Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT Husna dan Lily

Update 5

***

Kompleks tempat tinggalku adalah perumahan dengan banyak akses, tanpa pintu gerbang. Keamanan warga ditunjang oleh siskamling mandiri, dengan jadwal ronda tiap malam. Hanya pria berkeluarga yang mendapat giliran ronda berdasarkan jadwal, adapun para pemuda lajang, diharapkan ikut menjaga keamanan setiap malam.

Aku termasuk yang meronda hampir setiap malam. Selepas isya, biasanya kukerjakan sebentar tugas kampusku, lalu rebahan di masjid. Pukul sepuluh malam, aku terbiasa terbangun dan lalu terjaga sampai subuh, sesekali ikut patroli keliling kompleks. Jam dalam tubuhku seolah sudah menyetel alarm, selalu membangunkanku pada jam segitu.

Kebiasaan itu juga yang berjasa membuatku bisa mereguk kefanaan surgawi tubuh Husna, gadis belia yang tidur lelap di sampingku..

***

Aku terbangun belasan menit melewati pukul sepuluh. Sejuknya pendingin ruangan membuat kerongkonganku kering. Kusingkap selimut perlahan, menampakkan tubuhku dan Husna yang polos. Aku melangkah menuju kamar mandi di pojok ranjang.

Saat menuntaskan hajat kecil, kuamati batang kejantananku. Bercak-bercak putih dengan semu merah muda mengering menyelubunginya. Ini darah perawan husna, bercampur cairan persetubuhan kami. Semalam aku ejakulasi di dalam tubuhnya, semoga tidak apa-apa....

Ingatan tentang kejadian di awal malam, membuat gairahku naik perlahan. Akh, masih banyak waktu menuntaskannya. Kubersihkan tubuh bawahku lalu meraih handuk mandi Husna, kulingkarkan di pinggangku dan berjalan ke dapur. Rumah yang besar ini membingungkanku.

Aku masih duduk menggenggam gelasku saat Husna mengintip di pintu dapur.

"Hoo.. dicariin, ternyata di sini...," ujarnya dengan mata menyipit. Rambutnya agak acak-acakan, sisa pergumulan.

Husna menghampiriku, mengambil gelas dari tanganku dan menandaskan isinya.

Saat itu Husna lagi-lagi mengenakan kaos longgarku. Hanya kaos longgarku. Dia minum sambil berdiri menyamping di depanku. Saat menghabiskan air minumnya, dagunya terangkat, menampilkan lehernya yang putih, bergerak seiring bunyi tegukan airnya. Gerakan tangannya yang mengangkat gelas membuat ujung bawah kaosnya terangkat, menampakkan buah pantatnya yang putih, bulat telanjang.

Seketika tuas kecil dalam mesin libidoku terangkat. Aku terangsang!

Kupeluk Husna, kuangkat tubuhnya ke pangkuanku, kuhadapkan badannya mengangkangiku.

"Eit, gelas, kak...," katanya mengingatkan. Gelas diletakkan perlahan di wastafel di belakangku.

"Mau lagi, dek.. mmmmhhh...." Kata-kataku tidak selesai, Husna langsung melahap bibirku dengan rakus. Mungkin kentang sore tadi membuatnya ikut penasaran dan menyimpan nafsu yang latent. Pahanya menjepit pinggangku, bergerak seolah mengelus kulitku.

Husna begitu agresif menyerangku. Cumbuannya turun ke leher, berputar ke telinga dan bahuku. Tangannya memeluk ketiakku, menikung ke belakang, telapaknya mengelus dan meremas punggungku.

"Yang semalam.. Ahhhh.."

"Hhmmm..?" Husna bertanya tanpa menghentikan ciumannya, kali ini di puting dadaku.

"Sakitkah yang semalam, dek?" tanyaku pada akhirnya.

Husna menghentikan sejenak ciumannya di sekujur tubuh atasku. Matanya menjajari wajahku, tangannya di kedua pipiku.

"Sakit, kak.. pake banget.. ga ada enaknya sama sekali...," katanya tersenyum.

"Adek cuma tahu dari orang, dari bacaan, kalo sakit itu hanya awalnya saja, setelahnya bakal enak. Makanya adek mau saja nerusin. Apalagi kelihatannya kak Nanta asyik sekali, jadi adek rela saja.. hihi.."

Aku kehabisan kata-kata.

"Tapi habis ini, kak Nanta tolong bikin adek terbiasa, biar bisa rasakan enaknya sama-sama...," kata Husna setengah berbisik, mengecup lembut bibirku memungkas kalimatnya.

Perasaan dalam benakku jadi campur aduk. Terharu, nafsu, takjub, takut. Tetapi logika dan nurani selalu kalah oleh birahi.

Kurengkuh tubuh Husna dalam pelukanku. Badannya terangkat saat kedua tanganku meremas pantatnya dengan kasar. Kursi dapur berderik saat Husna menyilangkan lengan, mengangkat siku dan melepas kaosnya dengan satu tarikan. Sekali lagi, tubuh polos belia Husna terpajang di hadapanku.

Husna menerkam bibirku penuh nafsu. Sebelah tanganku menangkup payudaranya, meremas lembut, sedangkan tanganku lainnya tetap meremas pantatnya bergantian.

Kami berciuman lama, ketika gerak kami yang liar mulai membuat kursi yang kududuki seperti hilang keseimbangan. Aku lalu berdiri, dengan Husna tetap menjepitku dan memagutku, seperti burung pelatuk di dahan kayu.

Aku melangkah ke koridor, tanpa melihat jalan. Posisi tubuh Husna yang "kugendong" membuat pandanganku terhalang. Di koridor, kuletakkan dia di sebuah meja pajangan yang tingginya sepinggang. Di sini, aku dapat berdiri tegak, wajah Husna sejajar denganku dalam posisi duduknya. Kami terus berciuman.

Handuk yang tadi kukenakan entah jatuh di mana. Kami berdua sudah telanjang, berhadapan, berciuman di suatu tempat yang bahkan bukan ruangan.

"Kak, kak Nanta sudah keras lagi.. Mmmmmhh...," ujar Husna di sela ciuman kami. Tangan kirinya terulur ke depan, menggenggam senjataku yang teracung seperti menunjuk perutnya.

"Adek sudah mau?" tanyaku, sambil bergerak menunduk mencucup puting susunya..

"Oouuhh.. Iya kak.. adek mau lagi.. Aaaahhhnnn.. Ouhhhh.." Badan Husna agak ke belakang, menyandar ke dinding koridor.

Perlahan kususuri buah dadanya dengan ciuman, kuluman, hisapan. Turun ke perutnya, mengitari pinggangnya. Husna meremas rambutku, memejamkan mata, menengadah menikmati sensasi geli nikmat yang menjalari sekujur tubuhnya.

Aku berlutut saat wajahku mencapai paha Husna. Kuciumi kedua belah pahanya bergantian. Tanganku turun ke lututnya, memijat dan meremas lembut. Kulebarkan posisi kedua lutut itu, membuat paha Husna terentang membuka, menampakkan vaginanya yang merekah, basah.

Perlahan, kudekatkan wajah menuju bukaan celah pahanya. Aroma khas vagina menyambut wajahku, kuciumi selangkangannya, bergerak perlahan, menuju bibir vaginanya.

"Aaaaaaahhh.. kak.. adek basah di situ.. aaahh.. jorok, kak.. Ooouuhhhh.."

Kali ini tidak kubenamkan wajahku dalam vaginanya, hanya lidah yang kugerakkan menjelajah anatomi organ kewanitaannya. Lidahku menyapu klitoris dan keempat labia-nya.

Saat kurasakan tubuh Husna menegang, kutegakkan badanku. Kutarik tangannya agar menggenggam batangku. Kuremas pantatnya, posisi kami menjadi rapat. Pahanya mengangkang, membuka jalan. Husna paham maksudku, tangannya menuntun penisku menuju bukaan liangnya yang sudah basah, siap dirambah.

"Aaaaaahh.. Kak...." Perlahan kepala penisku terbenam.

Rasanya sempit, tetapi tidak sesulit pertama kali. Bibir Husna mencari bibirku, mengulum rapat, melumat dengan kuat, seakan hendak menutupi rasa perih yang kembali mendera di sela kakinya. Kedua tangannya memelukku, meremas pantatku yang tengah tegang.

Kugerakkan sedikit pinggulku, agar batangku bisa menerobos lebih jauh.

"Mmmmmhhh.. Hhhhgg.. Mmmmmmhh...." Desahan Husna teredam ciuman.

Posisi ini menghalangiku untuk "masuk" lebih dalam. Untuk mencapai kedalaman maksimal penetrasi, area yang ditumbuhi rambut kemaluan kedua insan harus dapat bertemu dengan rapat. Dengan begitu batang penis dapat mencapai kedalaman maksimal. Posisi berdiri-duduk (lelaki berdiri, gadis duduk) cukup menghalangi hal itu, terutama karena vagina ini baru kehilangan virginity-nya dua jam yang lalu, haha..

Karena rasanya tidak maksimal, kupeluk dan kuangkat tubuh Husna, tanpa melepaskan tusukanku yang sudah masuk dua per tiga.

"Aaaakkkhh.. Kakk.. Ouhhh.."

Ternyata menggendongnya dalam posisi ini membuat batangku melesak lebih dalam. Husna meringis, menghentikan ciuman di bibirku, dan memeluk erat, sambil menggigiti bahuku.

Aku melangkah perlahan menyusuri koridor, menuju entah ke mana. Untuk mencapai kamar semula, aku harus naik tangga.

Naluri mengarahkanku menuju ruang lain, ruang tengah, tempat semula kami bercumbu ashar tadi. Cahaya temaram lampu ruangan lain menerobos lewat pintu yang tak berdaun.

"Mmmmhhh.. Ahhhh...." Husna merintih seiring langkah kakiku. Ternyata setiap langkahku mengakibatkan pergesekan di dalam liangnya.

Perlahan aku duduk selonjor di karpet tebal berbulu, berbentuk bulat di tengah ruangan. Husna tetap mengangkangi pahaku, vaginanya tetap menjepit kemaluanku.

"Aaahhh...." Desah Husna saat bobot tubuhnya membuat penisku masuk lebih dalam lagi.

Husna duduk membelakangi jendela besar di ruang tengah. Kisi-kisi di atas jendela meloloskan larik-larik sinar yang jatuh menyinari sebagian tubuh Husna, yang bersimpuh mengangkangi tubuhku.

Lama kami terdiam, tidak bergerak. Menikmati keberadaan masing-masing. Kurasakan garis bibir vaginanya berdenyut menjepit batangku.

"Adek mau di bawah?" tanyaku sambil menyentuh pipinya. Husna memalingkan wajah, mengecup pelan telapak tanganku.

"Ga, kak.. Ahhh.. mau di atas saja...," katanya pelan.

"Kalo adek di bawah, kakak goyangnya keras, sakit tauk, kak...," lanjut Husna.

Aku paham maksudnya. Husna mau tetap di atas. Dia hendak mengendalikan permainan kali ini, agar rasa yang didapatkannya sesuai kehendaknya. Dia ingin mereguk kenikmatan yang tidak didapatkannya pada ronde kami di awal malam tadi.

Kurabahkan badanku terlentang ke belakang. Husna lalu menumpukan kedua tangannya ke dadaku. Posisi kedua tangannya yang menyatu di tengah membuat dadanya terjepit, membentuk belahan yang rapat, membusung mempesona.

Perlahan diangkatnya pinggulnya, penisku berdesir saat cairan kental di pertemuan selangkangan kami terpecah, terpisah.

"Aaaaaahhh...," desah Husna, saat pantatnya terangkat perlahan.

"Ooooouuuhhhhh...," desahnya lagi saat pinggulnya pelan-pelan diturunkan.

Kucoba membaca wajahnya. Sulit menentukan, apakah itu ekspresi kesakitan, atau rona penuh kenikmatan. Sebelah tangannya meraih tanganku, membawanya, menuntun telapakku meremas dadanya. Tangannya tetap menangkup tanganku, tanpa kata memintaku meremas susunya, dengan ritme yang diinginkannya.

"Aaaaaaaahhh.. Aaaaahhhh.. Ooooouuhhhh.. Kak.. Aaahh...." Suara Husna mengisi setiap celah di ruangan. Setiap gerak tubuhnya yang pelan diikuti dengan erangan dan desahan. Sesekali Husna mendesis dan memejamkan mata rapat-rapat.

Goyang pinggulnya semakin lama semakin stabil dan konstan. Desahannya semakin lama semakin keras, berubah dari desah perih menjadi jerit nikmat.

"Aaahh.. dek.. Aahhhh.. enak, kah?" tanyaku saat mata kami beradu.

Tersenyum, Husna mengangguk malu.

"Iyah, kak.. Ahhhhh.. kak Nanta jangan bergerak, aaahhh...." Husna menahan tubuhku saat tanpa sadar kugerakkan pinggulku menyodoknya dari bawah.

"Aaaaahhh.. Ooouuhh.. Uuhhh.. kak.."

Gerak pinggulnya semakin liar. Kepalanya tersentak ke kiri, lalu ke kanan. Kenikmatan menderanya bagai tamparan. Pantatnya yang naik turun terasa lembut menepuk-nepuk pahaku. Lalu tiba-tiba badannya kaku.

Sebuah mobil berbelok di jalan depan rumah Husna. Sinar lampunya menyorot jendela dari luar, menembus ke dalam, menyinari tubuh Husna dari belakang. Tepat saat siluet tubuhnya terbentuk, berpendar bagai malaikat, kepalanya tersentak ke atas. Pahanya menjepit keras pinggangku, tubuhnya melengkung indah ke belakang.

Keindahan orgasme menyerangnya tanpa ampun.

"Aaahhhh.. kak.. mmmhhh...," desahnya saat rebah ke depan, menindihku, mencari bibirku.

"Enak, dek?" kataku meledek.

"Iihhh, kak Nanta lale.. nanya-nanya mulu.."

Tak sabar, kugulingkan tubuhku, berbalik menindihnya. Pertemuan kelamin kami sesaat terlepas, tetapi langsung kusarangkan kembali saat berada di atasnya.

"Aakkhhh.. kak.. pelan.."

Tidak kuhiraukan lagi lenguhan Husna saat itu. Kuangkat wajahku, duduk tegak dalam posisi setengah berlutut. Kuraih betisnya, kulebarkan sejauhnya. Lalu, dengan kedua tangan masih memegang kakinya ke samping, kugerakkan pantatku maju mundur, mengulek lubang vaginanya..

plochhh.. slepp.. terdengar berulang-ulang, ditingkahi jerit kecil Husna yang kini menggelinjang bagai kesetanan.

"Ooouuhhh.. kak.. aaaahhh.. kak Nantaaaa.. aahhhh.."

"Sakit, dek?" tanyaku terengah.

Husna menggeleng kencang, terus mengerang, menggeliat keenakan. Sepasang payudaranya berguncang-guncang, seiring gerakanku memompa liang senggamanya.

Kurasakan penisku berkedut, panas mendera kepala senjataku itu. Sebentar lagi laharku erupsi. Kucepatkan gerakanku, tetapi tertahan, saat Husna mengunci tubuhnya, membuatku tak bisa bergerak memompa.

"Aaaaaaahhh.. Adek sudah pi.. Aaaaaaaahhhh.." Entah apa yang hendak dikatakan Husna, saat desahnya sendiri menghentikan kalimatnya.

Perlahan Husna melemas, memberiku kesempatan untuk kembali memompa.

"Aaaahhh.. Ooouhhhh.. kak Nanta.. adek sudah.. Ooouuhh...," jeritnya, saat kenikmatan kembali merayap pelan, menggerogoti tubuhnya.

"Dikit lagi, dek.. Aaaaaaahhhh...." Tak bisa kutahan desahanku, saat semburan lava panas menyeruak keluar daru ujung penisku.

Tubuhku rebah ke depan, menindih Husna yang langsung memelukku rapat. Bibirnya menyambut bibirku, bergumul, melumat penuh rindu.

"Mmmmhhh.. kakak ih.. nyembur di dalam terus, adek bisa hamil nanti...," katanya di sela ciuman.

"Mmmhh.. ya mau gimana, mau keluar adek malah kunci pake kaki.."

"Habisnya enak sih, hihi.."

Kami terus berciuman dalam posisi bertindihan. Kakinya tertekuk di lutut, sebelah kaki lainnya melingkar di tubuhku. Tidak lama kemudian, pinggul kami bergerak sendiri. Ketika penis di dalam vagina, gerak memompa memang tak terhindarkan, kan?

Kami bersenggama dengan santai, mendesah berbarengan, saling tindih bergantian. Sisa malam kami habiskan dengan bersetubuh dalam gaya missionari, dan saling memberi orgasme sampai dini hari.

***

Waktu menunjukkan pukul empat dini hari, saat aku dan Husna mencapai limit atas kekuatan muda kami. Permainan terakhir kami lakukan di kamar atas, tempat kami memulai sore sebelumnya.

Kelelahan, aku rebah di lantai, dekat pintu menuju balkon kamarnya. Husna memangku kepalaku, membelai-belai rambutku. Dingin membuat Husna menarik selimut, melingkupi tubuh kami berdua yang sedang bersitatap diagonal.

"Kak Nanta lale...," katanya tersenyum, terus menatap mataku, membelai rambutku.

"Adek juga ga kalah lale...," kataku sedikit berpaling, mengecup bantalku, pahanya yang telanjang.

***

Aku tertidur saat Husna mandi mendahuluiku. Pagi jam tujuh, aku dibangunkannya.

"Gih, mandi, Kak.."

"Lho, Husna sudah mandi waktu kakak tidur ya?"

"Iya, kenapa?"

"Harusnya barengan...," kataku sambil meraih ke depan, meremas susunya yang hanya dibalut handuk.

"Ish, ada juga ga mandi, jadinya.. ini saja masih perih, tauk, kak...," katanya menepis tanganku menjauh.

Aku lalu mandi dan mengenakan pakaianku kembali. Kususul Husna ke dapur, dia membuat sarapan untuk kami berdua.

Kami sarapan dalam diam, hanya sesekali bertatapan. Aku bingung, setiap kali hendak memulai percakapan, yang terpikir di kepalaku hanya tentang persetubuhan. Setiap kali menatap ke arahnya, yang kulirik pertama kali adalah bibirnya, dada dan pantatnya..

Untuk kali pertama aku tersadar; rasa cinta di antara kami tidak mutual. Aku memandang Husna sebagai peraduan birahi. Sementara cintanya padaku, entah ini cinta monyet, kingkong atau gorilla, adalah tulus, setidaknya pada saat itu. Saat hartanya yang paling berharga tanpa ragu diserahkannya padaku.

***

Pada update selanjutnya, akan nubi ceritakan tentang eksplorasi kami saat belajar pada semesta. Erotisme lanjutan 102.

:)

Semoga terhibur, suhu sekalian..

:)

Update released segera..
 
Terakhir diubah:
Gan bisa di jelasin cinta kingkong ma gorilanya hahahahahah...mancab gan ceritanya...monggo di lanjut maning gan :jempol:
 
Gan bisa di jelasin cinta kingkong ma gorilanya hahahahahah...mancab gan ceritanya...monggo di lanjut maning gan :jempol:

Terima kasih, suhu.. :D

Nubi dan Husna sudah sama-sama menikah, tetapi tetap sering berkomunikasi. Kami sering bercanda membahasakan cinta remaja sebagai primata. Semakin muda umur remajanya, semakin besar primatanya. Cinta kingkong mungkin untuk ukuran anak TK, haha..
 
gokil! manteb banget!

lanjut terus suhu!

gilak ini, apakah dulu suhu sama husna setelah itu nggak pernah ketakutan akan bahaya kehamilan suhu??? ngecrotnya di dalem terus...
 
Update 6

***

Kami sarapan dalam diam, hanya sesekali bertatapan. Aku bingung, setiap kali hendak memulai percakapan, yang terpikir di kepalaku hanya tentang persetubuhan. Setiap kali menatap ke arahnya, yang kulirik pertama kali adalah bibirnya, dada dan pantatnya..

Aku memutuskan tidak menghabiskan hari di rumah Kak Hajrah pada Minggu itu. Resiko kedatangan tamu tak terduga terasa lebih besar dan tidak menyediakan penjelasan bagi yang heran; apa yang kami lakukan berduaan di rumah itu. Kusampaikan pada Husna, bahwa aku sudah hendak pulang.

Husna memanyunkan bibirnya setelah kuberitahu.

“Masak adek ditinggal sendirian...,” katanya merajuk.

“Lha kan dulu-dulu kalo jaga rumah di sini adek memang selalu sendirian, kan?” kataku tersenyum.

“Itu beda.. sekarang adek sudah punya pacar, sudah ada kak Nanta. Ananta Pancaroba, si calon guru Fisika. Jadi mestinya ga sendirian lagi dong.. Ish..”

“Masih ada kali lain, kan dek.. Kakak khawatir ada orang datang. Kan lebih baik mencadangkan waktu ketimbang mepet trus kedapatan...,” kataku menghampirinya, memeluk kepalanya.

“Huuu.. dasar kak Nanta cagur, paling bisa bikin penjelasan...,” katanya sambil mendongak, meminta bibirnya dilumat.

Kami sedang duduk di ruang tengah. Aku di sofa, Husna di lantai di dekat kakiku. Kami berciuman lama, tahu akan perlu mencari waktu lagi untuk kesempatan seperti itu.

Seperti biasa, saat berciuman, tidak nyaman rasanya tanpa meremas “sesuatu”. Tanganku kemudian menyusup melalui tepi atas kerah tanktopnya. Posisi duduk Husna yang lebih rendah memudahkan tanganku mencapai gundukan payudaranya.

“Mmmmmhh.. Mmhhh.. Ahhhh..” Husna sulit menahan desah jika tanganku sudah bermain di dadanya.

“Kak Nanta pulang dulu ya, dek....” Kutarik ciumanku ke jidatnya. Husna terpejam menikmati.

Aku lalu berdiri, Husna tetap bergeming. Sepertinya dia tidak mau mengantarku ke depan. Jadi aku hanya tersenyum, menoleh sebentar padanya, lalu melangkah keluar. Kupanaskan mesin motorku, masih di teras depan rumah.

Saat sudah dalam posisi siap berangkat, dari atas motor aku menoleh ke arah rumah. Di jendela kecil dekat pintu samping yang kulewati tadi, Husna menatapku. Dia tersenyum manis, lalu memeletkan lidah. Bibirnya mengerucut, memberiku ciuman jauh.

Bentuk bibirnya yang mungil namun tidak terlalu tipis, selalu membuatku gemas. Gerak ciuman barusan membuatku bimbang sejenak.

Akh, persetan. Aku ingin satu babak lagi. Kumatikan motorku, lalu setengah berlari, kembali memasuki rumah itu. Rumah bisu yang berbaik hati menjadi surga semalamku.

Husna membelalak heran melihatku membuka pintu.

“Kenapa, kak? Ada yang ketinggalan?” tanyanya, tetap berdiri di depan jendela.

“Iya, ini. Mmmmmmhhh....” Kuterkam mungil bibirnya, memagutnya dengan buas. Husna membalasnya tidak kalah ganas.

Kami berciuman dalam posisi berdiri. Kusingkap tanktop hitam yang dikenakannya sejak sarapan tadi. Tanganku berputar ke belakang, melepas kait bra, lalu menmbaliknya ke atas.

Menyembullah dua bukit indah payudaranya. Bercak merah samar menghiasi di beberapa titik, bekas cumbuanku semalam. Kuturunkan wajahku, menekuk lutut, mencucup puting susunya bergantian.

“Ahhhhh.. kak, kenapa jadi pengen lagi? Aaaaahh....” Husna mendesah sambil memeluk leherku, menarik dan membenamkan wajahku lebih dalam ke buah dadanya.

Aku tidak kuasa menjawab. Kepalaku berdenging penuh hasrat. Kutarik celana pendek Husna, terlepas dari bulat pinggulnya. Sekali lagi kutarik juga celana dalamnya hingga lepas, jatuh melingkari pergelangan kakinya.

Kuloloskan kedua celanaku dengan tergesa. Dalam satu hentakan, batang penisku langsung terbebas, terhunus, mengacung di perut Husna.

Aku tahu, Husna saat ini sudah basah. Hisapan-hisapanku di puting susunya sangat membantu mengencerkan pelumas alami di liang vaginanya.

Lalu kuangkat sebelah pahanya, melingkar di pinggangku. Dalam posisi berdiri, kucoba melakukan penetrasi. Husna beringsut menyesuaikan diri. Ternyata dia pun sudah tak sabar ingin kumasuki.

Beberapa percobaan kulakukan, tidak berhasil juga. Lalu kuingat sesuatu. Sesuatu yang kudapat dulu dari sebuah film dewasa yang kutonton saat SMA.

Dengan cepat kuputar tubuh Husna hingga membelakangiku. Kini Husna berdiri menghadap jendela. Tangannya refleks menangkap kisi-kisi jendela, seperti bergantungan di sana.

Kusejajarkan posisi penisku ke bawah pantatnya. Sulit menemukan lubang vagina wanita jika dia berdiri tegak seperti pria, ternyata. Film semi-porn tidak sepenuhnya benar dalam hal ini, hihi..

Kutekan lembut punggung Husna, agar dia sedikit membungkuk. Posisi baru ini membuat pantatnya sedikit mencuat ke atas. Belahan vaginanya nampak jelas dari belakang.

“Kak, mau apa....” Husna menolehkan kepalanya.

“Sabar, dek, kakak mau lagi...,” kataku kalem.

Husna kembali membelakangiku, menunggu. Badannya setengah membungkuk, tangannya memegang ambang bawah jendela. Kuarahkan kepala batang kejantananku, membelah vaginanya..

“Aaaahh.. kering lagi, kak....” Husna merintih, vaginanya tidak sebasah tadi, ternyata.

Dengan tangan, kugerak-gerakkan penisku menggerus belahan kemaluan Husna, kugesekkan naik turun searah celah sempitnya. Perlahan cairan pelumas alami mulai menyebar, membasahi relung vagina Husna, juga kepala penisku.

Kurasakan penisku melesak sendiri menembus jepitan bibir luar vagina Husna.

“Aaaaahhh.. kak.. Aaaaaaaaaahhh.. Ooouuuhh....” Husna merintih lagi, kali ini lebih merdu, haha..

Kugerakkan pinggulku maju mundur dengan lembut. Pada setiap gerakan maju, penisku masuk lebih dalam dari sebelumnya.

Amboi, suhu sekalian, posisi menusuk dari belakang ternyata berjuta rasanya. Posisi kaki wanita yang berdiri tidak terlalu mengangkang membuat jepitannya lebih grip. Belahan vagina yang terekspose sepenuhnya membuat penis menghujam jauh lebih dalam, seperti masuk seluruhnya. Belum lagi sensasi bulatan pantat yang kenyal memijat paha dan perut si lelaki, memantul-mantul dengan empuk.

Kupompa perlahan liang senggama Husna. Husna mengerang dan menjerit bergantian. Badannya terpuruk semakin turun, tidak kuat menahan kenikmatan di area bawah tubuhnya.

“Ooouuhhhhh.. dalam sekali, kak.. Aaaaaaahhh...,” jerit Husna berkali-kali.

Posisi badannya yang semakin merunduk, bertumpu di jendela membuat vaginanya semakin mudah kuakses. Kutingkatkan kecepatan dan kekerasan hujaman penisku pada setiap kali sodokan.

Tubuh Husna beriak bergetar menyambut tusukan demi tusukan yang kulancarkan.

“Aaaaaaahh.. Oouuuuhhhh.. Kak, terus, kak, lebih dalam.. Aaaaahhh..” Husna tidak lagi malu meminta.

Desahan wanita selalu membuat pria lebih bersemangat memompa, bukan, suhu sekalian? Itulah mengapa aspek GFE termasuk hal yang diperhatikan dalam memilih WP. Mereka yang nilai GFE-nya tinggi biasanya mendesahnya asyik, hihi..

Suara Husna yang terus mengerang dan mendesah membuatku semakin menggila. Kuraih buah dadanya yang menggantung dengan kedua belah tangan. Husna sedikit menegakkan badan, menyerahkan susunya untuk kuremas-remas. Tangan kanannya terulur ke belakang, mencoba memegang pinggulku, menarikku agar terus menusuk lebih dalam.

“Terus, kak.. Ooouuhhhh.. adek hampir sampai.. Aaaaaahhh..”

Kurasakan orgasme-ku juga sudah di ambang jalan. Sedikit lagi laharku menyembur. Kupercepat gerakanku, kuperdalam sodokanku. Lalu..

“Aaaaaahhh.. dek, kakak keluar.. Aaaaaaaahhhh...,” seruku tertahan, seolah berbicara lewat hidung.

“Jangan stop, kak.. terus.. Oooouuhhhhh.. Sssssshhh… Ooouuhhh....” Husna mendesak. Tangan kanannya menarik-dorong pinggulku, memintaku tidak memperlambat ritme.

Meski sudah ejakulasi, kecepatan gerakku tidak kuturunkan. Kurasakan basah vagina Husna sampai membanjir, meleleh turun menyusuri pahanya. Itu cairan kami berdua. Terus kusodok dengan kecepatan tinggi.

“Ooouuuhhh.. iya, kak, begitu.. adek sedikit lagi.. Ooouuhhh..”

Lalu tubuhnya menegang. Tangan yang tadinya meremas pinggangku kini mencengkeram erat. Buku jarinya memutih di ambang jendela. Husna sedang orgasme dengan hebatnya.

“Aaaaaaahhh.. kak Nanta.. Ahhhhh...,” desahnya meredakan engah.

Kupeluk tubuhnya dari belakang. Husna berdiri tegak, penisku terlepas dari liangnya. Husna bersandar ke depan, di jendela. Tanganku menahan tubuhnya, menangkup dada.

Perlahan nafas dan detak jantung kami pulih. Setengah terengah kami merapikan pakaian.

“Kak Nanta pulang, gih.. adek mau bobo sampe sore.. hihi...,” kata Husna tiba-tiba, mendorongku keluar dari pintu.

Aku tertawa, melangkah keluar. Kunyalakan mesin motorku, lalu mengarah pulang.

***

Pukul 11 malam. Aku terbangun di pos ronda. Sebuah sms menggetarkan ponselku.

Husna said:
adek baru bangun nih.. capek kak..


Sedang kuketik balasan saat pesan berikutnya masuk lagi,

Husna said:
tapi enak, mau lagi.. luv u, kak Nanta lale..


Aku tersenyum, sms nya tidak jadi kubalas. Kukantungi kembali ponselku, lalu kembali rebah. Sekali tidak ikut patroli ronda tidak mengapa, lah ya.. Haha..

Lalu sebelum lena menutup terangku, sebuah kesadaran lain menimpaku; aku tidak pernah benar-benar mengatakan "cinta" pada Husna.

Tidak bahkan dalam balasan pesan singkat.

***

Semoga terhibur, suhu sekalian..
 
Terakhir diubah:
gokil! manteb banget!

lanjut terus suhu!

gilak ini, apakah dulu suhu sama husna setelah itu nggak pernah ketakutan akan bahaya kehamilan suhu??? ngecrotnya di dalem terus...

Jeli sekali suhu ini, hehe..

Benar, suhu.. kami pernah mengalami masalah sekaitan hal itu. Kami lalu belajar banyak hal baru karenanya.
Sesuai judul, Husna memang teman belajar yang baik..

Akan diceritakan pada update-update selanjutnya.. :)
 
Aarghhhh.... Husna menggemaskannnn......



:tegang: dibuatnya



untung dirimu tidak bertemu biniku....


klo ketemu bisa kena pasal 81 ko itu.....

haaahaahahaha

:D

Jangan-jangan istri-ta dinas dekat fly-over.. klo iya, mungkin pernahja ketemu sekilas.. :D
 
Bimabet
dia di kartini.... tugas di Kejari makassar.... yg di fly over itu kejati....


namanya sama dengan nama di ceritaku ji bro.... hehehehehe

Nah, terjawabmi kenapa detail2 tentang pasal KUHP dikutip dengan fasih di ceritata, suhu.. :)

Semoga pasal yang bisa kenaka' nda berlaku surutji. Husna skrg kan ibu2mi, waktu ituji usia anak-anak.. :D
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd