Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG PENABUR BENIH (CUCKOLD INSIDE)

CHAPTER 12
GALAU



BASTIAN POV



Sore ini tubuhku terasa letih, aku seperti pengantin baru yang menghabis malam pertama dengan bercinta tanpa kenal lelah. Eva benar-benar membuatku kewalahan, gairahnya seakan tidak natural dan terlalu menggebu. Bahkan aku sekarang mengira kalau Eva adalah pecandu seks berat yang hasratnya sudah melampaui batas. Walaupun aku sudah memberinya puluhan kali orgasme, tetap saja Eva selalu meminta lagi dan lagi. Dan ajaibnya, ketahanan tubuh Eva sungguh luar biasa, wanita itu tidak pernah merasa lelah meski sudah bercinta berjam-jam lamanya.

Sekarang saja aku seperti sedang diperkosa. Baru lima belas menit yang lalu kami sama-sama orgasme, kini wanita itu sedang berusaha membangkitkan lagi juniorku. Aku hanya bisa pasrah sambil menatap wajahnya yang juga sedang memandangiku dengan tenang sembari penisku dikulum oleh mulutnya sementara tangannya memegang batang penisku dengan erat. Aku pun hanya bisa memejamkan mata merasakan kenikmatan yang dipaksakan pada penisku sambil sesekali tubuh kuangkat sehingga penisku masuk dalam-dalam pada mulutnya.

“Sudah keras …” Tiba-tiba Eva berujar.

Aku sudah tidak peduli dengan apa yang akan dia lakukan, dan ternyata Eva bergerak mengangkangiku lalu memasukan penisku ke lubang peranakannya. Seketika itu juga, dia lompat-lompat di atasku sambil sesekali memutar gerakan pinggulnya ke kiri dan ke kanan. Akibatnya suara aneh itu kembali mewarnai persetubuhan kami sore ini.

“Deecak … Deecuk … Deecak … Deecuk …”

Tubuhnya melonjak-lonjak seperti kuda binal yang sedang birahi. Eva tak ubahnya seperti pelacur yang sedang memberikan kepuasan kepada hidung belang. Eva terus berpacu. Pinggulnya bergerak turun naik, sambil sekali-sekali meliuk seperti ular. Gerakan pinggul wanita itu persis seperti penyanyi dangdut dengan gaya ngebor, ngecor, patah-patah, bergetar dan entah gaya apalagi. Dia mengeluarkan semua jurus yang ia miliki dan sepertinya khusus ia persembahkan kepadaku.

“Oooohhh … Baaasss …. Eeennaakk seekkalliii ….” Erangnya.

Pinggulnya mengaduk-aduk lincah, mengulek liar tanpa henti. Akhirnya aku tidak ingin tinggal diam. Tanganku mencengkeram kedua buah dadanya, kuremas dan dipilin-pilin. Aku lalu bangkit setengah duduk. Wajahku terbenam di dadanya. Menjilat-jilat seluruh permukaan dadanya dan menciumi puting susunya.

Kami berdua saling berlomba memberi kepuasan. Kami tidak lagi merasakan dinginnya udara meski kamarku menggunakan AC. Tubuh kami bersimbah peluh, membuat tubuh kami jadi lengket satu sama lain. Eva berkutat mengaduk-aduk pinggulnya. Aku menggoyangkan pantat. Tusukan kejantananku semakin cepat seiring dengan liukan pinggulnya. Permainan kami semakin meningkat dahsyat. Sprei ranjangku sudah tak berbentuk lagi, selimut dan bantal serta guling terlempar berserakan di lantai akibat pergulatan kami yang bertambah liar dan tak terkendali.

Eva semakin bersemangat memacu pinggulnya untuk bergoyang. Mungkin goyangan pinggulnya akan membuat iri para penyanyi dangdut saat ini. Tak selang beberapa detik kemudian, aku merasakan tanda-tanda Eva akan mencapai orgasmenya. Eva terus memacu sambil menjerit-jerit histeris. Eva sudah tak perduli suaranya akan terdengar kemana-mana.

Aku tak ingin terkalahkan. Kali ini aku harus menang lagi! Upayaku ternyata tidak percuma. Kurasakan tubuh Eva mulai mengejang-ngejang. Ia mengerang panjang. Wanita itu merintih persis kuda betina binal yang sedang birahi.

“Eerrgghh… Ooooooouugghhhhhh… Aaaaaaaccchhhh…!!!!” Eva berteriak panjang. Mendadak aku merasakan semburan dahsyat cairan panas menyirami seluruh batang penisku.

Tubuhnya masih menghentak-hentak liar. Tubuhku terbawa goncangannya. Aku memeluk pinggulnya erat-erat agar jangan sampai terpental oleh goncangannya sembari menekan urat seksnya. Dengan cepat aku menggulingkan tubuhnya hingga telentang dan aku menindihnya tanpa melepaskan pertautan kelamin kami dan tentu saja tanpa melepaskan pijatanku di urat seksnya.

Vagina wanita itu aku hujani dengan tusukan-tusukan dalam yang aku kombinasikan dengan tusukan-tusukan dangkal. Eva membantu dengan putaran pinggulnya, membuat batang kemaluanku seperti disedot dan diputar oleh liang kemaluannya. Pada saat yang sama aku merasakan lubang kemaluan Eva semakin licin dan semakin mudah bagiku untuk melakukan tusukan-tusukan kenikmatan yang kami rasakan bersama.

“Ooooohhh … Baaassss … Keluar laagghhiii …” Jerit Eva sambil kelenjotan.

Aku tak menghiraukan jeritannya. Aku terus menyentak-nyentak batang kemaluanku, semakin keras, semakin cepat dan semakin bertenaga. Kami berdua semakin lepas kontrol, erangan kami sahut-menyahut berpadu dengan suara hujan yang baru saja turun di luar sana. Entah berapa menit berselang, Eva dihantam gelombang orgasme lagi. Tubuh Eva mengejang keras, giginya terkatup rapat, matanya terpejam dan tangannya mencengkeram kasur dengan kuat. Hanya sepersekian detik, akhirnya aku pun merasakan sebuah gelombang besar yang mencari jalan keluar. Aku mencoba untuk menahannya selama mungkin, tetapi gelombang itu semakin besar dan semakin kuat.

“Aaahhh… Aku keluar…!!!” Erangku melepas klimaks.

“Croot… Croot… Croot… Croot… Croot…” Aku memuncratkan spermaku ke dalam rahimnya.

Aku merasakan kenikmatan yang luar biasa menjalari sekujur tubuh. Kami bergulingan di atas ranjang sambil berpelukan erat. Saking dahsyatnya, tubuh kami terjatuh dari ranjang. Untunglah ranjangku ini tidak terlalu tinggi dan permukaan lantainya tertutup permadani tebal yang empuk sehingga kami tidak sampai terkilir atau terluka.

“Oooooogggghhhhhhh.. yaahh..,nik….nikkkk nikmaatthh…. yaaahhhh..!!!!” Jerit Eva tak tertahankan.

Tulang-tulangku serasa lolos dari persendiannya. Tubuhku lunglai, lemas tak bertenaga terkuras habis dalam pergulatan panas yang luar biasa melelahkan ini. Jangan tanya bagaimana nasibku setelahnya. Di serang oleh Eva beronde-ronde membuatku tergeletak tak berdaya akibat hormon Eva yang melebihi batas kewajaran. Aku dan Eva terlentang di atas karpet tebal. Tubuh Eva pun terkulai lemas sambil menutup mata, merasakan sisa-sisa kenikmatan yang sudah diraihnya. Kelelahanku sudah mencapai titik maksimal, sehingga aku tak bisa menahan dan akhirnya aku pun tertidur tanpa sadar.

********

Aku terbangun saat merasakan sesuatu menempel di kening. Kubuka kelopak mata yang masih terasa sangat berat. Samar-samar aku melihat seseorang sedang mencium keningku. Penglihatanku lama-lama semakin jelas. Wajah Eva hanya beberapa senti saja dari wajahku. Namun aku bisa bernapas lega karena Eva tidak telanjang bulat, dia sudah mengenakan pakaian. Aku pun tersenyum lalu bangkit dengan bantuan Eva.

“Bangun sayang … Makan malam sudah siap. Anton menunggu di dapur.” Katanya.

“Oh, iya …” Jawabku sambil merenggangkan otot-otot yang masih terasa kaku.

“Aku tunggu ya di dapur.”

“Ya …”

Tanpa berpikir panjang, aku segera saja mandi dan berpakaian. Setelah rapi, aku keluar dari kamar menuju ruang makan yang bersatu dengan dapur. Benar saja, Anton sudah berada di salah satu kursi meja makan yang di sampingnya ada Eva, mereka sudah siap dengan hidangan masing-masing.

“Ayo, kita mulai.” Kataku sembari duduk di kursi berhadapan dengan Anton dan Eva.

“Yuk ah … Aku sudah lapar banget.” Sahut Anton bersemangat.

Aku mulai menyantap makanan yang sudah ada di piringku. Makan malam ini adalah murni masakan Eva, ternyata Eva bisa memasak dengan baik, hasil masakannya begitu lezat dan cocok di lidahku. Sambil menikmati makanan kami ngobrol banyak hal, terutama seminar yang sedang Anton ikuti.

“Aku sudah dua hari gak masuk kerja. Tuh, gara-gara istrimu.” Ujarku setengah bercanda.

“Gara-gara aku? Ah, kamu saja yang males kerja.” Respon Eva dengan ciri khasnya, bibir manyun.

“Kamu apain Bastian?” Tanya Anton pada Eva dengan nada datar.

“Bukan aku, tapi dia yang ngapa-ngapain aku.” Ucap Eva.

“He he he … Segitu minta nambah terus, sampai aku kesiangan bangun.” Godaku.

“Ihk … Sebel …!” Eva mendelik padaku.

Saat aku memperhatikan senyuman Anton, aku begitu yakin kalau dia mengerti konteks percakapan kami. Suasana yang tenang, namun dipenuhi dengan kehangatan dan kedekatan, membuat kami semua menikmati malam ini dengan begitu memuaskan, hingga tanpa terasa makanan sudah berpindah tempat ke perut masing-masing. Aku dan Anton memutuskan untuk pindah ke ruang tengah, sementara Eva masih di dapur karena harus membersihkan bekas makan kami.

“Nton …” Kataku setelah kami berada di ruang tengah. “Apa menurutmu Eva itu hiper?” Tanyaku setengah berbisik.

“Kamu kewalahan ya?” Anton malah tersenyum.

“Jujur aja … Aku baru nemuin cewek yang gak pernah puas dan gak pernah lelah seperti dia.” Kataku.

“Itulah sebabnya, kenapa aku ingin dia binal, karena aku sendiri gak kuat menahan gairah seksnya.” Tegas Anton.

“Alasan klise … Bilang aja supaya kamu bebas dengan cewek lain …”

“Kamu memang benar, tapi salah satu alasanku adalah yang tadi. Bas, aku merasa kasihan kalau dia mengeluh dan merengek minta seks sementara aku sudah kehabisan tenaga. Aku salut sama kamu, Bas. Kamu bisa melayani dia sampai tuntas.” Ucap Anton sembari tersenyum lebar.

“Ah, gila … Sebenarnya aku kewalahan juga, Nton … Dia itu sepertinya harus dikerubuti sama beberapa orang.” Kataku.

“He he he …” Anton malah terkekeh.

“Kalau malam ini dia minta lagi, kamu yang tampil, oke?” Kataku.

“Oh, nggak mungkin … Aku bakalan lemes besok pagi. Aku harus pergi pagi-pagi banget.” Anton terlihat panik.

“Kalau begitu, harus ada tenaga cadangan dong?”

“Maksudmu?” Tanya Anton sambil menatapku tajam.

“Aku butuh bantuan. Kita kerubuti saja, gimana?” Ajakku pada Anton.

“Em … Aku gak bisa, Bas … Aku gak biasa gituan di depan orang lain.” Jawab Anton menghindar.

“Kalau begitu … Boleh aku membawa temanku ke sini?” Tanyaku.

“Terserah kamu …” Jawab Anton.

Mendengar jawaban Anton dan melihat mimik mukanya, aku merasakan ada sesuatu yang dia simpan dari pengetahuanku. Tetapi aku memilih untuk diam karena aku takut sesuatu yang disimpannya itu adalah kekurangannya. Ya, aku lebih baik diam dan melanjutkan obrolan dengan topik yang lain. Beberapa menit berselang, Eva bergabung dengan kami, tetapi dia dengan cuek duduk di pangkuanku. Tangannya melingkari leherku dan dadanya yang besar menempel di kepalaku.

“Kamu tuh … Seharusnya di sana, di paha Anton.” Kataku sembari memeluk pinggul Eva untuk menahan posisi duduknya.

“Anton sudah bosan, kamu kan belum bosan.” Ucap Eva sangat genit.

“Hhhhmm … Hati-hati Bas … Dia kalau sudah begitu, ada maunya.” Ujar Anton.

“Mau apa?” Tanyaku sambil menatap Anton.

“Aku gak ikut-ikutan …” Tiba-tiba Anton berdiri dan berjalan ke arah kamarnya.

“Hei … Mau kemana?” Aku memandang wajah Anton.

“Aku mau tidur … Ngantuk …” Jawabnya santai. Tanpa memperdulikanku Anton terus berjalan.

“Biarkan saja.” Bisik Eva.

“Tapi ini masih sore.” Ujarku.

Eva tiba-tiba menekankan dadanya yang empuk ke wajahku, “Berarti kita punya banyak waktu.”

Aku tahu maksud Eva dan langsung saja aku berkata, “Aku bisa mati kehabisan sperma.”

“Masa sih?” Genitnya sambil mengeratkan pelukannya di kepalaku.

“Hei … Lepasin dulu … Aku mau ngomong sesuatu.” Kataku.

“Ngomong apa?” Eva pun melepaskan pelukannya.

Aku bangkit dari duduk sambil menggendong Eva. Aku pindah duduk ke sofa panjang dan meletakan wanita hiper ini di atas sofa, lalu aku duduk di sebelahnya, “Kamu mau gak ngeseks dikerubuti sama dua cowok?”

Eva melotot, “Apa maksudmu, Bas?”

“Apa kata-kataku kurang jelas?” Aku balik bertanya.

“A..aku … Gak tau …” Tampak pipinya merona dan senyum tipis mengembang di bibirnya.

“Va … Aku ingin ngenalin kamu sama temanku," kataku sambil mengeluarkan ponselku. "Namanya Nicko, dia teman baikku.”

Aku menunjukkan foto Nicko pada Eva. Dia tersenyum dan berkata, "Ganteng juga ..."

“Kamu mau?” Tanyaku sembari menatap wajahnya.

“Terserah kamu …” Lirihnya dengan wajah menunduk malu.

Aku meraih ponselku lalu jariku menari di atas layar, membuka aplikasi Whatsapp dan mencari kontak Nicko. Pesan singkat sudah tersusun di layar, berisi ajakan untuk datang ke rumahku. Aku menambahkan beberapa emoji agar pesannya terlihat lebih ramah dan menarik. Setelah itu, aku menekan tombol kirim. Detik demi detik berlalu, aku menunggu balasan dari Nicko. Aku harap Nicko segera membalas pesanku. Sesekali aku melirik ke arah Eva, yang tampak asyik dengan ponselnya sendiri.

“Kemana dia?” Gumamku yang tidak kunjung mendapat balasan.

Dua menit... Tiga menit... Lima menit dan masih belum ada tanda-tanda balasan dari Nicko. Aku mencoba meneleponnya, berharap suaranya segera terdengar di telingaku. Nada dering berdering, namun tak kunjung dijawab. Aku mencoba lagi, dan lagi, namun hasilnya tetap nihil. Di tengah kekesalanku, sebuah notifikasi pesan masuk terdengar. Segera aku membuka ponselku, dan dengan lega aku melihat nama Nicko tertera di layar. Pesan singkatnya berisi permintaan maaf karena terlambat membalas, dan dia berjanji akan segera datang ke rumahku.

“Sebentar lagi dia kan datang.” Kataku dan Eva pun mengangkat wajahnya.

“Bas … Aku malu …” Lirihnya.

“Malu kenapa? Dia anak baik-baik dan bisa dipercaya.” Kataku.

“Apa kamu menilaiku wanita jalang?” Tanyaku yang membuatku terkejut.

“Oh, tidak … Jangan berpikiran begitu. Kamu wanita baik-baik. Aku tidak berpikiran kamu seperti itu.” Kataku lalu memeluknya.

“Terima kasih …” Eva membalas pelukanku.

“Va … Aku mau nanya sesuatu yang mungkin gak enak didengar.” Bisikku dekat telinganya.

“Apa?” Suara Eva bahkan hampir tak terdengar.

Aku menggeser duduk hingga tubuhku menempel pada Eva. Aku arahkan bibirku dekat telinganya dan berbisik, “Tadi waktu aku mengajak Anton duet menidurimu, dia seperti kaget dan langsung menolak. Ada apa sih dengan dia?”

Eva lantas mendekatkan bibirnya ke telingaku dan ia pun berbisik, “Anton malu karena penisnya kecil. Waktu kamu tidur tadi, Anton sempat melihat punyamu dan langsung minder.”

“Ah … Masa sih?” Bisikku lagi.

“Hi hi hi …” Eva terkikik pelan. “Dia tambah minder saat aku cerita kalau kamu sangat kuat ngeseks bisa berjam-jam. Dia ngaku sendiri jadi malu sama aku.” Bisiknya lagi.

Seiring waktu, obrolan aku dan Eva semakin mengalir. Kami berbicara tentang berbagai hal, mulai dari fenomena yang terjadi akhir-akhir ini, seperti isu politik terbaru, hingga tren fashion yang sedang populer. Tiba-tiba, terdengar suara bel pintu. Aku dan Eva saling bertukar pandang.

"Itu pasti Nicko," kataku dengan penuh semangat.

Aku beranjak dari sofa dan berjalan menuju pintu. Aku membuka pintu rumah dengan lebar, dan Nicko berdiri di sana dengan senyuman di wajahnya.

"Akhirnya datang juga!" seruku dengan nada senang. "Ayo masuk."

Nicko melangkah masuk ke dalam rumah, dan aku menutup pintu di belakangnya. Aku dan Nicko berjalan ke ruang tengah. Sesampainya di sana, Eva berdiri dari sofa dan menyambut Nicko dengan senyuman ramah.

"Eva, ini Nicko," kataku. "Nicko, ini Eva."

Nicko mengulurkan tangannya, dan Eva menyambutnya dengan hangat. "Senang bertemu denganmu, Eva," kata Nicko.

Eva tersipu. "Aku juga senang bertemu denganmu, Nicko," jawabnya.

Aku tersenyum melihat interaksi mereka. Aku yakin mereka akan cocok.

"Ayo, duduklah," kataku. "Aku akan buat minum untuk kita."

“Biar aku saja.” Ujar Eva.

“Kamu ngobrol saja di sini sama Nicko, biar langsung akrab.” Larangku pada Eva.

Aku pergi ke dapur dan menyiapkan teh dan kopi. Ketika aku kembali ke ruang tengah, Nicko dan Eva sudah duduk di sofa panjang bersebelahan dan mengobrol seru. Aku duduk di sofa tunggal dekat mereka dan mendengarkan percakapan mereka. Mereka berbicara tentang berbagai hal, mulai dari kegiatan sehari-hari hingga hobi. Aku senang melihat mereka berdua langsung merasa nyaman satu sama lain.

Tiba-tiba Nicko mengarahkan pandangannya padaku, “Jadi … Kenapa kamu memanggilku ke sini?”

“Em …” Aku berpikir sejenak untuk memilih kata-kata yang tepat. “Kamu ingat waktu Maya pertama kali denganku?”

Nicko menatapku lekat-lekat. Beberapa detik kemudian dia menjawab, “Ya.”

“Sekarang aku akan membalas kebaikanmu. Menjadilah yang pertama untuk Eva.” Kataku tentu saja bohong dan efeknya sangat nyata ketika aku melihat mata Nicko melebar sempurna. “Ayolah, Nick! Gasken!” Kataku lagi.

“Oh … A..anu … A..aku …” Nicko terlihat sekali gugup membuat Eva tersenyum simpul.

“Gak ada anu-anu … Kamu ini kayak bocah aja! Sana bawa dia ke kamarku!”

Pandangan Nicko dan Eva terkunci satu sama lain untuk waktu yang cukup lama. Mata mereka berbicara, seolah-olah mereka sedang bercakap-cakap tanpa suara. Akhirnya, mereka berdua bangkit dari duduk secara bersamaan dan berjalan menuju kamarku dengan saling bergandengan tangan mesra. Senyum mengembang saat melihat Nicko dan Eva melangkah masuk ke kamar dengan tangan saling bertautan.

Saat mereka menutup pintu, aku memilih untuk menonton televisi. Acara berita kriminal menjadi pilihanku saat ini. Tiba-tiba, layar televisi menampilkan adegan mengerikan, sesosok tubuh tergeletak tak bernyawa dengan luka tembak di kepalanya. Pembawa berita menjelaskan bahwa kasus pembunuhan ini masih menjadi misteri. Pikiranku melayang, merenungkan tindak kejahatan yang semakin merajalela. Rasanya baru kemarin aku melihat berita serupa, dan kini tragedi itu terulang kembali. Aku terus terpaku pada layar, mengikuti setiap detail berita dengan perasaan ngeri dan penasaran.

Di tengah kesunyian, suara-suara aneh dan ceria tiba-tiba terdengar dari dalam kamarku. Tentu aku jadi tersenyum karena yang kudengar adalah suara erangan Eva yang sangat familiar di telingaku saat dirinya orgasme. Ternyata dalam waktu yang lumayan singkat, Nicko berhasil memberikan orgasme pada Eva. Aku bangkit dari sofa setelah mematikan televisi dan melangkah pelan menuju pintu kamar, membuka perlahan untuk melihat apa yang terjadi di baliknya.

Aku melihat tubuh Eva sedang menduduki selangkangan Nicko dan Eva bergerak sangat lincah dan erotis memberikan segala kenikmatan yang ada. Buah dadanya berguncang-guncang menggairahkan akibat gerakannya yang sangat liar. Mata Nicko terbeliak-beliak menahan nikmat sambil memegangi pinggul Eva, sementara dari mulut Eva keluar teriakan-teriakan seperti orang yang sedang berolah raga dengan nafas yang tersengal-sengal.

”Hhoh…Hhohh… Hessshhh… Heshhh…” Seiring dengan gerakan pantatnya yang maju-mundur, ke atas ke bawah, ke kiri ke kanan dan diputar-putar.

Luar biasa memang wanita ini, tidak merasakan lelah walaupun telah mencapai orgasmenya. Aku pun mendekat sambil melepaskan seluruh pakaianku. Setelah telanjang bulat, aku duduk di tepi ranjang lalu mempermainkan buah dada Eva. Dan beberapa menit berselang, Nicko dan Eva mengganti posisi mereka. Sekarang Nicko di atas Eva memompa pantatnya ke selangkangan Eva. Penisnya dengan cepat keluar-masuk vagina Eva. Tangannya seperti biasa selalu bermain di pinggul Eva. Mata Nicko terpejam erat seperti mau copot seolah sedang mengejar sesuatu yang akan segera dia raih. Gerakan pinggul Eva di bawah tubuh Nicko sangat cepat dan tidak teratur, teriakan-teriakan Eva keluar menunjukkan bahwa dia sedang didera kenikmatan yang teramat sangat.

”Ooohh… Aauw… Ooohh… Oh… Aaaacchh……!!!” Dan akhirnya Eva pun kembali didera orgasmenya.

Nicko semakin sibuk menggenjot-genjotkan penisnya, sementara Eva sibuk merintih dan mengerang nikmat, kedua kakinya tertekuk mengangkang, kedua tangan Eva merangkul leher Nicko, kemudian mulai lagi menyambut serangan-serangan Nicko, pinggul Eva terangkat-angkat menyambut tusukan-tusukan penis Nicko yang kuat dan liar menyodok-nyodok liang vaginanya. Suasana malam yang sepi terusik oleh rengekan dan erangan keras Eva, lelehan keringat membanjiri tubuh mulusnya yang semakin basah menggairahkan.

“Aaaahhh… Aakkuuu… Maauuu…. Laaghh… Aaaaccchhh…” Eva pun orgasme lagi dan entah yang ke berapa sambil terus memutar-mutar pantatnya.

Mendapat serangan orgasme dari Eva yang kesekian kali, aku melihat Nicko tampak tidak bisa mengendalikan dirinya. Nicko makin kencang memompa batang penisnya ke lubang vagina Eva.

“Sayaanggg... Akuu maoo keluaaarrrr...” Erang Nicko.

Melihat Nicko yang hampir ejakulasi, Eva memeluk pantat Nicko dengan kuat. Pantatnya juga ia putar-putar dengan kecepatan tinggi.

“Ayoohhh keluaarriinnn Nick... Keluarriin di daleemm biar anggeeettt...” Erang Eva.

“Uooogggghhhhhh... Oooooohhhhh...” Nicko mengerang dengan kencang. Ia pun juga mendorong pantatnya sekencang-kencangnya.

“Oooohhhhhhh....” Eva juga mengerang. Tampaknya ia merasa nikmat dengan semprotan sperma milik Nicko dalam liang vaginanya.

Aku duduk di tepi ranjang, menatap Eva yang terbaring dengan mata terpejam dengan napas terlihat memburu. Senyum tipis terukir di bibirnya, seakan-akan mimpi indah sedang menyapa alam bawah sadarnya. Tatapanku beralih ke Nicko yang terbaring di samping Eva. Aku tersenyum senang melihat temanku itu yang napasnya masih terengah-engah, bekas keringat masih terlihat di dahinya. Senyumanku semakin lebar karena Nicko baru saja menyelesaikan tugasnya, membantuku mengantarkan Eva ke alam kenikmatan.

Baru saja aku hendak mengambil handuk untuk mengelap tubuh Eva yang berkeringat, ponselku berdering nyaring. Nama Neti terpampang di layar, membuatku sedikit mengernyit. Aku mengangkat telepon dengan ragu. Suara Neti yang lembut langsung menyambutku.

“Bas … Aku ingin ketemuan. Apa kamu punya waktu malam ini?” Tanya Neti.

“Oh, iya … Dimana?” Aku balik bertanya.

“Di daerah Harmoni ada restoran yang bernama Harmoni Square Restaurant and Coffee Shop. Apa kamu tahu tempat itu?”

“Ya, aku tahu … Aku akan segera ke sana.”

“Aku tunggu ya …”

“Ya …”

Sambungan telepon pun terputus. Aku menoleh ke arah Eva dan Nicko. Aku harus meninggalkan mereka berdua. Aku pun menjelaskan situasinya kepada Nicko dan menitipkan Eva padanya. Nicko mengangguk dengan tatapannya penuh pengertian. Setelah itu, aku berpakaian kembali sambil menyaksikan Eva yang mulai merangsang Nicko dengan melakukan blowjob. Aku benar-benar heran, bagaimana mungkin ada wanita semacam Eva di dunia ini.

Setelah selesai berpakaian, aku segera bergegas keluar rumah, menuju ke tempat Neti berada dengan menggunakan mobilku. Dalam perjalanan, aku terus memikirkan Eva dan Nicko. Sambil tersenyum sendiri aku berharap Nicko akan baik-baik saja.

########



RISKA POV



Aku sangat tahu kalau sebagian besar pria menyukai perempuan sederhana yang tahu porsi tepat, kapan ia harus berdandan secukupnya dan kapan ia harus berdandan lebih. Selepas mandi dan berpakaian, aku memoles wajahku dengan bedak yang tipis, dan juga sedikit mewarnai bibirku dengan lipstick. Setelah memeriksa penampilanku di depan cermin untuk sekedar memastikan, aku pun keluar kamar lalu berjalan menuju kamar Neti yang berjarak hanya beberapa langkah saja dari kamarku. Saat masuk ke dalam kamar sahabatku itu, Neti sedang bermake-up, memoles bibirnya dengan lipstick berwarna pink. Neti pun segera menoleh padaku namun hanya sekilas. Dia terus melanjutkan memoles bibirnya.

“Net … Aku pengen curhat.” Kataku saat berada di sampingnya.

“Curhat apa?” Tanya Neti santai sambil masih memoles bibirnya.

“Aku ditembak Gunawan.” Jawabku dan langsung saja Neti menoleh lalu menelisikku.

“Kamu gak terluka …” Ucapnya bingung.

“Maksudku, dia menyatakan cintanya padaku.” Jelasku meluruskan persepsi.

“Oh … Terima saja.” Jawab Neti seperti tak ada beban.

“Aku takut, Net … Aku takut menyakiti hatinya. Kamu tahu kan kalau gerak kita dibatasi Burhan. Gunawan pasti menjadi nomor dua dan pasti selalu terkalahkan Burhan.” Jelasku.

“Aku pikir Gunawan tahu akan itu, Ris … Dia tahu posisinya dan sadar kalau dia itu nomor dua. Kamu jangan terlalu banyak mikir, Ris … Kalau hatimu memberikan kesempatan, ambil saja. Dan juga kamu harus tahu, semua orang di istana ini ada di bawah kita kecuali Burhan. Jadi perlakukan mereka seperti bawahan kita. Jangan terlalu memakai perasaan di tempat ini. Sekiranya kamu senang melakukannya, maka lakukan saja.” Jelas Neti masuk akal.

Aku menyimak penjelasan Neti dengan seksama. Aku mulai memahami sudut pandangnya, dan aku harus mengakui bahwa dia benar. Kenapa aku harus merasa tidak enak kepada Gunawan? Gunawan pasti sadar bahwa dia bukan prioritas utamaku. Senyum tipis terukir di bibirku. Aku akan mengikuti saran Neti. Aku akan memposisikan Gunawan sebagai selingan belaka, tanpa beban dan tanpa komitmen serius. Aku anggap ini hanya sekedar hiburan semata.

“Seperti mau kencan nih …?” Kataku yang melihat dandanan Neti yang luar biasa.

“Kamu tahu saja.” Genit Neti sambil mencolek daguku.

“Hi hi hi … Boleh dong dikenalin pacarnya …” Sambutku dengan suara genit.

“Nanti ada waktunya, sayang … Aku takut dia malah kecantol sama kamu.” Ujar Neti dengan senyumnya yang tampak begitu bahagia.

“Gak mungkin juga kali … Kamu lebih cantik dariku. Gak mungkin aku mengalahkanmu.” Kataku.

“Hi hi hi … Ya, udah … Aku pergi dulu ya …” Ucap Neti sambil berjalan begitu saja.

Aku melangkah keluar dari kamar Neti, di belakang si pemilik ruangan ini. Kakiku melangkah dengan langkah panjang menuju area latihan menembak. Sesampainya di sana, aku melihat Gunawan sedang melatih beberapa orang dengan penuh fokus. Sosoknya yang tegap dan penuh wibawa. Kali ini aku tidak berniat untuk ikut latihan, aku memilih untuk duduk di bangku belakang meja tempat senjata-senjata tergeletak. Tak lama kemudian, Gunawan melihatku dan langsung menghampiriku. Kami bertukar pandang sejenak, dan aku merasakan ada sesuatu yang berbeda di antara kami.

“Gak ikut berlatih?” Tanya Gunawan.

“Tidak … Aku hanya ingin menunggumu selesai melatih.” Jawabku sambil tersenyum.

“Oh ya?” Gunawan terperangah. “Ada apa kamu menungguku?” Lanjutnya penuh semangat.

“Bukankah kamu kemarin mengajakku makan malam?” Aku pun tersenyum tipis.

“Oh … I..iya … Apakah kamu mau?” Tanya Gunawan lagi dengan gugup.

“Ya, setelah kamu selesai melatih.” Jawabku sambil mengangguk.

“Ka..kamu tunggulah di depan … Sepuluh menit aku menyusul.” Tampak sekali Gunawan begitu bahagia.

Aku memperhatikan Gunawan berlari ke arah orang-orang yang sedang dilatihnya. Dia berbicara dengan mereka dengan penuh semangat, dan aku tidak dapat mendengar apa yang mereka bicarakan. Setelah beberapa saat, Gunawan berlari kembali ke gedung utama. Aku yakin dia sedang menuju kamarnya untuk bersiap-siap pergi denganku. Aku pun bangkit dari duduk dan berjalan ke depan gedung utama. Aku menunggunya di sana, sambil menikmati angin sepoi-sepoi yang membelai wajahku. Sekitar sepuluh menit kemudian, aku melihat Gunawan melambaikan tangannya dari sebuah mobil. Tanpa pikir panjang, aku menghampiri mobilnya dan masuk ke dalamnya. Aku duduk di jok depan di sebelahnya.

Gunawan menoleh ke arahku dan tersenyum. "Siap untuk pergi?" tanyanya.

Aku mengangguk pelan. "Siap," jawabku singkat.

“Kamu punya tempat untuk kita makan malam?” Tanya Gunawan sembari melajukan mobilnya.

“Malam ini kamu yang menjadi komandan.” Kataku.

Mobilnya melaju dengan mulus di jalanan kota. Aku tak tahu akan di bawa kemana. Sepanjang perjalanan, tidak banyak percakapan yang tercipta. Mungkin Gunawan masih gugup atau tidak percaya kalau aku menerima undangan makan malam darinya. Aku pun tak ingin memulai percakapan. Aku lebih memilih untuk menikmati pemandangan kota malam dari jendela mobil.

Suasana canggung ini akhirnya pecah saat Gunawan berkata, "Riska, aku ingin menjadi kekasihmu," katanya dengan suara pelan. Aku terdiam sejenak. Aku tak tahu harus berkata apa. Gunawan melanjutkan, "Aku tahu aku bukan pria yang sempurna. Tapi aku berjanji akan selalu membahagiakanmu."

"Gunawan … Aku tersentuh dengan perasaanmu. Aku menghargai ketulusanmu dan aku senang kamu mau mencintaiku. Tapi, ada beberapa hal yang perlu kita pertimbangkan dengan matang sebelum melangkah lebih jauh. Pertama, aku tidak ingin hubungan kita membahayakan karirmu atau reputasi di mata Burhan. Kedua, aku tidak ingin terjebak dalam situasi yang rumit. Aku sudah memiliki Burhan, dan aku tidak ingin menyakitinya. Perasaanmu kepadaku, meskipun tulus, bisa menimbulkan masalah bagi kita semua.” Kataku sekedar memberi wawasan padanya.

“Aku tahu itu, Ris … Tetapi …” Suara Gunawan gemetar. "Aku tidak bisa mengendalikan perasaan ini lagi. Aku mencoba untuk menolaknya, tapi aku tidak bisa. Ris, aku mencintaimu dengan tulus. Tolong beri aku kesempatan untuk membuktikan bahwa cintaku padamu adalah sesuatu yang nyata dan tulus." Lanjutnya.

Aku menghela napas panjang. "Aku tidak ingin kamu terluka, Gun. Aku ingin kamu bahagia. Tetapi, aku juga ingin kamu memikirkannya kembali. Pertimbangkan semua konsekuensinya, bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk Burhan dan aku.”

“Aku akan menanggung semua konsekuensi yang harus aku terima. Sekarang aku hanya mengharapkan kamu juga berani menerima konsekuensi yang akan kamu terima. Tapi, itu adalah keputusanmu. Aku tidak bisa memaksa.” Katanya mulai bisa mengontrol dirinya.

“Baiklah … Aku siap menanggung semua konsekuensinya, dan aku bersedia menerima cintamu. Tapi ingat, Gun, kamu harus siap menjadi laki-laki kedua. Aku tidak akan meninggalkan Burhan. Aku ingin kamu mencintai aku dengan sepenuh hati, tanpa keraguan, dan tanpa mengharapkan aku untuk meninggalkan Burhan." Kataku tegas.

Gunawan pun berkata dengan penuh tekad. "Aku siap, Ris. Aku siap menanggung semua konsekuensinya. Aku mencintaimu dengan sepenuh hati, dan aku akan selalu mencintaimu, apa pun yang terjadi."

Aku merasa bingung, bahkan kecewa melihat Gunawan yang tampak begitu lemah. Sulit dipercaya ada seorang pria yang bersedia mengorbankan harga dirinya demi cinta. Bagiku, seorang pria seharusnya tidak mengorbankan segalanya hanya untuk mendapatkan cinta seseorang. Ucapan Neti tiba-tiba terlintas di pikiranku yang mengatakan jangan terlalu memakai perasaan. Aku setuju tidak akan menggunakan hati dan perasaanku. Jadi hubunganku dengan Gunawan hanya sebatas hubungan badan saja.

Mobil Gunawan memasuki halaman restoran mewah. Gunawan memarkir mobil dan kami berdua turun. Lengannya melingkari pinggangku saat kami berjalan menuju pintu restoran. Langkahku terhenti tiba-tiba. Mataku terpaku pada sebuah meja di sudut ruangan. Di sana, aku melihat Neti dan seorang pria yang tak asing bagiku. Seketika itu juga tubuhku terasa kaku, dan jantungku berdetak dengan keras seolah ingin melompat keluar dari dadaku. Aku menarik nafas dalam-dalam, mencoba meredakan gejolak yang memenuhi dada. Namun, kejutan itu hanya sebagian dari apa yang aku rasakan. Perasaan nyeri menusuk hatiku begitu aku menyadari bahwa pria yang duduk di depan Neti adalah Bastian, pria yang selama ini aku diam-diam sukai. Nyeri itu terasa seperti sebilah pisau tajam yang menusuk langsung ke dalam hatiku, membuatku terasa hancur di tempat.

Aku menarik tangan Gunawan dengan panik, membawanya kembali ke mobil. "Ayo pergi dari sini," bisikku, berusaha menahan air mata yang mengancam jatuh.

Gunawan menatapku dengan tatapan penuh tanya, tapi dia tak banyak bicara. Dia mengikutiku masuk ke mobil dan kami meninggalkan restoran dengan cepat. Semenjak mobil meluncur, aku tak bisa berhenti memikirkan Bastian. Kenangan indah bersamanya kembali menghantui. Aku merindukannya, tetapi aku tahu kami tak mungkin bersatu. Statusku telah menjadi tembok tebal yang memisahkan kami.

“Apa yang terjadi, Ris?” Tanya Gunawan memecah keheningan.

“Aku melihat Neti.” Jawabku malas.

“Loh … Kenapa? Kenapa hanya melihat Neti kamu seperti melihat hantu?” Tanya Gunawan dengan nada heran.

“Aku takut pada laki-laki yang bersamanya.” Jujurku dan memang sebaiknya aku terbuka pada Gunawan.

“Oh …” Gumamnya pelan. “Lantas … Siapa dia?” Tanya Gunawan kemudian.

“Dia masa laluku. Aku tidak ingin melihatnya.” Jawabku sambil menatap ke luar jendela.

Untungnya, Gunawan tidak membahas lagi masalah ini. Dan untungnya lagi, Gunawan seolah mengerti akan perasaanku saat ini sehingga dia memutuskan untuk kembali. Sesampainya di istana Burhan, aku dengan cepat keluar mobil dan berjalan dengan langkah panjang menuju kamarku. Sesampainya di kamar, aku langsung membantingkan tubuh ke atas kasur, membenamkan wajah ke bantal. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku terjebak dalam situasi yang tak menguntungkan. Aku mencintai Bastian, tetapi aku tak ingin dia mengetahui keadaanku yang sebenarnya. Dilema ini bagaikan pisau bermata dua. Aku terluka, terbelah antara cinta dan rasa malu.

Hati dan pikiranku menjadi gudang bermacam-macam kegalauan. Rasa malu, cinta, dan frustasi bercampur aduk menjadi satu. Wajahnya yang tampan dan senyumnya yang menawan selalu terbayang di pelupuk mataku. Aku teringat tawa dan candaannya yang membuatku selalu merasa bahagia. Aku ingin sekali bisa bersamanya, tetapi statusku sebagai wanita peliharaan Burhan menjadi penghalang yang memisahkan kami. Aku tak ingin Bastian mengetahui statusku yang memalukan ini. Aku tak ingin dia melihatku sebagai wanita yang hina dan rendah. Aku ingin dia melihatku sebagai wanita yang pantas dicintai dan dihormati.

Kamar terasa begitu dingin malam ini, tak sebanding dengan panasnya api cemburu yang membakar hatiku. Bayangan kedekatan Neti dan Bastian di restoran tadi terus melekat di otakku. Rasa cemburu yang datang tiba-tiba ini menjalar perlahan, menyelinap masuk ke dalam hatiku tanpa permisi. Aku tahu aku tak berhak cemburu. Aku tak punya hubungan spesial dengan Bastian. Dia hanya teman lamaku, dan aku hanya bisa memendam perasaanku dalam diam. Tapi hatiku tak bisa menerima kenyataan itu. Aku ingin menjadi orang yang di samping Bastian, orang yang membuatnya bahagia, dan orang yang dia tatap dengan penuh cinta. Rasa cemburu ini membuatku frustrasi. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku ingin menyingkirkan rasa ini, tapi aku tak tahu caranya.

Aku tak bisa lagi berdiam diri di kamarku. Api cemburu yang membakar hatiku membutuhkan pemadam. Aku membutuhkan seseorang yang bisa membuatku tenang, dan satu-satunya orang yang aku ingat saat ini adalah Ratna. Dengan langkah cepat, aku bangkit dari tempat tidur dan keluar kamar. Setelah berkeliling seputar istana, aku akhirnya menemukan Ratna di ruang biliar. Dia sedang bermain dengan salah satu penghuni istana, tawa dan canda mereka terdengar begitu riang. Tanpa permisi, aku segera menarik Ratna ke bar mini yang tak jauh dari tempat bermain biliar. Wajah Ratna yang tadinya ceria berubah menjadi panik saat melihat wajahku yang tegang.

"Ada apa, Riska? Wajahmu pucat sekali," tanya Ratna dengan nada khawatir.

“Hatiku sedang galau, Rat … Aku ingin bertanya padamu, bagaimana caranya aku melupakan seseorang yang aku cintai. Aku ingin melupakannya, sungguh aku ingin melupakannya.” Kataku tegas dan penuh keyakinan.

“Hhhmm … Kamu baru melihatnya lagi ya?” Ratna bukannya menjawab malah menebak. Sialnya, tebakannya itu sangat tepat.

“Ya.” Jawabku singkat.

“Kenapa kamu ingin melupakannya?” Ratna malah bertanya lagi membuatku kesal.

“Ayolah, Na … Aku butuh solusi …” Kataku setengah mendesah.

“Baiklah … Kalau aku jadi kamu … Aku akan pergi ke ruangan senang-senang.” Ucapnya sambil tersenyum.

“Kok bisa?” Mataku terbelalak mendengar saran Ratna.

“Sakit sama cowok, obatnya harus sama cowok juga. Tapi, itu kan aku. Belum tentu juga cocok padamu.” Ucapnya lagi dengan nada sedikit serius. “Tapi, apa salahnya dicoba, siapa tahu caraku ini cocok juga buatmu. Dan paling tidak, bisa membuatmu melupakan dia sejenak dengan bersenang-senang di sana.” Lanjutnya.

Mungkin benar apa yang Ratna katakan, dengan mencoba bersenang-senang, kegalauanku saat ini bisa hilang, walau hanya sementara. Segera aku mengucapkan terima kasih pada Ratna dan bergerak ke ruangan senang-senang. Saat aku memasuki ruangan itu, terdengar musik lembut, tawa, dan keceriaan bersenggama, suara-suara yang tak aneh di ruangan ini.

Malam ini, aku butuh pelarian. Butuh tempat untuk menenggelamkan kegalauan yang menyelimuti. Dan ruangan ini, dengan segala aktivitas mesumnya, menawarkan pelarian yang sempurna. Diiringi alunan musik yang lembut, aku membaur dengan para penghuni ruangan. Tawa, canda, alkohol, dan seks bagaikan melodi indah yang menenangkan jiwaku yang resah.

BERSAMBUNG
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd