Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT Husna dan Lily

Bimabet
Update 14

***

Apa lawan dari percaya?

Apakah ‘tidak percaya’?

Bukan, terlalu pungkas. ‘Tidak percaya’ adalah percaya dari sisi berbeda. Tidak percaya, sebuah kepastian. Ringkas, magnitude, mutlak. Case was closed.

Musuh abadi dari percaya adalah sesuatu yang menggantung rendah, menghantui sebagai bayang-bayang. Menunggu, mengganggu, berbisik menghasut dalam kepalamu.

Musuh itu bernama ragu.

***

Pagi itu aku terbangun dengan kebas di setengah tubuhku bagian atas. Semalam kami bercinta berkali-kali, seolah tidak punya hal lain untuk dikerjakan esok hari. Aku tertidur menelungkup, dengan Lily memelukku dari belakang, setengah menindih tubuhku yang telanjang.

Dua bulan berlalu sejak malam kami yang pertama. Seperti yang sudah kujanjikan pada diriku, tidak kubiarkan Lily sendirian semenjak itu. Kami semakin banyak menghabiskan waktu bersama. Berduaan di rumah, saling menggoda saat mandi berdua, bercumbu di beranda, atau bercinta dengan liar di penjuru rumah. Kami seperti tidak terpisahkan. Kecuali di lembaga.

Kami tetap menutupi hubungan ini di depan teman-teman di sana. Kami lupa alasannya mengapa, tapi rasanya seru juga punya rahasia berdua seperti ini di depan mereka. Datang dan pergi terpisah, lalu berkencan di tempat wisata, di teater, di rumah, di kamar. Bertukar cerita dari sudut pandang berbeda tentang teman-teman dan suasana yang sama.

***

Aku dan Husna bukannya putus komunikasi begitu saja. Kami tetap bertukar kabar seperti biasa, di sepanjang hubunganku dengan Lily, dan hubungan Husna dengan Raja.

Jika bertemu muka, kami memang saling diam, ada kecanggungan yang membuat suara kami masing-masing jadi hilang. Tetapi Husna tetap rajin memberi kabar lewat SMS. Terkadang menelepon untuk bertanya tentang suatu urusan, atau meminta bimbingan soal-soal persiapan ujian.

Beberapa hal secara instingtif tidak kami bahas. Sengaja tidak pernah kusinggung tentang Raja, dan Husna tidak pernah bertanya tentang hubungan cintaku saat ini. Mungkin dia tahu, mungkin juga tidak. Kurasa tidak ada untungnya menebak-nebak.

Demikian seterusnya sampai suatu pagi, saat tengah menikmati sarapan pagi bersama Lily, sebuah SMS dari Husna mengejutkanku.

Husna : Kak, adek gak lulus
Nanta : UN?
Husna : Bukan, kak. UN lulus, tapi SPMB gak
Nanta : Kakak ikut prihatin. Ada yang bisa kakak bantu?
Husna : Gak, kak, doain aja buat tahun depan
Nanta : Iya, selalu didoakan. Adek yang sabar y...

"Dari siapa?" Lily iseng bertanya. Dia baru saja keluar dari kamar mandi, badan sedikit basah, terbalut selembar kaos tipis rumahan.

Setiap lekuk dan tonjolan tercetak jelas dari luar kaosnya. Selembar handuk membungkus kepalanya yang basah.

Kami selalu sarapan di beranda samping. Sebuah meja bundar dengan dua kursi kayu antik. Set meubel antik yang kokoh.

"Dari Husna," jawabku biasa. Kuletakkan ponsel di meja.

Rutinitas kami berubah sejak "malam pertama" kami. Kami memulai malam dengan mandi bersama, lalu bercengkrama dan mengobrol di ruang tengah. Kami selalu menyetel musik atau menonton dvd sewaan. Film yang diputar berulang-ulang karena tidak selesai ditonton.

Kami akan sibuk bercumbu, memberi rangsang satu sama lain, meninggalkan layar berpendar semalaman. Percumbuan selalu berlanjut. Tiada malam tanpa bercinta selagi kami bisa.

Pagi juga punya rutinitas sendiri. Lily senang sekali duduk di pangkuanku saat sarapan. Duduk menyamping bermanja, dengan hanya selembar kaos menempel di badannya. Kami selalu bercinta setelah sarapan. Lily sangat agresif pada pagi hari, selalu liar menindihku dalam posisi apapun aku saat itu. Jika aku sedang duduk, Lily akan mengangkangiku di kursi. Jika tidak sedang duduk, dia akan menarikku, mendorongku hingga berbaring, dan menunggangiku seperti joki kuda, haha..

Pagi itu berbeda. Lily duduk di seberang meja, melipat kaki.

"Mau cerita?" Lily bertanya, nampak acuh tidak acuh.

"Husna cuma sampekan, dia gak lulus SPMB. Itu doang." kuseruput kopi hitamku.

Sekilas kupandang wajah Lily. Matanya sejenak merenung, dia tampak prihatin dengan ceritaku tentang Husna.

"Duh, kasihan sekali. Dia pasti stress sekarang. Kamu gak mau nemuin dia?" Lily nampak bersungguh-sungguh bertanya.

"Tadi sih aku tanya, perlu bantuan gak, walaupun aku sendiri gak tau bisa bantu apa. Tapi dia bilang minta didoakan saja."

"Hoo.." Lily menjawab datar.

"Eh, aku mau keluar pagi-pagi. Mau ke terminal jemput kiriman barang." Lily melanjutkan sambil berdiri.

Dia melangkah mengitari meja, mengecup ringan pipiku lalu menghilang ke kamarnya.

Kuhabiskan kopiku, lalu melangkah mengikutinya ke kamar.

"Aku pulang aja kali ya. Ntar sore ke sini lagi," kataku sambil bergerak memeluknya dari belakang.

Lily sedang melepas kaosnya, hendak berganti baju, nampaknya.

Kucium tengkuknya, aroma wangi yang lembut, seperti teh hijau, menyapa candraku.

"Mmmmmhhh... Terserah kamu aja.."

Lily mendesah pelan, tertahan. Lengannya sedang bersilang di depan dada saat kupeluk. Kaosnya baru setengah tersingkap, kini berhenti dan menggantung di lehernya.

"Atau kau mau aku di sini dulu?" bisikku lembut di lehernya. Tanganku meremas bulatan besar di dadanya.

"Ahh, Nan.. kamu pulang aja dulu.. stop, Nan.. Ahh.."

Lily selalu tidak bisa menahan diri jika aku bermain di dadanya. Tetapi pagi ini benar-benar berbeda.

Lily membalik badannya ke arahku, menurunkan kembali ujung kaosnya menutupi tubuhnya yang terbuka, memegang wajahku di kedua pipi, mengecup bibirku singkat,

"Plis, kamu pulang dulu, Nan, mood-ku sedang gak baik.. ngerti yah.."

"Tentang Husna?" tanyaku hati-hati, menatap matanya.

"Jangan natap begitu, serem, tauk.." Lily mundur, duduk di tepi tempat tidurnya.

Kutarik kursi rias persegi dan duduk menghadap lurus ke arahnya.

"Ish, dibilangin jangan menatap kayak gitu.." Lily merengut manja.

"Hihi, emang kenapa? Mataku kenapa?" tanyaku tertawa.

"Kamu itu serakah bener yah, maunya dipuji mulu..."

"Maksudnya?" aku benar-benar tidak mengerti bagian ini.

"Iya, serakah.. kamu tahu, karakter wajah kamu itu ada di alis sama mata. Aku sudah pernah bilang, kan, dulu.." kata Lily.

"Kamu sudah tahu itu. Kamu sadar kalo kamu bisa mainin emosiku dengan tatapan matamu, malah sengaja-sengaja begitu..." lanjut Lily, masih manyun, nampak lucu sekali saat itu.

Aku tahu, percuma menginterupsi Lily saat sudah ngomel seperti itu. Terus terang, apa yang Lily katakan tentang komposisi wajahku adalah hal yang baru dan tidak pernah kusadari. Lily mungkin mengira pernah mengatakannya padaku, tetapi aku yakin ingatannya tersaru dengan hal lain. Aku punya ingatan yang cukup baik dan dapat diandalkan, buktinya, aku sanggup mengingat – dan menuliskan – kisah ini, hihi..

“...dan kamu tahu, aku gak bisa bicara kalo kamu sudah pasang muka serius begitu. Kamu tahu sekali itu, trus sengaja pasang mulu, biar liat aku kayak gini. Trus maksa aku ngomong biar aku muji..” ekspresi Lily semakin lucu, aku tidak bisa menahan tawaku.

Aku berhenti tertawa saat kulihat Lily menangis di sana. Terkejut, kuhampiri, duduk di sisinya, kupeluk tubuhnya.

“Hey, maafkan.. aku gak tahu kamu seserius itu tentang ini.. maaf, Li..”

Lily tiba-tiba menegakkan tubuh, mengusap air mata lalu pelan berkata. Kelak kuingat, Lily adalah salah satu wanita paling jujur dan paling terus-terang yang pernah kukenal.

“Nan, ini hanya pemicu. Aku harus jujur, untuk pertama kalinya aku cemburu. Aku sadar, banyak wanita di sekelilingmu, beberapa dengan jelas tertarik padamu. Aku tidak pernah cemburu pada mereka..”

“..tetapi berbeda jika itu Husna. Nan, sejauh apapun hubungan kalian sekarang, Husna selalu menjadi ancaman bagiku, jujur kuakui itu. Tanyakan pada semua pasangan, apa arti mantan bagi mereka, dan apa artinya juga bagi pasangannya. Mantan selalu menempati tempat tersendiri di hati, kamu gak bisa membantah itu..”

Bom-nya baru dijatuhkan beberapa detik kemudian..

“..ditambah kenyataan, bahwa kamu gak seterbuka itu padaku tentang Husna. Nanta, aku cewek, dan cewek mudah tahu saat dibohongi oleh cowok yang dia sayang. Selama ini aku yakin aku bukan seks pertama buat kamu. Mungkin itu Husna, mungkin cewek lain. Tapi masalahnya bukan itu..”

Aku tertegun. Aku tiba pada suatu momen langka, di mana lidahku tercekat, tidak mampu bicara.

“..kamu tahu masalahnya apa. Kan?”

Aku mengangguk pelan. Lily menatapku, meraih kembali wajahku, mengecup bibirku.

“Jangan bohongi aku lagi, Nan.. plis.. Setelah ini, aku mau ga ada bohong lagi..”

Aku mengangguk lagi.

Lily tersenyum. Senyum memahami, memaafkan. Betapa dewasa gadisku ini, memberi maaf pada apologi yang tidak kuucapkan. Permintaan maaf yang seharusnya kuucapkan..

“Kamu pulang dulu. Kita sama-sama perlu tenang, terutama aku. Lagipula, kita butuh jarak untuk bisa saling rindu..”

Lily terus tersenyum dan mengusap pipiku.

"Iya deh, sampai nanti sore.." kataku pada akhirnya.

Kukecup keningnya, dalam dan lama.

***

Sore setelah itu, Lily belum pulang. Tidak biasanya begitu, seingatku. Dari depan rumahnya - aku belum turun dari motorku ketika menyadari Lily belum di sana - kutelepon dia.

Beberapa kali berdering, Lily tidak mengangkatnya. Beberapa menit yang terasa berjam-jam, aku menunggu telepon balasan yang tidak kunjung datang.

Lalu dengan iseng, sambil menunggu kabar Lily kukirim pesan pada Husna.

Nanta : Gimana emosi?
Husna : XD gak gimana-gimana, kak. Harus bisa terima
Nanta : Persiapkan diri lebih baik
Husna : Iya, kak. Sekarang sih masih suka tiba-tiba nangis
Nanta : :) itu biasa. asal gak keterusan aja
Husna : Iya, kak.. ini lagi nenangin diri
Nanta : Hoo.. lagi bersemedi toh.. di gua mana? :D
Husna : Ish, bukan di gua, kak, di rumah kak Hajrah aja ini
Nanta : :D kalo di situ ada juga jadi sibuk jagain ponakan
Husna : Iya sih, kak, tapi lumayan ngalihin pikiran

Nama Lily muncul di layar, telepon yang kutunggu

"Hey, kamu di mana?" Lily bertanya.

"Di depan rumah kamu, nunggu. Kamu balik jam berapa?"

"Duh, Nan, aku ga nginap di rumah malam ini. Aku jadinya ke rumah Oom, ada acara besok di sini, jadi mesti bantu-bantu.." Lily berbicara cepat. Samar kudengar suara keramaian di latar belakang.

"Kamu kalo mau tidur di rumah masuk saja, pagi-pagi aku pulang kok, tapi siang mesti ke sini lagi.." lanjut Lily.

"Iya, kalo gitu besok aja aku ke sini lagi. No big deal." kataku pelan.

"Maaf, ya, Nan. Besok aku janji temenin kamu seharian, eh, semalaman ding, haha.." Lily tertawa. Belum apa-apa aku sudah rindu padanya.

"Oke.."

Telepon ditutup. Sesuatu berubah, aku tak tahu itu apa.

Kulirik kembali layar ponselku, kedip indikator pesan masuk.

Husna : Listrik lagi mati, kak.
Nanta : :D gpapa, orang jaman dulu juga tetap hidup tanpa listrik
Husna : Tapi kan ada temannya. Husna lagi sendirian. Kak Hajrah ke nikahan keluarga di luar kota.
Nanta : Cocok, kan mau bersemedi :)
Husna : Hihi, iya sih. yaudah, adek semedi dulu

Kunyalakan motorku. Mungkin sebaiknya aku ke kampus. Sejak bersama Lily, malam-malam hampir selalu kuhabiskan bersamanya. Sudah jarang sekali aku menengok sekretariatku di malam hari. Kupacu motorku membelah Makassar.

Di traffic light tengah kota, kurasakan ponselku bergetar singkat. Kubuka pesan yang masuk, dari Husna.

"Kak, temenin gih.. mati listriknya kayak lama..."

Semestinya pesan itu kuabaikan saja..

***

Nubi jemput bokin di gym dulu, para suhu dan mastah..

Sekali lagi, sengaja dipenggal demi pesannya..

Semoga terhibur, suhu sekalian..
 
Terakhir diubah:
Romansa masa kuliah...,,
hubungan cinta mendalam tanpa ikrar cinta..
Tatap mata dan senyum menggantikan sejuta kata kasih dan cinta...
Real storyx benar2 bikin iri cappo...
Punna nakke qu alle ngasengki husna siagang lily..

Hehehe munua tu indo kule
 
Update 15


***


“Ahhh.. Kak, Oooouuuuuhhh..” Husna mengerang, kukunya menggores punggungku.

Pinggulku terus bergerak, naik, turun, menekan, menarik, cepat, mendesak, tanpa jiwa.

“Terus, kak, terus.. Aaahhhh.. Ahhhh..”

Husna mereguk gairah yang sekian lama tertunda. Ini bukan cinta, kami berdua menyadarinya. Hanya pelampiasan atas sesuatu yang terasa belum selesai.


***


Kak, temenin gih.. mati listriknya kayak lama..

Kupacu motorku lebih cepat, berusaha mengabaikan dengung kecil dalam otakku yang menggoda menjawab dini. Kubayangkan wajah Lily, berharap dapat mengusir semua kemungkinan yang dapat terjadi di balik ini.

Hey, Nanta lale? Kemungkinan apa sih yang kau pikir dapat terjadi? Husna hanya butuh teman mengobrol, kan? Kau dan dia punya kekasih, sekarang. Ayolah, jangan ke-geer-an.

Mantan selalu menempati tempat tersendiri di hati, kamu gak bisa membantah itu..

Terdengar suara Lily di sela raungan mesin dan derum knalpot.

Kak, temenin gih.. mati listriknya kayak lama..

Teringat sikap Lily yang - mungkin - menghindariku sore ini. Suaranya yang berusaha menenangkanku, meyakinkanku bahwa pembicaraan tadi pagi bukan masalah besar untuk hubungan kami. Tetapi aku tahu, sesuatu sudah mengisi celah kosong yang kubuat di kepalanya. Sesuatu bernama ragu.

Duh, Nan, aku ga nginap di rumah malam ini..

Motorku berbelok ke kiri di tikungan sebelum sebuah monumen berbentuk piala. Kutelusuri lapangan tenis, pasar tradisional, bergerak dengan ragu di sebuah jalan lurus yang sepi. Menuju sebuah tempat yang sama sekali berbeda dengan tujuanku semula. Kulewati pos sekuriti, dengan papan besar bertuliskan “Bukit Baruga.”

temenin gih.. mati listriknya kayak lama..

Kuparkir motorku di naungan kanopi. Posisi yang sama saat terakhir kali aku ke rumah ini. Rumah Kak Hajrah terlihat sepi, hanya pendar cahaya lilin yang memainkan cahaya di tirai jendela, yang membuat aku tahu Husna di dalam sana.

Aku bergerak ke pintu samping, lalu surut. Tidak, sebaiknya aku masuk lewat depan. Aku kini datang untuk menemani seorang teman yang sedang takut sendirian. Datang untuk mengobrol, tentang hasil ujiannya yang tidak sesuai harapan.

temenin gih.. mati listriknya kayak lama..

Kupencet bel. Husna berlari kecil membuka pintu. Dia tidak mengenakan kerudung. Matanya masih sedikit sembab. Husna melangkah mundur saat aku melangkah masuk dan menutup pintu di belakangku. Dalam diam, kami melangkah ke dalam, melewati ruang tamu pertama, ruang tamu kedua, berbelok ke ruang keluarga.

Husna terus berjalan ke arah sofa, aku berdiri tertegun di ambang pintu.

Yang begini, kan, yang Kak Nanta suka?

Desah itu, tempat ini.

Jangan bohongi aku lagi, Nan.. plis..

…aku ga nginap di rumah malam ini..

Husna membalik badan, melihatku yang masih berdiri di ambang pintu. Mata kami beradu,

Memangnya harus dua minggu? Sesorean ini tidak cukup?

Husna menatapku, wajahnya menerawang seolah menembus ke belakang kepalaku. Seperti tidak sadar, Husna melangkah mendekat, aku tertegun, wajah bloon-ku pasti terpampang sesaat,

Jangan suka pasang tampang bloon begitu, ih...

Suara Lily.

Seandainya bisa, berenang, tapi di tempat yang berdua saja..

Bibir Husna. Napas kami.

Jangan bohongi aku lagi, Nan.. plis..

Aku selalu ingat saat ini, saat paling bodoh dalam hidupku.

Lengan Husna melingkar, menekan wajahku ke arahnya, menarikku ke dalam dirinya. Bibir kami beradu, perlahan, rindu, lalu sebelah kaki Husna terangkat ke pinggangku, kutopang pinggulnya dengan sebelah tanganku. Gerak kaki Husna menarik picu pada diriku, aku lepas pada gairah yang kutahu bukan lagi milikku.

Kututup candraku dari semua suara. Semua. Bahkan dari suara Husna yang terengah mendesah dalam gairahnya. Seperti gila, kuangkat tubuh Husna, kuangkat dan kuhempaskan di sofa. Kutarik lepas semua kain yang melekat di tubuhnya, di tubuhku. Lalu melontarkan diri jatuh, menggila, memeluk-tindih tubuhnya.

Husna menyambutku dengan liar, memeluk, meremas, menciumi dan menggigit semua yang dapat dijangkaunya. Kami bergulingan, bertindihan. Sofa, tepi, lalu karpet tebal di lantai. Tangan Husna menjangkau, menggenggam ujung tubuhku, mengelus dan mengarahkannya dengan tepat, ke ambang pintu yang sudah terkuak menunggu.

Semua bergerak seperti gerak dipercepat. Dingin, tanpa rasa. Suara sekitarku tetap hilang. Tidak kudengar desah dan rintih Husna, - yang pasti ada, dariku juga - tidak ada kenikmatan seperti yang dulu kuburu, setiap kali tubuh kami menyatu.

Kami bercinta tanpa cinta. Lalu lepas, dalam semburan respon alami ujung kejantananku di dalam tubuhnya. Aku sampai juga, Husna belum sedikitpun di sana.

Kesadaran perlahan menguasaiku. Suara mulai terdengar lagi, pelan, lalu perlahan menjadi jelas.

“Ahhh.. Kak, Oooouuuuuhhh..” Husna mengerang, kukunya menggores punggungku.

Tubuhnya terus bergerak, mendorong tinggi, memaksa pinggulku ikut bergerak, naik, turun, menekan, menarik, cepat, mendesak, tanpa jiwa. Aku tahu Husna menikmatinya, menuntut dituntun tiba di tempat yang lebih dulu kucapai.

“Terus, kak, terus.. Aaahhhh.. Ahhhh..”

Husna mereguk gairah yang sekian lama tertunda. Ini bukan cinta, kami berdua menyadarinya. Hanya pelampiasan atas sesuatu yang terasa belum selesai.

Kuteruskan gerak tubuhku, memompa tubuh Husna. Wajahku terbenam di bahunya, terlalu takut mengangkat muka dan melihat wajah lain di sana.

Husna mengejang, tubuhnya melengkung, menjerit keras, saat orgasme mendera di seluruh sel tubuhnya.

“Aaaaaaaahhh, Kak.. Aaaaaaaahhhhh..”


***


Listrik belum menyala juga. Rasa sesal merayap di benakku. Kuusir dengan cepat. Aku lelaki, pandangangku harus selalu ke depan. Kami meredakan napas yang memburu. Pertarungan singkat satu babak itu selesai dengan cepat. Lima menit, sepuluh, dua puluh lima, entahlah, mungkin satu jam berlalu dalam diam. Kami masih berpelukan dan bertindihan. Tubuhku layu di dalam tubuh Husna, lalu terlepas sendiri, diikuti lepasnya pelukan kami.

“Kak, kenapa pergi?”

Husna berbaring telungkup di sampingku. Beberapa menit kembali berlalu dalam bisu.

“Memang adek lebih dulu berpaling, tapi Kak Nanta tahu, kak Nanta yang lebih dulu ninggalin adek..”

Kutolehkan wajah ke arahnya. Wajah Husna datar, tidak ada tuduhan dan sikap menyalahkan di sana. Husna bertumpu pada siku, kedua tangannya menopang pipinya yang bersih. Dia cantik..

“Kakak tidak pernah benar-benar tahu, dek. Penjelasan paling mungkin adalah karena kakak jatuh cinta lagi, pada wanita lain..” perlahan aku bicara, untuk pertama kalinya, sejak menjejakkan kaki di rumahnya sedari tadi.

Raut muka Husna tidak pernah berubah saat aku bicara. Kumulai cerita tentang pertemuanku dengan Lily, tanpa menyebutkan nama. Husna mendengarkan, sesekali tersenyum, membuatku bingung. Tiba-tiba Husna memotong ceritaku,

“Bauk Ananta Pancaroba. Putra ketiga Haji Andi Bauk Mappalewu. Alumni SMA Negeri **. Lahir di Kota S******, 13 Mei 1984. Kuliah di Jurusan Fisika, program studi pendidikan. Penyuka warna hitam. Gelandang kiri PS Gadjamada. Coffeeholic, kutu buku, mata minus sebelah, tapi ogah pake kacamata.”

Aku tertegun, terdiam sesaat. Lalu Husna melanjutkan,

“Coba Kak Nanta jelaskan diri adek dengan cara yang sama..” Husna bertanya tenang, tersenyum simpul.

Aku terdiam, seketika memasuki lagi momen langka yang kaku, gagu.

“Kakak sebenarnya bukan “pergi” ninggalin adek. Yang tepat adalah Kak Nanta “tidak pernah benar-benar “di sini”,”

“Adek sekarang sadar, perasaan Kak Nanta ke adek tidak sedalam yang adek rasa. Dan adek sekarang tahu, Kakak baru mulai menyadarinya saat ketemu dengan cewek lain itu..”

Mataku tidak lepas dari mata Husna, saat dia terus berbicara,

“Mungkin karena itu juga akhirnya adek mau menanggapi pendekatan Kak Raja. Cewek itu kayak cermin, kak, selalu berusaha mencintai cowok yang cintanya lebih besar terhadapnya.”

Perlahan Husna beringsut mendekatiku, tangannya terulur membelai wajahku,

“Adek gapapa, kok, Kak. Lebih baik begini. Kak Nanta juga sudah bahagia, kan, dengan yang sekarang?”

Aku tersenyum, Husna balas tersenyum.

“Raja baik sama adek?” tanyaku, memutar badan menghadapnya.

“Hihi, iya dong.. Perhatian banget. Cemburuan sih, tapi adek suka,”

Kami bercakap santai setelah itu. Husna dan aku seolah tidak menyadari, kami masih sama-sama bugil. Seolah tidak ingat, kami baru saja bersetubuh di sana, persis di tempat kami saat itu sedang berbaring dan bicara.

Kami bercanda, membahas banyak hal, tetapi tetap berhati-hati saat menyinggung hubungan satu sama lain.

Sampai saat keingintahuan Husna memenangkan diri, membuatnya hati-hati bertanya,

“Ng, Kak.. Kakak sama ceweknya.. Ng, pernah.. Pernah ML?”

Saat itu kami berdua berbaring telentang, memandangi lampu yang masih juga padam. Aku tidak menjawab. Husna mencubit pinggangku. Aku tertawa.

“Ih, pake rahasia segala, jawab gak? Kakak pernah ML kan, sama pacarnya yang sekarang?”

Aku masih tersenyum diam, kugerakkan tanganku melintasi bibirku, memberi isyarat seolah sedang menutup zipper. “Rahasia,” maksudku.

Husna bangkit tertawa dengan gemas, duduk menindihku, mencubiti pinggangku,

“Jawab gak?” kami tertawa bersama.

Husna menggeser posisi duduknya di atasku. Memposisikan kemaluannya menghimpit penisku,

“Kalo gak jawab, adek bikin Kak Nanta konak, nih, trus kutinggalin, hihi..”

Husna mulai menggerakkan pinggulnya, menggesekkan area vaginanya ke batang penisku yang masih terkulai lemas. Aku masih tersenyum, bibirku terkatup rapat, membiarkannya terus berusaha. Husna sedang bermain seolah menginterogasiku. Sebuah permainan yang berbahaya.

“Jawab gak?”

Husna tersenyum nakal, kedua tangannya lalu bergerak menarik tanganku ke atas. Menekan pergelanganku di atas kepala, seperti sedang memborgol. Pinggulnya bergerak cepat, menimbulkan suara becek, saat cairan pelumas mulai merembes dari vaginanya.

“Adek bikin kak Nanta konak habis, pokoknya, trus adek tinggal ke kamar, trus adek kunci dari dalam. Biar tau rasa, hihi..”

Perlahan penisku mulai mengeras. Gerakan pinggulnya mungkin tidak seberapa, tetapi payudaranya yang membulat menggantung di depan matakulah yang menggoda. Buah dada yang besarnya sedang, tetapi membulat sempurna.

“Hayoo.. ada yang mulai matojo tuh, hihi..” Husna terkikik sendiri saat dirasakannya kedut di batangku yang mulai ereksi.

“Ngaku gak? Pasti pernah, kan?”

Gerak pinggul Husna semakin cepat, seiring vaginanya yang semakin basah. Lalu tiba-tiba,

“Aaahhh..”

Husna mendesah tanpa sadar. Percobaannya membuatku terangsang ternyata lebih dulu berdampak pada dirinya. Husna seperti baru saja tersadar akan suara desah yang terlontar. Pipinya bersemu merah. Wajahnya dipalingkan, berusaha menyembunyikan jengah. Tetapi pinggulnya tidak kunjung berhenti bergerak. Aku tahu, Husna terhanyut dalam arus yang dibuatnya sendiri.

Desah Husna barusan seperti percik api yang menyentuh bahan bakar yang sudah tumpah meruah di dalam diriku.

Kuangkat kepalaku, kutegakkan leherku menyambar buah dadanya yang tergantung rendah di depan wajahku.

“Ahhhh.. Kak.. Ngaku dulu.. Ahhhh.. Kakak jawab dulu..”

“Jawab apa?” kataku di sela kulumanku di putting susunya.

“Jawab, pokoknyaa.. Aaahhh..”

“Apa tadi pertanyaannya?” kataku menggoda.

Husna kehilangan kendali. Percakapan tadi sudah terhapus dari benaknya yang kini dipenuhi nafsu birahi. Stimulus yang diberikannya memakan tubuhnya sendiri.

“Aaaahhh.. Kak..”

Aku berguling, tubuh Husna menggeliat saat kugantikan posisinya yang mendominasi. Kutindih tubuhnya. Husna secara naluriah melebarkan paha, menyambut kerasnya penisku tepat di tengahnya.

Dengan sekali hentakan, batang kejantananku menerobos liang senggamanya yang basah.

“Adek beneran mau tahu, apa kakak pernah begini sama pacar kakak sekarang?”

“Ouuuuhh.. Iya, kak.. Aaaahhh.. Aouuuhhh..”

“Sering, selalu, hampir setiap malam..” jawabku pelan, mulai bergerak memompa dengan perlahan. Mataku terus menatap wajahnya, berusaha menangkap pandangan yang terus dipalingkannya.

Husna memekik, memejamkan mata. Aku masih belum puas menggodanya. Kuatur ritme tusukanku, dengan pola yang kuingat sangat disukainya. Kugerakkan pinggulku sesekali memutar, membuat seluruh daerah di dalam vaginanya tidak luput oleh sentuhanku.

“Aaaaaaahhh.. Ahhhhh.. Sudah, kak, keluarin.. Ahhhh..” tangan Husna mendorong bahuku, tanpa tenaga.

“Adek sama pacar yang sekarang juga pernah?” tanyaku, membalikkan permainannya.

“Aaaahh.. Iyaaa, kak.. Aaaahhh.. Pernahhh.. Ouuuhh..”

“Sering?”

“Ahhhhh.. Kak, terus, kak.. Aaaahh..”

“Ih, sering gak?” kusodok lebih dalam.

“Ouuhhhh.. Iya, kak, sering.. Ahhh..”

Husna tidak tahan lagi. Diraihnya tubuhku, dipeluk erat. Bahuku digigitnya, melampiaskan rasa nikmat yang mendera area genitalnya.

Aku terus memompa, sebelah tanganku meremas buah dadanya, memilin-milin putting susunya. Husna terus menjerit, mendesah, menggigit dan mencakari punggungku.

“Aaaaahhhh..”

Desah panjang keluar dari bibir Husna, juga dariku. Untuk pertama kalinya, kurasakan nikmat yang berbeda, ketika orgasme dicapai bersama.

Sebut aku gila. Tetapi membahas hubungan kami masing-masing saat bersenggama sekali itu, membangkitkan gairah yang aneh dalam diriku. Sebuah pengalaman baru.


***


Ketika terbangun kemudian, kurasakan dingin yang menusuk. Kulirik jam, pukul dua dini hari. Listrik sudah pulih kembali. Kuraih pakaianku, kukenakan satu persatu.

Husna meringkuk di kaki sofa, tidak jauh dari posisiku. Kuangkat tubuhnya dengan hati-hati, kugendong ke kamar di lantai dua. Kubetulkan selimut menutupi tubuhnya yang telanjang. Sekilas mata Husna terbuka, kubisikkan pamitku perlahan.

Kukecup keningnya,

“Kakak pergi ya..”

Sebuah kata perpisahan, yang lebih dari sekadar pamitan.


***


Aku dan Husna benar-benar tidak berkabar lagi semenjak itu. Sampai pada suatu hari, beberapa minggu setelahnya, saat Husna menelepon di tengah malam, mengabarkan kehamilannya..


***


Apakah kehamilan Husna adalah kesalahan nubi?

Semoga suhu sekalian masih sudi membaca update selanjutnya..

Dan semoga terus terhibur, suhu sekalian….
 
Terakhir diubah:
Romansa masa kuliah...,,
hubungan cinta mendalam tanpa ikrar cinta..
Tatap mata dan senyum menggantikan sejuta kata kasih dan cinta...
Real storyx benar2 bikin iri cappo...
Punna nakke qu alle ngasengki husna siagang lily..

Hehehe munua tu indo kule


Duh, cappo' ini seorang pujangga, ternyata...

Jangan iri, cappo', belum tentu ini bahagia.. haha..
 
Suhu semakin pintar mengolah kentang. Hahaha... just kidding man. Saya gak gitu peduli soal kentang. Semua itu terhapuskan dgn kepintaran suhu memainkan kata dlm goresan yg katanya lempeng & datar. Menjadikan goresan itu membumbung begitu tinggi melayang di awan. Makin.mendekati akhir, terasa makin indah & alami. Runut. Keep update suhu. Tak ada lg kata yg akan di gores utk memuji karna ceritanya dah level dewa nih. Amazingggggg.....
 
penyelesain konflik husna dan nanta beneran ajib,,
husna terlihat lebih dewasa daripada nanta..

liliy cepet pulang.... miss u..

tks buat update nya suhu :mantap: :jempol:
 
haduhhhh apdetnya bikin makin penasaran@@!@!@
 
“Bauk Ananta Pancaroba. Putra ketiga Haji Andi Bauk Mappalewu. Alumni SMA Negeri **. Lahir di Kota S******, 13 Mei 1984. Kuliah di Jurusan Fisika, program studi pendidikan. Penyuka warna hitam. Gelandang kiri PS Gadjamada. Coffeeholic, kutu buku, mata minus sebelah, tapi ogah pake kacamata.”


Suhu Little, apakah kata2 ini adalah murni ucapan Husna atau dramatisir cerita saja..???

Bila murni, kasihan Husna yaa cintanya yg besar bertepuk sebelah tangan...hikz.hikz

Semoga akhir cerita ini indah...
Terus berkarya Suhu...
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd