percaya.

“Kamu bisa membuktikannya sendiri.” Ucap Neti.

“Jadi … Aku bisa keluar dari kamar ini?” Tanyaku lagi.

"Jangankan dari kamar ini, bahkan dari istana ini pun, kamu memiliki kebebasan untuk keluar. Kamu dapat menjalani kehidupan sehari-hari seperti biasa, bekerja, ngopi di kafe, makan di restoran, dan segala aktivitas lainnya. Kamu bebas melakukan apa saja yang kamu inginkan. Tapi ingat! Aturan utama adalah tidak boleh mencoba melarikan diri, dan kamu harus patuh pada Burhan. Jika aturan ini dilanggar, Burhan akan dengan mudah menangkapmu, dan aku tidak bisa membayangkan konsekuensi buruk apa yang mungkin menimpa dirimu," jelas Neti dengan panjang lebar.

“Apa ada yang mencoba untuk kabur?” Aku terus bertanya ingin menghabiskan rasa penasaranku.

“Banyak …” Jawab Neti singkat.

Aku merenung sejenak sebelum mengajukan pertanyaan lagi, “Maaf Neti … Apa posisimu di sini?”

“Aku sama denganmu. Aku pelacur Burhan dan masih ada tiga orang lagi seperti kita. Nanti aku perkenalkan padamu.” Jawab Neti sambil tersenyum simpul.

“Neti … Apakah kamu bahagia dengan kehidupanmu sekarang?” Aku sudah seperti wartawan saja.

“Sangat bahagia, Ris … Sangat bahagia …” Ucapnya dan aku bisa merasakan kejujuran dalam nada ucapannya itu.

Di sinilah aku seperti mendapat sedikit pencerahan. Entah kenapa, saat Neti mengatakan bahwa dirinya sangat bahagia, aku merasakan kelegaan dalam batinku. Mungkin karena dalam situasi yang sulit ini, mendengar ada seseorang yang masih bisa merasakan kebahagiaan memberikan sedikit cahaya di tengah gelapnya keadaanku. Aku pun mulai bisa tersenyum, meski keraguan masih terasa. Pertemuan dengan Neti ini memberikan sedikit pelipur lara. Dalam sekejap, aku menyadari bahwa terkadang, kehidupan memperlihatkan sisi-sisi kebaikan yang tak terduga, bahkan di saat-saat yang paling sulit sekali pun.

“Ikut denganku … Aku akan memperlihatkan sesuatu padamu …” Ujar Neti sambil bangkit dari duduknya.

“Kemana?” Tanyaku bersemangat sambil ikut berdiri.

“Nanti kamu akan tahu betapa di istana ini penuh kesenangan dan kebahagiaan.” Ucap Neti dengan senyumannya yang penuh arti.

Aku yang penasaran mengikuti langkah Neti keluar dari kamar yang selama dua hari menyekapku. Saat pintu kamar terbuka, aku merasakan udara segar dan seolah-olah menghirup udara kebebasan. Pemandangan di sekitarku langsung membuatku terbelalak. Apa yang selalu dikatakan Neti, bahwa tempat ini adalah istana, bukanlah omong kosong. Sejauh mata memandang, terhampar kemewahan dan keindahan yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya.

Aku melihat ruangan yang begitu luas dan megah. Tiga langkah di depanku, terhampar sebuah tangga yang melingkar menuju lantai satu, yang tidak tersentuh oleh lantai penyekat sehingga ruangan di bawahku tampak menjulang tinggi. Lukisan-lukisan indah menghiasi dinding-dinding, perabotan mewah tersebar di setiap sudut, dan ornamen-ornamen lain yang memikat. Rasanya aku memasuki dunia dongeng, di mana keindahan dan kemewahan menyelimuti setiap sudut. Aku tak bisa menahan rasa terpana dan keheranan melihat betapa berbedanya dunia ini dengan tempat-tempat yang pernah kukenal sebelumnya.

“Ayo!” Suara Neti membuyarkan lamunanku.

Aku berjalan agak cepat untuk menyusul Neti. Kami berjalan menyusuri lorong yang mengarah belakang gedung hingga kami menemukan sebuah pintu. Dengan gemulai, Neti membuka pintu itu, lalu kami masuk ke dalamnya. Ruangan ini cukup gelap, pencahayaan hanya berasal dari cahaya yang masuk ke kaca besar berwarna hitam di sepanjang dinding ruangan sebelah selatan. Neti mengajakku berdiri di depan dinding kaca tersebut. Dari sini, kami bisa melihat pemandangan yang tidak terduga di bawah ruangan ini yang kulihat dari kaca besar di depanku.

Ruangan gelap tempat kami berdiri menghadap ke sebuah ruangan luas di bawah sana. Luasnya hampir sebesar lapangan basket, dan didekorasi indah yang semuanya memiliki aksen merah tua dan emas, termasuk karpet mewah dan perabotannya. Di keempat sudut ruangan terdapat tempat tidur besar dengan penutup gantung, menciptakan nuansa kemewahan yang sangat menggoda. Di tengahnya, ada sekelompok kursi cinta, kursi malas, sandaran, dan sofa besar. Suasana yang tercipta di sekelilingnya begitu tenang, membuatku takjub akan keindahan dan kenyamanan yang dihadirkan. Di ruangan itu juga terdapat bar mini yang elegan, menambah sentuhan kemewahan dan kelas tersendiri.

Tapi aku hampir tidak memperhatikan dekorasi dan keindahan ruangan di bawahku itu. Mataku terpaku pada orang-orang yang menghuni ruangan tersebut. Ada enam orang yang terlihat olehku, dan masing-masing telanjang bulat. Mereka semua sedang melakukan tindakan seksual dengan pasangan masing-masing. Seorang pria sedang bersantai di sofa, menatap pasangannya dengan penuh kasih sayang, yang kepala si wanita berada di antara kedua pahanya. Si wanita memegang batang ereksinya dengan satu tangan, dan oh, itu sangat besar. Mulut si wanita tidak muat memasukan seluruh batang penis itu, dia asik menjilat dan mencium sisanya saja.

Di kursi empuk di dekat mereka ada sepasang manusia berbeda Jenis kelamin. Si wanita duduk mengangkangi si pria, dimana si wanita asik menaikkan dan menurunkan dirinya di atas penis tegang si pria sambil membelai payudaranya. Aku bisa mendengar erangan mereka bahkan dari jarak sejauh ini. Di salah satu tempat tidur di sudut, aku bisa melihat pasangan lain. Mereka begitu saling terkait satu sama lain dengan gerakan mereka yang seirama, saling menggoyang, saling menekan, dan saling mengejar kenikmatan.

Betapa mataku terbuka lebar-lebar, dan bagaimana jantung ini berdetak tak beraturan. Aku benar-benar terkejut melihat itu semua. Ruangan di bawahku memperlihatkan sisi dunia yang tidak pernah kukenal sebelumnya, dan aku merasa seakan masuk ke dalam kisah cabul yang tak terbayangkan. Tindakan dan suasana yang terbentang di hadapanku, membuatku terhanyut dalam ketidakpercayaan. Aku berdiri di sini, tak bisa berkata-kata, hanya mencoba mencerna pemandangan yang begitu menghebohkan di hadapanku. Keintiman dan getaran kesenangan di antara mereka akhirnya membuatku merinding. Perlahan namun pasti, rasa yang tak asing, yang selalu didambakan orang, menyelinap ke dalam dadaku.

“Itu yang sedang nyepong namanya Sinta. Dia juga seperti kita, pelacur Burhan.” Ucap Neti memecah keheningan.

“A..apa??” Tentu saja aku terkejut mendengar penuturan Neti.

“Pasti kamu mau bertanya, kenapa pelacur Burhan melakukan itu?” Neti seperti bisa membaca pikiranku.

“Ya …” Lirihku sambil menengok ke wajah Neti yang masih menatap ke bawah.

“Seperti kataku tadi, Burhan akan memberikan apa saja pada kita, asalkan kita bisa menyenangkan hatinya dan patuh. Burhan tidak mengekang apa-apa, kita bebas melakukan apa saja termasuk seks dengan siapa saja. Tadi aku mengatakan kalau Burhan hanya butuh tubuh dan pengakuan kita. Maksudku, dia ingin diakui dan diperlakukan oleh kita sebagai suami. Kita harus menganggap Burhan suami kita walau tidak ada ikatan pernikahan.” Jelas Neti lagi.

Aku menengok lagi ke ruangan bawah itu lagi. Kini aku merasa terpesona dengan kehidupan di istana ini. Aku akan mendapatkan segalanya. Kesenangan, kebebasan, harta dunia, dan mungkin kebahagiaan. Terbersit dalam pikiranku gambaran indah masa depan yang menggoda. Masa depan yang terbentang di depanku membuat hatiku berdegup kencang, seolah-olah memanggilku untuk memeluknya erat. Hatiku yang awalnya terisi oleh kehampaan, kini muncul secercah harapan yang menjanjikan. Aku tidak lagi merasa terjebak dalam kegelapan, melainkan berada di ambang pintu menuju kehidupan yang menakjubkan.

“Yuk, kita pergi … Nanti kamu pengen … Hi hi hi …” Ujar Neti sambil terkikik.

“Bahkan aku kepingin sekarang … Hi hi hi …” Candaku sambil membalas cekikikannya.

“Kamu harus meyakinkan dulu Burhan, baru kamu akan mendapatkan apa saja yang kamu mau.” Kata Neti kemudian merangkul bahuku dan kami pun meninggalkan ruangan gelap ini.

Hidup ini memang tidak terduga, penuh dengan kejutan-kejutan tak terkira. Terkadang, apa yang orang inginkan dan rencanakan tidak selalu sejalan dengan kenyataan yang ada di depan mata. Seperti yang aku rasakan saat ini, perjalanan hidupku membuktikan bahwa tak selamanya aku dapat mengendalikan segalanya. Aku menginginkan sesuatu, merencanakan sesuatu, dan kadang-kadang mendapatkan sesuatu yang lain. Mungkin, pada awalnya, aku berharap akan menemukan kebahagiaan di tempat yang sudah direncanakan dengan baik. Namun, kehidupan selalu punya cara sendiri untuk mengajarkan aku pelajaran berharga. Satu hal yang aku pelajari adalah bahwa hidup sangat tidak dapat diprediksi, dan terkadang lebih baik mengikuti arus daripada mencoba merencanakan sendiri.

BERSAMBUNG
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd