Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT Husna dan Lily

Bimabet
Salute for u master. Inti update kali ini kayaknya tentang "tanpa tendensi", kopi yg penuh perencanaan, dan teh yg gak sengaja ditemukan. Ehm... makin bernas nih tulisan suhu. Mantaf deh. Keep update ya. As soon as possible.
 
update nya emang kentang :kentang: tapi jujur, motong nya pas banget

jadi berasa pas cerita nya , kata2 nya seperti sedang baca novel romansa :sayang::sayang:hahaaayy..

tks buat update nya suhu :jempol:


Iya, suhu..
Fokus yg nubi mau share emamg bakal beda kalo ga dipenggal.

Nubi cuma cut-paste beberapa paragraf, trus diinsert ke part lain di update lain.

Maaf ya, suhu, posting kali ini jadinya pendek gini..
 
Salute for u master. Inti update kali ini kayaknya tentang "tanpa tendensi", kopi yg penuh perencanaan, dan teh yg gak sengaja ditemukan. Ehm... makin bernas nih tulisan suhu. Mantaf deh. Keep update ya. As soon as possible.


A.s.a.i.c., suhu..

Semoga ntar malem sempat update.. :)

*intinya ditambah satu lagi; paha mulus yang sengaja dipamerkan..
:ngakak:
 
Update 13

***

Sunyi dan semarak malam, bertabur kilau bintang
Bulan pun naik perlahan, tersipu..
Kau dan aku tenggelam, dalam dekapan cinta
Tanpa suara berbincang, dua jiwa..


Desah napas terdengar lirih, beriringan, dalam pola kacau tidak beraturan. Ritmis, dinamis, indah, terkadang menyakitkan. Kami terlena dalam pejam mata, tangan dan kaki di mana-mana.

Malam selalu indah sejak aku bersama Lily. Seperti malam ini, kami berpeluk, dalam paradoks percumbuan; tubuh membelit saling menghangatkan, namun megap-megap mencari lega kepanasan..

“Aaaaahhh.. Nanta.. aku mau kamu..”

Lily memelukku erat, menjeritkan mantra birahi, dengan namaku di dalamnya..

***

Sungguh aneh cara kerja otak manusia. Tidak seperti mesin, yang ketika algoritma sudah diatur dari semula, maka perintah selanjutnya akan dilaksanakan sesuai polanya. Manakala sebuah software dibuat untuk tidak menginput sesuatu, maka demikianlah adanya, sampai dimasukkan perintah baru.

Setiap malam bersama Lily membuat pattern wanita ideal dalam diriku berangsur berubah. Mengingat Lily, berarti membayangkan Lily dalam paket utuh. Mata yang berbinar cerdas, rambut sebahu, kulit putih terawat, pinggang ramping dan perut rata, menyangga sepasang payudara yang besar, bulat dan membusung. Mengkhayalkan Lily, tidak lepas dari mengingat sikapnya yang dewasa namun manja, mandiri dan ceria, dengan wawasan yang meledak-ledak, siap berdiskusi namun tidak jarang menggoda.

Awwe, indo’ku le.. putramu dilanda asmara. Algoritma kriteria wanita di kepalaku berubah, menambahkan entry baru bernama Andi Liliana.

Rasa risih di antara kami juga menguap hilang. Perasaan sebagai orang asing sudah tergantikan dengan kebutuhan akan keberadaan satu sama lain. Aku memandang Lily sebagai gadis yang harus kulindungi, kubuat tertawa setiap waktu, kujauhkan dari bosan dan sedih.

Percintaan erotis kami juga membawa hal baru bagiku dan Lily. Keterbukaan dalam kepribadian kini diikuti dengan keterbukaan fisik. Eksplorasi jarak dekatku di area paling intim tubuhnya membuat Lily kini tidak canggung lagi berganti baju di dekatku, bahkan mengganti celana, dengan mataku lekat menatapnya. Iya, suhu sekalian, cunnilingus hampir setiap waktu kulakukan. Lily menikmati sex oral yang sudah kuperkenalkan beberapa waktu berselang. Liliy menikmatinya, aku menyukainya.

***

Pelajar yang melanjutkan studi di jurusan yang kuambil kebanyakan adalah putra daerah. Minat menjadi guru memang paling banyak didapati di sekolah-sekolah luar kota Makassar. Di angkatanku, hanya ada 6 dari 178 orang, yang berasal dari SMA dalam kota, atau kaum pribumi, begitu kami menyebutnya.

Keuntungan menjadi kaum pribumi adalah pada rasa percaya diri. Pengalaman lebih dulu perihal trayek angkot, venue gaul, bahasa, selera humor lokal dan tempat nongkrong membuatku lebih luwes membawa diri. Tidak ada rasa takut atau malu, bahkan sejak masa-masa orientasi dan pengenalan kampus.

Suatu hari dalam rangkaian kegiatan orientasi, kami diharuskan berdiri mengantri di depan sebuah loket. Berpanas ria, kepala plontos, tanpa topi, tidak juga pet. Beruntunglah bagi para maba cewek yang berkerudung. Seperti seorang cewek sesama maba di barisan lain di sampingku, agak ke depan beberapa langkah.

Yang menarik mataku adalah sesuatu yang tersembul dari kantung tasnya di bagian samping, sebuah buku kecil namun tebal. Master of Game sebuah novel karya Sidney Sheldon, kukenali buku itu dari ilustrasi pada sampulnya.

“Hey,” bisikku. Dia menoleh, terkejut.

“Sudah sampai mana? MacGregor atau Blackwell?”

“Apa?” cewek itu terlihat bingung dengan pertanyaanku.

“Novelnya sudah dibaca sampai bagian mana? Masih di keluarga McGregor atau sudah tentang keluarga Blackwell?” lanjutku, masih berbisik.

Sedikitpun aku tidak pernah ragu memulai dialog semacam itu. Tidak pernah takut dikatakan SKSD. Jadi teman akrab atau dianggap sok dekat, pilihanku sederhana. Beruntung, kali itu cewek ini memilih yang pertama.

“Hoo.. buku ini. Aku baru mulai baca, masih tentang Jamie McGregor. Blackwell itu siapa?” tanyanya balas berbisik.

Baru kuperhatikan wajahnya saat itu. Cewek ini menarik, bahkan cantik. Yang menonjol padanya adalah paduan mata dan hidung, terlihat oriental meski berkerudung. Berkacamata persegi, dengan dagu sedikit berbelah.

Antrianku tiba-tiba bergerak lebih banyak ke depan. Aku berbisik singkat,

“Lanjut kapan-kapan yah.. Ohya, Ananta, Fisika.”

“Hara, Kimia.”

Kami jadi teman akrab setelah itu, dan..

***

Plak!

Lily menepuk keras bantalnya, pahaku.

“Aww.. kenapa?” tanyaku kaget, kata-kataku menggantung di udara.

“Ceritanya kok kepotong begitu? Kok langsung jadi akrab? Mana proses pedekate lanjutannya?” Lily uring-uringan.

“Ya gak ada pedekate lah, Cuma berkenalan, kan.. perih nih..” kataku mengusap pahaku, di tempat yang tadi ditepuk Lily.

“Kamu aja yang ga ngerti. Cewek diajak ngobrol tentang sesuatu yang dia sukai, pada saat-saat yang gak terduga, oleh cowok sepantaran yang ga jelek, itu pasti dirasa sebagai movement. Itu pedekate bagi mereka, bagi kami.” Lily ikutan mengusap-usap pahaku, bergeser mengecupnya, seperti biasa.

“Duh, mau bilang aku cakep aja pake belok-belok gitu..” aku tergelak.

“Woi, aku ga bilang kamu cakep kok. Aku bilang, kamu ga jelek. Itu beda, tauk..”

Aku semakin keras tertawa. Lily bangkit menggelitiku, mencubiti perutku.

“Cakep itu segini,” kata Lily mengangkat tangan kanan sejajar matanya. Lalu katanya,

“Kalo “ga jelek,” itu segini..” diangkatnya tangannya yang lain, sejajar dada.

“Oke, oke, aku ga cakep juga ga jelek. Apapun kah, asal sama kamu.” Kataku tertawa lagi.

“Ih, jijik ih, ngrayu..”

Lily kembali rebah di pangkuanku.

“Trus si Hara ini sekarang gimana? Masih sering ngecengin kamu?”

“Ga ada ngeceng-ngecengan. Aku sama dia cuma sering ngobrol, biasanya tentang bacaan. Selera baca kami banyak beririsan.” Aku bersandar di pilar rumah. Malam itu kami pacaran melantai di beranda. Selembar selimut tebal menjadi alas dudukku, dan alas tubuh Lily yang berbaring di pangkuanku.

“Itu gak sepenuhnya kebetulan, lho, Nan. Aku serius.” Lily menegaskan wajah saat aku tampak akan tertawa.

“Pada mulanya mungkin kebetulan saja, tapi selanjutnya Hara bakal nyari tau buku-buku yang kamu baca, trus ikutan baca juga, hanya biar bisa nyambung ngobrol sama kamu.”

Dengan ragu, aku bertanya,

“Kamu cemburu?”

“Bukan, ini bukan cemburu yang bicara, tapi aku, dalam sudut pandangku sebagai cewek.”

“Kamu mungkin tidak sadar, kamu punya sesuatu tentang kata-kata. Memandang wajahmu mungkin tidak bikin jatuh hati seketika, tapi duduk ngobrol sama kamu itu bisa bikin cewek geer, lho.”

Lily terus bicara, matanya lurus menatap langit-langit rendah beranda. Kubelai rambutnya. Lily terlihat serius dalam setiap kata-kata.

Setelah makan malam di luar tadi, kami langsung pulang, mandi - terpisah lho suhu, belum mandi sama-sama - lalu duduk melantai sambil memutar musik di beranda. Lily bercerita tentang harinya di kampus siang tadi. Tentang seorang seniornya satu angkatan, yang terus-menerus melakukan pendekatan. Lily tidak pernah melebih-lebihkan cerita, aku sering menyaksikan sendiri hal ini.

Selalu kurasakan sesuatu saat Lily menceritakan hal seperti ini. Semacam rasa terancam. Lily mungkin merasakannya, jadi dimintanya aku gantian bercerita padanya tentang teman cewek yang kuanggap dekat. Maka kumulailah bercerita tentang Sahara, teman kuliah dari jurusan sebelah.

“Ngobrol sama kamu itu bikin geer. Kamu kalo ngobrol, kliatannya ngasih perhatian sama lawan bicara kamu sepenuhnya. Kamu bukan cuma good-looking tapi juga good-talking. Cewek suka jatuh hati karena itu. Hey, aku serius nih..”

“Cewek sangat suka kalo apa yang dia sampaikan mendapat perhatian. Kami suka saat ide kami dianggap serius. Apalagi kalo yang kami sukai juga dihargai. Kamu harusnya lihat cara Riska dan Iyang ngliat kamu kalo kamu lagi ngajar anak-anak, atau lagi ngomong pas rapat. Apalagi kalo kamu lagi ngobrol becandaan sama mereka. Mereka itu sering nitip salam lewat aku, tauk..”

“Sekali lagi, aku ga cemburu, Nanta, kamu bebas sesukaan di luar sana, tapi di ujung hari kamu harus balik ke aku..”

Lily menarik wajahku mendekat, ah, manga ecchi itu tidak sepenuhnya benar. Sulit mencium kekasih pada posisi ini. Menunduk sedalam apapun, bibir tidak akan saling menjangkau jika kekasihmu rebah di pangkal paha, haha..

Lily bangkit menyambut bibirku. Sebelah lengannya melayang melingkari leherku, sebelah yang lain bertumpu di lantai.

“Mmmmmhhh.. di sini, sama aku, kamu bebas ngapain saja.. Mmmmmmmhhhh..”

“Bebas?”

“Bebas..”

“Boleh ini?” kutarik tubuhnya mendekat, kami duduk bersilangan dengan rapat. Kembali kuselami bibirnya yang penuh, kulumat, kukulum, kugigit. Lily menjerit kecil, lalu tersenyum.

“Boleh ini?” kuturunkan ciuman ke lehernya.

“Boleh.. Ahhhh..”

“Ini?” kuremas payudaranya yang membusung, terasa lembut dalam balutan kaos tipis dan sport bra.

“Terusin.. Aaaaahhhh.. Nanta..”

Lily menegakkan tubuh, menarik wajahku ke bawah, ke tengah payudaranya, membenamkan wajahku di sana.

Aku terengah - nyaris - kehabisan napas. Kugerakkan wajahku mencari udara. Lily merasakan ini sebagai kenikmatan. Wajahku ditariknya lebih rapat, terbenam lebih dalam..

Kuangkat wajahku, kuterkam tubuhnya rebah ke belakang. Kualihkan cumbuan kembali ke wajahnya, mengarahkan bibirku ke celah bibirnya yang merekah terbuka.

“Mmmmmmmmhhhh..” Lily menyambut ciumanku. Lengannya terulur ke bawah, menarik lepas kaosku melewati kepala.

Lily selalu suka membuka kaosku saat sudah seperti ini. Sepertinya ini adalah bagian dari pembawaan pribadinya yang selalu dominan. Dan aku suka diperlakukan begitu. Membuatku merasa lebih diinginkan.

Musik mengalun lembut, mengiringi gerak tubuh kami yang khusu’ dalam cumbu. Melenakan kami yang tengah berlayar dalam gairah yang meluap namun tidak tertumpah.

Beralaskan selembar kain kami bergulingan. Saling tindih bergantian. Selimut alas sudah terlipat, tergulung, lalu terlontar berantakan. Kami tidak peduli. Adalah kehangatan yang kami buru, menggalinya berdua dalam liar cumbu.

“Mmmmmmmhhhhh.. ke kamar.. Li..”

Pertanyaanku teredam lumatan bibir Lily. Dia menggeleng, ganti menindihku. Sejenak Lily menegakkan tubuh. Mata kami bertemu, saat Lily menarik lepas kaosnya ke atas.

Seperti biasa, aku langsung bangkit, tidak ingin membuang waktu, kulepaskan kait bra di punggungnya, membebaskan kedua gunung kembarnya yang melembung indah.

Ya, suhu sekalian, kini aku dapat melihat keindahan dari bentuk ini..

Tanpa sadar, kami bugil sepenuhnya. Berbaring dalam peluk, rebah pada sisi tubuh kami berhadapan. Kaki Lily melingkari tubuhku, menjepit pinggangku seolah takut kutinggalkan.

Sebelah pahanya terjepit di antara kedua kakiku, menekan batang kejantananku. Tubuh kami bergerak menggeliat, mengikuti irama pertautan bibir kami yang saling melumat, mendorong dalam ciuman panjang penuh gairah.

Kubalikkan badan Lily terlentang, kutindih sebagian. Buah dada Lily membulat, terlihat lebih besar dalam posisinya menentang udara, menghadap langsung ke wajahku. Kusambar putting terdekat dengan mulutku, kuremas keras, gemas.

“Ughhhh.. Nanta.. gigitin aku.. Aaaahhhh..”

Sebelah tanganku naluriah bergerilya. Bergerak turun menyusuri garis perut, tepat menuju ke celah basah di antara kedua kakinya.

“Akh.. Jangan, sakit..”

Lily merintih saat jariku menggesek klitorisnya yang menyembul kecil.

“Kering, ke sini dulu.. Iyah, di situhhh.. Aaaahhh..” Dituntunnya jariku ke bagian terbawah vaginanya. Pusat kosmos tubuhnya yang kini membanjir basah. Titik awal penyatuan tubuh dua manusia.

“Oooouuhh.. Nanta.. terus, sayang.. sekarang ke atas..”

Lily meminta dengan lirih. Mengarahkan permainanku yang - sebenarnya - sudah terlatih. Jika Lily senang dengan pikiran bahwa aku sama hijaunya dengannya, biarkanlah begitu saja.

Kumainkan terus jariku di sana. Di lembah indah nan basah milik Lily. Setiap gerakan kecil jariku di vaginanya, menimbulkan gelinjang keras di tubuh Lily, ditingkahi jerit kecil, seperti menandingi musik yang tengah mengalun. Aku dan Lily, ventriloquist dan boneka birahi.

Dengan mendadak, Lily merenggut tanganku dari selangkangannya. Dipeluknya tubuhku, menarikku menaiki tubuhnya. Kakinya terentang membuka, batang penisku jatuh tepat di celah vaginanya.

Kami berpelukan rapat. Kaki Lily bertumpu pada telapak, tertekuk menegakkan lutut. Wajahku kembali turun ke dadanya. Rasanya belum puas menghisapi kuncup payudaranya yang kini mencuat, berdiri menantang.

Tangan Lily menangkup pantatku yang bergerak sendiri, memompa, menekankan batang penisku tepat di klitorisnya.

“Aaaaaahhh.. Nanta.. Ahhhh..”

Kuangkat wajahku dari gunung indah Lily, kutatap matanya. Pinggulku terus bergerak, dalam remasan telapak tangan Lily yang menangkup hangat.

“Aaaaahhh.. Nanta.. aku mau kamu..”

Kutatap matanya lekat-lekat. Lily kini melingkarkan kedua lengannya di leherku, balas menatap.

“Aku mau kamu.. ambil aku, Nanta..”

Kukecup lembut keningnya, matanya, pipinya.

“Kamu yakin, Li?”

“Kamu gak yakin?” Tanyanya balas menggoda.

“Semua denganmu bagiku adalah yang pertama, Nanta.. apakah ini juga pertama buat kamu?” Lily melanjutkan bertanya.

Pikiranku yang berkabut mengarahkanku pada dua pilihan. Jujur dan merusak suasana, atau berdusta karena tidak ingin kehilangan keindahannya.

Petikan gitar mengganti alunan biola, Kla Project melagukan bait Romansa..

Aku mengangguk mantap.

Lily tersenyum. Diciumnya bibirku dalam-dalam, lalu membuka kakinya. Memberiku jalan yang lebih leluasa.

Kumasuki tubuhnya dengan lembut. Aku bergerak sangat perlahan, dengan ritme teratur dan lambat. Tidak kubiarkan Lily merasakan sakit.

Lily mendesah lembut, menikmati setiap gerak kecil yang kulakukan.

Tertiup aroma bunga mengantarkan nikmat gairah s’mara
Terlantun untaian mantra; duhai bersemilah cinta kita
Tersiram prahara kasih, tersenyumlah, dan setia dari waktu ke waktu..


“Aaaaahhh.. Ahhhhhhhh.. Aaaaaaahhh..”

Mata Lily terpejam, terhanyut dalam desir indah saat tubuh kami menyatu, kian rapat, semakin dalam.

Rasanya berjam-jam, sampai akhirnya penisku terbenam sepenuhnya. Kusentuh bibir Lily perlahan, dia membuka mata.

“Sakit?”

Sebuah pertanyaan klasik pria, saat merasa mendominasi pasangannya.

“Sedikit perih.. ahhh.. tapi gak sakit, ahh, Nanta.. penuh sekali rasanya..hh..”

Lily sulit menahan desah. Suaranya seperti sedang terhimpit dalam ruang sempit.

Lalu aku mulai menggerakkan pinggulku. Mata kami tetap bersitatap. Mulutnya terbuka, menganga tanpa sadar, saat ujung terdepan tubuhku, bergerak menggesek pusat syaraf sensori di bawah perutnya.

“Ooouuuhhh.. Ahhhhhh.. Nanta.. kamuu.. Ahhh..”

Pengalaman menguntungkanku, ketabahan dan kesiapan Lily memantapkan gerakanku. Kugerakkan pinggulku dengan ritme konstan. Kuatur napasku setenang mungkin. Pengalaman pertama kekasihku ini haruslah indah. Harus berbeda dari perawan lain di seluruh dunia.

“Aaaahh.. Nanta.. Nantaaaa..”

Lily memelukku erat, menjeritkan mantra birahi, dengan namaku di dalamnya.

Aku terus bergerak memompa. Dangkal, dangkal, dangkal, lalu dalam. Pola yang sama, berulang, teratur.

Naluri dan ketenanganku membuatku dapat merasakan pendakian yang dirasakan Lily. Aku dapat memperhitungkan detik-detik menjelang Lily mencapai puncaknya. Tanpa mengubah ritme, kutambahkan tekanan pada setiap tusukanku.

Lily menggelinjang hebat. Aku tahu Lily akan sampai beberapa saat lagi. Kutambahkan tekanan. Saat ini setiap tusukanku adalah tusukan penuh, namun tetap dengan ritme yang sama.

“Aaahhh.. Ahhhh.. Nantaa.. Oouhhh.. Ahh.. Ooooooooohh.. Nantaaaaaaaaa..hhh..”

Lalu suara seolah disihir hilang dari tubuhnya..

Badan Lily menegang, kepalanya seperti ditarik ke belakang. Kurasakan rembesan cairan yang semakin membanjir, membasahi titik penyatuan tubuh kami. Tidak kuhentikan gerakanku, aku akan tiba beberapa detik lagi.

Kucabut penisku tepat sebelum kusemburkan lahar panasku.. Lahar itu meruah, membanjiri perut Lily yang rata, dalam trance-nya yang tidak kunjung reda.

***

“Jadi aku boleh semauku di luar sana, asal selalu kembali ke kamu?” tanyaku pada Lily, di suatu waktu pada malam itu. Malam di mana kami mereguk bersama indahnya nikmat surgawi, berkali-kali.

Lily tidak menjawab, dicubitnya perutku, “Memangnya kamu mau? Sama siapa? Sahara?”

“Haha, nanya doang, kok. Lagian kan kamu juga yang tadi bilang gitu..” Kubelai pipinya, Lily memejamkan mata. Kami kelelahan, nyaris kehabisan tenaga.

“Kamu beneran belum pernah sebelumnya? Sama Husna juga belum?”

Dalam lena, kurasakan kepalaku menggeleng pelan. Memberikan jawaban tanpa kata.

Jawaban yang kusesali hampir setiap hari setelahnya..

***

Sekilas nubi perkenalkan seorang tokoh baru, suhu sekalian.

Namanya Sahara. Bukan teman belajar, jadi tidak diterakan dalam tajuk cerita. (Mungkin) akan dibahas dalam thread berbeda.

Malam bersama Lily yang nubi ceritakan ini adalah malam di mana kami memutuskan untuk jadi lebih dekat, tetapi juga menjadi malam yang hingga kini kami kenang sebagai milestone yang menjauhkan kami..

Ini satu dari beberapa update terakhir, suhu sekalian, semoga masih terhibur…..
 
Terakhir diubah:
Pertamax

Ijin :baca: dulu sebelum komentar

-------------------

Oke, sudah mendekati ending, teruskan suhu, sampe tamat, dan istirahat sebentar, kemudian lanjutkan season 2.
:p
*banyak maunya*
 
Terakhir diubah:
jadi mentoknya sama Sahara nih......?

duh capolda ane juga namanya Sahara, moga aja bukan yang ini yah....
 
Ane demen nich. Sama lily

" siang hari kanu bebas sesukamu. Tapi ujung hari harus kembali padaku "

Jadi inget. Istilah botol kecap. Biar pun isi nya kececer dimana-mana yg penting botol nya balik pulang

Hahahaaa...
 
Lily ini rupanya tipikal orang yang tak menerima kebohongan ya suhu ?

Sangat disayangkan, perpisahan dengan lily rasanya tak akan semanis dgn husna ya hu...
 
out of my expextation... dari judul saja, tadinya ane mikir this is just another story about sex journey... apalagi diawal2 update, yg menurut ane lebih condong FR, yg bikin ane ogah2an pas bacanya.

tapi semakin kesini nya, semakin keliatan klo cerita ini gak melulu mengenai urusan bawah perut...

satu lagi, ane salut sama cara penuturan dan gaya bahasa yg dipakai, yg bikin cerita yg sebenernya biasa aja jadi menarik untuk disimak... lanjut terus ya, jgn sampai macet... :beer:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd