Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG PENABUR BENIH (CUCKOLD INSIDE)

CHAPTER 4
KAWIN BERSAMA YANG PERTAMA



BASTIAN POV

Sang surya mulai kembali keperaduannya. Semburat jingga terlukis indah di angkasa. Pesona sore menemaniku di halaman belakang rumah. Aku juga ditemani kopi hangat, cara yang tepat untuk menikmati waktu sore sendirian. Aroma kopi ini tercium nikmat, memberikan ketenangan dan menjadi mood booster bagiku saat ini. Semua orang yang aku temui dalam hidup ini adalah pemain drama. Aku hanya harus memutuskan mana yang bintang utama dan mana yang figuran saja. Hidup ini memang penuh drama, tetapi setidaknya aku bukan pemeran utamanya.

Lamunanku buyar ketika ponsel pintarku menyuarakan nada panggil. Aku lihat layar ponsel yang menyala-nyala, dan ternyata Riska sedang menghubungiku. Bulatan biru aku geser ke atas. Lalu tampaklah wajah Riska. Aku merasakan ada yang berdesir pelan di dalam sana. Riska sedang menatapku dari balik layar ponsel sambil tersenyum manis.

“Hai …” Sapaku.

“Makasih ya, Bas … Makasih sudah membuat Heri tertawa lagi. Dia sekarang sudah bersemangat lagi. Kamu berhasil membuatnya percaya diri.” Kata Riska penuh kebahagiaan.

“Sama-sama, Ris … Syukurlah kalau Heri sudah tidak sedih lagi. Yang penting kalian hidup rukun dan bahagia. Ya, walaupun Heri memang mempunyai kekurangan, dan kita semua juga mempunyai kekurangan, tapi aku harap kalian tetap bersatu dan saling melengkapi. Aku gak ingin kalian bercerai berai. Percayalah, setiap masalah pasti ada jalan keluarnya.” Kataku.

“Ya, Bas … Em, suamiku mengundangmu bermalam di sini.” Ucap Riska malu-malu.

“Oh ya? Apakah kamu dan suamimu benar-benar sudah siap?” Tanyaku ingin keyakinan.

“Aku bahkan sudah gak sabar.” Suara Riska terdengar berbisik.

“Baiklah … Aku akan segera meluncur ke sana.” Kataku penuh antusias.

“Aku tunggu ya …” Ucapnya lalu memutuskan sambungan telepon.

Aku segera bersiap-siap untuk memulai petualanganku. Dengan cekatan, aku melangkah ke garasi yang penuh dengan bau minyak dan aroma metal. Di sana, aku memilih motor kesayanganku yang selalu siap mengantarku berpetualang ke mana saja. Mesin menyala dengan suara yang familiar, dan aku merasakan getaran ringan saat motor meluncur keluar dari garasi. Langit senja dan udara sejuk mengantarkan perjalananku menuju rumah Riska dan Heri.

Tiba di depan rumah mereka, aku merasakan kesenangan luar biasa. Pintu rumah terbuka lebar, memperlihatkan keceriaan di dalamnya. Riska dan Heri muncul dengan senyuman lebar, sambutan hangat yang membuatku merasa seperti kembali ke rumah sendiri. Pelukan erat dan tawa riang menggema di ruang tamu, menciptakan suasana keakraban yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Kami bergegas menuju ruang tengah, duduk di sofa yang nyaman, dan mulai membagi cerita tentang apa yang terjadi dalam hari ini.

Heri, dengan senyuman tulus, berkata, “Kita berdua sudah siap dengan kehidupan yang tidak biasa ini. Kami telah berdiskusi, dan kami akan saling mendukung satu sama lain. Apapun yang terjadi, kita akan bersama dalam setiap langkah perjalanan ini.” Heri menatap mataku dengan penuh keyakinan, "Kami berdua sudah berjanji untuk saling mengerti dan selalu menjaga cinta kasih di antara kami. Meskipun jalannya tidak umum, kami yakin bahwa cinta adalah pondasi utama dari segalanya. Kami akan terus memperkuat keharmonisan rumah tangga kami, walaupun mungkin dengan cara yang sangat berbeda dari yang biasa orang lakukan.”

“Keputusan kalian untuk menjalani kehidupan yang unik ini bersama-sama adalah keputusan yang tepat. Tapi, keberhasilan kalian sangat ditentukan oleh kejujuran dan keterbukaan. Selalu terbuka satu sama lain, bicarakan perasaan dan harapan kalian secara jujur. Jangan ragu untuk berkomunikasi dan mendengarkan dengan penuh pengertian. Dalam keberagaman ini, kalian dapat membangun fondasi yang kuat dengan saling mendukung dan menghormati. Tetaplah memelihara cinta kasih, dan ingatlah bahwa setiap kalian memiliki peran dan kebutuhan masing-masing.” Aku coba memberikan saran pada mereka.

Riska, dengan mata berbinar dan senyuman penuh kasih, berkata kepada suaminya, "Sayang, aku ingin kamu tahu kalau cintaku padamu akan selalu menyertai setiap langkah perjalanan ini. Aku berjanji untuk selalu mencintai dan mengasihimu sepenuh hati. Kebersaran jiwamu terlihat dalam persetujuanmu terhadap hubungan tak lazim ini, membuatku semakin cinta dan sayang padamu. Melihatmu mampu memberikan kepercayaan dan ruang untukku bersama dengan Bastian adalah bukti sejati dari kecintaan dan kedewasaanmu. Aku bersyukur memiliki suami yang begitu luar biasa, dan aku berjanji untuk selalu menjaga dan memperkuat ikatan cinta di antara kita."

“Aku sebagai saksi janjimu pada Heri. Jika kamu melanggar janjimu itu, aku lah yang akan bertindak terlebih dahulu.” Kataku pada Riska setengah bercanda.

“Hi hi hi … Aku pastikan kamu tak sempat bertindak.” Riska cekikikan sambil merangkul lengan Heri yang duduk di sebelahnya.

Kami berbincang-bincang dengan penuh kejujuran, keterbukaan dan tanpa cela untuk membahas hubungan yang akan kami jalani. Tidak ada ketidaknyamanan atau canggung dalam percakapan kami, karena kami semua sepakat untuk menghadapi keputusan ini dengan kepala tegak dan hati terbuka.

Di tengah obrolan, tiba-tiba aku berdiri dan melangkah, pindah ke sofa yang sedang ditempati Riska dan Heri. Posisi Riska kini berada di tengah-tengah, di antara aku dan Heri. Aku memeluk bahu Riska tanpa sungkan, membiarkan kehangatan tubuhnya menyatu dengan kehadiranku. Aura keintiman semakin kuat, dan tanpa ragu, aku mencium lembut bibir Riska. Wajahnya yang tersenyum mencerminkan persetujuan dan keinginan yang sama. Dalam detik-detik itu, suasana ruang tengah menjadi lebih sensual dan penuh gairah.

Aku merasakan mata Heri memandang kami dengan intensitas tinggi, namun aku memilih untuk tidak memperdulikannya. Suasana di ruang tengah semakin terasa panas. Riska dan aku terus terperangkap dalam keintiman kami yang semakin mendalam. Tanpa ragu, kami melanjutkan serangkaian ciuman bahkan tanganku sudah meremas-remas payudara Riska yang besar dan kenyal di luar pakaian yang ia kenakan. Riska pun mendesah-desah d tengah ciuman kami. Sementara itu, aku bisa merasakan kehadiran Heri di belakang kami, menikmati pemandangan yang terbentang di depannya.

Sekitar lima menit berselang, aku dengan lembut melepaskan ciumanku dari bibir Riska. Mata kami bertemu dalam-dalam, menciptakan ruang intim yang hanya dimengerti oleh kami berdua. Dengan tatapan penuh hasrat, aku mengangguk pelan sebagai isyarat ajakan. Seakan memahami tanpa kata-kata, Riska menjawab dengan senyuman lembut dan menganggukkan kepala sebagai tanda penerimaan ajakanku.

“Heri … Apakah kamu ingin menonton kami?” Tanyaku pada Heri yang tampak terengah-engah.

“Ya …” Jawabnya singkat.

Tanpa perlu menjawab lagi ucapan Heri, aku langsung mengajak Riska ke kamar tidurnya. Heri dengan setia mengikuti kami di belakang. Sesampainya di dalam kamar, gairah kami yang tertunda di ruang tengah tadi kembali menyelimuti kami. Aku dan Riska tanpa ragu melanjutkan adegan panas tersebut, namun kini dengan intensitas yang lebih dalam, lebih pribadi, di atas tempat tidur yang nyaman. Sementara itu, Heri duduk dengan tenang di kursi yang tak jauh dari tempat tidur, menyaksikan keintiman yang terjalin di antara kami. Ekspresi pria itu menggambarkan kepuasan. Meskipun tak terlibat langsung, kehadiran Heri memberikan nuansa yang sangat seksi pada momen keintiman ini.

Aku dan Riska terhanyut dalam gelombang birahi yang membara. Tubuh kami, seperti dua magnet yang tak dapat dipisahkan, tersapu dalam arus hasrat hewani yang mendalam. Kain yang semula melapisi tubuh kami terlepas satu per satu, membuka diri kami untuk satu sama lain. Dalam ketidaklaziman suasana ini, kami saling menindih dengan penuh nafsu, menjelajahi setiap sudut keintiman yang tersembunyi. Tak ada kata-kata, hanya rasa yang berbicara di antara ciuman, sentuhan, dan rabaan. Meskipun sadar tentang kehadiran Heri, kami memilih untuk mengabaikannya. Rasa terlarang memandu setiap gerakan dan belaian, mengukir jejak-jejak kenikmatan di antara kami berdua.

“Oh … Masukin, Bas …” Riska sudah meminta yang memang kewanitaannya sudah sangat basah.

“Oke …” Bisikku di telinganya.

Aku yang berada di atas tubuh sintal wanita itu mulai mengarahkan kejantananku ke lubang surganya. Riska membimbingku dengan memegang batang kerasku lalu meletakkan pada posisi yang seharusnya. Aku mulai menekan dan terasa kepala penisku memasuki sesuatu yang hangat dan lembut. Batang kerasku perlahan menelusup di antara kelembutan vagina Riska. Setiap gesekannya membawa kami lebih dekat ke dunia yang selalu dicari insan manusia. Hingga akhirnya, batang kerasku terliputi sepenuhnya oleh kelembutan dan kehangatan yang menciptakan sentuhan-sentuhan penuh gairah. Di dalam momen itu, kami menjadi satu dengan sensasi-sensasi nikmat yang mengalir di antara kami.

“Oooohhh … Baassss …” Lenguh Siska bersamaan dengan tenggelamnya batas penisku yang besar dan panjang.

Aku pun mencium bibirnya kembali dan remasan lembut di payudaranya, penisku mulai kugerakan sangat pelan. Kombinasi ini membuat Riska mendesah-desah kenikmatan, pinggulnya mulai bergerak pelan mengimbangi gerakanku di atasnya. Perlahan tapi pasti, kocokan penisku mulai semakin cepat. Riska sungguh pintar membuat penisku seakan diremas dan dilumat oleh dinding-dinding lembut vaginanya. Dia selalu mengkontraksikan dinding vaginannya saat aku menggerakkan penisku. Hasilnya adalah suatu gesekan yang sedikit menjepit tapi licin dan diselingi dengan pijatan.

“Hhhmm … Kamu pintar juga.” Kataku sambil terus menyerangnya. Kayaknya Riska tidak menghiraukan perkataanku tadi, dia terus berkonsentrasi menahan setiap seranganku.

Aku pun mulai memasukan penis ke arah bagian atas dinding vagina, dan menariknya keluar dengan mengarahkan ke bagian bawah dinding vagina. Dengan gerakan ini, Riska mulai mengerang-ngerang agak keras, matanya terpejam dan tangannya merangkul leherku sangat erat, sampai-sampai aku tak bisa menahan tarikan pada leherku sehingga badanku menghimpitnya dari atas.

“Aaahh … Aaahh … Aaahh … Aaahh …” Riska mengerang-ngerang sambil menolak ciumanku dengan menggerakan kepalanya ke kiri dan ke kanan.

Beberapa menit kemudian, aku mengetahui Riska akan mengalami orgasme. Mulutku mengemot putingnya yang terasa semakin mengeras saja. Diperlakukan demikian Riska tak dapat menahan gejolak kenikmatan bersenggama yang memang sudah hampir melanda tubuhnya. Tak lama kemudian tubuh wanita di bawahku ini mengejang, kaku dan terasa penisku diguyur oleh cairan hangat dari dalam vaginanya. Sambil melenguh panjang, badan Riska kejang-kejang kuat, matanya terpejam menikmati orgasmenya. Aku membiarkan Riska menikmati orgasmenya sejenak sambil tetap mendiamkan penisku berada di dalam vaginanya. Riska membuka matanya dan menatapku sambil tersenyum manis.

“Enak sekali …” Bisiknya.

“Nanti aku tambah.” Candaku.

Tiba-tiba aku teringat seseorang di sampingku. Terlihat Heri tersenyum dengan tangan berada di selangkangannya. Sambil bangkit berjongkok di antara paha Riska tanpa melepaskan penyatuan tubuhku, aku pun berkata pada Heri, “Lepas pakaianmu, dan naiklah ke sini. Berikan batangmu ke mulut istrimu.”

Dengan cepat, Heri melepas semua pakaiannya. Suasana menjadi semakin memanas antara kami bertiga, menimbulkan perasaan yang berbeda dan tak terduga. Heri, tanpa ragu, naik ke atas tempat tidur dengan posisi penis tegangnya berada di dekat mulut Riska. Riska pun, penuh semangat dan tanpa ragu, meraih batang keras Heri. Sentuhan lembutnya dan pandangan mata yang penuh hasrat menggambarkan keinginan yang tumbuh di antara mereka berdua. Dalam momen itu, batas-batas konvensional mereda. Riska mencium dan mengulum penis suaminya dengan penuh gairah, tempat tidur ini menjadi tempat di mana hasrat berkembang tanpa batasan.

“Oooohh …” Heri mendesah sambil mengusap-usap rambut Riska yang sedang memberikan blowjob pada kejantanannya.

Sambil menyaksikan mereka dan tersenyum, penisku yang masih tertancap di vagina Riska kugerakan perlahan. Beberapa saat kemudian Riska pun mulai merespon terhadap tusukan penisku, terasa olehku vaginannya sudah mulai memberikan respon positif dengan gerakan memijat penisku. Dengan ritme yang beraturan kudorong dan kutarik pantatku, Riska menggelepar-gelepar saat penisku keluar-masuk lubang vaginanya. Penisku yang semula kering sekarang penuh dilumuri lendir putih, sehingga lebih memudahkan penisku menusuk-nusuk tubuhnya. Semakin lama gerakan pinggulku dipercepat, membuat nafas Riska semakin mendengus-dengus seperti kuda betina yang digenjot tuannya untuk berlari kencang, dimana bokong bahenolnya tersentak-sentak dan terangkat-angkat tak karuan.

“Oooohh … Teruuusss … Baasss …” Riska melepaskan kuluman penis Heri untuk sekedar mengerang keras namun kulihat tangan mungilnya terus mengocok penis Heri dengan kecepatan tinggi.

“Aaaaacchhh …” Heri mengerang sambil menengadahkan wajahnya, tampak sekali dia sedang menikmati kocokan tangan Riska.

“Baasss … oh … oh … oh ….” Mulut Riska mengeluarkan desahan khas persetubuhan. Aku terus mengoyak-ngoyak vagina Riska dengan tempo lebih cepat karena aku merasakan tanda-tanda kedatangan orgasmenya. Nafas wanita itu semakin memburu, desahannya semakin keras dan tubuhnya mulai mengejang. Aku pun tahu kalau dia sudah mendekati orgasme keduanya. Hingga akhirnya dia menjerit panjang tanda orgasmenya telah datang. “Bas … Aku … Aaaahhhkkk …..!!!” Dalam vaginanya terasa penisku tersiram cairan hangat kedua kalinya dan dinding-dinding vaginanya mencengkram sangat ketat. Nampak orgasme Riska kali ini begitu dahsyat, hingga seluruh tubuhnya bergetar hebat. Ekspresi kepuasan dan kesenangan wanita itu menciptakan pemandangan yang memikat. Gerakan pinggulku kuperlambat, penisku masih menusuk tubuhnya namun sangat pelan.

Heri tersenyum sambil melihat wajah istrinya yang terpejam. Tangan Heri mengusap kening Riska dengan lembut, menyeka keringat yang berkumpul di sana. Sementara itu genggaman Riska masih bertahan di penis Heri. Aku yang sebenarnya sudah merasa dekat dengan puncak kenikmatanku, kembali menggerakan batang kerasku dengan cepat di dalam vagina Riska. Tak butuh waktu terlalu lama, rasanya spermaku sudah berkumpul di ujung penisku. Akhirnya pertanananku bobol, aku pun memuntahkan spermaku ke dalam rahimnya. Spermaku menyemprot dengan hebat jauh di dalam surganya. Serasa aku telah mengguyurnya dengan sperma yang panas dan berlebih. Riska mengerang dalam nikmat, menggetarkan pantatnya di seputar penisku saat aku mengosongkan persediaan benihku.

“Her … Keluarkan spermamu di memeknya.” Kataku sambil mengeluarkan penisku dari vagina Riska dengan bunyi plop yang basah, lalu mundur menjauh dan mengenakan boxer-ku.

Vagina Riska yang sangat basah dan melar membesar membuat Heri dengan mudah melewati vagina istrinya yang menganga. Aku melihat Heri mengayunkan kejantanannya penuh nafsu, sebagian didorong oleh nafsu akan tubuh Riska yang memang menggairahkan dan sebagian lagi oleh nafsu dirinya yang melihat persetubuhanku dengan istrinya. Aku duduk di sisi ranjang dekat kepala Riska yang masih bisa menikmati hujaman Heri yang sangat liar. Tangan Riska menggenggam erat tanganku sambil mengerang-erang nikmat. Berselang lima menit berikutnya, mereka berdua akhirnya menggapai orgasme bersama-sama. Sperma Heri melengkapi spermaku yang sudah duluan berkumpul di dalam vagina Riska.

“Huuufffttt … Ini luar biasa …” Ucap Heri penuh kepuasan sambil melepaskan penyatuan tubuhnya.

“Oh … Sungguh nikmat …” Timpal Riska dengan suara pelan sambil mengatur nafasnya.

“Kita akan melanjutkan ini nanti malam. Sepertinya aku butuh asupan untuk tenangaku. Cacing di perutkan sudah pada demo.” Kataku yang merasa kelaparan.

“Oh ya … Bagaimana kalau kita rayakan ini di restoran langgananku?” Ajak Heri dengan begitu bersemangat.

“Aku mah di mana saja, yang penting perutku terisi.” Jawabku sambil berdiri lalu memunguti pakaianku. “Aku ingin mandi. Di mana kamar mandi kedua kalian?” Tanyaku kemudian.

“Ada di dapur, di sana ada kamar mandi. Handuk dan peralatan mandi sudah tersedia di sana.” Jawab Riska sembari bangkit dari atas kasur.

“Oke …” Kataku sambil keluar dari kamar.

Aku melangkah ke kamar mandi yang terletak di bagian belakang dapur. Dinding kamar mandi dipenuhi dengan tegel putih bersih, memberikan kesan kebersihan dan kenyamanan. Segera setelah memutar kunci pintu, air pancuran mulai mengalir dengan lembut, menyapa tubuhku yang berkeringat setelah percintaan yang panas tadi. Aku meresapi momen mandiku ini dengan merenung sejenak, betapa indahnya percintaan kami tadi. Aku menyegarkan tubuhku dengan sabun harum, membiarkan aroma wanginya menyelimuti ruangan kecil ini. Setelah selesai, kuakhiri mandiku dengan membiarkan air mengalir menghapus semua penat yang masih menempel di tubuhku.

Setelah keluar dari bilik mandi, handuk besar kuambil untuk mengeringkan tubuh dan rambut, dengan setiap gerakan menyirami lantai ubin dingin dengan tetes-tetes air. Aku membuka laci di bawah wastafel, mencari pakaian yang kusimpan sebelumnya. Dalam sekejap, aku berbalut dalam pakaian yang kering dan bersih, memberikan kesan kesegaran yang baru. Setelah itu aku merapihkan rambut dan menyusun pakaian dengan cermat di hadapan cermin. Setelah merasa puas dengan penampilanku, aku melangkah ke dapur untuk membuat kopi.

Segera saja aku membuat kopi seduh lalu menikmatinya sembari menunggu Riska dan Heri. Aku duduk di salah satu kursi yang mengelilingi meja makan. Waktu berlalu cukup lama, tetapi aku tetap sabar menanti kehadiran Riska dan Heri. Akhirnya, langkah mereka terdengar di lorong, dan pintu dapur terbuka mengungkap senyuman mereka yang bahagia.

“Sorry lama menunggu … Habisnya Heri minta nambah …” Ucap Riska genit sembari memelukku dari belakang.

“Hah! Nambah?” Mataku menatap wajah Heri yang sedang tersenyum.

“Ya, aku kepingin nambah.” Ungkap Heri tanpa sungkan.

“Wow! Bagus kalau begitu. Ha ha ha …” Aku pun tertawa keras.

Kami bertiga bergerak meninggalkan dapur dan menuju garasi. Di garasi, mobil Heri menanti dengan pintu terbuka, menyambut kami untuk memulai perjalanan malam ini. Tak butuh waktu lama, kami sudah bersama-sama di dalam mobil dan meluncur dengan lembut ke jalanan yang ramai. Suasana di dalam mobil menjadi meriah dengan obrolan yang tak terduga arahnya. Gelak tawa dan cerita ringan berhamburan begitu saja. Mataku sesekali melirik ke jendela, menangkap gemerlap lampu-lampu kota yang bersinar di malam ini. Heri, sebagai pengemudi, dengan lincahnya menyusuri jalan raya yang tak pernah sepi dari kehidupan.

Setelah sekitar setengah jam, mobil melambat dan berhenti di depan restoran langganan Heri. Kami turun dengan ceria, berjalan masuk ke dalam restoran yang dipenuhi aroma masakan yang menggugah selera. Di dalam, kami memilih satu meja yang nyaman, duduk, dan menatap menu yang menggoda. Pelayan dengan ramah menyambut kami, dan segera setelah kami memberikan pesanan, hidangan makan malam kami tiba di meja. Kami merasakan kehangatan dan kebersamaan di antara suara canda tawa, suara sendok dan garpu yang beradu dengan piring, dan percakapan yang meluber di sepanjang makan malam.

Saat itu, dalam ketenangan makan malam, suara-suara bising tiba-tiba meramaikan restoran yang semula tenang. Teriakan wanita memecah ketenangan suasana, menyulut ketegangan semua pengunjung restoran. Wanita itu, dengan mata memerah dan suara tercekik oleh tangis histeris, menemukan suaminya bersama wanita lain di meja makan yang tak jauh dari kami.

"KENAPA KAU MELAKUKANNYA, ALAN?! KENAPA ALAN?!" Teriakan wanita itu menusuk hati, menciptakan ketidaknyamanan di sekitar. Pandangan semua orang tertuju pada adegan yang memilukan ini.

“Linda, dengarlah, biarlah kita bicarakan ini dengan tenang.” Suara pria yang disebut Alan itu penuh kepanikan dan berusaha menenangkan wanita yang ia panggil Linda.

“ALAN, KAU PIKIR KAU BISA MELAKUKAN INI PADAKU?” Suara si wanita semakin menggelegar.

“Linda, mari kita bicarakan di luar. Ini bukan tempat yang tepat untuk...” Alan berusaha menjelaskan namun ucapannya langsung dipotong teriakan histeris Linda.

“KAU PIKIR ADA SOLUSI SETELAH KAU BERBUAT SEPERTI INI? AKU TAK PERCAYA KAU BISA MELAKUKAN INI PADAKU!” Kemarahan Linda begitu meluap-luap.

“Linda, mari kita tenangkan diri dulu. Aku menyesal, benar-benar menyesal.” Kulihat laki-laki bernama Alanberusaha memeluk wanita yang sedang histeris tersebut.

Namun, tiba-tiba Linda mendorong kuat Alan hingga laki-laki itu terjerembab jatuh ke lantai dengan terduduk,

“KAU TIDAK BISA MENYELESAIKAN SEMUANYA DENGAN KATA-KATAMU YANG HAMPA!” Ucap Linda begitu memekakan telinga.

Pandangan orang-orang di sekitar semakin tertuju pada pertengkaran mereka. Beberapa pengunjung restoran mulai membisikkan gosip. Sementara itu, aku, Heri dan Riska, yang duduk tidak jauh dari mereka yang bertengkar, saling bertukar pandangan yang penuh kebingungan. Dan beberapa pengunjung restoran mulai menjauh dari adegan dramatis ini.

Tak dapat menahan amarah yang berkobar, wanita yang dikenal sebagai istri Alan tiba-tiba berubah menjadi sosok yang penuh dengan kemarahan. Dengan gerakan cepat dan ganas, ia melompat menuju wanita yang dianggapnya sebagai selingkuhan suaminya, menyatukan kedua tangannya dalam genggaman kuat di rambut lawannya. Suara jambakan rambut dan teriakan kesakitan menciptakan adegan keganasan yang tak terduga di tengah restoran. Namun, wanita pasangan selingkuh Alan tak tinggal diam. Meskipun dalam posisi terkejut, ia dengan cepat memberikan perlawanan. Dengan cengkeraman tangan yang kuat, dia mencoba melepaskan diri dari genggaman wanita yang menyerangnya. Keduanya kini terjalin dalam pertarungan sengit. Suara teriakan dan caci maki saling bersahutan, menimbulkan kekacauan yang semakin meresap di seluruh restoran.

Beberapa pengunjung yang terdiam seakan terhipnotis oleh pertarungan dua wanita ini, sementara yang lain berusaha menjauh, mencari tempat yang aman dari kekacauan yang tengah berlangsung. Tak seorang pun berani melangkah untuk melerai keributan tersebut. Mereka hanya bisa menatap, terpaku dalam kebingungan dan kecemasan. Restoran yang awalnya penuh dengan kebahagiaan dan kenikmatan makan malam, kini berubah menjadi panggung konflik yang memilukan.

Aku, tanpa ragu, melompat dari tempat dudukku, mengabaikan pandangan heran dari Riska dan Heri. Dengan cepat, aku mendekati kedua wanita yang terlibat dalam perkelahian. Tanpa pikir panjang, aku memeluk wanita yang histeris, mencoba meredam kemarahannya yang meluap. Pelukanku mencoba menenangkan dan memberikan dukungan di tengah gejolak emosinya. Sementara itu, di belakangku, teriakan dan pukulan masih terus terdengar. Wanita yang tak terima itu berusaha memukul wanita yang sedang aku peluk dengan segala cara. Tak disangka, pukulannya malah mengenai punggungku yang berada di tengah-tengah mereka. Rasa sakit sejenak terasa, namun aku bertahan demi menenangkan situasi yang semakin panas.

Alan akhirnya datang, mencoba meredakan kegaduhan. Dengan penuh penyesalan, Alan memeluk wanita selingkuhannya yang masih terus menangis dan coba terus menyerang Linda yang ada di pelukanku. Dengan langkah tergesa-gesa, Alan membawa wanita selingkuhnya yang masih terguncang dan meninggalkan restoran. Pintu restoran tertutup rapat di belakang mereka, meninggalkan pengunjung yang terdiam dalam kebingungan dan keheningan setelah peristiwa dramatis yang baru saja terjadi.

“Linda … Diamlah … Tenangkan dirimu …” Tiba-tiba Riska sudah berada di dekatku yang masih menahan badan Linda yang mengamuk.

“AKU AKAN MEMBUNUH KEPARAT ITU!” Pekik Linda sambil terus meronta-ronta.

“Tenangkan dirimu, Linda … Malu dilihat orang …” Ucap Riska seakan mengenal wanita yang berada di pelukanku.

Linda menangis dengan keras, suaranya penuh dengan keputusasaan dan kekecewaan. Beberapa saat kemudian, aku memutuskan untuk melepaskan pelukanku dari Linda. Terlalu banyak emosi yang terasa di setiap sentuhan, dan aku merasa bahwa Linda mungkin membutuhkan dukungan yang lebih personal. Langkahku disusul oleh pelukan hangat dari Riska, yang dengan lembut mencoba memberikan kekuatan pada Linda.

“Tenangkan dirimu. Linda …” Ucap Riska dengan nada lembut.

Linda membalas pelukan Riska, dan segera saja bahunya dipenuhi oleh tangisan yang tak terbendung. Riska dengan penuh kelembutan mengusap rambut Linda, mencoba memberikan kenyamanan. Setiap gerakan tangannya seperti menyampaikan pesan bahwa dirinya ada di sini untuk menghiburnya.

Riska akhirnya membawa Linda ke meja kami, mencoba memberikan suasana yang lebih tenang. Linda, dengan mata yang masih berkaca-kaca, duduk di sebelah Riska. Wajahnya memancarkan kepedihan yang mendalam, dan tangisannya masih terdengar di seluruh ruangan. Linda duduk dengan kepala yang tertunduk, kemudian ia membenamkan wajahnya di bahu Riska. Rambutnya yang basah oleh air mata mengelilingi wajahnya seperti selubung kesedihan. Riska, dengan kelembutan, memeluknya erat, mencoba memberikan kenyamanan.

Aku dan Heri, duduk di sisi lain meja, hanya bisa menatap dengan penuh empati. Aku, Heri, dan Riska hanya bisa menunggu, berharap waktu akan membantu Linda menemukan ketenangan di dalam dirinya sendiri. Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya, Linda pun berhenti menangis. Suasana di meja kami tetap hening, hanya diisi oleh napas yang teratur dan wajah-wajah yang penuh kecemasan. Linda mengangkat wajahnya dari bahu Riska, meninggalkan bekas air mata yang masih menyisakan kesedihan di pipinya.

Sejenak, matanya yang basah menatapku, kemudian, pandangannya beralih pada Heri. Linda memutus keheningan dengan meraih tisu yang disodorkan oleh Riska. Dengan gerakan pelan, dia mengusap air matanya yang masih segar di pipi, memberikan tanda bahwa meskipun perjalanan kesedihannya belum berakhir, setidaknya dia mulai menemukan kekuatan. Riska, dengan simpati yang mendalam, memberikan senyuman kecil sebagai bentuk dukungannya.

“Maafkan aku sudah merepotkan dan mengganggu kalian.” Ucap Linda sendu sambil masih berusaha menghilangkan air mata di wajahnya.

“Tidak perlu meminta maaf. Kamu tidak salah apa-apa.” Sambut Riska lembut.

“Seharusnya kalian membiarkanku membunuh perempuan jalang itu.” Ujar Linda masih terdengar kilasan amarahnya.

“Kekerasan tidak akan pernah menjadi jawaban yang benar. Setiap emosi yang kita alami, setiap tangisan dan rasa sakit yang kita rasakan, merupakan bagian dari kehidupan manusia. Tapi, dalam setiap kesulitan, kita memiliki pilihan untuk menghadapinya dengan cara yang bijaksana dan tenang. Dalam menyelesaikan konflik, keberanian bukanlah tentang kekerasan, melainkan tentang menemukan kedamaian di dalam diri kita sendiri. Kehidupan tak selalu adil, tetapi kita memiliki kekuatan untuk mengubah cara kita menanggapinya. Dalam keterpurukan, kita temukan kekuatan. Dalam kehancuran, kita temukan kebangkitan. Jangan biarkan satu momen sulit menghancurkan potensi besar yang ada dalam dirimu.” Linda memandangku dengan mata yang masih mencari arah. Aku berharap, di balik setiap kata yang aku sampaikan, ia bisa menemukan sedikit cahaya untuk melangkah maju dan memulihkan dirinya.

Linda menatapku dengan mata yang kini terlihat lebih tenang, “Terima kasih, Mas ... Kata-kata Mas tadi sungguh mengenai di hatiku. Aku sadar sekarang kalau kekerasan tidak akan membawa kebahagiaan. Aku harus memulai perjalanan untuk menemukan kebahagiaan dalam diriku sendiri. Terima kasih, Mas, karena telah membuka mataku dan menyentuh hatiku dengan kata-kata Mas tadi.”

“Oh ya … Kenalin … Dia namanya bukan Mas, tapi Bastian … Bastian ini Linda teman SMA-ku dulu.” Ucap Riska memperkenalkan aku dengan Linda.

“Oh … Kalian berteman rupanya …” Aku pun tersenyum ramah sambil bersalaman dengan Linda.

“Kami malah satu kelas dan satu bangku selama sekolah.” Sambut Linda yang mulai bisa tersenyum.

“Kamu gak ingin kenalan dengan wanita cantik ini?” Godaku pada Heri sambil menyenggolkan sikut pelan ke lengannya.

“Aku sudah kenal.” Respon Heri santai.

“He he he … Aku kira belum …” Uku pun jadi malu dibuatnya.

Dengan suara yang lembut, Riska berkata, "Linda, terkadang hidup memberikan kita ujian yang sulit. Namun, lebih baik kita fokus pada hari esok daripada terjebak dalam kegelapan kemarin. Sesulit apa pun masalahnya, tersenyumlah. Senyummu memiliki kekuatan untuk menaklukkan segalanya. Kita bisa menghadapi masalah dengan kepala tegak dan senyuman di wajah, karena setiap senyuman adalah langkah menuju kesembuhan.”

Aku melihat Linda mengangguk tanda setuju, seolah-olah sebuah titik terang menyadarkan dirinya akan kebenaran kata-kata yang baru saja Riska sampaikan. Wajahnya, meski masih terlihat lelah dan penuh kepedihan, menunjukkan tanda-tanda kekuatan yang muncul dari dalam. Tanpa mengabaikan keberadaan luka yang baru saja terbuka, kami berempat mencoba untuk melanjutkan acara makan malam yang tertunda. Duduk di sekitar meja, setiap suapan makanan tampak seperti usaha kecil untuk meredakan ketegangan. Dan, suasana ini memperoleh sentuhan kehangatan ketika Linda akhirnya memberanikan diri untuk menceritakan bagian pahit dari hidupnya.

Dalam kedalaman suara yang terasa berat, Linda memulai menceritakan pengalaman hidupnya yang pahit. Kisah yang melibatkan suaminya, Alan, yang terlibat dalam perselingkuhan dengan sekretarisnya. Detil-detil yang menyakitkan mengalir keluar dari bibir Linda, merangkai cerita kehidupan yang ternyata telah lama tersembunyi di balik senyuman yang seringkali dia perlihatkan. Linda mengetahui perselingkuhan itu melalui foto-foto yang dikirimkan oleh seseorang tak dikenal, menciptakan luka yang begitu mendalam dalam hatinya.

Kami bertiga, aku, Heri, dan Riska, menjadi pendengar setia untuk Linda. Dalam sorot mata dan senyuman yang kami tampilkan, terdapat harapan bahwa mungkin, dengan bercerita, Linda dapat merasakan beban di hatinya berkurang. Setiap detik berlalu diiringi oleh cerita pahit Linda, namun juga oleh kehadiran solidaritas dan dukungan yang kami tawarkan.

Malam semakin larut, dan restoran yang sebelumnya dipenuhi dengan derai tawa dan keceriaan, kini menemui ketenangan setelah banyak pengunjung yang meninggalkan restoran. Kami bertiga, aku, Heri, dan Riska, memutuskan untuk pulang setelah meyakinkan diri bahwa Linda terlihat baik-baik saja. Saat hendak meninggalkan restoran, aku menawarkan diri untuk mengantarkan Linda dengan mobilnya. Namun, senyum tulus Linda menyertai penolakannya, dengan alasan dia merasa baik-baik saja.

Aku, Heri, dan Riska kemudian meninggalkan restoran. Di dalam mobil, hembusan angin malam menyertai perjalanan kami bertiga. Meskipun suasana luar kendaraan begitu sejuk, percakapan di dalam mobil tetap hangat dengan membahas tentang perjuangan hidup Linda. Kami saling berbagi pandangan satu sama lain.

“Aku rasa, dalam hubungan apa pun, kejujuran adalah kuncinya. Apalagi dalam hubungan seperti milik kalian berdua, yang unik dan rentan terhadap cobaan perselingkuhan. Keterbukaan dan kejujuran harus dipegang teguh. Dalam menghadapi segala rintangan, kejujuran bisa menjadi benteng yang kokoh. Dengan terbuka, kita bisa saling memahami dan mengatasi masalah. Kita berada dalam dunia yang penuh godaan, dan itulah mengapa menjaga kejujuran begitu penting. Kalian berdua memiliki hubungan yang istimewa, dan itu membuatnya berharga untuk dijaga. Percayalah, kejujuran adalah pondasi yang akan menjaga keunikan dan kekuatan hubungan kalian. Jangan biarkan rahasia atau ketidakjelasan merusak apa yang sudah kalian bangun bersama.” Ujarku tulus, berharap pesanku akan menciptakan pemahaman yang lebih dalam di antara mereka.

“Aku sadar kalau hubunganku dengan Riska memang tak lazim, namun itulah yang membuatnya berharga. Aku berkomitmen untuk tetap teguh pada kejujuran dan keterbukaan dalam setiap langkah hubungan kami. Aku dan Riska tahu bahwa ini bukanlah jalan yang mudah. Kejujuran adalah pondasi yang akan memandu kami melalui segala tantangan. Dengan terbuka, kami bisa saling memahami dan menghadapi kenyataan dengan bijak.” Kata Heri sangat serius.

“Aku setuju … Hubungan kita memang unik, sayang, tapi keunikan itulah yang membuatnya begitu berharga dan aku sangat bahagia dengan apa yang telah kita bangun ini. Dengan sepenuh hati, aku berjanji akan setia, jujur, dan terbuka padamu, sayang.” Ucap Riska sembari memegang bahu suaminya dan Heri pun memegang tangan Riska yang berada di bahunya.

“Aku percaya padamu …” Respon Heri sambil tersenyum.

Setelah kembali ke rumah, kami berkumpul di ruang tengah dengan semangat ceria. Untuk melanjutkan malam ini, Heri mengusulkan ide main kartu, tepatnya strip poker. Senyuman timbul di wajah kami bertiga, dan kami segera duduk mengelilingi meja. Kartu-kartu pun terbagi dengan riang, dan suasana penuh tawaan memenuhi ruangan. Gelak tawa terdengar setiap kali ada yang kehilangan pakaian, dan permainan berjalan dengan penuh candaan dan semakin panas. Suara kartu yang diacak-acak semakin terdengar meriah. Kami bertiga dengan ekspresi wajah yang penuh semangat, menatap kartu-kartu di tangan. Kami pun melanjutkan permainan kartu yang semakin seru. Dan pada akhirnya, Riska meletakkan kartu-kartunya di atas meja.

"Aku berhenti." Ucap Riska dengan suara lembut, matanya berkilat-kilat karena kegembiraan. Pakaian-pakaian di tubuhnya habis.

“Kamu masih bisa bermain, tapi jika kamu kalah, maka kartu yang paling tinggi bisa menuruhmu apa saja, kamu yang kalah tidak boleh menolak. Bagaimana, masih mau main?” Kataku.

“Ayo …! Aku akan membuat kalian telanjang sepertiku.” Katanya sangat antusias.

Permainan pun kemudian dilanjutkan. Saat kartu-kartu terbuka di atas meja, Heri dengan senyuman kemenangan meletakkan kartu-kartunya di atas meja. "Sepertinya aku yang menang lagi kali ini," ucapnya dengan bangga.

Aku pun ikut tersenyum karena ternyata aku menjadi pemenang kedua, dan Riska, yang sebelumnya telah kehilangan semua pakaian sebagai taruhan, mendapati dirinya sebagai yang kalah.

"Sialan." Gumamnya sambil tertawa kecil, mencoba menutupi rasa malu yang terasa di wajahnya.

Riska dengan kepala yang sedikit terdongak, menatap suaminya. "Nah, sebagai pemenang, apa yang kamu inginkan?" Tanyanya dengan nada penasaran dan kepasrahan.

“Aku ingin melihatmu bercinta dengan Bastian.” Jawab Heri penuh keyakinan.

Aku sontak tertawa terbahak-bahak melihat rona wajah Riska yang memerah. Namun hal itu tidak berlangsung lama, Riska lalu tersipu. Tiba-tiba, Riska berdiri dari tempat duduknya, lalu dia berjalan menuju kamarnya dengan gemulai. Gaya berjalannya yang seksi, membuat aku dan Heri terpaku di tempat duduk. Sebelum memasuki kamar, Riska menoleh ke arah kami dengan tatapan yang seakan mengajak. Ekspresi misterius di matanya membangkitkan libidoku seketika itu juga. Tatapan bernuansa sensual itu, seolah undangan untukku untuk mengikuti jejaknya. Aku dan Heri, tanpa berkomentar, bertukar pandang sebentar sebelum akhirnya berdiri bersama-sama. Kami melangkah perlahan mengikuti arah Riska menuju kamar.

Di dalam kamar, kami bertiga mengulangi drama persenggamaan yang tadi kami lakukan bersama. Pemeran utama dalam drama tersebut adalah Riska, yang mendapatkan pelayanan dariku dan Heri. Tampak sekali kebahagiaan dari Riska dengan terus melenguh penuh kenikmatan. Tatapannya penuh gairah dan dirinya larut dalam momen intim yang kami buat bersama. Di antara kami bertiga, suasana yang tercipta adalah kombinasi dari hasrat, birahi, dan kenikmatan yang membara.

Di balik keasyikan ini, aku merasakan sebuah rasa yang tak pernah kuduga sebelumnya. Rasanya seperti terbuai dalam suatu keajaiban yang mengguncang hati dan pikiranku. Rasa itu ibarat candu bagiku, yang berasal dari kepuasanku saat bercinta dengan Riska di hadapan suaminya. Semua ini menciptakan dinamika jiwaku yang begitu kompleks. Dan ketika drama ini selesai, aku merasa seperti terperangkap dalam ketagihan yang sulit dipahami. Bercinta dengan wanita di hadapan suaminya menjadi candu baru bagiku yang tak bisa dijelaskan secara logika.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd