Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

[CERITA DETEKTIF] DETEKTIF KIM BUKU 1: DETEKTIF OBESITAS [by Arczre]

gelar tiker dulu suhu.
ane doain semoga apdetnya cepet diposting.
 
Tuing..tuing..tuing...bolak balik ngos ngosan mantengin my heroine-echo-KIM..
 
Sssssstttt...., jangan berisikkkk! Ada yang lagi tidur... :mindik:

Pokoknya ditunggu aja..., saya juga lagi ngintip nih, siapa tahu pemilik thread ngetik diam-diam buat update... :ngeteh:

Yuk, ngopi dulu :kopi:
 
Sssssstttt...., jangan berisikkkk! Ada yang lagi tidur... :mindik:

Pokoknya ditunggu aja..., saya juga lagi ngintip nih, siapa tahu pemilik thread ngetik diam-diam buat update... :ngeteh:

Yuk, ngopi dulu :kopi:

yessssssss.... ikutan bang rang2 ngintip ts ah.... kayanya bang arci lg ngetik bedua iskha tuh :D
 
updatenya KIM agak lama. Ane belum siap untuk post.
 
kopi ane keburu dingin nih..ceritanya lom dilanjut aja..hiks
 
Udah jadi es kali bro. Ane masih stuck bagian pelaku ketemu ama Kimnya. Beberapa kali nulis tapi rasanya nggak masuk akal jdnya dihapua lagi.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Namaku Toni Wijaya Putra Hartono anak kedua dari keluarga Hartono. Aku ini orang biasa. Masih duduk di kelas 2 SMA. Karena aku akan biasa
bukannya "anak biasa" ya suhu ?
 
6. Planet Pikiran

Narasi Toni

Kalau saja hari itu aku yang tidak punya pekerjaan ini pergi keluar bersama teman-temanku mungkin aku tidak bakal mendapatkan sebuah pengalaman seru bersama Kim. Siapa lagi yang bisa mengajakku untuk bisa terjun ke dalam penyelidikan menegangkan dunia detektif ini? Setelah Paman Marvin terkesima dengan Kim maka kejutan adalah ketika pagi hari aku membaca koran mendapati pembunuhan sadis seorang pegawai cuci cetak foto yang dibunuh di rumahnya sendiri dengan cara dijerat lehernya dengan menggunakan tali sepatu.

Namanya Nita. Dia cukup cantik sebenarnya, sayang sekali dia harus menjadi korban dalam pembunuhan ini. Apakah pelakunya sama? Biasanya dalam dunia misteri seperti ini para pembunuh akan memberikan pola atau petunjuk apakah dia sama ataukah tidak, tapi kali ini sepertinya Kim punya cara lain untuk mengetahui apakah sang pembunuh ini sama ataukah tidak.

Paman Marvin datang siang hari setelah kami pulang sekolah. Kebetulan sekali sebenarnya Lusi juga ada di rumah. Err...ini agak kompleks sebenarnya. Parahnya adalah kami ketahuan. Lusi mengetahui kemampuan Kim dan itu bukan salahku atau salahnya. Ini semua terjadi karena tidak sengaja.

Kejadiannya adalah ketika kami ada tugas Sejarah. Tentu saja daripada kami harus mengerjakan di rumah kami mending mengerjakannya di perpustakaan. Selain lebih banyak buku yang bisa dijadikan referensi, plus kita bisa tenang mengerjakan pekerjaan rumah. Takutnya nanti kalau kita sudah di rumah bakalan lupa terutama aku. Tahu sendiri ketika aku sudah ada di rumah, aku bisa main game sampai lupa waktu. Kim juga sebagai salah satu sobat yang bisa menyemangatiku untuk bisa belajar. Aku cukup salut kepadanya, dengan kepintarannya ia bisa mengajariku banyak hal, bahkan cara-cara untuk menyelesaikan persoalan Matematika dan Kimia aku dapatkan dari dia.

Satu hal yang membuatku lebih mengagumi Kim adalah otaknya yang bisa merekam banyak hal. Aku tak mengerti bagaimana ia melakukannya tapi mungkin ini yang disebut kemampuan dari lahir. Orang yang punya ingatan fotografis, sekali melihat sesuatu maka ia akan mengingat selamanya, sekali ia mengingat sesuatu maka ia tak akan mudah lupa. Kalau pun lupa ia pasti akan mengingatnya. Kim menjelaskan ini semua.

"Kamu tahu Ton, rahasia bagaimana aku bisa mengingat banyak hal?" tanya Kim di sela-sela aku menaruh buku-buku sejarah di perpustakaan yang bertumpuk-tumpuk di meja.

"Rahasia apa?" tanya Toni.

"Rahasia tentang memoriku," lanjut Kim.

"Ah iya, kamu pernah bilang bahwa kamu punya planet pikiran. Apa yang kamu maksudkan planet pikiran itu?"

"Planet pikiran itu adalah dunia di dalam otakku. Bayangkan saja seperti ini engkau tinggal di sebuah planet bernama bumi, aku menyebutnya planet pikiran. Di dalam planet itu ada banyak sekali benua. Benua-benua itu aku bagi, benua yang berisi ingatan-ingatan kelam aku sebut dengan limbo, benua yang berisi pikiran bahagia aku sebut dengan taman surga, benua yang berisi pikiran pelajaran-pelajaran dan ilmu-ilmu aku sebut dengan benua bermain, dan benua yang berisi pikiran lainnya aku beri nama benua artik. Semua benua itu aku pisah-pisahkan sehingga aku bisa mengontrolnya agar tidak saling berbenturan ingatan satu dengan ingatan yang lain. Lebih dalam lagi setiap benua ada negara-negara, juga ada kota-kota, juga ada desa-desa, ada jalan-jalan. Dan setiap daerah ada rumah-rumah. Setiap rumah-rumah itu adalah potongan-potongan kecil pikiranku. Otak kita menyimpan lebih dari 100 milyar sel. Kalau kita tidak bisa menggunakannya dengan bijak, maka kita tak akan bisa menggunakan kemapuan otak kita sepenuhnya."

Penjelasannya membuatku bengong, seratus persen aku tak faham. Aku tak pernah bisa mengerti apa yang dibicarakan oleh Kim. Maklumlah otakku lebih lambat cara kerjanya.

"Aku tahu kamu tak mengerti maksudku," kata Kim. "Aku bisa fahami. Tenanglah suatu saat aku akan menemukan obat yang bisa membuatmu lebih cerdas."

"Eh, kampret. Kamu ngeledek?"

"Hahahaha," tawa Kim. kami pun terlibat pertarungan sengit saling berusaha menempeleng satu sama lain.

"SSSHHHH!" terlihat petugas perpus menutupkan jari telunjuk ke bibir. Mengisyaratkan kami agar tidak berisik. Aku dan Kim nyengir.

"Baiklah kembali ke rencana awal. Kamu menghafal ini semua lalu kamu ceritakan kepadaku, aku yang menulis. Tugas kita adalah merangkum tentang peristiwa kemerdekaan dari mulai detik-detik proklamasi sampai terjadinya perang kemerdekaan di mana Jogjakarta menjadi ibu kota sementara," kataku.

"OK, serahkan kepadaku," kata Kim. "Kamu sudah siapkan cemilan kan? Kalau aku berubah di sini, nggak lucu."

"Ada di ranselku, dan aku membawa tiga bungkus coklat. Cukup untuk menumpuk kalorimu bukan?" tanyaku sambil mengeluarkan tiga balok coklat.

"Baiklah, kita mulai."

Maka dimulailah Kim membuka-buka buku. Satu buku, ia buka satu per satu halamannya. Kurang dari satu detik ia membuka sebuah halaman. Kurang lebih selama dua menit dia selesai membolak-balikkan halaman buku sejarah. Kemudian beranjak ke buku selanjutnya. Mulailah tubuh Kim menguap. Aku bisa melihat asap keluar dari kulitnya. Perlahan-lahan asap itu pun mengepul seperti mesin uap. Sebenarnya aku bahkan tak mengetahui kalau saat itu aku diperhatikan oleh seseorang. Buku demi buku sudah dilahap habis oleh Kim hingga akhirnya tak ada satu pun buku di meja yang tidak dia buka dan hafal. Kurang lebih selama setengah jam kami berada di sana. Seperti yang diketahui tubuh Kim pun mengurus. Dia separuh lebih langsing.

"Whoaa...kamu lebih kurus, Kim!" kataku. Aku segera memberikan coklat-coklat tadi kepada Kim.

"Kamu tahu kalau di perpus tidak boleh makan?" tanya Kim.

"Persetan daripada ketahuan," kataku.

Kim segera membuka bungkus coklat itu dan langsung mengunyahnya. Satu per satu coklat itu masuk ke mulutnya, sepotong demi sepotong hingga habis. Tunggu beberapa detik kemudian dan tubuhnya mulai membesar lagi.

"Sudah?" tanyaku.

"Ya, aku sudah menghafal buku-buku ini."

"Semuanya?"

"Semuanya, bahkan daftar pustakanya pun aku ingat, halaman-halaman yang dicoret, dirobek, kertasnya yang lusuh, semuanya aku ingat."

"Briliant! Kau memang orang yang luar biasa."

"Ayo cepat, kita harus pulang, nanti dicariin Tante Sarah!"

Kami pun buru-buru keluar perpustakaan tanpa mengembalikan buku-buku tadi. Tenang saja karena petugas perpustakaan pasti akan mengembalikan buku itu ke tempat semula. Kami biasa melakukannya, bukankah seperti itu tugas dari pengurus perpustakaan? Hehehe.

"Tunggu!" seru seorang perempuan ketika kami keluar dari perpustakaan. Kami berdua berbalik dan mendapati Lusi keluar dari perpustakaan. Oh, mau apa dia?

"Ada apa, Lus?" tanyaku.

"Aku tahu semuanya, aku melihat kalian!" katanya.

"Melihat?? Melihat apa?" tanyaku. Kim dan aku saling berpandangan.

"Kamu, Kim kan? Bagaimana kamu melakukannya tadi?" tanyanya.

"Melakukan apa?"

"Tak usah menyembunyikannya aku telah melihat semuanya, bagaimana dia bisa menghafal semua buku itu. Itu yang kalian bicarakan bukan? Menghafal buku-buku kemudian dia menjadi kurus, keluar asap, kamu ini apa??" Kata-kata Lusi benar-benar membuat kami terhenyak.

"Kamu salah lihat kali, lihat aja Kim masih seperti ini koq." Aku menyanggahnya.

"Tak usah menyanggah Ton, aku tahu semuanya," kata Lusi. "Tapi tenang aja aku tak bakalan bilang ke siapa-siapa."

Aku dan Kim saling berpandangan. Kami akhirnya sama-sama menghela nafas. Lagipula mungkin Lusi memang tak akan mengatakan ke siapa-siapa. Dia lebih bisa dibilang orang yang bisa menyimpan rahasia. Dia pandai menyimpan rahasia maksudku. Aku pun merangkul Kim.

"Ya begitulah, Kim memang luar biasa bukan?" kataku.

"Keren, cerita dong kenapa kamu bisa seperti itu??" tanya Lusi penasaran.

"Yaahh, bisa dibilang ceritanya panjang," jawab Kim.

"Nggak apa-apa. Boleh ya aku main ke rumahmu?!"

Aku dan Kim berpandangan lagi. Rasanya anak ini mulai menyukai Kim, tidak mungkin dia menyukaiku lagipula aku yakin orang sepertiku bukan tipe Lusi, dan dia juga bukan tipeku. Tipeku ya seperti Yunita. Begitulah kira-kira. Lusi menatap ke arah Kim, rasanya ia seperti baru saja bertemu makhluk aneh. Matanya berbinar-binar menampilkan wajah keingin tahuan yang luar biasa, sama seperti Kim ketika tertarik kepada sesuatu.

Dan dengan demikian Lusi menjadi salah satu orang dari luar keluarga kami yang mengetahui kemampuan Kim. Dia sekarang berada di rumah. Datang dengan baju casual, sepatu kets dan celana jins. Tipe orang bermata sipit seperti Lusi lebih terlihat cute ketika memakai baju casual seperti sekarang ini terlebih dia menguncir dua rambutnya. Bukan, bukan dikuncir lebih tepatnya dikepang dua. Ditambah kacamatanya dia tambah semakin cute.

Aku langsung menyambutnya ketika sore hari dia datang ke rumah.

"Kamu beneran datang rupanya," kataku.

"Iya dong, kan aku sudah bilang kepengen tahu tentang Kim. Hehehe," ujar Lusi.

Ini anak keras kepala ternyata. Kim hanya tersenyum saja. Hmm...sebentar, pandangan Kim sepertinya beda. Tunggu dulu, ini tidak mungkin. Ini sangat tidak mungkin. Kim, sepertinya tertarik ama Lusi. Ah, ngomong-ngomong soal cewek, aku tak pernah tahu cewek tipenya Kim itu seperti apa. Untuk orang seaneh Kim memang aku tak begitu tahu mengenainya, tapi yang jelas Kim masih misterius. Ia tak pernah membicarakan sesuatu tentang yang namanya perempuan. Ia terlalu sibuk dengan pikirannya, ya tentu saja dengan pikiran-pikirannya percobaan-percobaan ilmiahnya, tanaman-tanaman yang ada di halaman dan banyak hal lainnya yang terkadang aku sendiri heran dengan sikapnya ini.

Kim tersenyum saja menghadapi rasa penasaran Lusi. Dia pun mulai bercerita tentang keadaannya kepada Lusi sebagaimana ia bercerita kepada kami dulu. Yah, apa boleh buat. Kim bercerita dan Lusi mendengarkannya dengan seksama. Ia memang terbengong-bengong ketika Kim menjelaskan bahwa otaknya bekerja seperti generator yang akan menyerap seluruh lemak yang ada di dalam tubuhnya sebagai energi untuk berpikir. Boleh dibilang Kim ini sejenis mutan. Kalau dalam cerita X-men mungkin ia akan direkrut oleh Profesor X sebagai mutan berkemampuan yang sangat menakjubkan.

"Begitulah keadaanku sekarang," kata Kim menyelesaikan ceritanya.

"Whoaa... luar biasa, aku tak pernah menyangka akan seperti ini," kata Lusi dengan penuh semangat. "Trus, trus, kamu mengggunakan kemampuanmu untuk apa aja?"

"Rencananya kami mau buka biro detektif," ujarku.

"Keren itu keren, aku boleh dong jadi anggotanya. Boleh ya? Boleh ya?" Lusi lagi-lagi berkata dengan mata berbinar-binar.

Kim ketawa mendengarkannya, "Halaah, itu cuma akal-akalannya Toni saja."

"Eh, aku serius lho ketika bilang kita bikin klub detektif kemarin," kataku.

"Spadaaa?!" terdengar suara dari arah pintu. Aku langsung mengenali suara itu, Paman Marvin. Siapa sangka beliau datang di saat begini.

"Eh, paman! Apa kabar? Ada urusan apa nih?" tanyaku.

"Kim, paman butuh bantuanmu. Kali ini fresh from the oven. Eh, fresh from the crime scene!"

Dengan wajah tolol kami bertiga tak mengerti maksud paman, tapi setelah kami berada di dalam mobilnya--termasuk Lusi tentu saja--akhirnya kami mengerti. Beliau mengajak kami untuk ke TKP pembunuhan terbaru. Ketertarikan Paman Marvin terhadap Kim ternyata sangat luar biasa. Agaknya beliau mulai merasa bahwa Kim adalah salah satu aset yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Polisi seperti beliau yang sering mentok dalam mengatasi suatu kasus sepertinya melihat Kim punya bakat khusus untuk menjadi penyidik atau detektif.

"Kita mau kemana paman?" tanyaku.

"Kalian akan tahu nanti," jawabnya.

"Ada korban lagi?" tanya Kim.

"Ya, menurut pengamatanku ini berhubungan dengan kasus sebelumnya," jawab paman.

"Kasus apa?" tanya Lusi.

"Kasus ini kami sebut sebagai Kasus Sang Penguntit," jawab Paman Marvin.

"Sudah ada nama rupanya," kataku.

"Benar sekali. Ini dikarenakan diduga sang pelaku mengikuti korban. Beberapa saksi mata menjelaskan bahwa korban yang baru saja ini diikuti oleh seorang lelaki. Dan lelaki itu terlihat keluar dari rumah korban."

"Oh, ada saksi mata?" seruku.

"Ada, seorang anak kecil yang melihat korban diikuti oleh tersangka."

Aku mengangkat alis. Kim masih sibuk mengunyah kentang goreng yang ia bawa. Lusi pun ikutan mencomot kentang goreng itu. Kim agaknya tak peduli kalau Lusi mengambil miliknya.

"Lalu gambaran tersangkanya?" tanyaku.

"Anak kecil itu tak tahu wajahnya, karena ia melihatnya dari jauh. Seorang laki-laki memakai topi hitam dan memakai jaket kulit," cerita paman Marvin.

"Sebentar, bagaimana anak kecil itu bisa menceritakan hal ini?" tanyaku.

"Tak sengaja, ketika sang ibu sedang bercakap-cakap bahwa anak itu tadi melihat 'Mbak Nita tadi diikuti temannya, tapi ia tak kenal dengan temannya'. Dan satu lagi."

Ini yang menarik.

"Anak itu autis."


***​


TKP yang kita datangi ini adalah rumah korban. Begitu kami datang semua petugas tampak keheranan karena tiga orang remaja ingusan masuk ke dalam garis pembatas kepolisian, terlebih lagi para tetangga yang lebih heran lagi melihat kami bertiga. Tapi aku dan Kim santai saja sih, lebih tepatnya berusaha santai. Beda dengan Lusi, ia lebih tertarik bersemangat, matanya berbinar-binar.

"Sebaiknya kamu tak mengotori TKP dengan makanan," kata Paman Marvin kepada Kim.

Kim mengerti lalu menyerahkan snacknya kepada Paman Marvin. Paman mengambilnya dan menyerahkan kepada anggota polisi yang lain. Kami masuk ke sebuah rumah yang pintu depannya ada anak tangga pendek seukuran tingginya kira-kira 30 cm dari teras. Pintunya terbuat dari kayu jati dan sudah terbuka ketika kami masuk. Paman Marvin menyerahkan tiga pasang sarung tangan kepada kami. Aku, Kim dan Lusi segera memakainya.

TKP-nya secara mengejutkan tampak lebih rapi. Seperti tak ada perlawanan di sana. Dan kami melihat sesosok tubuh di sana, tergeletak dengan posisi tengkurap.

"Belum dibawa ke rumah sakit?" tanya Kim mengerutkan dahi.

"Sengaja aku suruh biarkan dulu di sini. Ayo Kim, coba kamu selidiki tempat ini pasti kamu dapat sesuatu tentang pembunuh itu!" kata Paman Marvin. Entah kenapa beliau lebih bersemangat.

Kim menatap ke arahku. Dia hanya mengangkat bahu. Dan beginilah akhirnya aset tak terduga ini pun akhirnya dipakai juga. Obsesi Paman Marvin langsung terlihat ketika ia langsung mengistimewakan kami. Kim berdiri tak jauh dari korban. Aku berada di sampingnya. Posisi korban telungkup dengan kepala menghadap ke lantai. Sepertinya dibiarkan seperti itu sejak semula. Kim berjalan mendekat ke korban, aku tak pernah menyangka ia mau menyentuh mayat. Ya, Kim menyentuhnya. Aku tak bakal berani menyentuh mayat, sama sekali tidak. Tapi melihat Kim berani menyentuh mayat, itu artinya dia sudah pernah menyentuh mayat sebelumnya.

"Keringat, sepertinya korban belum sempat ganti baju, membersihkan diri, dan dia baru pulang dari kerja," kata Kim. "Sang penguntit mengikutinya sejak dari dia pulang kerja."

"Tepat sekali," kata Paman Marvin. "Seperti dugaanku."

"Yang paman ketahui memangnya apa dari tempat ini?" tanyaku langsung.

"Aku ingin mengetahui dari Kim," kata Paman Marvin.

"Ayolah paman, ini tidak lucu. Paman sebenarnya sudah tahu bukan? Lalu buat apa kita main-main di tempat seperti ini?" tanyaku.

"Aku lebih tertarik dengan pendapat Kim. Bagaimana Kim? Ayolah, dari wajahmu yang tidak terlihat takut terhadap mayat kamu sudah sering melihatnya bukan?" tanya Paman Marvin.

"Maksud paman?" tanyaku keheranan.

"Bukan apa-apa," jawab paman. Ia sepertinya menyembunyikan sesuatu.

"Aku dulu pernah ikut satuan investigasi khusus di Jerman," jawab Kim.

"Haaaahh??!" aku tentu saja terkejut. Kim tak pernah cerita. "Paman tahu?"

"Iya, makanya aku lebih tertarik dengan Kim. Ia bisa jadi aset yang luar biasa bagi kepolisian," kata Paman Marvin.

"Tapi paman, dia cuma Kim! Anak biasa!" kataku.

"Benar sekali, tapi kemampuannya luar biasa dan kita semua setuju itu," katanya.

"Kim, kamu harus cerita lebih banyak lagi tentang apa yang terjadi!" kataku.

"Bukan apa-apa Ton, bukan apa-apa. Lagipula aku tak terlalu tertarik menceritakannya. Di Jerman, tak ada yang bisa aku sebut teman. Di sini aku punya teman," kata Kim sambil tersenyum kepadaku. Entahlah, senyumannya ini sangat tulus menurutku. Ada rasa di mana senyuman itu mengisyaratkanku agar jangan banyak bertanya lagi.

Kim melihat seluruh ruangan, dia seperti sudah terlatih, tak hanya itu ia juga menyusuri lantai hingga ke keset. Di sana ia mengamati sesuatu, kemudian kembali ke korban dan memeriksa tali sepatu yang digunakan untuk menjerat korban. Bocah gendut itu mulai mengeluarkan sedikit asap di kulitnya.

"Boleh aku bicara dengan saksi matanya paman?" tanya Kim.

"Kamu sudah cukup di sini?" tanya Paman Marvin.

"Sudah cukup," jawabnya sambil tersenyum.

"Kim tak apa-apa?" tanya Lusi.

"Aku juga khawatir sebenarnya," jawabku.

Saksi mata itu adalah seorang anak kecil. Anak perempuan yang tinggal tak jauh dari rumah Nita. Anaknya cukup bersahabat. Dia punya banyak mainan. Ketika kami berempat masuk ke rumahnya, orang tuanya sekali lagi heran melihat anak remaja seperti kami masuk bersama pihak kepolisian. Nama anak itu Rara.

"Rara, apa kabar?" sapa Lusi dengan bersahabat. Mungkin memang sudah habbit dari seorang wanita yang merasa ramah terhadap siapapun, terutama Lusi memang sifatnya seperti itu. "Rara, kenalkan aku Lusi, ini Toni, itu Kim, dan om yang itu polisi. Kami boleh tanya-tanya sebentar?"

Rara yang masih kecil dan lugu itu menoleh ke arah ibunya yang berada di pintu. Ibunya mengangguk.

"Rara, kenal sama tante Nita?" tanya Lusi.

"Kenal, dia sering beliin Rara mainan," jawab Rara.

"Lalu, kemarin Tante Nita pulang sendiri?" tanya Lusi.

"Iya, pulang sendiri. Tapi ada yang mengikutinya, orangnya pakai topi seperti itu!" Rara menunjuk ke sebuah boneka pemain baseball. "Lalu jaketnya seperti punya papa."

"Jaket kulit seperti punya suamiku," kata ibunya Rara.

"Apakah tante Nita melakukan hal yang aneh?" tanya Kim.

Rara menggeleng.

"Ataukah orang yang mengikutinya melakukan sesuatu yang aneh?" tanya Kim lagi.

"Dia sepertinya merokok, dia tampak membuang putung rokok ketika keluar rumah. Cara jalannya sedikit aneh, agak menyeret kaki kanannya," ujar Rara.

"Kamu melihatnya dari mana?" tanya Kim.

"Dari situ," kata Rara menunjuk ke sebuah jendela kamar.

Kim kemudian berjalan dan mengamatinya. Aku bisa melihat dengan jelas rumah Nita dari jendela ini. Dan memang letak jendela ini tersembunyi berada di sudut jalan. Jadi sang pelaku jelas tak mungkin bisa mengetahui kalau ada anak kecil memperhatikannya.

Rara kemudian sibuk kembali dengan mainannya. Ia menata krayon miliknya, mengurutkan warnanya lalu kemudian memilih satu untuk digoreskan di kertas gambar. Kim mengamati Rara sambil tersenyum. Anak ini sepertinya tak pernah menyadari keberadaan dirinya maupun orang lain. Ia hanya konsentrasi terhadap mainannya. Kim mengangguk-angguk seperti menyadari sesuatu.

"Apakah ada sesuatu yang bisa kita lihat di mall?" tanya Kim. "Terutama tempat di mana korban bekrja."

"Kami sedang mengumpulkan bukti kamu mau lihat?" tanya Paman Marvin.

Kim mengangguk.

Semenit kemudian kami pergi ke mall tempat cuci cetak film itu berada. Selama perjalanan Kim sepertinya sibuk berpikir, ia mulai mengeluarkan keringat dingin, tubuhnya menguap.

"Kim, kamu tak apa-apa?" tanyaku.

"Tak apa-apa," jawabnya.

"Ceritakan kepadaku apa yang kamu dapatkan?!" tanyaku.

"Sang pembunuh sama seperti pembunuh sebelumnya, sang penguntit adalah yang membunuh Nawang Wulan," kata Kim.

"Bagaimana kamu bisa yakin?" tanyaku.

"Rokok kesukaannya sama. Dan satu lagi jejak sepatu mereka sama," kata Kim.

"Jejak sepatu?"

"Aku sebenarnya ingin menyimpannya dulu kalau kamu tak keberatan, Ton."

"Tapi kami sudah tidak sabar ingin mengetahuinya," kata Lusi.

"Sebaiknya nanti setelah kita lihat video CCTV-nya," kata Kim.

Tempat cuci cetak tersebut memang memiliki sebuah video CCTV. Kami melihatnya dengan seksama bagaimana rekaman yang ada di sana. Dengan surat dari kepolisian, kami pun bisa melihat rekaman video tersebut, rekaman ketika Nita sebelum pulang dari kerja. Di sini terlihat Nita melayani beberapa orang pelanggan, ada total tiga orang yang memakai topi dan jaket. Tapi tidak jelas, apakah jaket mereka jaket kulit atau bukan.

"Apakah mereka menyimpan nama-nama para pelanggan ini?" tanya Kim.

"Ya, tentu saja," kata Paman Marvin.

Dalam sekejap kami sudah mendapatkan nama ketiga orang yang diduga adalah pelaku. Mereka adalah Jodi, Arib dan Zainal. Kami mengantongi alamat rumah mereka. Dan mungkin akan mencoba bertanya kepada mereka satu per satu nantinya.

"Hmm... kamu sudah tahu Kim siapa pelakunya?" tanya Paman Marvin.

"Belum paman," jawab Kim.

"Apakah ada yang kurang?" tanya Paman Marvin.

"Tanyai saja mereka, tanya dengan sedetail-detailnya lalu kita akan ambil kesimpulan," jawab Kim.

"Trus, analisamu apa Kim?" tanyaku yang masih penasaran.

"Analisaku, perutku mulai lapar," jawabnya.

"Ayolah Kiim!"

"Aku malas sebenarnya melakukan ini, aku sudah tak berminat lagi untuk main-main detektifan lagi," kata Kim.

"Kim, ceritakanlah! Apa yang sebenarnya terjadi?" pintaku.

Dengan sedikit ragu, Kim pun akhirnya menceritakan sesuatu yang membuat kami akhirnya lebih menghargai dia sebagai seorang Kim. Aku tak pernah menyangka bahwa ia punya masa lalu yang benar-benar luar biasa.

(Bersambung....)

Sambungan ini masih ane ketik..... wait n see yach.
 
Terakhir diubah:
Setia menanti ganArc, slowdown aja brada kan msh dalam thap penyembuhan..:banzai:
Stay away from the coffee, WJS could be a better alternate..cheers :ngeteh:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd