Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

[CERITA DETEKTIF] DETEKTIF KIM BUKU 1: DETEKTIF OBESITAS [by Arczre]

arczre

Pendekar Semprot
Daftar
18 Jan 2014
Post
1.870
Like diterima
2.008
Lokasi
Sekarang di Indonesia
Bimabet
Ini adalah cerita saya non SS kedua di sini. Moga bisa tamat. Dan saya baru ngetik beberapa bab jadi akan kontinu. :ampun: :ampun: :Peace:

Arczre VZ proudly Present

DETEKTIF KIM

Cerita Petualangan Detektif Muda Kim

BUKU 1

DETEKTIF OBESITAS



DISCLAIMER

1) Dilarang mencopy dan memperbanyak tanpa seijin dari penulis, pelanggaran hak cipta akan dikenakan sanksi sesuai dengan perundangan yang berlaku

2) Kisah dalam cerita ini adalah fiksi belaka kalau ada kesamaan nama, tempat atau kejadian itu cuma kebetulan semata.



Index Cerita

BAB 1 - 3 ada di halaman ini Skrol saja.

BAB 4

BAB 5

BAB 6

BAB 7

BAB 8

BAB 9 (The End)
 
Terakhir diubah:
1. Saudara Jauh

NARASI TONI

Namaku Toni Wijaya Putra Hartono anak kedua dari keluarga Hartono. Aku ini orang biasa. Masih duduk di kelas 2 SMA. Karena aku akan biasa, maka kebiasaanku juga sangatlah biasa. Main basket, main game, malas belajar, nggak suka ama matematika, dan aku lebih memfokuskan diriku untuk menekuni dunia seni. Bicara soal seni, aku paling suka menggambar. Orang bilang gambaranku bagus. Iya, aku ingin bercita-cita jadi seorang komikus. Tapi itu tidaklah mudah. Aku terus terang tergila-gila dengan segala sesuatu yang berbau detektif. Contohnya seperti serial Detektif Conan, Death Note ataupun tentu saja Sherlock Holmes. Aku juga suka membaca buku-buku Agatha Chirstie. Aku punya kakak, namanya Luna Putri Hartono. Panggilannya Kak Luna. Dia sih sudah kuliah jurusan kedokteran dan sudah masuk semester tiga.

Aku ingin bercerita mengenai pengalamanku yang tidak terlupakan. Tentang seseorang yang benar-benar membuatku ingin menuliskan seluruh pengalamanku dengannya. Ini semua berawal dari kedatangannya ke rumah kami. Namanya Arif Nur Hakim, tapi biasa dipanggil Kim. Dia adalah orang yang luar biasa. Aku tak pernah bertemu dengan orang yang sesinting dia. Walaupun begitu pengalaman sinting kami baru saja dimulai.

Hari Sabtu itu adalah hari di mana aku bersemangat seperti biasa ke sekolah. Jangan pernah berharap aku membawa mobil sendiri, sekalipun papa orangnya mampu beli lima mobil lagi karena beliau adalah seorang CEO, bukan berarti aku dibebaskan begitu saja. Tetap saja aku naik angkot atau naik sepeda motor. Satu-satunya sepeda motor pemberian ayahku adalah sepeda motor 4 takt City Sport keluaran terbaru. Bangga dong punya sepeda motor keren. Yo'i siapa sih yang nggak bangga kalau dilihatin cewek-cewek satu sekolah. Hehehe...Apalagi ada salah satu gebetanku yang sudah aku taksir lama sekali dari semenjak aku duduk di kelas satu. Namanya Yunita. Sudahlah jangan tanya kapan aku nembak dia, deketin saja susahnya minta amplop eh, minta ampun.

Kak Luna sudah bersiap ke kampus dengan kemeja putihnya. Biar pun masih mahasiswa emang cocok koq Kak Luna jadi dokter. Dia pakai kacamata minus, rambutnya panjang dan selalu disanggul. Kadang kalau sudah sibuk, ia konde itu rambutnya. Kak Luna ini cakep, tajir, sekalipun naik angkot tak akan mengubah kecantikannya. Satu hal yang kurang, sampai sekarang masih jomlo cing! Aku sering bercandain dia soal ini. Dianya cuek-cuek aja tuh, katanya masih lebih mementingkan kuliah.

“Ton, hari ini kamu pulang jam berapa?” tanya papa.

“Jam tiga pa, soalnya ada ekskul,” jawabku.

“Oh, begini. Nanti sore kamu bisa jemput seseorang nggak di stasiun?” tanya papa.

“Stasiun? Jemput siapa?”

“Jemput sepupumu. Namanya Arif Nur Hakim. Biasa dipanggil Kim.”

Aku tak pernah tahu punya sepupu bernama Arif Nur Hakim.

“Tentu saja kamu nggak tahu siapa dia. Soalnya papa dan papanya jarang ketemu. Mereka tinggal di luar negeri sih. Tapi dulu waktu kamu kecil pernah ketemu dengan dia. Sebulan yang lalu papa dan mamanya meninggal, maka dari itu dia terpaksa akan tinggal bersama kita.”

“Lho, kita emang punya keturunan bule, pa?”

“Bukan. Kedua orang tuanya orang Indonesia. Hanya saja tinggal lama di luar negeri. Mereka berdua ilmuwan nuklir yang bekerja di Jerman.”

“Wow, koq aku nggak tahu punya keluarga seorang ilmuwan?”

“Ceritanya panjang.”

“Trus, ciri-ciri dia nanti kayak apa pa?”

“Kim itu orangnya tambun. Kalau kamu pergi ke stasiun pasti akan menemukan dia dengan mudah.”

“Yaelah pa, orang tambun juga banyak. Gimana bisa tahu?”

Baiklah. Sebenarnya ini kedengarannya agak aneh karena papa mengatakan “aku pasti tahu”. Yang benar saja. Sore itu setelah aku selesai ekskul, aku pergi ke stasiun. Dan iya, aku bengong melihat seorang yang tambun, mungkin bobotnya ada 150 kg duduk di ruang tunggu stasiun dan membawa tulisan di lehernya dibaca “KIM”. Entah anak ini aneh atau apa aku benar-benar nggak nyangka bakal membonceng orang segedhe ini. Rambutnya yang pendek tampak basah seperti diminyaki. Pipinya yang tembem membuatnya benar-benar menandakan dia pasti jago makan. Dan benar saja, di tangannya ada snack dan dia makan dengan rakusnya.

Aku mencoba menghampirinya. Lalu kusapa, “Kim?”

Anaknya melirik ke arahku, “Toni?”

Yang benar saja kawan. Itu hasil kunyahannya yang ada di mulutnya sebagian muncrat ke bajuku. Aku agak jijik dan berusaha membersihkannya. Tapi Kim dengan cekatan mengambil tissue dan membersihkan bajuku.

“Eh, nggak usah. Nggak perlu!” kataku.

“Nggak apa-apa, ini salahku. Bad habbit,” kata Kim masih dengan mulut penuh makanan.

Setelah dirasa olehnya bersih. Ia lalu berdiri tegap. Dia tingginya sama seperti aku. Tapi kalau dilihat badannya perbandingan kami mungkin satu banding tiga. Dia tersenyum ramah. Benar-benar itu matanya hampir saja tertelan oleh pipinya sendiri.

“Kita naik apa?” tanya Kim.

“Eee...naik motor sih, tapi...,” aku agak ragu untuk memboncengnya.

“Oh, nggak perlu khawatir. Kalau misalnya sepeda motormu nggak kuat, aku bisa naik taksi, tinggal tunjukin saja rumahmu nanti aku akan mengikutimu pakai taksi,” jawab Kim.

“Eh, kuat koq. Kuat!” kataku tanpa memperhitungkan berat badannya.

“Jangan deh, aku pake taksi aja. Berat badanku 170 kg. Berat badanmu kemungkinan 60 sampai 70 kg. Sepeda motor itu rodanya hanya punya kekuatan 40kg. Jadi totalnya adalah 240 dibagi dua sama dengan berarti ada 120kg. Aku takut sepedamu kenapa-napa,” kata Kim.

“Beneran koq Kim, nggak masalah,” kataku. Aku jadi tidak enak sendiri.

“OK, jangan menyesal lho ya,” katanya.

Akhirnya kami pun naik sepeda motor dari stasiun menuju rumah. Jangn pernah bayangkan bagaimana kondisi sepeda motorku. Bannya saja sampai hampir gepeng ketika kedua badan kami naik di atasnya. Shock breaker-nya pun hampir mati. Kalau aku tak pernah merawat motorku mungkin sudah patah itu. Kami berjalan pelan, karena biasanya aku ngebut. Dan akhirnya sampai juga di rumah.

Begitu aku masuk ke halaman rumah, langsung aku disambut oleh mama.

“Halo Kim, apa kabar?” sapa mama.

“Baik Tante,” jawab Kim.

Mama lalu mencium pipi Kim. Dan Kim mencium tangan mama.

“Gimana perjalanannya?” tanya mama.

“Cukup melelahkan,” jawab Kim.

Sebenarnya yang kelelahan itu aku. Menahan berat badan 170 kg itu tidaklah mudah. Dan semoga Si Putih baik-baik saja. Aku memanggil sepeda motorku dengan nama Si Putih.

“Barang bawaanmu mana Kim?” tanya mama.

“Besok baru datang Tante. Aku sengaja nggak bawa di kereta. Karena banyak banget. Aku titipkan travel agar bisa dibawa semuanya,” jawab Kim.

“Oh begitu. Nggak bawa baju ganti?”

“Bawa dong di ransel,” kata Kim sambil menunjukkan ransel di punggungnya. Ransel itu saja dengan ukuran tubuhnya lebih besar ukuran tubuhnya.

Baiklah singkat cerita rumah kami kedatangan tamu dan dia akan tinggal bersama kami. Namanya Kim dan dia akan tinggal di kamar tamu. Kami akan sarapan bersama, tinggal bersama bahkan mungkin akan berbagi bersama. Entah kenapa tiba-tiba aku bisa mempunyai sepupu dengan obesitas akut. Kak Luna pasti bakal terkejut melihatnya.

Aku langsung masuk kamar, lalu mandi. Setelah itu aku habiskan malam itu dengan bermain game di kamarku. Saat itulah pintu kamar diketuk oleh mama.

“Toni!?” panggil mama.

“Iya ma,” jawabku.

“Kamu ini gimana sih? Ada sepupu datang koq malah mengurung diri di kamar. Ajak bicara gitu, atau ajak main ke mana kek. Dia kan orang baru di Indonesia. Sejak kecil sudah di Jerman. Ayo gih!” ujar mama.

“Iya, iya,” gerutuku.

Aku segera membuka pintu kamarku dan melihat ekspersi wajah mama yang tidak suka. Aku menghela nafas. Aku sudah dapati si obesitas itu duduk di ruang tamu, di atas karpet sambil menonton tv. Yang mengejutkanku adalah ia masih saja makan padahal tadi dari stasiun ia sudah makan. Aku pun duduk di sofa. Melihatku datang dia menawari cemilannya.

“Mau?” tanya Kim.

“Oh, nggak. Trims,” kataku.

“Sorry ya, aku selalu terbiasa makan. Soalnya nggak ada yang menarik untuk dipikirkan,” kata Kim.

“Maksudmu?”

“Kebiasaan burukku adalah makan kalau aku tak ada sesuatu yang bisa untuk dipikirkan,” kata Kim.

“Aku nggak faham.”

“Ah, nggak usah dipikirkan. Aku pun tak mau membebani pikiranmu dengan ini. Oh ya, makan Om Hartono?”

“Papa belum pulang jam segini. Biasanya jam delapan,” kataku. Aku ingin membuka pembicaraan dengannya. “Oh ya, gimana sih Jerman itu? Aku belum pernah ke sana.”

“Biasa saja. Aku sendiri juga jarang keluar,” jawab Kim sambil mengunyah makanannya.

“Jarang keluar? Lho, emang kamu nggak sekolah?”

“Tak ada sekolah yang mampu menampungku,” ia tersenyum.

Gila. Nggak ada yang mau menampungnya? Emangnya terlalu banyak timbunan lemaknya ya? Apa di Jerman sana melarang anak gendut pergi ke sekolah?

“Bukan, kalau kau pikir karena obesitas ini aku dilarang sekolah maka salah. Aku terlahir dengan IQ 250. Karena itulah tak ada satupun sekolah yang mau menerimaku. Aku sangat jenius. Maaf, aku mungkin terlalu pamer. Kau bisa mengujiku kalau memang ingin.”

Aku bengong. Nggak percaya terhadap apa yang dia katakan. Einstein saja IQ-nya 250. Berarti dia sama seperti Einstein dong. Ah, dia pasti bercanda. Aku pun tertawa mendengarkannya. Tapi melihat ia menatapku dengan pandangan serius. Aku pun menghentikan tawaku.

“Kau serius?”

“Serius,” jawab Kim.

“Omong kosong. OK, aku mau ngetes kalau begitu,” kataku.

“Silakan!” kata Kim.

Aku pun mengambil ponsel di saku celanaku. Lalu aku membuka aplikasi kalkulator. Aku membuat sebuah hitungan 456×271÷3. Aku pun membacanya.

“Empat ratus lima puluh enam dikali dua ratus tujuh puluh satu dibagi tiga berapa?” tanyaku sambil ngikik.

Kim menggeleng-gelengkan kepalanya. “Terlalu mudah. Yang lebih sulit dong.”

“Udah deh hitung saja kalau memang IQ-mu setinggi itu,” kataku sambil cengar-cengir. Mana mungkin dia bisa.

“Empat puluh satu ribu seratus sembilan puluh dua,” jawab Kim sambil tersenyum.

Aku melihat kalkulator sambil menampakkan ekspresi tak percaya. Bener! 41192! Aku pun mencoba yang lain. Kuketikkan di kalkulator 8799×457×32÷4.

“OK, coba yang ini, delapan ribu dikali empat ratus lima puluh tujuh dikali tiga puluh dua dibagi empat!” kataku.

Kim berpikir sejenak. Lalu dia menjawab, “Coba cocokkan dengan kalkulatormu. Jawabannya adalah tiga puluh dua juta seratus enam puluh sembilan ribu seratus empat puluh empat,” kata Kim. Aku pun melihat di kalkulator tertera angka 32169144.

Ekspresiku makin melongo melihatnya. Kim ini benar-benar jenius. Mana mungkin ia bisa seperti itu menjawab soal matematika dengan mudah.

“Aku sudah banyak membaca tentang Indonesia buku-bukunya aku hafal sampai aku kurus menghafalnya,” kata Kim. Ia lalu bersandar di sofa.

“Kau kurus?”

“Oh ya, aku belum memberitahukanmu sesuatu. Aku bisa kurus lho. Hanya saja aku perlu berpikir persoalan yang sangat berat. Kalau tidak, maka aku akan makan sampai aku benar-benar capek dan tidur,” kata Kim.

Ini aneh. Si obesitas ini bilang ia bisa kurus. Aku tak percaya.

“Kau mungkin tak percaya. Baiklah, sekarang berikan aku persoalan yang paling sulit, maka aku akan menunjukkannya kepadamu,” kata Kim.

“Baiklah,” aku kemudian berpikir. Ah, iya. Dia belum pernah melihat Kak Luna. Aku ingin ia bisa menebak Kak Luna. “Coba, kau tebak. Kak Luna kuliah apa?”

Kim menatap mataku lekat-lekat. “Hmm, pertanyaan yang rumit. Aku sendiri lama tak bertemu dengan Kak Luna.”

“Emangnya kita pernah bertemu?”

“Dulu kita pernah bertemu. Waktu masih balita. Mungkin kau tak ingat, tapi aku sangat ingat. Kita pernah bermain bersama dulu waktu masih kecil, lalu aku kemudian pindah ke luar negeri,” kata Kim.

Aku tak pernah ingat. Tapi papa tadi bilang kami pernah bertemu. Siapa pula yang masih ingat dengan masa kecil, apalagi masih balita. Kim lalu menyatukan jemarinya. Anjrit, ini dia berlagak seperti posenya Sherlock Holmes. Aku pun ketawa melihatnya. Tapi melihat keseriusannya aku pun hanya sebentar ketawa. Kim melirik ke arahku, lalu dia mengamatiku dari ujung sampai ke bawah. Kemudian dia melirik ke dinding. Di dinding ada foto keluarga kami. Ia mengamati seluruh ruangan bahkan tak ada satupun yang lepas dari penghilatannya. Saat itulah ada yang aneh dengan tubuhnya. Koq badannya tiba-tiba berkeringat ya?

“Kim, kau tak apa-apa?” tanyaku. “Wajahmu pucat banget, keringetan banyak gitu. Udah deh, nggak usah dipikirkan. Ntar kalau kamu kenapa-napa bisa berabe aku dimarahin ama mama.”

“Nggak apa-apa, aku akan tunjukkan kepadamu sesuatu,” kata Kim. Dan dari tubuhnya mulai keluar seperti uap. Apa ini? Aku bisa melihat tubuh Kim mulai keluar keringat dingin dan dia berasap. What the hell?

Aku pun beranjak dari sofa, mundur menjauhi Kim. Tapi Kim biasa-biasa saja. Ia tetap dengan posenya semula. Aku pun berteriak memanggil mama, “Maa! Maa! Ke sini ma!”

Tak berapa lama kemudian mama pun datang. “Ada apa?”

“Li...lihat deh ma, Kim!” aku menunjuk ke arah Kim yang sekarang sepertinya sedang menguap.

Mama tersenyum. “Owalah, kukira ada apa. Mama memang belum cerita ke kamu. Kim ini memang seperti ini.”

“Maksud mama?”

“Dia ini punya kemampuan khusus. Kalau dia sedang menghadapi persoalan yang sangat sulit dan berpikir keras, entah kenapa seluruh lemak di badannya tiba-tiba menguap. Dan ia bisa jadi kurus secara tiba-tiba. Maaf mama belum cerita ke kamu,” kata mama.

“Hah?” aku terkejut. “Serius ma?”

“Lihat saja ntar!” kata mama. “Emangnya kamu kasih dia persoalan apa?”

“Aku tadi cuma ingin dia menebak Kak Luna kuliah apa,” kataku.

Mama tertawa. “Ya sudah. Sepertinya ia sudah tahu jawabannya. Nak Kim, apa jawabannya?”

Ini benar-benar ajaib. Aku melihat tubuh Kim sekarang berbeda dengan semenit yang lalu. Ia “agak” kurus. Tidak segemuk tadi, tidak setambun tadi. Kali ini mungkin perutnya masih buncit, tapi pipinya sudah tidak tembem lagi. Bajunya basah semua seperti baru saja melakukan lari marathon. Dan benar-benar ia sekarang kedodoran.

Kim menghela nafas, “Kukira susah, ternyata mudah. Kak Luna kuliah kedokteran ya?”

Aku menelan ludah melihat peristiwa itu. Ini bukan kejadian biasa. Bagaimana mungkin orang seperti Kim ini ada? Koq bisa? Aku mengucek-ucek mataku. Mama lalu menepuk-nepuk pundakku.

“Kubilang juga apa. Udah ya, mama mau masak makan malam dulu,” kata mama. Dengan entengnya beliau pergi meninggalkanku. Sepertinya ia sudah tahu bakal terjadi seperti ini kepada Kim. Ini ya sebab kenapa tidak ada satu pun sekolah mau menerima Kim. Masuk akal, tapi....aku tak bisa menerimanya. Ini benar-benar sinting.

Kim lalu berdiri. Ia mengencangkan ikat pinggangnya. “Duh, basah semua bajuku.”

Iya basah, tapi kau ini makhluk apa sebenarnya?

“Duduk deh Ton, aku mau cerita sesuatu,” kata Kim.

Aku perlahan-lahan mulai mengambil tempat di sofa. Berdekatan orang sesinting ini rasanya pengalaman yang mendebarkan. Aku tahu begini tadi kusuruh dia nebak sesuatu yang sulit biar sepeda motorku bisa agak sedikit lebih friendly dinaiki olehnya.

“Sejujurnya aku seperti ini itu karena terkena radiasi nuklir,” ujar Kim.

“Hah? Yang bener?” tanyaku.

“Kau tahu sendiri bukan kerjaan papa dan mamaku apa. Benar sekali. Sebagai ilmuwan nuklir. Nah, suatu ketika terjadi kebocoran nuklir di pembangkit listrik tenaga nuklir. Tidak parah sih. Karena langsung bisa ditangani saat itu. Hanya saja papa tidak sengaja membawa sesuatu yang berbahaya ke rumah. Yang mana tidak pernah ia sangka sebelumnya, yaitu limbah nuklir. Limbah itulah yang kemudian mengubahku seperti ini,” kata Kim.

“Sebentar, koq bisa?” tanyaku.

“Ceritanya, ketika pulang dari kantor papa lupa bahwa di bajunya ada cairan limbah itu. Saat itu aku yang masih kecil, suka banget memasukkan apapun ke mulutku. Ketika ayah mengetahui bahwa aku memasukkan bajunya ke dalam mulutku langsung saja ia merebutnya dan membuang jauh-jauh bajunya. Tapi sebagian limbah itu tertelan olehku. Inilah yang mengakibatkan aku seperti ini. Aku bermutasi dan punya kelainan seperti ini. Dokter manapun tak bisa menyembuhkanku. Penyakitku langka, tapi berkat inilah aku sama sekali tak pernah kesulitan menghadapi persoalan apapun,” ujar Kim.

Aku manggut-manggut. Dari penjelasan Kim inilah aku mengerti asal muasal ia bisa sampai seperti ini. Tapi ini luar biasa. Aku tak pernah bisa menyangka akan mendapatkan pengalaman yang tak terlupakan ini.

Kim kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya. Sebuah kubus rubrik. “Kalau aku nganggur biasanya baca buku, atau main ini.”

Kalau biasanya orang nyusun kubus rubrik ini pakai dua tangan. Kim memakai satu tangan dan tanpa melihatnya. Aku tak tahu bagaimana dia melakukannya. Dia sepertinya hafal dengan seluruh letak-letak warna rubrik itu. Aku lagi-lagi hanya terbengong-bengong saja melihatnya. Dan Kim mengeluarkan keringat lagi.

Kim menonton televisi sambil mengutak-atik kubus rubrik dengan satu tangan. Dan memang benar-benar orang ini sinting. Dia pun kurang dari semenit sudah menyelesaikannya. Diserahkan kubus itu kepadaku.

“Acakin lagi deh!” kata Kim.

Aku kemudian mengacak-acak mainan kubus berwarna-warni itu. Kim mengamati televisi. Dia agaknya tertarik dengan acara National Geographic itu. Menceritakan perilaku hewan laut ketika masa kawin. Bagiku sih tak menarik, lebih menarik acara movies. Aku sibuk mengutak-atik rubrik untuk mengacaknya. Setelah itu aku serahkan kepada Kim. Kim menerimanya dan memutar-mutar kubus kecil itu. Lalu dengan tangan kirinya ia lagi-lagi memutar-mutar benda itu.

Ah, gilaaa! Bener-bener gila, bisa juga dia melakukan hal ini. Aku akhirnya percaya anak ini punya IQ di atas rata-rata. Selagi dia memutar-mutar rubrik tubuhnya kembali mengepulkan uap. Dia ini seperti lokomotif atau gimana ya?

Tak berapa lama Kak Luna pulang. Sebenarnya aku masih penasaran. Bagaimana dia bisa mengetahui Kak Luna kuliah di kedokteran.

“Malam semua,” seru Kak Luna dari pintu. “Eh, ada tamu. Ini Kim ya?”

“Hai Kak, lama nggak ketemu,” kata Kim.

“Ya iyalah, kamu dulu masih imut, lucu sekarang udah amit-amit. Eh, kamu masih ingat ya pertemuan kita dulu?” tanya Kak Luna.

“Ingatlah, kakak waktu itu masih berumur tujuh tahun,” kata Kim.

“Kamu agak gemukan ya?” kata Kak Luna. Agak gemukan? Amit-amit kalau dia barusan lihat berat badannya yang abnormal itu. “Baru olahraga ya sampai keringetan gitu?”

Kim meringis. Kak Luna tak mengerti saja kesintingan yang baru saja terjadi. Ia pun berlalu masuk ke kamarnya. Dan memang tak perlu jawaban dari Kim.


***​
 
Terakhir diubah:
wah...... bang arczre dah nge-release-in aja nih cerita baru.......
 
ini updatenya mungkin agak lambat karena ane juga lagi nyusun.
 
semoga ceritanya bikin kejutan seperti cerita2 sebelumnya..... :beer:



crazy kim... what the ff...... :takut:
 
baca judulnya, kirain kim jong un py pkerjaan sampingan jd detektip =)) =))
woww.. kemampuan khususnya kim mirip ma buccha yg di air gear.
:kk:
 
2. Hari Pertama di Sekolah

Bagi Kim yang baru saja pindah dari kota lain—lebih tepatnya dari negara lain—ke kota ini adalah pengalaman yang tak terlupakan. Papa telah mendaftarkan Kim ke sekolah yang sama denganku. Untuk anak seusianya mau tidak mau ya memang dia harus sekolah, sekalipun di Jerman sana dia mengikuti home schooling. Paling tidak di negara ini mau anaknya seaneh Kim pasti diterima.

Bicara mengenai Kim, aku jadi teringat tentang salah satu tokoh super heroes yaitu Hulk. Bedanya adalah kalau Hulk dari manusia biasa jadi gedhe. Tapi Kim tidak, dari gedhe jadi kecil. Hari Minggu kemarin sebenarnya adalah kami semua harus menyadari apa yang terjadi kepada Kim. Papa dan mama menjelaskan kepada kami apa yang terjadi kepadanya. Kim memang anak biasa pada awalnya. Seperti anak-anak yang lain, hanya saja kebocoran reaktor nuklir membuat dia menjadi sedikit aneh. Nafsu makannya sangat besar, sehingga ia hampir tiap menit pasti makan. Maka dari itulah dia mengalami obesitas akut. Kim dianugerahi IQ tinggi, maka dari itulah di Jerman tak ada satupun yang sanggup untuk bisa menerima dia di sekolah. Dan dia sekolah home schooling. Tanpa teman. Itu sangat menyedihkan. Dan dia mendadak bisa kurus apabila dia berpikir tentang sesuatu hal yang sangat sulit. Tubuhnya akan mengeluarkan uap seperti lokomotif. Kak Luna sendiri hampir tak percaya terhadap apa yang terjadi, tapi dia mulai bisa memahami. Karena Kim tinggal di rumah ini, akhirnya mau tak mau aku harus bisa menerima dia sebagai anggota keluarga kami.

Hari ini sebenarnya aku ingin mengantar Kim untuk pergi ke sekolah. Karena kami sekolah di sekolah yang sama. Hanya saja, dengan tubuh obesitasnya seberat 170 kg, aku tak akan mampu lagi menyuruh dia naik sepeda motorku.

“Aku tak bisa memboncengmu kayaknya Kim,” kataku.

“Nggak apa-apa, aku mengerti,” kata Kim. “Aku akan naik taksi saja.”

“Jangan gitu dong! Sebentar!” kataku. Aku sebenarnya tak mau melakukannya. Tapi karena dia memang punya kelainan aneh ini, aku pun melakukan sesuatu hal yang juga aneh. “Aku punya tebakan, makhluk apa yang lahir berkaki empat, ketika dewasa berkaki dua, dan ketika tua berkaki tiga?”

“Gampang, jawabannya manusia,” kata Kim.

Doeng! Padahal aku dulu mikirnya setengah mati.

“Itu tebakan lama. Aku sudah baca banyak soal tebak-tebakan itu. Oh, aku tahu maksudmu. Baiklah, kau punya buku teka-teki silang?” tanya Kim.

“Nah, itu dia. Sebentar aku ambilkan,” kataku.

Aku pun kembali ke dalam rumah. Aku menuju ke kamarku membongkar-bongkar lemariku. Aku mencoba mencari buku teka-teki silang. Dapat. Sebuah buku teka-teki silang lawas tapi masih kosong belum diisi. Di sampulnya ada gambar cewek dengan pakaian bikini. Khas buku teka-teki silang jaman dulu. Aku pun menyerahkannya kepada Kim.

“Nih, kerjain ini dulu deh, biar kamu beruap dan jadi kurus!” kataku.

Kim nyengir. Ia mengambil pulpen. Dia lalu duduk di kursi teras sambil membawa teka-teki silang itu. Dia membolak-balikkan halamannya. Aku melihat arlojiku. Hmm...masih lama waktunya. Aku bisa menunggunya. Kecerdasan Kim bisa aku lihat dari cara dia menjawab teka-teki silang itu. Dia sangat cepat menulisnya. Satu halaman bisa diselesaikannya dalam waktu singkat.

“Gampang-gampang pertanyaannya,” katanya.

Aku mulai melihat uap air keluar dari tubuhnya. Nah, dia pasti habis ini bakal menyusut. Dan benar. Setelah lima belas menit dia mengubek-ubek isi dari teka-teki silang itu, akhirnya selesai semua. Terisi penuh dan dia sedikit lebih kurus dari sebelumnya. Kayaknya butuh lebih banyak teka-teki silang deh. Dia kurusnya cuma sedikit.

“Lumayan-lah kamu kurusan dikit,” kataku. “Berangkat aja deh. Nanti aku beliin kamu buku puzzle dan teka-teki silang biar lebih kurus lagi.”

Di sekolah Kim pun mulai memperkenalkan diri. Papa ternyata sudah mendaftarkan Kim, hanya saja memang benar apa yang dikatakan oleh Kim, dia tidak bisa diterima dengan mudah di sekolah ini. Setelah ia memperkenalkan diri dan duduk di bangku yang kosong. Teman-teman sekelas pun agak heran dengan dirinya. Bukan masalah bentuk fisik Kim melainkan kenapa sekalipun kami sepupu berbeda sekali. Kim bisa berbicara dengan bahasa Inggris, Indonesia, Jerman, Belanda dan Perancis. Terutama soal pelajaran. Dudukku dengan Kim sejajar. Kebetulan saja ada bangku kosong di sebelahku. Selama pelajaran berlangsung dia sama sekali tak memperhatikan justru pikirannya seolah-olah melayang kemana-mana. Saat itulah aku melihat dia keluar keringat dingin. Waduh, dia pasti sedang mikirin sesuatu.

“Aku butuh cemilan, Ton!” ujarnya.

“Heh, mana boleh makan di kelas?!” kataku.

“Nggak lucu kalau aku di kelas harus mikir dan mutar otak terus-terusan,” katanya.

“Emang kamu sedang mikirin apa?”

“Mikirin tentang banyak hal, seperti apa campuran kimia yang dikeluarkan oleh tinta spidol di papan tulis itu,” ujarnya.

“Mikir yang ringan aja, nggak lucu kalau kamu keluar kelas tiba-tiba kurus,” kataku.

Kejeniusan Kim mulai terlihat ketika pelajaran Matematika. Ketika Pak Panca guru Matematika kami memberikan soal untuk dipecahkan. Kim pun mencoba untuk memberikan jawabannya. Pak Panca ini adalah satu-satunya Profesor di sekolahku. Dia telah menempuh pendidikan sampai S2. Orangnya memang sangat enak kalau mengajar. Terlebih lagi soal Matematika. Beliau selalu punya solusi untuk sebuah jawaban. Dan sekarang Pak Panca sedang memberikan soal-soal persamaan di papan tulis.

“Ada yang bisa?” tanya Pak Panca. Beliau ini mungkin melucu. Anak yang paling pintar di kelas ini namanya Herman. Dia saja nggak mengangkat tangan dan masih mikir. Kim mengangguk-angguk. Apa dia bisa? Oh iya. Biar lebih mantab aku percaya bahwa dia jenius, kenapa nggak Kim saja yang maju.

“Kim maju!” bisikku.

Kim pun reflek mengangkat tangan. Eh, beneran.

“Oh, anak baru. Siapa tadi namanya?” tanya Pak Panca.

“Kim pak,” kataku.

“Seperti orang Korea,” kata Pak Panca.

“Bukan, Kim itu panggilan. Nama saya Arif Nur Hakim,” ujar Kim.

“Silakan maju, Kim!” Pak Panca menyerahkan spidol kepada Kim.

Kim pun berdiri. Tubuhnya yang gemuk itu pun mulai berjalan geal-geol. Di dahi Kim muncul keringat dingin. Si pemilik tubuh super gendut itu pun menerima spidol dari Pak Panca. Lalu ia tulis sesuatu di papan tulis. Yaitu x = 5.

“Ini pak jawabannya,” ujar Kim.

Seluruh ruangan kelas tertawa. Pak Panca mengerutkan dahi. Apa maksudnya itu? Rumus-rumus persamaan itu cuma dijawab dengan x = 5? Tunggu dulu. Tidak begitu saja Kim menulis.

“Dari mana bisa dapat jawaban itu, kamu jelaskan pakai rumus!” kata Pak Panca. “Coba, kamu sudah sampai mana belajarnya?”

“Ada banyak cara sebenarnya, tapi yang jelas jawabannya ini. Bapak mau cara yang panjang atau cara yang pendek?” tanya Kim.

Pak Panca tertawa. Murid-murid yang lain juga tertawa. Aku tidak. Karena aku tahu apa yang akan terjadi. Semua teman-teman sekelas bakal dibuat bengong setelah ini. Sebab Kim itu bukan manusia biasa. Dia anak yang terkena radiasi nuklir ber-IQ sama seperti Einstein.

“Baik-baik, cara yang panjang saja. Biar bapak sama semua teman-temanmu melihatnya,” kata Pak Panca. Ia ingin menguji Kim.

“Baiklah,” ujar Kim.

Maka dimulailah pertunjukan ini. Aku bisa sedikit melihat uap air keluar dari rambut Kim yang basah. Kim pun mulai menulis di papan tulis. Entah rumus apa yang dia jelaskan. Pak Panca menunggu Kim selesai menulis. Aku yakin saat ini guru paruh baya itu sedang terbengong-bengong menyaksikan apa yang ditulis oleh Kim di papan tulis. Dan benar. Dia menggaruk-garuk janggutnya sambil mengerutkan dahi. Aku cuma tersenyum, hanya saja aku khawatir dengan kondisi Kim. Tidak lucu kalau sampai-sampai di depan kelas ia jadi kurus mendadak.

Setelah beberapa saat lamanya dia menulis di papan tulis, akhirnya Kim pun menyelesaikannya. Seluruh papan tulis penuh dengan tulisannya untuk menghasilkan persamaan x=5. Dan ini tidak lucu kukira. Semuanya terbalik, dari yang pertama kali menertawakan Kim sekarang terbengong-bengong melihat papan tulis yang penuh dengan rumus-rumus yang hanya Pak Panca saja yang mengerti. Kim menyerahkan spidol kepada guru Matematika itu.

“Kamu mendapatkan cara ini dari mana?” tanya Pak Panca.

“Baru saja,” jawab Kim.

“Iya, caranya benar. Tapi ini terlalu tinggi levelnya. Ini sudah level mahasiswa dan saya membuat desertasi dengan cara ini. Sebelum ini kamu sekolah di mana?” tanya Pak Panca.

“Di Hamburg, Jerman, pak,” jawab Kim polos.

Seluruh mata menoleh kepada Kim. Pak Panca pun mengangguk-angguk. Dan aku tahu ekspresi wajah-wajah yang tadinya menertawakan Kim. Mereka seperti berkata What in the world is that?

Di hari pertama sekolah Kim langsung mendapatkan perhatian dari seluruh teman sekelas. Juga dari para guru-guru. Hal ini tentu saja membuat pamorku pun sedikit naik di mata semua orang. Aku punya sepupu yang jenius.

Setelah jam pelajaran pada hari itu habis. Aku pun bertanya kepada Kim ia ingin ikut ekskul mana. Dan aku tak yakin dia akan mau mengikuti ekskul yang berbau olahraga, sebab ha itu tidak ia butuhkan. Mungkin ia akan ikut ekskul keorganisasian seperti PMR, Pramuka atau mungkin mau mencoba beradu akting di ekskul teather.

“Emangnya nggak ada ekskul yang lebih menarik yah?” tanya Kim.

“Misalnya?” tanyaku.

“Misalnya seperti Kreativitas Sains gitu?”

Aku berpikir sejenak. Tak faham maksud dari ucapannya.

“Maksudku seperti karya ilmiah,” jelasnya.

“Oh, aku mengerti maksudmu. Rasanya nggak ada,” jawabku. “Atau kau mau ikut ekskul beladiri atau olahraga?”

“Dengan tubuh seperti ini? Yang benar saja kamu. Aku bisa langsing tidak dengan cara seperti itu dan aku tak akan sanggup untuk bisa melakukannya,” kata Kim. Sesuai dugaanku. Dia pun mengeluarkan sebungkus wafer dari sakunya dan mengunyahnya.

“Susah kalau begitu,” kataku.

“Kira-kira boleh nggak ya kalau aku bikin sendiri gitu?”

“Wah, coba tanya Wakasek Kesiswaan. Beliau yang menjadi koordinator seluruh ekskul.”

“Ide bagus. Aku akan coba ke sana.”

“Ini udah siang bro, seluruh murid dan guru udah pulang. Tinggal yang ekskul saja yang ada di sekolah ini.”

“Ah iya, lupa. Ya udah deh, besok aja,” Kim memakan lagi sepotong wafer.

Dari kejauhan aku melihat Yunita. Tampaknya ia sedang ikut ekskul PMR. Wah, melihat dia sedang berlatih membuat tandu darurat bikin aku deg-deg-ser. Aku sudah naksir dia semenjak masuk SMA. Tapi yah, namanya cinta searah, susah banget buat deketin dia. Belum apa-apa aku sudah takut duluan.

Iya, yang namanya cinta itu buta. Dan yang namanya cantik itu relatif. Aku tertarik kepada Yunita karena aku menganggap dia itu cantik. Kami dulu sekelas sebelum kemudian ketika naik kelas kami diacak. Kami berpisah di kelas dua ini. Tapi aku tetap menyapanya, tetap dekat juga sih.

“Kau kenapa, koq bengong?” tanya Kim.

“Ah, nggak apa-apa,” jawabku.

“Kamu mau ekskul dulu? Pulang bareng? Kalau gitu aku mau ke perpustakaan aja buat ngisi waktu,” ujar Kim.

“OK, nanti kalau ekskulku sudah selesai latihannya aku akan susul kamu di perpustakaan,” kataku.

Kim mengangguk setuju. Aku hanya bisa melihatnya pergi meninggalkanku dengan langkahnya yang kalau diibaratkan seperti bedebum, bedebum, bedebum. Tapi anaknya baik koq. Dia menyadari kekurangan dirinya. Paling tidak, sepupuku ini masih menyimpan banyak rahasia. Aku punya banyak pertanyaan untuk dia.

Setelah menghabiskan waktu berlatih ekskul basket bersama teman-temanku, aku pun segera menyusul Kim ke perpustakaan. Hari sudah mulai sore. Waktu menunjukkan pukul setengah empat sore. Aku masih memakai baju tim basket saat itu. Aku masuk ke perpustakaan mencari Kim. Tidak sulit untuk menemukannya. Meja tempat Kim berada dipenuhi tumpukan buku-buku yang menjulang. Apa ia baca semua buku-buku itu? Aku menghampirinya. Oh tidak.

“Hai Ton, udah selesai?” sapanya. Ini tidak lucu. Ia sekarang jadi kurus.

“Kamu barusan ngapain?” tanyaku. “Ntar kalau orang-orang lihat kamu bagaimana?”

“Aku tak bisa menahan diri untuk tidak membaca buku-buku ini,” kata Kim.

“Sebanyak ini kamu baca semua?” aku terbelalak melihat buku-buku yang ada di mejanya tebal-tebal semua. Anak ini memang benar-benar gila.

“Kurang lebih tiga puluh buku aku sudah hafal,” kata Kim.

“Kau jangan bercanda, mana mungkin kamu hafal semua ini?”

“Aku belum bilang kepadamu. Selain aku punya kemampuan seperti yang sudah aku terangkan kepadamu. Aku pun punya ingatan fotografis. Menghafal satu halaman buku itu hanya butuh waktu satu detik. Aku pun bisa menceritakan kepadamu seluruh isi buku-buku ini,” katanya dengan wajah polos.

“Itu sebabnya kamu jadi kurus,” aku manggut-manggut.

“Trus bagaimana sekarang?” tanya Kim.

“Ya sudah, aku akan bonceng kamu. Kebetulan kamu jadi enteng sekarang,” kataku.

“Ini nggak dibalikin dulu?” tanya Kim.

“Ah, kelamaan biar petugas perpustakaan yang melakukannya!” kataku sambil menggandeng tangannya. Kim sedikit mengencangkan ikat pinggangnya karena celananya sekarang kedodoran. Lebih tepatnya seluruh bajunya kedodoran.

Di luar perpustakaan kami berpapasan dengan seorang cewek. Dia pakai kacamata, wajahnya seperti keturunan Tiong Hoa. Namanya Lusi. Bukan sekelas denganku, tapi kalau soal juara kelas Lusi selalu juara kelas dan nilainya terbaik se-sekolahan. Dan selalu mendapatkan pujian dari guru-guru. Ia juga pernah ikut lomba olimpiade matematika ketika kelas satu dan jadi juara membawa pulang medali emas. Kalau ditanya apakah dia membayar SPP dan uang gedung, jawabannya ia sekolah di sini gratis karena dapat beasiswa tiap bulannya.

“Lho, mau pulang Ton?” tanya Lusi.

“Iya,” jawabku.

“Itu siapa? Anak baru?” tanyanya.

“Iya,” jawabku. Aku tak mau ia curiga dengan keberadaan Kim. Karena sekolah ini tidak siap dengan apa yang terjadi dengan Kim. Mereka semua bakal heboh kalau mengetahui kelainan yang diderita oleh Kim. Kim melambaikan tangan kepada Lusi. Cewek itu tersenyum manis kepada kami.

Singkat cerita, kami selamat. Dan sudah berada di atas jalan raya melaju dengan kecepatan penuh menuju rumah. Ini sebenarnya salah satu keuntunganku. Kondisi Kim sekarang berat badannya sedang ringan-ringannya. Jadi aku tak khawatir akan merusak sepeda motorku. Tapi ketika di jalan kami mampir dulu ke swalayan untuk membeli camilan bagi Kim. Sebab perutnya benar-benar mudah lapar. Setelah ia habiskan uangnya keluar membawa satu tas plastik besar berisi snack, kami melanjutkan perjalanan kami. Aku melarang dia makan di atas motor. Karena aku bersikeras kalau dalam kondisi dia sekurus ini, motorku bakal bisa melaju cepat. Dan ia pun akhirnya mengalah.

Seteleah sampai di rumah aku pun benar-benar lega. Kim langsung turun dari sepeda motor sambil membawa tas plastiknya. Mama tampak senang melihat kami sudah pulang dan agak terkejut melihat Kim yang kurus.

“Wah, kamu habis ngapain?” tanya mama.

“Cuma baca-baca di perpustakaan koq tante,” jawab Kim.

“Dan dia menghafal seluruh buku-bukunya,” sambungku.

“Kim, kamu jangan selalu begini. Ingat teman-teman di sekolahmu itu belum siap menerima keadaanmu. Tante takut terjadi apa-apa dengamu,” kata mama.

“Iya, aku setuju,” aku menimpali.

“Iya, lain kali tidak akan aku ulangi. Seharian sekolah membuatku lapar. Sebenarnya aku tahan banget. Perutku sakit sekali,” kata Kim.

Kak Luna tampak di ruang keluarga sedang menonton televisi. Melihat kedatangan Kim ia mengerutkan dahi. Ia juga heran dengan tubuh Kim yang kini kurus.

“Wah, Kim! Kamu kalau seperti ini cakep juga ya,” puji Kak Luna.

“Yee, sama sepupu bilang cakep. Sama aku nggak pernah tuh bilang cakep,” kataku. Kim menggeleng-geleng sambil tersenyum dan berlalu menuju ke kamarnya.

“Emang bener koq, weekkk!” Kak Luna menjulurkan lidah.

“Koq nggak kuliah?” tanyaku.

“Nggak ada jadwal kuliah hari ini. Di rumah aja,” katanya.

Aku langsung berlalu masuk ke kamarku. Setelah aku mandi dan ganti baju, kemudian langsung mengerjakan tugas sekolah. Hari itu tak ada yang istimewa selain mama dan papa menasehati Kim untuk tidak memperlihatkan sesuatu yang aneh di sekolah. Biarlah keanehan pada dirinya hanya keluarga ini yang mengetahui. Jangan sampai orang lain mengetahuinya. Sebab mereka belum siap. Bisa-bisa Kim bakal dijadikan bahan percobaan atau diculik atau yang lain. Kami tak bisa membayangkan andai itu terjadi.

Setelah makan malam. Aku mengajak Kim ke halaman belakang. Halaman belakang rumah kami ada sebuah kursi dan meja bundar terbuat dari marmer. Biasanya dipakai kami ketika ingin santai. Di halaman ini juga biasanya mama dan pembantu menjemur pakaian. Rerumputan tampak tercukur rapi oleh penjaga kebun. Sebuah box AC tampak terlihat di pojok tembok. Halaman ada tiga lampu yang berada di beberapa sudut untuk memperlihatkan kesan taman. Sayangnya halaman belakang ini terhalang rumah tetangga, sehingga kami tak bisa melihat apa-apa kecuali tembok menjulang.

“Kim, aku sebenarnya memang terlalu apa ya namanya, serasa aneh dengan entah kau sebut kelebihan atau kekuranganmu. Hanya saja aku sejak dari dulu tertarik dengan hal-hal yang berbau—kau tahu seperti cerita detektif. Nah, kemarin ketika aku bertanya tentang Kak Luna kuliah apa, engkau bisa menjawabnya. Aku ingin tahu pola berpikirmu, karena aku yakin kau bisa menjelaskannya kepadaku. Aku sampai sekarang masih penasaran bagaimana kau bisa tahu. Jujur tak ada satupun kira-kira petunjuk di ruang keluarga itu yang mengarah ke jawaban itu. Ataukah memang kau cuma ngawur saja? Tapi kurasan tidak,” kataku.

Kim membawa sebungkus kacang dan sebungkus snack keripik kentang yang ia tadi beli di swalayan. Ia memasukkan dua buah keripik kentang ke mulutnya. Tubuhnya kini sudah gemuk lagi. Menurutku ini sesuatu yang cepat. Bahkan terlalu cepat bagi orang yang barusan kurus sekarang timbunan lemak tiba-tiba langsung terbentuk di tubuhnya. Aku pun masih berharap ini adalah mimpi dan cuma ada di dalam negeri dongeng. Tapi setiap kali aku menampar pipiku, rasanya sakit sekali.

“Sebenarnya mudah kalau kau tahu cara berpikirku. Aku hanya mengumpulkan hal-hal yang aku perhatikan saja sewaktu masuk ke dalam rumah ini,” kata Kim.

“Contohnya?” tanyaku.

“Aku melihat stiker tertempel di jendela rumahmu, dan stiker itu yang memberitahukanku,” jawab Kim.

Ah, aku ingat stiker itu. Stiker bertuliskan Fakultas Kedokteran dari kampus tempat Kak Luna kuliah. Jadi karena itu? Aku pun bertanya, “Karena itu?”

“Sebagian, tapi itu hanya fakta kecil. Tidak bisa dijadikan acuan sebagai bukti. Sebab stiker itu bisa saja diberikan oleh orang lain. Aku sendiri terkadang diberi stiker oleh temanku, atau kau misalnya akan diberi stiker oleh seorang pegawai salah satu perusahaan media misalnya dan kamu tempelkan di kaca jendela mobil atau di motor atau di pintu. Seperti itu. Tapi fakta pertama itu tidak kuat. Kemudian aku sambung dengan fakta berikutnya yaitu tumpukan majalah di bawah meja,” kata Kim.

Aku melirik ke arah tumpukan majalah di bawah meja.

“Majalah itu ada yang aneh, yaitu sebuah buku tentang kedokteran. Dan buku ini tidak akan mungkin ada di rumah ini kecuali memang ada yang kuliah di jurusan kedokteran,” jelas Kim. “Dan fakta kedua ini lebih kuat dari fakta pertama. Fakta ketiga adalah tante dan Om Hartono sama sekali tidak berprofesi sebagai dokter. Maka dengan ini aku menyimpulkan Kak Luna kuliah di sana.”

Aku pun puas mengangguk-angguk dengan penjelasan Kim, “Luar biasa. Kau bisa tahu dengan cara semudah itu.”

“Aku cuma mengumpulkan fakta-fakta, siapapun pasti bisa. Kau juga bisa koq. Itu mudah,” kata Kim sambil memasukkan keripik kentang kemulutnya lagi.

“Tapi sejujurnya, kau cepat banget bisa gemuk lagi,” kataku.

“Untuk bisa gemuk lagi, paling tidak aku membutuhkan enam ribu kalori. Ini belum maksimal. Aku akan terus merasa lapar kalau kaloriku kurang dari ukuran itu. Dan tubuhku sangat cepat untuk mencerna makanan. Maka dari itulah aku selalu membeli snack dengan kalori tinggi,” ujarnya. Aku tak bisa membayangkan hidup seperti Kim. Sangat merepotkan.

“Kalau misalnya kamu nggak makan apa yang akan terjadi?” tanyaku.

“Nggak apa-apa sih, hanya saja dalam waktu satu jam, aku akan lemas. Satu jam setelah itu aku akan kehilangan kesadaran. Satu jam setelahnya mungkin aku akan mati,” jawabnya dan dia tak mengubah nada bicaranya, seolah-olah soal mati itu sudah biasa.

“Oh, aku tak tahu kalau bisa separah itu. Trus apa ada cara untuk sembuh?” tanyaku.

Kim menggeleng. “Sampai saat ini aku tak tahu. Bahkan ayahku saja tak tahu cara untuk mengobatinya. Sampai ia pun meninggal dunia.”

“Aku tak bisa membayangkan kalau menjadi dirimu. Tapi sejujurnya, aku mulai suka denganmu. Kau memang unik, paling tidak kau bisa membuat teman-temanku terpesona oleh kepintaranmu. Kau sempat membuat jengkel Herman. Dia selama ini selalu pintar dalam masalah matematika. Melihatmu mengerjakan soal tadi, dia pasti berkata dalam hatinya 'wah saingan berat nih'”

Kami tertawa lepas. Kim ini orangnya lugu. Dan dia baik. Hanya saja aku belum mengenal dia lebih dalam lagi.

***~o~***​
 
luar biasa.. tulisan om arci makin bagus aja.. kalo karyanya ud bertengger di gramedia jgn lupain semprot ya om..
 
nenda dulu sambil :mancing:
 
Simpen buat bacaan besok dikantor,
Syukur2 dah ada update br sebelum baca
:ngupil:
 
:ngupil:
Hmmm..bakalan jadi cerita panjang nehh.. Ngungkapin banyak mistery

:jempol:
Lanjut gannn
 
Bimabet
3. Sang Penguntit

NARASI SANG PENGUNTIT


Bicara soal kesenangan, mungkin sang penguntit adalah orang yang mempunyai kesenangan teraneh di dunia. Bagaimana tidak? Dia selalu mengikuti seorang wanita sampai ke rumah si wanita itu. Lalu setelah itu ia pergi. Dan dia melakukannya kepada setiap wanita yang ia sukai. Tak perlu diprotes, karena memang itu hobinya. Sebagaimana seseorang yang mempunyai hobi membaca atau menulis. Atau mungkin punya hobi seperti hiking, bersepeda, karate, pencak silat, dan lain-lain. Hobinya menguntit wanita dia anggap wajar sama seperti hobi-hobi manusia pada umumnya.

Sang penguntit kali ini menonton pertandingan bola. Tak perlu ditanya apakah dia suka bola ataukah tidak. Yang jelas, ia suka dengan hobinya, bukan dengan olahraganya. Targetnya kali ini adalah seorang wanita yang cukup cantik. Rambutnya panjang dan diikat. Ia berbaur bersama suporter bola yang lain melambai-lambaikan seiring goyangan irama nyanyian para suporter. Sang penguntit mengikuti irama dan goyangan para suporter dan berusaha sedekat mungkin dengan cewek ini. Hingga tak terasa ia sudah berada di belakang sang wanita.

Setelah pertandingan usai, semua orang dengan tertib keluar dari stadion. Sang penguntit masih berada di belakang si wanita yang diketahui ternyata bernama Nawang Wulan, bisa didengar dari percakapan dia dan teman-temannya. Cewek ini berjalan bersama teman-temannya dan bercanda sampai lepas. Setelah keluar dari stadion, sang penguntit mulai menjaga jarak. Ia ikuti Nawang Wulan, dari naik angkot sampai turun lagi. Ketika naik angkot pun Sang penguntit pura-pura ikut naik di angkot yang sama sampai cewek itu turun.

Nawang Wulan sama sekali tak curiga dengan keberadaan lelaki yang terus mengikutinya itu. Apalagi sang penguntit terus menjaga jaraknya agar tak dicurigai. Hingga kemudian sampailah mereka berdua di sebuah gang yang panjang. Nawang Wulan pun merasa aneh. Dia menoleh ke belakang dan tampak sang penguntit berjalan dengan santai mendekat. Dia ingat orang itu tadi berada satu angkot dengannya. Ketika Nawang turun, dia pun ikut turun. Nawang mulai mempercepat langkahnya, ia ingin segera lekas melewati gang kecil dan panjang itu. Tapi rasanya jaraknya sangat jauh. Sang penguntit merasa ketahuan, tapi dia tetap berjalan santai hingga Nawang Wulan menghilang dari kejauhan berbelok ke arah lain. Sang Penguntit menyalakan rokoknya. Dibuangnya batang korek itu setelah api menyala. Ia menghisap rokoknya dalam dalam. Setelah beberapa langkah berjalan Nawang Wulan menoleh ke belakang. Tak ada jejak orang itu, ia pun menarik nafas lega.

Sebenarnya kalau misalnya dia hari itu tak keluar rumah dan tak menoleh ke belakang karena merasa diikuti mungkin Nawang Wulan akan baik-baik saja. Baru saja ia berjalan lagi dengan santai tiba-tiba dari belakag sang penguntit menghantam kepala Nawang dengan batu. Seketika itu juga Nawang terbelalak. Dia langsung jatuh tersungkur tengkurap mencium bumi. Di ujung gang yang sepi itu sang penguntit memukul-mukul kepala Nawang berkali-kali dengan batu itu, hingga darah pun mengalir dari kepala gadis itu.

Kebiasaan lain sang penguntit yang harus diketahui oleh para korbannya. Jangan pernah menganggapnya kriminal hanya karena mengikuti mereka. Karena ini adalah hobi. Dan karena hobi jangan dianggap salah. Kalau menganggap dia sebagai seorang kriminal karena mengikuti orang lain, maka kau tak boleh melihatnya lagi di dunia ini, artinya serahkan saja nyawanya dan setelah itu impas.

Sang penguntit menepuk-nepuk punggung Nawang. Kemudian memeriksa denyut nadinya di leher. Setelah yakin korbannya mati, dia membuang batu yang dia gunakan untuk membunuh tadi. Dia kemudian berjalan santai meninggalkan Nawang yang sudah tergeletak tak bernyawa, ia hisap lagi rokoknya. Dia mengambil sebungkus rokok yang ada di sakunya. Rokok dengan gambar paru-paru yang rusak dan gambar iklan agar tidak merokok itu ia buka. Tak ada isinya, ia pun meremas dan membuangnya.

Sang penguntit puas. Dia berjalan dengan santai meninggalkan gang panjang itu. Beberapa saat kemudian seorang tukang ojek tampak membonceng penumpangnya masuk ke dalam gang. Tiba-tiba sang tukang ojek menghentikan sepeda motornya.

“Kenapa mas? Koq mendadak berhenti?” tanya sang penumpangnya yang tak lain adalah seorang wanita.

“I...itu...!” sang tukang ojek menunjuk ke depan. Penumpangnya yang wanita itu pun histeris melihat tubuh seorang wanita terbujur kaku dengan bersimbah darah.

“Telpon polisi! Cepetan!” kata sang wanita.

Tukang ojek itu pun segera mengambil ponselnya dan menelpon pihak kepolisian. Dan kurang dari lima belas menit polisi pun sudah memasang police line di tempat tersebut. Wartawan dan orang-orang pun berkerumun penasaran terhadap apa yang terjadi di tempat itu.

Ini merupakan sebuah awal dari sebuah kasus yang menggemparkan yang akan berlanjut ke pembunuhan-pembunuhan berantai berikutnya.


***​
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd