Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG PENABUR BENIH (CUCKOLD INSIDE)

CHAPTER 10
MAIN RASA


BASTIAN POV

Ketika aku meninggalkan kantor, aku baru menyadari bahwa langit sore itu terlihat cukup mendung. Awan hitam kelam melayang, menjadi pertanda bahwa hujan akan segera turun. Berdiri di halaman gedung perusahaan, aku merasa ragu apakah harus pulang sekarang atau menunggu sebentar agar tidak kehujanan. Namun, akhirnya aku memutuskan untuk segera pulang. Aku naik motor kesayanganku, mengenakan helm, dan memacunya melintasi jalan raya.

Dewi Fortuna rupanya masih berpihak padaku; saat aku tiba di rumah, tak sejumput air pun menyentuh tubuhku. Sepertinya, hujan enggan turun dan memilih mengendap di atas sana. Begitu aku memasuki rumah, mataku langsung tertuju pada pemandangan yang lumayan mengejutkan, Eva duduk di ruang tengah bersama Vera dan Renata. Aku bisa melihat keakraban antara Eva dengan kedua temanku itu.

“Kalian sudah saling kenal rupanya.” Kataku sambil menatap satu persatu ketiga wanita yang semuanya sedang tersenyum sambil menatapku.

“Aku sama Renata sengaja datang ke sini, Bas. Dan yang nerima Eva karena kamu belum datang.” Kata Vera.

“Sudah lama?” Tanyaku.

“Sekitar satu jam yang lalu.” Renata yang menjawab.

“Oke … Kalau begitu, lanjutkan ngobrolnya. Aku mau mandi dulu.” Kataku sambil pergi begitu saja meninggalkan mereka.

Aku segera membersihkan badan, berganti pakaian, baru kemudian menemui ketiga wanita yang masih asik ngobrol di ruang tengah. Aku pun terlibat dalam obrolan mereka yang membahas seputar kehidupan malam yang sepertinya Eva tertarik dengan pengalaman Vera dan Renata yang tampak sekali membuat Eva penasaran untuk menjelajahi sisi lain dari kehidupan malam.

“Sebaiknya kamu coba merasakan kehidupan malam di Jakarta supaya kamu gak mati penasaran.” Ungkap Vera pada Eva.

“Tapi …” Tiba-tiba Eva menatapku dan aku tahu kegelisahan yang sedang dirasakan Eva saat ini.

“Tenang saja, Va … Pergi sana! Masalah Anton, nanti aku yang handle.” Kataku coba memberinya semangat.

“Serius ya, Bas?” Tanya Eva ingin keyakinan.

“Ya, aku serius. Sana dandan dan ganti baju!” Kataku.

Eva pun langsung berdiri dan bergerak ke kamarnya dengan langkah yang ringan. Aku tersenyum senang karena ini adalah langkah awal yang sempurna membuat Eva binal. Setelah Eva hilang di balik pintu kamarnya, aku menatap Vera dan Renata sambil menahan senyumanku. Memang, tadi siang aku menyuruh Vera dan Renata untuk menemui Eva dan mempengaruhi istri dari sepupuku itu.

“Kalian tahu kan apa yang kalian harus lakukan?” Tanyaku sambil memberikan credit card pada Vera.

“Serahkan saja pada kami.” Ucap Vera dengan tersenyum sambil menerima credit card dari tanganku.

“Ingat! Jangan terburu-buru. Buat sehalus mungkin supaya dia ketagihan.” Aku coba memperingati mereka berdua.

“Kamu gak perlu khawatir, Bas … Percaya saja samaku.” Respon Vera dengan suara pelan.

“Bayaran kalian sudah ada dalam kartu itu. Sisanya untuk biaya kalian bersenang-senang.” Kataku lagi.

Vera langsung mencium credit card yang baru saja aku berikan, sementara bibir Renata melengkung menguntai sebuah senyuman. Kami pun melanjutkan obrolan dengan topik pembicaraan lain. Beberapa menit berselang, Eva keluar kamar dengan menggulai senyum manis. Tanpa banyak berbasa-basi, ketiga wanita itu langsung pergi meninggalkan rumah. Aku mengantar mereka sampai ambang pintu rumah saja. Setelah mobil Vera yang membawa mereka tak terlihat lagi, aku pun kembali ke dalam dan duduk di ruang tengah sambil menyaksikan berita di televisi.

Tiba-tiba terdengar suara hujan mulai mengetuk atap rumah. Aku berdiri lalu berjalan menghampiri kaca jendela di ruang tamu, kemudian memandangi rerintik air langit yang mulai membasahi jalan-jalan. Entah kenapa, aku teringat lagi sama Riska. Bayangannya seperti menari-nari dalam ingatanku. Dalam hati aku berkata, “Dimanakah dia?” Sampai saat ini keberadaannya masih menjadi misteri. Pihak kepolisian pun belum memberikan konfirmasi.

Aku terkejut bukan main kala mendengar suara dering smartphone dari saku celana. Segera saja aku ambil alat komunikasi itu lalu melihat layarnya. Di sana nama Linda yang muncul, secara spontan panggilan Linda aku angkat.

“Hallo …” Sapaku.

“Bas … A..aku baru sa..saja menerima te..telepon Riska.” Suara Linda terputus-putus, seperti seseorang yang berusaha menenangkan diri.

“Apa?? Bagaimana??” Aku pun jadi kehilangan kata-kata saking terkejutnya.

“Bas … Ris..riska bilang …” Linda menjeda ucapannya.

“Gimana Linda? Apa yang dia katakan?” Tanyaku setengah panik.

“Linda bilang kalau kita gak usah lagi mencarinya. Dia bilang juga sudah bahagia sekarang.” Jelas Linda yang sudah bisa bicara normal.

“Bahagia? Bagaimana bisa?” Aku bertanya mungkin pada orang yang salah.

“Dia gak ngasih penjelasan, Bas … Dia hanya bilang begitu. Oh ya, dia juga nitip salam buatmu.” Ucap Linda sendu.

“Ini aneh sekali. Linda … Benar-benar aneh …” Kataku.

“Terus, kamu mau apa?” Tanya Linda serius.

“Entahlah … Aku juga tidak tahu.” Jawabku.

“Mungkin lebih baik kita biarkan saja, dan besok aku akan ke kantor polisi mencabut laporan. Itu yang Riska minta.” Jelas Linda.

“Oh …” Gumamku masih tak percaya. “Kamu masih nyimpan nomor kontaknya?” Tanyaku kemudian.

“Kayaknya dia pake nomor yang sekali buang, Bas. Waktu aku menghubungi nomor itu lagi, langsung gak aktif. Oke, Bas … Gitu aja ya … Bye …”

“Bye …”

Telepon dari Linda membuatku terdiam sejenak, mencoba memahami berbagai perasaan yang berkecamuk di dalam diri. Meski kabar Riska baik-baik saja, namun ada sesuatu yang terasa tidak wajar dalam situasi ini. Ada sesuatu yang mengganjal di hatiku, dan keputusan untuk mencari tahu keberadaan Riska menjadi pilihan yang tidak bisa aku elakkan. Ya, aku akan mencari tahu apa yang sesungguhnya terjadi pada Riska.

Pikiranku kacau, tetapi ternyata perutku lebih kacau. Cacing-cacing di perutku sudah berdemo meminta makan. Saat itu juga aku memutuskan untuk makan di restoran cepat saja yang berada di depan kompleks perumahan. Dan aku terpaksa mengeluarkan mobil dari garasi karena hujan semakin deras saja. Tak berselang lima menit, aku sampai di restoran cepat saji yang aku tuju. Aku memasuki restoran cepat saji yang suasananya agak sepi. Walaupun beberapa meja sudah terisi, namun kesunyian terasa menyelubungi ruangan. Obrolan pelan terdengar di sela-sela suasana yang tenang. Setelah memesan, aku memilih duduk di pojok sisi jendela. Cahaya redup dari luar memeluk meja tempatku duduk, memberikan sudut yang nyaman dan tenang. Dari sini, aku bisa melihat aktivitas di luar, orang-orang yang berlalu lalang dengan berbagai cerita di setiap langkah mereka.

Suara deras hujan menambah suasana sepi, kontras dengan cahaya lampu yang bersinar di sekitar. Aku menikmati makananku dengan pelan sambil memperhatikan suasana restoran cepat saji ini. Tanpa sengaja, aku menoleh ke samping, dan di sanalah aku melihat seorang wanita. Matanya menatapku dengan lembut, kami bertukar pandang. Aku terkejut ketika wanita itu tiba-tiba memberiku senyuman ramah. Tidak mungkin aku tidak membalas sapaannya, dan langsung saja aku membalas senyumannya sambil sedikit menganggukan kepala.

Aku memutuskan untuk mendekati wanita itu dengan percaya diri. Saat aku mencapai meja tempat dia duduk, senyum kami bertemu kembali.

“Bolehkah saya bergabung?” Tanyaku seramah mungkin.

“Oh, silahkan … Aku senang kamu datang." Jawabnya dengan sumringah.

“Perkenalkan … Bastian …” Aku mengajaknya bersalaman setelah duduk di hadapannya.

“Neti …” Wanita itu menyambut tanganku. "Senang bertemu, Bastian.” Lanjutnya.

“Kamu adalah wanita tercantik yang pernah aku lihat, aku pikir, aku harus mengenalmu lebih dalam.” Kataku sambil menebar senyum untuknya.

Neti merespons dengan senyum malu-malu. "Terima kasih, Bastian. Em, apa yang membuatmu tertarik untuk mengenalku lebih dalam?"

“Sejujurnya, aku tertarik karena pesonamu yang luar biasa. Ada sesuatu yang istimewa pada senyumanmu.” Kataku sedikit ngegombal.

“Hi hi hi … Ternyata kamu raja gombal ya …” Neti pun terkikik senang.

Aku tertawa ringan merespons komentar Neti. "Eh, tidak bermaksud ngegombal sih, Neti. Aku hanya menyampaikan apa yang kurasakan.”

Neti masih terkikik senang. "Hi hi hi ... Senyumanmu juga istimewa. Aku senang dengan gombalanmu itu."

Percakapan kami terus berlanjut dengan candaan yang ringan. Suasana semakin nyaman dan akrab di antara kami. Aku dan Neti mulai berbagi sedikit tentang latar belakang hidup kami, saling bercerita tentang keluarga, mimpi, dan pengalaman hidup. Obrolan kami pun semakin intim, menciptakan momen yang akan dikenang dalam perjumpaan tak terduga di restoran ini.

Neti tersenyum lembut, menceritakan bahwa dia seorang single parent. Cerita wanita itu mengalir begitu tulus, mengungkapkan perjalanan hidupnya sebagai ibu tunggal. Aku cukup terkejut ketika Neti berbagi cerita kalau ayah anaknya tidak ingin terikat secara resmi dalam pernikahan. Dia menceritakan juga, kalau dirinya menerima kenyataan yang memang tidak mudah ini. Neti menegaskan meskipun tidak ada ikatan pernikahan formal, dia bertekad memberikan yang terbaik untuk anaknya.

“Yang namanya hidup tidak pernah ada yang tahu jalannya. Yang penting kamu bahagia dengan kehidupanmu yang sekarang.” Kataku merespon ceritanya.

“Benar, Bas … Aku sedang menikmati hidupku, dengan caraku.” Ungkap Neti. “Bas, apakah kamu punya pacar?” Tanya Neti kemudian.

“Aku gak punya pacar, Net … Aku gak laku-laku …” Jawabku sekenanya.

“Bohong banget.” Respon Neti sambil mengerucutkan bibirnya.

“Serius … Aku gak bohong. Aku gak punya pacar.” Kataku lagi penuh penekanan.

“Aku gak percaya kalau kamu gak laku, Bas.” Neti meluruskan ucapannya.

“He he he … Aku belum dapat yang sreg di hati saja. Mungkin, standarku terlalu tinggi.” Kataku setengah bercanda.

“Hhhmm … Emangnya standarmu seperti apa?” Tanya Neti.

“Sepertimu …” Jawabku cepat.

“Ih … Kamu itu …” Neti tersenyum malu-malu.

Aku tersenyum sambil mencoba menyelipkan gombalan lagi, “Kamu adalah standar tertinggi bagiku. Jadi, bolehkan aku mencuri hatimu?"

Neti terkikik pelan. "Hi hi hi ... Kamu ini kok bisa-bisanya bikin gombalan manis begitu ya?"

Aku tertawa, “Ha ha ha … Jadi, gimana? Bolehkah aku mencuri hatimu?"

Neti membalas dengan senyuman malu-malu. "Hmm, boleh, asalkan kamu bisa menjaganya dengan baik."

Bagiku, humor selalu menjadi senjata ampuh untuk meredakan ketegangan dan membangun kedekatan dengan seseorang, terutama dengan wanita seperti Neti yang duduk di hadapanku malam ini. Kecerdasan dalam bercanda adalah kunci untuk membuka pintu hati seseorang. Namun, selalu ada batasan yang harus dijaga. Humor yang kasar atau menyinggung bisa menjadi bom waktu yang bisa merusak segalanya. Oleh karena itu, dalam usaha untuk membuat wanita tertawa, aku selalu berhati-hati agar humorku tetap menyenangkan dan tidak menyinggung perasaannya.

Waktu jualah yang akhirnya mengakhiri kebersamaan kami malam ini. Di depan restoran cepat saji, kami saling menukar nomor kontak sebagai penutup pertemuan kami. Aku terkejut saat Neti memasuki mobil sedan mewah keluaran terbaru yang hanya orang-orang berduit saja yang mampu membelinya. Meski seorang single mother, namun ternyata Neti hidup dalam kemewahan.

Neti melambaikan tangannya dari jendela mobil saat melewatiku. Aku membalasnya dengan senyuman dan anggukan. Setelah mobil Neti menghilang dari pandangan, aku segera memburu mobilku, menyusuri jalan yang masih basah oleh rintik hujan. Sesampainya di rumah, aku langsung duduk di sofa ruang tengah. Pikiranku masih terpaku pada wanita yang baru saja aku kenal di restoran cepat saji tadi. Berbeda dari kebiasaanku yang dapat dengan mudah melupakan seseorang yang baru aku temui, aku merasa bahwa Neti adalah tipe wanita yang istimewa. Sikap pengertian dan kelembutan yang terpancar dari dirinya membuatnya sulit untuk dilupakan.

Aku kemudian rebahan di sofa sambil main ponsel dengan televisi yang menyala. Saat hendak mencari nomor kontak Neti, tiba-tiba ponselku berdering dan nama Anton tampil di layar ponsel. Aku pun langsung mengangkat panggilannya.

“Hallo …” Sapaku pada Anton di seberang sana.

“Bas … Ponsel istriku mati. Apa dia ada di dekatmu?” Tanya Anton.

“Dia lagi keluar dengan teman-temanku, Nton … Mungkin lagi dugem …” Jawabku santai.

“Serius?” Anton seperti terkejut.

“Serius lah … Aku sedang melatihnya untuk jadi istri binal.” Aku pun tersenyum mendengar keterkejutan Anton.

“Oh, ya sudahlah … Bilang saja sama dia kalau pulang kalau aku menginap di hotel, besok malam baru pulang.” Ujar Anton.

“Siap … Kamu mau tinggal di hotel selama seminggu pun Eva pasti senang.” Candaku.

“Sialan kamu … Oke ya Bas … Aku masih ada acara.”

“Oke …”

Setelah mengucapkan kalimat singkat tersebut, sambungan telepon pun terputus. Awalnya, aku bermaksud menelepon Neti, namun akhirnya aku memutuskan untuk mengurungkan niatku. Ponsel malah aku letakkan di atas meja. Aku memilih untuk memejamkan mata. Entah sejak kapan, aku terlelap di sofa, hingga akhirnya terbenam dalam alam bawah sadarku. Aku tidur, tidak ada mimpi, terasa begitu damai.

Namun, kedamaianku terusik ketika sebuah tangan mengelus wajahku. Rasa dingin di wajah membuat mataku terbuka, dan ternyata Renata sedang duduk di sisi sofa sambil tersenyum menatapku. Segera aku menyadari kehadiran Vera dan Eva di sekitarku. Aroma alkohol tercium oleh indera penciumanku. Tanpa ragu, aku bangkit dan duduk di samping Renata, yang tiba-tiba memeluk tubuhku.

“Bagaimana acaranya?” Tanyaku sembari berusaha mengumpulkan kesadaran yang masih setengah.

“Seru banget … Eva terus-terusan disco gak ada lelahnya.” Jawab Eva sambil tersenyum.

“Kamu senang kan?” Tanyaku pada Eva.

“Seneng banget … Besok aku mau ke sana lagi …” Ucap Eva yang kuperhatikan tubuhnya agak goyang.

“Syukurlah …” Kataku sambil melihat jam dinding yang ternyata sudah pukul 03.00 malam menjelang subuh. “Kalian beristirahatlah.” Kataku kemudian sambil berdiri.

“Aku tidur sama kamu ya, Bas …” Tiba-tiba Renata ikut berdiri dan memegangi tanganku.

“Ya …” Jawabku singkat.

Aku berjalan ke kamar dengan senyum terkulum. Entah kenapa berdekatan dengan Renata membuat semua hormon kebahagiaanku bermunculan. Sesampainya di kamar dengan pintu terbuka lebar, aku langsung saja memeluk tubuhnya dan membimbing wanita itu ke tepian ranjang. Aku dan Renata seperti saling mengerti apa yang kami inginkan. Pakaian kami segera terlepas dari tubuh masing-masing. Kami naik ke atas ranjang hampir bersamaan, kemudian aku memposisikan diriku di atas badan Renata. Kami berciuman sembari saling menggesek kemaluan agar mereka siap beraksi.

Sambil terus berciuman, aku terlebih dahulu menyapu kepala penisku ke atas dan ke bawah di sepanjang bibir vagina itu sebelum melakukan penetrasi. Setelah terasa bibir vaginanya basah, aku mencari lobang yang paling dicari para lelaki. Dengan lembut kutusukkan kepala penisku sambil menekan perlahan hingga seluruh batang kejantananku amblas ditelan gua surga Renata. Batang penisku yang panjang dan besar seperti dijepit oleh dinding vagina Renata yang halus licin.

Dengan desahan halus Renata menyambut kedatangan keperkasaanku di dalam tubuhnya, dan sangat perlahan aku mulai memompa pantatku maju-mundur dengan teratur. Penisku pun mulai keluar masuk vaginanya yang terasa basah dan hangat. Aku memompakan penisku dengan sedikit mempercepat gerakan sambil menikmati sensasi gesekan-gesekan ketat kedua kelamin kami yang menyatu.

Dari sudut mata, aku bisa melihat ada sosok yang sedang mengintip persetubuhanku dengan Renata. Aku berharap itu adalah Eva. Aku akan mempertontonkan padanya bagaimana Renata mengalami kenikmatan tiada henti. Aku pun berbisik pada Renata untuk mengganti posisi. Setelah melepas pertautan kelamin, aku beranjak dari atas tubuh Renata, sengaja memperlihatkan kejantananku yang besar dan panjang pada si pengintip. Tak lama, Renata telah memposisikan dirinya seperti doggie. Segera saja aku menusuk vagina Renata dari belakang.

“Oooohh …” Lenguh Renata sesaat setelah batang kerasku menyeruak masuk ke dalam lorong cintanya.

Aku segera meraih pinggulnya untuk berpegangan erat dan terus memompa menyetubuhi Renata. Setelah beberapa dorongan, aku akhirnya membungkuk menindih, tanganku memeluk sambil meraih buah dadanya yang besar, kenyal, dan mengeras. Jari-jariku menemukan putingnya dan aku mencubitnya, langsung saja terdengar erangan merdu manjanya.

“Ahhhhhh … Ooohh fuck Bas …Aaaku … Ooohhh …shit … enak sayang …” Racau Renata dengan suara keras.

Aku bergerak makin cepat, mengocok daging hangat Renata dengan kemaluanku yang semakin keras. Sesekali wanita itu menjerit kecil, kenikmatan. Saat aku semakin menggila, kejantananku bergerak dalam tubuh seksi Renata dengan jepitan otot vagina yang basah oleh lendir vaginanya. Kemaluanku bergetar nikmat, kemaluan Renata berdenyut hangat.

Pada saat itu, aku melihat bayangan kecil yang mencurigakan di balik pintu, ada mata yang memandangku dari balik sana. Aku sangat yakin tengah diawasi oleh seseorang di sana. Persetubuhanku kini terasa lebih hidup. Setiap gerakanku menjadi lebih tajam, dan energiku melonjak-lonjak. Aku melanjutkan aksi bersemangatku, menggenjot Renata tanpa henti, memberikan yang terbaik pada wanita itu. Renata terus mengerang dan menjerit penuh kenikmatan. Aku berhasil membawa Renata masuk ke dalam dunia kegembiraan dan kegilaan.

Aku memeluknya lebih erat karena aku bisa rasakan lututnya menyerah lemas di bawah tubuhnya. Tanganku melingkari dadanya dan perutnya. Pinggulku terus berayun menyodoknya penuh tenaga. “Aaahh..!!! Aaahh… Bas!! Keras… Yang kerraasss … Ooohhh!” rengeknya di sela-sela menikmati vaginanya yang terus kuhujami dengan penisku.

“Aaahh… Aaahhh… Mmmmhh!!! Mmmnn… Bas… Ohh Bas…” desahnya setiap kali penisku menghujam ke dalam vaginanya. Pinggulku seakan bergerak otomatis, tak bisa berhenti. Vaginanya semakin basah dan lubangnya semakin longgar, suara perpaduan dua alat kelamin pun semakin jelas terdengar, ‘Plook … plook … plook …’ Nafasnya sudah tak beraturan sekarang, aku semakin kencang menggerakkan pinggulku. Semakin lama semakin cepat kugerakan pinggulku, menghantam bagian dalam vaginanya dengan kuat. Renata mengencangkan vaginanya.

“Aaahhk… aaahhk… aaahhk… Bas… Oohh… Ooohh… Mmm… Nnnhh!!!” Erangnya. Tak lama badan Renata gemetar hebat, jepitan dinding vaginanya semakin ketat. “Oooohhh …. Bas …. Aaa.. ku ….!” Lenguhan panjangnya menandai orgasme telah menerjang dirinya.

Saat inilah waktunya aku memijat urat kenikmatannya. Sebelum rasa orgasme Renata mereda segera saja aku meraih pinggulnya, lalu memijat bagian urat seksnya. Terowongan cintanya berkedut meremas penisku dengan kegemasan. Aku bisa merasakan dinding rongganya bergetar. Sementara pinggulku terus menghentak-hentak kasar memompakan kenikmatan birahiku mendaki menuju puncakku, Renata terus menjerit kenikmatan tiada henti dan tubuhnya terasa terus bergetar. Aku dengan konstan tetap menstimulasi vaginanya dengan penisku.

Entah berapa kali Renata menjerit melepaskan orgasmenya yang tiada henti. Tiba-tiba aku mulai merasakan bahwa rasa nikmat yang menggerayangi sekujur tubuhku terasa semakin menghebat. Semakin kencang dikocok penisku, rasa nikmat tersebut semakin memuncak. Kucabut penisku dari tubuh Renata dan tanpa dapat ditahan lagi, klimaksku meledak juga. “Agghhhhh… hhaaahhhhhhh...!!” lenguhku panjang akibat terpaan gelombang kenikmatan yang sudah kunanti dari tadi. Spermaku berhamburan membasahi pantat dan pinggang Renata.

Entah berapa lama aku masih terlena dalam sensasi fantastis, sampai kami berdua bergulingan di atas kasur dengan posisi terlentang. Kami sama-sama terdiam. Cairan cinta kami merembes keluar dari bibir labianya yang merekah mengalir perlahan di paha mulusnya. Perlahan Renata mengangkat wajahnya ke arahku. Aku menatapnya dengan saksama tanpa sekejap pun berkedip.

“Kamu luar biasa sekali, Bas … Aku gak berhenti keluar …” Kata Renata.

“Mau lagi?” Tanyaku.

“Mau …” Jawabnya malu-malu.

“Giliran aku …” Tiba-tiba Vera masuk begitu saja.

“Hi hi hi … Katanya gak tertarik?” Renata terkikik geli.

“Aku ingin merasakannya.” Ucap Vera sembari melepaskan seluruh pakaiannya lalu naik ke atas ranjang.

Aku mengelus dan membelai-belai belahan vagina Vera yang merekah becek. Matanya mengikuti tanganku. Aku melihat saat seluruh tubuh indahnya merinding. Vera dengan buas menindih tubuhku, wajahnya melekat di wajahku. Kami berciuman dengan penuh nafsu, sementara tangannya meremas pelan penisku yang masih setengah tegang.

“Ya, udah … Aku tidur di luar … Hi hi hi …” Ucap Renata sembari turun dari ranjang. Aku dan Vera tidak memperdulikannya.

Aku dan Vera saling berpelukan dan berciuman. Lidahku perlahan menyusup masuk ke dalam mulutnya, dan Vera pun menyambut saat lidah kami saling bergelut lembut dengan mesra. Tangan kami pun saling membelai dalam pelukan. Sangat perlahan aku mendorong Vera berbaring di tempat tidurku. Aku membungkuk tanpa melepaskan ciumanku, Jemariku, mulai mengelus dari lututnya menelusuri kemulusan sepasang paha Vera hingga sampai di pangkalnya yang hangat dan lembab.

Bibirku melepaskan bibir Vera dan turun ke lehernya, mencumbui setiap senti permukaan kulit lembut halusnya, saat aku mulai merangkak di atas tubuh Vera. Tangan kiriku memegang batang penisku yang sudah sangat tegang lagi menahan rangsangan yang menggelora, dan mengarahkannya tepat di belahan bibir vaginanya yang sudah basah.

“Oh… Bas... Please… Puasin aku…” Rintih Vera lirih tak jelas.

Aku menundukkan kepala untuk kembali menjilati dan mengemuti kedua payudara padatnya bergantian, membuat Vera menggelinjang dan semakin keras mendesah gelisah. Perlahan aku mendorong lembut penis kerasku menyeruak bibir vaginanya dan menyelinap masuk ke dalam liang ketatnya. Tak banyak variasi, pinggulku membuat gerakan maju mundur mengayun. Setiap gesekan kelamin kami yang menyatu erat menyebabkan desiran aliran sensasi kenikmatan. Aku terus mengenjot, memompa dan semakin terbuai sensasi kenikmatan yang tercipta dari setiap gerakan dorongan dan tarikan batang penis kerasku yang menggesek liang vagina ketat milik Vera. Tangan Vera merengkuh bahuku erat dan menggigit bibir bawahnya dengan wajah mengernyit lirih seperti menahan nyeri.

“Kenapa?” Tanyaku sambil terus mengayunkan penisku.

“Punyamu besar sekali, Bas …” Lirihnya dengan suara bergetar dan aku pun tersenyum.

“Apakah Eva ada di sana?” Tanyaku dengan berbisik di telinga kirinya.

“Ya.” Jawab Vera singkat.

Jawaban Vera itu membuatku semakin bersemangat. Bersamaan dengan aliran hangat yang kurasakan di dalam, rongga vaginanya menjepit makin erat batang penisku. Tangannya merengkuh bongkahan pantatku serta menarikku menekan lebih erat lagi. Penisku timbul tenggelam dibekap lubang vaginanya yang hangat. Rintihan tak pernah berhenti keluar dari mulutnya. Goyangannya teratur, dan kini kedua tangannya merangkul kepalaku dan membenamkannya ke kedua gunung kembarnya yang besar dan halus.

“Ahh… Aahhh… Aaahh… Bas… Aa.duuu..hh…mhh…teruss…” Mulutnya terus mengaduh, tanda nikmat tiada tara yang dia rasakan. Tubuhnya maju mundur terdorong desakan penisku.

Aku menekan pantatku maju mundur, dan terasa vaginanya semakin licin, sehingga aku semakin leluasa menggerakkan penisku semakin cepat. Terasa vaginanya berdenyut-denyut seperti memijat penisku, dan tidak mau lepas ketika kutarik. Sungguh luar biasa nikmatnya. Aku semakin mempercepat gerakanku dan kurasakan vaginanya semakin becek. Demikian juga Vera, mulai mengimbangi gerakanku. Dia menjepit pinggangku dengan kedua pahanya dan bergerak naik turun. Pantatnya sesekali bergerak ke kiri dan ke kanan sehingga penisku seperti terpelintir rasanya. Kepala Vera juga bergoyang-goyang ke kiri dan ke kanan sambil terus mendesah. Gerakan kami yang sangat erotis itu mengeluarkan bunyi becek yang membuat kami semakin menggebu-gebu untuk melampiaskan seluruh nafsu birahi kami yang sudah memuncak.

“Cleepp… cleeepp… blueess… clepp... clepp...” Kurang lebih begitulah bunyinya.

Kami terus berpacu untuk mencapai puncak kenikmatan sampai keringat membasahi kedua tubuh bugil kami. Akhirnya setelah sekitar dua puluh menitan, Vera semakin cepat gerakannya dan jepitannya semakin kuat.

“Aku mau keluar… nih Basss… sudah tak tahann… Aaaaaccchhh...!!” Vera melenguh panjang sambil mendongak ke atas sambil menekan pantatnya keras-keras.

Tubuh Vera menggelinjang keras sekali, pahanya bergetar luar biasa. Saat itu aku merasakan penisku tersiram oleh cairan hangat. Sebelum reda orgasme yang Vera rasakan, aku membalikkan tubuhnya membelakangiku. Dengan agak kasar kutarik pinggangnya sambil memijat urat seksnya. Dengan cepat aku memajukan tubuhku sambil memegang batang penisku dan mengarahkannya kembali tepat di belahan bibir vaginanya yang sudah merekah berkilat basah, sementara kaki kananku mengeser kaki kanannya untuk membuka pahanya sedikit melebar. Dengan gerakan mantap penisku menyeruak sedikit demi sedikit membelah vagina lembutnya.

“Engkhh…..” Vera mengejan menerima desakan penisku.

Sementara pinggulku kembali mengayun maju mundur untuk kembali berkonsentrasi memompa liang vagina nikkmatnya lebih dalam. Kepala Vera tertengadah ke atas, pasrah dengan matanya setengah terkatup menahan kenikmatan yang melandanya. Dengan sisa tenaganya Vera mulai memacu dan terus menggoyang pinggulnya, memutar-mutar ke kiri dan ke kanan serta melingkar, sehingga penisku seakan mengaduk-aduk dalam vaginanya.

“Aaaacchh …. Keeellluuarrr laaghhiii ….” Jerit Vera saat diterpa orgasmenya lagi.

Tak berselang kemudian, Vera merasakan sesuatu yang sebentar lagi akan kembali melandanya. Terus dan terus aku pompa vaginanya. Vera tak peduli lagi dengan gerakannya yang agak brutal ataupun suaranya yang kadang-kadang memekik lirih menahan rasa yang luar biasa itu. Dan ketika orgasme itu datang lagi, Vera tak peduli lagi, “Aaduuuh…, eeeehm..ahh…Basss… Aaaacchhh…!!” Vera memekik lirih sambil mencengkram sprei dengan kencang. Sekujur tubuhnya mengejang, terhentak-hentak di dalam penguasaanku.

Aku mendorong penisku keluar-masuk di vagina Vera yang semakin basah dan licin. Desah nafasnya mendengus-dengus seperti kuda liar, dan tubuh Vera yang terkapar lemas dan pasrah terhadap apa yang akan aku lakukan. Vera benar-benar telah KO dan dibuat benar-benar tidak berdaya, hanya erangan-erangan halus yang keluar dari mulutnya disertai pandangan memelas sayu, kedua tangannya mencengkeram sprei, kini kepalanya tergeletak di atas bantal tak berdaya. Namun, saat orgasme menghantam wanita itu lagi dapat kurasakan getaran halus di tubuhnya.

Dan aku sekarang merasa sesuatu dorongan yang keras seakan-akan mendesak dari dalam penisku yang menimbulkan perasaan geli pada ujung penisku. Aku menggeram panjang dengan suara tertahan, “Agh… Aaagghhh…!” Aku segera mencabut batang penisku dan disertai lenguhan panjangku, “Ssssssh… Ooooooohhh!” Aku merasakan denyutan-denyutan kenikmatan yang diakibatkan oleh semprotan air maniku, yang memancar ke pantat dan pinggangnya. Ada kurang lebih delapan detik seluruh tubuhku bergetar hebat dilanda kenikmatan orgasme yang dahsyat itu.

Tak lama, aku tergeletak kelelahan, terlentang di atas kasur. Sementara itu, Vera ambruk tertelengkup di sampingku. Ternyata Vera langsung tertidur dengan damai. Seiring dengan setiap napas yang teratur, tubuh Vera terlihat begitu rileks dan tenang. Aku pun merasakan kelelahan menyapu tubuhku. Pemandangan dalam pikiranku menjadi semakin samar, dan akhirnya, aku pun tenggelam dalam tidur.

#######


RISKA POV



Aku baru saja selesai latihan menembak pada pukul 03.00 dini hari. Hatiku masih berdegup kencang, adrenalin dari latihan menembak tadi malam membuatku merasa hidup. Menjalani hobi baruku ini memberikan kepuasan yang tak terhingga. Aku melangkah masuk ke gedung utama dengan suara langkah sepatuku bergaung di lorong yang sepi, memberikan kesan seolah aku adalah satu-satunya orang di istana ini. Setelah beberapa saat, aku tiba di bar mini yang berada di tengah bangunan megah ini. Disana, Neti, Sinta, Firda, dan Ratna telah berkumpul. Ketika aku memasuki ruangan, senyuman hangat dari mereka menyambut kedatanganku.

Neti mengangkat gelasnya sambil berkata, "Kamu keranjingan menembak, Riska! Sini bergabung!"

“Gara-gara Sinta yang mengajakku. Aku jadi gak bisa berhenti.” Candaku sambil merangkul bahu Sinta dan duduk di sebelahnya.

“Ah, aku jadi frustasi berlatih, gara-gara kamu.” Ujar Sinta sambil menyikutku pelan.

“Hi hi hi … Harusnya gak begitu. Kamu seharusnya lebih rajin.” Aku pun terkikik senang.

Aku duduk di tengah-tengah keempat wanita hebat ini, gelas wine di tangan kami seakan menjadi pengantar akrab bagi obrolan yang mengalir. Neti, Sinta, Firda, dan Ratna, teman-teman terbaikku, adalah sumber kebahagiaan malam ini. Dengan setiap tegukan wine, kami semakin terbuka dan saling berbagi cerita. Kami menyulap bar mini ini menjadi tempat di mana setiap cerita dan tawa menjadi harta berharga yang kami bagi bersama.

“Eh, Net. Gimana cowok gebetanmu?” Tiba-tiba Ratna bertanya seperti itu pada Neti. Sontak saja aku merasa penasaran.

“Aku baru saja kenalan, tadi sore aku ngobrol sama dia.” Terlihat senyum terkulum seketika di wajah cantik itu.

“Oh ya? Ceritain dong!” Firda memekik senang.

“Aku tadi sore memantau rumahnya. Eh gak lama dia keluar dan ternyata dia kelaparan. Dia masuk ke restoran cepat saji dan aku mengikutinya. Ya, aku kasih senyum saja waktu aku melihatku. Ternyata dia gentle, dia datang padaku dan berkenalan. Beneran deh, aku suka sekali sama dia. Dia laki-laki luar biasa.” Jelas Neti masih dengan senyuman bahagianya.

“Hei … Emang kita boleh suka sama cowok?” Tanyaku menyela pembicaraan.

“Ya, boleh-boleh saja. Siapa yang akan ngelarang kita?” Jawab Ratna sambil menatap wajahku.

“Bagaimana dengan Burhan?” Tanyaku.

“Dia gak bakal apa-apa, asalkan saja dia selalu menjadi prioritas kita.” Kini Neti yang menjawab pertanyaanku.

“Oh … Bahkan aku menjadi sayang sama Burhan.” Jujurku karena kelapangan dada Burhan.

“Nanti, suatu saat nanti, kamu akan merasakan jatuh cinta sama seseorang.” Firda berkata lalu menyesap minumannya.

“Mungkin …” Responku tidak menapik ucapan Firda tersebut.

“Jadi … Masih mau merahasiakan sama kami?” Tanya Ratna menggoda Neti.

“Nantilah … Ada waktunya aku perkenalkan pada kalian.” Ujar Neti.

Sambil menikmati minuman, kami tertawa dan berbagi pandangan tentang bagaimana kehidupan cinta bisa berkembang di dalam tembok istana ini. Suasana dengan dinding-dinding kokoh dan taman yang indah memberikan perlindungan dan keamanan. Namun, yang membuatku sangat senang adalah kebebasan yang dihargai di sini. Aku dapat mengejar impian dan minat pribadi tanpa merasa terkekang oleh statusku sebagai selir pemilik istana. Ya ternyata, aku hidup di lingkungan dimana kebebasan pribadi bukan hanya slogan, melainkan sesuatu yang sangat dihargai.

Saat jam menunjukkan pukul lima subuh, kami berempat memutuskan untuk beristirahat di kamar masing-masing. Aku pun berbaring di atas kasur, sambil pikiranku melayang-layang di tengah suasana subuh yang tenang. Lamunanku tiba-tiba tertuju pada Bastian. Sebuah rasa tiba-tiba muncul, membuat hatiku merindukan kehadirannya. Namun, terbersit juga rasa malu di dalam diriku. Aku tidak berani bertemu dengannya karena aku ingin menjaga privasi dan tidak ingin Bastian mengetahui segala detail kehidupan baruku ini. Tak lama, rasa kantuk menyergap, tanpa sadar, semuanya menjadi gelap.

********

Aku terbangun saat mendengar suara alarm, segera aku matikan jam kecil yang berada di atas nakas. Saat ini sudah pukul 13.00 siang. Sedikit menggerakkan badan untuk meregangkan otot, lalu aku turun dari tempat tidur menuju ke kamar mandi. Aku mandi untuk menyegarkan diri dan menggosok seluruh badan dengan sabun wangi. Setelah selesai mandi, aku memilih memakai pakaian kasual, yaitu kaus putih, jaket denim, jeans dan sneakers berwarna putih. Aku memoles wajahku dengan sedikit make up dan bercermin. "Cantik," gumamku melihat pantulan wajahku di cermin.

Aku keluar kamar lalu berjalan ke belakang istana, tempat latihan menembak. Di sana, aku menemukan pelatih menembakku, Gunawan, sedang sibuk mempersiapkan alat tembak. Aku menyapanya dengan hangat, senyuman terukir di wajahku. Gunawan membalas sapaanku dengan kehangatan yang sama. Di sebelahnya, terlihat dua tas besar yang menarik perhatianku.

“Apa itu?” Tanyaku sambil menunjuk dua tas di dekatnya.

“Itu adalah alat camping.” Jawabnya sambil terus membereskan alat tembak.

“Apakah kita memerlukannya?” Tanyaku lagi.

“Tentu saja. Kita tidak semalaman berburu. Itu untuk tempat kita beristirahat setelah selesai berburu.” Katanya sambil tersenyum karena selesai mengemas senjata.

“Oh …” Gumamku. “Oh ya, siapa saja yang ikut?” Tanyaku kemudian.

“Ada empat orang. Mereka adalah penembak ulung.” Jawab Gunawan sambil mengangkat salah satu tas lalu dia simpan di punggungnya. “Ayo! Berangkat!” Ajak Gunawan setelah semua bawaan sudah berada di kedua tangannya.

Aku mengikuti langkah Gunawan menuju pelataran di samping gedung utama. Saat tiba di sana, sebuah mobil mini bus sudah menantiku. Dengan penuh semangat, aku memasuki mini bus tersebut, memilih duduk di jok depan. Di belakangku, ada empat orang pria yang langsung menyambutku dengan ramah, walaupun aku tidak mengenal mereka sebelumnya. Gunawan, pelatih menembakku, kini duduk di kursi belakang kemudi. Segera saja, mini bus ini bergerak meninggalkan gedung istana, membawa kami ke pelabuhan yang menjadi tempat keberangkatan perahu boat untuk berburu di sebuah pulau terpencil. Ya, aku akan berburu di sebuah pulau di perairan Jakarta. Semalam Gunawan mengajakku untuk berpetualang di pulau tersebut.

Dalam waktu singkat, sekitar lima belas menit, kami tiba di pelabuhan kecil yang rapi dan bersih. Gunawan menceritakan bahwa pelabuhan ini khusus untuk anak buah Burhan. Pelabuhan ini adalah awal dari petualangan kami menuju pulau terpencil untuk berburu. Saat naik perahu boat, aku merasakan kegembiraan dan ketegangan. Mesin perahu pun dihidupkan membawa kami melewati perairan tenang menuju pulau berburu yang ditempuh dalam waktu setengah jam.

“Apa kamu sering berburu?” Tanyaku pada Gunawan saat kami meluncur di atas laut.

“Akhir-akhir ini aku jarang berburu. Hari ini aku hanya ingin mengajakmu saja keluar istana. Aku perhatikan semenjak kamu datang, tak sekali pun kamu keluar istana.” Jelas Gunawan membuatku melongo.

“Jadi, kamu memperhatikanku?” Tanyaku terheran-heran.

“Oh maaf … Aku bukan bermaksud memata-mataimu.” Terlihat roman gugup di wajahnya.

“Kenapa? Kenapa kamu lakukan?” Tanyaku ingin tahu.

“Em … Ingin saja …” Katanya dan aku bisa merasakan kata hatinya.

“Gun … Terima kasih kamu sudah perhatian sama aku. Tapi …” Aku tak tega meneruskan ucapanku.

“Tapi apa?” Gunawan langsung menyambar.

“Lebih baik kita berteman saja, oke?” Kataku sambil mengambil tangannya.

Gunawan pun tersenyum sambil menganggukan kepala. Keputusanku harus tegas untuk menetapkan batasan yang jelas antara hubungan profesional dan pribadi kami. Aku sangat menghormati Gunawan sebagai pelatih menembak, namun penting bagiku untuk memastikan bahwa hubungan ini tidak melibatkan perasaan pribadi. Aku sadar akan pentingnya menetapkan batasan yang jelas dalam hubungan ini, menjaga agar tidak ada harapan yang salah tumbuh di antara kami. Kejelasan ini penting untuk menghindari kekecewaan yang mungkin muncul di masa depan.

“Burhan sangat ahli berburu.” Ucap Gunawan memecah keheningan.

“Oh ya?” Responku lumayan kaget.

Gunawan tertawa kecil sebelum melanjutkan, "Dia tidak hanya ahli berburu, tetapi juga sangat lihai dalam menggunakan senjata. Kepiawaian dan ketepatannya luar biasa. Aku sendiri sangat terkesan dengan keahliannya."

"Aku tidak pernah mendengar tentang kemampuan berburu Burhan," ujarku semakin penasaran.

“Kamu harus tahu kalau suamimu itu juga sangat mahir dalam bela diri, dan tubuhnya kebal terhadap senjata," lanjut Gunawan, suaranya penuh pengaguman.

Gunawan membuka lembaran rahasia Burhan dengan penuh kagum kepadaku. Dia menceritakan kalau Burhan bukan hanya petarung biasa, melainkan petarung tangguh dalam pertempuran. Burhan mempunyai kekuatan yang tak tertandingi dan tak kenal ampun. Kehebatan Burhan tidak hanya sebatas kemampuan bertarung, tetapi juga kebal terhadap senjata apapun, baik senjata api maupun senjata tajam. Dengan kekuatan yang dimilikinya itu, Burhan menjadi manusia yang tidak terkalahkan. Keistimewaan itu membuat semua orang di bawahnya merasa takut dan sangat menghormatinya.

Aku mendengarkan dengan penuh perhatian, “Mungkin itu yang membuatnya sangat berkuasa.”

Gunawan mengangguk. "Benar sekali. Keahlian dan keberanian Burhan menjadikannya sebagai orang yang sangat berkuasa.”

Sambil melanjutkan perjalanan, aku dan Gunawan terus berbincang-bincang. Suasana semakin mencair dengan tawa dan canda yang mengalun di antara kami. Kami berbagi cerita dan pengalaman, mengisi perjalanan kami dengan hangatnya persahabatan. Tak terasa, kami pun tiba di pulau yang memang menjadi tujuan perjalanan kami. Keindahan pulau ini menyambut kami dengan pemandangan alam yang menakjubkan. Pantai berpasir putih, air laut yang jernih, dan pepohonan hijau melambai-lambai di sepanjang bibir pantai. Perasaan gembira dan rasa penasaran terus menggelora di dalam diriku, siap untuk menjalani petualangan yang menantang di pulau ini.

BERSAMBUNG
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd