Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT Husna dan Lily

Update 11

***

Berlalu sepekan sejak insiden mimisan itu. Kejadian yang menegaskan bahwa aku dan Lily sudah merasa saling memiliki.

Aku tidak jadi melanjutkan malam bersama Lily pada saat itu, sebab teringat motorku yang masih kuparkir serampangan di tepi lapangan sepakbola. Dengan enggan saat itu kami melepas diri masing-masing.

Kedekatan kami yang memang sudah terjalin sebelumnya terasa semakin rapat. Kami selalu saling mencari di keramaian kegiatan, dan saling merindukan jika tidak bertemu.

Aku dan Lily saling terbuka. Tentang perasaan dan kesibukan, tentang stress dan kegemaran. Kami tidak pernah menutupi pada saat kami marah satu sama lain, hal yang membuat kami bisa membahasnya sampai tuntas dan tidak jadi ganjalan lagi. Semua orang melihat kami sebagai dua orang sahabat, tidak ada yang mengira bahwa kami saat ini sudah lebih dari itu.

Teman-teman kami di lembaga tidak melihat hubungan kami sebagai sesuatu yang istimewa, sebab - di depan mereka - aku tetap berlaku sebagaimana aku yang biasa, cagur yang kekanakan dan jauh dari sikap dewasa. Hal ini membuat mereka tidak bisa membayangkan bahwa aku sekarang adalah pria Lily, si cantik dewasa yang jadi idola di sana. Terlebih karena hampir semuanya tahu bahwa umur Lily dua tahun lebih tua.

Demikian juga yang kami lakonkan di lingkungan tempat tinggal dan pengajian. Masing-masing kami dikenal sebagai persona yang masih sendiri. Terlebih ketika teman-temanku sudah tahu semua, bahwa aku dan Husna tidak lagi bersama. Hal ini membuat Lily masih saja ada yang mendekati, terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Hal yang demikian pun tidak kami tutupi satu sama lain.

Kami merasa - lebih tepatnya mengira - bahwa membahas semua hal yang terjadi adalah sehat dan bermanfaat. Tetapi ternyata justru ini yang kemudian menjadi cobaan yang tidak dapat ditanggung oleh hubungan kami...

***

Aku semakin sering berkunjung ke rumah Lily pada sore hari. Kami kemudian menghabiskan waktu bersama sampai larut malam, menonton dvd-sewaan sambil berpelukan, atau sekedar mengobrol di teras samping menghadap taman. Apapun itu, semua selalu berlanjut pada satu hal; percumbuan.

Lily selalu suka dicumbui kapan saja kami berduaan. Dia hanya memberi satu syarat; asalkan tidak ada orang lain yang melihat. Dia tidak pernah keberatan diganggu pada saat mencuci, memasak, menerima telepon atau bahkan jika sedang tidur. Lily akan langsung menyambut pelukan, sentuhan, ciuman dan remasanku dengan antusias, walaupun sedikit kaku. Tetapi Lily belum pernah mengijinkanku menyentuh daerahnya yang paling intim.

Setiap kali kucoba merabanya di sela paha, Lily akan menghindar dengan manis. Merapatkan kaki, menepis tangan, mencubit, atau bahkan berlari sambil tertawa. Dia belum ingin merasakan disentuh di sana, tetapi itu malah membuatku penasaran, semakin ingin mencobanya.

Berbeda dengan imajinya sehari-hari, Lily adalah gadis yang manja. Hal ini nampak jika kami sedang berdua saja. Jika aku sedang duduk di kursi panjang, Lily akan berbaring dengan berbantal pangkuan. Jika aku duduk di lantai, dia akan duduk bergelung di antara kedua kakiku, meringkuk di hangatnya pelukanku. Dia senang merajuk, dan jika begitu aku yang harus membujuk. Sikap kami satu sama lain saat sedang berdua saja, sangat bertolak belakang dengan apa yang kami tampilkan sehari-harinya.

***

Lily sedang menyiram tanaman di taman samping sore itu, ketika aku datang bertamu. Ayahnya - seperti biasa - sedang ke luar kota, mengurus usaha perkebunannya di utara. Lily mengenakan pakaian rumahannya, kaos belel dengan bawahan celana katun pendek setengah paha.

Taman samping ini tidak terlihat dari luar rumah. Dibuat di sepetak tanah kecil di beranda bagian dalam, berbatasan langsung dengan pagar tembok tetangga. Kita harus masuk ke ruang tamu, berbelok ke ruang keluarga/ ruang teve, kemudian keluar ke beranda samping, untuk dapat melihat taman ini.

Sambil menunggu Lily selesai dengan kegiatan sorenya, aku duduk di beranda mengamatinya. Kuamati rambutnya yang sebahu, digelung dan dijepit di belakang kepalanya, menampakkan tengkuk dan lehernya yang putih bersih. Keringat membasahi pelipis dan lehernya, menimbulkan noda air di kerah kaosnya. Sedikit turun, dadanya nampak membusung, seperti terbelenggu oleh kaos abu-abu yang membungkusnya. Lekukan dadanya bermuara ke perutnya yang rata, dibalas dengan lekukan lain di bagian belakang tubuhnya. Pinggul Lily mungkin satu-satunya bagian tubuhnya yang langsung sesuai dengan seleraku, membulat kencang tetapi tidak melebar. Kutelan ludahku saat memandangi bulatan itu.

“Hey, apaan sih?” seruku saat Lily mengarahkan selangnya menciprati wajahku.

“Habis kamu ngliatin begitu, dasar otak ngeres..”

“Haha.. ngliatin apa salahnya.. kayak ga suka aja..”

“Serem, tauk..” Lily membereskan selang, mematikan keran, lalu berjalan ke arahku.

Aku duduk di kursi malas kepunyaan Pak Umar, ayah Lily. Kursi berbahan beludru berwarna merah dengan isian empuk yang membuat badanku bersandar terpuruk. Lily melewatiku ke arah dapur, lalu muncul kembali dan duduk menyamping di pangkuanku. Kepalanya direbahkan, bersandar di bahuku. Kakinya disampirkan di lengan kursi.

“Ih, mepet-mepet, keringatan gini juga..” kataku seolah keberatan.

“Biarin, weee..” katanya manja, memeluk leherku.

“Aku ada dvd baru tuh, nonton yo’..” ajakku.

Kami berdua senang menonton film. Walaupun genre film yang kami sukai berbeda, kami tetap menonton bersama, terkadang berdiskusi setelahnya.

“Ada film apa, memangnya?”

“Final Destination 5, trus ada lagi tuh, filmnya Gerard Butler, tapi lupa judulnya,”

“Ok, yuk..” jawab Lily. Tetapi tidak beranjak dari pangkuanku, bahkan tidak mengangkat wajah dari bahu dan leherku.

“Woi, “yuk” kok nda bergerak?” kucolek pinggangnya. Lily menggeliat.

“Nnngggg.. gendongin..” dia bermanja, mengeratkan gelayutnya di leherku.

“Ogah ah, berat..” kataku.

“Ih, fisik ih, kamu.. gigit nih..” Lily menggigit leherku, ringan, lalu mengecupnya berulang-ulang, seperti tidak tega. Dia tidak sadar, kecupannya di situ bisa membangkitkan sesuatu.

Kami tidak jadi beranjak ke dalam. Kubiarkan Lily sibuk dengan leher dan pipiku, yang diciuminya berganti-ganti, dengan telapak tangannya mengelus pipiku dan ibu jarinya di daguku. Kuturunkan tanganku ke pahanya, mengelus jenjang kaki atasnya itu dengan lembut. Kain celananya yang longgar tersingkap karena posisi duduknya, semakin menampakkan kulitnya yang putih.

Dengan telapak tangan, ditariknya wajahku menghadapnya, lalu bibirku dikecupnya. Ciuman kami selalu dimulai dengan pertemuan lidah di sela bibir, panas dan basah. Kepalanya sedikit dimiringkan, bibir kami menyatu dengan rapat, saling melumat, menggelitik, menyenangkan.

Tanganku menyusuri garis pahanya sebelah luar, mengelus setengah meremas. Kugerakkan perlahan, jemariku menemukan ujung pipa celananya, menyusup ke celahnya, lalu dengan lembut menangkup bulatan empuk buah pantatnya.

Ciuman kami semakin panas. Lily memeluk leherku erat, menarik wajahku mendekat, seolah ingin menyatukan diri. Tubuhnya menggeliat, seiring penyatuan oral kami, dan gerak tanganku yang meremas pantatnya dengan lembut.

“Mmmmmmmmhh.. Mmmmhh..”

Ketika ciuman membuat gadismu mendesah lirih, kau sudah membawanya menapaki anak terbawah tangga birahi.

Geliat tubuh Lily membuat posisi duduknya bergerak menggeser kejantananku. Sentuhan empuk pinggul Lily yang duduk tepat di atasnya membuatnya perlahan-lahan mengeras. Kupindahkan tanganku ke pinggangnya yang ramping, menyusup ke balik kaos, bergerak mantap menuju gundukan bulat besar payudaranya. Bulatan besar yang nampak sesak, mendesak seperti hendak meledak.


“Harusnya kamu jangan pakai bra..” bisikku di sela ciuman.

“Mmmmmhhh.. mana aku tahu kamu mau datang.. Mmmmmhh.. Mmmmmmhhh..” jawabnya terus lena dalam cumbuannya.

Tanganku berputar ke punggungnya, meninggalkan sejenak sepasang bola kelenjar di dada Lily, melepas kait bra, lalu menyusup ke depan kembali.

Suhu sekalian, gravitasi adalah musuh dari buah dada yang besar alami. Bobot massa payudara tanpa implan, akan selalu menariknya ke bawah, membuatnya tidak membusung seperti milik para bintang film semi. Tidak terkecuali payudara Lily.

Tanpa bra yang memegang, buah dada Lily yang besar tidak lagi mengacung tegang. Posisinya sedikit menggantung, tetapi tidak - atau belum? - ngondoy. Maka demi tubuh indah pasangan, suhu sekalian, perlakukanlah dengan lembut. Keindahan tubuh pasangan juga bergantung pada cara pria memperlakukannya. Jangan hanya mau nikmatnya, haha..

Lily menengadah menikmati saat jari-jariku mulai mempermainkan puting susunya di balik baju. Tanganku yang satu lagi tidak mau ketinggalan, kususupkan mengikuti, meremas sebelah payudaranya yang lain. Ciumanku beralih ke lehernya yang terbuka. Beberapa helai rambut Lily terurai di tengkuknya, melekat oleh peluhnya.

“Aaaaaahhhh.. Nanta.. dibuka aja.. Mmmmhhhh..” Lily meminta.

Lily menegakkan tubuh, memberiku kesempatan menyingkap kaos dan branya ke atas. Aku bukan pria yang sabar menunggu. Tidak suka dengan prosesi buka pakaian satu-satu. Maka kutarik Lily berdiri, susunya berguncang saat tubuhnya bergerak, kuikuti dengan berjongkok di depannya, menarik lepas celana kainnya, dalam satu gerakan, bersama celana dalamnya.

Tubuh Lily terbuka sepenuhnya, polos di hadapanku. Refleks, Lily mundur dan duduk di kursi yang kutinggalkan tadi, tangannya menangkup di selangkangan, menutup areanya yang paling pribadi.

Setengah membungkuk, kuserang kembali bibirnya. Kulumat perlahan, sambil melepas kaosku sendiri. Bertelanjang dada, kutarik kedua lengannya agar melingkar di leherku, kembali menekuni bibir masing-masing dalam ciuman, berpelukan.

Sinar matahari senja menerobos dari celah sempit di antara atap beranda dengan pagar tetangga. Terus melarik, menyinari kulit Lily yang berkeringat, memberi aksen jingga.

Sambil terus membungkuk mencium bibirnya - aku masih bertelanjang dada - kucondongkan tubuh, membuat Lily rebah bersandar. Kedua lengannya masih melingkar di leherku. Perlahan, tanpa melihat, kuarahkan tanganku ke bawah, meraba celah lembab di selangkangannya.

“Mmmmmmhh.. Aaaaaahh.. Aaahhh.. Nantaaa..” Lily sejenak melepaskan pagutannya di bibirku. Kakinya dirapatkan, seolah enggan diraba di sana.

Kutarik sejenak tanganku, kuturunkan badanku berjongkok di depannya, kupindahkan ciuman ke puting susunya. Lily kian erat memelukku, merintih kenikmatan, saat aku mulai menyusu di kedua belah payudaranya.

“Aaaaaahhhhh.. Pelan, Nanta.. Ahhhh..”

Tanganku kembali beraksi. Kali ini kutarik kedua lututnya membuka, kuangkat dan kusampirkan di sandaran lengan kursi. Posisi ini membuat badan Lily terpuruk ke belakang, tubuhnya rebah setengah berbaring. Kedua lengannya masih melingkar di leherku, memelukku yang tengah mencumbu puting susunya.

Kedua kakinya yang terentang membuka membuat kemaluannya menjadi tidak tertutup lagi. Dalam posisi seperti ini, Lily tidak bisa menghindar lagi.

Perlahan, tanpa membuat gerakan yang tiba-tiba, kuturunkan ciumanku, inci demi inci. Dari dadanya, menyusuri perutnya yang rata. Berbelok ke samping di pangkal pahanya, lalu mendadak ke tengah, tepat di tengah vaginanya..

“Uugghhhh.. Nantaaa.. Jangann.. Uuuugggghhh..” Lily tersentak, saat bibirku melumat bibir vaginanya.

Jarinya berusaha menarik wajahku menjauh dari sana. Tetapi posisi duduknya yang setengah rebah, dengan kaki mengangkang dan tersampir di sandaran kursi membuatnya tidak punya tempat bertumpu. Lily hanya bisa menjerit, saat lidahku mulai menjelajahi organ kewanitaannya.

“Ooooouuuggghhh.. Nant, Aaaahhhh.. Nantaaaa.. Jangan.. Aaaaaahhh..”

Jerit kecilnya membuatku semakin bersemangat. Vagina Lily berbeda, cairan pelumasnya sangat bening, tanpa warna. Tidak tercium aroma khas yang dulu kudapati pada Husna. Vagina Lily tidak berbau, bahkan samar-samar dapat kucium aroma wangi. Belakangan kutahu, itu aroma sabun manjakani.

Kutekuni belahan labia Lily dengan lidah. Bibir vagina Lily yang terbelah vertikal, membuat ilusi bibir wanita yang berbaring menyamping. Kumiringkan wajahku, kukecup dan kulumat seperti sedang berciuman.

“Aaaaaaaahhhh.. Nanta.. Sudahhhh.. Aaaaahhh..”

Kurasakan kekuatan penolakan di tangan Lily sudah hilang. Bahkan kedua tangannya kini bergerak mengusap pelipisku, walaupun bibirnya masih berkata jangan.

“Uuugghhhh.. Nanta..”

Kubenamkan wajahku dalam-dalam di belahan itu, menggodanya dengan menggeserkan hidungku. Lily semakin mendesah. Suaranya serak. Pinggulnya tanpa sadar bergerak menyambut sapuan lidahku di bawah sana.

“Mmmmmmmmhhhh.. Aaaaaaahhh.. Nantaaaaa.. Sudah, sayang..”

Lily memanggilku ‘sayang’, sebuah kemajuan baru. Kugerakkan wajahku sedikit ke atas, kutemukan tonjolan yang mencuat jelas. Klitoris Lily juga berbeda, saat ereksi, posisinya lebih kentara.

Kucucup tonjolan itu, dan efeknya mengejutkanku.

“Aaaaaaaaaahhhhhhh.. Nantaaaa.. Di situ.. Jangan.. Aaaaahh..”

Apakah maksud Lily, “jangan di situ” atau justru “di situ, jangan berhenti?”. Akh, persetan, kuteruskan..

Aku menggoda Lily habis-habisan. Kumainkan klitorisnya dengan bibir dan lidah bergantian. Sesekali kugigit perlahan.

Tanganku kuulurkan ke atas, menemukan wajahnya, mengelus pipinya. Sebelah tanganku bergerak, meremas payudaranya dengan keras, seperti pemanjat tebing yang mencari pegangan.

Lily menoleh ke arah tanganku di pipinya, bibirnya menemukan ibu jariku, mengecup lalu mulai mengulumnya. Naluri wanita. Kulumannya berganti gigitan, pelan, lalu berubah keras, saat tubuhnya mengejang. Pinggulnya terangkat tinggi, mendorong wajahku yang masih menempel di sana..

“Aaaaaaaaahhhhh.. Aaaaaaaahhhhhhh.. Nantaaaaaaaaa..”

Lily merintih panjang, saat orgasme membawa kesadarannya melayang..

***

Lily masih terbaring di posisinya, setengah badan tersampir di kursi, mengatur napas terengah. Aku bersimpuh di kaki kursi, membaringkan pipiku di sebelah pahanya yang kini terjulur ke depan menyentuh lantai. Sebelah kakinya yang lain masih tersangkut di sandaran lengan.

Perlahan Lily mengangkat tubuh, menurunkan kaki lalu duduk tegak. Diraihnya bajunya, dikenakannya langsung tanpa beha. Rambutnya yang terurai lepas digelungnya kembali.

Aku mengangkat wajah dari pahanya, lalu,

Plak! aku ditamparnya lagi, dengan pelan. Seperti biasa, tangannya tetap di pipiku, berubah menjadi elusan.

“Kamu tuh..” katanya memulai. Dipasangnya lagi ekspresinya yang galak.

“Apa?” tanyaku tersenyum.

Lily tidak jadi meneruskannya, dia hanya melengos, tidak bisa menahan senyum.

Aku berdiri, hendak melangkah ke dalam, saat tanganku ditariknya.

“Kamu gendong aku ke kamar, kakiku lemas nih, gara-gara kamu..”

“Baik, kakak..”

Plak! sebuah tamparan-elusan lagi, saat aku menunduk menggendongnya.

Kubopong tubuhnya ke Kamar. Kuletakkan lembut di ranjangnya. Lily langsung bergelung dalam selimut. Mungkin dia lelah, pikirku. Jadi kutinggalkan dia di kamarnya.

Aku kembali ke beranda, kutemukan bajuku di lantai. Kukenakan lalu berkeliling menyalakan lampu dan menutup pintu. Gelap mulai turun mengganti cahaya.

Aku kembali ke ruang tengah, berbaring di sofa. Kakiku agak kesemutan karena lama berjongkok tadi.

Ponselku berdering, pesan dari Lily;

Lily : Kamu di mana? Gih, cuci muka dulu!
Nant : Di sofa depan, iya iya..

Aku melangkah ke toilet luar. Setelah membersihkan muka, kuraih ponsel, sebuah pesan baru lagi. Kenapa tidak treak saja sih, dari dalam, pikirku.

Lily : Kamu nginap saja. Jagain aku..
Nant : iyaaa..

Beberapa menit kemudian,

Lily : mau jagain ga?
Nant : iya, ini kan lagi jagain..
Lily : jagain itu di sini, bukan di luar situ..

Aduhai, dewa kentang.. Aku benar-benar memujamu..

***

Semoga terhibur….
 
Terakhir diubah:
kentaaaaaanggg suhu...dimohon untuk dituntasin...masa kentang mlulu
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Foreplay yg bener2 mantab....

Tapi ane masih penasaran sama sihusna
Sampe ngilang tak berjejak..
 
wah, :kentang: lagi

Walaupun menarik, rasa-nya seperti kurang dalam detail romantis-nya dibanding chapter sebelumnya, atau mungkin tidak ada perkembangan/penambahan poin-poin romantisnya karena lebih banyak berfokus pada SS ya?
 
Asemb...
Baca ginian di kantor malah mumet.
Gak ada pelampiasan nih.
 
wah, :kentang: lagi

Walaupun menarik, rasa-nya seperti kurang dalam detail romantis-nya dibanding chapter sebelumnya, atau mungkin tidak ada perkembangan/penambahan poin-poin romantisnya karena lebih banyak berfokus pada SS ya?

Ahh.. suhu-pembaca seperti ini yang membuat nubi semangat melanjutkan cerita.

Suhu - seperti beberapa yang lainnya - bisa menebak dengan tepat apa yang nubi ingin sampaikan dalam advance organizer story pd update ini..

Ya, suhu, sore yang kami lalui dengan foreplay pada saat itu tidak ubahnya seperti moment2 berduaan kami selama seminggu sebelumnya. Lalu mengapa bagian ini yang nubi ceritakan pada update ini, dengan fokus pada SS, bukan percumbuan pada hari-hari sebelumnya, yang mungkin lebih banyak detail-detail romantisnya?

Di samping karena pada sore itu nubi berhasil "memperluas yurisdiksi," nubi menceritakan precisely moment ini karena menjadi pengantar untuk memahami kesulitan dan pelajaran yang nubi dapat sesaat setelahnya, yang sudah nubi tuliskan untuk update selanjutnya..
:)
 
Gak tau mo bilang apa lg, kecuali... Amazing suhu. Top of the top. Tulisan indah yg mengalir apa adanya. Romantis & terkadang puitis. Keep update ya. Selalu ditunggu lanjutannya.
 
Akhirnya selesai baca cerita ini
Bener2 cerita yang menarik & bikin ane berimajinasi dengan setiap adegannya
Mantap suhu, ditunggu lanjutan ceritanya
 
Bimabet
Nice one bro! Sastra nya jalan bener, jadi bukan sekadar cerita pelampiasan crot, tapi ane juga menikmati jalan cerita suhu dalam memaparkan detail detail pengalaman suhu!:D

bahasanya halus tapi menggairahkan, tidak vulgar namun erotis. Jadi penasaran rupa suhu husna dan liliy hehe

ane yang biasanya silent reader sampai tergerak pingin apresiasi karya suhu yang patut disandingkan sama novel2 di toko buku 😁
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd