Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG PENABUR BENIH (CUCKOLD INSIDE)

CHAPTER 5
JALAN UNTUK NICKO


BASTIAN POV

Bagiku, bercinta dengan wanita yang sudah bersuami menambah nuansa ke dalam hidupku. Penuh misteri dan kesenangan luar biasa, seperti menjelajahi lautan kenikmatan. Rasanya seperti menari di angkasa raya, merasakan getaran kepuasan yang membenamkan diriku lebih dalam pada rasa candu yang tidak berkesudahan. Aroma ketidakberdayaan terasa begitu nyata, dan itulah sumber kepuasanku yang membuatku candu. Ketidakberdayaan sang suami menjadi bekal bagi kepuasanku. Seolah-olah aku memiliki kendali atas hidupnya, seperti seorang dewa yang memegang takdirnya. Aku merasa sebagai penguasa, dan ia, hanya pion yang tak berdaya dalam permainan kehidupan ini.

Meskipun rasa candu itu membenamkan diriku dalam kenikmatan yang sulit diungkapkan, aku tahu bahwa alasan di balik kepuasanku harus tetap tersembunyi dari Heri, suami yang dengan rela memberikan istrinya padaku. Ketidakberdayaan Heri telah menjadi bekal bagi kepuasanku, tetapi aku tetap bersikap baik pada suami yang berbagi cintanya. Tidak mungkin aku mengungkapkan rahasia ini padanya. Walaupun mungkin terdengar egois, tetapi merasakan bahwa aku memiliki kekuasaan atas seseorang memberiku sensasi luar biasa. Aku seolah sedang menari di atas tali, menjaga keseimbangan antara keegoisanku atas kenikmatan terlarang ini dan hubungan baikku dengan Heri.

Aku, Riska, dan Heri terus mengukir jejak petualangan menakjubkan ini, menjelajahi lautan kenikmatan tanpa batas. Meskipun terkadang terasa seperti bermain dengan takdir, kami tetap merajut cerita hidup kami sendiri. Dalam dua minggu terakhir, petualangan kami terus berlanjut. Setiap momen semakin seru, penuh kenikmatan, dan membawa warna baru dalam kehidupan kami. Meskipun berada dalam keadaan yang tidak biasa, kami bertiga menikmati setiap detiknya.

Siang itu, aku dan Riska memutuskan untuk menghabiskan waktu istirahat kami di kafe dekat perusahaan tempat kami bekerja. Duduk di sudut yang nyaman, kami memesan es kopi dan hidangan menu andalan kafe, yang disebut nasi Ayang yaitu ayam panggang dengan bumbu rahasia yang selalu berhasil membuat lidah kami bergoyang. Suasana kafe yang nyaman dan sepi menambah keintiman percakapan kami. Sambil menikmati setiap suapannya, kami tertawa dan berbincang dengan penuh keceriaan.

“Vera dan Renata sudah diterima, Bas. Mereka akan training selama tiga bulan. Aku ingin kamu menasehati mereka supaya mereka tidak mempermalukanku yang merekomendasikan mereka pada atasanku.” Ungkap Riska.

“Ya, nanti aku akan bicara pada mereka.” Jawabku sambil menganggukan kepala.

“Bas …Tolong katakan kepada mereka betapa berharganya kesempatan ini dan betapa sulitnya mencari pekerjaan sekarang ini. Katakan agar mereka menghargai setiap tugas yang diberikan dan bekerja sebaik-baiknya.” Ucap Riska terdengar khawatir.

“Tenang saja, Bos. Walaupun mereka begitu, tapi aku tahu kalau mereka selalu serius dalam bekerja. Tapi kalau mereka slengean, aku yang pertama menegur mereka.” Kataku coba meyakinkan Riska.

“Terima kasih, Bas. Bagaimana pun juga perbuatanku ini sangat mempertaruhkan reputasiku. Kamu pasti mengerti kekhawatiranku.” Ungkap Riska lagi.

“Ya, aku tahu.” Jawabku singkat.

“Oh ya, Bas …” Riska menatapku lekat-lekat.

“Apa?” Tanyaku karena Riska lama menahan ucapannya.

“Aku telat haid, Bas. Sepertinya aku hamil.” Ucap Riska sambil tersenyum simpul.

“Oh ya?” Aku terperanjat senang.

“Seharusnya di awal bulan adalah jadwal haidku, sekarang sudah tanggal sepuluh belum juga keluar. Rencananya, sore ini aku dan Heri akan memeriksa ke dokter.” Kata Riska penuh kebahagiaan.

“Semoga saja perutmu itu berisi, Ris … Dan aku berharap bayimu tidak serupa denganku tetapi serupa dengan Heri.” Kataku setengah bercanda.

“Hi hi hi … Aku juga berharap begitu, karena kamu kalah ganteng sama Heri.” Respon canda Riska sembari terkikik.

“Sialan … Ha ha ha …” Kataku sambil tertawa ringan.

Aku dan Riska melanjutkan obrolan ringan kami, menghabiskan hidangan makan siang sambil menikmati suasana santai kafe. Kami menyeruput minuman hangat sambil menyelipkan candaan ringan di antara setiap suapan. Riska tertawa riang saat aku menceritakan kisah lucu, dan aku tidak bisa menahan senyum melihatnya begitu bersemangat.

“Ris … Gimana kabar temanmu itu? Maksudku Linda.” Tanyaku.

Riska menatapku dengan kedua matanya yang memicing, “Ada apa tiba-tiba nanyain dia?”

“Nggak ada apa-apa sih … Ingin tahu saja …” Aku berkilah walau kesulitan untuk menyembunyikan kecurigaan Riska.

“Ngaku aja deh … Kamu suka ya?” Tanya Riska sambil tersenyum, menggoda rahasia yang tersembunyi di balik hatiku.

“Kamu ini ada-ada aja. Cuma nanya kabar kok disangka suka.” Kataku sambil agak cemberut.

“Hi hi hi … Aku sudah kenal kamu lama, Bas. Aku tahu kalau mulut manyunmu itu bicara lain dengan hatimu. Ngaku aja, lagian kalau suka pun gak ada yang ngelarang kok.” Kata Riska sambil tersenyum penuh pengertian yang membuatku sulit menyembunyikan rahasia perasaanku.

“Gak tahu lah Ris … Ada yang aneh dengan diriku sekarang ini.” Kataku sedikit membuka rahasia.

“Apa itu?” Tanya Riska sambil memperbaiki posisi duduknya.

Aku mengalihkan pandangan ke jendela lalu berkata, “Sekarang ini aku suka pada wanita yang bersuami. Aku gak tahu kenapa aku bisa begini, tapi yang pasti, perasaan ini sulit untuk dijelaskan."

Riska menyipitkan matanya sambil tersenyum, "Mungkin perasaan itu diakibatkan oleh hubungan unik kita, Bas. Siapa tahu, keunikannya yang membuatmu berubah seperti ini."

Aku tak bisa mengingkari bahwa semenjak terlibat dalam rumah tangga Riska, segala hal yang terkait dengannya, mulai dari kebersamaan kami hingga bagian dari keintiman di dalam rumah tangganya, telah menjadi candu bagiku. Namun, aku menyadari betul bahwa mengakui perasaan ini di depannya adalah batasan yang tak boleh dilanggar. Hal tersebut harus menjadi rahasiaku.

“Ya, mungkin kamu benar. Sepertinya ini dampak dari semua yang kita lakukan.” Kataku sambil tersenyum.

“Kamu kan punya aku, Bas …” Ucap Riska.

Aku menatap Riska, “Kamu seharusnya tahu Ris … Kalau aku adalah pemain. Aku suka wanita. Aku tidak bisa hanya mempunyai satu wanita saja. Aku yakin suamimu pernah mengatakannya padamu. Dan perlu kamu tahu, aku akan bercinta dengan banyak wanita karena aku tidak ingin mempunyai hubungan emosional denganmu.”

“Ya … Itu yang sering Heri katakan padaku. Ya, memang seharusnya kita tidak mempunyai hubungan emosional.” Riska pun tersenyum kembali. “Tapi, aku masih membutuhkanmu.” Lanjutnya sambil tersipu malu.

“Kamu adalah wanitaku yang pertama, Ris. Aku tidak akan melepaskanmu begitu saja.” Kataku.

“Terima kasih …” Ucapnya manja.

“Linda … Bagaimana dengan dia?” Aku kembalikan tema pembicaraanku.

“Kamu memang berminat?” Tanya Riska.

“Ya …” Jawabku.

“Em ... Lebih baik kamu lupakan saja keinginanmu.” Ucap Riska.

“Kenapa?” Tanyaku heran.

“Suaminya orang yang berbahaya. Sangat berbahaya.” Ungkap Riska.

“Berbahaya? Apakah dia gembong mafia?”

“Tidak seperti itu … Tapi dia punya banyak link dengan penguasa. Ah, pokoknya berbahaya.”

Aku pun tidak ingin lagi meneruskan obrolan ini karena aku percaya dengan ucapan Riska. Aku dan Riska pun segera menyudahi makan siang di kafe, lalu keluar bersama-sama menuju motor kami yang terparkir di pelataran. Sementara Riska melaju dengan cepat, aku memilih melajukan motorku dengan kecepatan yang lebih santai. Ketika aku berhenti di perempatan lampu merah, mataku tak sengaja tertuju pada sebuah mobil sedan. Di dalamnya, terlihat Linda tertidur diapit dua pria di jok belakang. Hatiku berdegup kencang saat melihat tangan-tangan bejat mereka yang menggerayangi tubuh Linda. Sontak, kejadian ini membuatku terkejut dan khawatir. Kejahatan yang terjadi begitu nyata di hadapanku, memaksa diriku untuk bertindak segera.

Aku tak sempat turun dari motor karena mobil sudah bergerak begitu lampu lalu-lintas menjadi hijau. Seharusnya aku sudah di kantor, namun rasa penasaran dan kekhawatiran melandaku, membuatku memutuskan untuk mengikuti mobil itu. Aku terus melaju, tanpa mempedulikan waktu yang semakin berlalu.

Sekitar lima belas menit kemudian, mobil yang kutelusuri masuk ke dalam kompleks perumahan yang sepi, banyak rumah yang belum berpenghuni. Mobil berhenti di sebuah rumah setengah jadi, dan aku tanpa ragu menghentikan motorku di sisi jalan depan rumah itu. Dengan penuh keyakinan, aku melangkah mendekati tiga pria yang baru keluar dari mobil hampir bersamaan. Mereka menatapku tajam, namun aku tetap tegar dalam langkahku.

"Aku lihat kalian membawa teman wanitaku yang tak sadarkan diri. Aku juga melihat kalian melecehkannya. Jadi wajar aku menyangka kalian adalah bajingan." Kataku sembari berdiri di sisi kiri bagian belakang mobil.

“Wow! Ada jagoan yang mengikuti kita rupanya.” Ujar si brewok meremehkan.

“Lebih baik kau pergi dari sini sebelum celaka.” Pria berkepala plontos menimpali.

"Pergi sana, ini bukan urusanmu!" Seru pria ketiga tak kalah ganasnya.

"Ini jadi urusanku … Karena kalian menculik teman wanitaku. Lepaskan dia sekarang juga!" Tak sedikit pun rasa gentar yang terpancar dari hatiku, aku siap mengambil tindakan dengan segala cara.

“Kau ini mencari masalah saja.” Ucap si plontos sembari mengepalkan tangannya.

Posisi si plontos memang terdekat denganku. Tanpa ragu, dia langsung melayangkan tinjunya mengarah ke wajahku. Aku merunduk dengan cepat, lalu mendaratkan hook kanan ke rahangnya. Itu adalah KO satu pukulan. Tubuh si plontos terangkat sedikit sebelum jatuh ke tanah dan tak berdaya. Aku melihat kedua temannya terperanjat, mereka tampak tidak percaya dengan kecepatan reaksi dan kekuatan pukulanku. Dalam sekejap, rasa marah memenuhi diriku, memandang tajam pada dua pria yang tersisa. Mereka menyadari bahwa aku bukanlah lawan yang bisa dianggap enteng.

“Kalian bajingan! Majulah bersama-sama. Jangan satu-satu!” Kataku penuh intimidasi.

“Keparat! Kuhabisi kau!” Pekik penuh amarah si brewok sambil berlari ke arahku.

Si brewok tiba-tiba menendang sambil meloncat. Tendangan terbang yang berbahaya sekali, mengarah tubuhku. Insting bertahan memandu gerakanku, dan aku segera menggeser tubuhku ke samping sehingga tendangan si brewok hanya melintas di sisiku. Sedetik kemudian, tinju kananku meluncur deras mengarah perutnya. Tinjuku telak mengenai perut si brewok hingga terpelanting ke belakang lagi. Dia berguling-guling di tanah sambil memegang perutnya. Teriakan kesakitan mengisi udara, dan tanah menjadi saksi dari penderitaannya. Tak lama kemudian, dia muntah berkali-kali, mengeluarkan isi perutnya.

Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, aku berlari mendekati si brewok yang sedang dalam posisi jongkok. Adrenalin mengalir deras, dan seketika itu juga tendanganku meluncur dengan kekuatan penuh, tak ayal ujung sepatuku tepat mengenai dagunya. Suara benturan keras terdengar menggema, dan aku bisa merasakan getaran di kaki saat sepatuku bertemu dengan rahangnya. Si brewok terjungkal lalu tak sadarkan diri. Tubuhnya rebah di tanah, dan tatapan matanya yang tadi penuh kemarahan kini meredup.

Aku beralih perhatian kepada pria yang tersisa. Pandangannya penuh ketakutan, tubuhnya menggigil meresapi kejadian tragis yang baru saja menimpa rekannya. Beda dengan kedua temannya yang bertubuh tinggi besar, pria ini jelas lebih kecil dan kurus. Aku mendekatinya yang masih terpaku di tempat, dan tanpa ragu, aku meraih kerah bajunya, mengangkat tubuh kecil kurus itu sehingga telapak kakinya tak bersentuhan dengan tanah. Dalam genggaman kuat, aku menatapnya dengan tajam, menuntut jawaban atas perbuatannya. Wajahnya pucat dan matanya mencerminkan ketakutan yang membuatnya tampak lebih rentan.

“Kenapa kalian menculik temanku?” Suaraku menggeram tanda kemarahan yang membara dalam hati.

“Ka..kami di..disuruh …” Jawabnya dengan suara gemetar, membuka tabir misteri di balik peristiwa yang tengah terjadi.

“Siapa yang menyuruh kalian?” Tanyaku lagi sambil menatapnya tajam, memaksa dia mengungkapkan nama pelaku di balik aksi keji itu.

“A..Alan … Su..suaminya …” Jawabnya lagi masih dengan suara tergagap, membocorkan rahasia yang mengejutkan tentang suami Linda.

“Apa yang Alan suruh pada kalian?” Tanyaku lagi.

“Sa..saya … Ti..tidak tahu …” Jawabnya.

Aku melepaskan cengkramanku, lalu melempar pria kecil kurus itu hingga terjerembab ke tanah. Tiba-tiba, dia bangkit dan lari terbirit-birit entah ke mana. Aku memeriksa sejenak Linda di dalam mobil, dan aku pikir dia baik-baik saja. Setelah itu, aku mengikat kedua pria besar yang masih tak sadarkan diri, menyatukan tangan dan kaki mereka dengan ikat pinggang mereka.

Aku kemudian menelepon polisi untuk melaporkan kejadian ini. Tak lama setelah itu, polisi tiba dan segera menangkap kedua pria besar yang terikat, serta mengamankan Linda. Sesuai prosedur, aku sempat dimintai keterangan oleh aparat kepolisian, dan aku menjawab sesuai dengan apa yang aku lihat dan dengar. Setelah proses pemeriksaan Tempat Kejadian Perkara (TKP) selesai, aku kembali ke kantorku.

Aku sampai di kantor dan tentu saja disambut dengan teguran dari atasan. Namun, setelah aku menjelaskan peristiwa yang aku alami, atasanku menjadi maklum bahkan memuji keberanianku. Sebelum meninggalkan ruang atasanku, aku memintanya agar tidak memberitahukan peristiwa ini kepada siapa pun. Aku tidak ingin menjadi bahan pembicaraan rekan-rekanku. Saat kembali ke ruang kerjaku, aku dihadapkan dengan pertanyaan dari rekan kerja seruangan. Terpaksa, aku berbohong untuk menyembunyikan kejadian yang sebenarnya.

Aku hanya sebentar berada di ruang kerja karena waktu kerja usai. Setelah membereskan meja kerja, aku segera keluar ruangan. Kali ini langkahku menuju lobi perusahaan dan menunggu Riska di sana. Beberapa saat berselang, Riska tiba di lobi, dan kami bersama-sama menuju parkiran motor. Kesibukan harian di kantor menjadi latar belakang yang kontras dengan kejadian dramatis yang baru saja aku alami. Rasa haru dan ketegangan masih menyelinap di benakku, tetapi aku berusaha menyembunyikan perasaan itu di balik wajah tenangku.

“Malam ini aku tidur di rumahku, Ris … Aku ingin bersih-bersih rumah. Sudah seminggu lebih aku tinggalkan.” Kataku saat kami berada di parkiran motor.

“Gitu ya … Tapi besok kamu ke rumah ya … Aku gak tahan kalau gak ada kamu.” Ucapnya sambil senyum amlu-malu.

“Ya begitu kalau lagi isi … Pengennya gituan melulu.” Candaku.

“Kamu tuh, pikirannya seks terus. Gak pernah bersih otakmu itu.” Kata Riska sambil mencubit lenganku.

“Ha ha ha … Apa lagi yang lebih enak dari gituan?”

“Tau ah …”

Aku dan Riska terpisah di gerbang kantor, dan aku pun memutuskan untuk pulang. Naik motorku, merayap tenang di antara kendaraan lain yang juga pulang. Motorku melaju tenang di tengah keramaian kendaraan-kendaraan lainnya, mesinnya berdentum seiring getaran jalan aspal yang mulai terasa di bawah kaki. Mesin motorku berdendang, seakan-akan mengajakku untuk menikmati perjalanan pulang yang santai. Kepadatan lalu lintas terasa seperti orkestra kota yang membawakan lagu suasana pulang yang menyenangkan.

Beberapa menit kemudian, aku memutuskan untuk meninggalkan lautan kendaraan di jalan utama, beralih ke jalanan yang lumayan sepi. Angin sore bertiup lembut, memberikan kesan santai pada perjalananku. Tak lama setelah memasuki jalanan sepi itu, pandanganku terhenti oleh suara dentuman keras. Aku segera menoleh dan melihat dua motor bersenggolan, memperlihatkan adegan kecelakaan yang menggetarkan. Warna-warna metalik yang berceceran serta sorakan panik dari orang-orang sekitar, semuanya menjadi bagian dari kisah tragis yang tengah terjadi.

Tanpa berpikir panjang, aku melompat turun dari motorku dan bergegas mendekati lokasi tabrakan. Dalam kekacauan itu, aku mencoba memberikan pertolongan kepada korban tabrakan. Keberuntungan masih berpihak pada mereka, karena meskipun terdapat kerusakan pada kendaraan, tak ada yang mengalami luka parah.

“Kamu baik-baik saja?” Tanyaku pada seorang pemuda korban tabrakan yang kutaksir umurnya dua puluh tahunan.

“Tidak apa-apa mas, terima kasih.” Ujarnya sambil meringis. Kulihat jaket yang ia kenakan robek di bagian tangan.

“Benar, tidak apa-apa? Ada yang terasa sakit?” Tanyaku lagi ingin memastikan.

“Benar mas, saya tidak apa-apa, hanya kaget saja.” Jawabnya sambil tersenyum.

Aku ikut menengahi kedua orang yang saling bertabrakan yang tengah berdiskusi. Suara mesin yang mati dan keributan lalu lintas seakan memudar saat aku bergabung. Meskipun awalnya suasana terasa tegang, namun akhirnya kedua korban bersedia untuk duduk bersama dan mencari solusi untuk menyelesaikan permasalahan mereka. Keduanya sepakat untuk saling memaafkan, menunjukkan kedewasaan dalam menanggapi situasi sulit. Aku merasa senang bisa memberikan bantuan, meskipun hanya sebatas mendukung dalam penyelesaian konflik kecil mereka.

Aku melangkah kepada si pemuda yang tengah memeriksa motornya. Terlihat jelas bagaimana ban depan motornya mengalami kerusakan yang cukup parah akibat tabrakan tadi. Dengan cermat, aku memeriksa motor yang terparkir di pinggir jalan. Sayap-sayap yang penyok, warna-warna metalik yang memudar, semuanya menjadi jejak dari insiden tak menyenangkan itu. Saat aku fokus pada bagian ban depan, terlihat jelas bahwa kondisinya tidak memungkinkan untuk melanjutkan perjalanan.

“Ini sih harus diangkut ke bengkel.” Kataku.

“Iya …” Jawabnya setengah mendesah.

“Itu ada mobil dolak angkutan barang. Kamu bisa menggunakan itu.” Kataku.

Si pemuda memandangku sedih dan berkata, “Saya tidak punya ongkosnya mas.”

Aku pun terenyuh dan iba. Sambil tersenyum aku berkata, “Biar aku yang bayar.”

“Oh, jangan mas … Terima kasih …” Dia panik.

Aku tak ambil pusing dengan penolakan si pemuda yang mungkin masih terdampak oleh kejadian tabrakan. Langsung saja, aku memutuskan untuk memanggil pemilik mobil bak terbuka yang terparkir di dekat kami. Dengan tegas, aku memintanya untuk membantu membawa motor rusak si pemuda ke bengkel terdekat. Tanpa membutuhkan waktu yang lama, motor sudah terangkat di atas mobil bak terbuka tersebut dan kami bergerak menuju bengkel yang tak terlalu jauh dari lokasi tabrakan.

Saat tiba di bengkel, tukang bengkel dengan sigap memeriksa motor yang rusak parah akibat tabrakan tadi. Setelah beberapa saat, tukang bengkel memberikan kabar bahwa motor bisa diperbaiki, meski membutuhkan beberapa jam. Akhirnya, aku bertanggung jawab membayar semua biaya perbaikan motor si pemuda. Meskipun hal itu menambah beban finansial, tetapi melihat ekspresi terima kasih dan lega di wajah si pemuda membuatku merasa bahwa keputusan itu adalah langkah yang benar.

“Terima kasih banyak mas … Saya jadi malu dengan kebaikan mas …” Si pemuda berterima kasih sembari menjabat tanganku sangat erat.

“Namaku Bastian, panggil saja Bas atau Bastian tanpa embel-embel mas. Aku gak suka formalitas.” Kataku sambil memperkenalkan diri.

“Saya Nicko, panggil saja Nick. Sekali lagi saya ucapkan terima kasih.” Jawabnya.

“Sambil nunggu motor selesai, gimana kalau kita ngopi di sana.” Aku menunjuk sebuah coffee shop di sebelah bengkel.

“Iya mas …” Ucapnya sambil membungkuk.

“Namaku Bastian bukan mas.” Kataku agak keras.

“Oh iya, Bas …” Nicko pun tersenyum.

Kami memasuki coffee shop, tempat yang cukup nyaman untuk duduk dan melepas penat. Begitu masuk, kami segera memesan secangkir kopi dan menemukan sudut yang tenang untuk duduk. Ditemani oleh aroma kopi yang menggoda, kami mulai mengobrol santai. Aku banyak bertanya tentang kehidupan Nicko, ingin mengenal lebih jauh orang yang baru saja aku bantu. Ternyata, dia adalah seorang mahasiswa dari universitas negeri terkenal di kota ini. Nicko mengatakan rumahnya berada tak jauh dari tempat ini, dan cukup mengejutkan, tempat tinggalnya ternyata sangat berdekatan dengan rumahku. Kami tertawa kecil menyadari kebetulan yang tak terduga ini.

“Jadi apa yang membuatmu tabrakan tadi?” Tanyaku lalu menyeruput kopi yang masih panas.

“Sebenarnya aku ngelamun, Bas … Aku mengaku yang salah, tapi untungnya bapak tadi tidak marah.” Jawabnya.

“Ngelamunin apa sih?” Tanyaku ingin tahu. Nicko terdiam dengan wajah mengarah ke jalan. “Pasti masalah cewek.” Lanjutku asal tebak.

“Aku baru saja diputusin cewekku tanpa sebab.” Ucapnya pelan lalu meminum kopinya sedikit.

Aku tersenyum sambil merenung. Bagiku, pacaran hanya membuang-buang waktu, membuang tenaga, membuang uang, dan yang terpenting penyebab beban pikiran. Aku percaya bahwa hidup ini terlalu berharga untuk dihabiskan dalam permainan cinta yang tak pasti. Seringkali, perhatian yang terlalu banyak tercurah pada hubungan bisa membuat orang kehilangan fokus terhadap impian dan tujuan hidup. Sungguh ironis jika waktu yang seharusnya orang gunakan untuk hal-hal yang lebih berguna malah terbuang sia-sia dalam drama-drama percintaan yang tak ada artinya. Yang lebih parah lagi, pacaran bisa menjadi sumber beban pikiran yang mengganggu kebahagiaan. Pertengkaran, rasa cemburu, dan konflik-konflik kecil yang mungkin timbul dalam hubungan dapat merusak kesejahteraan mental. Hidup ini sudah cukup penuh dengan tantangan, mengapa orang malah menambahkan dengan beban pikiran?

Aku menatap wajah Nicko yang penuh dengan guratan kesedihan. Melihatnya begitu rapuh, hatiku seakan-akan merasakan kesedihannya, dan rasa iba membuncah di dalam diriku. Akhirnya aku memutuskan untuk berbagi pandangan dengan harapan bisa membantu pemuda ini terlepas dari kesedihannya.

“Nicko … Bagiku pacaran itu tidak ada gunanya sama sekali. Bagiku, pacaran adalah perbuatan yang mubazir. Kita menghabiskan begitu banyak waktu dan energi mencoba menikmati dan mempertahankan hubungan, namun gak jelas apa hasil akhirnya. Ya, pacaran itu perbuatan yang mubazir, yang hanya membuang-buang waktu dan tenaga. Ada begitu banyak hal lain yang bisa kita lakukan untuk mengisi hidup kita tanpa harus terjebak dalam dinamika hubungan yang gak jelas arah tujuannya.” Kataku coba memberikan pandangan.

“Kok gak jelas? Apa maksudnya?” Tanya Nicko sambil menatapku.

“Sekarang aku mau tanya? Apa yang kamu dapat dari pacaran?” Aku berusaha membuka wawasan pemuda ini.

“Em … Sedih …” Jawabnya pelan dan ragu-ragu.

“Apakah itu tujuanmu berpacaran?” Tanyaku lagi langsung dijawab oleh gelengan kepala. “Berarti kamu telah menyia-nyiakan waktu, tenaga, bahkan mungkin juga uang. Sekarang semua pengorbananmu sia-sia bukan?” Lanjutku.

“Ya … Kamu benar …” Nicko mengeluh lagi.

“Waktu yang sudah terlewati tidak akan pernah bisa kembali, dan kita tidak bisa mundur ke belakang. Pengalaman pahit yang baru saja kamu alami, seharusnya kamu jadikan sebagai pembelajaran berharga. Jika mantanmu berjalan menjauh darimu, biarkan dia berjalan. Dia benar-benar tidak pantas untukmu. Jangan biarkan seseorang yang tidak berharga, membuatmu lupa betapa berharganya dirimu.” Kataku.

Nicko menatapku lekat beberapa saat lalu berkata, “Bagaimana caranya aku melupakan mantanku?”

“Terima apa yang ada, lepaskan apa yang ada, dan percaya pada apa yang akan terjadi. Lupakan dia, jangan pernah kamu mengingatnya, baik kebaikan maupun keburukannya. Hilangkan rasa sayangmu padanya, juga rasa benci atau marahmu padanya. Hal termudah yang bisa kamu lakukan adalah anggap saja dia sudah mati.” Jelasku.

Nicko semakin lekat memandang wajahku. Terlihat sekali kalau pemuda ini sedang mencerna kata-kataku. Aku hanya tersenyum melihat ekspresi wajahnya yang seakan sedang berperang. Nicko terlihat sedang kebingungan tetapi juga terlukis keinginannya untuk memahami. Pantulan cahaya sore menyoroti wajahnya yang mungkin mencari jawaban di dalam kata-kata yang baru saja kuungkapkan.

“Ya, aku mengerti.” Tak lama Nicko bersuara.

“Sudahlah, Nick … Kenapa juga harus merasa sedih, kecewa, marah dan lain sebagainya. Mantanmu itu hanya sebagian kecil dari dunia ini. Terkadang, manusia terlalu fokus pada satu bagian kecil yang tidak sepadan dengan luasnya dunia yang penuh dengan kenikmatan dan kebahagiaan. Jangan sia-siakan hidupmu dengan terus-menerus terjebak dalam kenangan yang menyakitkan. Kamu harus move on, jelajahi lebih banyak hal yang dunia ini tawarkan. Jika kamu terus memandang ke belakang, kamu akan kehilangan momen-momen indah yang sedang menanti di depanmu. Carilah kebahagianmu, dan hidup ini masih punya begitu banyak hal yang menunggu untuk ditemukan." Tegasku.

Nicko mengangguk, menerima kata-kataku dengan hati yang terbuka. Wajahnya mulai meremukkan beban kesedihan dan dia terlihat lebih tenang. Pantulan cahaya semakin memperjelas kedamaian yang tersirat dalam percakapan kami. Meskipun masih ada luka yang perlu sembuh, namun aku melihat di matanya percikan harapan yang baru tumbuh. Kami pun melanjutkan obrolan. Nicko banyak bertanya tentang cinta, dan aku menjawab dengan pengalaman dan pandangan pribadiku.

Tak terasa, aku dan Nicko sudah lebih dari dua jam duduk-duduk di coffee shop ini. Suasana telah berganti malam, dan kami pun beranjak setelah tukang bengkel memberi kabar bahwa motor Nicko sudah selesai diperbaiki. Setelah membayar ongkos bengkel, kami melanjutkan perjalanan pulang. Namun kali ini, Nicko mengajakku mampir ke rumahnya karena posisinya terlewati oleh rute pulangku. Aku pun setuju untuk sebentar mampir ke rumah Nicko.

“Silahkan …” Nicko membuka lebar pintu rumahnya memberikan jalan untukku masuk.

“Rumahmu bagus juga ya …” Pujiku sesaat berada di ruang tamu.

“Ini bukan rumahku, tapi punya orangtuaku.” Canda Nicko. “Santai dulu di sini, aku buatkan kopi dulu.” Lanjutnya.

“Busyet deh, Nick … Baru saja kita ngopi. Gak perlu lah, aku sudah kenyang sama kopi.” Kataku melarangnya.

“Atau mau minum yang dingin?” Tawarnya.

“Gak perlu, Nick … Gak usah repot-repot.” Jawabku.

Tiba-tiba, mataku menangkap keindahan yang luar biasa. Seorang wanita muncul dari balik pintu ruang tengah dengan pesona yang memukau. Wajahnya begitu memikat, tubuh seksinya berdiri tegak, dadanya membusung sombong, perut langsing, pinggulnya berisi dengan lekuk pinggang yang ramping. Pakaian ketatnya melekat di tubuhnya menampakkan lekuk bodi yang begitu elegan, menyiratkan keanggunan dan daya tarik yang sulit kuabaikan. Sejenak aku terpaku, mataku tak dapat berpaling dari pemandangan yang begitu menggugah selera ini.

“Bas … Ini ibuku …” Langsung saja Nicko memperkenalkan wanita luar biasa ini padaku.

“Hai …” Senyumnya menambah kehangatan di ruangan itu.

“Hai … Tante …” Jawabku sambil mencoba menyamankan diri di hadapan ibu Nicko yang begitu menawan.

“Teman kuliah Nicko?” Tanya wanita cantik dan seksi itu.

“Oh, bukan tante … Teman ketemu di jalan.” Jawabku dengan adrenalin mulai memberontak.

“Bastian ini tadi menolongku, Bu … Aku tadi tabrakan di jalan dan Bastian yang membantuku.” Nicko pun bersuara.

“Oh ya?” Ibu Nicko terperanjat sambil memperhatikan anaknya. “Tapi kamu gak apa-apa kan?” Tanyanya lagi kemudian.

“Tidak apa-apa, Bu … Aku baik-baik saja.” Jawab Nicko sambil tersenyum.

“Oh, syukurlah kalau tidak apa-apa … Kalau begitu, ibu bikin minum dulu buat tamu kita.” Ucapnya sambil tersenyum padaku.

Kali ini, saat tawaran minuman diajukan, aku tidak menolaknya. Aku berharap bisa menikmati lagi keindahan yang dimiliki wanita tersebut. Pikiranku menjadi keruh setelah melihatnya. Suatu peristiwa yang tidak direncanakan ini telah merayapi benakku, merubah kedamaian pikiranku menjadi kegelapan yang menggelayuti jiwa. Tidak ada persiapan, tidak ada isyarat sebelumnya. Hanya ada pemandangan yang meresahkan dan membekas dalam ingatan.

“Bas …” Suara Nicko membuyarkan lamunanku yang masih berdiri menatap pintu yang baru saja dilewati ibu Nicko.

“Oh … Ya … Sorry …” Aku tergagap dan malu.

“Semua laki-laki yang aku ajak ke sini, selalu sepertimu saat melihat ibuku.” Ucap Nicko sambil tersenyum.

Aku pun duduk di salah satu sofa sambil memandang Nicko, “Ibumu itu memang luar biasa, Nick.”

“Ya, memang. Sangat luar biasa.” Respon Nicko masih dengan senyumannya. “Dia itu ibu tiriku, Bas. Dia menikah dengan ayahku saat aku berumur 10 tahun. Ibu asliku meninggal karena sakit.” Jelas Nicko lagi.

“Oh, begitu ya …” Kataku. “Siapa nama ibumu?” Tanyaku melanjutkan ucapanku.

“Maya …” Jawab Nicko singkat.

Tiba-tiba pintu tengah terbuka. Maya membawa baki berisikan dua gelas jus jeruk. “Kalian sedang membicarakan aku ya?” Dia berkata sambil berjalan lenggak-lenggok menghampiri kami.

“Bastian nanya nama ibu.” Sahut Nicko agak panik.

“Kenapa gak kenalan langsung saja?” Ucapannya itu membuat mataku agak terbuka. Aku menangkap sesuatu yang tidak biasa dalam ucapannya tadi. Aku mempunyai firasat positif yang semakin membakar adrenalinku.

“Aku menyesal tidak langsung berkenalan dengan tante … Bolehkah aku mengulangi perkenalan?” Candaku.

“Em …” Dia hanya tersenyum simpul sambil meletakkan dua gelas jus jeruk di atas meja. “Silahkan diminum.” Ujarnya sambil melirikku dengan sudut matanya.

Entah kenapa, kerlingannya itu seakan menjadi sinyal untukku agar lebih agresif, “Terima kasih, tante.”

Wanita cantik nan menggoda itu berjalan kembali lagi ke ruang tengah. Buah pantatnya bergoyang ke kiri dan ke kanan, membuatku ingin meremasnya. Jantungku berdebar keras sekali dan aliran darahku terasa amat cepat. Betapaku aliran darahku mengalir ke satu titik yang membuat juniorku jadi tegang.

“Bas …” Lagi-lagi suara Nicko membangunkan aku dari hayalan mesumku.

“Oh, sorry …” Kataku sambil mengambil satu gelas berisi jus jeruk dingin lalu menenggaknya.

“Kalau kamu jadi aku, apa yang akan kamu lakukan sama ibuku?” Tanya Nicko sambil menatapku lekat-lekat.

Aku membalas tatapan Nicko yang sayu. Tatapan matanya dan ucapannya tadi menggiringku pada suatu sangkaan kalau Nicko mempunyai sesuatu di hatinya namun malu untuk ia ungkapkan. Ada keyakinan bahwa di balik ekspresi wajahnya yang teduh terdapat perasaan yang terpendam, seakan-akan ia menyimpan cerita yang ingin diungkapkan namun ragu untuk membuka hatinya secara langsung, atau mungkin ada ketakutan yang membuatnya memilih untuk merahasiakannya. Aku merasa seperti membaca sebuah buku yang masih tersimpan rapat, menantikan saat di mana halaman-halaman itu akan terbuka dan kisahnya terungkap.

“Kalau aku jadi kamu, aku akan menggodanya.” Pancingku.

Tiba-tiba Nicko menggeser duduknya mendekatiku lalu mencondongkan kepalanya dan mendekatkan bibirnya ke telingaku, dan Nicko pun berbisik, “Aku tahu kalau ibu tiriku itu wanita jalang. Aku tahu dia suka ganti-ganti pasangan. Jujur, aku juga ingin merasakannya. Tapi, aku gak tahu caranya.”

Aku tidak terlalu terkejut dengan fakta yang baru saja Nicko ungkapkan. Aku bisa membaca gesture wanita itu yang terlihat mengundang. Aku memandang Nicko dengan senyuman yang tak bisa disembunyikan, senyuman yang memiliki ketertarikan lebih dari sekadar ungkapan dukungan.

“Bagaimana kalau aku mengajarimu?” Kataku sangat pelan penuh keyakinan.

“Apakah kamu yakin bisa?” Tanya Nicko seperti tak percaya.

“Percayalah padaku. Kamu perhatikan saja.” Jawabku dan Nicko pun mengangguk tanda setuju. “Tapi, apakah ayahmu ada di rumah?” Tanyaku kemudian sambil berbisik.

“Ayahku sedang dinas luar kota. Dia baru pulang dua hari lagi.” Jawab Nicko sangat pelan.

“Sempurna … Kamu jaga jarak dulu, kamu harus bersembunyi dan perhatikan aku. Aku janji, nanti kamu akan bisa merasakan kehangatan tubuh ibu tirimu.” Jelasku mantap dengan bisikan dijawab dengan acungan jempol oleh Nicko.

Langsung saja, aku berdiri dan melangkah ke ruang tengah. Pemandangan di sana menggambarkan kedamaian yang tersirat dalam setiap sudut. Di sofa, aku melihat Maya, duduk sendirian sambil menatap layar televisi. Ekspresinya terlihat tenang dan mengundang. Tanpa ragu, aku memberikan wanita itu anggukan kecil dan senyuman, langkahku menuju ke arahnya aku atur sedemikian rupa agar terkesan natural. Senyuman di wajahnya membuka jalan keintiman, seolah membentuk jembatan tak terlihat di antara kami. Aku duduk di sebelahnya, menjaga jarak yang tidak terlalu jauh.

“Maaf tante … Seperti yang tadi aku bilang. Aku menyesal tidak berkenalan langsung dengan tante. Sekarang izinkan saya untuk memperkenalkan diri.” Kataku dengan mempertahankan senyumanku.

“Aih … Segitunya kamu ya … Kamu kan sudah tahu namaku, dan aku sudah tahu namamu.” Suara genitnya begitu menggoda.

“Jujur saja, aku sangat tidak puas dengan perkenalan semacam itu. Aku ingin menjabat tangan tante dan menciumnya.” Ucapku tanpa ragu.

“Hi hi hi …” Maya terkikik dan langsung menyodorkan tangannya. Tampa berpikir lagi, aku sambut tangan halusnya lalu mencium tangannya yang harum.

“Oh … Begitu lembut dan harum … Membuatku ingin nambah.” Tak ada lagi batas yang harus aku jaga. Aku sudah bisa merasakan kepasrahan wanita ini terhadapku.

“Mau nambah apa?” Maya benar-benar menantangku.

Aku menggeser tubuh hingga merapatkan badan padanya, “Semuanya …”

Mata kami saling berpandangan dan seutas senyum terumbar dari bibirnya. Birahiku membuncah saat aku memperhatikan keseksian tubuhnya. Memakai kaus ketat warna putih dengan rok selutut, lekuk tubuh Maya terlihat jelas. Dadanya menonjol besar sekali dan bergetar setiap ia menghela nafas. Di tengahnya, sebuah garis sedikit gelap agak tersamar membelah dua tonjolan menantang itu. Aku menyeringai senang. Sungguh, ini pemandangan menegangkan bagi setiap laki-laki.

Sungguh, kali ini aku percaya pada keyakinanku. Baru saja aku akan bertindak mengisi momen birahi seperti ini, tiba-tiba Maya menarik tanganku. Kedua pipiku dipegangnya dengan kedua tangannya dan seketika juga aku kaget ketika bibir kami sudah saling bersentuhan. Ciuman kami terasa lembut. Sampai ketika sudah sama-sama basah oleh air liur, Maya melepasnya. Tangan wanita seksi itu masih memegangi kedua pipiku.

“Mau ngerasain megang?” Suaranya hampir seperti berbisik yang aku sambut dengan anggukan pelan.

“Boleh?” Aku ganti bertanya.

Kali ini Maya tidak mengangguk, ia membimbing tanganku ke atas dadanya. Sensasi yang aku rasakan begitu luar biasa. Rasanya seperti terbang ketika tanganku tegas merasakan permukaan dada yang dihiasi dua gumpalan lunak berukuran besar itu, yang berukuran di atas rata-rata perempuan Indonesia. Saat berada di puncaknya, terasa tonjolan membelai telapak tanganku. Maya tersenyum dan membiarkan aku menjelajah seluruh permukaan payudaranya. Sesekali ia mengarahkan tangannya dengan gerakannya yang ia inginkan. Berikutnya aksiku ditambah sekali lagi ciuman di bibirnya. Namun itu tidak berlangsung lama, karena Maya melepaskan ciumannya.

“Nicko akan melihat kita.” Ucap Maya pelan.

“Dia memang sedang melihat kita. Biarkan saja dia menonton kita.” Jawabku.

“Apa?” Mata Maya membulat.

“Dia sebenarnya ingin merasakan tubuhmu, hanya malu dan tidak tahu cara memulainya.” Ucapku sambil menatap matanya.

“Hi hi hi … Aku juga sudah lama menginginkannya. Tapi setiap aku goda, dia malah pergi.” Maya terkikik pelan.

“Apakah setelah ini, kamu akan memberikannya?”

“Ya, tentu saja.”

Setelah tersenyum bersama, kami melanjutkan permainan panas kami yang sempat tertunda. Sambil terus memagut dan meremas, tangan kami dengan terampil melepaskan semua kain yang menempel di tubuh masing-masing. Keyakinanku semakin kuat seiring jemari dan lidahku yang bermain-main di daerah kewanitaan Maya. Perempuan yang badannya terawat berkulit putih mulus ini menggelinjang hebat ketika lidahku menyentuh kemaluannya. Pahanya habis-habisan menopang lonjakan-lonjakan rasa nikmat yang semakin lama semakin meninggi. Sampai akhirnya pantatnya terhempas keras ke sofa berulang kali. Tangannya meremas-remas sendiri payudaranya dan kemudian menarik aku ke atas.

“Sekarang… Ya…?” Pintaku untuk ijinnya menerobos lubang miliknya.

“Iya … sekarang…” Jawabnya sambil mencium bibirku dengan keras.

Tak ada pilihan lain, tanpa perlu dibimbing, batangku sudah mengarah ke liang yang tertutup rapat gumpalan daging itu. Perlahan, dan berulang-ulang, batangku mulai masuk sampai akhirnya sempurna tertelan tubuh Maya lewat vaginanya yang terasa liat. Aku mulai menggerakan batangku di liang surgawinya. Ia mendekapku semakin erat seiring gerakan yang semakin cepat. Matanya terpejam seperti ingin merasakan sensasi yang mengalir dari dalam liang vaginanya ke sekujur tubuh. Sesekali bibirnya kukecup yang selalu ia sambut. Di sini, aku baru menyadari bahwa Maya bukan tipe perempuan yang berisik saat bercinta. Hanya erangan lemah yang sesekali aku dengar.

Maya paham betul harus berbuat apa agar kami sama-sama merasakan kenikmatan. Sesekali aku merasakan vaginanya berkontraksi, kontraksi yang sengaja ia lakukan. Pinggulnya juga bergerak mengikuti irama yang aku lakukan, serasi. Ketika orgasme sudah mendekat, Maya semakin keras mendekap tubuhku. Dan pas ketika ia berhasil meraihnya, kakinya menahan pinggulku agar berhenti bergerak.

“Aaaaaccahhh … Keelluuaaarrr …!” Pekik nikmatnya.

Aku terus menggerakan tubuhku naik turun dengan tempo yang stabil. Aku belum merasakan tanda-tanda mencapai puncak. Tanpa mengalami hambatan, kejantananku terus menerjang ke dalam vaginanya. Batang ereksiku mengalirkan rasa nikmat ke seluruh tubuh, seperti aliran sungai yang memeluk setiap lekuk dan relung. Sensasi nikmatnya merambat perlahan dari ujung hingga pangkal, membawa kedamaian dan kepuasan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Kejantananku bagai penjelajah yang menjelajahi medan yang penuh sensasi, menyusuri setiap lorong kegelapan dengan kepiawaian yang menggetarkan. Di setiap sentuhan, kelembutan dan kenikmatan bertemu, menciptakan sensasi yang mengalir seiring denyut nadi.

Saat aku sudah mendekati puncak. Maya mendekapku dan menciumi bibirku sedikit liar. Dan, ketika aku menekan keras kemaluannya yang membuat batangku terbenam di dalam liang vaginanya, ia menyilangkan kaki sembari menjepit pinggangku. Sungguh, tak hanya muncratan yang terasa keluar dari ujung batang kemaluanku tetapi juga pijatan dinding liang vagina yang membuat aku mengerang keras.

“Aaaaaccchhh … Keelluuaaarrr … Lagghhiii …!” Kini Maya menjerit menyambut orgasme keduanya.

Aku mengejang beberapa kali sebelum terkulai lemas, sejenak seperti tak kuasa bergerak. Maya membiarkan aku menindih tubuhnya di atas sofa dan memelukku. Jemarinya mengusap punggungku lembut. Maya tampaknya mengerti aku baru saja melepaskan kepuasan yang luar biasa.

“Nicko …” Bisikku di telinga Maya.

“Suruh dia masuk … Aku ingin merasakan penisnya.” Balas bisik Maya.

Aku pun bangkit dari atas tubuh Maya, lalu menoleh ke pintu tengah. “Nicko …!!! Ke sini …!!!” Teriakku.

Hanya sepersekian detik, pemuda itu muncul dari balik pintu. Langkahnya kaku dan ragu menghampiri kami yang telanjang bulat. Wajah Nicko memerah seperti sedang menahan konaknya, dan dalam senyumnya yang malu-malu, aku bisa merasakan getaran perasaan yang tersembunyi. Mata kami bertemu, dan di dalam pandangannya, aku melihat kegelisahan dan keragu-raguan yang menghiasi wajahnya.

“Wanita cantik ini sekarang milikmu sepenuhnya. Aku akan pulang.” Kataku sambil memakai kembali pakaianku.

“Eh … Anu … Bas …” Nicko masih terlihat gugup.

“Kamu ini gimana sih … Itu lihat lobang memeknya menunggumu.” Kataku sambil melotot.

“Sini sayang … Bukannya kamu ingin ini …” Genit Maya sambil melebarkan bibir vaginanya yang sangat basah.

Nicko pun akhirnya membuka pakaiannya tergesa-gesa. Aku melihat batang kerasnya lumayan besar dan panjang juga. Tak lama aku tersenyum saat melihat ibu dan anak tiri mulai bersetubuh tanpa menghiraukanku. Segera setelah pakaianku melengkapi tubuhku, aku beranjak tanpa menyampaikan sepatah kata pun. Dengan langkah mantap, aku meninggalkan rumah Nicko dan menuju motorku yang setia menunggu di luar. Mesin segera hidup ketika aku duduk di atasnya, dan aku memacu motorku dengan kecepatan moderat menuju rumahku yang hanya berjarak beberapa menit saja. Suara mesin yang berdentum seiring dengan hembusan angin yang melambai-lambai, membawa perasaan senang dan puas setelah meninggalkan rumah teman baruku itu.

BERSAMBUNG
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd