Sebelum membaca, nubi sampaikan lebih dulu, dalam part ini juga belum ada fan-service....
***
Update 9
***
Aku sedang duduk di
venue kegiatan, mendengarkan musik lewat
headset ketika Lily menghampiriku. Kuangkat daguku, menyapanya dengan anggukan, tetap meneruskan keasyikanku. Lily menyapa beberapa teman, lalu duduk rapat di sampingku.
Beberapa menit - kusangka - Lily hanya duduk diam, sampai kemudian kurasakan ditariknya headset dari telingaku,
"...itu pacarmu, kan?"
Hanya ujung kalimat itu yang sempat kutangkap. Ternyata sedari tadi dia menanyakan sesuatu.
"Hah? Yang mana?" tanyaku terkejut.
Kumatikan pemutar musik di ponselku, lalu memutar pandangan, mencari orang yang - kukira - Lily maksudkan.
"Hey, aku tadi nanya. Waktu di Tanjung minggu lalu, aku lihat, kamu juga lihat, cewek yang jalan berdua sama cowok waktu itu. Itu pacarmu, kan? Anak Pak Haji?"
"Hoo.. kirain.. Iya, tepatnya mantan," kataku menggaruk-garuk kepala, nyengir.
"Mantan? Kalian putus, gitu? Hihi.. pantesan...." Lily cekikikan, membuatku heran.
"Pantesan apa?"
"
Playlist kamu di HP, lagu mellow mulu.. Hihihi.. dasar ingusan...." Lily menoyor kepalaku dengan ujung jarinya.
"Eh, kata siapa
playlist-ku mellow, nih, lihat...." Kutunjukkan layar ponselku padanya.
Belum sempat aku bicara, Lily memotong ucapanku,
"Tuh, kan...
Tak Bisa ke Lain Hati, Lara Hati, Bunga. Lagu mellow semuaa... Hahaha...." Mata Lily sampai basah karena tertawa.
"Ih, ini ada lagu rock juga...." Aku membela diri.
"Iya, tapi slow-rock,
Salam Untuk Dia, konten-nya mellow juga... Hahaha...."
Lily memang senang menggodaku belakangan ini. Menggoda, ya, suhu sekalian, bukan merayu. Dia senang menoyor kepalaku, mencubit lengan, menarik kuping atau mencolek hidungku. Kurang lebih aku diperlakukannya seperti anak kecil di dekatnya.
Saat diperlakukan demikian, aku hanya nyengir dan menggaruk-garuk kepala. Jika sudah begitu, Lily biasanya berhenti menggangguku lalu menatapku sambil tersenyum. Demikian sesaat kemudian berpaling.
Saat tawa kami mereda, Lily kemudian bertanya,
"Kamu mau cerita kenapa?" Yang dimaksudnya tentu alasanku putus dari Husna.
"Biasa saja, doi ketemu cowok lain. Temanku juga. Kurasa mereka lebih cocok. Kami juga sudah mulai hilang rasa."
"Cuma begitu saja? Kamu ga mencoba mempertahankan? Kalian begitu cocok lho, aku sering dengar kan, dari teman-teman pengajian..."
"Lebih banyak masalah kalo aku coba pertahankan. Kalo Husna kutahan, artinya aku harus bicara dengan Raja, kan. Sekalipun dibahas baik-baik, sedikit banyak hubunganku dengan Raja akan jadi terusik."
"Lagipula, pun bila Husna memilihku di atas Raja, aku tetap tidak bisa menerimanya kembali. Sebab jika aku benar-benar berarti baginya, maka semestinya Raja tidak pernah ada...," lanjutku.
Suhu sekalian, jika seorang gadis mendengar ceritaku dengan versi ini saja, maka tentulah aku terlihat sebagai seorang pria berjiwa besar. Yang begitu dewasa melepaskan hubungan demi kebaikan bersama.
Padahal tentulah tidak demikian apabila kuceritakan semuanya.
Tidaklah berani aku menceritakan tentang penyebab utama - menurutku - hubungan kami jadi hambar. Tentu tak mungkin kukisahkan tentang pacaran kami yang melulu erotis, yang saking intensnya membawa kami kepada kecanggungan, saat terpaksa harus puas dengan sekadar temu-romantis.
Tidak etis pula jika aku berterus terang kepada Lily, bahwa hantaman terhadap hubungan kami - aku dan Husna - yang sudah genting itu, bukan hanya datang akibat perkenalan Husna dengan Raja, tetapi juga akibat perkenalanku dengan Lily.
Kuakui, cerita yang hanya kusampaikan sebagian ini membuat Husna di mata Lily menjadi terlihat egois. Membuat - dalam pandangan Lily - aku menjadi korban yang membuatnya merasakan simpati.
"Hoo.. Begitu toh. Aku setuju pandanganmu. Kamu ternyata ga se-ingusan itu, hihi...." Lily tertawa. Kembali aku menggaruk-garuk kepala.
"Jangan suka pasang tampang bloon begitu, ih...." Lily mendorong pipiku.
"Kenapa? Kan aku aslinya memang bloon.. haha...," kataku, tetap menggaruk kepala.
"Pokoknya jangan!" Lily memasang muka galak, bertolak pinggang, berdiri.
"Nanti aku jatuh cinta...," katanya tersenyum, lalu berbalik pergi.
***
Aku dan Lily jadi semakin akrab. SMS dan telepon dari Lily menjadi salah satu sumber semangatku setiap hari. Cukup membantuku melewati semester itu, di tengah kesibukan kuliah dan tugas-tugas praktis-ku yang menguras stamina dan emosi.
Kami bertukar kabar setiap pagi, siang, sore lalu pagi lagi. Isi kabarnya tidak penting.
Jika Lily menyeberang jalan dan melihat anak kucing belang tiga, aku yang langsung tahu. Kalau aku minum kopi dan tumpah di bajuku, Lily yang mendapat
update pertama.
Kami seperti remaja yang baru menikmati masa pendekatan. Menikmati desir berpandangan dan duduk berdekatan tanpa - atau belum - bernafsu, lalu tersenyum sendiri malu-malu. Hal yang tidak kurasakan kepada Husna, partner belajarku yang pertama.
***
Usiaku yang lebih muda dua tahun tidak mengurangi keakrabanku dengan Lily. Terutama karena aku berbeda almamater, jadi kewajiban beramah-tamah dengan senior menjadi tidak mengikat kami. Sekedar informasi, di daerahku ini,
tabe'-tabe' kepada kakak angkatan itu wajib hukumnya.
Kedekatan di lembaga kami bawa ke lingkungan kami yang mutual. Di lingkungan kompleks, kami saling mengunjungi rumah. Aku sering bertamu di rumahnya, demikian sebaliknya. Tidak bisa dipungkiri, aku mulai menaruh hati padanya. Dan terlalu naif jika kukatakan bahwa Lily tidak membalas dengan rasa yang sama.
Lily adalah anak pertama dari dua bersaudara. Adiknya masih bersekolah di SMP, tetapi di kota yang berbeda bersama Ibunya. Kedua orangtua Lily tidak lagi bersama, sudah bercerai, dan sudah cukup lama. Ayah Lily adalah seorang pensiunan pegawai BUMN. Saat pensiun beberapa tahun yang lalu, beliau mendapat uang tunjangan yang cukup besar, yang kemudian dibelikannya berhektar-hektar tanah di wilayah utara Sulawesi Selatan.
Lily dan ayahnya tinggal berdua. Ayahnya sering sekali bepergian lama untuk mengurus tanah yang dijadikannya lahan perkebunan. Hal inilah yang membuat Lily - terpaksa - menjadi gadis yang mandiri.
Aku sering bertamu pada saat ayahnya sedang di rumah. Berbeda dari penampakannya yang tinggi besar dan - terlihat - murung, Pak Umar, itu namanya, ternyata sangat ramah. Pada kunjunganku pertama - waktu itu alasanku datang untuk membetulkan komputer Lily - beliau bercerita panjang tentang pengalamannya mengikuti pelatihan komputer saat awal bekerja.
Pak Umar adalah seorang pria agamis yang anti pacaran. Aku dipandangnya hanya sebagai teman putrinya, dan satu-satunya pemuda sopan yang cukup berani berkunjung dan menjadi teman ngobrolnya.
Di hadapan beliau, aku menyapa Lily dengan sebutan "Kak". Tanpa pengaturan sebelumnya, Lily juga memanggilku "Dik". Kemudian aku mulai memberanikan diri berkunjung pada saat Pak Umar - kuketahui - sedang keluar daerah...
***
SMS-ku dengan Lily suatu siang,
Nant : Lagi di rumah?
Lily : Iya...
Nant : Ada niat keluar?
Lily : Mungkin, kenapa?
Nant : Ada kopikah?
Lily : Yeee.. memangnya di sini warung...
Nant : Hoo.. Kirain..
Lily : Kirain apa???
Nant : Kirain di situ warung... XP
Dua jam kemudian..
Lily : Hey...
Nant : Yaaaa...
Lily : Kamu d mana?
Nant : Di lapangan, lagi mo main bola
Lily : Ihhh.. kok??
Nant : Lha, kan memang sudah sore... kenapa sih???
Lily : Yaudah
Nant : Hey, ada apa sih?
Tidak ada balasan dari Lily. Kucoba menelpon, Lily tidak menjawab.
Kuputuskan untuk membatalkan latihanku pada hari itu. Kubenahi kembali sepatu dan kelengkapan latihanku, tanpa mengganti baju, aku berjalan ke rumahnya.
Lily langsung membuka pintu pada ketukanku yang pertama. Wajahnya datar, bibirnya merapat membentuk garis tipis. Matanya menatapku sinis.
Jika tidak mengenalnya lebih baik, aku mungkin mengira sedang berhadapan dengan seorang pemeran antagonis, hihi...
"Hey, kehabisan pulsa? Kok nda balas?" tanyaku polos.
"Kenapa ke sini?" Alih-alih menjawab, Lily malah bertanya.
"Lha itu, kamu ga balas sms-ku. Tadi kamu kenapa nyari?" Kami masih berdiri berhadapan di ambang pintu.
"Ih, siapa yang nyari? Baca ulang tuh sms..." Lily sedikit mendelik. Kini kupahami, ekspresi macam ini yang dulu sering ditampakkanya pada pria-pria yang mendekatinya. Ekspresi yang membuat pria urung, lalu menyebutnya gadis jutek dan pemurung.
"Haha.. iya iya.. maksudku, tadi kenapa nanya 'di mana?', ada perlu yang bisa kubantukah, itu saja..." Aku tersenyum menggaruk kepala, memasang tampang paling bodoh yang kubisa.
Lily tidak menjawab, dia hanya menggeser tubuh ke samping, membuka pintu lebih lebar. Sebuah
gesture menyilakan. Aku melangkah melewatinya, Lily menutup pintu di belakangku.
Aku duduk di ruang tamu, di ujung sebuah kursi panjang. Lily ikut duduk beberapa jarak dariku. Aroma wangi tercium dari tubuhnya yang terbalut terusan rumahan,
cardigan, dan kerudung kaos merah maroon.
"Jadi, tadi ada apa memangnya?" Aku kembali bertanya.
Lily tidak menjawab. Wajahnya masih kaku, merengut. Matanya tertuju ke depan. Menatap sebuah cangkir tertutup di atas meja. Aku jadi ikut-ikutan menatap meja, masih tidak mengerti.
Lily menghela napas, lalu memalingkan wajah, berbisik, "Dasar ingusan..."
"Ng? Kamu manggil namaku?" Kataku sambil tersenyum.
Gesture-nya yang barusan membuatku sadar, dia sedang
ngambek padaku karena sesuatu. Aku hanya tinggal perlu mencari tahu apa gerangan itu.
"Li, kenapa sih.. adik bikin salah apa...," kataku sambil memanyunkan bibir.
Lily melemparkan bantal kursi kepadaku. Aku tidak menghindar, bantal itu mengenai wajahku. Bibirku kubuat lebih manyun lagi.
"Jangan pasang muka begitu!" Lily tampak marah, memungut bantal yang lain dan bergerak ke arahku.
Kutangkap pergelangan tangannya saat mengayunkan bantal ke arah wajahku. Lalu kutangkap lagi lengannya yang lain. Kami bersitatap dalam jarak yang begitu dekat. Kurasakan napasnya menyapu wajahku.
"Jangan pasang muka begitu...," katanya lirih, masih berusaha terlihat marah.
Tetapi terlambat, secercah kecil senyum terlanjur muncul di sudut bibirnya. Aku balas tersenyum. Lily menunduk menyembunyikan pandangan. Kuikuti dengan memiringkan wajah, matanya tidak kulepaskan dari mataku.
"Itu kopi buat kamu, tauk.. Sekarang sudah dingin...," katanya pelan, bibirnya ikutan manyun kekanakan.
Senyumku melebar. Aku benar-benar baru mengerti saat itu. Lily semakin dalam menunduk. Dengan cepat aku berujar,
"Maaf, aku tadi salah paham, tidak berani ke-GR-an trus datang tiba-tiba mengharap beneran dikasih kopi, hihi..."
"Kulepas tanganmu, tapi main pukul-pukulannya sudah, ya...," kataku tersenyum.
Lily menghentakkan tangannya lepas. Lalu duduk memunggungiku. "Berantem" tadi membuat posisi duduknya jadi rapat denganku.
Aku menyadari, kami saat ini sudah bukan lagi sekedar teman. Kami tiba pada hubungan saling memiliki yang terjadi dengan alami. Sebuah kedekatan yang memberi hak menuntut, serta hak cemburu. Semua terjadi begitu saja, tanpa ikrar, tanpa pernyataan verbal.
Kuberanikan diri bergerak, memeluknya dari belakang. Kuletakkan daguku di bahunya, kukecup lembut kuping di balik kerudungnya.
"Li, kalo ngambek, berarti kamu yang ingusan..."
***
Ngantar bokin belanja dulu yah, suhu sekalian....
Semoga terhibur....