Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG PENABUR BENIH (CUCKOLD INSIDE)

CHAPTER 6
ILMU DARI NICKO PART 1


BASTIAN POV

Kusapa pagiku dengan senyuman yang terlukiskan di bibirku. Sambil menghirup udara pagi yang masih bersih dan segar, aku memejamkan mata menikmati udara yang ada di sekelilingku. Aku benar-benar menikmatinya, hingga mataku pun tak ingin terbuka lagi. Ingin rasanya aku terus memejamkan mata ini dan menikmati keindahan ini dalam waktu yang cukup lama. Namun itu tak bisa aku lakukan karena harus segera bersiap-siap ke tempat kerja. Segera saja kaki ini kulangkahkan ke kamar mandi, membasuh tubuh untuk menghilangkan bau yang tidak seharusnya ada di tubuh sekaligus membantu melembutkan kulit dan meredakan ketegangan otot.

Setelah selesai mandi, aku merasa tubuh ini benar-benar segar dan bersih. Air dingin menyentuh kulit, memberikan rasa kenyamanan dan kesegaran. Aroma harum dari sabun favoritku menciptakan suasana relaksasi. Aku mengambil handuk lembut dan mengeringkan tubuh dengan perasaan hangat yang masih melekat. Langkah selanjutnya adalah mengenakan pakaian kerja yang sudah aku persiapkan sebelumnya. Kulekatkan pakaian kerja di sekeliling tubuh, aku merasa siap menghadapi hari yang menantang. Sambil menyisir rambut dan membersihkan wajah, aku memikirkan tugas-tugas yang menunggu di kantor. Sedikit semprotan parfum memberikan sentuhan akhir pada rutinitas persiapanku. Akhirnya, aku bersiap meninggalkan rumah menuju tempat kerja, untuk menghadapi tantangan dan menjalani hari dengan semangat yang baru.

Kuputuskan untuk langsung menuju garasi, berniat untuk segera pergi ke tempat kerja. Namun, sebelum aku mencapai garasi, suara familiar dari smartphone-ku memecah keheningan pagi ini. Aku merogoh saku celana untuk mengambil ponsel dan melihat layar yang menerangi wajahku. Ternyata, panggilan masuk berasal dari Nicko, teman baruku. Nama "Nicko" terpampang jelas di layar, dan aku langsung menjawab panggilannya.

“Selamat pagi Indonesia …” Sapaku.

“Ah ya … Pagi juga. Bas, aku ingin mengganti uangmu yang kemarin. Aku dikasih uang sama ibuku untuk mengganti uangmu.” Ujar Nicko begitu bersemangat.

“Serius?” Tanyaku senang.

“Bener, Bas … Dimana kita ketemuan?” Nicko balik bertanya.

“Aku mau sarapan di kafe deket kantorku. Kalau kamu mau ke sana, kita bisa ketemuan di kafe itu.” Jawabku.

“Aku akan ke sana. Kasih tahu aja nama kafe dan alamatnya.” Pinta Nicko.

“Baiklah … Aku akan kirim pesan alamat dan nama kafenya.” Kataku.

“Ok …” Sahut Nicko langsung saja terputus pembicaraan kami.

Aku mengirimkan nama dan alamat kafe kepada Nicko melalui aplikasi WhatsApp. Setelahnya, aku melanjutkan langkah kaki menuju garasi, dan tak lama aku menaiki motor kesayanganku. Aku merasakan getaran ringan mesin motor yang siap membawaku ke tujuan, dan dengan gesit, aku melewati pintu garasi yang kubiarkan terbuka di belakangku. Langit pagi terbentang luas di atas sana, dan embusan angin sejuk menyentuh wajahku saat aku memasuki jalanan yang sepi.

Helm melindungi kepala, dan tatapan fokus terarah pada jalanan yang terbentang di depan. Motor kesayanganku dengan setia meluncur di bawah sinar matahari pagi yang lembut. Aku menikmati setiap momen perjalanan ini, meresapi suasana sekitar yang tenang dan pemandangan sepanjang perjalanan menuju kafe. Di pikiranku, aroma kopi dan semangkuk bubur ayam sudah membayang. Dengan setiap putaran roda, aku semakin mendekati kafe yang menjadi pilihan untuk memulai hari ini.

Sesampainya di kafe yang menjadi tujuanku, langsung kurasakan kenyamanan begitu melangkah masuk. Saat aku mengamati sekeliling, tak disangka, Nicko sudah tiba lebih dulu dan duduk di sudut yang nyaman. Senyuman sambutannya menggambarkan kegembiraan melihat kedatanganku. Segera saja aku menghampiri teman baruku itu, dan langsung saja pelayan dengan ramahnya menghadirkan menu. Kami berdua sepakat untuk memesan bubur ayam, sesuatu yang menjadi favoritku di pagi yang cerah ini.

“Bas … Ini uangmu …” Nicko menyodorkan amplop padaku di atas meja.

“Terima kasih, Nick … Sebenarnya aku sudah melupakannya, tapi karena kamu yang memaksa, maka aku terima ini.” Candaku.

“He he he … Aku gak memaksa … Tapi kewajiban.” Tukas Nicko.

“Aku suka sama pemikiranmu, Nick … Oh ya, gimana malammu dengan kekasihmu?” Tanyaku sambil tersenyum.

“He he he … Aku buat dia kepayahan, Bas … Aku siksa dia sampai menyerah.” Jawab Nicko dengan bangga.

“Oh ya? Gimana ceritanya?” Aku jadi penasaran.

Obrolan kami tiba-tiba terhenti ketika pelayan kafe mendatangi meja kami, membawa pesanan kami yang sudah lama dinanti. Pelayan menempatkan mangkuk bubur ayam di depan kami, dan segelas kopi di sampingnya. Aku melihat kepingan daging ayam terapit di dalam bubur, dan rasa lapar langsung melanda. Pelayan dengan ramah menanyakan apakah ada lagi yang kami butuhkan, dan setelah memberikan jawaban bersahabat, sang pelayan meninggalkan kami untuk menikmati santapan kami.

“Jadi, gimana ceritanya kamu bisa buat ibu tirimu itu kewalahan?” Tanyaku menyambung pembicaraan kami lalu menyuapkan bubur ayam ke mulutku.

“He he he … Aku genjot sampai tengah malam, Bas … Aku buat dia terus-terusan orgasme. Bas, dia bilang sangat puas dengan permainanku.” Ujarnya membuat aku melongo heran.

“Sebentar, kamu bilang tadi kalau kamu membuatnya orgasme terus-terusan? Gimana tuh maksudnya?” Tanyaku heran dan penasaran.

“He he he … Dia gak aku biarkan reda orgasmenya, orgasme pertama belum reda akan disusul orgasme berikutnya dan terus dia akan orgasme seperti itu sampai aku klimaks dan berhenti.” Jelasnya membuat aku terperangah. Aku tak percaya dengan ucapannya Nicko yang menurutku tak masuk akal.

“Kok bisa gitu ya?” Tanyaku sambil menikmati sarapanku perlahan.

“Ya, bisa dong … Kan ada tekniknya …” Jawab Nicko sambil tersenyum.

“Gimana, gimana? Kasih tahu aku.” Pintaku yang begitu penasaran.

“Gini … Di bagian pinggul wanita ada urat yang dinamakan nervus pudendus. Jika urat itu kita sentuh saat wanita sedang orgasme, maka orgasmenya tidak akan pernah mereda sampai orgasme berikutnya. Terus saja pijit urat itu sampai kita selesai, aku jamin pasangan bercintamu akan mengalami orgasme sebelum kamu melepaskan pijatan di urat itu.” Jelas Nicko.

“Kamu dari mana dapet ilmu aneh itu?” Tanyaku masih belum bisa mempercayainya.

“He he he … Warisan leluhur, Bas … Aku dikasih tahu sama almarhum ibuku, dan itu terbukti kemanjurannya.” Kata Nicko lalu menyantap sarapannya.

“Aku jadi tertarik … Bisakah kamu mengajariku?” Pintaku.

“Bisa saja, asal ada yang mau menjadi objek percobaannya. Ini harus dipraktekan.” Ungkap Nicko.

“Soal itu gak jadi masalah. Aku banyak stok.” Kataku.

“Wow! Benar kamu punya banyak perempuan, Bas?” Kini Nicko yang terheran-heran.

“Ya … Jadi kira-kira kapan aku bisa belajar teknikmu itu?” Tanyaku jadi sangat tertarik oleh teknik ajaib itu.

“Aku terserah kamu saja. Aku selalu siap kapan saja.” Jawab Nicko santai.

“Oke … Nanti aku kabari kalau aku sudah siap.”

“Oke …”

Setelah kami berdua menikmati sarapan pagi di kafe, Nicko dan aku bersiap-siap untuk keluar dari kafe, berterima kasih pada pelayan yang ramah. Setelah berbincang-bincang sebentar dan mengucapkan selamat tinggal pada Nicko di pelataran parkir kafe, aku melanjutkan perjalanan ke kantor. Motorku langsung mengarahkan ke kantor yang tidak terlalu jauh dari kafe. Tak berselang lama, aku pun sampai di tempat kerja dan langsung memburu ruang kerjaku.

Aku pun tenggelam dalam serangkaian pekerjaan yang menuntut konsentrasi. Hanya bunyi ketukan jari di keyboard dan pembicaraan dengan para klien yang aku dan rekan-rekan kerjaku hubungi yang terdengar di sekitar ruangan. Waktu berlalu begitu cepat, dan sebelum aku menyadarinya, tiba-tiba waktu istirahat pun tiba. Ketika aku melangkah keluar dari ruang kerja, kejutan menyenangkan menunggu di luar pintu. Riska sudah menanti dengan senyuman cerah di wajahnya. Dia mengajakku untuk makan siang bersama di kafe yang sama tempat aku dan Nicko sarapan pagi tadi. Aku dengan senang hati menerima ajakannya. Kami berdua berangkat ke kafe langganan dengan menggunakan motor masing-masing. Sesampainya di kafe, aku dan Riska duduk di meja yang sama seperti pagi tadi sambil menikmati makan siang kami.

“Apakah kemarin kami jadi memeriksakan kandunganmu?” Tanyaku di sela menikmati acara makan siang.

“Ya, dan hasilnya memang aku sudah hamil.” Riska pun tersenyum manis.

“Baguslah … Mudah-mudahan lancar dan sehat sampai kamu melahirkan.” Kataku ikut senang.

“Amin …” Sambut Riska bahagia.

“Ris … Aku punya teman yang ingin mengajariku teknik bercinta. Tapi aku butuh wanita sebagai objek latihanku. Apa kamu mau menjadi objek latihanku?” Tanyaku sekaligus meminta kesediaannya.

“Teknik bercinta? Maksudnya?” Mata Riska terbelalak, mungkin dia heran atau terkejut.

Sambil menikmati makan siang, aku memutuskan untuk berbagi cerita dengan Riska tentang pengalaman unikku bersama Nicko. Dengan suara berbisik agar tidak terdengar oleh pengunjung lain, aku mulai bercerita tentang rencana Nicko untuk mengajarkan padaku teknik bercinta yang katanya bisa membuat pasangan bercinta orgasme tanpa jeda. Riska memandangku dengan ekspresi penasaran dan tidak percaya. Aku tertawa ringan sebelum melanjutkan menceritakan bagaimana aku dan Nicko saling mengenal.

“Apa dia benar-benar bisa membuat wanita seperti itu?” Tanya Riska dengan mata yang memancarkan ketidakpercayaan.

“Makanya aku ingin tahu dan membuktikannya.” Jawabku. Meskipun Riska tetap skeptis, dia tertawa dan mengangguk-anggukan kepala.

“Itu perlu dicoba, Bas … Kalau dia memang bisa seperti itu, aku sungguh sangat bahagia. Aku gak bisa membayangkan gimana aku dibuat seperti itu.” Riska pun tersipu.

“Jadi kamu mau menjadi bahan praktekku?” Tanyaku ingin keyakinan.

“Ya … Aku mau …” Lirihnya malu-malu.

“Oke … Kita akan latihan di rumahmu, biar sekalian Heri bisa juga. Tapi kamu telepon Heri dulu, apakah dia bersedia menerima kami atau tidak? Kalau dia keberatan, berarti kita mencari tempat lain.” Kataku dan dijawab anggukan lagi oleh Riska.

Setelah menyudahi hidangan makan siang di kafe, Riska dan aku memutuskan untuk kembali ke kantor dengan motor masing-masing. Udara siang yang cerah memberikan energi tambahan, dan perut kenyang membuat langkah kami terasa ringan. Walaupun waktu istirahat singkat, perasaan segar dan semangat dari makan siang bersama tetap terasa. Saat kami tiba di kantor, kami memarkirkan motor masing-masing dan masuk ke dalam gedung perusahaan dengan energi dan semangat baru.

Saat kami tiba di lobi perusahaan, suasana tampak tenang dan riuh rendah. Namun, tiba-tiba saja, dering smartphone Riska terdengar membuyarkan ketenangan. Dengan sigap, Riska mengangkat panggilan itu yang ternyata dari Linda. Aku menunggu dengan penuh rasa penasaran, tidak mengetahui apa yang mereka bicarakan. Riska tampak serius dan fokus selama percakapan telepon, dan ekspresinya tiba-tiba berubah menjadi ketakutan. Pandangannya yang tajam menatapku seolah-olah membawa kabar yang tidak diinginkan. Saat Riska akhirnya menutup teleponnya, ia menarikku ke sofa di ujung lobi perusahaan dengan gesture yang menampakan kekhawatiran. Aku duduk di samping Riska, mencoba membaca ekspresinya yang tegang.

"Benar kamu kemarin menyelamatkan Linda?" Tanya Riska dengan mimik yang menyiratkan kecemasan, matanya mencerminkan kebingungan dan kekhawatiran.

“Ya … Emangnya ada apa?” Tanyaku balik sambil menatap ekspresi Riska yang membuatku penasaran.

“Linda memintamu berhati-hati karena dia khawatir suaminya akan memburumu.” Suara Riska terdengar bergetar, membawa nuansa kegelisahan yang melekat pada setiap katanya.

“Loh kok begitu? Seharusnya suaminya itu ditangkap dong. Aku sudah melaporkannya pada polisi kemarin. Aku bicara sama polisi kalau semua itu rencana suaminya.” Aku heran, mencoba memahami situasi yang menjadi kompleks. Rasa keheranan bergelayut di antara kekhawatiran dan kebingungan dalam benakku.

“Bas … Aku sudah bilang sama kamu kalau suami Linda itu berbahaya. Dia itu kebal hukum dan kejam.” Ungkap Riska dengan nada yang penuh keprihatinan, matanya mencerminkan ketakutan mendalam akan keselamatanku.

“Jadi, suaminya belum ditangkap?” Tanyaku.

“Bukan belum ditangkap, tapi tidak ditangkap.” Jawab Riska membuatku terperanjat.

“Bisa begitu ya?” Aku menggaruk kepala yang tak gatal.

“Kamu harus berhati-hati, Bas. Aku gak mau kamu celaka.” Riska berkata hampir menangis.

“Ya, aku akan berhati-hati. Tenang saja, kamu jangan khawatir.” Kataku sambil mengambil tangan Riska dan mengelusnya.

Riska pun mengangguk lalu kami beranjak dari sofa. Aku dan Riska kembali ke ruang kerja masing-masing. Di ruang kerja, pikiranku terpecah oleh pembicaraanku dengan Riska di lobi tadi. Meskipun tugas-tugas kantor menuntut perhatianku, namun bayangan akan percakapan tadi terus menghantuiku. Sebuah ketidakpastian melayang di udara, dan aku merasa ada sesuatu yang akan terjadi yang membahayakan diriku. Aku berusaha berkonsentrasi pada pekerjaanku, tetapi setiap bel pintu yang berbunyi atau suara telepon yang berdering membuatku tersentak. Mataku sesekali melirik jam dinding, dan setiap detik yang berlalu membuat kegelisahan semakin memuncak.

Hingga akhirnya, waktu kerja pun usai. Saatnya aku meninggalkan ruang kerja, suasana yang biasanya tenang seketika berubah. Langkahku terasa lebih berat, dan bayangan ancaman semakin terasa nyata. Mengingat kembali percakapan dengan Riska, aku merasa perlu lebih waspada terhadap setiap situasi yang mungkin timbul.

“Bas …” Aku mendengar suara Riska di belakangku. Aku menoleh dan Riska sedang berlari kecil menghampiriku. “Bas, barusan Linda menelepon lagi. Suaminya benar-benar akan mengejarmu.” Riska begitu panik sambil menatapku dengan sorot mata yang penuh kekhawatiran, dia membawa kabar buruk yang membuat detak jantungku semakin cepat.

“Apa yang dia ceritakan?” Tanyaku berusaha menenangkan diri.

“Linda bilang kamu sudah mengetahui rahasianya dan Alan akan membuatmu diam.” Kata Riska.

“Oh, nama suaminya itu Alan?” Tanyaku.

“Ya …”

Aku terpaku dalam pikiran tentang ancaman serius yang datang dari Alan. Orang itu tampaknya nekat dalam melontarkan ancamannya, dan keputusannya untuk mengumbar hal tersebut menambah beratnya situasi. Aku merasa perlu untuk menanggapi ancaman ini dengan serius dan hati-hati, mempertimbangkan langkah-langkah yang harus diambil untuk melindungi diri.

“Ya sudah … Terima kasih atas informasinya. Lebih baik kamu pulang duluan, aku akan mencari jalan untuk menghentikan ancamannya.” Kataku sambil tersenyum berusaha untuk membuat Riska tenang.

“Apa yang akan kamu lakukan?” Tanya Riska masih tampak khawatir.

“Banyak cara untuk menghentikannya. Sudah, cepat kamu pulang.” Pintaku.

“Baiklah … Kamu hati-hati ya, Bas …” Ucap Riska sangat memelas.

“Ya … Tenangkan dirimu. Aku gak bakalan celaka dengan ancaman Alan. Percayalah …” Kataku lagi menguatkan hati Riska.

Saat itu, aku melihat Riska berjalan dengan terburu-buru menuju pintu keluar gedung perusahaan. Pandanganku terpaku pada langkah-langkahnya yang tegas, dan pikiranku langsung teralih ke perasaan cemas yang mendalam. Sementara aku masih berdiri di lobi perusahaan, kekhawatiran terhadap bahaya yang mengancamku menghantui pikiran. Dalam keheningan sejenak, otakku berputar cepat, mencari cara terbaik untuk menghindari potensi risiko yang mungkin datang. Aku merenung, memilah-milah opsi, dan mencoba merancang strategi perlindungan diri yang efektif. Setiap detail situasi dipertimbangkan dengan seksama, sebagai langkah awal untuk menjaga diri dan mengatasi ancaman yang mengintai.

Akhirnya, cahaya ide menyinari pikiranku, dan tanpa ragu, aku segera meraih smartphone yang tersemat dalam saku celanaku. Dengan cepat, jari-jariku menari di atas layar sentuh, membuka aplikasi panggilan, dan memilih kontak yang tepat: Nicko. Saat nada panggilan berdering, detak jantungku ikut mempercepat, menanti dengan antisipasi.

“Hallo, Bas …” Terdengar suara Nicko di seberang sana.

“Nick … Bisa kamu jemput aku di kafe yang tadi pagi kita ketemuan?” Kataku.

“Bisa, gak masalah. Kebetulan aku dekat dengan kafe itu. Aku segera meluncur.”

“Oke, thanks …”

Meninggalkan motor di tempat parkir, aku memutuskan untuk mengambil jalur yang lebih aman dengan berjalan kaki keluar dari kantor melalui gerbang belakang. Dalam suasana yang penuh kecurigaan, aku berusaha menghindari sorotan mata yang mungkin sedang mengintai. Berjalan dengan langkah hati-hati, aku melalui gerbang belakang yang jarang dilalui, menghindari kemungkinan dipantau oleh mata yang tidak diinginkan. Ya, aku memilih rute ini untuk meminimalkan risiko terhadap perhatian yang tidak diinginkan.

Setelah melalui gerbang, aku melanjutkan perjalanan menuju kafe langgananku melalui gang kecil yang sunyi. Langkahku berusaha tetap tidak mencolok, memastikan bahwa perjalanan ini tidak menarik perhatian yang tidak perlu. Saat akhirnya aku tiba di kafe, rasa lega menyelimuti diriku. Memilih meja di sudut yang kurang terlihat, aku merasa aman dan dapat bersantai sejenak. Aku memesan kopi es, sambil tetap mempertahankan kewaspadaan dan menikmati momen singkat ketenangan di tengah ketegangan yang mengitariku.

Sambil menyeruput kopi es, aku merenung dalam momen keheningan, mataku tetap waspada terhadap sekitar. Meskipun suasana kafe tampak tenang, kewaspadaanku tetap berjaga-jaga memastikan bahwa aku tidak boleh meremehkan potensi perubahan mendadak. Sekitar sepuluh menit berlalu, dan suasana itu berubah ketika Nicko memasuki pintu kafe. Mata kami bertemu dengan pandangan tajam, dan senyum akrab terukir di wajahnya seketika. Aku melihatnya bergerak melintasi ruangan. Aku menyambutnya dengan senyum hangat ketika ia mendekati meja tempat aku duduk.

“Gimana?” Tanya Nicko sambil duduk di kursi, kami pun saling berhadapan.

“Aku dalam bahaya, Nick … Ada yang mengancamku.” Langsung saja aku bicara to the point.

“Apa? Kamu diancam?!” Tampak Nicko sangat terkejut. “Aku pikir kita mau praktek.” Lanjut Nicko sambil menatapku tajam.

Tanpa ragu, aku mulai menceritakan secara kronologis kejadian ketika aku menolong Linda. Detail demi detail kejadian itu keluar dari bibirku, menyusun rangkaian peristiwa yang terjadi saat aku memberikan pertolongan pada wanita itu. Namun, keputusan untuk menolong ternyata membawa konsekuensi tak terduga, karena suami Linda menemukan tindakanku dan menganggapnya sebagai ancaman pribadi, suami Linda mengancamku sebagai reaksi terhadap perbuatanku. Kepada Nicko, aku tidak menyembunyikan rasa ketidaknyamanan yang kurasakan. Aku menjelaskan bahwa saat ini, aku merasa seperti sedang diintai oleh suami Linda, membuat suasana hatiku menjadi tegang dan penuh ketidakpastian.

“Aku meminta bantuanmu, Nick … Antar aku ke Kafe Loman. Aku pikir di sana aku akan aman.” Kataku mengakhiri ceritaku.

“Kafe Loman? Di mana tuh?” Tanya Nicko.

“Di utara kota, nanti aku tunjukkan jalannya.” Jawabku.

"Hhhmm..." gumam Nicko dengan wajah serius yang menunjukkan ekspresi berpikir keras, seolah mencoba menyusun strategi untuk menghadapi situasi yang rumit ini. “Aku punya ide.” Ucapnya mantap, menyiratkan keberanian dan tekad untuk membantu menyelesaikan masalah yang melibatkan ancaman dari suami Linda.

“Ide apa?” Tanyaku terperangah.

“Tanteku kenal baik dengan Kapolda Jaya. Mungkin dia bisa membantumu.” Ujar Nicko memberikan harapan baik padaku.

“Benarkah? Boleh juga tuh …” Jawabku sangat senang.

“Tunggu … Aku akan telepon dia. Mudah-mudahan dia tidak sibuk.” Ungkap Nicko sambil mengambil smartphone dari saku celananya.

Nicko mengambil smartphone-nya dengan cepat. Matanya fokus pada layar, jari-jarinya bergerak cepat mencari nomor telepon yang sudah tersimpan. Seiring berjalannya waktu, ekspresi wajahnya berubah dari serius menjadi lega dan bahkan penuh senyum. Sementara aku memperhatikannya, Nicko mulai berbicara dengan penuh semangat saat berkomunikasi dengan tantenya. Suara Nicko terdengar ringan dan penuh emosi saat dia menceritakan permasalahanku pada tantenya. Meskipun aku tidak dapat mendengar percakapan mereka secara langsung, senyum di wajah Nicko menunjukkan rasa percaya diri dan keyakinan bahwa tantennya akan memberikan bantuan yang diperlukan. Setelah beberapa waktu berbicara, aku melihat Nicko mengakhiri percakapannya dengan raut wajah yang tampak lebih tenang. Dia menutup panggilan, meletakkan smartphone-nya di atas meja, dan memandangku dengan mata penuh harap.

“Kita disuruh mendatanginya di kompleks Durma Asih. Tanteku sedang berada di sana.” Ungkap Nicko masih dengan senyumnya.

“Durma Asih??” Aku terkejut mendengar kompleks Durma Asih. Kompleks itu adalah perumahan super elit yang hanya dihuni oleh orang berduit.

“Ya, Durma Asih … Kita ditunggu di sana.” Senyum Nicko semakin lebar.

Dengan hati yang dipenuhi keraguan, aku akhirnya menyetujui ajakan Nicko untuk mengunjungi tantenya, meski rasa tidak percaya tetap melingkupiku. Pikiranku dipenuhi pertanyaan, bagaimana mungkin seorang yang memiliki tantenya yang kaya raya, hidupnya sendiri tampak serba pas-pasan. Namun, keingintahuanku yang besar mengalahkan ketidakpercayaan itu, dan aku memilih untuk mengikuti langkah Nicko keluar dari kafe. Di luar, motor yang terparkir sudah menanti, dan aku naik di belakang Nicko. Saat motor melaju di jalanan, angin sepoi-sepoi menyapu wajahku dengan rasa tidak percaya masih bersarang di benakku.

Satu jam kemudian, kami akhirnya tiba di perumahan super elit yang diaku Nicko sebagai tempat tinggal tantenya. Sambil mengamati setiap sudut perumahan yang mewah, aku masih mencoba meresapi kenyataan ini. Meski aku sudah berada di rumah bagaikan istana tempat tinggal tante Nicko, tetap saja sulit bagiku untuk sepenuhnya mempercayai bahwa tante Nicko tinggal di tempat yang begitu istimewa ini. Kalau benar tante Nicko tinggal di sini, rasanya sulit untuk menerima bahwa Nicko hidup dalam kesusahan. Aku berusaha memahami bagaimana mungkin Nicko, yang hidup dalam keterbatasan, memiliki hubungan keluarga dengan seseorang yang tampaknya berada di lapisan sosial yang jauh lebih tinggi.

Nicko berbicara dengan seorang security yang berjaga di pintu gerbang, memberikan penjelasan yang meyakinkan. Setelah beberapa saat, kami dipersilahkan memasuki halaman rumah yang begitu luas dan indah. Kami melalui taman-taman bunga yang disusun rapi, di tengah-tengahnya terdapat kolam dan pancuran air yang menambah pesona tempat ini. Suasana yang sejuk dan indah menciptakan aura kemewahan yang mengelilingi kami.

Kami akhirnya parkir di sisi kiri bangunan utama, lalu melangkah menuju teras rumah yang menakjubkan dengan pilar-pilar besar dan tinggi. Di sana, seorang security yang berdiri dengan tegas segera menanyai tujuan kedatangan kami. Setelah memberikan penjelasan yang diperlukan, kami disuruh menunggu sejenak karena sang security menyampaikan kehadiran kami melalui telepon kepada tante Nicko.

Sekitar tiga menit berselang, pintu besar rumah terbuka dengan megah, mengungkapkan seorang wanita cantik yang muncul dengan senyuman hangat di wajahnya. Wanita itu, yang aku duga sebagai tante Nicko, menyambut kami dengan ramah. Nicko memberikan senyuman balasan, dan Nicko segera menyalami dan mencium tangan si wanita cantik itu. Nicko dan tantenya terlibat dalam percakapan penuh kehangatan, saling bertukar kabar seperti dua orang yang sudah lama tidak saling jumpa. Aku kemudian bersalaman dengan tante Nicko meskipun kebingungan dan rasa penasaran masih tersemat di pikiranku.

“Silahkan masuk …” Ajak tante Nicko.

Langkah kami melintasi pintu masuk menuju ruang depan rumah terasa seperti memasuki dunia yang berbeda. Aku sampai menahan nafas ketika pandanganku mengelilingi kemegahan ruangan ini. Dinding-dindingnya yang terbuat dari material mewah dan dipenuhi dengan karya seni yang elegan, menambah nuansa aristokratis ruangan tersebut. Cahaya lembut yang menyinari setiap sudut, mengungkapkan keindahan detail arsitektur yang dipilih dengan cermat. Lantai marmer yang bersih dan mengkilap mencerminkan elegansi dan kebersihan. Fokusku tertuju pada sofa yang terletak di tengah ruang, sebuah perabot yang begitu indah dan tampaknya dirancang dengan sempurna. Aku, Nicko, dan tantenya duduk di sofa tersebut, meresapi kenyamanan yang disuguhkan oleh bahan-bahan berkualitas tinggi.

“Tante … Perkenalkan … Ini temanku bernama Bastian.” Ujar Nicko mulai memperkenalkan diriku pada tantenya. Aku pun menangkup kedua telapak tangan lalu menundukkan sedikit badan sebagai tanda perkenalan. “Bas, ini tanteku, namanya Lia.” Lanjut Nicko.

“Senang mengenalmu, Tante Lia.” Kataku.

“Jangan panggil aku tante, kesannya kok seperti sudah tua. Panggil saja nama.” Ujar Lia yang tidak suka aku panggil dengan sebutan tante.

“Oh, baiklah …” Responku sambil tersenyum. Aku suka dengan wanita ini yang tidak menyukai formalitas dalam hubungan pertemanan.

“Nicko tadi bilang, kamu diancam seseorang setelah menolong istrinya.” Ucap Lia sambil memandangku lembut.

“Benar … Saya menolong seseorang bernama Linda saat aku melihat perempuan itu pingsan dan dilecehkan di dalam mobil oleh dua orang yang mengapitnya di jok belakang mobil.” Kataku mengawali cerita bagaimana aku mulai terlibat dalam permasalahan yang sedang melilitku sekarang ini.

Aku kemudian menceritakan serangkaian kejadian saat aku menolong Linda. Aku menjelaskan bagaimana peristiwa-peristiwa itu bergulir, bagaimana aku terlibat dalam memberikan bantuan kepada Linda yang sedang mengalami kesulitan. Lia tampak semakin serius saat aku menceritakan bahwa aku mendapat kabar dari Riska. Informasi yang Riska sampaikan menggambarkan bahwa suami Linda berniat memburuku sebagai konsekuensi dari keterlibatanku dalam urusannya. Aku melanjutkan, menjelaskan kepada Lia yang tercengang bahwa suami Linda diketahui memiliki kekebalan hukum yang kuat karena hubungannya yang erat dengan para penguasa. Kekuasaan dan pengaruhnya menjadi ancaman serius bagi siapa pun yang berani melibatkan diri dalam urusannya.

“Siapa Riska itu?” Tanya Lia sesaat setelah aku selesai menceritakan permasalahanku.

“Dia adalah teman sekerjaku dan dia juga sahabat Linda.” Jawabku.

“Oh …” Gumam Lia sambil tersenyum namun senyumannya itu seperti mengandung arti lain. Mata Lia menatapku tajam seolah ia sedang membaca pikiranku. “Alan … Nama suami Linda … Dia memang tak akan bisa terjerat hukum. Benar dia mempunyai hubungan dengan banyak petinggi negara, maka akan sulit melawannya dengan hukum. Relasiku pun tak akan mampu melawan orang itu.” Lanjut Lia masih dengan senyumnya.

“Jadi bagaimana aku bisa melawannya? Tidak mungkin aku menghindar terus.” Kataku ingin pencerahan darinya.

“Ular … Dia sangat takut dengan ular … Bawakan saja dia ular, aku pastikan dia akan takluk dan tunduk padamu.” Ucap Lia ringan membuatku geleng-geleng kepala, tak percaya dengan apa yang dia sarankan.

“Kok bisa begitu, tante?” Tanya Nicko yang juga seperti tak percaya.

“Waktu kecilnya, dia pernah hampir mati karena digigit ular, dan itu menjadi ketakutan paling berbekas hingga saat ini. Dia phobia ular sangat akut. Percayalah padaku, masalahmu akan selesai jika kamu bisa membawa ular sampai di depan mukanya.” Ucap Lia sambil tersenyum.

Walau ragu memenuhi pikiranku, aku menyimpulkan bahwa tidak ada salahnya jika mencoba. Aku akan membawa ular dan menemui Alan. Akhirnya, aku dan Nicko memutuskan untuk mengakhiri kunjungan kami, menyisakan pertanyaan dan kekhawatiran yang belum terjawab. Kami mengundurkan diri dari rumah megah itu, melangkah keluar dari pintu gerbang. Motor Nicko, dengan suara mesin yang khas, membawa kami keluar lingkungan rumah besar tersebut. Sementara kami semakin menjauh, perasaan ketidakpastian masih membayangi, tetapi tekad untuk menghadapi tantangan semakin tumbuh.

“Sebenarnya, siapa tantemu itu? Aku merasa dia seperti penyihir. Kok, dia tahu kalau Alan phobia ular?” Tanyaku pada Nicko yang sedang mengendarai motornya.

“Tanteku itu bisa membaca masa lalu seseorang. Jadi jangan coba-coba berbohong di depannya.” Jawab Nicko santai.

“Oh …! Masa sih?” Aku belum percaya.

“Ya, begitulah … Sekarang lebih baik cari ular dan temui Alan.” Ucap Nicko dengan penuh percaya diri.

“Dimana kita mau cari ularnya?” Tanyaku.

“Ada … Kita bisa pinjam ke temanku. Dia memelihara ular piton.” Jawab Nicko lagi.

“Sial … Aku juga sebenarnya takut sama ular …” Jujurku.

“Ha ha ha … Ular temanku sudah jinak. Tenang saja, aku yang akan membawanya. Aku sudah akrab dengan ular temanku itu, aku sering main-main dengan ularnya.” Nicko pun tertawa terbahak-bahak.

Motor terus melaju di jalanan yang tak dikenal, membawaku ke suatu tempat yang belum pernah kukunjungi sebelumnya. Setelah setengah jam perjalanan, Nicko dengan lihai memarkirkan motornya di depan sebuah rumah. Nicko menyuruhku menunggu sejenak sementara dia melangkah menuju pintu rumah tersebut. Aku melihat pintu itu terbuka dan seorang pemuda menyambut Nicko di ambang pintu dengan senyuman ramah. Entah apa yang mereka bicarakan di balik pintu itu, aku hanya bisa merenung, duduk dengan rasa penasaran. Tak lama kemudian, Nicko kembali menghampiriku dengan wajahnya yang penuh semangat, membawa kotak plastik berukuran sedang. Kebingungan mewarnai wajahku, namun Nicko dengan senyum misteriusnya mengungkapkan bahwa di dalam kotak tersebut bersemayam seekor ular.

“Nih, pegang!” Ujar Nicko sambil menyodorkan kotak plastik tersebut padaku.

“Tak bisakah kamu simpan di depan saja.” Kataku sedikit ngeri menerima kotak plastik berisi ular ini.

“Tenang, jangan panik. Ular itu sangat jinak dan masih bayi. Dia belum bisa membelit kuat.” Dengan santainya Nicko berkata demikian. “Sekarang, cari dimana orang bernama Alan itu?” Kata Nicko lagi.

“Makanya, simpan ini kotak di depan saja. Aku akan mencari tahu dimana orang itu berada.” Kataku sambil mengembalikan kotak plastik kepada Nicko.

Nicko menggelengkan kepala sambil menerima kotak plastik dari tanganku. Dengan hati-hati, dia meletakkan kotak plastik yang berisi ular di depannya, sementara itu, aku mengambil smartphone dari saku celana. Dalam usaha untuk menghubungi Riska, aku menekan nomor teleponnya. Tak berapa lama, Riska pun dengan cepat mengangkat teleponku.

“Ya, Bas …” Sapa Riska dengan nada khawatir di seberang sana.

“Aku minta nomor kontak Linda.” Kataku.

“Buat apa?” Tanya Riska.

“Berikan saja nomornya.” Kataku memaksa.

“Baik. Aku …” Riska tak sempat meneruskan kata-katanya karena aku langsung memutuskan sambungan telepon.

Hanya dalam beberapa detik, Riska mengirimkan nomor kontak Linda. Tanpa menunggu lama, aku segera menyimpan nomor tersebut di dalam ponsel. Dengan hati yang berdebar, aku mencoba menghubungi Linda. Nada panggilan terus berbunyi namun tak juga diangkat, sehingga panggilan tersebut akhirnya terputus begitu saja. Tidak menyerah begitu saja, aku memutuskan untuk mencoba menghubungi Linda kembali. Untungnya, panggilanku kali ini segera diangkat oleh Linda di ujung sana.

“Hallo …” Terdengar suara wanita yang lemas di seberang sana.

“Aku ingin bertemu dengan suamimu. Dimana dia sekarang?” Tanyaku langsung pada sasaran.

Terdengar suara jeritan kecil di telingaku, dan tak lama aku mendengar suara laki-laki di speaker ponselku, “Datanglah ke rumahku kalau kau punya nyali.”

Aku pun sedikit terkejut namun nyaliku tak pernah kendur sedikit pun, “Tunjukan alamatnya, aku akan segera datang.”

“Aku akan mengirim pesan datanglah cepat ke alamat itu.” Katanya dan langsung saja sambungan telepon terputus.

Aku dan Nicko menunggu bersama untuk beberapa detik, dan akhirnya aku menerima alamat rumah Alan melalui pesan WhatsApp. Kami melanjutkan perjalanan menuju alamat tersebut sambil membicarakan rencana-rencana yang akan kami lakukan saat sampai di rumah Alan. Setelah setengah jam perjalanan, kami tiba di depan pintu rumah megah tersebut. Dua penjaga menyambut kami di pintu gerbang dengan sikap yang tenang. Aku yang awalnya menduga akan ada keributan di pintu gerbang, terkejut menemukan bahwa kami dapat melewati gerbang tanpa ada hambatan. Akhirnya, kami sampai di ruang tamu, di mana Alan dan Linda sudah menunggu. Sambil memasuki ruangan, aku melihat Linda duduk di sofa dengan wajah sedih, dan mata berlinang air mata.

“Aku salut … Nyalimu besar sekali.” Sambut Alan dengan senyuman senang.

“Rasa takut hanya untuk banci. Aku bukan banci dan bukan juga penjahat. Aku berani datang ke sini karena aku merasa benar.” Kataku penuh keyakinan.

“Aduh .. Duh .. Duh … Hei, mau kemana …” Nicko mulai melakukan aksi dramanya yang telah kami susun di jalan tadi.

Dengan gerakan tiba-tiba, anak ular piton sebesar tiga ibu jari dengan panjang lebih dari satu meter meluncur keluar dari kotak plastik. Tubuhnya yang licin dan bergelombang meluncur ke lantai, menarik perhatian semua orang di ruangan. Seolah-olah memiliki kehidupan sendiri, ular itu bergerak dengan gemulai, membelah udara dengan keanggunan yang menyeramkan.

Suasana di ruangan menjadi tegang saat ular itu mendekati Alan dan Linda yang masih duduk di sofa. Alan, yang ternyata memiliki phobia terhadap ular, secara refleks meloncat dari tempat duduknya dan menjauhi sofa. Ekspresinya berubah drastis, wajahnya pucat dan matanya membesar ketakutan.

“Ja..jauhkan u..uular itu … Jauhkan!!!” Pekik Alan dengan suara menggelegar.

Anak ular piton itu meluncur maju dengan anggun, seakan menari di atas lantai menuju ke arah Alan. Detik ketika mataku memperhatikan gerakan gemulai ular, senyum jahil terukir di wajahku. Aku sekarang mengakui kebenaran ucapan Lia, mengetahui betul bahwa phobia terhadap ular adalah ketakutan terbesarnya. Ketika ular semakin mendekat, kulihat ekspresi terkejut dan panik di wajah Alan. Tanpa berpikir panjang, Alan panik dan lari ke belakang pintu ruang tengah seolah mencari perlindungan dari ancaman yang terus mendekat. Aku tertawa dalam hati, menikmati kesuksesan rencanaku untuk menakut-nakuti Alan.

Sementara Alan kabur ke ruang tengah, Nicko dengan cepat mendekati anak ular piton tersebut. Dengan keahlian yang sudah terlatih, Nicko mengambil ular itu dari lantai sebelum bisa membuat keributan lebih lanjut. Sementara Nicho sibuk dengan ular, suara langkah cepat dari luar terdengar, dua orang penjaga rumah yang sempat keluar sekarang kembali masuk ruangan.

“Kalian berdua tunggu saja di luar.” Kataku kepada kedua penjaga yang baru saja datang.

“Ada ap….!” Salah satu penjaga tidak meneruskan ucapannya karena melihat Nicko sedang menghampirinya dengan ular membelit lengan pemuda itu.

“Ada ular … Nih … Mau …!” Ucap Nicko sambil menyodorkan ular ke si penjaga rumah.

Tak disangka, kedua penjaga rumah itu pun ketakutan dan lari terbirit-birit keluar ruangan, bahkan meninggalkan pos mereka. Aku dan Nicko tertawa terbahak-bahak melihat tingkah lucu semua orang yang terkejut oleh kehadiran anak ular piton. Suasana yang sebelumnya penuh ketegangan berubah menjadi riuh rendah tawa. Setelah serangan tawa reda sedikit, aku melihat Linda yang masih memandangi ular di tangan Nicko dengan mata melongo. Tanpa ragu, aku segera menghampiri Linda untuk memastikan bahwa semuanya baik-baik saja.

"Linda, dengarkan aku baik-baik. Ternyata suamimu memiliki phobia terhadap ular. Ini bisa menjadi cara ampuh untuk memanfaatkan ketakutannya. Aku berharap kamu tidak takut dengan ular ini. Bawalah ular ini ke depan suamimu dan gunakan ketakutannya untuk meminta apa pun yang kamu inginkan. Orang yang phobia seringkali mengalami halusinasi, jadi kamu bisa meminta apapun dan suamimu kemungkinan besar akan setuju." Ucapanku penuh dengan arahan, berharap Linda dapat menggunakan situasi tersebut untuk keuntungannya.

Lia memandangku dengan mata terbuka lebar. Tak lama kemudian, sorot matanya beralih ke ular yang berada di tangan Nicko. Dalam beberapa detik, Linda bangkit dari tempat duduknya dan melangkah mendekati Nicko. Dengan berani, Linda mengulurkan tangannya, dan dengan cekatan, Nicko menyerahkan anak ular piton ke tangan Linda. Linda, yang awalnya terlihat ragu, segera menemukan keberanian untuk memegang anak ular piton tersebut. Ia mempermainkan ular itu dengan gemas di tangannya. Nicko memberikan beberapa petunjuk tentang cara memegang ular dengan benar, membantu Linda agar lebih nyaman dengan kehadiran hewan tersebut.

Tidak lama setelah Linda merasa cukup percaya diri, dia melangkah menuju ruang tengah. Beberapa saat kemudian, terdengar teriakan histeris Alan dari dalam ruangan. Teriakan-teriakan Alan seperti ledakan, merambat dengan cepat di seluruh ruangan. Suara histerisnya menggambarkan betapa dahsyat dampak phobia ular yang dimilikinya. Anak ular piton ternyata menjadi senjata rahasia yang berhasil menaklukkan Alan. Suasana dalam ruangan berubah menjadi gejolak emosi dan drama yang menguras hati. Teriakan, tangisan, dan kata-kata Alan yang terlontar menciptakan konflik yang semakin memuncak.

“Buka Alan … Buka pintunya … Ular ini akan memakanmu supaya kamu tidak bisa lagi menjahatiku.” Terdengar suara teriakan Linda.

“Jauhkan … Jauhkan ular itu!!! Aku berjanji … Aku berjanji tidak akan menyakitimu …” Balas teriak Alan.

Aku dan Nicko tersenyum, duduk di sofa dengan perasaan puas melihat rencana kami berjalan dengan baik. Meskipun kami tidak bisa melihat secara langsung apa yang terjadi di ruang tengah, namun suasana terasa begitu intens sehingga kami bisa merasakan tekanan-tekanan yang dilancarkan Linda kepada Alan. Kami terus mendengarkan ancaman-ancaman yang diutarakan Linda, dan setiap kata yang diucapkan oleh Linda terasa seperti paku yang semakin mengunci posisi Alan.

“Aku akan pergi dari rumah ini. Jangan halangi aku dan jangan mengejar-ngejar aku! Jika berani mengejar-ngejar aku! Aku akan datang dengan ular yang lebih banyak lagi! Apa kamu paham!” Terdengar teriakan Linda.

“Ya! Pergilah! Pergilan jauh-jauh! Bawa ular-ularmu menjauh!!!” Balas teriakan Alan.

“Ingat! Aku akan membawa ular-ular yang sangat banyak ke rumahmu ini, jika kamu berani mengejar-ngejar aku dan teman-temanku!!!” Teriak Linda lagi.

“Pergi!!! Bawa ular-ularmu!!!” Seru kepanikan Alan.

Aku melihat Linda keluar dari ruang tengah dengan senyuman kemenangan yang masih terpancar di wajahnya. Ekspresinya memancarkan rasa puas setelah berhasil mengejutkan dan mengatasi suaminya dengan menggunakan kehadiran anak ular piton. Sementara aku merasakan sentuhan kemenangan itu, sorot mata Linda juga mengandung kelegaan yang mendalam.

Namun, senyuman di wajahku segera berubah menjadi rasa ngeri saat aku melihat anak ular piton yang masih terlilit di sebagian tubuh Linda. Seakan mengikuti nalurinya, aku meringis melihat lilitan ular tersebut. Tanpa menunggu waktu lama, Nicko dengan sigap melepaskan lilitan anak ular piton dari tubuh Linda, mengamankan kembali hewan tersebut ke dalam kotak plastik kandangnya. Linda pun kemudian duduk di sebelahku dengan senyuman yang masih terukir di bibirnya, kedua tangannya menangkupi pahaku dengan lembut.

“Makasih ya, Bas … Sekarang aku merasa bebas. Bajingan itu tak berdaya dengan ular itu. Dia sudah seperti anak kecil yang ketakutan. Sekali lagi terima kasih ya Bas.” Ucap Linda penuh keceriaan.

“Apakah kamu yakin semua ini sudah selesai?” Tanyaku.

“Kalau dia mau memperpanjang masalah ini, aku akan bawa ular yang benar-benar berbisa, biar mati sekalian.” Tegas Linda. “Seandainya aku tahu kalau dia takut sama ular, sudah dari dulu aku akan membawa ular berbisa padanya.” Lanjutnya.

“Hhhhmm … Baiklah … Kurasa masalah ini sudah selesai. Kalau begitu, aku pamit.” Kataku sambil berdiri.

“Aku juga akan pergi dari sini, Bas … Mungkin aku akan kembali ke orangtuaku. Nanti kalau keadaan sudah membaik, aku akan kembali lagi ngurus perceraianku dengan bajingan itu.” Katanya yang juga sudah berdiri.

“Oh ya … Kenalin dulu … Hampir aku lupa … Ini Nicko …” Ucapku memperkenalkan Nicko pada Linda. Mereka pun bersalaman sambil saling melempar senyuman. “Oke ya Lin … Aku pamit.” Lanjutku.

“Terima kasih ya, Bas …”

“Sama-sama …”

Aku dan Nicko segera meninggalkan rumah Alan, tanpa mengetahui pasti apa yang sedang dilakukan Linda di belakang sana. Kami meluncur, tertawa-tawa, dan bercerita tentang kejadian tadi seperti dua orang yang berhasil menyelinap dari tengah kekacauan. Setengah jam kemudian, kami kembali muncul di rumah teman Nicko, si pemilik ular, masih membawa aura kemenangan dan keceriaan. Setelahnya, Nicko membawaku ke tempat kerjaku. Aku ingin mengambil motorku yang tertinggal di sana. Perjalanan kami dihiasi dengan obrolan yang penuh guyonan, menciptakan suasana yang hangat dan akrab di antara kami. Tak terasa, kami tiba di parkiran perusahaanku.

“Kamu besok ada kuliah gak, Nick?” Tanyaku saat aku baru saja menghidupkan mesin motor.

“Setiap hari Sabtu aku libur, Bas.” Jawab Nicko sambil menatapku.

“Gimana kalau kita merayakan kemenangan ini di Kafe Loman?” Ajakku.

“Traktir ya …” Kata Nicko.

“Aku traktir karena kamu sudah menolongku.” Jawabku sambil tersenyum.

“Kalau begitu, ayo berangkat!” Kata Nicko penuh semangat.

Kami pun memacu motor masing-masing menuju utara kota, melibas jalanan yang ramai dengan cermat. Angin malam menyapu wajah kami, memberikan kesegaran tersendiri di setiap belokan. Lampu-lampu kota yang berjejer di pinggir jalan menambah kilau indah di malam itu, menciptakan suasana yang penuh dengan kehangatan dan kegelapan yang bersahabat.

Perjalanan kami dihiasi dengan cahaya lampu jalan yang melintas diantara pepohonan dan bangunan. Rasa kebebasan dan petualangan mengiringi setiap putaran roda motor. Akhirnya, kami tiba di kafe Loman dengan sorot lampu keemasan yang menyambut kedatangan kami. Meskipun perjalanan dengan motor telah berakhir, suasana ceria masih melekat di setiap sudut hati kami, siap untuk melanjutkan kisah petualangan malam ini di tempat yang nyaman dan menyenangkan.

Aku dan Nicko menikmati hidangan serta minuman khas dari kafe Loman, duduk santai di gazebo yang sudah menjadi tempat favoritku setiap kali berkunjung ke sini. Suasana tenang gazebo memberikan pengalaman yang istimewa, membiarkan kami menikmati setiap suap makanan dengan latar belakang panorama yang menakjubkan. Sementara kami menyeruput kopi dan menikmati hidangan, mata Nicko tampak terpaku pada keindahan alam di sekitar Kafe Loman, khususnya panorama pantai yang terhampar begitu indah. Nicko pun tak henti-hentinya memuji keelokan tempat ini, menyoroti kenyamanan dan keindahan yang begitu memukau.

“Nick … Aku mau tanya tentang tantemu tadi?” Tanyaku yang baru teringat lagi tentang wanita yang bernama Lia itu.

“Mau nanya apa?” Nicko balik bertanya.

“Apa kerja tantemu?” Tanyaku langsung pada pokok keherananku.

“Tanteku adalah tenaga ahli yang punya rumah yang tadi kita kunjungi.” Jawab Nicko.

“Oh, jadi itu bukan rumahnya?” Aku mulai sedikit paham.

“Bukan … Rumah itu adalah rumah bosnya. Kamu pernah dengar pengusaha yang bernama Angga Aryasatya?” Tanya Nicko kemudian.

Siapa yang tidak mengenal pengusaha sukses itu? Aku pun terperangah mendengar Nicko menyebutkan nama tersebut. Pengusaha muda yang berhasil merintis perusahaan energi terbarukan itu tengah menjadi sorotan publik karena aksinya yang luar biasa. Ketenarannya tidak hanya terkait dengan kesuksesan bisnisnya, tetapi juga dengan kebaikan hati yang tak terhingga.

Pengusaha tersebut dikenal karena kedermawanannya yang mencengangkan. Salah satu tindakannya yang mencuri perhatian adalah merekrut para tunawisma sebagai karyawan di perusahaannya. Beliau tidak hanya memberikan pekerjaan, tetapi juga menyediakan fasilitas rumah susun yang sangat layak untuk para karyawan tersebut. Inisiatif ini tak hanya memberikan mereka pekerjaan, tetapi juga tempat tinggal yang nyaman dan layak.

Jujur, aku sangat kagum pada sosok pengusaha yang tidak hanya sukses secara finansial, tetapi juga memiliki hati yang begitu besar untuk membantu sesama. Tindakan kedermawanan seperti ini benar-benar memancarkan inspirasi, mengingatkan aku bahwa kesuksesan sejati bukan hanya terukur dari kekayaan materi, melainkan juga dari kemampuan untuk memberikan dampak positif bagi orang lain.

“Jadi … Rumah tadi rumahnya Angga Aryasatya?” Tanyaku ingin keyakinan.

“Ya … Itu rumahnya.” Jawab Nicko lalu menyuap makanan ke mulutnya.

“Sialan … Kenapa kamu gak bilang kalau itu rumahnya? Kalau saja aku tahu, aku ingin sekali ketemu dia.” Kataku penuh penyesalan.

“Belum tentu dia ada di rumahnya. Dia itu jarang sekali menetap di sini.” Tukas Nicko.

“Oke … Kapan kita ke sana lagi?” Tanyaku lebih kepada ajakan.

“Kapan saja kalau kamu mau.” Jawab Nicko ringan.

“Kamu tanyakan sama tantemu itu, kapan Angga ada di rumah. Kalau dia berada di rumahnya, kita pergi ke sana.” Ajakku sangat bersemangat.

“Beres … Besok aku tanya tanteku.” Nicko mengacungkan jempolnya.

Aku dan Nicko duduk bersama, berbincang-bincang dengan penuh semangat mengenai sosok Angga Aryasatya, pengusaha muda yang berhasil meraih kesuksesan luar biasa. Kami berdua ternyata sama-sama mengidolakan perjalanan dan prestasi yang telah dicapainya. Cerita tentang dedikasinya dalam membangun perusahaan energi terbarukan dan kebaikan hatinya yang tak terhingga menjadi bahan pembicaraan yang memikat. Pembicaraan kami pun mengalir dengan lancar, merambah ke berbagai aspek kehidupan dan filantropi yang telah dilakukan oleh Angga Aryasatya. Setiap kata yang terucap membawa kami lebih dekat pada pandangan dan nilai-nilai luar biasa yang dimiliki oleh pengusaha muda tersebut.

Tengah asyik menggali lebih dalam tentang perjalanan hidup Angga Aryasatya, tiba-tiba aku teringat pada sesuatu yang cukup menarik.

“Nick … Kamu kan mau mengajariku membuat wanita orgasme terus-terusan. Itu gimana caranya?” Tanyaku mengubah arah pembicaraan.

“Intinya begini … Saat pasangan kita orgasme cepat-cepat kamu pijat urat seksnya. Niscaya pasanganmu tak akan pernah berhenti orgasme. Tapi, untuk mencari urat seksnya itu perlu latihan. Itu agak sulit dan perlu banyak latihan.” Jelas Nicko.

“Jujur, Nick … Tadinya aku kurang percaya. Tapi setelah kamu membuktikan kalau tantemu bisa membaca masa silam, aku kok jadi agak percaya dengan ucapanmu.” Kataku.

“He he he …” Nicko pun terkekeh ringan.

Aku dan Nicko menghabiskan malam ini dengan berbincang-bincang hingga larut malam. Suasana hangat di gazebo kafe Loman memberikan kesan yang begitu nyaman. Namun, saat kelelahan akhirnya menghampiri, dan mata mulai terasa berat, kami berdua memutuskan untuk istirahat dan tidur di gazebo ini. Hembusan angin malam yang lembut dan gemerisik ombak menjadi teman sejati kami. Tanpa banyak kata, kami merenung dalam ketenangan malam, membiarkan diri kami terlelap dengan damai.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd