Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT Husna dan Lily

haddeh, lanung menjelajah memoriku mencati dmana qra2 posisita bermain di kampus merah.. sepertinya sa sudah mendapatkan gambarannya..
btw bgmn mi kabarma husna di, spertinya menikah dg pilihan pace macena yo?


Haha.. suhu ini langsung tahu..
Sebenarnya bukan sekedar pilihan pace-mace-nya, tidak terlalu tepat juga dikatakan begitu. Tetapi no-spoiler, nanti juga akan sampai ceritanya, hehe..

Ohya, suhu, bukan kampus merah kok, setting-nya. "Masa belajar" nubi di kampus merah saat itu belum dimulai, mungkin sebentar lagi, hihi..
 
teman2 juga gtu ta bang?

Teman-teman nubi punya pengalaman sendiri, suhu.. beberapa di antaranya lebih gila, menurut cerita mereka. Hal ini mungkin yang membuat nubi - dulu - nekad saja berlaku begitu dengan sepengetahuan mereka
 
hmm mau masuk kedok yo husna, cos seringna yg bimbingan ampe malam di ji** ya itu plihannya...itu yg di chapter trakhir nda dikampus merah kah seting.. stauku gedung L, dipagar, dikunci satpam hoho..
dtunggu updatenya masbro.. cepat2q nah, penasaran ma kodong hohihi

sa mnunggu episode pondokan/rams** sapatau ada hoho


:D :D :D
Luar biasa suhu ini, perhatian terhadap detailnya..

Lucunya, suhu, nubi baru sadar skrg, bahwa nubi nda pernah sekalipun bertanya dulu Husna mau nembak jurusan apa..
Semakin sadarma, bahwa orientasi nubi dulu memang berubah di tengah, menjadi fisik semata..

Pada update selanjutnya - jika jeli - akan terbaca warna almamater nubi yang benar.. :)

Spoiler-alert ; next update will be purely drama and - might be - boring.. :)
 
Sebelum suhu sekalian mengira bahwa nubi hendak menambahkan bumbu aksi dalam cerita ini, biar nubi jelaskan dulu y..

:)

Bagian awal dari update ini nubi sampaikan hanya agar suhu sekalian memahami bagaimana - dan dari mana - pertama kali nubi mengenal Lily. Selain itu part ini akan membantu memahami hubungan antara nubi dengan seorang bernama Raja.

Tidak akan ada bumbu fiksi, sebab nubi memang tidak berbakat dalam hal itu, hihi...


***

Update 8

***

Bapakku adalah seorang lulusan pesantren terkenal di pulau Jawa. Beliau bekerja sebagai PNS di instansi pemerintahan kota Makassar. Seperti pada umumnya pesantren jaman dulu, tempat Bapak menimba ilmu agama juga mempunyai perguruan bela diri. Bapak adalah pendekar silat yang piawai, dan latihan keras yang pernah beliau alami diturunkannya kepada kami, aku dan kakak-kakakku.

Aku putra bungsu dari tiga bersaudara, semuanya pria. Kedua saudaraku sudah berkeluarga. Dibandingkan kedua kakakku, aku tumbuh dengan fisik yang tidak besar, sedang-sedang saja. Tetapi Bapak memperlakukan kami sama. Latihan fisik yang kami terima sama beratnya sejak belia.

Kedua kakakku aktif di ikatan pencak silat tingkat pemda. Kakakku tertua, Daeng Rosi, termasuk salah satu dewan pembina di tingkat kota, sedangkan Daeng Iga - kakakku nomor dua - adalah pelatih di tingkat provinsi. Adapun aku hanya aktif dalam latihan di perguruan lokal di kotaku.

Ijinkan aku bercerita tentang kakakku yang kedua, Daeng Iga.

Bauk Dirga Sinapati, dilahirkan enam tahun lebih dulu daripadaku. Wajahnya rupawan, perawakannya semampai dengan rahang persegi yang digandrungi gadis-gadis. Dia jago hampir di semua cabang olahraga. Sepakbola, bulu tangkis, takraw, tenis meja, sebut saja.

Tetapi yang aku hendak ceritakan adalah betapa mudahnya dia menaklukkan wanita-wanita cantik di sekitarnya. Aku menjadi saksi bagaimana gadis yang dia pacari terus berganti - atau bertambah - hanya dalam hitungan hari. Ya, kakakku ini seorang playboy, sampai suatu saat sikapnya itu berhenti ketika bertemu dengan seorang wanita bernama Shinta, yang kini menjadi istrinya.

Kakakku pernah bercerita, bahwa tidak semua gadis yang didekatinya bersedia jalan dengannya. Ada yang menolak karena tahu akan diduakan, ada juga yang risih karena segan pada wibawa Bapakku, tokoh kecamatan yang sangat disegani.

Di antaranya, yang paling membuat Daeng Iga penasaran adalah seorang gadis bernama Andi Liliana. Seorang gadis cantik yang empat tahun lebih muda dari kakakku itu. Berkali-kali didekati dan digoda, tidak membuat gadis itu mau jadi pacarnya. Andi Liliana tinggal di kompleks sebelah, tetapi banyak bergaul di kompleks tempat tinggalku, karena senang mengikuti kegiatan pengajian yang rutin diadakan di situ.

Andi Liliana biasa disapa dengan Lily.

Iya, suhu sekalian, dialah partner belajarku yang kedua. Gadis yang dulunya diincar oleh kakakku, Daeng Iga. Gadis cantik yang dariku dua tahun lebih tua..

***

Setiap pria punya kriteria fisik ideal wanita. Ada juga pria yang punya fetish (google pls) sekaitan dengan kecenderungan seksualnya. Aku tidak terkecuali.

Fantasiku tentang wanita seksi selalu melibatkan wanita dengan warna kulit sawo matang. Wanita dengan warna kulit keemasan selalu membuatku mudah teransang. Ukuran payudara sedang juga selalu mengisi angan-anganku. Entah mengapa, payudara yang terlalu besar tidak terlalu menggugah hasrat kelelakianku. Khayalan jorokku juga selalu diisi dengan wanita dengan lekukan, bukan wanita langsing a la model yang justru digandrungi pria-pria kebanyakan. Singkatnya, aku tergila-gila dengan wanita dengan ciri-ciri latina, tetapi minus payudara raksasa., haha..

Lily adalah sebuah antitesa dari wanita dalam khayalanku. Bentuk fisiknya sama sekali berbeda dengan bayanganku tentang wanita sexy. Tubuh langsing Lily lebih tinggi dariku beberapa centi. Kulitnya putih lembut, seperti transparan di beberapa tempat. Matanya bulat cerdas, dengan bingkai bulu mata yang lentik. Payudaranya bulat besar membusung, sulit disembunyikan oleh kerudung. Lily sering menjadi gunjingan pemuda-pemuda di dua kompleks kami. Tidak heran, kakakku yang playboy pernah menjadikannya incaran, walaupun gagal.

Lily sedang menjalani studi tingkat akhir di sebuah universitas negeri ternama di Makassar. Sikapnya dewasa, matang dan mandiri. Dia aktif di sebuah lembaga kemanusiaan yang salah satu kegiatannya adalah memberi santunan dan pembelajaran gratis pada tunawisma dan anak jalanan.

***

Suatu ketika, LK ku menerima sebuah surat dari suatu lembaga. Isinya adalah permintaan sukarelawan untuk mengisi kelas gratis pada anak-anak jalanan yang tersebar di Kota Makassar. Kegiatan ini diharapkan berkesinambungan dan menjadi kerjasama tetap antara kedua lembaga.

Aku termasuk dalam tim yang ditugaskan dalam kegiatan itu. Studi yang kutempuh memang ilmu sains keguruan, sehingga sesuai dengan tujuan kegiatan. Sudah dapat suhu sekalian duga, lembaga yang mengundang kami adalah lembaga yang di dalamnya Lily menjadi anggota.

Pada kegiatan inilah aku mengenal Lily lebih dekat. Dulu yang kutahu hanya nama dan wajahnya, kini aku mulai mengenalnya lebih dari itu saja. Dulu kusebut dia sebagai odo'-odo'na Daeng Iga, dan dia mengenalku hanya sebagai adik dari pria yang pernah mengincarnya. Sekarang, kami sudah saling mengenal nama.

Kami banyak berdiskusi di luar kegiatan. Tentang lingkungan, hobby dan selera musik. Banyaknya teman yang kami kenal bersama di luar lembaga, membuat kami sering terlibat percakapan berdua. Pertemanan kami di lingkungan tempat tinggal juga membuat kami berdua menjadi lebih akrab di tengah teman-teman anggota lainnya. Kami sering makan berdua atau mendengar musik bersama sambil mengisi kesenggangan di antara kegiatan.

Jika tidak bertemu, kami jadi lebih sering bertukar kabar lewat SMS atau telepon. Komunikasi kami menjadi lebih intens, bersamaan dengan semakin jarangnya kebersamaanku dengan Husna.

Ya, kesibukan kuliah, mengajar kelas micro, kegiatan eksternal dan keaktifanku di padepokan mengalihkanku dari Husna. Kami menjadi jarang bertemu. Saat sedang berduaan pun, rasa hambar mulai terasa. Kadang-kadang kami tetap sengaja mencari tempat untuk menunaikan hasrat. Biasanya pilihan kami jatuh ke pondokan sempit nan murah yang tersebar di sebuah pantai terkenal di kotaku.

Sesekali Husna datang menemuiku di padepokan. Terutama karena pada saat itu aku mulai jarang menginap di kampus. Menunggu aku selesai latihan untuk sekedar mengobrol, seperti sedang menggugurkan kewajiban. Semua teman seperguruan sudah kukenalkan padanya. Pada saat itulah Husna bertemu dengan Raja, seorang teman seperguruanku asal Sumatera. Aku sendiri yang mengenalkan mereka berdua.

Banyak detail terjadi dalam rentang satu bulan sejak Husna dan Raja kukenalkan. Tetapi intinya, hubunganku dengan Husna mencapai titik jenuh, berbanding terbalik dengan keintiman antara Husna dengan Raja, serta keakrabanku dengan Lily.

Teman-temanku seperguruan mulai sering menggunjingkan Husna, bagaimana mereka menyaksikan Raja sering menerima SMS atau telepon dari Husna. Entah mengapa, tidak kurasakan apa-apa tentang itu. Tidak iri, tidak juga cemburu. Puncaknya terjadi ketika dengan mata kepala sendiri, kulihat mereka berdua di sebuah lokasi wisata, pantai Tanjung Bunga. Mereka tidak tahu bahwa aku - juga Lily - ada di sana, sedang membawa anak-anak tunawisma berekreasi.

Aku tidak keberatan dengan hubungan mereka berdua. Hanya menyesalkan, sebab Husna tidak langsung berterus-terang. Aku mulai bersikap dingin saat bertemu dengannya, tetapi juga tidak mengkonfrontasi tentang apa yang kudengar dan sudah kusaksikan sendiri. Husna mulai merasakan perubahanku, tetapi terlalu takut untuk mulai membalasnya.

Sikapku kepada Raja tidak berubah. Kami tetap bergaul dan latihan seperti biasanya. Pada dasarnya aku sudah merelakan apapun yang terjadi di antara mereka. Raja dan Husna sepertinya menyadari hal ini, sehingga mereka mulai sedikit terbuka.

Antiklimaks hubunganku dengan Husna terjadi pada sebuah turnamen pencak silat antar-perguruan tingkat kota. Saat itu aku dan Raja serta beberapa teman yang lain ikut sebagai peserta.

Husna datang pada hari kedua, hari di mana Raja dijadwalkan bertanding. Kali itu Husna tidak menghampiriku seperti biasa, melainkan langsung duduk di samping Raja. Aku berusaha menangkap tatapan mata Husna.

Saat pandangan kami bertemu, aku tersenyum dan mengangguk kecil kepadanya. Husna membalas tersenyum, lalu melingkarkan tangannya di lengan Raja. Sudah kuberikan restuku, dan Husna memahami maksudku.

Pada hari itu aku memutuskan, tanpa sakit hati dan dendam, kututup ceritaku tentang Husna.

Tetapi hanya terpaut enam bulan setelahnya, kudapati bahwa aku keliru mengira..

***

Nubi tidak bisa bercerita banyak untuk segmen yang ini, suhu sekalian. Bagian ini hanya untuk menjelaskan mengapa nubi bisa berganti teman belajar. Juga tidak ada fan service, hanya bridge untuk update selanjutnya..

:)

Semoga terhibur...
 
Terakhir diubah:
Jadi husna hamil bukan sama suhu ya, menjelaskan kenapa suhu gak jadi suami husna..:)

Jadi ingat mantan, ane yang ambil perawan, orang lain yang menghamili, termasuk tetangga pula itu :D
 
bro sy kok gak dapat feelnya saat adegan Husna dikenalin ama Raja....


jadi biasa aja gitu.... seperti terburu - buru

manna mamo tawwa itu... masa tidak diperjuangkan husna kek... atau apa kek...


sy nda terbawa emosi di chapter ini.... atau mungkin sy baru bangun yah trus langung baca nih chap....



hehehehehehe.... :ampun: pamopporanga bro

Iya, cappo', bagi nubi pun pada saat itu rasanya hambar sekali proses melepaskan Husna dan melihatnya melanjutkan cerita dengan Raja. Hampir tidak ada rasanya sama sekali waktu itu.

Saat mencoba mengingat kembali, memang rasanya sangat singkat, mungkin krena nubi nda tau detil proses mereka pedekate, sms-an, janjian di belakang, dst. Pasti berbeda rasanya bagi mereka berdua, krena mereka yang merasakan prosesnya.

Dan memang, rasa "hambar" ini yang nubi coba tuangkan di part ini, untuk menunjukkan bahwa nubi dan Husna sudah sedemikian jenuhnya, hingga lepas seketika hampir tanpa terasa.. :)
 
Kalau ku bilang ini perpisahan manis, tak ada dendam. Jd cerita husna dgn nnta msh lnjut lg kah ? Sdh ini msh ad hubungn erotis lg ? Smg tdk
 
Jadi husna hamil bukan sama suhu ya, menjelaskan kenapa suhu gak jadi suami husna..:)

Jadi ingat mantan, ane yang ambil perawan, orang lain yang menghamili, termasuk tetangga pula itu :D

Hehe, perawan memang mantap yah, suhu..


Jika pertanyaannya nubi jawab, spoiler dong ya, suhu.. hihi..
 
Sebelum membaca, nubi sampaikan lebih dulu, dalam part ini juga belum ada fan-service.... :)

***

Update 9

***

Aku sedang duduk di venue kegiatan, mendengarkan musik lewat headset ketika Lily menghampiriku. Kuangkat daguku, menyapanya dengan anggukan, tetap meneruskan keasyikanku. Lily menyapa beberapa teman, lalu duduk rapat di sampingku.

Beberapa menit - kusangka - Lily hanya duduk diam, sampai kemudian kurasakan ditariknya headset dari telingaku,

"...itu pacarmu, kan?"

Hanya ujung kalimat itu yang sempat kutangkap. Ternyata sedari tadi dia menanyakan sesuatu.

"Hah? Yang mana?" tanyaku terkejut.

Kumatikan pemutar musik di ponselku, lalu memutar pandangan, mencari orang yang - kukira - Lily maksudkan.


"Hey, aku tadi nanya. Waktu di Tanjung minggu lalu, aku lihat, kamu juga lihat, cewek yang jalan berdua sama cowok waktu itu. Itu pacarmu, kan? Anak Pak Haji?"

"Hoo.. kirain.. Iya, tepatnya mantan," kataku menggaruk-garuk kepala, nyengir.

"Mantan? Kalian putus, gitu? Hihi.. pantesan...." Lily cekikikan, membuatku heran.

"Pantesan apa?"

"Playlist kamu di HP, lagu mellow mulu.. Hihihi.. dasar ingusan...." Lily menoyor kepalaku dengan ujung jarinya.

"Eh, kata siapa playlist-ku mellow, nih, lihat...." Kutunjukkan layar ponselku padanya.

Belum sempat aku bicara, Lily memotong ucapanku,

"Tuh, kan... Tak Bisa ke Lain Hati, Lara Hati, Bunga. Lagu mellow semuaa... Hahaha...." Mata Lily sampai basah karena tertawa.

"Ih, ini ada lagu rock juga...." Aku membela diri.

"Iya, tapi slow-rock, Salam Untuk Dia, konten-nya mellow juga... Hahaha...."

Lily memang senang menggodaku belakangan ini. Menggoda, ya, suhu sekalian, bukan merayu. Dia senang menoyor kepalaku, mencubit lengan, menarik kuping atau mencolek hidungku. Kurang lebih aku diperlakukannya seperti anak kecil di dekatnya.

Saat diperlakukan demikian, aku hanya nyengir dan menggaruk-garuk kepala. Jika sudah begitu, Lily biasanya berhenti menggangguku lalu menatapku sambil tersenyum. Demikian sesaat kemudian berpaling.

Saat tawa kami mereda, Lily kemudian bertanya,

"Kamu mau cerita kenapa?" Yang dimaksudnya tentu alasanku putus dari Husna.

"Biasa saja, doi ketemu cowok lain. Temanku juga. Kurasa mereka lebih cocok. Kami juga sudah mulai hilang rasa."

"Cuma begitu saja? Kamu ga mencoba mempertahankan? Kalian begitu cocok lho, aku sering dengar kan, dari teman-teman pengajian..."

"Lebih banyak masalah kalo aku coba pertahankan. Kalo Husna kutahan, artinya aku harus bicara dengan Raja, kan. Sekalipun dibahas baik-baik, sedikit banyak hubunganku dengan Raja akan jadi terusik."


"Lagipula, pun bila Husna memilihku di atas Raja, aku tetap tidak bisa menerimanya kembali. Sebab jika aku benar-benar berarti baginya, maka semestinya Raja tidak pernah ada...," lanjutku.

Suhu sekalian, jika seorang gadis mendengar ceritaku dengan versi ini saja, maka tentulah aku terlihat sebagai seorang pria berjiwa besar. Yang begitu dewasa melepaskan hubungan demi kebaikan bersama.

Padahal tentulah tidak demikian apabila kuceritakan semuanya.

Tidaklah berani aku menceritakan tentang penyebab utama - menurutku - hubungan kami jadi hambar. Tentu tak mungkin kukisahkan tentang pacaran kami yang melulu erotis, yang saking intensnya membawa kami kepada kecanggungan, saat terpaksa harus puas dengan sekadar temu-romantis.

Tidak etis pula jika aku berterus terang kepada Lily, bahwa hantaman terhadap hubungan kami - aku dan Husna - yang sudah genting itu, bukan hanya datang akibat perkenalan Husna dengan Raja, tetapi juga akibat perkenalanku dengan Lily.

Kuakui, cerita yang hanya kusampaikan sebagian ini membuat Husna di mata Lily menjadi terlihat egois. Membuat - dalam pandangan Lily - aku menjadi korban yang membuatnya merasakan simpati.

"Hoo.. Begitu toh. Aku setuju pandanganmu. Kamu ternyata ga se-ingusan itu, hihi...." Lily tertawa. Kembali aku menggaruk-garuk kepala.

"Jangan suka pasang tampang bloon begitu, ih...." Lily mendorong pipiku.

"Kenapa? Kan aku aslinya memang bloon.. haha...," kataku, tetap menggaruk kepala.

"Pokoknya jangan!" Lily memasang muka galak, bertolak pinggang, berdiri.

"Nanti aku jatuh cinta...," katanya tersenyum, lalu berbalik pergi.


***

Aku dan Lily jadi semakin akrab. SMS dan telepon dari Lily menjadi salah satu sumber semangatku setiap hari. Cukup membantuku melewati semester itu, di tengah kesibukan kuliah dan tugas-tugas praktis-ku yang menguras stamina dan emosi.

Kami bertukar kabar setiap pagi, siang, sore lalu pagi lagi. Isi kabarnya tidak penting.

Jika Lily menyeberang jalan dan melihat anak kucing belang tiga, aku yang langsung tahu. Kalau aku minum kopi dan tumpah di bajuku, Lily yang mendapat update pertama.

Kami seperti remaja yang baru menikmati masa pendekatan. Menikmati desir berpandangan dan duduk berdekatan tanpa - atau belum - bernafsu, lalu tersenyum sendiri malu-malu. Hal yang tidak kurasakan kepada Husna, partner belajarku yang pertama.

***

Usiaku yang lebih muda dua tahun tidak mengurangi keakrabanku dengan Lily. Terutama karena aku berbeda almamater, jadi kewajiban beramah-tamah dengan senior menjadi tidak mengikat kami. Sekedar informasi, di daerahku ini, tabe'-tabe' kepada kakak angkatan itu wajib hukumnya.

Kedekatan di lembaga kami bawa ke lingkungan kami yang mutual. Di lingkungan kompleks, kami saling mengunjungi rumah. Aku sering bertamu di rumahnya, demikian sebaliknya. Tidak bisa dipungkiri, aku mulai menaruh hati padanya. Dan terlalu naif jika kukatakan bahwa Lily tidak membalas dengan rasa yang sama.

Lily adalah anak pertama dari dua bersaudara. Adiknya masih bersekolah di SMP, tetapi di kota yang berbeda bersama Ibunya. Kedua orangtua Lily tidak lagi bersama, sudah bercerai, dan sudah cukup lama. Ayah Lily adalah seorang pensiunan pegawai BUMN. Saat pensiun beberapa tahun yang lalu, beliau mendapat uang tunjangan yang cukup besar, yang kemudian dibelikannya berhektar-hektar tanah di wilayah utara Sulawesi Selatan.

Lily dan ayahnya tinggal berdua. Ayahnya sering sekali bepergian lama untuk mengurus tanah yang dijadikannya lahan perkebunan. Hal inilah yang membuat Lily - terpaksa - menjadi gadis yang mandiri.

Aku sering bertamu pada saat ayahnya sedang di rumah. Berbeda dari penampakannya yang tinggi besar dan - terlihat - murung, Pak Umar, itu namanya, ternyata sangat ramah. Pada kunjunganku pertama - waktu itu alasanku datang untuk membetulkan komputer Lily - beliau bercerita panjang tentang pengalamannya mengikuti pelatihan komputer saat awal bekerja.

Pak Umar adalah seorang pria agamis yang anti pacaran. Aku dipandangnya hanya sebagai teman putrinya, dan satu-satunya pemuda sopan yang cukup berani berkunjung dan menjadi teman ngobrolnya.

Di hadapan beliau, aku menyapa Lily dengan sebutan "Kak". Tanpa pengaturan sebelumnya, Lily juga memanggilku "Dik". Kemudian aku mulai memberanikan diri berkunjung pada saat Pak Umar - kuketahui - sedang keluar daerah...

***

SMS-ku dengan Lily suatu siang,

Nant : Lagi di rumah?
Lily : Iya...
Nant : Ada niat keluar?
Lily : Mungkin, kenapa?
Nant : Ada kopikah? :)
Lily : Yeee.. memangnya di sini warung... :p
Nant : Hoo.. Kirain..
Lily : Kirain apa???
Nant : Kirain di situ warung... XP


Dua jam kemudian..

Lily : Hey...
Nant : Yaaaa...
Lily : Kamu d mana?
Nant : Di lapangan, lagi mo main bola
Lily : Ihhh.. kok??
Nant : Lha, kan memang sudah sore... kenapa sih???
Lily : Yaudah
Nant : Hey, ada apa sih?

Tidak ada balasan dari Lily. Kucoba menelpon, Lily tidak menjawab.

Kuputuskan untuk membatalkan latihanku pada hari itu. Kubenahi kembali sepatu dan kelengkapan latihanku, tanpa mengganti baju, aku berjalan ke rumahnya.

Lily langsung membuka pintu pada ketukanku yang pertama. Wajahnya datar, bibirnya merapat membentuk garis tipis. Matanya menatapku sinis.

Jika tidak mengenalnya lebih baik, aku mungkin mengira sedang berhadapan dengan seorang pemeran antagonis, hihi...

"Hey, kehabisan pulsa? Kok nda balas?" tanyaku polos.

"Kenapa ke sini?" Alih-alih menjawab, Lily malah bertanya.

"Lha itu, kamu ga balas sms-ku. Tadi kamu kenapa nyari?" Kami masih berdiri berhadapan di ambang pintu.

"Ih, siapa yang nyari? Baca ulang tuh sms..." Lily sedikit mendelik. Kini kupahami, ekspresi macam ini yang dulu sering ditampakkanya pada pria-pria yang mendekatinya. Ekspresi yang membuat pria urung, lalu menyebutnya gadis jutek dan pemurung.

"Haha.. iya iya.. maksudku, tadi kenapa nanya 'di mana?', ada perlu yang bisa kubantukah, itu saja..." Aku tersenyum menggaruk kepala, memasang tampang paling bodoh yang kubisa.

Lily tidak menjawab, dia hanya menggeser tubuh ke samping, membuka pintu lebih lebar. Sebuah gesture menyilakan. Aku melangkah melewatinya, Lily menutup pintu di belakangku.

Aku duduk di ruang tamu, di ujung sebuah kursi panjang. Lily ikut duduk beberapa jarak dariku. Aroma wangi tercium dari tubuhnya yang terbalut terusan rumahan, cardigan, dan kerudung kaos merah maroon.

"Jadi, tadi ada apa memangnya?" Aku kembali bertanya.

Lily tidak menjawab. Wajahnya masih kaku, merengut. Matanya tertuju ke depan. Menatap sebuah cangkir tertutup di atas meja. Aku jadi ikut-ikutan menatap meja, masih tidak mengerti.

Lily menghela napas, lalu memalingkan wajah, berbisik, "Dasar ingusan..."

"Ng? Kamu manggil namaku?" Kataku sambil tersenyum.

Gesture-nya yang barusan membuatku sadar, dia sedang ngambek padaku karena sesuatu. Aku hanya tinggal perlu mencari tahu apa gerangan itu.

"Li, kenapa sih.. adik bikin salah apa...," kataku sambil memanyunkan bibir.

Lily melemparkan bantal kursi kepadaku. Aku tidak menghindar, bantal itu mengenai wajahku. Bibirku kubuat lebih manyun lagi.

"Jangan pasang muka begitu!" Lily tampak marah, memungut bantal yang lain dan bergerak ke arahku.

Kutangkap pergelangan tangannya saat mengayunkan bantal ke arah wajahku. Lalu kutangkap lagi lengannya yang lain. Kami bersitatap dalam jarak yang begitu dekat. Kurasakan napasnya menyapu wajahku.

"Jangan pasang muka begitu...," katanya lirih, masih berusaha terlihat marah.

Tetapi terlambat, secercah kecil senyum terlanjur muncul di sudut bibirnya. Aku balas tersenyum. Lily menunduk menyembunyikan pandangan. Kuikuti dengan memiringkan wajah, matanya tidak kulepaskan dari mataku.

"Itu kopi buat kamu, tauk.. Sekarang sudah dingin...," katanya pelan, bibirnya ikutan manyun kekanakan.

Senyumku melebar. Aku benar-benar baru mengerti saat itu. Lily semakin dalam menunduk. Dengan cepat aku berujar,

"Maaf, aku tadi salah paham, tidak berani ke-GR-an trus datang tiba-tiba mengharap beneran dikasih kopi, hihi..."

"Kulepas tanganmu, tapi main pukul-pukulannya sudah, ya...," kataku tersenyum.

Lily menghentakkan tangannya lepas. Lalu duduk memunggungiku. "Berantem" tadi membuat posisi duduknya jadi rapat denganku.

Aku menyadari, kami saat ini sudah bukan lagi sekedar teman. Kami tiba pada hubungan saling memiliki yang terjadi dengan alami. Sebuah kedekatan yang memberi hak menuntut, serta hak cemburu. Semua terjadi begitu saja, tanpa ikrar, tanpa pernyataan verbal.

Kuberanikan diri bergerak, memeluknya dari belakang. Kuletakkan daguku di bahunya, kukecup lembut kuping di balik kerudungnya.

"Li, kalo ngambek, berarti kamu yang ingusan..."

***

Ngantar bokin belanja dulu yah, suhu sekalian....

:D

Semoga terhibur....
 
Terakhir diubah:
Iya, cappo', bagi nubi pun pada saat itu rasanya hambar sekali proses melepaskan Husna dan melihatnya melanjutkan cerita dengan Raja. Hampir tidak ada rasanya sama sekali waktu itu.

Saat mencoba mengingat kembali, memang rasanya sangat singkat, mungkin krena nubi nda tau detil proses mereka pedekate, sms-an, janjian di belakang, dst. Pasti berbeda rasanya bagi mereka berdua, krena mereka yang merasakan prosesnya.

Dan memang, rasa "hambar" ini yang nubi coba tuangkan di part ini, untuk menunjukkan bahwa nubi dan Husna sudah sedemikian jenuhnya, hingga lepas seketika hampir tanpa terasa.. :)

Menurut saya chapter ini dah sangat pas menggambarkan perasaan si penulis. "HAMBAR" ! Apa adanya yg ditulis. Jd kl mo pake acara "mellow" segala, kayaknya malah gak nyambung lho. Hadehhhh... ngomong apa ini... Btw, updatenya tetap ditunggu hu...
 
Suhu, ingusnya meler tuh. Lap dl sebelum lanjut nulis lg. Wkwkwk... lanjutkennnn...
 
Suhu Ane mau protes keras ini

"Lagipula, pun bila Husna memilihku di atas Raja, aku tetap tidak bisa menerimanya kembali. Sebab jika aku benar-benar berarti baginya, maka semestinya Raja tidak pernah ada..." lanjutku.

kata2 nya emang ngepas banget, tapi ada sedikit Kentang pada berakhir nya hubungan Hunsa Dan Nanta , karena kesan nya hubungan nya berakhir begitu aja
tanpa ada kejelasan KENAPA bisa seperti itu! entah kenapa ane penasaran akan muncul nya konflik berakhir nya hubungan husna & nanta

and thanks buat update nya suhu :mantap: :jempol:
 
Bimabet
wah..bahaya nih kl cewe cakep ketemu TS :aduh:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd