Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG PENABUR BENIH (CUCKOLD INSIDE)

CHAPTER 14
PENGALAMAN PERTAMA



BASTIAN POV


Sambil jalan aku merenungi kejadian yang baru saja kualami. Kali ini, bahaya bukan lagi sekadar bayangan, melainkan kenyataan yang nyata di depan mata. Pria misterius yang berkunjung ke rumahku beberapa menit yang lalu telah membuka tabir rahasia Riska, teman dan sahabat yang kucari selama ini. Ternyata, Riska hidup di dunia yang jauh berbeda dari bayanganku. Dunia yang penuh dengan kegelapan dan kejahatan, sebagaimana yang dikatakan pria misterius itu. Kenyataan ini bagaikan mata uang bermata dua. Di satu sisi, aku lega mengetahui bahwa Riska masih hidup. Namun, di sisi lain, rasa khawatir dan ketakutan menyelimuti hatiku. Bagaimana mungkin dia bisa hidup di lingkungan yang penuh dengan bahaya?

Semakin aku memikirkannya, semakin aku yakin kalau aku harus bertindak. Aku tak bisa tinggal diam dan membiarkan Riska terjebak di dunia yang penuh dengan bahaya. Aku harus menemukan cara untuk menyelamatkannya, apa pun risikonya.

Rasa penasaran Anton dan Eva langsung menyergapku begitu aku melangkah masuk ke rumah. Tatapan mereka penuh dengan pertanyaan, ingin tahu apa yang terjadi dalam pertemuan dengan pria misterius itu. Aku menarik napas dalam-dalam, menimbang pilihan kata-kataku. Aku tak ingin mereka merasa takut dan cemas atas kejadian menegangkan yang baru saja kualami.

"Bagaimana?" tanya Anton, suaranya penuh harap.

Aku menggeleng pelan, berusaha menyembunyikan kekhawatiran di hatiku. "Bukan apa-apa," jawabku singkat. Melihat raut wajah mereka yang tegang, aku segera mengalihkan pembicaraan. "Aku lelah," kataku sambil beranjak menuju kamarku. "Aku ingin istirahat sebentar."

Tanpa menunggu jawaban mereka, aku melangkah masuk ke kamarku dan menutup pintu rapat-rapat. Segera saja aku meraih ponselku dan menelepon Nicko. Aku membutuhkan seseorang untuk berbagi kekhawatiran dan membantuku memecahkan misteri ini. Nicko adalah satu-satunya orang yang bisa kupercaya saat ini. Terdengar nada sambung. Beruntung hanya satu kali nada sambung, teleponku diangkat Nicko di seberang sana.

“Hallo, Bas …” Sapa Nicko.

“Kamu di mana?” Tanyaku.

“Di rumah.” Jawabnya singkat.

“Kita ketemuan di kafe Ijo.” Ajakku.

“Oke … Aku meluncur sekarang.” Jawab Nicko bersemangat.

“Oke … Aku berangkat sekarang juga.” Kataku sambil memutuskan sambungan telepon.

Baru saja aku hendak melangkahkan kaki, tiba-tiba Anton memanggil, “Bas!”

“Ya!” Jawabku sambil berjalan keluar kamar.

Saat membuka pintu kamar, Anton sudah berada di depanku sambil berkata, “Aku dan Eva akan pulang sekarang, Bas. Temanku ngajak bareng pake mobilnya.”

“Oh, begitu ya? Gak besok saja sesuai rencana?” Tanyaku.

“Ngirit-ngirit ongkos, Bas.” Jawab Anton sambil menyodorkan tangannya.

“Ya, sudah … Hati-hati di jalan.” Kataku sambil menjabat tangan Anton erat.

“Aku pamit ya, Bas.” Giliran Eva yang berpamitan.

“Kamu tinggal di sini saja, Va …” Godaku sambil membalas pelukannya.

“Maunya sih … Tapi masa aku ninggalin Anton sendirian?” Ucap Eva yang masih dalam pelukanku.

Aku pun berbisik di telinganya, “Aku pasti akan sangat kehilangan memekmu, Va …”

Eva segera melepaskan pelukan lalu memijat hidungku kuat-kuat. Aku sempat gelagapan dibuatnya. “Dasar playboy kampung!” Katanya sambil melepaskan pijatannya dari hidungku.

Jemariku bergerak cepat mengetik pesan untuk Nicko. Aku memberitahunya bahwa aku akan terlambat menemuinya di Kafe Ijo. Aku ingin segera bertemu Nicko, tetapi harus menunggu dan mengantar Anton dan Eva terlebih dahulu. Tentu saja aku merasa tidak enak jika pergi meninggalkan mereka sebelum mereka benar-benar meninggalkan rumahku. Lima belas menit kemudian, sebuah mini bus berwarna putih berhenti di depan rumahku. Tepat seperti dugaanku, mini bus itu adalah yang menjemput Anton dan Eva.

Aku membantu mereka memasukkan barang bawaan ke dalam mini bus, kemudian mengantar mereka sampai ke pintu. Sesaat sebelum mereka masuk, Eva menepuk bahuku dengan penuh semangat. "Terima kasih ya, Bas! Aku tunggu kamu di Surabaya!"

Aku mengangguk pelan, berusaha membalas senyumannya. "Iya, Eva ... Kamu juga hati-hati di jalan."

Setelah mini bus itu melaju pergi, aku segera mengunci pintu rumah dan bergegas menuju Kafe Ijo. Aku melaju perlahan dari halaman rumah, menyusuri jalan yang dipenuhi oleh kendaraan-kendaraan lain yang berjejalan. Setelah melintasi simpang-simpang dan beberapa tikungan, akhirnya aku tiba di depan kafe yang sudah sangat familiar. Parkiran motor yang penuh dengan berbagai jenis kendaraan menandakan ramainya pengunjung di dalam kafe. Rupanya aku datang tidak dalam waktu yang tepat. Aku menarik rem motor dan berhenti di tempat parkir yang tersedia.

Keramaian kafe menyapa telingaku saat aku melangkah masuk. Suara tawa dan obrolan para tamu bercampur dengan alunan musik yang mengalun merdu. Aku mengamati sekeliling ruangan, mataku menari dari satu meja ke meja lain. Tamu-tamu duduk berdekatan, menikmati momen kebersamaan dengan teman dan keluarga. Sesekali, aroma kopi dan kue panggang yang menggoda indera penciumanku.

Namun, di antara lautan wajah yang aku lihat, sosok yang aku cari tak kunjung muncul. Aku agak sedikit kecewa karena tidak menemukan Nicko di tempat ini. Namun tiba-tiba, dari belakang, sebuah tangan menyentuh bahuku dengan lembut. Seketika, aku berbalik dengan jantung yang berdegup kencang. Di sanalah Nicko berdiri, dengan senyum hangat yang terlukis di bibirnya. Wajahnya berseri-seri, seolah-olah dia baru saja mendapatkan kabar gembira.

“Kita pindah kafe. Di sini terlalu ramai.” Kata Nicko.

“Benar juga. Dimana?” Tanyaku.

“Ikuti aku saja, oke …” Ujar Nicko sembari berjalan keluar kafe.

Kakiku baru saja akan terangkat, bersiap untuk menaiki motor. Namun, seketika itu pula mataku menangkap sosok Nicko yang memasuki sebuah mobil sedan mewah. Di dalam mobil, aku melihat Nicko duduk di kursi penumpang, di samping seorang wanita yang sedang memegang kemudi. Wajah wanita itu tak dapat kulihat dengan jelas, terhalang oleh kaca mobil yang berwarna gelap. Mobil yang dikemudikan wanita itu mulai bergerak, dan tanpa pikir panjang, aku segera memburu motorku. Aku mengikuti laju mobil Nicko dari belakang, menjaga jarak agar tidak terlalu dekat tapi tetap bisa melihatnya. Tak lama kemudian, mobil Nicko memasuki pelataran sebuah restoran Jepang. Aku pun memarkirkan motorku di sana.

Setelah turun dari motor, dengan langkah cepat aku mendekati sedan mewah yang ditumpangi Nicko. Saat pintu mobil terbuka, mataku langsung membulat sempurna. Seorang wanita cantik dengan senyuman manis turun dari mobil itu. Seketika, rasa penasaran tergantikan oleh kebahagiaan yang meluap-luap. Wanita itu tidak lain adalah Lia, tante Nicko yang selama ini ingin aku temui. Secepatnya aku menghampiri Lia dan berjabatan tangan erat dengannya.

“Tante … Apa kabar?” Sapaku bersemangat.

“Kabar baik. Bagaimana denganmu?” Lia menyambutku tak kalah semangat.

“Ya, seperti biasa. Disebut baik ya tidak, disebut susah ya tidak.” Jawabku setengah bercanda.

“Hi hi hi … Kamu ini ada-ada saja.” Lia pun terkikik mendengar ucapanku.

“Ayo! Ngobrolnya di dalem aja.” Ajak Nicko.

Kami bertiga memasuki restoran Jepang yang tampak sepi. Hanya kami satu-satunya pengunjung yang mengisi ruangan luas itu. Suasana tenang menyelimuti, hanya diiringi alunan musik tradisional Jepang yang mengalun pelan. Kami memilih meja di pinggir ruangan, dekat taman dengan air terjun buatan. Di sana, kami bisa menikmati pemandangan indah dan suasana yang lebih privat. Nicko beranjak untuk memesan makanan di kasir, sementara aku dan Lia berbincang santai, membicarakan berbagai hal ringan untuk lebih mencairkan suasana. Beberapa menit kemudian, pelayan datang membawa hidangan yang kami pesan. Aroma lezat tercium dari hidangan yang tersaji di atas meja, membangkitkan selera makan kami. Sambil menikmati hidangan, aku bersiap untuk membuka percakapan yang sesungguhnya dengan Lia.

“Tante … Aku ingin bertanya sesuatu.” Kataku sambil memperhatikan mimik wajah Lia.

“Aku sudah tahu. Nicko sudah bicara tadi.” Jawabnya sangat tenang.

“Lalu?” Tanyaku penasaran.

“Apakah kamu punya foto atau sesuatu yang pernah dia pegang?” Tanya Lia sambil tersenyum.

“Oh … Aku punya fotonya …” Segera saja aku mengambil ponsel di saku celana, kemudian membuka galeri dimana aku menyimpan foto Riska di sana. “Ini, Tante …” Aku berikan ponsel pintarku dengan layar terisi oleh wajah Riska.

“Namanya Riska, bukan?” Ucap Lia sembari menerima ponselku.

“Benar …” Jawabku.

Dengan rasa penasaran yang membuncah, aku serahkan ponselku kepada Lia. Dia menerimanya dengan gerakan tangan yang gemulai, dan matanya terpaku pada layar. Sesekali, jemarinya bergerak di atas layar, seolah-olah sedang mengetik sesuatu. Aku mengamati wajahnya dengan saksama, berusaha memahami apa yang sedang terjadi.

Lia memejamkan matanya, dan bibirnya tersungging tipis. Sesekali, kepalanya mengangguk-angguk kecil, seolah-olah dia sedang mendengarkan sesuatu. Ekspresi wajahnya berubah-ubah, dan aku semakin penasaran dengan apa yang dia lihat di layar ponselku. Beberapa menit kemudian, Lia membuka matanya dan menyerahkan ponselku kembali. Raut wajahnya terlihat lebih tenang dan damai.

“Riska sekarang berada di tempat yang dia sukai. Dia sangat bahagia dengan kehidupannya yang sekarang. Dia juga tidak mau kamu mengganggu kehidupannya. Dia ingin kamu melupakannya dan menjauhinya.” Terang Lia membuatku terkejut.

“Kenapa? Kenapa dia ingin aku menjauhinya?” Tanyaku dengan nada tak percaya.

“Lingkungan dia berada sekarang sangat berbahaya untukmu. Bahkan untuk semua orang. Riska sekarang ini ada di sebuah tempat yang penuh dengan aura kegelapan. Salah sedikit saja, nyawa menjadi taruhannya.” Jelas Lia sangat membingungkan.

“Kalau dia hidup di lingkungan seperti itu, kenapa dia merasa bahagia?” Tanya selanjutnya.

“Karena dia adalah ratu di sana.” Lia langsung menjawab pertanyaanku. “Lia mempunyai kekuasaan yang membuat dirinya berkuasa di lingkungan itu. Penguasa tempat itu sangat menyayangi Riska lebih dari dirinya sendiri.” Lanjut Lia yang sangat masuk akal.

“Hhhhmm …” Gumamku sambil mengangguk-anggukan kepala. Aku paham sekarang alasan Riska sangat bahagia di tempat itu.

“Bas … Aku sarankan, biarkan sahabatmu itu hidup dengan kehidupannya. Lebih baik kamu melupakan dia, itu yang terbaik untuk kalian berdua.” Ucap Lia bersungguh-sungguh.

“Ya … Kalau dia memang bahagia, gak ada alasan untukku untuk mengganggunya. Tapi, ada satu permasalahan lagi yang akan aku tanyakan sama Tante.” Kataku.

“Apa itu?” Tanyanya dengan kening mengerut.

“Ada teman Lia yang bernama Neti, yang aku yakin Neti juga adalah penghuni tempat itu, dan mungkin juga Neti adalah ratu di sana. Masalahnya Neti menceritakan padaku kalau pemilik tempat itu yang bernama Burhan mempunyai lima harem termasuk Riska yang datang paling akhir. Kemarin, aku mendapat informasi kalau Neti mempunyai maksud jahat kepadaku. Dia ingin menjualku kepada Burhan. Apakah itu benar?” Jelasku lumayan panjang.

“Tolong … Aku pinjam tanganmu …” Ucap Lia sambil mengulurkan tangannya.

Aku sambut tangan Lia yang halus. Tampak Lia mengusap telapak tanganku sambil menatap mataku sangat tajam. Sekitar satu menit, Lia melepaskan tanganku dan menggelengkan kepala.

“Apakah kamu punya foto Neti atau sesuatu yang pernah dia pegang?” Tanya Lia kemudian.

“Ya.” Jawabku singkat sambil mengambil dompet lalu mengeluarkan kartu nama Neti. Kemudian aku serahkan kartu nama itu pada Lia.

Lia pun mengambil kartu nama yang kuberikan lalu menangkupnya dengan kedua telapak tangan. Kemudian matanya terpejam, dan raut wajahnya berubah menjadi serius. Aku mengamati setiap perubahan ekspresinya, berusaha memahami apa yang sedang dia rasakan. Kali ini, tidak ada senyuman yang terukir di bibirnya. Kening wanita itu berkerut tajam, seolah-olah dia sedang dilanda kebingungan atau bahkan kesedihan. Sekitar dua menit berlalu, Lia akhirnya membuka matanya. Dia menatapku dengan tatapan yang dalam, dan aku merasakan ada sesuatu yang berbeda darinya. Lia mengembalikan kartu nama Neti. Ada kegelisahan di matanya, dan aku merasakan kegelisahan yang sama di dalam hatiku.

“Neti tidak berniat mencelakakan dirimu. Dia malah sangat mencintaimu. Tapi, hubungan kalian diselubungi awan hitam yang sangat mengerikan. Ada pihak ketiga yang tidak senang dengan hubungan kalian, tapi aku tidak tahu siapa orangnya. Dan firasatku merasakan kalau orang ini yang akan mencelakakanmu.” Jelas Lia dengan nada khawatir.

“Apa? Ada orang lain yang akan mencelakakanku?” Tentu saja aku terkejut mendengar penjelasan Lia.

“Bisa jadi Riska …” Timpal Nicko yang sejak tadi diam.

“Bisa ya, bisa tidak.” Jawab Lia sambil menoleh pada Nicko.

“Aku rasa Riska tidak akan berbuat seperti itu.” Kataku.

“Bas … Dari mana datang informasi kalau kamu akan dicelakai Neti kalau bukan dari dia? Aku yakin Riska lah yang menghembuskan isu kalau kamu akan dicelakai Neti agar kamu menjauh dari Neti.” Jelas Nicko sangat yakin.

“Bukan begitu …” Lia langsung memotong. “Riska hanya salah memperkirakan. Dalam kasus ini Riska salah sangka. Riska menyimpulkan sesuatu yang salah dan itu terdengar Riska. Sekali lagi, aku tidak tahu siapa pihak ketiga yang tidak senang dengan hubunganmu dengan Neti. Tapi untuk saat ini, tuduhan kepada Riska kurang mendasar.” Tegas Lia.

Aku merenung sejenak lalu berkata, “Mungkin lebih baik, aku menghindar dari Neti.”

“Kamu bisa melakukan itu, tapi harus pelan-pelan, karena aku melihat rasa sayang dan cinta Neti padamu sangat luar biasa besarnya. Jangan sampai dia sakit hati karena itu akan menimbulkan masalah juga untukmu.” Ungkap Lia.

“Waduh … Kok jadi rumit?” Seloroh Nicko.

“Aku sarankan … Hubunganmu dengan Neti harus menjadi rahasia. Jangan terlalu vulgar diketahui orang. Kamu bisa bicarakan ini dengan Neti. Mungkin itu jalan tengahnya.” Ucap Lia lalu menyantap lagi makanannya.

Entah kenapa, aku seperti merasa terjebak dalam situasi yang tak terduga ini, hatiku diliputi rasa bimbang yang tak terkatakan. Sejujurnya, perasaanku pada Neti biasa-biasa saja. Aku menjalin hubungan dengan wanita itu hanya sebatas untuk mencari kesenangan. Aku tak pernah menduga kalau Neti mempunyai perasaan yang sangat istimewa kepadaku. Dia mencintaiku dengan sepenuh hati. Namun, di sisi lain, ada sesuatu yang membahayakan dalam hubunganku dengan Neti. Dilema pun melanda hatiku. Aku tak ingin menyakiti Neti, tetapi aku juga tak ingin terjebak dalam situasi yang membahayakan. Pikiran dan perasaanku berkecamuk, tak tahu jalan keluar yang terbaik. Namun mungkin benar apa yang disarankan Lia agar aku mengajak Neti untuk merahasiakan hubungan kami dari semua orang.

Kami kemudian melanjutkan makan siang ini. Percakapan kami mengalir lancar, diiringi tawa dan canda ringan. Lia, dengan saran-sarannya, mampu membuatku merasa nyaman dan melupakan sejenak kekacauan yang melanda hatiku.

Akhirnya, tibalah saatnya untuk berpisah. Aku mengantar Lia dan Nicko ke pelataran parkir dan berjabatan tangan erat dengan Lia. "Kamu gak perlu takut, Bastian. Aku yakin kamu bisa menyelesaikan masalah ini, dan datanglah padaku kapan saja, aku pasti akan membantumu." Katanya.

“Terima kasih, Tante …” Jawabku sambil tersenyum.

Tak lama, aku melihat sedan mewah Lia keluar dari area restoran. Setelahnya, aku menunggangi motorku menuju rumah. Sepanjang perjalanan pulang, aku terus berpikir untuk mencari cara agar aku bisa melepaskan diri dari Neti. Seandainya saja aku tahu akan begini jalan ceritanya, sudah barang tentu aku akan menghindari Neti sejak awal. Kejadian ini benar-benar membuatku cemas. Aku hanya bisa berharap agar aku bisa menemukan solusi yang tepat dan menyelesaikan masalah ini dengan cara yang terbaik.

########



RISKA POV


Saat ini lembayung senja sedang menyelimuti bumi. Matahari mulai melenyapkan eksistensinya. Seakan mengerti ini adalah waktu untuk membiarkan bulan bersama dengan bumi. Baru saja aku menyelesaikan sesi latihan menembak bersama Gunawan, namun adrenalin masih mengalir deras di dalam diriku. Hari ini aku ingin berlatih lebih keras, mengasah kemampuan tarung derajatku.

“Aku ingin berlatih tarung derajat. Apa kamu mau ikut?" Tanyaku pada Gunawan sambil merapikan senjata latihan di atas meja.

Gunawan menggeleng pelan. "Aku mau istirahat aja di kamar. Kondisiku kurang vit hari ini."

Aku sedikit kecewa, namun aku tak ingin memaksanya. "Baiklah, aku pergi dulu. Kalau kamu sudah merasa lebih baik, kamu bisa menyusulku ke dojo."

“Baik …” Jawab Gunawan sambil tersenyum.

Aku berjalan sendirian menuju tempat latihan tarung derajat. Langit mulai meredup, dan udara malam terasa dingin menusuk. Saat melewati sebuah ruangan, aku mendengar suara perempuan yang menyebut nama Gunawan sambil diselingi suara cekikikan. Seketika itu aku menjadi penasaran. Dengan mengendap-endap, aku mendekati ruangan yang biasa digunakan untuk berkumpul para pelayan istana. Dengan hati-hati aku menempelkan wajah ke jendela yang sedikit terbuka, mencoba untuk melihat ke dalam ruangan tanpa terlihat. Di dalam ruangan itu aku melihat dua orang wanita sedang asik bergosip. Aku tak dapat melihat wajah mereka dengan jelas karena ruangan remang-remang, namun aku bisa mengenali suara mereka. Mereka adalah Laras dan Wulan, dua pelayan yang terkenal sangat genit pada semua laki-laki di istana.

“Mimpiku itu seperti nyata sekali … Gunawan ngentotin aku keras sekali, dan tau gak, aku basah waktu bangun.” Itu suara Laras yang membuatku tersenyum.

“Ihk … Beneran kamu basah?” Tanya Wulan dengan suara genitnya.

“Sungguh, Lan … Sampai sekarang pun aku basah kalau inget mimpiku itu … Hi hi hi …” Terdengar cekikikan Laras yang terkesan mendamba.

Senyum terukir di bibirku saat aku terus menguping pembicaraan Laras dan Wulan. Obrolan genit mereka tentang Gunawan bagaikan nyanyian indah yang memanjakan telingaku. Terutama Laras, kekagumannya pada Gunawan terpancar jelas dari setiap kata yang terlontar dari bibirnya. Tiba-tiba, sebuah ide cemerlang terlintas di otakku. Tanpa ragu, aku melangkahkan kaki dan memasuki ruangan yang mereka tempati. Raut wajah mereka langsung berubah dari ceria menjadi pucat pasi. Rasa gugup menyelimuti mereka saat melihatku berdiri di ambang pintu. Laras dan Wulan buru-buru berdiri dan membungkukkan tubuhnya berkali-kali di hadapanku. Rasa panik terpancar dari gestur dan tatapan mereka.

“Kalian tenang saja. Gak usah panik seperti itu.” Kataku sambil masuk ke dalam ruangan lalu duduk di kursi dekat mereka. “Duduklah!” Perintahku pada keduanya.

“Ma..maafkan ka..kami Tuan Putri Riska …” Suara Laras begitu bergetar.

“Hei! Kalian gak salah apa-apa. Kenapa kalian harus minta maaf. Duduklah! Aku ingin bicara sama kalian.” Kataku sembari melemparkan senyum.

Senyumanku mungkin membuat Laras dan Wulan merasa sedikit lebih tenang. Raut wajah mereka yang tadinya tegang kini mulai mengendur, meskipun masih ada sedikit rasa gugup yang terlihat dari gestur mereka. Aku mempersilakan mereka duduk di dekatku. Kedua wanita itu pun duduk dengan ragu-ragu. Ekspresi wajah mereka berubah menjadi tanpa beban, seolah-olah mereka lupa bahwa mereka baru saja tertangkap basah sedang membicarakan Gunawan. Keduanya pun mulai tersenyum malu-malu di depanku sambil sedikit menundukkan kepala. Pipi Laras memerah, dan Wulan terlihat gelisah memainkan jarinya.

"Jadi, apa yang kalian bicarakan tentang Gunawan?" tanyaku dengan nada santai.

Laras terdiam sejenak, seolah-olah mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaanku. Wulan meliriknya dengan tatapan penuh harap, seakan-akan memohon bantuannya.

"Kami...kami hanya membicarakan tentang kehebatannya dalam menembak," jawab Laras dengan suara pelan.

Aku tersenyum tipis. "Hanya itu?"

Wulan menimpali, "Ya, Tuan Putri Riska. Kami hanya mengagumi keahliannya. Dia adalah penembak yang luar biasa."

Aku mengangguk pelan. Aku tahu bahwa mereka tidak mengatakan yang sebenarnya. Ada sesuatu yang mereka sembunyikan dariku.

“Kamu juga perlu tahu, kalau Gunawan itu jago membahagiakan wanita di ranjang.” Ujarku.

“Oh … Masa sih Tuan Putri …” Respon Laras dengan suara pelan namun sarat dengan keinginan yang terpendam.

“Kalau kalian mau … Aku akan memberi kalian jalan untuk bisa tidur dengan Gunawan.” Kataku lagi sambil tersenyum.

Senyumku tak pudar saat Laras dan Wulan cekikikan kecil, menundukkan kepala mereka lebih dalam untuk menyembunyikan rona merah di pipinya. Aku tahu, tawaranku ini telah menggoda mereka. Kedua wanita itu bercanda, saling menyenggolkan sikut. Keinginan mereka begitu jelas terpancar dari sorot mata mereka yang berbinar.

“Mau siapa duluan?” Tanyaku kemudian.

“Laras …” Wulan yang menjawab pertanyaanku dengan cepat.

“Ihk … Kamu …” Ucap Laras sambil melotot pada temannya.

“Oke … Laras … Ikut aku!” Kataku sambil berdiri dan berjalan keluar ruangan.

Aku melangkah keluar ruangan, meninggalkan Laras dan Wulan yang masih terkikik geli. Aku tahu, tawaranku untuk melibatkan mereka dalam rencana ini adalah langkah yang tepat. Langkah kakiku membawaku menuju ke dalam gedung utama. Sesekali, aku menoleh ke belakang, memastikan Laras masih mengikutiku. Tak lama kemudian, aku sudah berdiri di depan pintu kamar Gunawan. Aku menarik napas dalam-dalam, bersiap untuk mengetuk pintu. Sebelum aku melakukannya, aku menoleh ke Laras yang sudah berada di sampingku. Senyumnya mengembang tipis, dan aku tahu dia gugup tetapi antusias. Tanpa ragu, aku mengangkat tanganku dan mengetuk pintu kamar Gunawan. Hanya beberapa detik berselang, pintu pun terbuka. Aku mendorong pintu itu agar terbuka lebih lebar, mengundang Laras untuk masuk ke dalam kamar.

“Hei … Bukannya kamu latihan tarung derajat?” Tanya Gunawan dengan nada heran.

“Ada yang lebih penting dari latihan.” Kataku sambil menutup pintu setelah Laras masuk.

“Ada apa?” Tanya Gunawan semakin heran.

“Buka bajumu!” Perintahku pada Gunawan.

“Apa?” Mata Gunawan terbelalak hebat.

Aku melangkah maju, mendekati Gunawan yang masih terpaku di tempatnya. Tatapan mataku tak lepas dari matanya, berusaha menembus keraguan yang terpancar di sana.

"Lepaskan pakaianmu!" Perintahku lagi dengan suara tegas.

Gunawan terdiam sejenak, seolah tak percaya dengan apa yang dia dengar. Namun, tak lama kemudian, dia mulai melepaskan pakaiannya perlahan. Matanya tak pernah lepas dari mataku, seperti mencari jawaban atas apa yang sedang terjadi. Hanya hitungan detik, Gunawan sudah polos, tak tertutupi sehelai benang pun. Tubuhnya yang atletis terekspos di bawah sinar lampu kamar, membuat Laras yang berdiri di belakangku terdiam dengan napas tertahan.

"Sekarang, berbaringlah di kasur!" Perintahku lagi.

Gunawan tak menunjukkan keraguan kali ini. Dia patuh mengikuti perintahku, membaringkan tubuhnya di atas kasur yang empuk. Aku melangkah maju, mendekat ke arahnya. Tatapan mataku tak pernah lepas dari matanya, berusaha membakar rasa ragu yang masih tersisa di dalam dirinya.

"Percayalah padaku," bisikku pelan, tepat di depan wajahnya. "Aku tak akan menyakitimu."

Gunawan tak menjawab, namun tatapan matanya mulai melunak. Dia memejamkan matanya perlahan, seolah menyerahkan diri sepenuhnya kepadaku. Aku tersenyum tipis, membungkuk untuk mencium bibirnya. Ciuman yang lembut dan penuh makna, sebuah janji untuk membawa kebahagiaan yang tak terduga. Kami berciuman untuk beberapa saat sebelum akhirnya aku melepaskan ciumanku.

“Laras …” Aku menoleh pada wanita di belakangku. “Buka pakaianmu!” Perintahku pada Laras.

“Ris …” Ucap Gunawan namun aku tutup bibirnya dengan jari telunjukku.

Sambil tersenyum malu-malu, Laras melepaskan pakaiannya perlahan. Aku bisa merasakan getaran kegugupan dan keinginan yang mengalir padanya. Beberapa saat kemudian, dia sudah polos, tak tertutupi sehelai benang pun. Pandanganku tertuju pada Laras yang berdiri di hadapanku, tubuh seksinya terpapar sepenuhnya yang ternyata wanita ini memiliki kemolekan yang sempurna. Kini aku memerintahkan Laras untuk naik ke atas ranjang. Laras pun dengan sedikit ragu naik ke atas ranjang dan duduk di sebelah Gunawan yang terlentang.

“Kamu tahu kan apa yang harus kamu lakukan?” Tanyaku pada Laras sambil tersenyum.

“Ya, Tuan Putri …” Sahutnya sembari menggapai penis Gunawan yang lembek dengan tangan kanannya.

“Gunawan … Aku ingin mengajarimu, kalau bercinta tidak perlu dengan cinta. Kita bisa menikmati seks dengan siapa pun tanpa melibatkan perasaan cinta. Aku ingin mengubah persepsimu tentang seks harus berlandaskan cinta. Jadi, terimalah ini. Jangan menahannya.” Kataku sambil mengusap wajahnya.

“Tapi Ris … Aaaaahh …” Gunawan mendesah saat penisnya masuk ke dalam mulut Laras.

“Tidak ada tapi-tapi … Nikmati saja …” Kataku sambil tersenyum puas.

Kulihat Laras tersenyum, dan memainkan penis Gunawan yang sudah tegang itu. Laras terus memainkan ujung penis Gunawan, dengan lidahnya, sesaat kemudian, mulai mengulumnya. Desahan Gunawan pun lolos dari mulutnya dan tangan pria itu mulai meremasi rambut Laras. Gerakan Laras, semakin hot, memberi Gunawan the best blowjob. Aku menatap wajah Gunawan yang sedang merasakan kenikmatan. Aku tersenyum padanya dan ia pun membalas senyumanku.

“Aku akan meninggalkanmu. Nikmati saja jangan ragu. Jangan membuatku kecewa, oke?” Kataku dan dijawab dengan anggukan kepala Gunawan.

“Laras … Pastikan Wulan mendapat bagian.” Kataku pada Laras

“Baik Tuan Putri …” Jawab Laras dengan anggukan kepala dan sambil tangannya mengocok penis Gunawan yang keras sempurna.

Aku mengusap lembut wajah Gunawan yang mulai berkeringat lalu berdiri dari sisi ranjang, kemudian aku berjalan keluar dari kamar pria yang menurutku harus ditempa dalam hal menghadapi wanita tanpa cinta. Niatku untuk berlatih tarung derajat urung seketika. Kaki ini membawaku ke mini bar, di mana Ratna langsung menyambutku dengan wajah sumringah.

"Riska, kamu ke mana saja? Kami mencarimu!" Serunya dengan nada sedikit kesal.

“Mencariku?” Aku jadi bingung sendiri. “Ada apa mencariku?” Tanyaku kemudian.

“Kita kedatangan tamu agung dari Eropa. Mereka adalah bos Burhan. Kita harus menjamunya.” Jelas Ratna.

“Hhhhmm … Gak jauh … Seks …” Gumamku.

“Ya … Ini sudah biasa, dan yang perlu kamu tahu, biasanya mereka akan mengantri pengantin baru.” Kata Ratna membuatku terkejut.

“Maksudnya?” Tanyaku ingin lebih jelas.

“Kamu adalah pengantin baru mereka dan bersiaplah kamu akan digilir oleh mereka semua.” Jawab Ratna sambil tersenyum.

Tentu saja aku panik, “Aku akan digilir mereka semua?”

“Tenang, Ris …” Ujar Ratna sambil mengambil sesuatu dalam saku roknya. “Ini … Makanlah ini. Permen seks yang bisa membuatmu terus bersemangat.” Ratna memberikan dua buah permen seks.

Tanpa banyak bertanya aku segera memakan permen pembangkit libido yang diberikan Ratna padaku. Tak lama berselang, aku melihat ketiga sahabatku datang dan langsung saja mencecarku dengan pertanyaan keberadaan diriku. Akhirnya, kami pun bersama-sama berjalan ke ruangan senang-senang dimana para bos Burhan dari Eropa sudah menunggu di sana. Jantungku berdetak lebih cepat menyambut acara yang begitu mendebarkan.

Kami sampai di ruang senang-senang dalam waktu hanya dua menit. Sebelum masuk ke ruang utama, kami semua melepaskan pakaian tanpa sisa. Suasana berubah menjadi riuh rendah saat kami memasuki ruangan utama. Di sana, siulan-siulan dari sebelas orang bule yang sudah telanjang bulat menyambut kedatangan kami.

"Oh my goodness! You ladies are absolutely stunning!

"Wow, you ladies are a vision of loveliness!

"Your elegance and charm are absolutely breathtaking!"

"Absolutely mesmerizing, your beauty is truly enchanting!"

Aku tersenyum mendengar pujian mereka. Walau aku kurang fasih berbahasa Inggris, namun aku tahu bahwa mereka semua sedang kagum dan takjub kepada kami berlima. Kami berlima pun sampai di sofa besar di tengah ruangan, di mana kesebelas bule itu berada. Kami duduk di antara mereka. Saat aku duduk, tangan-tangan bule di dekatku langsung menyambar dan merabai tubuhku. Rabaan dan remasan tangan mereka membuat hasratku meledak. Kobaran gairah terus memompa libidoku.

Aku tidak memperhatikan lagi apa yang mereka katakan, karena jiwaku sedang melayang-layang. Rasa di jiwaku melayang ke dunia penuh kenikmatan, dan detak jantungku mengikuti irama yang membawaku jauh dari realitas. Meskipun suara-suara di sekitar kuat terdengar, pikiranku telah terbang ke tempat yang jauh, menyatu dengan khayalan-khayalan yang membawa kesenangan dan kebahagiaan.

Entah sudah berapa lama aku digerayangi oleh tiga lelaki bule yang kini aku tahu nama mereka setelah mereka memperkenalkan diri padaku. Ketiganya adalah Robbie, Peter, dan Scott. Mereka lalu menarikku ke atas tempat tidur yang berada di ujung ruangan dan kini aku dikelilingi oleh tiga laki-laki bule yang semua tidak mengenakan sehelai benang pun. Semua sibuk menggerayangi dan menciumi sekujur tubuhku, entah siapa yang sekarang ada di selangkanganku, menjilat dan menciumi vaginaku, sementara kedua tanganku masing-masing menggenggam dan bergantian kuhisap batang kemaluan yang disodorkan dekat mukaku.

Posisi berubah lagi, Robbie yang rupanya tadi menjilati vaginaku merangkak naik dan mulai berusaha memasukan kemaluannya ke dalam vaginaku, dan sekejap kemudian terasa batang kemaluannya menembus memasuki tubuhku. Kedua laki-laki yang lain kini menonton aku dan Robbie bersetubuh, kami berpelukan, kakiku naik ke atas melingkari pinggangnya, dan Robbie sibuk menciumi wajah, bibir, leher, dan berusaha mencapai payudaraku namun karena dia jauh lebih tinggi agak sulit mulutnya menjangkau payudaraku, sambil pinggulnya bergoyang dan batang kemaluannya keluar masuk di vaginaku.

Rupanya Robbie tidak mampu bertahan terlalu lama, terasa batang kemaluannya berdenyut denyut dan terasa semakin membesar, pinggulnya semakin cepat bergerak maju mundur, akhirnya dengan satu dengusan keras ia melenguh dan dengan satu hentakan batang kemaluannya ditekan sedalam mungkin dalam tubuhku dan menyemprotkan air maninya yang terasa panas memenuhi mulut rahim dan vaginaku, beberapa kali batang kemaluannya menyemprotkan isinya, lalu ia pun terkulai.

Saat batang kemaluan yang mulai lemas itu terlepas, tubuhku sudah ditarik oleh Scott, “Please on your knee sweety,” katanya dan aku pun dibaliknya hingga menungging, lalu tanpa buang waktu, batang kemaluannya yang agak lebih besar dari Robbie sudah dibenamkan dalam vaginaku yang masih penuh air mani. Sementara itu, Peter yang juga terlihat tidak tahan segera memposisikan dirinya di depanku dan batangnya memasuki mulutku.

Scott agak kasar, gerakannya cepat dan menghantamkan batangnya dalam vaginaku dengan cepat dan keras hingga suara kecipak yang keluar dari batang miliknya dalam vaginaku yang masih berlumuran air mani serta suara keteplok saat bijinya mengenai pantatku menimbulkan irama yang aneh. Sementara Peter yang batangnya dalam mulutku juga tidak kalah kasarnya, rambutku agak dijambak karena hantaman Scott membuat seluruh tubuhku maju mundur dan kemaluannya terlepas saat keluar masuk mulutku. Ia benar-benar memberiku mouth fucking dengan keras dan cepat, kadang hingga hampir habis batangnya ia benamkan dalam mulutku, hingga aku hampir tersedak.

Aku diperlakukan sudah seperti binatang. Namun anehnya aku sangat menikmati perlakuan mereka. Aku menemukan kesenangan yang aneh dalam perlakuan mereka. Aku merasakan bahwa aku sedang melayang-layang ke surga kenikmatan tiada tara. Setiap detik yang kulalui di dunia ini terasa sebagai nikmat yang tiada henti, seperti sebuah hadiah dari langit, diberikan dengan kenikmatan yang tiada terkira.

Peter meracau dengan kata-kata yang kadang tak kumengerti dan aku pun siap-siap, karena terasa kalau ia mulai mendekat dan akhirnya kepalaku dipegang dengan keras, kemaluannya dibenamkan sedalam ia bisa dan banyak sekali air mani bule ini, rasanya seperti tak ada habisnya aku menelan cairan hangat yang dikeluarkannya hingga akhirnya ia melepaskan kepalaku dan aku pun melepaskan batangnya dari mulut, namun ganti kujilati batangnya dan bijinya, sementara Scott masih terus bergerak dengan kasarnya menghantam vaginaku dari belakang.

You are incredible baby,” kata Peter sambil mencium bibirku dan menjilati air mani miliknya yang ada di bibirku.

Kini tinggal Scott yang masih ‘berkutat’ dan saat iramanya mulai dipercepat ia semakin keras dan cepat bergerak. Aku hanya bisa pasrah, lalu sesaat kemudian ia berteriak keras sekali.

Aaahh ... Fuck ... I’m cumming....” dan terasa kemaluannya memuntahkan isinya dalam vaginaku.

Scott ambruk di punggungku aku terdiam beberapa saat. Aneh, justru aku yang belum orgasme, mungkin ini adalah efek permen seks yang aku makan tadi, dan vaginaku masih berdenyut-denyut, menagih.

Setelah mereka berbincang-bincang dengan bahasa yang kurang aku mengerti, akhirnya ketiga bule itu mengajakku ke luar dan berkumpul dengan yang lain. Aku melihat tubuh-tubuh telanjang di sekitarku yang sebagian sedang melakukan seks keroyokan. Saat sedang menyaksikan keseruan Ratna yang sedang dikerubuti dua bule, tiba-tiba seorang bule datang menghampiriku, meminta tempat Scott yang sedari tadi berada di sampingku.

“Hai … Nama saya Harry … Siapa nama kamu?” Si bule menggunakan bahasa Indonesia. Aku terkejut sekaligus senang.

“Riska … Em, tuan bisa berbahasa Indonesia?” Tanyaku.

“Saya belajar sedikit-sedikit. Oh, tolong jangan panggil saya tuan, nama saja cukup.” Katanya sambil tersenyum.

“Baiklah Harry …” Jawabku sambil membalas senyumnya.

“Bolehkah aku mencicipi vaginamu?” Tanya Harry.

Aku pun semakin melebarkan senyumanku, “Silahkan Harry.”

Harry segera berlutut di depan pahaku yang sudah kubuka lebar-lebar untuknya. Harry mulai menyapukan lidahnya pada tonjolan kecil yang ada pada lembahku. Ia menyapukan lidahnya dengan gerakan turun naik. Aku yang merasakan nikmat ikut menggerakan bokongku mengikuti ritme hisapan lidah Harry.

“Aaahh … Aaahh …” Desahku yang merasakan jilatan lidah Harry.

Tiba-tiba Harry menghentikan jilatannya, dia memposisikan kejantanannya tepat di depan vaginaku, “Siap?”

“Ya …”

Harry pun mulai melesakkan penisnya ke lobang vaginaku dan aku akui bule ini memberi rasa baru dalam bersenggama. Mungkin karena diameternya lebih besar jadi lobang vaginaku seakan dipaksa melebar lebih dari biasanya. Ukuran yang tidak terlalu panjang membuat durasi gesekan saat penis bergerak keluar masuk vagina tidak terlalu panjang. Namun setiap gesekan mampu membuat birahiku terhantam tsunami. Harry juga terlihat hanyut dalam kenikmatan birahinya. Ia mendesah di setiap rotasi gerakannya. Semakin cepat ia menggoyang, semakin cepat desahannya. Biarlah dia menikmati sensasinya di lobang vaginaku. Aku akan menikmati sensasiku sendiri, terus mengejar kemana arah birahi menuntunku. Hal ini tentu saja membuatku lebih mudah orgasme.

Saat aku sedang di puncak orgasme, Harry yang terus menghujam lobang vaginaku dengan tempo sangat cepat, tiba-tiba berbisik di antara desahan yang terus keluar dari mulutnya.

“Sebentar lagi, baby!! Aku sudah tidak tahan…” Bisiknya.

“Tahan, Sayang! Aku juga mau keluar….” Jawabku merancau di puncak orgasme.

“Babe! Oooh… Ooohh… Aku sudah tidak tahan lagi! Oooh… Oooh…!” Kata Harry juga merancau. Sepertinya ia bermaksud membuang spermanya di luar, tetapi saat itu aku benar-benar di posisi di mana aku membutuhkan penisnya terus bergerak. Sampai akhirnya…

“Babbbyyy…! Aku tidak bisa menahan lagi… Ooohhhh….” Kata Harry sambil mengakhiri hujamannya. Sepertinya ia telah mencapai klimaknya saat itu. Namun aku juga tinggal beberapa langkah menuju orgasmeku.

Lalu aku katakan, “Terus, Sayang! jangan berhenti, Sayang! Sedikit lagi…. Ooohh…” Kataku pada Harry yang sepertinya terpaksa melanjutkan serangannya dengan sisa kekuatan yang ada.

Untungnya, beberapa genjotan Harry mampu membuatku mencapai orgasme. Kuangkat pahaku dan kuremas kuat pantat Harry agar ia menghujamkan penisnya sedalam-dalamnya di lobang vaginaku. Di saat aroma birahi mulai memudar, aku akhirnya sadar bahwa Harry telah menimpahkan spermanya di rahimku, lalu mengaduk-aduk sperma itu karena permintaanku. Kusentuh vaginaku dan kurasakan sebagian sperma tertumpah keluar dari lobang vaginaku.

“Terima kasih, babe…” Ucap Harry sambil mencabut penisnya dari dalam vaginaku.

Aku balas dengan senyuman karena aku masih terengah-engah. Tetapi, aku terkesiap saat seorang bule menggantikan posisi Harry. Dia menyeringai sambil tanpa permisi memasukan penisnya ke dalam vaginaku yang basah kuyup oleh sperma Harry dan cairan cintaku. Pria bule itu mengajak bicara padaku sambil mengenjotkan penisnya. Aku tak mengerti apa yang dia katakan, yang aku mengerti adalah rasa nikmat di vaginaku yang muncul kembali.

Tiba-tiba mataku terbelalak saat tiga penis besar kini berada di depan mukaku. Ukuran penis mereka membuat aku agak gelagapan dan sedikit sesak nafas awalnya. Tapi lama-lama akhirnya aku bisa menguasai keadaan juga. Segera saja aku mengoral salah satu penis yang terdekat dengan mulutku, dan kedua tanganku mengocok penis-penis yang lain, begitu seterusnya. Jika satu sedang kuoral maka yang dua lagi kebagian kocokan tanganku.

Aarrrgghhh … So gooodd …” Ucapan itu terlontar dari bule ketika mendapat giliran dioral olehku.

Aku benar-benar seperti terbang di awan. Kenikmatan yang kurasasakan ini mengalir seperti sungai yang tak pernah berhenti, menyapu seluruh tubuhku dengan kesenangan dan kebahagiaan yang sangat menakjubkan. Setiap detiknya, aku merasakan betapa beruntungnya aku dapat menikmati keajaiban seks seperti ini.

Tak lama mereka memintaku untuk berposisi doggy style, dan aku iyakan saja toh aku juga terbiasa dengan gaya itu. Bule yang sedang menggenjotku dari belakang mencengkeram pantatku dan mempercepat goyangan penisnya. Bule yang lain semakin lahap menikmati gunung kembarku, menjilat, menggigit, mencium, seolah ingin menelannya bulat-bulat, dan sebelum aku sempat meracau lagi, bule yang satunya telah mendaratkan bibirnya di bibirku, kami saling berpagutan penuh gairah, melilitkan lidah dengan sangat liar, dan aku merasakan gelombang kenikmatan melandaku sampai ke puncaknya.

Malam ini aku benar-benar digilir oleh semua bule yang ada, bahkan berkali-kali. Namun ajaibnya, aku tidak merasa berkurang libidoku. Gairah birahiku terus bergelora seakan tak pernah padam. Aku menjadi sangat ketagihan seks dan seakan menjadi wanita super binal. Entah berapa galon sperma bule-bule itu yang telah kutelan. Entah berapa liter sperma mereka menyirami rahimku. Semuanya begitu indah, aku tak mungkin melupakan pengalaman pertamaku malam ini.

BERSAMBUNG
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd