Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT Husna dan Lily

little_crot

Semprot Addict
UG-FR
Daftar
9 Sep 2015
Post
483
Like diterima
150
Lokasi
Makassar
Bimabet
“Kak, aku hamil...,” ucap Husna terbata.


Aku jarang sekali kehabisan kata-kata. Hanya pada kesempatan yang langka, saat aku tidak tahu harus berkata apa. Dan ini salah satunya...


***


Aku masih duduk di kelas 3 SMA, saat dunia mengenalkanku pada Husna. Seorang gadis manis, siswi SMP kelas 3.


Husna dan keluarganya adalah warga baru di kompleks tempat tinggalku. Bapaknya, Haji Andi Ahmad, adalah seorang pengusaha dengan banyak bidang bisnis. Mereka pindah dari kecamatan sebelah, menempati rumah baru yang megah di kompleks tempat tinggalku.


Kompleks ini terletak di ujung utara kota Makassar. Suatu perumahan dengan lingkungan yang ramah dan akrab.


Setiap warga saling mengenal dan berkelompok-kelompok dalam kegiatan sosial. Bapak-bapak dan pemuda rutin berolahraga bersama. Olahraga yang populer di lingkungan ini adalah sepakbola dan sepak takraw. Remaja putra dan putri aktif dalam kegiatan pengajian.


Di sinilah lembaran cerita tentang Husna mulai dituliskan di dalam buku kumal kehidupanku...


***


“Nan, pinjam lembaranmu.” Hasrul meminta padaku selepas pengajian sore.


Hasrul adalah sahabatku sejak SD. Badannya besar, kulitnya gelap. Berlawanan dengan perawakanku yang kecil dan berkulit putih. Tidak benar-benar putih, sih, standar warna kulit suku bugis. Lembaran yang dimaksud Hasrul adalah catatan materi pengajian. Masing-masing kami mencatat materi yang diberikan dalam selembar kertas, dengan tulisan arab gundul. Lembaran tersebut akan kami simpan untuk kami pelajari masing-masing.


Sambil menyalin materi dari lembaranku - Hasrul termasuk pencatat yang lambat, sehingga sering ketinggalan materi - dia bertanya,


“Sudah lihat anak bungsunya Haji Andi Ahmad?”


“Belum,” jawabku singkat


“Wah, ketinggalan kamu. Anaknya cantik lho...,” katanya lagi


“Besok-besok juga bakal lihat. Kalo memang cantik ya besok-besok juga bakal tetap cantik kan...,” jawabku sambil membuka sarung, menampakkan celana kostum sepakbola. Selepas pengajian, kami biasanya langsung bersiap main bola.


“Cepat sedikit cappo’,” sambungku.


Cappo’ adalah sapaan akrabku dengan beberapa teman. Hanya teman yang terbilang dekat. Cappo’ sejatinya berarti saudara sepupu, tetapi di kalangan pertemanan kami sapaan itu menjadi panggilan satu sama lain.


“Sabar ppo”, sedikit lagi.. Eh eh, itu dia anaknya.. Namanya Andi Husna....” Mataku mengikuti pandangannya menuju seberang jalan.


Melintas di depan masjid, anak dara berkerudung bahan kaos warna biru, menuju arah lapangan sepakbola. Wajahnya bulat, matanya besar, menarik.. Sekilas saat melintas mata kami bersitatap. Dia tersenyum dan berlalu.


Andi adalah gelar kebangsawanan bugis. Disematkan sebagai nama depan, pria maupun wanita. Terkadang disingkat menjadi ‘A’ di depan nama.


Hasrul menyelesaikan salinannya dengan cepat. Lalu kami berlari menuju lapangan untuk latihan.


Selesai latihan, saat sedang duduk melepas sepatu, mataku tertumbuk pada sekelompok gadis yang duduk-duduk di tepi lapangan. Ternyata itu Husna dan teman-temannya, menonton kami latihan. Sekedar menyapa, kulambaikan tangan, mereka cekikikan. Dasar remaja..


***


Setiap remaja laki-laki di kompleksku sudah punya pacar. Rajin-rajin ngaji, tapi pacaran masih jalan juga. Maklumlah, darah muda mengalir deras dalam pembuluh nadi. Ketika remaja putra dan putri rutin bertemu, maka rasa suka akan mudah dipicu. Iya kan?


Tetapi mereka berpacaran tidak pernah terang-terangan. Lingkungan agamis kami yang menyebabkan mereka pacaran kucing-kucingan. Di kompleks bahkan diberlakukan larangan berdekatan pria wanita yang bukan muhrim. Tidak boleh berduaan, apalagi berboncengan.


Tetapi larangan tinggal larangan. Mereka - dan pada akhirnya kami, aku dan Husna juga - selalu menemukan cara berpacaran, bermesraan, bahkan bercumbu. Kemauan selalu menemukan jalan, begitu juga dengan kemaluan, bukan?


Tetapi aku saat itu masuk pengecualian. Aku belum punya pacar sampai saat itu, sampai saat aku duduk di bangku kelas 3 SMA.

Aku bersekolah di suatu SMA unggulan di kotaku. Sekolah anak bureng, istilahnya. Sekolah para pemBUru RENGking.


Keinginan untuk berpacaran tentu ada. Hanya belum bertemu padanannya.


Hal ini membuat aku sering menjadi bulan-bulanan teman-temanku di kompleks. Jadi bahan olok-olokan karena masih menjomblo di antara mereka yang pada sudah punya pacar.


Kehadiran Husna di kompleks menjadikan kami berdua mutual dalam hal ini, dan berujung pen-comblang-an. Seringkali kami berdua “dijebak” untuk berada dalam kondisi berdua saja. Kalian para pembaca tentu paham maksudku.


Kami dijodohkan secara konyol oleh lingkungan pertemanan kami, begitu singkatnya..


Sehingga pada suatu ketika di masa kini, saat Husna menyalahkanku atas kehamilannya, ingatanku segera menjelajah ke masa lalu, menyalahkan mereka yang memaksanya jatuh cinta padaku..


Tetapi itu terlalu jauh, akan kuceritakan dulu tentang Husna, desah-rintih dari bibir berbingkai kerudungnya, dan lekukan-lekukan belia nan menggiurkan di balik longgar gaunnya..


***


Tidak perlu kuceritakan bagaimana proses kami diledek-ledek oleh teman-teman. Bagaimana semu merah wajah remaja kami berdua setiap kali di pengajian, di kondangan, di tempat nongkrong di jalan, berubah menjadi lirikan penasaran dan curi-curi pandang.


Setahun kemudian - lama yah... - kami pun jadian.


Saat itu aku berkuliah, menjelang semester kedua, sementara Husna kelas 1 SMA. Orangtuaku membelikanku sepeda motor. Bekas, sih, tapi cukup baik. Sebelum kami jadian, kami sudah kenyang sekali dengan ledekan dan candaan teman-teman. Sehingga saat kunyatakan suka dan Husna menerima, kami tidak malu-malu lagi satu sama lain.


Jawaban Husna dikirim lewat SMS. Pesannya masuk pagi, saat aku sedang di kampus, yang berarti dia di sekolah, setelah kutembak dia sore hari sebelumnya..


“Kalau berani dan serius, Kak Nanta jemput saya siang nanti sepulang sekolah,” katanya.


Dadaku berdegup kencang. Menjemput pulang bagi kalian mungkin hal sepele. Tetapi bagiku, yang sebelumnya belum pernah berpacaran, dan selama ini hanya melihat orang lain bermesraan, itu sangat mendebarkan..


Bayangan bisa duduk rapat dengan gadis yang didambakan, walaupun rapat dari belakang, cukup bikin panas dingin..


Setidaknya panas dinginnya bertahan beberapa hari. Kemudian antar jemput dengan motor menjadi biasa saja. Kujemput di sekolah, dan kuturunkan sebelum mendekati gerbang kompleks - biar ngga dilihat warga - kemudian menjadi rutinitas yang hambar.


Mungkin demikian pula yang dirasakan Husna. Sehingga saat suatu hari kuajak dia bolos sekolah ke Bantimurung - sebuah tempat wisata di luar kota Makassar - dia langsung mengiyakan.


***


Bantimurung adalah taman purbakala, taman fauna (kupu-kupu dan primata) serta taman air di Kota Maros, sebuah kota di utara Makassar.

Tempat ini sangat ramai di hari libur, tetapi ideal untuk pacaran pada hari kerja. Mengapa? Tentu karena sepinya.


Pukul 06:30, kuparkir motorku di tempat di mana sekira Husna akan turun dari angkot, siap menjemput. Lalu kukirim pesan singkat,


“Aku di panyingkul ya....” Panyingkul berarti pengkolan atau tikungan.


“Iya kak, sebentar lagi sampai...,” balasnya.


Tidak lama kemudian, nampaklah dia turun dari angkot. Seragamnya rapih, putih abu-abu, dengan setelan longgar. Mengamati dia berjalan ke arahku, melintas di depan sebuah toko, ntuk pertama kalinya aku mulai memikirkan bentuk tubuh gadis ini.


Sejenak menghayal, tiba-tiba Husna menghilang dari pandanganku. Panik, mengira diri berhalusinasi, aku menoleh mencari-cari. Husna benar-benar hilang!


Tetapi tidak lama kemudian, dia muncul dari dalam toko. Ternyata saat aku menghayal tadi, dia berbelok ke dalam toko. Untuk apa? Berganti pakaian!


Kini dia berjalan ke arahku dengan celana jeans ketat, dengan kaos ketat pula.

Dan tersadarlah aku, bentuk buah dada pacarku ini lebih dari biasa.


***


Kulewatkan saja beberapa fragmen tidak penting dalam perjalanan menuju Bantimurung, ya, suhu sekalian. Perjalanan penuh dengan basa-basi dan percobaan rem mendadak, haha..


Iya, buah dadanya terkadang menabrak punggungku. Tetapi setelah dua-tiga kali, dia mulai menyadari kesengajanku. Jadi dengan malu diletakkannya tas sekolahnya di antara kami. Apes..


***


Setiba di Bantimurung, sambil mengatur posisi sepeda motorku di parkiran, kubuka percakapan.


“Dek, mau berenang?” tanyaku.


“Ga ah, kak, Cuma bawa baju ini sama baju sekolah..”


“Oh, kalo gitu kita ke museum kupu-kupu,”


“Di situ rame gak, kak?” tanyanya menyelidik.



“Iya, rame kok, tenang saja.. Jadi ga bakal kakak apa-apakan.. haha..”


“Kalo gitu jangan ke museum...,” katanya tersenyum, lalu mendahuluiku ke arah loket karcis.


Aku terkejut mendengar ucapannya, mungkin hanya bercanda, pikirku. Tetapi rasanya penasaran juga jika tidak kuperjelas. Mungkin memang bercanda kali ya, jadi aku cukup meladeni gaya bercandanya ini.


“Kalo mau berduaan dan agak sepi, kita ke Gua Mimpi, di atas...,” kataku menjajari langkahnya.


Tiket dibeli, kami melangkah masuk lokasi.


“Gimana?” tanyaku beberapa saat kemudian. Bermaksud memperjelas, apakah dia benar-benar serius mau berduaan di tempat sepi, di sini.


“Apanya, kak?” tanyanya sambil mengerjap-ngerjapkan mata, menggoda. Duh, gemasnya...


Untuk suhu sekalian ketahui, Bantimurung adalah kompleks taman purbakala dengan air terjun di tengah-tengahnya. Taman ini dikelilingi tebing-tebing tinggi. Di sisi air terjun, terdapat tangga menuju air terjun lain yang lebih tinggi. Menelusuri tangga ini, kita akan mendapati sungai dan hutan, sebelum tiba di air terjun kedua.


Hutan dan tepian sungai inilah tempat sepi, teduh dan mendukung untuk duduk-duduk romantis (baca: mesum, haha..) berdua..


Selama ini aku hanya tau ini dari cerita teman. Aku memang sudah beberapa kali ke sini, tetapi dalam rangkaian beberapa kegiatan, dengan rombongan yang ramai. Bayangkan rasanya kali pertama datang ke tempat yang terkenal untuk asyik-masyuk, dengan pacar pertama, tanpa manual dan tanpa pedoman!


Saat itu belum ada contoh, bahkan istilah, ssi. Tetapi itulah yang harus kulakukan. Speak-speak iblis!


“Maksud kakak, Husna mau berendam, ramean, atau mau cari tempat duduk yang tenang, tidak terganggu?” sengaja kutekankan nada bicaraku pada kata “rame” dan “tenang.”


Lalu katanya, “Seandainya bisa, berenang, tapi di tempat yang berdua saja..” katanya sambil memalingkan muka, menatap pepohonan yang jelas tidak lebih penting dariku, pacarnya yang sedang gerah penasaran!


Aku tidak ingat lagi detailnya, tetapi beberapa saat kemudian, kami menemukan diri sedang duduk berdua, di naungan pohon yang letaknya menjorok ke arah sungai. Posisi yang jauh dan tidak terlihat dari jalan menuju gua-gua.


Sesekali terdengar suara pengunjung lain yang sedang menelusuri jalan menuju air terjun atau gua mimpi. Setelah beberapa kali memeriksa posisi, aku lalu yakin, posisi kami “aman” di sini.


Perlahan, kulingkarkan lenganku di bahu Husna, yang duduk rapat di sampingku.


Di tempat ini pemandangannya tidak indah, tapi bodo amat, di kepalaku ada hal lain yang ingin kunikmati.


“Na, boleh ya...,” kataku.


“Boleh apa kak?”


“Boleh ini....” Kudaratkan ciuman di pipinya, sangat dekat dengan bibirnya..


Lalu katanya, “Ga boleh, kak...,” tapi seulas senyum tersungging di wajahnya.


Kuanggap itu lampu hijau untuk seranganku selanjutnya..


Kutarik dia ke pangkuanku, duduk menyamping dan sebelah tanganku memeluk pinggangnya.

Dia tampak terkejut, tapi tidak menunjukkan perlawanan. Kutarik lengan kanannya agar melingkar di leherku. Lalu dengan cepat, kulumat bibirnya...


“Mmmpphhh.. Kak.. Ga boleh...,” katanya, namun tetap, tanpa perlawanan.


Kutarik wajahku, kutatap matanya. Matanya meredup, agak basah, tetapi bibirnya tetap tersenyum.


Kudaratkan ciumanku yang kedua. “Ga boleh, kak.. Jangan....” Hanya kata-kata.. Lengan kanannya malah semakin erat memeluk leherku.

Tangan kirinya memegang tangan kananku yang bebas, menuntun ke pipinya.


Bibir kami saling melumat, berkecipak basah, seperti biasanya para pencium pemula.

Lalu tangan kananku perlahan menarik lepas kerudungnya. Husna pasrah saja saat kain penutup kepalanya lepas, menampakkan rambut panjang yang diikat ekor kuda. Warnanya hitam dengan berkas keemasan. Rupanya Husna senang mewarnai rambutnya.


Ciumanku kembali mendarat, melumat lembut, menuntut, mencecap manisnya keremajaan bibirnya. Tangan kiriku memeluk pinggangnya, sementara tangan kananku mengelus-elus pipinya.


Tidak lagi ada suara penolakan, yang ada hanya gumaman lembut dan desah nafas kami yang semakin berat.


Tangan kiriku perlahan kumasukkan lewat celah bawah kaosnya, mengelus lembut punggungnya. Kurasakan Husna bergetar saat jariku menyentuh kulit punggungnya.


Tangan kananku juga tidak tinggal diam. Seiring gerak bibir kami yang terus saling memijat, perlahan kugeser tanganku turun dari pipinya, mengelus leher, dengan pelan namun mantap, bergerak menuju gundukan bulat di dada Husna.


Aku pernah membaca, bahwa payudara gadis yang belum pernah dijamah akan terasa kenyal dan keras. Semakin sering diremas, teksturnya akan melunak dan bentuknya akan sedikit menggantung. Biasanya pria menjamah payudara kekasihnya terlebih dulu dari luar bra atau kaos. Setelah beberapa kali kencan - beberapa kali bercumbu dan meremas - barulah si gadis mengijinkan prianya menjamah payudaranya skin to skin. Pada saat itu biasanya teksturnya sudah lunak, karena sudah sering diremas dari luar.


Aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan. Sambil terus mengulum-gigit bibirnya, tangan kiriku perlahan melepas kait bra di punggung Husna. Lalu tanpa membuang waktu, tangan kananku menyusup cepat, menangkup payudara kirinya. Aduhai, suhu sekalian, bayangkan rasanya…


***


Lagi berusaha ingat-ingat kembali detail masa itu. Kalo sudah ingat, bakal lanjut. Itu juga kalo suhu sekalian berkenan..


:D


***


Berikut indeks update :


Update 1
Update 2
Update 3
Update 4
Update 5
Update 6
Update 7
Update 8
Update 9
Update 10
Update 11
Update 12
Update 13
Update 14
Update 15
Update 16
 
Terakhir diubah:
Kesan pertama saat eksplorasi.. UhMmmm..
=))=))=))
Gimanaaaaaa gitu...:panlok3:
 
Dari judulnya aja dah lawak ya :pandaketawa: :baca: dulu ahh sklian mejeng di pejwan
______________________
Kentang :galak:

Lanjut gan
 
tata kalimatnya bagus kk... :hore:
aku sukaaaa.....
:cendol: menyusul, soalnya habis dikasihin buat ts ny six feet under...
 
nampang pejwan dulu :D

Ih ceng gur.,.

Mejeng di vegiwan....
Ijin :baca: suhu
Woi cappo aga kareba....
Ane makassar juga....
Lancrootttkannn cappo

Ngikut minyak gan....

Kesan pertama saat eksplorasi.. UhMmmm..
=))=))=))
Gimanaaaaaa gitu...:panlok3:

Dari judulnya aja dah lawak ya :pandaketawa: :baca: dulu ahh sklian mejeng di pejwan

Bakalan menarik nih, semoga update lancar ampe tamat

Anjrittt kentangggg hiksss

Selamat datang, suhu sekalian, di tread nubi yang sederhana.
Ini kali pertama membuat tread, jadi mohon maaf jika masih belepotan.
Apa yang nubi tuliskan ini adalah pengalaman apa adanya. Yang nubi edit adalah nama asli dan diksi percakapan sehari-hari. Jika dituliskan dalam diksi dan dialek asli – makassar – khawatir banyak yang roaming, hehe..
Nubi berusaha menyajikan dalam detail dan runtutan timeline yang sesuai.
Semoga menghibur ya, suhu sekalian..
Update-2 akan posted siang ini.. :D
 
Terakhir diubah:
Wuidih kisah nyata kah ini suhu????
Hehehehhh 😜😜😜😜😜

Ini pengalaman masa SMA dan kuliah, suhu.. :)
Husna dan Lily adalah 2 gadis kompleks saya - nama tentu disamarkan - saat ini sudah jadi binor.
 
Sa pernah dpt pcr org sulawesi :ngiler: dri duku tolaki klo tak salah... jilbaber, bening gan :ngiler: syg ldr :galau: jd putus dah
 
Bimabet
Update 1

***

Aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan. Sambil terus mengulum-gigit bibirnya, tangan kiriku perlahan melepas kait bra di punggung Husna. Lalu tanpa membuang waktu, tangan kananku menyusup cepat, menangkup payudara kirinya. Aduhai, suhu sekalian, bayangkan rasanya...

Prosesi saling pagut dan pijat bibir menjadi tersamar. Konsentrasiku terpecah ke gundukan kenyal nan membusung yang sedang kutangkup. Haruskah diremas? Dengan tekstur keras seperti ini, bukankah akan sakit jika diremas-remas? Jika sakit, akankah pikiran sehatnya kembali, lalu mundur dari semua ini? Meninggalkanku dalam kekentangan?

Terlalu banyak berpikir membuatku tidak lagi menikmati kuluman dan lumatan bibir Husna. Karenanya kuturunkan bibirku, mencecap lembut dagunya, lehernya, lalu terus mengitari wajahnya, menuju kulit tipis di belakang telinganya.

"Jangan berbekas, Kak...." Suaranya teredam desah. Jelas sekali akal sehatnya kian terkabur birahi.

Tangan kananku yang sedari tadi hanya mengusap dadanya, kini kugerakkan setengah meremas.

"Nnggghhh...," desahnya, mengigit bibir bawahnya..

Kuangkat sebentar wajahku, mencoba menangkap pandangannya dari sela kelopak yang setengah terkatup. Husna menatapku, tersenyum, seperti menguatkan, meminta aku melanjutkan..

Dengan ibu jari dan ketiga jariku yang lain, perlahan kuremas kembali putik susunya sebelah kiri. Sementara jari telunjukku mencoba mencari kuncup yang pasti ada.

Tetapi kuncup yang kucari tidak kunjung ketemu. Di puncak putik susunya hanya ada area lunak yang agak melesak ke dalam. Setiap kali jari telunjukku menyentuh dan - sedikit - menusuk area itu, jeritan kecil muncul dari bibir Husna. Kelak kuketahui, area itu bernama areola.

Mengapa putingnya tidak teraba? Sekali lagi konsentrasi bercumbu itu terganggu. Dengung birahi di ubun-ubunku berkurang, berganti kesadaran. Kuhentikan sejenak cumbuanku, meski tangan kananku tetap di tempatnya yang terlanjur nyaman dan istimewa.

Mata Husna terbuka, dahi kami bersentuhan, juga ujung hidung kami. Terasa nafas kami yang memburu berangsur stabil, kembali dalam ritme biasa. Walaupun aku tahu, sedikit picu saja, akan membakar hasrat bercumbu kami kembali.

"Dek, sakitkah?" tanyaku berbasa-basi.

Husna menggeleng pelan, "Geli, Kak.."

"Bra-nya ukuran berapa, Dek? Besar juga.."

"Nomornya 34, Kak. Tapi nomor itu menunjukkan lingkar dada, kak, bukan mangkuknya...," bisiknya tersenyum, jidatnya masih tersandar di jidatku. Saat berkata, bibirnya terasa sedikit menyapu bibir dan pipiku.

Sebuah pelajaran baru tentang ukuran bra wanita, kucatat dalam dalam benakku pada hari itu.

"Tapi kok tidak ada putingnya?" kataku setengah tertawa, jari telunjukku kulesakkan ke kuncup bukitnya.

Husna melengos, mencubit hidungku, lalu katanya, "Ya belum muncullah, kak, kan belum pernah disentuh orang.."

"Itu hanya muncul kalo lagi kedinginan, pas mandi, berenang, atau bangun pagi...," lanjutnya lagi, pelajaran baru lagi.

"Mau lihat ah...," kataku sambil mencoba menyingkap kaosnya.

"Ih, lale-nya.. Jangan, kak...." Dia agak terkikik, menggeliat mencegah tanganku membuka kaosnya.

Lale adalah istilah umum di daerahku, untuk perilaku terkait erotisme dan atau pornografi/aksi. Jika seorang pemuda melontarkan lelucon porno, maka sebutannya adalah pemuda-lale. Jika ada anak SD mengintip dalaman bawah teman cewek di kelasnya, maka dia akan dijuluki si lale oleh teman-temannya.

Geliat tubuh Husna yang setengah hati tidak dapat menghalangi niatku membuka kain penutup dadanya. Dalam satu gerakan, sekaligus tersingkap kaos dan bra-nya. Tangan kiriku berputar ke belakang tubuhnya - yang masih duduk menyamping di pangkuanku - dan menangkap tangan kirinya, agar tidak menghalangi tanganku yang satunya. Sedangkan tangan kanannya masih melingkar di leherku.

Terpampanglah dua bukit indah nan menantang, ranum dan kencang. Dengan bulir keringat yang memberi aksen segar. Seperti ilustrasi iklan buah di teve.

Dengan wajah merah padam - mungkin malu, atau jengah - Husna menarik tangan kirinya, lepas dari peganganku. Lalu berdiri..

Dan tanpa memperbaiki posisi baju dan bra-nya, Husna kembali duduk di pangkuanku, dan kali ini badannya dihadapkan padaku! Dua lengannya diletakkan di bahuku, wajahnya menunduk, tersenyum manis sekali. Senyum yang jika kini berusaha kuingat, amat sangat sulit rasanya. Mengapa? Karena saat itu beberapa mili di depan wajahku, terpampang pemandangan lain yang lebih dahsyat.

Amboi, suhu sekalian, dua putik susu yang menggemaskan, seolah menggapai meminta diremas-remas.

Tetapi alih-alih meremasnya, tanganku kunaikkan, keduanya. Ibu jari dan telunjukku menyentuh kedua bukit itu dengan posisi menopang. Lalu dengan perlahan, kudekatkan wajahku, kukecup kuncupnya..

Puting susu Husna - yang ternyata ada! - masih tenggelam saat itu. Kukecup, kuhisap dalam bergantian, berulang-ulang..

Wajah Husna seketika menengadah, jeritan kecil terlontar berulang-ulang dari bibirnya.

"Akh, Kaakk.. Ssshh... Hhnnnn.. Kaak... Ouhh.."

Tangannya meremas rambut di belakang kepalaku, menekan wajahku lebih dalam, terbenam dalam keindahan payudara remajanya..

***

Lanjut nanti ya, suhu sekalian, lanjut kerja dulu..

:D

Sekali lagi, semoga share-pengalaman ini menghibur suhu sekalian..
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd