Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

9 Bintang by Arczre

arczre

Pendekar Semprot
Daftar
18 Jan 2014
Post
1.870
Like diterima
2.008
Lokasi
Sekarang di Indonesia
Bimabet

Arczre VZ proudly present


9 Bintang

Untuk Mendapatkan Apa yang engkau Cintai Maka Engkau Harus Bersabar terhadap apa yang Engkau Benci.... ( ~ Imam Al Ghazali ~)



Kududuk sendiri di tengah malam
Dan kupandangi langit yang terang bintang
Dan kuhitung yang terang ada sembilan
Oh ada sembilan...
Ku ada di sini dengan penuh cinta
Dan aku coba menantang dunia
Kan kurengkuh sembilan bintang
Yang ada di atas sana



ibu said:

“Ibuku berkata, orang yang jatuh cinta yang luar biasa, maka dia akan mengalami tiga hal ini. Dada terasa sesak, jantung berdebar-debar dan syaraf-syarafnya serasa lumpuh. Engkau hanya merasakan satu macam dari tiga tanda. Artinya itu bukan cinta yang sebenarnya. Aku bisa katakan sebenarnya kamu mungkin kagum kepadaku atau semisalnya.

Cerita ini kubuat khusus untuk Iskha. Semoga engkau suka.
Dari orang yang mencintaimu kemarin, sekarang, esok, dan selamanya.

DISCLAIMER:

Dilarang meng-copy cerita ini ke tempat lain, baik ke komputer pribadi, ataupun ke alat elektronik manapun. Adapun mengcopy dan menyebarkannya kemudian dikomersilkan tanpa persetujuan sang penulis akan dikenakan sanksi sesuai pidana yang berlaku tentang Hak Kekayaan Intelektual



Index Cerita

BAB I - BAB XII ada di halaman ini, sekrol2 aja :p


BAB XIII

BAB XIV

BAB XV

BAB XVI

BAB XVII

BAB XVIII

BAB XIX

BAB XX

BAB XXI

BAB XXII
 
Terakhir diubah:
BAB I
Kegalauan

Nayla memetik senar gitarnya. Memainkan irama-irama yang membuat hatinya tenang. Hatinya baru saja gundah. Hanya karena satu persoalan dan ia pun sebenarnya ragu untuk mengatakannya. Satu nama di dalam benaknya, yaitu Ridwan. Siapa sih dia? Seenaknya saja masuk ke dalam kehidupannya. Baginya seorang yang tiba-tiba berubah begitu saja menjadi seorang aktivis, berjenggot, berbaju gamis adalah orang yang aneh. Lagi pula dia telah mengusir lelaki itu dari kehidupannya beberapa tahun yang lalu. Ia benar-benar mengusirnya dengan perkataan, “Jangan pernah temui aku lagi.” Sebuah ucapan yang benar-benar membuat siapapun akan gentar untuk bisa bertemu lagi dengan dirinya. Dan itu manjur untuk mengusir lelaki-lelaki seperti itu. Hanya saja dia kali ini ragu, karena sekali lagi Ridwan datang tapi dalam bentuk yang lebih dewasa. Hingga ia tak tahu lagi apa yang menjadi pilihannya.

Setelah pernikahannya kandas setahun yang lalu. Kini dia menjanda dengan seorang anak perempuan. Mantan suaminya telah menandatangani surat gugatan cerainya setahun lalu dan agaknya berat bagi Nayla untuk bisa mengikhlaskan rumah tangga yang sudah dibinanya selama enam tahun. Ia harus hidup dalam lingkup hidup yang keras. Harga kebutuhan naik, belum lagi sekarang Laila sudah harus masuk taman kanak-kanak. Tagihan demi tagihan makin menumpuk tiap hari tapi penghasilannya sebagai guru musik tidak bisa diharapkan begitu saja. Meskipun begitu sang ayah tetap menyayanginya dan memberi dia nafkah. Tapi dia dengan halus menolaknya. Sebab katanya ia bisa mendapatkan penghasilan sendiri dan masih kuat. Kini setelah ia tak lagi tinggal bersama mantan suaminya dan kembali ke rumahnya yang dulu. Memory-memory tentang masa lalunya kini hinggap lagi. Terlebih ketika Ridwan, orang yang dulu pernah “melamarnya” sekarang datang lagi. Iya, melamar dalam tanda kutip. Karena dia melamar tidak datang langsung cuma bilang lewat telepon ingin melamarnya, tapi kemudian ditolak mentah-mentah olehnya lalu diberikan kata-kata ajaib itu.

Sebenarnya bisa saja Nayla tidak bertemu dengan Ridwan andai saja ketika itu di sebuah tempat wisata tidak bertemu dengan dia. Mereka pun bertemu dengan tidak sengaja, karena ternyata rombongan wisata mereka sama dan anak-anak mereka pun bermain dalam satu kelompok. Betapa canggungnya Nayla waktu itu. Ridwan pun canggung sebenarnya. Dan setelah itu dawai-dawai cinta mulai sedikit demi sedikit mengusik hatinya. Apalagi rumah orang tuanya tempat dia tinggal sekarang tetap masih yang dulu, telepon rumahnya pun tetap masih yang dulu. Dan Ridwan tahu hal itu. Perjumpaan mereka yang terlalu sering, akhirnya menumbuhkan benih-benih cinta itu lagi. Apalagi Ridwan juga tahu kini dia telah menjanda. Dan besok Ridwan akan datang ke rumahnya untuk melamarnya. Boleh dibilang Nayla kini dalam kondisi galau tingkat dewa.

Kamarnya pun diketuk. Ia sudah bisa menebak siapa yang mengetuknya.

“Nay? Kamu ngapain?” tanya Rita kakaknya.

“Nggak ngapa-ngapain koq kak,” jawab Nayla.

“Boleh masuk?” tanya Rita.

Tanpa meminta persetujuan pun Nayla sebenarnya membolehkan kakaknya untuk masuk. Rita melihat adiknya sedang bersandar di dinding kamar di atas ranjang sambil memegang gitar. Rita pun teringat bagaimana dulu adiknya ini menjadi vokalis sebuah group band. Dan kini masa-masa itu telah berlalu menyisakan sebuah kenangan gitar yang selalu dibawanya ketika dia merasa suntuk, galau dan dengan gitar itu pulalah adiknya menciptakan lagu-lagu.

“Laila pulang jam berapa dari sekolah?” tanya Rita.

“Jam sepuluh, sekarang masih jam sembilan, kan?” tanya Nayla balik.

“Jam sembilan lewat tiga puluh,” jawab Rita. “Aku ke sini mau ngobrol sedikit ama kamu.”

“Ngobrolin apa?”

Rita pun duduk di atas ranjang adiknya. “Kamu lagi galau?”

“Ah, sok tahu.”

“Kakak itu tahu kamu lagi galau. Kakak tahu gimana sih sifat adikku ini, memangnya kenapa?”

Nayla menghela nafasnya. Diletakkan gitarnya di pinggir ranjang. “Besok dia datang ke sini, kak. Aku rasanya malu banget.”

“Malu kenapa?”

“Soalnya dia itu masa lalu aku. Dan sekarang entah kenapa masuk lagi ke dalam kehidupanku,” kata Nayla sambil menerawang.

“Ya, memang jodohmu mungkin,” ujar Rita.

“Aku dulu pernah mengusir dia dengan kata-kata gini 'Jangan pernah lagi menemui aku. Dan lebih baik nggak usah menghubungi aku lagi'. Dan sekarang tanpa disangka dia malah datang,” kata Nayla.

“Lha, kamu juga sih dulu nolak dia,” kata Rita.

“Yah, dulu kan dia masih culun, kerjaan aja nggak ada. Mau nafkahin aku dari mana coba? Lagian aku masih kepingin kuliah dulu,” kata Nayla membela diri.

“Nah, sekarang? Kamu kuliah saja putus, nggak tamat. Trus dapat suami yang playboy. Dan akhirnya kandas juga, kan? Nah, sekarang dia datang lagi dengan sukarela. Masa' kamu tolak lagi?”

“Hubungannya ama istrinya juga kandas, kan? Duda beranak dua,” kata Nayla. “Entah deh, aku bingung banget menghadapi hari esok.”

“Makanya bapak nelpon aku suruh ke sini juga sama Mas Andri. Ternyata mau ada acara lamaran. Dan ternyata yang ngelamar ya yang dulu itu. Hehehe, jadi teringat bagaimana dia nelpon dirimu dulu sampai kuping panas. Toh kamu ketika SMA dulu sering curhat juga kan sama dia?”

“Iya. Masa-masa kelam,” Nayla tertawa cekikikan.

“Hush, toh sekarang kamu kena batunya juga, kan?”

“Iya sih, dulu pas curhat ama dia. Rasanya plong, seneng banget, makanya aku nyaman banget waktu ngobrol ama Ridwan. Ya gara-gara dia kepengen nikahin aku itu akhirnya aku entah kenapa jutek banget.”

“Ah, aku tahu permasalahannya. Kamu waktu itu belum siap, ibaratnya kamu masih tidak siap untuk menghadapi kehidupan. Kamu dalam hati sebenarnya takut menghadapi kenyataan di masa depan, padahal itu belum terjadi. Coba sekarang kamu rasakan sendiri seandainya lamaran Ridwan waktu itu tidak kamu tolak, kira-kira dia akan menyusahkanmu nggak sih? Kira-kira dia akan mengorbankan hidupnya nggak sih? Kamu sudah dewasa lho Nay, masa' sekarang masih seperti anak sekolahan?”

“Ridwan emang baik. Justru karena ia terlalu baik, makanya aku waktu itu menolak dia. Aku takut kak, malu kalau aku yang seperti ini, anak band, tomboy, ngomong aja masih kasar bersanding dengan orang yang agamanya baik.”

“Nah lho, bener kan? Itu salah kamu sendiri. Kamu menolak yang baik, eh akhirnya dikasih sama Allah yang jelek. Toh itu kemauanmu sendiri kan? Kakak sebenarnya sejak dari dulu ndak setuju kamu nikah ama Toni. Dan akhirnya kamu merasakannya kan?”

“Jangan sebut nama dia lagi kak. Benci aku. Bahkan lukanya saja belum hilang. Sebel banget. Aku sedih dan marah kalau denger nama dia lagi.”

“Iya, iya, kakak faham. Menurut kakak, sekarang kamu nggak perlu ragu lagi. Toh kamu juga tahu Ridwan orangnya baik. Masih muda juga. Toh dia juga sekarang sudah jadi bapak, sudah dewasa. Paling tidak ketika kalian menikah nanti yang akan kau dapatkan adalah kebahagiaan. Kakak memang ilmu agamanya cetek, tapi Allah berfirman Fa inna ma'al usri yusraa Innama'al usri yusraa. Maka sesungguhnya setelah kesulitan datang kemudahan. Sesungguhnya setelah kesulitan datang kemudahan. Memang hubunganmu dengan mantan suamimu sudah selesai, berakhir tapi kau harus membuka lembaran baru dan kakak sangat berharap Ridwan ini tidak akan mengecewakanmu. Tapi kakak yakin Ridwan ini orangnya baik. Sebab kakak melihat sendiri bagaimana dia.”

“Ah, kakak sok tahu lagi,” Nayla beranjak dari ranjangnya. Ia mengambil jilbabnya yang digantung di lemari.

“Kakak nggak bakal bilang seperti ini kalau kakak nggak mengetahui siapa Ridwan sebenarnya. Sebab Ridwan pernah kerja sama suami kakak,” kata Rita.

“Sama Mas Dani? Bohong?!”

“Beneran. Ceritanya panjang, lain kali aku ceritakan. Kalau saja Mas Dani nggak aku ceritain tentang Ridwan yang punya perusahaan IT, tentu ia tak akan tahu kalau proyek-proyeknya selama ini dipegang oleh Ridwan. Yang jelas, kakak sangat setuju seribu persen sama Ridwan dan kamu jangan nolak lamarannya!” Rita beranjak dari ranjang Nayla. “Udah ah, itu aja yang ingin kakak omongin. Segera susul Laila, biar nggak kelamaan nunggu!”

“Iya, ini juga mau berangkat,” kata Nayla.

“Hati-hati di jalan lho, jangan melamun!” kata Rita yang seolah-olah tahu bahwa Nayla bakal melamun di jalan.

“Ah, lagi-lagi kakak ini sok tahu!” Nayla sebel.

Tak butuh waktu lama bagi Nayla untuk keluar menjemput Laila, putri semata wayangnya. Dia sudah berada di jalan dengan sepeda motor matiknya. Nayla cukup siaga untuk melihat rambu-rambu dan marka jalan. Taman kanak-kanak itu tak jauh dari tempat tinggalnya. Hanya perlu waktu lima menit ia sudah sampai di tempat.

Nayla menunggu sebentar, sampai kemudian muncul wajah-wajah imut lucu anak-anak taman kanak-kanak. Dan saat itu Nayla langsung mengenali ibunya. Jilbabnya kecil yang lucu berwarna ungu itu berkibar-kibar ketika dia keluar kelas sambil membawa tas dan bekalnya.

“Bundaaaa!?” serunya.

***​
 
Terakhir diubah:
pertamak sekarang murah :p

menunggu cerita dari bang acrez :p

kayaknya ceritaku cocok neh post di sub forum sini :p
 
kavling baru sudah pada
laku.. satu.. dua.. dan,
selanjutnya mulai berdatangan,
bak jamur di musim penghujan.
tak sekedar membuat panas di
selangkangan.
tapi, tetap saja bikin penasaran.​
 
wah...... ditunggu nih tulisan bang arczre................ dah gak sabar pengen baca.
 
BAB II

Awal Bab Kenangan

Semua cerita ini berawal beberapa tahun lalu. Tahun-tahun Nayla dan Ridwan bertemu pada generasi putih abu-abu. Dua-duanya pada awalnya tidak saling mengenal, walaupun tahu mereka sekolah di satu sekolah yang sama. Ridwan saat itu sudah kelas dua dan Nayla kelas satu. Ridwan adalah seorang anak yang biasa, bukan anak yang terkenal di sekolah, bahkan karena biasanya ia terkadang tidak diketahui keberadaannya. Istilahnya dia tidak terdeteksi, tapi tiba-tiba sudah di sekitar. Meskipun begitu sebagai seorang pelajar prestasinya stagnan alias mendatar. Tidak terlalu baik, juga tidak terlalu jelek. Bahkan saking dianggap standar para guru tidak terlalu ambil pusing kepadanya. Dia juga tidak bisa disebut sebagai anak nakal, dan tidak juga bisa disebut sebagai anak baik. Ia juga pernah kena hukuman karena terlambat masuk kelas. Ia juga pernah mendapatkan pujian karena juara lomba. Bukan hal yang terlalu dibesarkan. Paling tidak itulah yang ada pada diri Ridwan. Namun sebenarnya dia menyimpan masalah yang besar. Bullying hampir dia dapatkan tiap hari. Dia memang masih terlihat culun, namun dia sangat peduli dengan keadaan sekitar.

Selain itu pemuda ini juga ikut keorganisasian OSIS dan Pramuka. Dia juga menjadi panitia pada suatu kegiatan. Hari itu Ridwan sedang berada di masjid sekolah. Tempat ini biasanya dibuat santai oleh beberapa anak sekolah, kadang juga sebagai tempat ngumpul bareng bahkan terkadang tempat untuk merapatkan sesuatu walaupun memang di sekolah ini OSIS maupun Pramuka sudah punya ruangan sendiri.

“Kedepan ini nanti kegiatannya apa?” tanya Ridwan.

“Ada juga acara kemah dua hari satu malam pelantikan ambalan baru untuk siswa kelas satu, kamu ikut panitianya kan?” tanya Samsul balik.

“Iya, ikut. Maksudku kegiatan ekskul yang lain,” kata Ridwan.

“Ada itu PMR juga merekrut anggota baru, mau ada kegiatan bersama TIM SAR. Untuk yang lain seperti ekskul basket, sepak bola, tae-kwon-do, karate sudah punya acara sendiri,” kata Samsul.

“Ah iya, aku sepertinya bentrok antara pramuka dan PMR,” ujar Ridwan.

“Kamu sih rakus, hampir semua ekskul diembat,” ujar Samsul.

Ridwan nyengir. “Habisnya aku ini nggak ada kegiatan sama sekali kalau di rumah. Ngapain coba?”

“Kamu soalnya anak tunggal sih, nggak punya saudara. Makanya di rumah sepi. Lha emang di rumah nggak ada teman maen?”

“Hampir nggak ada, mereka ya sama aja seperti aku.”

“Pantes kamu sering pulang sore-sore. Trus ini nanti kamu mau pilih mana?”

“Entah deh, kayaknya pelantikan ambalan baru aja. PMR sepertinya juga tidak bisa dilewatkan,” Ridwan menggaruk-garuk rambutnya. “Ngomong-ngomong anak-anak SKI bagaimana? Ada kegiatan?”

“Ada. Malam Bina Iman dan Taqwa, tapi seminggu setelah pelantikan ambalan baru. Kan yang pramuka ini wajib buat semua kelas satu” ujar Samsul. Dia termasuk anggota SKI. Sekaligus panitia kegiatan tersebut. “Aku jadi panitianya koq.”

Ridwan manggut-manggut. “Kayaknya menarik tuh kegiatannya, boleh ikutan? “

“Dengan senang hati,” kata Samsul.

Hari sudah menjelang sore ketika Ridwan harus pulang ke rumahnya. Dia tinggal sendirian bersama ibunya yang bekerja sebagai buruh pabrik. Melihat anaknya pulang dengan selamat, sang ibu menampakkan wajah yang senang.

“Le, ngger, sudah makan?” tanya sang ibu.

“Belum bu,” jawab Ridwan.

“Makan sana gih, habis ini bantu ibu ya, nak?”

Ridwan ke kamarnya berganti pakaian, setelah itu ke dapur. Dilihatnya sang ibu sedang masak makanan yang sangat banyak. Ia tak tahu ada acara apa.

“Lho emang ada apa toh bu? Koq masak banyak sekali?” tanya Ridwan.

“Nanti malam ada tahlilan memperingati seribu harinya mbahmu,” jawab ibu. “Habis ini Pak dhe dan Pak lik-mu akan datang juga bantu-bantu.”

Ridwan kemudian menuju ke rak piring mengambil piring, sendok kemudian mengambil nasi di sebuah rice cooker. Dia pun menikmati makan siang yang tertunda itu sebelum membantu ibunya mempersiapkan makanan buat peserta jama'ah tahlil. Tak berapa lama kemudian Pak dhe-nya datang. Disusul setelah itu Pak lik-nya. Pak dhe-nya ini merupakan saudara ibunya. Namanya Pak Dhe Ronggo. Pak Lik-nya bernama Pak Lik Gatot. Biasanya Ridwan memanggil Dhe Ronggo dan Lik Gatot. Mereka berdua datang bersama istrinya dan juga anak-anaknya. Maklum karena aku dan ibu tinggal sendiri, maka mereka berinisiatif untuk membantu acara tahlilan itu. Setelah membantu ibunya memasak, Ridwan kemudian membeber karpet dan berbincang-bincang dengan kedua pamannya.

“Piye sekolahmu Wan?” tanya Lik Gatot.

“Ya begitulah,” jawabnya.

“Ya begitulah? Sudah punya rencana nanti kuliah di mana?” tanya Lik Gatot.

Pak Dhe Ronggo mengambil rokok yang ada di gelas yang nantinya diperuntukkan orang-orang yang tahlil. Sebuah korek kuno dia keluarkan dari saku. Rokok itu bukan rokok filter, namun merupakan rokok kretek. Saat itu rokok masih berjaya dan rokok-rokok kretek lebih disukai oleh orang-orang tua pada masa itu.

“Kamu itu banyak ikut kegiatan-kegiatan yang nggak ada hubungannya ama sekolah. Ibumu cerita kamu pasti pulangnya sore-sore. Kadang juga maghrib baru pulang. Khawatir nanti kamu malah nggak bisa konsen belajarnya,” ujar Pak Dhe Ronggo.

“Iya, wis sudahi saja itu kegiatan-kegiatan ekstra. Toh juga nggak bisa dipakai buat kuliah nanti,” kata Lik Gatot.

“Wah, saya nggak bisa. Kegiatan-kegiatan itu penting bagi saya. Maklum saja Lik, saya itu di rumah nggak ada temen. Dari pada melakukan hal-hal yang nggak bener, ya saya ikut kegiatan-kegiatan itu. Jenuh kalau belajar terus,” kata Ridwan.

“Maksud pamanmu ini bukan berarti melarang ngger, tapi agar kamu ngerti kalau kamu harus menomor satukan belajar. Ibumu itu punya harapan kepadamu,” kata Pak Dhe Ronggo.

“Inggih, kula leres,” jawab Ridwan.

Tiba-tiba ponsel Ridwan berbunyi. Ia buru-buru melihatnya, dari Erik teman mainnya. Dia lalu mengangkatnya.

“Halo?” sapanya.

“Assalaamu'alaykum brader!” balasnya.

“Wa'alaykum salam, ada apa?” tanya Ridwan.

“Eh, aku ada majalah baru nih, mau ke sini?” tanyanya.

“Wah, aku ada tahlilan. Nggak bisa kayaknya,” jawab Ridwan.

“Oh, sampai jam berapa?” tanya Erik.

“Nggak ngerti, mungkin nanti sampai jam delapan,” jawab Ridwan.

“Lho, bisa kan? Mampir sebentar lah bro,” kata Erik.

“Aku harus bantu-bantu dong, nggak mungkin aku ninggalin rumah begitu saja,” kata Ridwan.

“Oh, ya udah deh, besok aja kalau begitu,” kata Erik.

Majalah yang dimaksud Erik adalah majalah komputer. Ridwan sangat menyenangi komputer dan menjadi salah satu hobinya. Sekalipun di rumahnya tak ada komputer tapi minatnya sangat besar terhadap teknologi itu. Dia bercita-cita nanti akan kuliah di jurusan komputer. Paling tidak dia ingin agar apa yang ia usahakan itu bisa untuk menyambung kehidupan keluarganya kelak. Apalagi selama ini sumber penghasilan keluarganya berasal dari jerih payaha ibunya. Hidup tanpa ayah karena bercerai itu sangat tidak menyenangkan.

Berkali-kali ibunya menasehati dia, kalau bisa berumah tangga itu jangan bercerai. Nasehat ibunya memang terlalu jauh hanya saja satu nasehat yang dia selalu ingat, “Kamu itu harus sabar kepada perilaku istrimu kelak, sekalipun dia sangat-sangat jahat kepadamu, sebab rumah tangga itu untuk menjaga bagaimana kapal itu jangan sampai karam. Kalau misalnya bertengkar salah satunya harus mengalah demi keutuhan rumah tangga.” Sekalipun Ridwan tidak pernah memahami tapi ibunya selalu bilang, “Engkau akan faham suatu saat kelak.”

“Mas Ridwan, bapakmu datang tuh,” kata Niko. Dia adalah sepupu Ridwan anak dari Lik Gatot. Ada kegembiraan yang terpancar dari wajah Ridwan. Ayahnya mau datang pada acara tahlilan ini. Ridwan segera menuju ke serambi depan. Sementara itu di dapur ibunya bertanya siapa yang datang.

“Mas Kus yang datang,” ujar Niko yang baru masuk ke dapur.

“Sama siapa?” tanya ibunya Ridwan sedikit menyelidik.

“Sendirian,” jawab Niko.

Ridwan mencium tangan bapaknya yang sudah berpisah dengan ibunya lima tahun yang lalu itu. Sekarang bapaknya sudah menikah lagi. Mungkin karena alasan yang tidak bisa disebutkan akhirnya bapaknya tak membawa istrinya. Ayahnya bernama Kusmanto.

“Sehat?” tanya Kusmanto.

“Yah, beginilah pak,” jawab Ridwan.

Ridwan tak berbicara. Hanya menunggu bapaknya untuk berbicara.

“Bagaimana sekolahmu?” tanya bapaknya.

“Alhamdulillah baik pak,” ujar Ridwan. Ridwan menarik nafas. “Maaf, tapi Ridwan senang bapak mau menyempatkan hadir.”

“Iya, bapak juga masih menganggap kamu jagoannya bapak,” kata Kusmanto. “Sebagai anak bapak, kamu itu tetap ada di hati bapak. Waktu kamu sakit saja bapak bela-belain datang dari Jakarta buat jenguk kamu di rumah sakit.”

Ridwan diam.

“Bapak masih ingat dulu waktu bekerja di pabrik mur di Jakarta sana, ikut sama salah seorang Tiong Hoa. Tiap hari isinya marah-marah terus, kerjaan salah dikit marahnya selangit. Tapi bapak sangat senang karena itu semua buat kamu. Kerja bapak semangat sekali. Mungkin dari seluruh karyawan bapak yang terlalu semangat kerjanya. Dan ketika dapat kabar kamu harus opname di rumah sakit, rasanya tuh di sini,” Kusmanto menunjuk ke dadanya. “Rasanya sakit sekali. Sepertinya bapak juga bisa merasakan sakitmu waktu itu.”

Ridwan tersenyum. “Kabarnya Putri gimana pak?”

“Putri kan masih kecil ya, seperti anak-anak kecil pada umumnya,” kata Kusmanto. Putri adalah anak dari hasil hubungannya dengan istrinya yang baru.Ridwan tak pernah mimpi punya adik tiri. Tapi ia juga cukup senang mendengar kabar gembira itu.

Acara tahlilan itu pun dimulai dan berjalan dengan baik.

***​

Besoknya setelah pulang sekolah Ridwan mampir ke rumah Erik. Keluarga Erik cukup kaya. Rumahnya cukup besar ada garasi besar yang bisa muat dua mobil. Sebuah taman ada di samping dan depan rumahnya. Di halamannya juga ada tempat mainan anak-anak karena Saat itulah Erik mau keluar rumah. Melihat Erik mau pergi Ridwan bertanya-tanya.

“Mau kemana?” tanyanya.

“Eh, ada pergelaran musik di Gedung Nasional Indonesia. Mau ikut?” tanya Erik.

“Lha, aku ke sini mau pinjem majalah Tekno terbarumu,” kata Ridwan.

“Ah, gampang itu. Majalahnya nggak lari koq. Kamu nggak suka ya ama band-band gitu? Kebetulan aku ikut jadi drummer.”

“Yang bener, apa nama groupnya?”

“The Gombelz,” jawab Erik.

Ridwan pun tertawa. “Emang nggak ada nama lain?”

“Ikut nggak nih? Mumpung aku bawa sepeda motor,” kata Erik.

“Oke deh, sepedaku aku titipin yah,” kata Ridwan sambil membawa masuk sepeda gunungnya ke dalam garasi Erik.

Ridwan pun dibonceng oleh Erik ke GNI (Gedung Nasional Indonesia). Salah satu gedung yang terletak di sebuah pertigaan di depan jembatan lama di Sungai Brantas kota Kediri. Gedung ini ukurannya tak begitu besar, tapi cukup untuk acara macam band-band lokal semacam ini. Erik langsung bertemu dengan rekan-rekannya dan aku pun dikenalkan kepada Nangky, Budi dan Yuda.

“Kamu bisa main musik Rid?” tanya Erik.

“Aku itu nggak bisa mainin apapun, cuma sebagai penikmat aja,” kata Ridwan.

“Eh guys, coba lihat ini!” kata Erik sambil memutar-mutar stick drumnya dengan dijepitkan kepada jari telunjuk dan jari tengah.

“Wogh, udah bisa kamu Rik?” tanya Nangky.

“Iyelah bro, tahu nggak ini aku dapatkan dari wangsit,” kata Erik.

“Wangsit?” tanya kami heran.

“Tadi malem aku mimpi bisa begini, eh ternyata pas bangun tiba-tiba saja bisa begini,” kata Erik sambil tertawa.

Kami semua berpandangan. Tapi kami sama sekali tak menganggapnya serius. Sebab tahu sendiri bagaimana sifat Erik yang terkadang suka bercanda. Saat itu Ridwan melihat group-group band lainnya, salah satu yang membuat dia tertarik adalah sebuah group yang terdiri dari cewek semua. Group itu tampaknya baru saja datang.

“Nay, cepetan!” ujar salah satu kelompok group band itu.

“Iya, bentarlah!” kata salah satu cewek yang rambutnya seleher. Sesekali ia membetulkan kacamata minusnya.

Saat itulah cewek itu menjatuhkan sesuatu tapi tak disadarinya. Ia segera mengikuti teman-temannya ke panggung. Ridwan berinisiatif segera mengambil benda itu, seperti bentuk wadah terbuat dari plastik. Wadah lensa kontak.

“Wogh, itu The Girls! Baru kali ini aku melihat mereka,” kata Budi.

“Lha, seringnya gimana koq baru lihat?” tanya Ridwan.

“Mereka itu satu-satunya group band yang rekamannya diperdengarkan di radio-radio lokal,” jelas Erik.

“Oh ya? Satu-satunya?” Ridwan sedikit tertarik.

“Yup, satu-satunya,” jawab Yuda. “Aku ada videonya di youtube. Penampilan mereka perfect!”

Ridwan masih memegang wadah lensa kontak itu. Ia segera menuju ke belakang panggung.

“Lho, Rid, mau kemana?” tanya Erik.

“Ke belakang panggung!” jawab Ridwan.

Erik kemudian memberi aba-aba untuk mengikuti Ridwan. Mereka pun kemudian menuju ke belakang panggung.

Saat itu MC berkata, “Para hadirin sekalian! Sebentar lagi kita akan menyaksikan perform pembukaan dari band yang tidak asing lagi The Girls! Sambil menunggu persiapan mereka di balik panggung saya akan menyampaikan beberapa hal mengenai acara ini....”

Di belakang panggung tampak Nayla kebingungan.

“Kamu ini gimana sih koq bisa sampai hilang?” tanya Ririn teman satu bandnya.

“Maaf deh, aku tadi taruh di saku celana, nggak tahu kalau jatuh,” jawab Nayla.

“Maaf, permisi,” kata Ridwan.

Mereka semua menoleh ke arah Ridwan.

“Ada yang jatuh tadi,” kata Ridwan sambil menyerahkan wadah lensa kontak itu. Wajah Nayla sumringah.

“Waduh mas, makasih ya,” kata Nayla.

Ketiga teman-teman Nayla pun merasa lega dan mengucapkan terima kasih kepada Ridwan. Nayla sempat menatap Ridwan beberapa saat. Wajah Ridwan sama seperti wajah anak-anak ABG pada umumnya, tak ada yang spesial, tapi inilah awal perjumpaan mereka yang tak akan mereka lupakan seumur hidup mereka. Perjumpaan inilah yang akan selalu diingat Ridwan.

The Girls naik ke panggung. Tampak Nayla melepaskan kacamatanya dan menggantinya dengan lensa kontak berwarna biru. Sang vokalis memang terkenal dengan mata birunya yang ternyata dari lensa kontak yang dibawa oleh Nayla. Sesaat Ridwan lalu beranjak ke depan panggung dan ia bertemu dengan Erik dan yang lainnya. Nayla tersenyum melihatnya.

“Sore Kediri! Kita goncang Kediri sore ini!” kata Nayla yang memegang mic.

Kemudian The Girls bernyanyi, satu demi satu lagu-lagu mereka dimainkan. Ridwan pun entah kenapa bisa menikmatinya. Acara parade band itu pun berlangsung dengan tertib. Dan kemudian band penutup dari acara itu adalah dari The Girls lagi. Ridwan tak akan pernah lupa syair lagu penutupnya yang dibentuk dengan acoustik

Kududuk sendiri di tengah malam
Dan kupandangi langit yang terang bintang
Dan kuhitung yang terang ada sembilan
Oh ada sembilan...
Ku ada di sini dengan penuh cinta
Dan aku coba menantang dunia
Kan kurengkuh sembilan bintang
Yang ada di atas sana


***​
 
BAB III
Pertemanan

Ridwan penasaran, ia baru saja seperti melihat barang halus. Bukan barang halus beneran, tapi seperti baru saja melihat sesuatu yang pernah ia lihat kemarin. Nayla sebenarnya satu sekolah dengan Ridwan hanya saja Ridwan tak pernah perhatian. Baru kali ini mereka bertemu di depan pagar. Tapi Nayla tampaknya cuek. Ia memakai topi abu-abunya dan melirik sekilas kepada Ridwan yang baru saja datang dengan sepedanya.

“Naik angkot?” sapa Ridwan.

Nayla menoleh kiri-kanan. “Oh, bicara sama aku?”

Ridwan mengangguk. Dia turun dari sepedanya kemudian menjulurkan tangannya, “Ridwan. Kemarin kita belum kenalan.”

“Nayla,” kata Nayla menjabat tangan Ridwan.

“Performa kalian kemarin keren, aku suka,” kata Ridwan jujur.

“Makasih,” kata Nayla sambil tersenyum.

“Aku bodoh soal musik, hanya suka mendengarkan saja. Tapi aku tahu musik yang enak didengar dan yang tidak,” kata Ridwan.

“Trus, kami jelek apa bagus?” tanya Nayla.

“Ya baguslah,” kata Ridwan. “Keren pokoknya, pantesan rekaman kalian sering diputer di radio-radio.”

“Kamu kelas berapa?” tanya Nayla.

“Kelas XI-7,” jawab Ridwan.

“Oh, kakak kelas yah.”

“Kamu sendiri?”

“Kelas X-4. Udah ya,” katanya. Ridwan mengangguk. Nayla berbelok menuju ke kelasnya. Ridwan masih bengong. Debar-debar hatinya mulai terasa saat itu. Tidak ia tak menganggap ini cinta. Hanya saja apa yang terjadi hari itu memang akan ia ingat selalu.

“Rid!?” sapa seseorang. Ridwan sepertinya agak asing dengan suara itu.

Ridwan menoleh ke orang yang memanggilnya. Tampak seorang anak laki-laki sedang berjalan menghampirinya. Ridwan agak lupa-lupa ingat dengan anak itu. Hingga ia pun akhirnya berseru, “Fuad?”

“Akhirnya, masih ingat sama aku,” katanya.

Fuad adalah teman dia ketika masih SMP. Dan adalah takdir bahwa mereka bisa bertemu di sekolah yang sama. Memang Ridwan lebih senior daripada Fuad. Fuad adalah adik dari teman sekelasnya waktu SMP. Namun hubungan mereka pun akhirnya menjadi sahabat. Ayahnya adalah seorang guru agama. Maka dari itulah sebagian ilmu-ilmu ayahnya bisa diserap oleh Fuad dan adalah sebuah kebahagiaan bagi Ridwan ketemu Fuad di sekolah yang sama.

“Lho, kamu sekolah di sini juga?” tanya Ridwan.

“Iyalah, aku juga tahu kamu jadi panitia MOS kemarin,” kata Fuad.

“Aku koq nggak tahu ya?” gumam Ridwan.

“Iyalah, kamunya asyik sendiri koq,” kata Fuad.

“Hehehe,” Ridwan nyengir.

“Lagian banyak lho yang dari SMP kita masuk ke sini,” kata Fuad.

“Aku nggak memperhatikan,” kata Ridwan.

“Ya udah deh, disambung nanti istirahat,” kata Fuad. Ia lalu berbelok ke arah kelas X. Ridwan merasa senang hari itu. Ia bisa bertemu sahabatnya lagi di sekolah ini.

Hari itu Ridwan mengikuti pelajaran seperti biasa. Ridwan sebenarnya orangnya pendiam di kelas. Ia lebih suka dengan kesibukannya sendiri. Mungkin itulah yang membuat sebagian teman-temannya tidak suka. Dan sebagian lainnya iri dengan keberadaan Ridwan. Iri karena Ridwan itu orang biasa, serba biasa dan dari keluarga yang biasa tapi kebanyakan disenangi oleh guru-guru. Bahkan ikut banyak keorganisasian dan mampu mengenal banyak orang. Sejak kelas satu teman-teman sekelasnya memang tak suka kepadanya. Itulah sebabnya Ridwan selalu dibully oleh teman-temannya misalnya selalu disuruh-suruh untuk sesuatu yang tidak penting. Bahkan masalah PR pun buku PR-nya selalu digilir oleh teman-teman sekelasnya.

Pelajaran pertama hari itu adalah Bahasa Indonesia. Setelah jam pelajaran Bahasa Indonesia habis dan guru Bahasa Indonesia keluar dia pun dipukul dari belakang oleh salah seorang temannya, namanya adalah Danang. Dia adalah orang yang paling dibenci oleh Ridwan sebenarnya. Selain karena Danang ini sok jagoan, bapaknya juga terkenal sebagai preman oleh karena itulah Danang dianggap orang yang paling jagoan dan harus dituruti perintahnya.

“Aduh!” Ridwan mengaduh.

“Beliin sarapan dong!” suruh Danang.

“Aku nggak punya uang,” kata Ridwan.

“Ngutang siapa kek, aku tunggu di lapangan belakang,” kata Danang. Dia pun keluar bersama beberapa teman sekelasnya. Ridwan menghela nafas. Dia pun keluar kelas celingak-celinguk kalau-kalau guru berikutnya akan datang. Segera ia melesat pergi ke kantin.

Di kantin ia pun membeli sebungkus nasi pecel, kemudian pergi ke lapangan. Di belakang sekolah ada sebuah lapangan sepak bola dan lapangan basket. Biasanya jam-jam segini di sini ada anak-anak yang sedang berolahraga. Tepat di pojok kejauhan lapangan di bawah pohon pinus yang terletak di pinggir lapangan bersebalahan dengan bangunan sekolah yang lainnya tampak Danang dan beberapa temannya duduk-duduk di sana. Ridwan pun memberikan nasi pecel bungkus itu kepada Danang.

“Matur nuwun ya,” kata Danang. Ridwan lalu berbalik. “Lho mau kemana? Sini!”

“Baliklah, habis ini Fisika,” kata Ridwan.

“Oh, ya sana!” kata Danang. “Kalau ada PR aku nyalin lagi ya.”

Ridwan tak menghiraukannya. Dia pun segera berlari kembali ke kelas. Setelah masuk kelas dia kembali ke bangkunya. Tampak gurunya sudah datang. Guru Fisika ini bernama Pak Agung. Ridwan meminta ijin untuk masuk. Dia pun dipersilakan. Pak Agung kemudian membuka buku diktat dan memeriksa catatannya. Saat itulah Ridwan benci sekali. Tasnya tidak ada. Dia pun menoleh kiri kanan, melihat ke bawah. Dia menoleh ke belakang tampak seluruh teman-temannya wajahnya tanpa ekspresi. Dia pun bertanya kepada teman sebangkunya. Namanya Arief.

“Kamu tahu tas ranselku?” tanya Ridwan.

Arief menggeleng.

“Yang bener dong,” kata Ridwan.

Ketakutan mulai menyelimuti Ridwan. Dia pun pasrah. Pak Agung kemudian mulai mengajar pelajaran Fisika. Arief pun berbagi buku diktat dengan Ridwan. Entah siapa yang mengerjain Ridwan tapi tampaknya teman-temannya satu kelas kompak banget ngerjain dia. Dia diam saja. Bahkan sampai jam istirahat berbunyi dia masih tak bisa menemukan tas ranselnya. Ia berkeliling kelas, tapi tak menemukan. Di mana pikirnya.

“Eh, udah dong kasihan!” kata salah seorang cewek di kelas itu. Namanya Putri. Putri ini salah satu teman Ridwan yang cukup baik. Tahu bahwa Ridwan selalu dikerjai oleh teman-teman sekelasnya.

“Di mana tasku?” tanya Ridwan.

“Mana kutahu,” kata salah seorang cewek. Dia biasa disebut ratu usil, namanya Shinta. Dan dia sebangku dengan teman usilnya namanya Deliya. Aku tahu ini pasti perbuatan mereka.

“Di mana?” aku langsung mendekat kepada mereka.

“Di tempat sampah Rid!” kata Putri.

“Put, jangan bilang dong!” kata Deliya.

Dengan wajah mendongkol Ridwan keluar kelas dan membongkar tempat sampah, tampak tas ranselnya ada di sana. Tingkah mereka memang kekanakan dan Ridwan hampir tiap hari mendapatkan perlakuan seperti itu. Ridwan menghela nafasnya dan masuk ke kelas. Sebelumnya ia membersihkan kotoran yang menempel di tas ranselnya. Di kelas ia habiskan waktu istirahat untuk menyalin catatan dari Arief, teman sebangkunya. Sebenarnya waktu istirahat itu ia ingin bertemu dengan Fuad tapi tidak jadi. Hingga bel istirahat berakhir ia baru selesai menyalin catatan.

Setelah mengikuti semua pelajaran Ridwan pun pulang. Dan Danang serta teman-temannya yang bolos pelajaran tadi baru muncul lagi. Dengan hati sedikit mendongkol Ridwan pun pergi lebih dulu.

“Eh, Rid. Seharusnya biarin aja tas ranselmu di taruh di tempat sampah. Kan enteng nanti pulangnya,” kata Shinta. Kemudian yang lainnya tertawa.

Ridwan menahan diri. Dia tak mempedulikannya dan berjalan menuju ke masjid. Di sana tampak ada Fuad dan dia sedang ngobrol dengan beberapa orang. Ridwan tak kenal dengan mereka semua. Sepertinya mereka adalah alumni. Tapi siapa tahu. Melihat Ridwan datang Fuad langsung memberi aba-aba untuk mendekat kepadanya. Ridwan agak tak enak karena ia tak kenal dengan orang-orang itu. Mereka ada tiga seorang wanita, dan dua orang laki-laki.

“Kenalin Rid, mereka alumni dan kita mau meminta mereka untuk mendampingi dalam acara yang akan diselenggarakan SKI besok,” kata Fuad.

“Oh, begitu,” kata Ridwan.

“Kenalkan, Yusuf!” salah seorang menjabat tangan Ridwan.

“Huda,” kata yang satunya juga menjabat tangan Ridwan.

“Elok,” yang perempuan cuma memberi isyarat.

“Ridwan,” kata Ridwan. Ridwan agak aneh ketika Elok tidak menjabat tangannya. Oh, mungkin memang istilahnya bukan mahram jadi nggak boleh untuk menjabat tangannya, pikir Ridwan.

“Jadi bagaimana tadi?” tanya Yusuf.

“Intinya ana bersedia kalau antum mau membantu,” kata Fuad.

“Baiklah, kalau begitu sampai nanti di pengajian ya, udah mau ashar soalnya,” kata Yusuf.

“Baiklah sampai nanti,” kata Fuad.

Kami semua berjabat tangan kecuali Elok. Mereka kemudian pamit dan memberi salam. Fuad kemudian menoleh kepada Ridwan.

“Gimana sobat? Lama tak ketemu. Nggak nyangka kita satu sekolah,” kata Fuad.

“Iya, nggak nyangka,” kata Ridwan. “Emangnya acaranya apaan sih?”

“Itu lho, MABIT. Masa' nggak tahu. Kamu kan pengurus OSIS,” kata Fuad.

“Oh, acaranya SKI ya,” kata Ridwan. “Maaf, aku nggak tahu kamu ikut SKI.”

“Kayaknya SKI kita sepi peminat, makanya aku pun sampai diikutkan jadi panitia juga,” ujar Fuad.

“Oh, begitu? Iya juga sih.”

Dari dalam ruang ta'mir masjid munculah Samsul. Dia langsung nimbrung.

“Ngomongin apa nih?” tanya Samsul.

“Nggak apa-apa, ya cuma ngomongin soal MABIT besok,” kata Fuad.

“Lho, udah kenal kalian?” tanya Samsul.

“Iyalah, lha wong dia ini adik kelasku pas SMP,” kata Ridwan.

“Owalah, dunia memang sempit kalau begitu,” kata Samsul.


***​


Bicara soal suka kepada seseorang Ridwan itu suka kepada seseorang di kelasnya. Namanya Ike. Ike sendiri adalah seorang cewek yang wajahnya cukup cantik, rambutnya sebahu dan termasuk pintar di kelasnya. Saking sukanya dia kepada Ike bahkan apapun yang diinginkan oleh si pujaan hatinya selalu ia berikan. Ia pun berusaha mendekati Ike dengan berbagai cara, entah nraktir dia makan atau yang lain. Hanya saja cintanya bertepuk sebelah tangan.

Lagipula sejak kelas satu Ridwan selalu dibully oleh teman-temannya. Ridwan masih ingat bagaimana dia dibawa ke tempat parkir oleh Danang dan kawan-kawannya. Danang mencengkram kerah bajunya hingga kancingnya lepas.

“Kamu jadi ketua kelas jangan sok belagu Rid, mau aku tonjok?” tanya Danang. Kepalan tangannya sudah siap menghajar ke wajah Ridwan.

Tentu saja Ridwan ketakutan. Dan pukulan itu pun mendarat ke wajahnya. Bibirnya berdarah. Lalu perutnya ditendang sehingga Ridwan tersungkur. Lalu ramai-ramai teman-temannya yang lain menendanginya.

“Besok, kalau kami keluar kelas. Kamu nggak usah bilang ke siapapun apalagi sampai ke wali kelas. Emangnya kamu siapa? Brengsek!” Danang kembali menghadiahi Ridwan tendangan ke perut. Rasanya seluruh makan paginya keluar semua. “Besoknya lagi, setiap ada PR, aku mau nyalin punyamu. Kalau kamu macam-macam kuhajar lagi kamu!”

Ridwan lalu ditinggalkan sendirian di tempat parkir dengan keadaan meringkuk. Badannya sakit, ia pun mencoba untuk berdiri. Baju putih abu-abunya kotor di sana-sini. Bahkan saat itu untuk kembali ke kelas pun ia takut.

Ridwan pulang dalam keadaan baju kotor waktu itu. Dan ibunya bertanya-tanya apa yang terjadi? Ridwan menjelaskan kalau ia baru saja jatuh dari sepedanya. Dia berbohong. Kenapa harus berbohong? Andai saat itu dia tidak berbohong mungkin urusan itu akan selesai, tapi ternyata tidak.

Semenjak kelas satu ia tak punya teman. Bahkan teman-teman sekelasnya benar-benar memusuhinya. Mungkin hanya satu atau beberapa orang saja yang baik kepada Ridwan. Seperti Putri, Ike, Arief, Yunita, Anik, dan Yunus. Beberapa orang itu yang baik kepadanya sisanya tidak peduli ketika dia dibully. Bahkan hampir tiap hari dia harus mendapatkan tendangan dan pukulan dari Danang.

Putri mengetahui bagaimana Danang memperlakukan Ridwan. Suatu ketika disaat Ridwan harus membelikan Danang sarapan pagi seperti biasa, Putri melihat Danang menghajar Ridwan hanya gara-gara salah lauk. Setelah itu meninggalka Ridwan yang kesakitan di tempat parkir sendirian. Putri segera menolong Ridwan.

“Kamu nggak apa-apa Rid?” tanya Putri.

“Nggak apa-apa koq, nggak apa-apa,” jawab Ridwan.

“Nggak, kamu harus segera ke UKS, ayo!” Putri lalu memapah Ridwan ke UKS. Di sana Ridwan istirahat sejenak setelah itu dia masuk kelas. Kebaikan Putri kepadanya inilah yang akan selalu diingat oleh Ridwan sampai kapanpun.

“Koq kamu mau sih disakiti oleh mereka Rid? Koq nggak melawan?” tanya Putri.

“Aku nggak bisa,” jawab Ridwan. “Entahlah, rasanya aku tak punya kekuatan.”

“Kamu itu laki-laki, masa' harus mengalah sama mereka? Jangan biarkan dong, apa kamu mau seperti ini terus?” tanya Putri.

“Entahlah,” jawab Ridwan singkat.

Kesendirian Ridwan dan kebosanannya terhadap teman sekelasnya membuat ia banyak mengikuti kegiatan ekskul. Mulai dari pramuka, PMR dan lain-lain. Hingga karena saking aktifnya dia maka dia pun menjadi anggota OSIS. Setidaknya dengan mengikuti kegiatan-kegiatan itu ia jadi punya teman selain teman-temannya. Terlebih teman-teman sekelasnya hampir tidak ada yang ikut ekskul.

Sebagai seorang anak yang dibully dia sendiri heran kenapa tak bisa melawan mereka. Setiap ingin melawan selalu ada rasa takut yang menghampirinya. Iya, kalau ditanya apakah ia punya teman maka jawabannya, sama sekali tak punya.

Kejadian yang paling memalukan bagi dia adalah ketika dia menulis surat cinta kepada Ike. Hampir saja ia serahkan surat cinta itu kepada Ike dan Danang merebutnya lalu membacanya di depan kelas.

“Serahkan!” pinta Ridwan.

“Teman-teman, ketua kelas kita sedang jatuh cinta ternyata. Ini aku bacakan ya surat cintanya!” kata Danang.

Ridwan lalu menutup telinganya dan matanya. “Hentikan!” Tubuh Ridwan kemudian dipegangi oleh teman-temannya agar tak merebut surat itu.

“Duhai Ike, sesungguhnya aku tak bisa melepaskanmu dari bayanganku. Cieeeh...kau bagaikan setangkai mawar yang indah, harum semerbak di antara rerumputan. Kuakui aku bukanlah yang terbaik, bukan pula teman yang baik, tetapi aku sungguh-sungguh mempunyai perasaan kepadamu. Apakah engkau akan menerima cintaku ini? Woooiii... ada orang yang mau nembak Ike!” kata Danang.

Ike yang saat itu mendengarnya serasa malu. Ia menutup mukanya.

“Ike, jawab dong!” kata teman-teman yang lain.

Ike menggeleng-geleng, “Udah ah, jangan gitu!”

“Sini suratnya!” kata Ridwan, tapi ia masih dipegangi agar tak bisa merebut surat itu.

“Ayo Ike, jawab!” kata Danang.

Ike lalu menoleh ke arah Ridwan, “Maaf ya, aku ingin kita cuma sahabatan aja. Sekali lagi maaf.” Ike sampai menyatukan tangannya.

Ridwan pun patah hati. Dan dia kesal karena suratnya dibaca di hadapan umum. Bahkan dengan jahatnya Danang pun mencari selotip dan menempelkan surat cinta itu ke mading hingga dibaca oleh siapapun. Itu peristiwa yang paling memalukan bagi Ridwan. Sejak saat itu Ike menjaga jarak dari Ridwan, demikian juga sebaliknya. Kejadian ini tak akan pernah dilupakan oleh Ridwan. Dia pun akhirnya sangat dendam dengan teman-temannya. Bahkan dia pernah berdo'a agar diberi teman yang lebih baik daripada mereka.

Di luar sekolah sebenarnya teman-temannya banyak. Hanya saja, bukan masalah temannya banyak atau sedikit. Masalahnya adalah dia tak nyaman kalau setiap ke sekolah selalu mendapatkan perlakuan seperti itu, terlebih lagi di sekolah dia seperti harus mengulangi perlakuan-perlakuan yang tak menyenangkan dari teman-temannya. Dan sekolah pun menjadi tak menyenangkan. Ridwan sangat ingin menceritakan hal ini ke guru BP. Tapi ia takut. Takut sekali. Akhirnya keinginan itu hanyalah tinggal keinginan.

Keberadaan Nayla sedikit merubah kesehariannya. Sekolah terasa sedikit menyenangkan baginya. Paling tidak ia tahu bahwa Nayla adalah seorang vokalis dari band yang terkenal. Setiap hari ia terlalu excited, bahkan rela pergi ke sekolah lebih awal demi melihat Nayla datang dan menyapanya. Setelah itu baru ia masuk kelas. Ridwan harus bersiaga di teras masjid karena Nayla terkadang datang naik sepeda sehingga dia menyapa Nayla terlebih dulu. Teras masjid itu bersebelahan langsung dengan jalan tempat para siswa berjalan. Agaknya satu hal yang membuat dia senang adalah ia bisa melihat Nayla tiap hari, itulah yang menjadi penyemangat dia untuk masuk sekolah.

Pertemanan Nayla dan Ridwan berlanjut saat acara perkemahan Penerimaan Ambalan Baru. Memang saat itu Ridwan menjadi panitianya. Acara itu berlangsung cukup padat. Mulai dari pertama-tama mendirikan tenda, lalu membangun menara, jelajah sekolah. Kemudian malam harinya ada acara api unggun. Di mana seluruh peserta dan panitia bersuka ria bersama.

Setelah acara api unggun selesai. Para peserta pun mencoba untuk tidur, walaupun berada di tenda-tenda yang dibuat mereka sendiri dengan keadaan seadanya dan suasanya malam yang makin larut. Secara mengejutkan Nayla tampak terlihat di tenda panitia. Ternyata dia sedang dapat kunjungan dari kakaknya. Ridwan tak mau mengganggu. Ia sudah melepas baju pramukanya dan memakai kaos t-shirt almamater. Setelah urusan Nayla dan Rita selesai, kakaknya pun pulang.

Nayla tampak membawa tas plastik ukuran besar.

“Apa itu?” tanya Ridwan. “Makan malam ya?”

“Hehehe, mau tahu aja. Apa mau tahu banget?” tanya Nayla.

“Ya mau dong, kalau makan malam. Hehehe,” jawab Ridwan.

“Ini buat anggota reguku, soalnya mereka belum makan malam. Nanti kalau sisa aku kasih ke mas deh,” katanya.

“Bener ya?”

“Iya,” kata Nayla. Dia pun pergi meninggalkan tenda panitia. Ridwan senang sekali dan dia menunggu Nayla di tenda panitia sambil mendengarkan radio. Masih terlihat para peserta mondar-mandir padahal jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Sama juga dengan para panitia yang tak bisa tidur. Sebagian mereka masih melek dan bermain gitar, sebagian lagi bermain catur dan sebagian lagi mendengarkan radio.

Tak berapa lama kemudian datanglah Nayla sambil membawa tas plastik tadi yang isinya sudah berkurang.

“Ini mas, masih sisa satu,” kata Nayla.

“Lho, untuk dirimu?” tanya Ridwan.

“Sudah ada koq mas,” kata Nayla.

“Nggak ah, kalau kamu memang sudah ada ya sini makan bareng,” kata Ridwan.

“Nggak mas, aku makan sama teman-teman saja,” kata Nayla.

“Ini perintah, ayo bawa sini nasimu dan kita makan bareng!” kata Ridwan.

Nayla menghela nafas. Akhirnya ia pun kembali ke tendanya. Tak berapa lama kemudian dia sudah datang membawa bungkusan. Ridwan lalu mengajaknya ke sebuah alas tikar yang kosong. Lamu penerangan di tenda panitia itu cukup terang dengan kekuatan 25 watt.

“Nah, kalau begini kan enak bisa makan bareng,” kata Ridwan.

Nayla agak nggak enak.

“Kenapa? Kalau soal bau kita semua para panitia memang belum mandi sore ini,” ujar Ridwan dengan penuh canda.

“Halah, sama saja mas. Kita juga belum mandi. Yang ngantri kamar mandi banyak,” kata Nayla.

Ridwan dan Nayla membuka bungkusan makanan mereka. Oh, ternyata nasi Padang. Kalau tahu kemah bisa makan seenak ini, siapapun pasti mau. Nayla yang sudah kelaparan itu tak membiarkan begitu saja nasi Padang itu terdiam di sana. Ia segera mengambil sendok plastik yang ada di dalam tas plastik dan mulai menyantap hidangan lezat itu

“Sekali lagi makasih ya,” kata Ridwan.

Nayla mengangguk.

Mereka diam ketika makan. Menikmati sebutir demi sebutir nasi yang masuk ke dalam kerongkongan mereka. Lauknya pun tak luput dari terjangan rasa lapar yang sudah memuncak. Mungkin karena memang kelaparan Nayla habis lebih dulu ketimbang Ridwan. Dia pun mengambil sebuah minuman air mineral yang berada di gelas plastik. Kemudian ia menahan sendawanya dengan menutup mulut. Ridwan baru selesai makan ketika Nayla membereskan bekas bungkus nasi padangnya dan memasukkan ke dalam tas plastik tadi.

“Sudah ngantuk?” tanya Ridwan.

Nayla menggeleng, “Jam segini mah, cemen kalau sudah ngantuk.”

“Emangnya sering tidur jam berapa?” tanya Ridwan.

“Biasanya aku tidur jam dua, tapi kalau lagi capek ya jam tujuh udah tidur,” jawab Nayla. “Lagipula biasanya kalau kegiatan seperti ini malah nggak tidur.”

Mata Nayla tampak menoleh ke arah gitar yang sedang menganggur.

“Mau maenin itu? Silakan aja!” kata Ridwan.

“Boleh nih?” tanya Nayla.

“Boleh boleh saja, nggak bayar koq, gratis.”

Nayla nyengir lalu mengambil gitar yang baru saja diletakkan oleh salah satu panitia. Entah kenapa matanya berbinar-binar setiap kali melihat alat musik itu dan setelah itu pikiran Nayla melayang terbang entah kemana. Menikmati alunan melodi yang dia buat sendiri. Baginya musik sudah menjadi hidupnya. Ia sudah bisa memainkan gitar semenjak SD. Dia memang spesialisasi di gitar, sedangkan kakaknya lebih ke arah biola. Keluarga Kusmoharjo memang hampir semuanya pintar bermusik. Maka wajar kalau Nayla bisa memainkan gitar dengan begitu merdunya. Melodi-melodi yang dia ciptakan rasanya tak bisa disaingi ataupun ditandingi oleh alat musik manapun. Bahkan ketika memainkan gitar itu beberapa panitia ikut nimbrung mendengarkannya.

Nayla memperdengarkan salah satu lagu dari band-nya. Tapi lagu itu lebih ke sendu dan accoustik. Genjrengan gitar dan nyanyiannya membuat semua orang terbius. Nayla memejamkan mata setiap kali dia bernyanyi. Ridwan pun saat itu hatinya mulai berdesir. Ia bingung sekarang, tentang sebuah perasaan yang tak ia mengerti. Sebuah perasaan yang ia tak pernah sadari sebelumnya. Hingga kemudian ia baru yakin bahwa itu adalah cinta setelah berpisah lama darinya.

Nayla tak menyadari bahwa banyak yang berkerumun mengelilingnya. Ridwan saja baru menyadari hal ini. Ia jadi tahu kenapa band The Girls jadi terkenal karena lagu-lagunya keren dan cewek inilah otak di balik itu semua. Sampai kemudian Nayla selesai bernyanyi dan memainkan gitarnya. Ia disambut tepuk tangan oleh seluruh orang yang mengelilingnya.

“Keren, keren!” kata salah seorang panitia.

Mata Nayla terbuka. Ia malu, “Waduh mas-mas sama mbak-mbaknya pada ngumpul, nggak kuat aku. Aku balik dulu ya.”

Nayla meletakkan gitarnya lalu pergi dari tenda itu. Ridwan tersenyum dan semua panitia penasaran siapa cewek itu. Ridwan pun mulai menyukainya.

***​
 
BAB IV
Cinta Itu Persahabatan

Ada yang bilang cinta itu berawal dari persahabatan mungkin itulah yang pantas dan cocok bagi diri Nayla dan Ridwan saat ini. Keduanya tak pernah menganggap cinta, tapi kedekatan mereka bisa dianggap seperti itu. Namun mereka adalah sahabat. Semenjak peristiwa di perkemahan itu, mereka berdua makin akrab. Bahkan sampai bercanda juga melebihi bercandanya seorang teman biasa. Di saat yang bersamaan Ridwan sudah tak lagi membahas tentang masalah Ike. Baginya Ike sudah lewat. Diibaratkan bahwa Ike bagaikan fatamorgana, sedangkan Nayla adalah nyata. Bukan pelangi, melainkan sebuah matahari yang menyinari semuanya.

Namun hari-hari seperti biasa masih berlanjut, sekalipun Ridwan mulai dekat dengan Nayla. Seperti hari di mana buku tulis Ridwan digilir oleh Danang dan anggota gengnya. Dan seperti biasa pula pagi itu Ridwan sudah mempersiapkan sebungkus sarapan nasi pecel seperti yang Danang inginkan tiap hari. Setelah buku tulis Ridwan digilir oleh teman-temannya Danang pun menghampirinya.

“Rid! Sebentar lagi kan akan ada kejuaraan antar kelas,” kata Danang.

“Trus?”

“Aku ingin kamu sedikit dukung kami biar kelas kita menang, toh kamu anggota OSIS kan? Pasti juga jadi panitia,” kata Danang.

“Wah, aku nggak bisa,” kata Ridwan.

“Apa? Coba bilang lagi,” kata Danang.

“Aku nggak bisa. Soalnya itukan--” belum sempat Ridwan meneruskan omongannya perutnya sudah ditinju.


“Kalau kamu bilang nggak bisa, awas! Aku bisa lakuin lebih daripada ini,” kata Danang.

Ridwan memegangi perutnya. Lalu kepalanya ditempeleng oleh Danang, kemudian yang lainnya pun mengikutinya. Beberapa saat lamanya Ridwan menundukkan kepalanya ke meja. Ia sudah biasa menahan rasa sakit seperti ini. Ibunya pun sudah biasa mendapati dirinya bonyok setiap pulang dari sekolah. Tapi berbuat curang untuk mereka itu hal yang lain. Memang benar sebentar lagi akan ada kejuaraan antar kelas. Seperti basket ataupun sepak bola. Dan biasanya pengurus OSIS yang akan menjadi wasitnya. Dan di sini pengurus OSIS diharapkan untuk netral. Bukan diharapkan sih tapi diwajibkan. Lagi-lagi Ridwan gentar. Tapi untuk yang satu ini ia ingin sekali melawan. Ia tahu konsekuensi kalau sampai ketahuan berbuat curang. Namanya akan jelek di mata orang-orang. Bahkan mungkin dia bisa dipecat dari anggota OSIS.

Ketika jam istirahat. Ridwan menuju ke masjid. Tampak ada Fuad yang sedang berbicara dengan beberapa teman-teman SKI-nya. Ridwan kemudian ke tempat wudhu dan mengambil wudhu. Setelah itu ia melakukan shalat dua raka'at. Setelah itu dia tambah lagi dua raka'at. Dan dia total shalat sampai dua puluh raka'at sampai jam istirahat selesai. Fuad agak heran karena di akhir shalat Ridwan tampak berdo'a sambil menangis. Entah apa yang diinginkan oleh Ridwan.

Ketika jam pelajaran berakhir dan semua murid-murid pulang. Ridwan mampir ke masjid. Fuad ada di sana.

“Belum pulang?” tanya Ridwan.

“Ngurus kegiatan buat besok Sabtu,” jawab Fuad.

“Oh iya, ada MABIT,” kata Ridwan. “Aku kepengen ikut kalau kamu tidak keberatan.”

“Lho, siapa yang nolak? Kami malah seneng,” kata Fuad.

“Bukannya itu acara untuk kelas satu saja?” tanya Ridwan.

“Iya, memang. Tapi ini lebih ke anggota baru,” kata Fuad. “Ada masalah apa kalau boleh aku tahu?”

“Ah nggak ada apa-apa koq,” kata Ridwan.

“Rid, kita udah temenan lama di SMP. Aku tahu orang yang kena masalah dan tidak. Coba ceritakan siapa tahu aku bisa membantu,” kata Fuad.

Ridwan tersenyum, “Aku tahu kamu baik orangnya, hanya saja masalah ini aku ingin diriku sendiri yang menyelesaikannya. Tenang aja bukan masalah cinta koq.”

“Oh, baiklah,” kata Fuad.

“Ngomong-ngomong, acara besok itu ngapain aja?”

“Ada pengajian, tilawah, kemudian shalat malam. Intinya sih kebanyakan materi-materi agama seperti tauhid, fiqih dan lain-lain.”

Ridwan melirik ke ruang ta'mir masjid. Di sana tampak beberapa anggota SKI lainnya. Mereka entah sedang membicarakan apa.

“Oh ya, kalau kau tak keberatan, kita ada kelompok nasyid. Kau bisa nyanyi?” tanya Fuad.

“Kau tahu sendiri suaraku pas-pasan, ngebas dan fals,” ujar Ridwan sambil tertawa.

“Justru itu kami butuh suara yang ngebas. Ikut yuk, group nasyid SMA kita. Bulan depan ada lomba lho.”

Ridwan menggaruk-garuk rambut kepalanya. “Aduh gimana ya, aku nggak pernah melakukannya.”

“Tenang aja, kita latihan bersama koq. Belum bisa juga nggak masalah. Kalau kita menang kan lumayan. Ada tropi, piala dan uang lho,” kata Fuad. “Luqman! Ari! Wahyu! Sini!”

Dari ruang ta'mir muncul tiga orang. Luqman adalah orang yang paling pendek. Ari adalah orang yang kurus dan tinggi, wahyu orangnya normal. Mereka bertiga beringsut mendekati Fuad.

“Nah, kami berempat ini group nasyidnya,” ujar Fuad.

“Kamu ikutan juga Yu?” tanya Ridwan ke Wahyu.

“Iya dong,” kata Wahyu.

“Kurang satu orang dan kalau nggak keberatan kamu ikut saja,” kata Fuad.

“Yaah...baiklah, aku ikut,” kata Ridwan.

“Nah, pas kan? Bagus deh kalau begitu,” kata Fuad.

Sejak saat itu Ridwan pun resmi menjadi anggota nasyid remaja masjid sekolahnya. Ridwan berusaha membiasakan dirinya dengan lagu-lagu nasyid, bahkan Fuad membantunya untuk mengcopy file-file lagu-lagu nasyid. Ridwan sebenarnya tak pernah mengetahui tentang nasyid, bagaimana bentuknya dan apa saja lagu-lagu mereka. Dari situ Ridwan tahu, kekuatan nasyid bukan kepada musiknya, bahkan ia dan Fuad memilih nasyid-nasyid yang musiknya tak ada, tapi sya'ir-sya'irnya adalah kekuatan utama dari sebuah nasyid.


***​


Nayla belajar sambil mendengarkan musik dari ponsel melalui earphone-nya. Dia mengangguk-anggukan kepalanya sendiri ketika menulis di bukunya. Kamarnya penuh dengan poster-poster band-band terkenal. Meja belajarnya berwarna putih. Di atasnya terdapat rak buku yang berisi banyak macam-macam buku pelajaran. Di bawah meja belajarnya juga ada rak, namun berisi buku-buku novel dan komik. Setelah dia selesai mengerjakan PR-nya dia lalu berbaring sejenak di ranjang. Ia melepaskan earphone-nya dan bergumam sendiri hingga tiba-tiba ia bangkit kemudian mengambil gitarnya yang ada di sudut kamar. Lalu ia mulai memetik gitar, bernyanyi dan memadukan melodi. Ia buru-buru mengambil kertas dan mencatatnya. Kemudian lagi dia memetik gitarnya, memadukan melodi-melodi dan bergumam sendiri.

Pintu kamarnya diketuk.

“Masuk!” kata Nayla.

Kakaknya masuk ke kamar, “Lagi sibuk?”

“Biasalah kak, sedang menuangkan ide,” ujar Nayla. “Ada apa?”

“Pengen masuk aja,” kata Rita.

“Kalau kepengen curhat, bilang aja. Nggak usah malu-malu. Pasti tentang cinta lagi,” goda Nayla.

Rita lalu menutup pintu dan langsung menoyor kepala adiknya. Nayla ketawa.

“Dasar!”

“Bener kan? Hihihi,” Nayla cekikikan.

Rita menghela nafas.

“Cerita deh, cerita! Kakakku ini emang begini kalau galau,” kata Nayla. “Adikmu ini siap mendengarkannya.”

“Ini cerita tentang yang kemarin itu sahabatku, Dani. Dia nembak aku,” kata Rita. “Tapi akunya masih belum menjawab.”

“Wah, bagus dong. Mas Dani kan orangnya baik,” kata Nayla.

“Masalahnya, ada orang yang nembak aku juga, namanya Riko. Bingung milih yang mana,” kata Rita. “Kalau Dani kan memang sudah jadi sahabatku sejak lama. Sejak kita sama-sama di putih abu-abu, sedangkan Riko dia ini baru aku kenal ketika kuliah. Masih satu angkatan sih. Tapi aku juga mulai dekat dengan Riko karena sering belajar bareng.”

“Kira-kira menurut kakak di antara keduanya yang paling baik yang mana?” tanya Nayla. “Aku belum tahu soal cinta-cintaan kak, masih kecil. Hehehe.”

“Bingung juga sih, keduanya sama-sama baik. Tapi kalau soal yang lebih tahu tentang sifat-sifatnya hanya Dani. Aku kenal baik dengan dia. Gebetannya siapa saja aku tahu, dia galau aku juga tahu, ukuran sepatunya aku tahu, bahkan dia punya kebiasaan ngorok pun aku tahu. Kami sudah kenal lama, sudah kenal kelebihan dan kekurangan masing-masing. Bahkan ia orang yang paling baik yang pernah aku kenal. Dia selalu menolongku, bahkan ketika aku putus sama Si Bimo dulu, dia yang menghiburku. Kami saling tahu satu sama lain. Hanya saja Riko juga baik, kalau aku misalnya milih Riko pasti hubunganku ama Dani bisa renggang. Tapi kalau aku milih Dani, takutnya Riko malah jaga jarak ama aku, duh bingung.”

“Kak, tahu laguku tentang sahabat dong?”

“Iya, kenapa?”

“Sya'irnya gini nih, 'Sahabatku...aku tak tahu ini cinta ataukah persahabatan. Namun ketika ku jauh darimu, aku pun mulai sadar kubutuh dirimu, hanya engkau yang mengerti aku, duhai sahabatku. Cinta ini adalah persahabatan'. Gitu kak.”

Rita tersenyum. Ia diam sejenak. Adiknya kemudian kembali memainkan gitarnya. Melantunkan melodi-melodi dan sya'ir.

“Sepertinya aku akan pilih Dani,” kata Rita.

Nayla menghentikan permainan gitarnya. “Yakin?”

“Menurutku kehilangan seorang teman aku bisa mencari teman yang lainnya. Tapi kan itu tidak semua teman, orang yang tidak punya teman tentu tak akan mengenal apa artinya cinta dan persahabatan. Tapi kalau aku kehilangan Dani, aku bisa kehilangan banyak hal. Banyak memory yang sudah aku buat bersama dia. Kami sahabat sejak dulu dan aku tak mau menghancurkan persahabatan ini. Bahkan mungkin kalau dia mau nembak aku pun, aku sepertinya lebih mantab untuk menerimanya. Makasih ya dek, lagumu menginspirasi banget,” kata Rita sambil mencium kepala adiknya.

“Sama-sama kak, semoga langgeng sampai ke pelaminan,” kata Nayla.

“Sepertinya Dani bakal melamar kakak deh kalau sampai aku menerimanya,” kata Rita.

“Heh? Yang bener?” tanya Nayla terkejut.

“Beneran, ia sendiri bilang begini, 'Kalau kau menerimaku, tak usah pacaran kita langsung kawin saja. Toh kita sudah kenal satu sama lain sudah lama. Secepatnya aku akan melamarmu!' begitu,” kata Rita.

“Cieeeh...selamat ya kalau begitu. Dari sahabat akhirnya jadi manten,” kata Nayla.

Rita pun keluar kamar. Tak berapa lama kemudian ponsel Nayla berbunyi. Dari nomor tak dikenal. Dia lalu mengangkatnya.

“Halo, dengan keluarga Kusmoharjo di sini,” kata Nayla.

“Nay? Ini aku Ridwan,” kata Ridwan.

“Oh, Mas Ridwan? Iya mas. Ada apa?”

“Nggak, cuma kepengen nelpon aja. Aku tanya sana-sini buat tahu nomor telponmu,” kata Ridwan. “Lagi sibuk?”

“Oh nggak juga koq, sedang cari inspirasi buat lagu baru,” jawab Nayla.

“Wah hebat ya, selalu mencari ide. Aku nggak punya bakat musik sama sekali, tapi boleh aku minta tolong?” tanya Ridwan.

“Minta tolong apaan?”

“Begini, akukan ikut group nasyid sekolah. Hanya saja suaraku fals dan aku tak pernah latihan vokal. Kamu kan musisi pasti ada cara-cara tertentu untuk bisa melatih suara agar bisa merdu gitu.”

“Oh, begitu ceritanya. Ada sih, bisa bisa.”

“Nah, kau bisa bantu aku?”

“Bisa, tapi kapan?”

“Habis pulang sekolah gitu?”

Nayla berpikir sejenak. “Nggak masalah, OK.”

“Trims ya Nay, bantuanmu sangat berarti banget!”

“Jangan dipikirkan Mas, santai saja kita kan temen. Kalau bukan temen nggak bakal mau aku.”

“Sebenarnya aku sangat senang punya teman seorang musisi sepertimu. Rasanya gimana sih manggung gitu? Pasti ada rasa grogi atau gimana.”

“Ada dong, tapi kalau sudah terbiasa nggak koq. Emang mau ada lomba?”

“Iya, lomba nasyid bulan depan.”

“Wah, semoga menang Mas.”

“Lho, makanya itu tolong latih aku-lah. Aku kan nggak tahu menahu soal vokal. Mumpung ada yang ahli.”

“Aku nggak begitu ahli Mas, biasa saja.”

“Ah, merendah. Semua orang juga tahu kamu itu vokalis The Girls. Aku suka lho ama lagu-lagumu.”

“Makasih.”

“Besok Sabtu ada MABIT, kamu ikutan?”

“Hmm...Sabtu yah? Wah, sepertinya nggak bisa. Sabtu aku ada latihan, tapi coba aja deh.”

“Kamu ikut ekskul apa sih sebenarnya?”

“Oh, ikut ekskul musik.”

“Hmm...ya ya, sesuai dengan bidangnya.”

Mereka berdua terdiam sejenak selama beberapa detik.Tak tahu apa yang akan mereka bicarakan lagi. Saat-saat inilah yang paling aneh menurut Ridwan. Kenapa juga tiba-tiba ia berhenti bicara.

“Oke deh, sepertinya tak ada lagi yang perlu dibicarakan,” kata Ridwan. “Makasih Nay, sampai besok.”

“Iya, mas. Sama-sama.”

“Assalaamu'alaykum”

“Wa'alaykum salam”

Nayla melempar ponselnya ke ranjang. Dia lalu merebahkan diri dan meletakkan gitarnya ke tepi ranjang. Menurutnya Ridwan ini sedikit unik. Tapi baik, ketemu tak sengaja. Dan kalau tidak ada dia, mungkin acara manggungnya berantakan. Group Band The Girls dikenali dengan mata biru dari para personelnya, yang itu semua pake lensa kontak.

Esok pun menjelang. Nayla hari itu naik sepeda. Nayla agak kesiangan hari itu. Entah kenapa tidurnya pulas sekali. Dan ia pun mendapati seperti biasanya Ridwan duduk di teras masjid.

“Hai Nay, nanti ya jangan lupa,” kata Ridwan.

“OK, beres deh!” katanya.

Nayla bersiul-siul menuju ke tempat parkir dan memarkir sepedanya. Dia pun kemudian menuju ke sekolahnya. Ia bersenandung lagu baru ciptaannya yang tadi malam baru saja ia ciptakan. Dia membetulkan kacamata minusnya ketika melihat pengumuman di Mading. Surat cinta?? Siapa orang iseng yang menempelkan surat cinta di Mading? Dan ketika melihat tandan tangannya adalah Ridwan. Nayla pun ngakak. Itu adalah surat cinta dari Ridwan untuk Ike beberapa waktu lalu yang membuat Ridwan malu. Entah kenapa surat itu masih menempel saja di Mading sampai sekarang.

“Ya ampun, Mas Ridwan,” katanya. Ia pun berlalu dari Mading masih tertawa cekikikan.

Setelah mengikuti pelajaran pada hari itu ketika jam pulang Nayla menemui Ridwan di sanggar pramuka, karena Ridwan saat itu sedang ada di sana. Melihat wajah Nayla, Ridwan serasa senang.

“Masuk saja Nay!” pinta Ridwan.

Di sanggar pramuka itu ada beberapa orang yang sepertinya sedang iseng saja di sana. Ridwan pun mempersilakannya duduk lesehan di salah satu sudut sanggar.

“Wah, gila. Aku baru kali ini masuk di sini,” kata Nayla. Dia melihat piala-piala berjejer di dalam sebuah lemari kaca. Beberapa peralatan kepramukaan seperti
tongkat, bendera dan tali tampak tersusun dengan rapi di sanggar tersebut. “Keren ya. Banyak pialanya.”

“Iya dong,” kata Ridwan.

Mereka lalu diam sejenak. Ridwan agak canggung. Nayla cuma menatapnya saja. Ridwan lalu mengerutkan dahi.

“Mulai dari mana?” tanya Ridwan.

“Langsung mulai?” tanya Nayla.

"Iya dong, aku harus gimana?” tanya Ridwan.

“Oke, begini. Coba kamu bersuara do re mi fa so la si do!” perintah Nayla.

Ridwan pun melakukannya. Seketika itu pula Nayla geleng-geleng sambil nyengir.

“Suaramu fals banget ya. Coba gini deh, kamu akan lembut sedikit, pake suara perut,” ujar Nayla.

Ridwan pun mengulanginya. Ridwan pun akhirnya enjoy dengan pelajaran vokal yang diberikan oleh Nayla. Tak terasa mereka pun telah belajar cukup lama. Ridwan dan Nayla pun berjalan pulang bersama sambil menuntun sepeda.

“Terima kasih ya hari ini, aku jadi sedikit faham,” kata Ridwan.

“Mas Ridwan itu suaranya secara lahir fals banget. Mendingan mas sering minum air putih, jangan minum es atau makan gorengan dulu. Biar suaranya bagus,” kata Nayla.

“Emang pengaruh ya?”

“Iya dong.”

“Baiklah, aku akan coba tiap hari banyak minum air putih.”

“Eh iya, mas di Mading aku baca surat cinta,” kata Nayla sambil ketawa. “Itu beneran?”

“Wah, itu kerjaan temen-temen itu. Emang belum diturunin? Bikin malu aja,” kata Ridwan.

“Siapa itu Ike?”

“Temen sekelas, tapi ah udahlah nggak usah dipikirkan.”

“Kenapa? Ditolak?”

Ridwan mengangguk.

“Hihihi, kasihan Mas Ridwan. Yah, semoga ada ganti yang lebih baik nantinya. Tenang aja,” kata Nayla sambil menepuk-nepuk pundak Ridwan.

“Kau pulang ke arah mana?”

“Aku ke arah selatan. Masnya?”

“Ke utara. Jadi kita di sini berpisah.”

“Iya. Sampai besok.”

“Sampai besok.”


***

Ridwan hari itu kelupaan bawa dompet. Dia memukul-mukul kepalanya sendiri. Koq bisa kelupaan sih. Dan dia sudah ada di sekolah. Biasanya dompet itu memang ia taruh di ranselnya. Ia kelupaan setelah tadi malam bersama Erik dan kawan-kawannya berada di kafe. Dia pasti akan dihajar oleh Danang hari ini. Sebab setiap pagi hari dia harus menyiapkan sarapan buat Danang. Kalau tidak ia pasti kena bogem mentahnya.

Dan dia pun dihadang oleh Danang sebelum masuk ke kelas.

“Beliin sarapan yah, seperti biasa,” kata Danang.

“A...aku nggak bawa uang,” kata Ridwan.

“Apa kau bilang barusan?” tanya Danang.

“Aku nggak bawa dompet,” kata Ridwan.

“Peduli amat, kau sediain atau tidak? Mau nyuri kek, mau ngapain kek aku nggak mau tahu. Beliin aku sarapan atau aku hajar kamu!” kata Danang.

“Aku benar-benar nggak bawa uang,” kata Ridwan.

Sebuah bogem mentah dipukul ke perutnya. Ridwan langsung tersungkur. Danang memberi aba-aba kepada beberapa teman-temannya untuk menyeret Ridwan ke tempat parkir. Tempat parkir itu memang berada di belakang sehingga tak akan kelihatan oleh guru-guru. Tempat parkir ini tak begitu lebar hanya selebar dua meter. Sepeda-sepeda saja yang bisa masuk ke sana, itu pun tak bisa dilalui oleh dua orang. Karena sepeda hanya bisa berjajar dan satu jalan searah saja yang bisa dibuat berjalan. Di tempat parkir ini Ridwan ditendang perutnya sekali lagi. Dia mengaduh.

“Kamu tahu aku nggak suka kalau kau bilang 'aku nggak bawa uang' emang itu urusanku?” Danang lalu mengambil sebuah sepeda. Ia lalu menarik jeruji sepeda yang ada di rodanya. Kekuatannya cukup untuk menariknya hingga jeruji itu putus.

“Tahu nggak rasanya orang lapar itu seperti apa? Perutnya melilit. Pegangi dia!” perintah Danang kepada teman-temannya.

“Mau apa kalian?” tanya Ridwan.

“Ini hukumanmu!” kata Danang. Ia menyabetkan jeruji itu ke perutnya.

“AAAARGGHH!” jerit Ridwan. Rasanya panas sekali. Dan Danang melakukannya berkali-kali hingga kulit perut Ridwan melepuh.

“Rasanya melilit bukan? Kalau kau menolak lagi dengan berbagai alasan, kau bakal rasakan ini lagi!” Danang lalu memberi aba-aba agar melepaskan Ridwan.

Pemuda yang sering dibully ini pun berbaring di atas lantai tempat parkiran. Dia tak bisa bangun, perutnya sangat panas seperti terbakar. Darah pun membasahi baju putihnya. Ia pun berguling dan mencoba meraih pegangan. Ia berusaha untuk berdiri.

Hari itu Ridwan tak ingin masuk kelas dengan kondisi seperti itu. Dengan bersusah payah dia pergi ke ruang UKS. Petugas UKS yang saat itu sedang piket terkejut melihatnya. Mereka pun segera menolong Ridwan.

“Rid, ini parah lho Rid!” kata Nanang, salah satu temannya yang ikut PMR.

“Nggak apa-apa. Obati saja seadanya. Aku tak mau ketinggalan pelajaran, ayo! Kasih antiseptic atau apa kek gitu,” ujar Ridwan.

“Ambilin Rivanol!” kata Nanang kepada temannya.

Butuh waktu satu jam lamanya hingga Ridwan bisa tenang setelah menahan rasa sakit diberi obat antiseptic. Lukanya benar-benar parah. Ridwan bahkan sempat pingsan selama setengah jam karena tak kuat menahan sakitnya. Setelah Ridwan siuman dia pun memaksa Nanang untuk memerban lukanya agar darahnya tak merembes ke baju seragamnya.

“Tapi Rid,” Nanang khawatir. “Kau harus ke rumah sakit. Parah ini.”

“Persetan! Cepat, lakukan!” Ridwan membuka baju seragamnya. “Aku pinjam seragamnya, kumohon!”

Nanang menghela nafas. Teman-temannya pun berpandangan. Akhirnya mau menuruti kata-kata Ridwan.

“Mereka sudah keterlaluan Rid, kenapa kau tak melawan?” tanya Nanang.

“Aku tak punya kekuatan melawannya,” jawab Ridwan.

“Tapi kau harus melawan balik, tak mungkin kau setiap hari menerima perlakuan mereka sampai seperti ini,” kata Nanang.

“Tapi mereka teman-teman sekelasku sendiri. Bahkan semua teman-teman sekelasku kompak tak ada yang membela aku. Terus? Apa yang harus aku lakukan?” tanya Ridwan. “Katakan!?”

Nanang tak bisa membantahnya.

Setelah perban selesai dibalutkan ke perut Ridwan, dia pun berdiri. Masih terasa perih. Tapi Ridwan berusaha menahannya. Nanang pun meminjamkan baju seragamnya untuk dipakai oleh Ridwan. Sementara Nanang memakai baju PMR.

“Terima kasih ya,” kata Ridwan. Dengan langkah gontai dia pun berjalan menuju kelasnya. Ia memegangi perutnya. Rasa perihnya belum hilang.

Ketika dia sudah sampai di pintu kelasnya, semua teman-teman sekelas melihatnya. Saat itu ternyata sedang pelajaran Agama, Pak Nur yang mengajar. Melihat Ridwan memegangi perutnya, dia pun berpikir Ridwan baru saja sakit perut.

“Masuk!” kata Pak Nur.

Ridwan duduk di bangkunya.

“Rid, kalau misalnya nggak kuat mengikuti pelajaran ke ruang UKS saja,” ujar Pak Nur.

“Nggak apa-apa koq pak,” kata Ridwan. “Lagian, ini pelajaran yang saya sukai. Saya tak mau ketinggalan.”

Pak Nur tersenyum. “Baiklah, terserah. Tapi kalau memang tidak kuat, bapak ijinkan kamu tidak ikut.”

“Kuat pak,” kata Ridwan.

Di bangku belakang tampak Danang dibisiki teman-temannya, “Kau nggak keterlaluan itu? Sampai seperti itu.”

“Biarin, dia akan mendapatkan pelajaran dari kejadian ini,” kata Danang.


***​


Pulang sekolah, Ridwan kepalanya ditempeleng oleh Danang.

“Ingat, besok seperti tadi awas akibatnya!” ancam Danang.

Ridwan tak mempedulikannya. Rasa sakitnya mengalahkan segalanya. Danang pun pergi dari kelas. Saat itu Ridwan teringat dengan janji Nayla yang mengajarinya vokal. Dia lalu mengambil ranselnya dan berjalan terhuyung-huyung. Saat sampai di sanggar pramuka, dia melihat Nayla.

“Hai mas, kenapa?” tanya Nayla.

Ridwan memegangi perutnya. Saat itu Nanang yang kebetulan sangar pramuka dekat dengan ruang UKS melihat Ridwan. Nanang langsung menolong Ridwan.

“Rid, kau harus istirahat. Besok jangan masuk sekolah. Kau harus istirahat di rumah,” kata Nanang.

“Lho, kenapa Mas?” tanya Nayla khawatir.

“Nggak apa-apa koq. Cuma sakit perut,” kata Ridwan. “Hari ini maaf ya, kayaknya nggak bisa latihan hari ini.”

“Oh, nggak apa-apa. Kalau memang sakit,” kata Nayla.

“Ya udah, aku pulang dulu,” kata Ridwan.

Dengan kondisi seperti itu, Ridwan masih mengayuh sepedanya untuk pulang. Ketika sampai di rumah, melihat kondisi Ridwan terluka seperti itu segera saja sore itu Ridwan dibawa ke dokter. Ridwan tetap diam membisu ketika ditanya kena apa. Dia hanya menjawab jatuh di tempat parkir. Namun ibunya tak pernah percaya, karena hampir setiap saat anaknya pasti pulang dengan babak belur. Di sinilah awal mula ibunya mencium sesuatu yang aneh terhadap anaknya.


***​
 
BAB V
Kita Bersahabat

Kegiatan Malam Bina Iman dan Taqwa akan dilakukan besok Sabtu. Bersamaan dengan itu Nayla sedang ada konser. Tapi Ridwan lebih memilih untuk mengikuti kegiatan ini. Terlebih lagi dia mendapatkan banyak ilmu dari kegiatan ini. Ia mulai memahami dasar-dasar ibadah seperti cara berwudhu yang benar, cara shalat yang benar dan hukum-hukum seputar puasa. Kemudian juga mulai diperkenalkan tentang masalah-masalah kontemporer. Hal-hal seperti ini sepertinya dibutuhkan oleh anak-anak muda jaman sekarang, karena mereka sepertinya lebih banyak melalaikan tentang permasalahan-permasalahan wajib. Kebanyakan para pemuda jaman sekarang lebih cenderung suka untuk meremehkan shalat, padahal shalat adalah perkara amalan yang akan dihisab lebih dulu daripada amalan yang lain. Mereka pun berwudhu asal-asalan padahal bagian tubuh yang tidak terkena air wudhu maka bagiannya adalah neraka. Selain itu para peserta juga diajarkan cara mandi wajib. Mereka juga masih banyak yang belum mengerti. Mandi wajib sangatlah penting bagaimana nanti ketika mereka mimpi basah tapi masih tak tahu caranya mandi wajib sesuai syari'at?

Ridwan mengikuti kegiatan-kegiatan MABIT dengan sangat antusias. Dan ketika shalat malam pun ia melakukannya dengan khusyu'. Dia baru kali ini shalat dengan bacaan yang sangat panjang sampai-sampai lututnya bergetar karena begitu panjangnya. Setelah shalat malam itu ia dan teman-teman SKI tidur di atap masjid. Di atap itu ada bagian yang datar beberapa kawan-kawannya membawakan karpet untuk bisa dibuat tiduran di sana. Menurutnya tidur sambil menatap bintang-bintang itu merupakan sesuatu yang keren.

Saat itu Fuad, Ridwan, Wahyu dan Luqman sedang tidur menatap langit. Minus Ari karena dia tidur di bawah dan sudah mendengkur dari tadi.

“Udah lama kita nggak reunian begini,” kata Ridwan.

“Sudah setahunlah bro,” kata Fuad.

“Kalau tidur kayak gini, aku jadi teringat ketika di Papua dulu,” ujar Wahyu.

“Lho, kamu dari Papua ya?” tanya Ridwan.

“Lahir di sana, tepatnya di Sorong. Aku dulu pas bencana tsunami ada di sana. Dan setelah itu tidur beratapkan langit seperti ini. Rasanya jadi nostalgia,” kata Wahyu.

“Pasti pengalaman yang tak terlupakan,” kata Luqman.

“Tentu saja. Aku masih ingat ketika itu terjadi gempa. Hampir seluruh orang berteriak 'Air! Air!' dan ternyata datang air dari laut. Waktu itu kami berlindung ke sebuah masjid dan air itu nggak sampai masuk ke masjid. Kami semua yang masuk ke masjid selamat. Akhirnya malam itu kami tidur beratapkan langit, hingga besok menunggu bantuan datang. Habis itu aku pindah ke sini,” ujar Wahyu. “Aku sangat bersyukur sekali berada di sini sekarang.”

“Kau tinggal sama siapa?” tanya Ridwan.

“Ada adek, bapak, ibu,” jawab Wahyu.

“Ngomong-ngomong, menurut kalian langit itu bagaimana sih bentuknya?” tiba-tiba Fuad nyeletuk.

Semuanya terdiam menatap langit.

“Entahlah, tapi kita hanya bisa melihat sebatas itu saja. Selebihnya misteri. NASA saja memprediksikan bahwa ada jutaan galaxy di atas sana. Yang baru ditemukan hanya lima ribu. Luar angkasa benar-benar luas,” kata Luqman.

“Subhanallah, andai manusia mau bersyukur,” gumam Wahyu..

“Terus terang acara hari ini membuatku makin tahu tentang Islam. Semoga aku bisa mengikuti acara seperti ini lagi,” kata Ridwan.

“Kenapa kamu nggak ikutan SKI aja Rid?” tanya Fuad.

“Belum ada panggilan, hihihi,” jawab Ridwan.

“Iya, ikut aja,” bujuk Luqman.

“Nanti saja, aku belum ada panggilan ke arah sana,” kata Ridwan. “Tapi In Syaa Allah, kalau aku sudah siap. Aku akan ikut.”


***​

“Kau nggak laper?” tanya Ridwan.

“Laper sih, mau traktir?” tanya Nayla.

“Kalau kamu mau,” ujar Ridwan.

“OK, siapa takut. Ditraktir koq.”

Setelah belajar vokal siang itu Ridwan mengajak Nayla untuk ke sebuah warung bakso di dekat sekolah. Ridwan tahu kalau makanan kesukaan Nayla itu bakso. Tipikal cewek-cewek ABG kebanyakan suka makan bakso dan mereka pun mengeluh dengan berat badannya padahal kalori yang dimasukkan ke tubuh mereka lebih besar dari keinginan diet mereka.

“Kamu nggak takut gemuk makan bakso kaya' gini?” tanya Ridwan.

“Nah, itulah Mas, bedanya aku sama cewek yang lain. Kalau aku energinya pasti cepet dihabiskan. Di panggung sambil lompat-lompat kalau nggak olahraga dulu bisa keseleo nanti kakiku. Dan itu ndak lucu.”

“Oh, begitu.”

Nayla melihat baju Ridwan yang kotor. Padahal tadi pagi masih bersih. Dan beberapa kali ia melihat itu. Rasa penasarannya pun akhirnya ditanyakan pula.

“Oh ya, maaf mas. Koq aku melihat baju mas selalu kotor ya kalau pulang sekolah. Emangnya kenapa?”

Ridwan mengangguk-angguk, “Iya, karena suatu hal.”

“Apa dong? Cerita pliiisss,” Nayla memohon, sementara itu pesanan bakso mereka sudah datang.

“Panjang ceritanya Nay, kamu mau?”

“Kitakan udah temenan, masa' nggak boleh curhat ke temen. Aku juga sering koq jadi tempat curhat temen-temen. Kakakku juga.”

“Oh, kamu punya kakak?”

“Iya, kakakku ada dua, pertama Mas Andri, kedua Mbak Rita. Aku anak paling kecil.”

“Udah kuliah semua?”

“Udah dong, Mas Andri sudah berkeluarga, menyusul Mbak Rita sepertinya.”

“Wah, selamat kalau gitu.”

“Eits, ini koq mengalihkan pembicaraan sih? Cerita dong, siapa tahu aku bisa bantu. Yah, bantu dikit sih.”

Ridwan tersenyum.

“Jangan senyum melulu mas, aku jadi senewen nih.”

“Baiklah, aku akan ceritakan.”

Nayla mendengarkan dengan seksama cerita Ridwan. Tentang ia yang terus dibully oleh teman-temannya. Ada rasa iba pada diri Nayla. Temannya yang satu ini bicara jujur tentang kehidupannya. Secara tak sadar mereka pun sudah menjadi sahabat. Nayla merasa nyaman di dekat Ridwan, demikian juga sebaliknya. Cerita Ridwan mengalir begitu saja, dan rasa hatinya plong setelah bercerita.

“Mas kenapa ndak lawan balik mereka?”

Ridwan menghela nafas, “Aku tak tahu Nay. Setiap kali ingin membalas aku tak punya kekuatan.”

“Kalau Mas begini terus ya tidak akan habisnya. Jadi cowok yang macho, kalau perlu belajar beladiri, belajar berkelahi. Hajar mereka yang merendahkanmu itu. Ayolah!”

“Pengennya begitu.”

“Mas, jangan takut. Kamu itu cowok, harusnya lebih berani. OK?”

“Aku akan berusaha.”

“Nah, begitu. Tos dulu dong!”

Ridwan menepuk telapak tangan Nayla.

“Nay, kamu mau jadi sahabatku?” tanya Ridwan.

“Sahabat ya?” Nayla seolah-olah serius berpikir. “OK, siapa takut. Memangnya kenapa kalau ingin jadi sahabatku?”

“Nggak tahu, aku menganggap kamu ini orangnya baik. Yang aku suka itu ceplas-ceplosmu itu. Lagian punya sahabat seorang musisi itu rasanya lain,” ujar Ridwan.

“Ah, mas ini ada-ada aja. Aku masih banyak kekurangan lho,” kata Nayla.

“Tapi buktinya kamu sudah membantuku latihan vokal. Minggu depan ini kita mau lomba, semoga menang,” kata Ridwan.

Nayla tersenyum.

“Sekali lagi terima kasih,” kata Ridwan.

“Udahlah, tenang aja. Nggak usah dipikirkan,” kata Nayla sambil memukul bahu Ridwan.

Mereka pun berjalan sepeda beriringan kali ini. Menikmati sore hari yang indah. Matahari berwarna keemasan, membuat pemandangan sore itu tak ingin dilupakan oleh siapapun.

“Lho, koq ikut ke arah sini, Mas?” tanya Nayla.

“Nggak apa-apa kan? Toh jalannya juga nanti muter. Sama saja,” ujar Ridwan.

“Bilang aja mau tahu rumahku,” kata Nayla.

“Nggak ada kepikiran ke situ.”

“Halah. Nggak usah pura-pura. Biasanya cowok itu kepengen tahu rumah cewek. Aku sih nggak masalah.”

“Beneran aku nggak pernah mikir ke arah situ.”

“Iya iya, Mas ini emang sedikit aneh. Rumahku ada di Jalan Kenanga nomor lima. Kalau mau mampir aja. Aku bebas menerima siapa saja. Bertamu boleh, nginep nggak boleh, nggak ada tempatnya. Hehehe.”

“Aku ada di Jalan Mauni, kalau mau mampir silakan saja.”

“Cewek pergi ke rumah cowok itu nggak etis Mas.”

“Lho, kenapa?”

“Iyalah, biasanya juga cowok pergi ke rumah cewek.”

“Yah, itukan kalau mereka pacaran. Kita kan enggak.”

Raut wajah Nayla waktu itu memerah. Bodoh sekali kenapa aku ngomong gitu, pikirnya.

“Nah, aku mau sampai nih. Masnya masih muter ke sana!”

“Iya, aku tahu. Sampai nanti ya?” Ridwan memelankan sepedanya. Nayla juga. Mereka berdua berhenti di sebuah perempatan lampu merah.

“Sampai nanti? Emang nanti ketemu?” tanya Nayla.

“Aku bisa telpon koq, teknologi sudah maju,” jawab Ridwan.

Nayla mengepalkan tangannya mengulurkannya kepada Ridwan. Ridwan menemplekan kepalan tangannya ke Nayla seperti tos. Nayla tersenyum kepada Ridwan. Lampu sudah hijau. Keduanya lalu berpisah.


***​


Esoknya Ridwan tiba-tiba masuk ke ruang UKS. Saat itu beberapa orang yang sedang piket terkejut dengan luka yang diperoleh Ridwan. Punggungnya berdarah, bajunya robek. Nanang yang saat itu bersama Ramadhani terkejut melihatnya.

“Eh, Rid? Kenapa Rid?” tanya Nanang.

Ridwan mengerang. “Kalian bisa menjahit luka?”

Petugas piket UKS berpandangan.

“Kita tak ada dokter di sini. Emangnya kenapa?”

“Aku barusan jatuh di parkiran sepeda, punggungku terkena pedal sepeda sampai seperti ini,” jelas Ridwan sambil meringis kesakitan.

Nanang segera melihat lukanya. Luka robeknya cukup panjang, panjangnya kurang lebih sepuluh centimeter. Ramadhani ikutan melihat. Melihat luka itu Ramadhani agak merasa aneh. Apalagi ia melihat bekas tapak sepatu di baju Ridwan.

“Kau jangan bohong Rid?!” tanya Ridwan. “Kau pasti barusan berkelahi kan?”

“Danang lagi?” tanya Nanang.

Ridwan tak menjawab.

“Kurang ajar anak itu. Biar aku tangani, besok aku akan lapor ke guru BP...,” dengan cepat kata-kata Ramadhani dipotong.

“Tak perlu! Jangan aku mohon!” kata Ridwan.

“Rid, sebagai ketua OSIS aku harus bertanggung jawab atas masalah ini!” kata Ramadhani. “Ini sudah keterlaluan.”

“Ini semua murni kesalahanku. Aku yang memulainya, jangan kau beritahukan ke guru BP! Kumohon Ram!” kata Ridwan.

“Tidak, ini serius. Aku tak mau anak buahku dibully seperti ini.”

“Ram! Kalau kamu beritahukan ke guru BP aku akan mengundurkan diri dari pengurus OSIS!”

Ramadhani terdiam.

“Sudah, sudah! Jangan mikirin itu dulu. Kita perlu sesuatu untuk luka ini,” kata Nanang. “Ada benang jahit dan jarumnya, hanya saja tak ada obat biusnya. Dan kita emang tak boleh menyuntik. Yang boleh menyuntik itu dokter. Itu kode etiknya!”

“Aku akan tahan. Jahit saja!” kata Ridwan.

“Gila! Kamu sinting Rid! Kamu sinting!” kata Ramadhani.

“Ram!” Ridwan memegang tangan Ramadhani. “Kalau kamu ingin aku tetap jadi pengurus OSIS dan kita menyelesaikan semua program kita dengan sukses, lakukan apa yang aku minta! Nanang?! Kau bisa menjahit luka?”

“Tidak di kehidupan nyata,” kata Nanang.

“Aku percaya kepadamu!” kata Ridwan.

“Ambilkan alkohol!” perintah Nanang. Petugas piket yang lain segera mengambil alkohol, jarum, benang, perban. Dan beberapa peralatan yang lain.

“Kita akan melakukan operasi kecil-kecilan,” kata Nanang.

“Aku siap!” kata Ridwan. Dia mencopot baju seragamnya. Ridwan lalu berjalan ke ranjang pasien. Dia pun tengkurap.

“Ini tidak baik,” kata Nanang.

Ramadhani lalu memegang lengan Nanang, “Kau bisa! Ini darurat. Jangan sampai Ridwan terluka, kau harus menjahitnya!”

“Sial, aku benar-benar tak pernah menyangka harus melakukan ini. Baiklah!” kata Nanang.

Hari itu juga berlangsung operasi kecil untuk menjahit luka Ridwan. Ridwan menggigit bantal ketika jarum dan benang itu melewati kulitnya. Ramadhani sampai tak tega menyaksikan hal itu. Kurang lebih setelah lima belas menit. Operasi itu selesai. Kemudian lukanya ditutup kapas, kain kasa, plester dan dililiti perban, memutar ke dada Ridwan. Karena rasa sakit yang amat sangat Ridwan pun pingsan. Ia tak sadarkan diri sampai hari sudah gelap. Ruang UKS saat itu hanya ada Ramadhani dan Nanang. Mereka menunggui Ridwan sampai siuman. Dan ada satu orang lagi yang cemas sampai menangis. Dia adalah Nayla. Mendengar Ridwan ada di ruang UKS ia segera ke sana. Dia duduk di samping Ridwan. Tubuh Ridwan tengkurap dan mengucur keringat dingin. Nayla beberapa kali menyeka keringat di dahi Ridwan.

Ridwan mengeluh.

“Mas? Mas Ridwan?” panggil Nayla.

Ridwan terbangun. Orang yang dilihatnya pertama kali adalah Nayla. “Oh, Nay. Aduh du duh!”

“Jangan banyak gerak dulu. Aku sedang usahakan cari pinjeman mobil buat nganter mas pulang. Biar sepeda mas dibawa sama Rama,” kata Nayla.

“Aku bisa pulang sendiri koq,” kata Ridwan.

PLAK!

Tamparan keras membuat pipi Ridwan panas.

“Kau ini bodoh atau bagaimana sih mas? Aku itu khawatir banget. Diceritain Rama bahwa Mas terluka sampai dijahit seperti ini. Bahkan mas masih mau naik sepeda pulang? Nggak, itu perbuatan bodoh, aku nggak ingin melihat Mas kenapa-napa. Aku sudah telpon Mas Andri. Nanti Mas akan dianter oleh Mas Andri.”

Ridwan memegangi pipinya yang panas. Ia tersenyum kepada Nayla. “Maaf, kalau membuatmu khawatir.”

Nayla menundukkan wajahnya. “Kumohon, Mas jangan membuatku khawatir lagi. Lawanlah mereka! Mas adalah laki-laki. Lawanlah mereka!”

Ridwan melihat air mata di pipi Nayla. Melihat air mata sahabatnya itu dia pun tak tega. “Aku janji, aku akan melawan mereka. Kau tak perlu khawatir. Sudah. Jangan menangis.”

Sebenarnya, kalau saja saat itu Ridwan berkata “Aku mencintaimu” kepada Nayla mungkin saat itu Nayla pun akan menerimanya. Hanya saja untuk urusan cinta pun Ridwan sama pengecutnya. Ia tak pernah ada pikiran bahwa Nay adalah seseorang yang dia inginkan. Ia masih belum mengerti tentang cinta. Baginya cinta adalah sesuatu yang mana hatinya tertarik kepadanya. Padahal tak senaif itu. Nayla pun tak mengerti kenapa ia sekhawatir itu. Tapi mereka berdua punya sebuah kesepakatan dalam perasaan. Ini adalah perasaan seorang sahabat. Iya, persahabatan, tak lebih dari itu.

***​
 
:takut:
Hwoaaaa..

Langsung gasak 5 Bab..
harus ada ekstra kopi nich..

:kopi::baca::kopi:
:kopi::kopi:
nyicil dulu ya, bang Arcie​
 
BAB VI
Aku Hanya Ingin Berteman Dengan Kalian Tidak Lebih

Ridwan pagi-pagi sekali sudah melakukan jogging. Selama beberapa minggu ini dia melatih dirinya sendiri. Ia sudah mantab untuk belajar beladiri. Dan beladiri yang ia pilih adalah Muay Thai. Ia belajar dari tetangganya yaitu Roni. Karena tahu Roni adalah seorang guru Muay Thai, akhirnya Ridwan pun mengutarakan permasalahannya kepada orang ini.

Usia Roni masih tiga puluhan, namun soal beladiri ia jagonya. Dia selalu menceritakan tentang tokoh yang sangat ia sukai yaitu Tonny Jaa. Hampir seluruh gerakan-gerakannya ia tiru dari bintang film action itu. Roni punya tempat latihan sendiri yang tak jauh dari rumah Ridwan.

Awalnya adalah ketika Ridwan mendatangi Roni pada suatu sore setelah pulang sekolah. Wajahnya ada lebam. Ridwan malu pulang sekolah selalu dalam keadaan babak belur. Akhirnya sebelum pulang dia pun menemui Roni. Saat itu Roni sedang memukul-mukul sansak dengan siku dan tinjunya, terkadang ia menendang benda itu. Ketika Ridwan melintas di rumah Roni, dia melihat gerakan-gerakan Roni yang indah. Ia pun takjub. Roni yang merasa diawasi langsung menghentikan gerakannya.

“Lho, Ridwan?” sapanya.

“Hai Mas,” jawab Ridwan.

“Masuk masuk!” Roni memberi aba-aba untuk masuk.

Dengan langkah lunglai Ridwan masuk ke halaman rumahnya. Ridwan lalu duduk di sebuah kursi yang terletak di teras. Roni kembali menendang karung pasirnya. Kali ini karung pasir itu hampir saja melayang ke atas karena tendangannya.

“Mas, sejak kapan belajar Muay Thai?” tanya Ridwan.

“Sudah lama Rid,” jawab Roni singkat.

“Iya, sejak kapan?”

“Sejak kecil. Kenapa kamu babak belur? Barusan dihajar?”

“Iya.”

Roni menghentikan latihannya. Dia lalu menghampiri Ridwan dan duduk di kursi yang ada di teras.

“Ceritakan kepadaku, apa masalahmu!”

Ridwan pun kemudian bercerita tentang kelakuan teman-temannya yang selalu membully dirinya. Hingga terkadang ia tak kuat lagi untuk menahan diri. Tapi ia sangat lemah. Bahkan unuk melawan balik pun ia tak mampu. Ia pun menjuluki dirinya sendiri adalah pengecut.

“Kalau bisa Mas, ajari aku cara berkelahi. Aku tak mungkin belajar Muay Thai secepat itu, tapi dengan aku belajar berkelahi, maka aku akan bisa membalas mereka,” kata Ridwan.

Roni mengangguk-angguk. “Baiklah, aku bisa membantu. Tapi aku ingin kau melatih fisikmu dulu. Berlarilah setiap hari, sorenya kita latihan. Aku akan mengajarkanmu cara berkelahi, bukan mengajarimu beladiri Muay Thai. Tapi paling tidak nanti akan ada gerakan-gerakan dari Muay Thai yang akan kau pelajari secara kilat.”

“Makasih Mas! Makasih!”

“Eit, tak perlu berterima kasih. Kau ini tetanggaku. Wajar kalau antara tetangga saling membantu. Dan satu hal lagi. Aku yang akan menentukanmu kau sudah siap atau belum menantang mereka.”

***​

Ibunya Ridwan resah, karena setiap kali ia melihat anaknya selalu pulang dengan baju kotor, kadang juga ada luka lebam-lebam. Bahkan masih teringat beberapa waktu lalu Ridwan terluka perutnya sampai berdarah. Seperti terkena sesuatu benda besi. Itu saat Ridwan dipukul dengan jeruji sepeda oleh Danang karena tidak membelikannya sarapan. Punggung Ridwan pun juga ada luka robek, bahkan sampai-sampai baju seragamnya robek. Saat itu Ridwan didorong hingga jatuh menimpa sepeda-sepeda punggungnya robek terkena pedal sepeda. Ridwan memberitahunya ia terjatuh di tempat parkir.

Ibunya tahu pasti ada sesuatu yang disembunyikan oleh Ridwan. Wataknya Ridwan memang seperti itu. Ia tak mau memberitahukan ia kenapa, terutama ketika dia disakiti oleh teman-temannya. Besar harapan ibunya kepada Ridwan agar bisa lulus dari sekolah ini. Berjuang sendiri dengan bekerja di sebuah perusahaan rokok sebagai buruh, adalah satu-satunya yang bisa dilakukan oleh ibunya. Membiayai hidupnya dan seorang anak, tentu saja berat. Tapi beruntunglah Ridwan bukan anak yang bandel, selalu menurut kepadanya. Hanya saja persoalan kali ini lain.

Biasanya Ridwan pulang dengan baju kotor, tapi beberapa hari ini bajunya sangat bersih. Ibunya merasa tumben baju anaknya tidak kotor. Kalau biasanya anaknya pulang dengan luka lebam-lebam, kali ini tidak. Sebenarnya ibunya tahu kalau Ridwan selalu dibully di sekolah. Namun ia mempunyai prinsip urusan anak laki-laki biarlah mereka yang menyelesaikannya sendiri. Mereka harus kuat, sebab kerasnya kehidupan suatu saat nanti akan mereka rasakan. Maka dari itu mereka tak boleh pantang menyerah.

Namun hari itu ada yang aneh. Sebuah surat datang melalui tukang pos. Dialamatkan kepada ibu dari Ridwan, dari sekolah. Buru-buru sang ibu membuka surat itu. Setelah membaca surat itu pun sang ibu menghela nafas. Sedikit ia agak gemetar. Surat itu rasanya menyesakkan dadanya.

Surat dari sekolah, yang berisi pemberitahuan bahwa Ridwan sudah dua minggu tidak masuk sekolah. Dan alpha itu tanpa laporan apapun. Pihak sekolah memanggil ibunya untuk memberikan pemberitahuan bagaimana putranya bisa sampai seperti itu. Langsung hari itu dia pergi ke sekolah. Surat itu ditaruhnya di meja.

Kemana Ridwan? Dia saat itu sedang berlatih bersama Roni di lapangan. Dan sudah dua minggu ini mereka berlatih. Dan latihan yang diterima oleh Ridwan benar-benar latihan yang sangat keras. Hingga tak terasa badannya pun sudah membentuk otot-otot yang kekar. Keringat mengucur deras di tubuhnya. Dia sedang push-up dengan Roni ada di atas tubuhnya.

“Ayo, sepuluh kali lagi,” kata Roni.

“Heegghhh!” Ridwan mengangkat badannya lagi. Otot-otot tubuhnya benar-benar sudah terbentuk. Ia dengan mudah bisa mengangkat tubuhnya yang ditindih oleh Roni. Setelah sepuluh kali push-up, Roni pun turun. Ridwan lalu berdiri.

“Ayo, sekarang gerakan-gerakan yang aku ajarkan! Mulai!” perintah Roni.

Ridwan lalu memperagakan gerakan-gerakan yang telah diajarkan.

“Hanuman menyerang! Memukul musuh! Melempar kapak! Menghantam gelombang! Memukul dengan kedua siku!”

Ridwan berlatih hingga Roni pun mengatakan, “Cukup untuk hari ini.”

Ridwan menyudahi latihannya dan mengambil pakaiannya yang ada di pinggir lapangan. Roni menghampiri dia.

“Kau tak apa-apa bolos sampai dua minggu?” tanya Roni. “Aku khawatir nanti ibumu tahu.”

“Iya, tak apa-apa. Aku bisa punya alasan,” kata Ridwan.

“Rid?! Sepertinya kamu sekarang sudah siap kalau cuma untuk menghadapi satu orang. Sekuat apapun orangnya, tak akan mampu melawanmu dengan tehnik beladiri ini. Yang aku ajarkan bagian yang paling keras dari Muay Thai. Yaitu Muay Boran. Tehnik ini adalah tehnik beladiri Thailand kuno. Jangan pernah menggunakannya kalau tidak terpaksa! Kau mengerti?”

“Siap, aku mengerti,” kata Ridwan. “Aku pergi dulu mas.”

“Silakan!” kata Roni. “Ingat Rid, satu orang!”

Ridwan mengangguk. “Makasih Mas.”

Ridwan pun buru-buru pergi. Di rumah ia tak mendapati siapapun. Ibunya sepertinya pergi. Tapi sepucuk surat yang ada di meja membuatnya terkejut. Surat dari sekolah. Di sana dikatakan bahwa dia tidak masuk sekolah selama dua minggu.

“Oh tidak, ibu!”

Ridwan lalu bergegas untuk ke sekolahnya. Tentu saja untuk menyusul ibunya. Dia menaiki sepedanya seperti orang kesetanan. Mungkin tak pernah dalam hidupnya ia mengayuh sepeda seperti itu. Mendahului semua kendaraan, mobil, sepeda motor, apapun. Sampai di sekolahnya ia dalam kondisi kepalanya berkedut-kedut, karena seluruh pembuluh darahnya terpacu. Dan dia dalam kelelahan yang luar biasa. Satpam sekolah yang melihatnya di luar pagar keheranan.

“Lho, Mas Ridwan?” tanya pak satpam.

“Biarkan saya masuk Pak,” jawab Ridwan.

“Waduh, mana bisa mas?”

“Ibu saya barusan masuk, saya harus menemuinya. Kumohon!”

“Oh, ibu-ibu yang tadi? Baiklah kalau begitu.”

Pagar sekolah pun dibuka. Ridwan lalu masuk ke halaman sekolah. Ia lalu melewati kelasnya. Saat itu dia berada di luar kelas, sepertinya di dalam kelas sedang hening. Ibunya ada di sana.

“Saya dan Ridwan mohon maaf kalau misalnya Ridwan ada salah. Tapi jujur Ridwan adalah anak yang baik. Dia tidak pernah berbohong, dia juga tak pernah menyakiti siapapun. Saya tahu apa yang terjadi kepadanya, saya tak menuduh siapapun yang ada di kelas ini. Tapi kumohon. Ridwan hanya ingin berteman dengan kalian semua. Dia anak tunggal, sejak kecil selalu bermain sendiri. Dia hanya ingin diakui dan hanya ingin mempunyai teman. Alasan dia tidak masuk ke sekolah, aku sama sekali tak tahu, tapi aku mohon bertemanlah dengan Ridwan!”

Kelas Ridwan hening tak ada suara. Ridwan mengintip dari jendela. Tampak sang wali kelas ada di sana. Dan ibunya berdiri di depan kelas sambil menangis. Hancur hatinya Ridwan saat itu melihat air mata ibunya. Ia jadi bersedih. Ia lalu berbalik dan menunggu ibunya di pagar sekolah. Ia bahkan tak berani untuk menatap wajah ibunya lagi setelah ini.

Setelah beberapa lama menunggu. Ibunya pun muncul. Ridwan menundukkan wajahnya. Sang ibu lalu mengusap kepala anaknya.

“I...ibu...aku....”

“Jangan bicara. Tak perlu bicara!” pinta ibunya. “Apapun yang akan kau ucapkan ibu tak mau dengar. Ibu sudah berjuang mati-matian hanya untuk menyekolahkanmu. Kau boleh berbuat apapun semaumu. Kegiatanmu boleh seabrek, itu hal yang positif nak, tapi sampai tidak masuk selama dua minggu tanpa alasan yang jelas, itu bukan hal yang positif.

“Ibu selama ini tahu kamu dibully oleh teman-temanmu, ibu tahu. Pulang dengan baju kotor, itu tidak masalah. Pulang dengan luka-luka lebam akibat dipukuli temanmu ibu tidak mempermasalahkannya, karena kamu laki-laki. Anak laki-laki berantem itu hal yang wajar bagi ibu. Karena itu bisa memberikanmu keberanian, kekuatan. Ibu juga membiarkanmu agar kamu bisa mengatasi persoalanmu sendiri, tapi tidak dengan begini. Belajar ya belajar. Jangan pernah kamu terpengaruh oleh hal yang lain. Itu tidak benar! Sekarang ibu inginkan, kamu masuk ke kelas. Minta maaf ke wali kelasmu dan jangan pernah ulangi lagi. Ibu malu dipanggil oleh sekolah lagi. Ibu malu!”

Ridwan tak berani menatap ibunya. Ia hanya bisa melihat ibunya pergi meninggakan sekolahnya. Ridwan kemudian menatap ke ruang kelasnya. Dengan berat hati ia pun berjalan melangkahkan kaki kembali ke kelas. Di dalam kelas ia bertemu dengan sang wali kelas. Seluruh murid terdiam. Tak ada suara apapun.

“Ridwan, mohon jangan ulangi lagi,” kata Bu Sulis sang wali kelas.

Ridwan tak mendengarkannya. Ia hanya menundukkan wajahnya ia bahkan tak membawa ranselnya ke sekolah. Ia hanya ingat ibunya dan ia masuk ke kelas ini pun karena perintah ibuya. Dia adalah anak yang sangat patuh kepada orang tuanya.

******​
 
BAB VII

Aku Lelaki Tangguh


Ridwan benci dengan mereka semua. Benci. Dia pun akhirnya tak lagi masuk ke sekolah. Kesabarannya sudah mulai habis. Terlebih setelah kemarin ibunya datang ke sekolah dipanggil karena ketidak hadirannya. Bahkan sampai menangis di depan kelas, di hadapan teman-temannya. Ridwan yang mengetahui hal ini berharap teman-temannya bisa berubah. Tapi ternyata tidak. Teman-temannya makin membully dia, sampai-sampai dia disebut sebagai Pangeran Hilang. Dia masuk ke sekolah hanya untuk mengikuti kegiatan keorganisasian. Selebihnya dia alpha. Karena sebelumnya tak pernah alpha hal itu pun membuat guru-guru bertanya-tanya kemana anak ini? Apakah karena kegiatan organisasi? Wali kelasnya Bu Sulis pun menanyakan kepada seluruh kelas, tapi tak ada satupun yang tahu keberadaan Ridwan karena ini sudah seminggu dia tidak masuk kelas.


Seminggu ini Ridwan sedang mengumpulkan keberanian. Keberanian untuk menghadapi bully-an teman-temannya. Dan hari Senin itu pun dia berencana untuk mengakhiri semuanya. Selama dua minggu tidak masuk, Ridwan menghabiskan waktunya di masjid atau sekedar ke gym untuk latihan beladiri yang dia tekuni beberapa waktu ini. Tujuannya cuma satu agar bisa melawan balik Danang dan kawan-kawannya kalau menganggu dia lagi. Hasil latihannya akan diuji hari ini.

Ketika ia muncul, seluruh mata tertuju kepadanya. Terutama Danang.

“Wah, si Pangeran Hilang muncul,” ejek Shinta.

Ridwan diam saja. Belum juga lama duduk dia langsung ditempeleng oleh Danang, “Kemana aja kamu, kodok!?”

Ridwan mengaduh, “Beliin aku nasi pecel lagi!”

“Beli aja sendiri!” kata Ridwan.

“Anjing, berani juga kamu. Udah punya nyali? Hah?” Danang melotot kepadanya. Tampak mata Ridwan menatapnya tajam. Kerah bajunya pun dicengkram. “Awas nanti pulang, kuhajar kau!”

Kata-kata seperti itu sudah sering didengar oleh Ridwan. Dia pun menghela nafas. Dia melihat arlojinya. Jam menunjukkan pukul tujuh kurang. Dia lalu membawa ranselnya dan keluar kelas. Rasanya melihat atmosfer kelas ia sudah muak.

“Lho lho lho, keluar lagi Si Pangeran Hilang,” kata Shinta mengejek. Dia dan teman-temannya pun tertawa.

BRAK! Tiba-tiba Ridwan menghantam pintu kelas hingga daun pintunya berlubang akibat tinjunya. Darah Ridwan sudah mendidih.

“Kalian bisa hentikan? Apa aku perlu melakukan ini? Baiklah, Danang! Dengarkan baik-baik. Aku menantangmu untuk duel satu lawan satu. Kalau aku menang duel ini, kau jangan menggangguku lagi. Begitu juga kalian. Jangan pernah menghinaku lagi, jangan pernah menyikiti aku lagi,” Ridwan menoleh ke arah teman-teman sekelasnya.

Matanya yang tajam menatap mata Danang. Tak seperti sebelumnya kini keadaan kelas hening. Melihat kepalan tangan Ridwan yang menghancurkan pintu kelas itu benar-benar serius. Kali ini Ridwan benar-benar ingin meluapkan segala amarahnya. Dan mereka tak menyangka Ridwan bisa menjebol pintu kelas itu yang memang terbuat dari papan. Ini hasil latihan dia selama ini.

Danang tertawa, “Udah punya nyali rupanya. OK, nanti sore kita ketemu. Mau di mana?”

Ridwan melangkah ke depan Danang. Wajahnya mendekat. Mata mereka beradu. “Nanti sore di lapangan basket. Kau dan aku, satu lawan satu. Jangan pernah kau pakai teman-temanmu untuk mengadapiku atau kau akan dianggap banci!”

“OK, nanti sore! Kalau kau kalah, kau akan jadi budakku selamanya,” kata Danang.

Ridwan lalu membalikkan badan dan meninggalkan kelas. Dia memang tak berminat untuk mengikuti pelajaran hari itu. Karena memang tujuanya ke sekolah hanya untuk menyelesaikan urusan yang belum selesai dengan mereka.

Setelah Ridwan keluar kelas, seluruh kelas ribut. Beberapa anak laki-laki melihat pintu kelas yang bolong.

“Eh, dia serius? Dapat kekuatan dari mana ini? Ini daun pintunya tebel lho,” kata salah seorang anak laki-laki.

“Halah, dia masih cemen. Paling itu daun pintunya emang udah lapuk. Kuhajar sekali saja paling ya ambruk. Lihat aja,” kata Danang dengan percaya diri.

Shinta yang saat itu melihat peristiwa ini jadi berdebar sendiri. Terlebih Putri yang selama ini baik kepada Ridwan. Sekelas pun ribut.

Jam pelajaran pun berlalu dengan begitu cepat. Hingga akhirnya sekolah hari itu selesai. Rumor tentang Ridwan yang menantang Danang duel pun tersebar ke seluruh sekolah. Ridwan mengambil waktu sore hari karena pada waktu itu sekolah sudah sepi dari guru-guru. Hanya anak-anak ekskul yang ada. Dan sore hari itu seperti akan ada sebuah tontonan saja, lapangan basket penuh dengan anak-anak yang ingin menyaksikan duel itu. Bahkan Ramadhani yang juga ketua OSIS pun ikut hadir di sana. Ketua OSIS yang juga teman baik Ridwan itu pun sampai-sampai mengatur agar semuanya tak boleh ikut campur karena ini urusan laki-laki. Dia tak memakai baju seragam, sebagai penghormatan bahwa dia sedang tidak sebagai siswa sekolah ini. Dia tak mau mencemari almamaternya dengan hal-hal seperti ini.

Danang sudah ada di lapangan basket sejak jam tiga sore. Mereka menunggu kehadiran Ridwan di lapangan basket dan tak berapa lama pun Ridwan pun hadir. Dia masih memakai baju seragam. Kedatangan Ridwan disambut riuh seluruh anak-anak sekolah yang hadir di tempat itu.

Danang dan Ridwan sudah berhadapan. Ridwan melepas bajunya dan menyimpannya di ransel. Ia kini bertelanjang dada. Ia lakukan itu agar tak mengotori almamaternya. Hal serupa dilakukan Danang. Sekilas semua anak-anak terkejut melihat badan Ridwan. Di tubuhnya penuh lebam. Badannya sangat atletis, perut six pack menghiasi badannya. Selama ini semua orang tak pernah tahu bentuk badan Ridwan seperti apa. Di tubuh Ridwan ada luka-luka bekas dianiaya Danang. Luka itu masih ada. Luka ketika dia didorong oleh Danang hingga punggungnya berdarah masih ada. Mereka tak menyangka tubuh Ridwan seperti itu.

Nayla juga mendengar kabar tentang Ridwan yang akan melakukan duel dengan Danang. Tentu saja ia sangat khawatir dengan sahabatnya itu. Dia segera berlari ke lapangan basket begitu jam pelajaran selesai. Ridwan pernah bercerita kalau dia selalu di bully dan atas nasehatnya agar Ridwan melawan, akhirnya terjadi juga hari ini. Kedua orang sudah berhadapan. Badan Danang yang lebih besar daripada badan Ridwan seolah-olah mengatakan Ridwan pasti gampang dikalahkan dengan badan seperti itu. Melihat Ridwan sudah ada di tengah lapangan basket Nayla pun menahan nafasnya. Ia terkejut melihat tubuh Ridwan.

“Kau masih ingat ini?” tanya Ridwan menunjuk ke perutnya. Sebuah bekas luka ada di sana. “Kau memukulku dengan ruji sepeda. Kau lihat juga ini!?” Ridwan menunjuk ke punggungnya. “Kau dorong tubuhku sampai ambruk ke parkiran sepeda menimpa sepeda-sepeda itu hingga lukanya tak bisa hilang. Aku pun menjahitnya. Selama dua hari aku menahan rasa perih. Sekarang aku akan mengajarimu bagaimana singa itu apabila sudah tidak bisa menahan diri lagi, kamu telah membangunkan singa yang marah.”

Danang tak mempedulikan omongan Ridwan, “Ingat janjimu, kalau aku menang kau jadi budakku!”

Ridwan berkata, “Tentu saja. Dan sebaliknya kalau aku menang, kau jangan menggangguku lagi, juga kalian semua!”

Hari itu memang mendung sorenya. Bahkan awal hitam tebal sudah menutupi langit sekolah. Tiba-tiba lapangan basket diguyur hujan. Mula-mula gerimis, hingga kemudian deras dan lebih deras lagi. Beberapa anak berlindung ke pinggir atap gym dan sebagian lain menonton dari jauh. Sedangkan yang lainnya masih tetap berada di lapangan basket termasuk Nayla. Dia membiarkan badannya diguyur hujan.

Danang dan Ridwan pun maju, mengambil kuda-kuda untuk menyerang. Mereka bergerak sangat cepat dan mengepalkan tinjunya. BUK! Dua pukulan mendarat bersamaan di pipi mereka masing-masing. Keduanya terhentak mundur. Ridwan pun mengangkat lututnya, kedua tinjunya dikepalkan di hadapan wajahnya. Dia pun bergerak cepat mendekat ke Danang dengan kaki yang bergantian, badannya menyamping kiri dan kanan. Langkahnya sangat cepat bahkan Danang tak mengetahui kalau Ridwan sudah ada di depannya. Ridwan melepaskan sikunya ke perut Danang. Dan dengan dua tinjunya menghantam dada dan perut Danang.

Danang terpental hingga terjatuh di atas lapangan basket yang basah oleh air hujan. Ilmu Muay Thai yang dipelajari Ridwan kini mulai dipraktekkan.

“Ayo bangun! Dipukul segitu aja jatuh, cemen kamu!” kata Ridwan.

Danang pun langsung bangkit. Dia lalu memukul Ridwan, tapi Ridwan secara reflek bisa menghindar dan menjegalnya. Danang jatuh lagi. Ridwan masih berdiri dan mengejeknya.

“Ayo babi gendut! Bangun!” tantangnya.

“Kurang ajar!” Danang mengumpat. Dia bangkit dan langsung berlari ke arah Ridwan untuk mendorongnya. Sebelum sempat Ridwan didorong, tiba-tiba kaki Ridwan sudah mengarah ke pipi Danang. Hal itu mengakibatkan tubuh Danang yang besar itu berputar-putar di udara lalu jatuh di atas lapangan basket. Mulutnya pun berdarah. Tendangan itu sangat keras sehingga bisa mengakibatkan tubuh Danang yang sebesar itu bisa ambruk sebelumnya berputar-putar dulu.

Shinta yang melihat kejadian itu pun seakan tak percaya. Kalau tahu Ridwan bisa melawan balik ketika dibully kenapa tidak dia lakukan sedari dulu? Kenapa baru sekarang. Entah kenapa dada Shinta berdebar-debar. Ia tak pernah menyaksikan Ridwan semarah ini. Dan ia baru tahu kalau Ridwan sangatlah macho. Badannya atletis bahkan mungkin cewek-cewek bisa klepek-klepek kalau melihatnya. Seketika itu juga dalam hatinya ia ingin mendukung Ridwan. Dia merasa bersalah sekali hari itu.

“Ridwan, jangan kalah!” gumamnya.

“Ayo Ridwan! Hajar saja si Danang! Ayo!” seru Arief teman sekelasnya. Beberapa teman-teman Danang pun menyoraki Danang agar bangun.

Suasana lapangan basket mulai ramai dengan sorakan dan teriakan. Danang bersusah payah bangun. Dia sudah bersiap mau menghajar Ridwan lagi.

“Kalau saja pukulanku bisa mengenaimu,” kata Danang.

“Apa? Kau mau memukulku? Baiklah, ayo sini! Ini aku serahkan wajahku. Pukul!” kata Ridwan sambil mendekatkan wajahnya kepada Danang.

Danang pun mengepalkan tangan dan memukulkan tinju ke pipi Ridwan. Kepala Ridwan langsung menoleh ke kanan. Tapi tubuhnya tak bergerak. Dia menoleh lagi ke arah Danang. Tatapan matanya membuat Danang keder. Entah kenapa tiba-tiba nyalinya ciut.

“Ini yang kau sebut pukulan? Pukulan? Segini? Kau lupa, aku tiap hari menerima pukulanmu seperti ini dan rasanya hambar. Nggak ada sakit sama sekali. Aku sudah mati rasa dengan pukulanmu,” jelas Ridwan.

Ridwan melangkah maju. Dengan cepat dia melompat dan menendang dada Danang dengan lututnya. Danang terkejut hingga dia ambruk. Ridwan lalu menimpa dada pemuda itu. Bahu Danang dikunci dengan lututnya sehingga tangannya tak bisa bergerak. Lalu Ridwan mengajar wajahnya dengan pukulan kanan dan kiri.

“Kau jangan pernah membully-ku lagi. Jangan pernah menyakiti aku lagi. Jangan pernah membuat ibuku susah. Gara-gara kau ibuku sampai menangis, gara-gara kau juga ibuku sampai datang ke sekolah. Gara-gara kau, gara-gara kau!” kata Ridwan.

Tiba-tiba dua orang langsung menarik Ridwan. Dia adalah Fuad dan Ramadhani. Ridwan diseret agar menjauh dari Danang.

“Biarkan aku pukul dia! Aku belum puas! Dia sudah memukulku beribu-ribu kali, hampir setiap hari, aku harus membalasnya! Aku harus membalasnya!” ujar Ridwan.

“Sudah Rid, sudah! Kau sudah membalasnya! Kalau kau teruskan bisa-bisa ia mati!” kata Fuad.

“Iya Rid! Sudah cukup. Dia sudah kalah!” kata Ramadhani.

Ridwan duduk di atas lapangan basket, kedua tangannya masih dipegangi oleh Fuad dan Ramadhani. Semua orang yang melihat perkelahian itu pun tahu rasa kesedihan dan emosi yang dirasakan oleh Ridwan. Tahu rasanya bagaimana dibully setiap hari. Sore itu semua anak-anak pun melihat Danang dengan tatapan tidak senang. Danang terkapar dengan mulut dan hidung berdarah. Matanya lebam akibat pukulan Ridwan. Dia tak bisa bergerak. Entah kenapa seluruh
tubuhnya tak merespon dia.

Beberapa teman-teman Danang pun segera menolongnya. Mereka juga teman-teman sekelas Ridwan. Nayla pun segera menghampiri Ridwan. Dia lalu mendekap kepala Ridwan.

“Tenang Mas, tenang! Semua akan baik-baik saja. Sudah cukup. Sudah cukup!” kata Nayla.

Melihat Nayla yang mendekapnya, Ridwan yang sedari tadi tegang dan emosi, kini mulai tenang. Fuad menepuk-nepuk pundak Ridwan. Agar sahabatnya tenang. Tangan Ridwan yang terkepal dari tadi pun mulai merenggang. Dia hanya melihat Danang yang sudah tak berdaya dibawa ke UKS.

“Dari semua laki-laki yang kukenal, Mas ini yang paling kuat. Mas yang paling tangguh. Dan Mas sudah membuktikannya. Sudah cukup. Mereka tak akan mengganggumu lagi Mas. Mereka tak akan berani lagi,” kata Nayla.
***

Tentu saja kabar Danang berkelahi dengan Ridwan langsung heboh keesokan harinya. Ridwan pun dipanggil kepala sekolah atas apa yang dilakukannya kemarin. Dia dinasehati oleh kepala sekolah karena perbuatannya ini, bahkan orang tua Danang sampai datang ke sekolah untuk memarahi Ridwan. Dia tak terima dengan kondisi anaknya sekarang. Ridwan pun diskors selama dua minggu atas apa yang telah dia lakukan.

Ridwan keluar dari ruang kantor kepala sekolah dengan lesu. Tak ada yang membelanya. Semua murid-murid di sekolah juga tahu bahwa dia melakukan semua ini karena Danang yang terus membully-nya setiap hari. Orang tua Danang sendiri meminta pertanggung jawaban Ridwan atas hal ini. Ridwan diam saja. Ia tahu bahwa kalau sampai ibunya kembali ke sekolah gara-gara urusan perkelahian ini, pasti beliau akan sedih lagi. Maka dia menerima hukuman skors itu walaupun tidak adil.

Ridwan sudah ada di pintu kelasnya. Bekas pintu kelasnya yang jebol itu masih ada. Ketika wali kelasnya bertanya kepada seluruh murid, kenapa pintu itu bisa jebol, mereka menjawab “tidak tahu”. Kelas hening ketika Ridwan masuk. Semua mata tertuju kepada Ridwan. Bahkan teman-teman Danang pun berbuat hal yang sama. Tak ada wajah Danang di sana. Danang masih berada di rumah. Bahkan mungkin tak akan berani kembali lagi masuk ke sekolah.

“Rid, apa yang terjadi?” tanya Arief.

“Aku diskors,” jawab Ridwan.

Seluruh kelas pun heboh.

“Buat apa kalian heboh? Toh kalian tak pernah peduli kepadaku. Ketika aku dipukuli kalian diam saja. Ketika aku diinjak-injak kalian diam saja. Bahkan kalau aku boleh meminta, aku tak pernah ingin punya teman-teman seperti kalian. Dan kali ini pun, tak akan ada lagi yang membelaku. Kalian tahu semua bagaimana cerita yang sesungguhnya, tahu siapa yang benar dan siapa yang salah.”

Ridwan mengambil ranselnya. Dengan langkah lesu dia keluar keluar kelas. Ibunya pasti marah. Ia kembali lagi membuat ibunya sedih. Ridwan tak melihat teman-teman sekelasnya lagi. Bahkan melirik pun tidak. Dia tak pernah menganggap teman-teman sekelasnya itu adalah teman-temannya. Kemana mereka selama ini? Kenapa mereka diam saja melihatnya dianiaya?

Hampir saja Ridwan keluar kelas, Shinta menghalanginya. Ridwan terkejut.

“Kau tak boleh pergi! Teman-teman, ayo! Kita bela Ridwan!” ajak Shinta.

Tiba-tiba seluruh teman-teman Ridwan bangkit dari kursi mereka. Mereka segera keluar kelas. Shinta menggedor satu per satu pintu kelas-kelas yang lain agar semuanya keluar dari kelas membela Ridwan. Seluruh kelas XI pun keluar. Bahkan ada yang masih pelajaran pun tak menghiraukan sang guru yang mengajar. Mereka semua keluar.

Ramadhani yang saat itu melihat teman-teman sekelas Ridwan keluar dari kelas pun memberi aba-aba kepada teman-temannya untuk keluar dari kelas sekalipun itu sedang dalam pelajaran. Tak ada yang bisa membendung gerakan solidaritas para murid itu. Nayla yang juga kelasnya digedor-gedor oleh murid-murid dari kelasnya Ridwan pun langsung keluar. Dia juga mengajak teman-teman sekelasnya untuk ikut keluar. Dan kini seluruh siswa keluar dari kelas, melawan ketidak adilan yang telah terjadi kepada Ridwan.

Ridwan tak bisa berkata apa-apa. Semua murid sekarang mengepung ruang guru dan kantor kepala sekolah. Para guru pun tak mengerti apa yang mereka lakukan. Kepala sekolah dan orang tua Danang pun segera keluar dari ruang kantor kepala sekolah.

“Ada apa ini? Ada apa?” tanya kepala sekolah.

“Kami berbicara atas keadilan, tidak setuju dengan keputusan bapak untuk menskors Ridwan, kami sama sekali tidak setuju!” kata Shinta yang berbicara.

“IYAA BETUUL!” seru seluruh murid-murid.

“Ridwan tidak bersalah, kami adalah saksi-saksinya. Kami semua tahu bagaimana sifat Danang dan apa yang telah dilakukan olehnya kepada Ridwan setiap hari. Apa yang terjadi kepada Ridwan lebih daripada apa yang dialami oleh Danang sekarang. Danang baru dipukul oleh Ridwan tapi Ridwan hampir setiap hari menerima pukulan Danang, tapi tak membalas. Apakah adil bagi Ridwan ketika dia hanya satu kali membalasnya lantas dihukum?” Shinta lantang bersuara.

Kepala sekolah dan orang tua Danang saling berpandangan. Agaknya mereka tak mengerti duduk persoalan yang terjadi.

Sang ketua OSIS kemudian masuk berbicara, “Saya tahu semua apa yang terjadi pak. Kalau boleh, saya mewakili seluruh murid akan berbicara kepada bapak.”

“Saya juga!” kata Shinta.

Kemudian kepala sekolah mempersilakan Ramadhani dan Shinta untuk masuk ke ruang kepala sekolah. Hari itu total semua kegiatan sekolah terhenti. Semuanya memperjuangkan Ridwan. Sementara itu Ridwan duduk di teras masjid. Nayla tahu dia pasti ada di sana, maka dia hampiri Ridwan.

“Hai Mas?!” sapa Nayla.

“Hai,” jawab Ridwan.

Nayla mengacungi jempol. “Kau hebat, kau sahabatku yang paling hebat.”

“Terima kasih, kau juga hebat!” Ridwan mengacungi jempol kepada Nayla. “Terima kasih atas semangatmu selama ini.”

Nayla tersenyum. Dia membetulkan kacamatanya. Matanya berbinar-binar menampakkan keceriaan. Dia lalu duduk di sebelah Ridwan.

“Mas, habis ini milih ke mana? IPA atau IPS?” tanya Nayla.

“IPS sepertinya bagus, walaupun aku lebih suka ke IPA sih sebenarnya.”

“Koq gitu?”

“Banyak ilmu-ilmu di IPS yang harusnya kita pelajari, takutnya kalau ke IPA ilmu-ilmu itu tidak akan bisa dipelajari lagi. Aku juga sering baca buku-buku psikologi, anthropologi, buku-buku sosial, kenegaraan, semuanya memuat pengetahuan yang tidak pernah aku dapatkan sebelumnya.”

“Iya juga sih, aku juga kayaknya mau ke IPS nantinya. Ah tapi nanti lihat saja deh.”

Ridwan menghela nafasnya.

“Mas, bagaimana menurut Mas sekarang? Seluruh murid satu sekolah membela Mas sekarang. Sekolah mati total. Mereka semua mengepung ruang guru dan kantor kepala sekolah sambil meneriakkan 'Bela Ridwan! Bela Ridwan!'”

“Aku juga tak percaya, aku sangat berterima kasih kepada mereka. Karena sekarang aku diakui oleh mereka, tidak dianggap orang yang tidak ada,” Ridwan menundukkan wajahnya.

Nayla menepuk-nepuk pundak Ridwan, “Semangat Mas!”

Tiba-tiba terdengar sorak-sorai dari murid-murid. Entah apa yang terjadi mereka semua bertepuk tangan. Ridwan lalu segera bangkit dan menuju ke sana unuk melihat apa yang terjadi. Nayla pun mengikutinya dari belakang.

“Itu Ridwan!” tunjuk salah seorang di antara mereka.

Seluruh murid langsung berhamburan ke arah Ridwan. Ridwan tak tahu apa-apa, tiba-tiba dia digendong oleh salah satu dari mereka. Ridwan diangkat.

“Ada apa? Ada apa?” tanya Ridwan.

“Selamat Rid, kamu nggak jadi diskors. Danang akan mendapatkan hukuman yang setimpal atas perbuatannya. Kamu hebat Rid! Kamu hebat!” ujar Shinta.

Wajah Ridwan pun berubah. Dia gembira. Momen itu tak akan pernah dia lupakan seumur hidupnya. Momen di mana dia diakui oleh seluruh almamaternya. Bukan sebagai seseorang yang tiba-tiba ada atau seseorang siswa biasa, tapi seorang siswa yang luar biasa. Dan akhir dari segala bentuk macam bullying di sekolah ini.

***​
 
BAB VIII

Maafkan Aku


“Shinta? Ngapain? Ngelamun melulu,” kata Delya.

“Ah, nggak apa-apa,” kata Shinta.

Shinta lalu sibuk menulis lagi. Dan kemudian dia duduk termenung lagi. Delya geleng-geleng melihat tingkahnya itu. Jam pelajaran sejarah adalah salah satu jam pelajaran yang paling menjemukan. Salah seorang murid menulis di papan dan semua siswa menyalinnya. Tapi ada yang lain hari itu. Shinta sedikit lebih pendiam. Dan dia melihat Ridwan yang duduk paling depan. Entah kenapa hatinya berdesir sekarang ketika melihat punggungnya. Apakah itu cinta?

“Del?” tanya Shinta sambil terus menatap ke depan.

“Apa?” Delya sibuk menulis.

“Aku sepertinya jatuh cinta ama Ridwan,” jawab Shinta.

“HAAH?!” tiba-tiba Delya menjerit. Seluruh murid melihat ke arahnya. Termasuk guru sejarah tentunya. Delya nyengir dan menutup mulutnya. Semuanya lalu ketawa.

“Kamu ini kenapa sih? Norak banget sampe teriak,” kata Shinta.

“Serius?”

“Beneran, jantungku berdebar-debar sekarang. Setiap kali melihat dia. Aduuuuh, rasanya kepingin pingsan,” bisik Shinta.

“Kamu waras kan? Nggak salah minum obat kan?”

“Apaan sih? Aku masih sadar!”

“Waduh, yang dulu dibenci sekarang dicintai. Emang koq benci ama cinta itu bedanya tipis. Trus?”

“Entahlah. Bingung aku. Selama ini aku jahat kepadanya. Sekarang dia malah mencuri hatiku. Aku trus gimana Del?”

“Parah nih. Paraaah. Kalau udah urusan cinta, emang bikin pusing.”

“Dia masih single kan?”

“Ya iyalah. Nggak pernah tahu ada cewek lain yang jalan ama dia.”

“Aku mau nembak dia ah.”

“Eh buseet, serius Shin?”

“Iya, serius. Aku bener-bener jatuh cinta ama dia.”

Shinta lalu senyum-senyum sendiri sambil terus melihat punggung Ridwan. Delya menepok jidatnya. Ia merasa temannya ini baru saja kesambet. Sekarang Shinta benar-benar kena batunya. Dia akhirnya jatuh cinta kepada cowok yang tiap hari ia sakiti. Dan sekarang hatinya seperti es meleleh, lumer.

Jam pelajaran telah selesai. Ridwan sedang berkemas. Dia memang yang paling akhir keluar kelas. Seperti biasa. Tapi hari itu Shinta juga mengakhirkan dirinya. Menunggu Ridwan berkemas. Setelah Ridwan selesai berkemas, dia lalu merapikan meja guru. Mengisi tinta spidol. Lalu membersihkan kelas. Shinta memperhatikan Ridwan. Apakah selama ini Ridwan seperti ini kalau pulang sekolah? Ia tak pernah tahu.

Melihat Shinta masih ada di dalam kelas Ridwan pun bertanya-tanya, “Koq belum pulang?”

“Kamu sering melakukan semua ini?” tanya Shinta.

“Iya, tapi nggak sering. Kadang-kadang aja,” jawab Ridwan.

Shinta lalu berdiri dan mengambil sapu. Ia pun membantu Ridwan.

“Eh, ngapain? Nggak usah!” kata Ridwan.

“Aku akan bantu. Aku selama ini sudah salah sama kamu, biarkan aku membantumu,” kata Shinta.

Ridwan menghela nafas. “Baiklah, hanya saja apa kamu nggak seharusnya pulang. Nanti dicari lho.”

“Dicari siapa?”

“Yah, nggak tahu.”

“Aku biasa pulang sendiri koq.”

Mereka berdua pun bekerja sama membersihkan kelas. Setelah selesai dan yakin kelas telah bersih kemudian mereka keluar kelas. Tapi lagi-lagi Shinta tetap berjalan di belakang. Rasanya tak henti-hentinya dia melihat punggung Ridwan. Dia pun melamun. Punggung itu makin dekat. Makin dekat kepadanya dan BRUK! Dia menabrak Ridwan.

“Aduh,” pekiknya.

Ridwan berbalik.

“Kau tak apa-apa?” tanya Ridwan.

“Maaf, nggak sengaja,” jawab Shinta.

Shinta dalam hatinya berkata, Ayo! Ucapin! Ucapin! Kalau kamu suka ama dia! Ayo! Cepetan!

“Rid, anu...aku...,” Shinta tergagap.

“Apa?”

“Aku....aku.....hhmmm....,” jantung Shinta serasa copot. Darahnya dipompa oleh jantungnya melebihi kecepatan piston pada mesin sepeda motor. Lebih dari itu seluruh panca indranya seakan-akan tak berfungsi kala itu. Tinggal bilang “Aku cinta kamu” saja susah. Dia pun mengutuk dirinya sendiri kalau sampai tak bisa mengatakan hal itu.

“Kenapa? Aku habis ini mau latihan nih, besok ada lomba soalnya. Kalau misalnya memang penting, bilang aja!” kata Ridwan.

“Aku...,” Shinta bibirnya kelu.

“Iya, kamu kenapa?”

“Aku mau minta maaf,” Shinta benar-benar mengutuk dirinya sendiri kenapa yang keluar malah itu.

Ridwan tersenyum, “Iya, aku sudah memaafkan. Nggak usah dipikirkan lagi. OK? Daripada kamu nggak bisa tidur.”

“Tapi Rid, aku benar-benar minta maaf,” kata Shinta.

“Iya, aku tahu. Maaf ya, aku mau latihan nasyid,” kata Ridwan.

Melihat Ridwan pergi Shinta tiba-tiba gerak-gerak sendiri seperti orang histeris. Memukul-mukul kepalanya sendiri. Bahkan tangannya seperti ingin meremas sesuatu.

“Kenapa yang muncul malah itu?? BODOHHHHH!” Shinta menendang-nendang tembok. Ia lalu pulang sambil berkali-kali bergumam, “Sebel.”


***​


Nayla sore harinya mampir ke sebuah toko hijab dan busana muslim. Entah kenapa kakinya tiba-tiba mampir ke toko itu. Selama ini ketika dia manggung, tak pernah ia memakai hijab. Tapi apa bisa seorang yang memakai hijab lompat-lompat di panggung? Rasanya aneh. Tapi entah kenapa ia ingin sekali memakai hijab. Masih dengan seragam sekolah ia masuk ke toko itu. Toko itu sejalan dengan rumahnya dan kebetulan sedang sepi pengunjung. Biasanya baru ramai kalau sudah malam hari.

Nayla berkeliling mencari bentuk jilbab yang menurutnya bagus. Ia tak begitu faham soal hijab. Akhirnya ia pilih salah satu saja. Dia kemudian minta diajarkan oleh SPG yang ada di toko itu cara untuk memakainya. Ketika ia melihat ke cermin, dia pun tersenyum.

“Cantik kan mbak?” tanya SPG-nya.

“Nggak-lah mbak. Jilbab itu untuk menutup kecantikan bukan untuk menampakkannya. Kalau mbak masih mengira aku cantik dengan hijab ini, aku cari yang lain saja. Yang bisa menutupi,” kata Nayla.

“Oh, ada. Di sini!” SPG-nya mengajak ke sebuah jejeran jilbab-jilbab lebar.

Nayla agak keder ketika melihat jejeran jilbab-jilbab itu. Semuanya tertata rapi berderet, hampir semuanya warna-warna gelap. Nayla mendesah. Apakah ia bisa memakai jilbab selebar itu? Tapi rasanya ia belum siap. Namun ia sangat ingin sekali. Tapi hari itu ia pun akhirnya membeli tiga macam yaitu, yang lebar, setengah lebar, dan pendek. Karena dia bingung memilih.

Nayla sudah sampai di rumah. Ayahnya pun heran melihat bungkusan yang dibawa oleh anaknya itu. Nayla buru-buru masuk ke kamar. Setelah itu ia mandi, berganti baju dan sudah siap untuk mengisi di sebuah acara malam itu. Namun penampilannya sedikit ia ubah. Ia ingin pakai hijab, tapi ia juga bingung. Sekali pakai hijab ia tak ingin melepasnya lagi. Akhirnya ia diam saja di depan meja riasnya.

Ponselnya berdering. Dari Ririn, teman bandnya. Ia pun mengangkat, “Halo, dengan kediaman Kusmoharjo di sini.”

“Nay, sampai kapan kamu mengangkat telepon dengan kata-kata seperti itu, disamain seperti telepon rumah aja,” kata Ririn.

“Yah, mau gimana lagi sudah menjadi kebiasaan,” ujar Nayla.

“Ish...ya udah deh. Oya, nanti jam delapan yah. Kita nanti kebagian tiga lagu. Yang lagu terbaru itu kayaknya Si Fitri masih belum masuk arasementnya, kayaknya kita tunda dulu. Cari lagu yang lain deh,” kata Ririn.

“Lho, kita udah hampir dua minggu latihan lho. Masa' masih belum bisa? Dia kemana aja sih? Kan latihan juga sama kita.”

“Dia sepertinya masih galau. Diputus cowoknya.”

“Aduh, kan udah aku bilang urusan pribadi jangan dicampur adukkan dong. Kacau deh.”

“Kemarin dia nangis sesenggukan. Curhat ke aku. Bingung deh.”

“Trus sekarang gimana? Jadi tampil nggak nih? Kalau nanti sampai kacau konsernya aku bakal marah-marahin dia.”

“Dia sudah lebih kuat sekarang. Dia tahu koq kalau sampai performa nanti malam kacau gara-gara dia, kau tak bakal memaafkan dia nantinya.”

“Yakin nih beneran?”

“Iya.”

“Ya udah deh.”

“Sampai nanti kalau gitu, jangan telat lho ya. Trus itu kemarin kamu SMS katanya nggak mau pake lensa kontak lagi. Kenapa?”

“Sebenarnya aku mau ngomong banyak ama kamu soal ini. Tapi nanti deh, habis tampil.”

“OK, sampai nanti.”

“Bye! Muaach.”

Nayla bergegas untuk memakai baju yang akan dia pakai untuk konsernya. Baju lengan panjang. Celana lengan panjang. Semuanya berwarna gelap, terkesan gothic. Dia lalu mengusap jilbab-jilbab yang baru dibelinya.

“Kapan aku bisa siap memakaimu?” gumamnya. Ia lalu mencium baju itu dan meletakkannya di atas meja riasnya.


***​
 
BAB IX

Konser


Sebenarnya bukan hal yang pertama bagi Ridwan untuk ke konser musik. Tapi dia diancam sama Nayla, kalau nggak datang ke konsernya malam itu Nayla nggak bakal mendukungnya untuk lomba nasyid. Sebenarnya sih, bukan apa-apa. Hanya saja Nayla kepingin ada sesuatu yang membuatnya nyaman. Itulah alasannya Ridwan ada di depan sendiri melihat Nayla memainkan aksi panggungnya. Seperti biasanya, matanya berwarna biru menyala. Tipikal vokalis The Girls. Para penonton pun bersorak. Mungkin hanya Ridwan saja yang diam. Baginya menikmati musik, tak perlu juga melakukan gerakan-gerakan yang tidak perlu.

Dia tersenyum kepada Nayla. Dan Nayla pun semakin all out. Ada sebuah rasa di dalam hati Nayla, perasaan yang mana tak pernah ia rasakan sebelumnya. Rasa kenyamanan diri ketika di atas panggung menunjukkan betapa ia benar-benar ingin memberitahukan kepada semuanya inilah kami The Girls. Setelah pertunjukkan lagu terakhir selesai Nayla pun menyampaikan sesuatu.

“Terima kasih semuanya. Hari ini sahabat saya benar-benar datang di konser ini dan saya sangat senang sekali. Ayo semuanya ikut berdo'a agar sahabat saya ini bisa menang lomba besok!” kata Nayla dan seketika itu juga seluruh penoton bilang “Aamiin!”

Ridwan tertawa.

“Mas Ridwan, naik mas!” pinta Nayla.

Ridwan menggeleng-geleng.

“Ayo! Sini!” Nayla mengulurkan tangannya. Ridwan pun tak bisa menolak dia lalu meraih tangan Nayla. Panggung itu jangan dibayangkan panggung yang tinggi. Hanya setinggi beberapa puluh senti saja dari lantai. Sebab acara itu di dalam gedung. Ridwan pun naik ke panggung.

“Ini sahabat saya. Namanya Ridwan, orangnya hebat, keren. Siapa di sini suka The Girls

“WE ARE!” seru seluruh penonton

“Siapa di sini cinta The Girls

“WE ARE!”seru seluruh penonton lagi.

“Maka dia harus juga cinta sama sahabat saya ini. Do'akan dia menang besok. Yang tidak mendo'akan dia menang besok, nggak usah jadi fansnya The Girls pulang saja sana bobo manis di rumah!”

Riuh ketawa terdengar di satu gedung. Nayla membungkukkan badan dan mengacungkan tangannya ke atas. Seluruh penonton pun tepuk tangan. Nayla mengajak Ridwan ke belakang panggung.

“Gila, performamu hebat!” puji Ririn. “All out.”

“Itu tadi ngapain juga bikin aku naik panggung segala?” tanya Ridwan.

“Biarin seluruh penggemar aku mendo'akan kamu dong, Mas,” kata Nayla.

Ridwan ketawa lagi. Ia agak malu. “Makasih ya.”

“Udah deh, Mas kan sahabatku. Nyantai aja,” kata Nayla.

Ririn menyela mereka, “Nay, kita ke pujasera dulu ya. Laper nih.”

“Iya, nanti aku susul.” kata Nayla.

“So? Sekali lagi makasih,” kata Ridwan.

“Keluar dulu yuk, ngobrol sebentar daripada ngobrol lewat telepon lama kupingnya jadi panas,” kata Nayla.

“Hehehe, iya.”

Ridwan dan Nayla pun keluar. Di sebelah gedung, di sebelah parkiran ada sebuah taman kecil dengan sebuah bangku. Kebetulan sekali bangkunya kosong. Mereka pun duduk di sana.

“Mas Ridwan udah yakin ikut SKI nih?”

“Sepertinya begitu. Aku senang bisa bertemu dengan Fuad dan yang lain. Kayaknya aku kepingin berubah jadi baik.”

“Kenapa bisa begitu?”

“Aku dulu termasuk orang yang sangat benci kepada Allah.”

“Lho, lho, mas koq bisa?”

“Itu karena aku orangnya mudah putus asa. Kau tahu aku selalu berharap Allah bisa menolongku di saat aku sedang disakiti teman-temanku. Tapi yang ada adalah aku tak ditolong oleh-Nya. Aku terlalu naif, terlalu bodoh. Harusnya aku berusaha dan akhirnya aku pun berusaha hingga bisa. Saat itulah aku tahu, Allah sudah menolongku. Sekarang aku menyadari Allah tak akan menolong kita sampai kita menolong diri kita sendiri. Setelah itu kita akan dipermudah.”

“Aku kepingin bisa bersama anak-anak SKI. Boleh ikutan nggak?”

“Ya bolehlah.”

“Yah, tapi kan aku masih belum berjilbab. Kagok sama mereka yang udah berjilbab. Rata-rata ceweknya pake jilbab semua.”

“Udah, ikut saja. Emang persyaratannya harus pake jilbab gitu?”

Nayla tersenyum. “Syukurlah, oke deh.”

Mereka pun terdiam. Ponsel Nayla berbunyi. Dari Ririn.

“Iya, dengan keluarga Kusmoharjo di sini. Eh? Sorry, apa Rin?”

“Yaelah mbak yu. Di luar saja masih pake 'Dengan keluarga Kusmoharjo disini'. Kamu makan nggak nih? Kita udah nugguin lho! Jangan pacaran melulu!”

“Siapa yang pacaran? Wee..”

“Ya udah deh, jangan lupa kamu besok dateng ya?” Ridwan bangkit dari bangku. “Happy Saturday Night.”

“Cieh...sok keminggris Mas!” kata Nayla.

“Nay, cepetan!” kata Ririn di telepon.

“Iya, iya. Aku ke sana. Bawel ah,” Nayla menutup teleponnya.

“Sampai besok Nay, hati-hati di jalan!” kata Ridwan.

“Iya mas. Sama-sama,” kata Nayla.

“Assalaamu'alaykum!”

“Wa'alaykum salam.”


***​


Tempat lomba konser Nasyid ini berada di salah satu gedung milik pemerintah setempat. Lomba itu diikuti oleh hampir seluruh sekolah yang ada di kota Kediri. Saingannya berat-berat kalau dilihat. Tapi Ridwan dan kawan-kawannya pede aja. Ridwan tak melihat Nayla. Tapi ah, dia konsen buat lombanya koq. Mereka sempat latihan sejenak. Wahyu, Luqman, Fuad, Ari, semuanya grogi. Hingga saat mereka dipanggil ke depan pun mereka masih grogi.

“Inilah dia kelompok dari SMA Negeri X Kediri,” seru MC-nya. Para penonton pun bersorak-sorai. Sebagian penonton memang dari teman-teman satu sekolah Ridwan.

Kelompok nasyid mereka pun memulai performanya. Menyanyikan lagu-lagu nasyid dari group-group nasyid ternama. Hingga setelah selesai sambutan penonton cukup meriah. Mereka membawakan dua buah lagu. Setelah selesai mereka pun turun. Ridwan tak melihat Nayla, akhirnya ia pun menghela nafas. Mungkin memang Nayla sedang sibuk sehingga tidak hadir. Mereka lalu kembali ke tempat mereka duduk tadi. Di kelompok para peserta. Ridwan menoleh ke sana kemari.

“Ada apa sih?” tanya Wahyu.

“Ah, nggak apa-apa koq,” jawab Ridwan. Lagi-lagi ia menghela nafas.

Saat itulah Ridwan kemudian melihat ke deretan penonton akhwat. Mereka semua memakai jilbab. Satu hal yang dia bertanya apa mungkin Nayla pakai jilbab? Tapi sampai saat ini memang ia tak pernah melihat sahabatnya itu memakai jilbab. Dan matanya terpaku kepada sebuah penampakan. Seorang akhwat yang melihat ke arahnya. Dia memakai kacamata, seperti kacamatanya Nayla. Jilbabnya lebar, berwarna biru. Bajunya kemeja lengan panjang dan rompi warna biru. Memakai rok panjang. Dan akhwat itu melambai ke arahnya. Itu Nayla.

“Masyaa Allah!” Ridwan kaget.

“Ada apa Rid?” Wahyu dan Fuad juga kaget.

“Oh, tidak ada apa-apa,” jawab Ridwan.

“Kayak habis ngelihat hantu,” kata Ari.

“Beneran nggak ada apa-apa,” kata Ridwan.

“Cuci muka sana, ngelindur kali dirimu,” kata Luqman.

Ridwan lalu berdiri. Ia masih menoleh ke arah Nayla. Dari kejauhan dia pun tersenyum kepada Nayla. Ternyata Nayla sudah datang sejak tadi, tapi pakai hijab? Ini hal yang baru. Ridwan mulai merasakan sesuatu yang aneh kepada dirinya. Dadanya terasa sesak ketika melihat Nayla. Sakit sekali. Dan jantungnya berdetak lebih cepat daripada biasanya. Apakah dia jatuh cinta kepada sahabatnya ini? Ia pun mengambil nafas, mencoba menenangkan diri. Ia berusaha mengontrol dirinya dengan beristighfar berkali-kali hingga ia pun tenang.

Lomba itu pun berlangsung sampai sore dengan tiap-tiap ISHOMA ada jeda untuk istirahat. Walaupun tidak menjadi juara satu, tapi cukup baiklah. Mereka mendapatkan runner-up. Nayla pun menemui mereka setelah mendapatkan piala itu.

“Hebat, kalian! Keren semua!” kata Nayla.

Yang lainnya tak mengenali Nayla, kecuali Ridwan. Apalagi Luqman, hampir saja rahangnya copot melihat Nayla yang memakai jilbab lebar itu.

“Makasih ya, udah dateng,” kata Ridwan.

“Siapa?” tanya Fuad.

“Ini aku Nayla. Masa' nggak kenal? Hiks...,” Nayla menampilkan ekspresi seolah-olah sedih.

“Astaghfirullah, pangling!” kata Fuad.

“Bagaimana penampilanku?” tanya Nayla.

“Hebat, seperti ustadzah,” kata Luqman.

“Do'ain dong, agar aku bisa pakai jilbab dan istiqomah,” kata Nayla.

“In Syaa Allah,” kata semuanya bersamaan.

“Hahahah, kalian kompak ternyata,” kata Nayla.


***​
 
BAB X

Pertentangan


Setelah lomba itu, Nayla mulai memakai jilbab ke mana-mana. Hanya saja memang ke sekolah ia tak pernah memakainya. Ada suatu rasa yang kurang sebenarnya. Ia benar-benar ingin bisa memakai jilbab. Ia pun bermimpi esok kalau ke sekolah bisa pakai jilbab. Dia juga ingin dekat dengan teman-teman SKI. Akhirnya setelah itu berbagai kegiatan SKI ia ikuti.

Dan setiap ada kegiatan SKI selalu ada Ridwan di situ. Persahabatan mereka pun makin erat dan makin dekat. Sekali lagi Ridwan tetap menganggap Nayla adalah sahabatnya tidak lebih dari itu. Demikian juga Nayla tak menganggap Ridwan lebih dari sekedar sahabat. Dan ketika teman-temannya bertanya apakah mereka pacaran, selalu disanggah oleh keduanya. Mereka cuma sahabatan.

Seringnya Nayla keluar untuk mengikuti kegiatan SKI dengan memakai jilbab lebarnya, membuat ayahnya curiga. Pak Kusmoharjo termasuk orang yang khawatir dengan anaknya. Ia khawatir dengan kondisi anaknya saat ini. Memakai jilbab, bukanlah style anaknya, apalagi sampai mengikuti kegiatan keagamaan. Anaknya nggak bakal sanggup. Dia pun melihat rak-rak buku Nayla mulai penuh dengan buku-buku agama. Mulai dari buku tuntunan shalat, buku kumpulan dzikir hingga tafsir Al-Qur'an.

Jilbab masih belum diakui sebagai sebuah syari'at yang wajib bagi sebagian orang. Bahkan berita-berita tentang diskriminasi jilbab di sebuah instansi membuat Pak Kusmoharjo khawatir tentang keadaan putrinya nanti. Ia pun resah. Sebulan mungkin tak masalah, tapi apabila sampai terus-terusan hal itu pun bermasalah. Apalagi ia sangat tahu anaknya itu ingin memakai jilbab.

Kakaknya Rita adalah orang yang paling tahu tentang Nayla. Bahkan Nayla pun curhat tentang masalah ini kepadanya. Nayla menemui Rita di kamarnya.

“Kak, mau curhat nih,” kata Nayla. Ia pun langsung ambruk di atas ranjang ke sebelah kakaknya yang sedang asyik dengan laptopnya. Dia mengambil bantal dan memeluknya.

“Emang ada masalah apa?” tanya Rita.

“Kak, aku kepingin pake jilbab nih. Tanggapan ayah gimana ya nantinya?” tanya Nayla.

“Kamunya sendiri gimana?” tanya Rita balik.

“Ih, kalau aku sih sangat kepengen. Tiap kali keluar aku udah pakai, cuma nggak kepengen ayah tahu. Takut aja.”

“Aku bukan orang alim Nay, nggak tahu. Tapi kalau memang itu adalah yang terbaik bagimu, aku akan dukung koq. Nah, soal ayah kalau misalnya itu baik bagi putrinya yang cantik ini, pasti akan diijinkan.”

“Tapi kayaknya dia nggak suka deh.”

“Koq tahu?”

“Soalnya ketika aku dulu pake jilbab itu pas keluar ke lomba nasyid. Aku dipelototin dengan tatapan yang nggak suka gitu.”

“Oh, begitu. Tapi kata ayah gimana?”

“Nggak ada respon. Selama ini beliau diam saja.”

“Kalau ayah diam, aku malah khawatir.”

“Koq bisa kak?”

“Beliau sedang berpikir keras. Sedang khawatir tentang dirimu. Biasanya kalau beliau suka sama sesuatu langsung dipuji. Tapi kalau tidak suka, beliau biasanya diam, dipikirnya sampai kemudian baru memutuskan sesuatu itu baik atau tidak. Sifat ayah seperti itu. Kalau ia sudah tak suka kepada sesuatu maka ia tak akan suka.”

“Iya sih, aku tahu sifat ayah seperti itu.”

“Emang, kenapa kamu pakai jilbab segala?”

“Aku ikut SKI kak.”

“Wah, bagus dong. Adikku jadi juru dakwah.”

“Bagus apanya sih? Aku minder. Temen-temenku semuanya pake jilbab aku aja yang masih gundul.”

Rita tersenyum.

“Kalau menurut mbak sih, mbak setuju. Tapi mbak nggak tahu nanti urusan sama ayah gimana. Bisa panjang pastinya.”

“Duh, gimana ya? Sedih rasanya.”

“Coba saja, minta pelan-pelan kepada ayah agar beliau mengerti. Engkau kan kesayangan ayahmu.”

“Nggak ah, ayah kan paling sayang ama kakak.”

“Nggak juga. Justru kamu yang paling disayang ama ayah. Kamu sekolahnya saja diperhatikan. Kamu sudah makan apa belum aja ditanyain. Kamu keluar kemana saja ditanyain. Kalau kakak, nggak pernah sampai seperti itu.”

Nayla pun terdiam. Dia menempelkan wajahnya ke bantal.


***​


Akhirnya hari itu pun terjadi. Setelah pulang dari sebuah kegiatan SKI. Sang ayah sudah berada di ruang tamu menunggu Nayla. Melihat ayahnya ada di ruang tamu dengan tatapan muram membuat Nayla berdebar-debar.

“Nay, ayah mau tanya ama kamu. Ini apa?” tanya Pak Kusmoharjo sambil menunjuk ke jilbab Nayla.

“Ini jilbab Nayla,” jawab Nayla.

“Kamu mau pake jilbab?”

Nayla mengangguk.

“Ayah nggak setuju.”

“Kenapa?”

“Kamu apa nggak ngerti kalau kamu pakai jilbab, cari kerjaan itu susah. Ribet! Sudah, jangan pakai lagi. Pakai saja kalau ke undangan atau ke mana.”

“Tapi Nayla kepingin make ayah, biarin Nayla pakai, ya?”

“Nggak, ayah nggak ngijinin kamu pakai ini. Dan jangan pernah pakai lagi. Mengerti?”

“Tapi ayah. Nay kepingin pake.”

“Nggak ada tapi-tapian. Ayah nggak mau kamu memakainya. Lepasin sekarang juga!”

Nayla matanya berkaca-kaca. Dia melepas jilbabnya lalu langsung masuk ke kamarnya. Dia menutup pintu kamarnya lalu menangis. Ibunya yang dari dapur buru-buru ke belakang.

“Ada apa pak?”

“Nggak ada apa-apa bu.”

“Lha, koq Nayla sampai kaya' gitu?”

Pak Kusmoharjo tak menjawab. Ia tak tahu apakah keputusannya ini benar atau tidak. Tapi ia benar-benar sangat khawatir kepada putrinya.


***​
 
BAB XI

9 Bintang​


Ridwan sekarang sudah duduk di kelas XII-IPS. Ini adalah akhir dari seluruh pendidikan yang telah ia kenyam selama ini. Dan dia sekarang sedang mengikuti kegiatan perkemahan sabtu minggu. Dia dan Nayla duduk di tepi lapangan sepak bola. Perkemahan sabtu minggu itu kembali memberikan kenangan bagaimana Ridwan dan Nayla bertemu malam itu. Nayla biasa curhat kepada Ridwan, juga sebaliknya. Dan malam ini adalah malam yang akan terlupakan oleh Ridwan. Di mana Nayla memberitahukan sembilan bintang yang ia ingin raih.

Nayla mulai terbiasa dengan cara Ridwan yang mendekatinya. Walaupun sebenarnya Nayla tak ada rasa apapun kepada Ridwan. Tapi perlakuan Ridwan bolehlah dianggapnya sebagai sahabat. Toh sampai sekarang Ridwan tak keberatan dengan hal itu. Ridwan juga sama sekali tak pernah mengutarakan cinta atau nembak dia. Pasalnya dia kepingin dapat cowok dari anak band, biar kesukaannya sama. Itulah keinginan dari Nayla. Mendengar itu saja sepertinya Ridwan tak punya kesempatan untuk bisa mendekati Nayla.

Malam telah larut. Mereka berdua duduk di dekat api unggun yang tinggal baranya saja. Beberapa teman-temannya menggunakan panas api unggun itu untuk membakar ketela yang mereka dapatkan dari kebun sekolah. Tampak Nayla membawa gitarnya dan memainkan melodi-melodi yang membuat anak-anak yang lain tertidur di dekat api unggun. Kehangatan tak cukup menyentuh kulit mereka, tapi juga sampai ke dada mereka.

Ridwan dan Nayla terlibat percakapan akhirnya.

“Kau tahu Rid, lagu sembilan bintang yang aku ciptakan?” tanya Nayla.

“Tahu dong. Lagu itu jadi hits banget selama ini. Aku pun menjadikannya sebagai lagu favoritku,” kata Ridwan.

“Itu lagu sebenarnya adalah sembilan impianku,” tutur Nayla.

“Sembilan impian? Emangnya kenapa harus sembilan? Kan impian orang itu banyak,” kata Ridwan sambil membolak-balikkan singkong yang ia taruh di atas bara api bekas api unggun.

“Menurutku angka sembilan adalah angka yang ajaib. Maka dari itulah kalau sembilan impian sudah terpenuhi maka kita bisa merencanakan sembilan berikutnya, hingga tak terbatas. Kalau langsung seratus impian terlalu jauh, kita keder sendiri. Kalau terlalu sedikit, maka kita akan malas menggapainya. Tapi dengan kata sembilan impian rasanya kita akan tertantang untuk itu,” jelas Nayla.

Ridwan mengangguk-angguk. “Trus apa aja sembilan impian itu?”

“Pertama nih ya, aku kepingin punya cowok nantinya dari anak band,” kata Nayla.

“Oh, trus?”

“Kedua, aku kepingin bisa kuliah dan lulus dengan nilai terbaik. Ketiga aku ingin nanti kalau punya anak akan menamakan anakku dengan nama Laila. Keempat nanti aku ingin punya rumah yang halamannya gedheeee banget. Kelima aku ingin bisa membahagiakan kedua orang tuaku. Keenam aku ingin bisa punya panti asuhan. Ketujuh aku ingin membawa kedua orang tuaku ke Mekkah. Kedelapan aku ingin bisa jalan-jalan ke Jepang. Kesembilan, aku ingin bisa pakai jilbab,” kata Nayla.

Mendengar itu telinga Ridwan seperti salah dengar. Mungkin terasa aneh cita-citanya yang nomor sembilan. Ridwan sebenarnya tak mau menanyakannya tapi akhirnya keluar juga dari mulutnya. Justru hal itu sesuai dengan apa yang diinginkan olehnya. Hatinya sedikit gembira

“Kenapa dengan cita-cita yang nomor sembilan?” tanya Ridwan.

“Aku nggak boleh pakai jilbab oleh orang tuaku Rid,” jawabnya.

Saat itulah Ridwan menarik nafas dalam-dalam.

“Kenapa tak boleh?”

“Kata ayahku, kalau seorang cewek pakai jilbab itu nggak bakal bisa kerja katanya. Ribet untuk urusan kerja inilah, itulah, macem-macem. Padahal aku kepengen bisa kaya' kalian. Kepengen bisa seperti temen-temen SKI. Mereka bisa pakai jilbab dan nyaman. Kau mungkin tahu pada acara bulan Ramadhan kemarin aku pakai jilbab ya hanya saat itu, setelah sampai di rumah dilepas. Sedih rasanya,” kata Nayla. “Ingin aku istiqomah menjalankan ini. Tapi susah.”

Ridwan tak tahu harus bicara apa. Ia ingin bisa peduli kepada Nayla tapi rasanya itu susah.

“Kenapa kau tak coba pakai saja gitu?” tanya Ridwan.

“Ah, kamu tak ngerti. Ayahku itu orangnya keras. Aku tak mau membantahnya. Aku tak mau dianggap jadi anak durhaka gara-gara masalah ini,” jelas Nayla.

“Bukankah perintah Allah itu lebih diunggulkan daripada perintah manusia?”

“Aku tahu, tapi nggak semudah itu, Rid. Kamu nggak ngerti posisiku sekarang,” tiba-tiba air mata meleleh di pipi Nayla. “Aku hanya ingin bisa seperti kalian.”

Hati Ridwan bergetar. Ia tak pernah menyangka gadis yang dikenalnya ini bisa sedemikian inginnya pakai jilbab, tetapi kondisinya tak memungkinkan. Apa solusi yang bisa diberikan untuk dirinya? Salah satu yang dibenci oleh Ridwan adalah ketika di depannya ada seseorang yang ingin ditolong, tapi ia tak bisa menolongnya. Terkadang ia membenci dirinya sendiri karena itu.

“Sudah ah, aku mau ke masjid dulu. Mau shalat. Biar pikiranku tenang,” kata Nayla. “Makasih ya, udah nemenin.”

Nayla menaruh gitarnya, kemudian meninggalkan Ridwan sendirian di dekat api unggung. Sementara itu teman-temannya yang lain sudah terlelap dengan sisa-sisa kehangatan api unggun. Ridwan hanya bisa melihat Nayla pergi menuju ke masjid. Dalam hatinya ada rasa iba kepada Nayla, namun dari lubuk hatinya yang paling terdalam rasa sukanya kepada Nayla makin besar. Ia pun bingung memilah-milah di dalam dirinya sendiri. Ini apakah cinta monyet? Ataukah cinta sebenarnya. Dia jadi teringat dengan cita-cita Nayla yang pertama yaitu, ingin punya cowok dari anak band. Mendengar itu saja dia sudah menyerah sepertinya. Tak mungkin bisa mengejar Nayla. Ia pun mengurungkan diri untuk berharap banyak dan ingin menjalin persahabatan saja dengan Nayla.

Ridwan kemudian pergi ke masjid. Di sana ada Fuad, Wahyu, Ari dan yang lainnya.

“Dingin banget sih, kalau ada yang anget-anget boleh juga nih,” kata Wahyu.

“Mau aku belikan?” tanya Ridwan menawarkan diri.

“Boleh boleh,” kata Wahyu.

“Urunan dulu dong, emangnya ku jadi bos apa?”

“Hoi, ayo sini urunan duit buat beli gorengan!” kata Fuad.

Dari dalam ruang ta'mir masjid muncul beberapa panitia dan anak-anak kelas dua dan kelas tiga. Mereka lalu memberikan uang dua ribu, seribu, lima ribu, hingga akhirnya terkumpul empat puluh lima ribu.

“Banyak banget,” kata Ari.

“Ya nggak apa-apa kan?” kata Ridwan. “OK, pergi dulu.”

Ridwan kemudian bergegas untuk pergi ke luar sekolah. Halaman sekolah dengan lampu penerangan 20 watt itu rasanya tak cukup untuk mengusir kegelapan. Apalagi lampu-lampu itu hanya berada di teras-teras dan lorong-lorong kelas. Satu-satunya cahaya yang paling terang hanya ada di teras masjid dan di dalam masjid hari itu. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh. Biasanya jam segini penjual gorengan sudah habis dagangannya. Tapi Ridwan tak putus asa. Ia lalu berjalan keluar sekolah menyusuri trotoar untuk menuju ke sebuah penjual gorengan yang biasa menjadi langganan anak-anak sini.

Agak jauh berjalan tiba-tiba dari pinggir jalan ada yang berkata, “Itu dia!”

Kemudian setelah itu disusul beberapa motor menyala, lampunya menyorot ke arah Ridwan. Ridwan yang saat itu ada di trotoar tiba-tiba terkejut di depannya ada sepeda motor yang akan menabrak dia. Dia lalu melompat ke jalan raya. Ada sepuluh sepeda motor dengan suara bising dan lampunya terang mengitari Ridwan. Ridwan tak tahu siapa mereka, karena tak bisa melihat wajah mereka. Dan kini Ridwan berada di tengah-tengah, dikepung oleh motor-motor itu dan para pengendaranya.

Saat itu Luqman melintas dengan sepedanya. Melihat Ridwan ada di tengah-tengah kepungan motor itu Luqman berhenti sejenak. Wah celaka, pikirnya. Ia lalu mengayuh sepedanya buru-buru ke sekolah.

“Siapa kalian?” tanya Ridwan.

“Ada salam dari Danang,” jawab salah satu dari mereka.

“Oh, ayo turun! Jangan pernah menyesal apa yang telah kalian lakukan hari ini. Karena aku tak akan menahan diri lagi.”

Sementara itu Luqman ngebut sampai berhenti di depan teras masjid dengan suara berdecit. Melihat Luqman ngos-ngosan Fuad tentu saja heran.

“Kenapa?” tanya Fuad.

“Anu....itu...Ridwan. Dikeroyok orang,” kata Luqman sambil ngos-ngosan.

“Hah?” Fuad terkejut.

“Ayo, kita bantu!” kata Wahyu. Ia buru-buru mengambil sapu.

“Ada apa?” tanya Nayla yang keluar dari tempat wanita.

“Ridwan dikeroyok orang,” kata Luqman.

“Mas Ridwan!” Nayla tiba-tiba langsung melompat. Dia langsung memakai sandalnya dan berlari. Yang lainnya langsung mengikuti. Hampir semua yang ada di masjid bergegas menuju di tempat Ridwan tadi dikeroyok.

Seluruh teman-temannya akhirnya sampai di tempat kejadian. Dan terlihat Ridwan telah selesai melakukan tugasnya. Menghajar seluruh orang-orang yang mengeroyoknya seorang diri. Nayla terkejut melihat mata Ridwan yang menatap buas seperti macan kelaparan. Ada kurang lebih belasan orang terkapar di atas jalan raya dengan mengerang kesakitan. Dan Ridwan tampak sedang menghajar wajah salah satu dari mereka tanpa henti. Ridwan menindih orang itu dan terus menghujamkan pukulan demi pukulan ke wajahnya. Nayla langsung berlari ke arah sahabatnya itu lalu langsung mendekap Ridwan.

“Sudah Mas, sudah! Sudah! Sudah!” kata Nayla.

Ridwan menghentikan pukulannya. Ia lalu melepaskan orang itu. Orang yang dia hajar tampaknya sudah tak sadar lagi. Tangan Ridwan tampak lecet berdarah. Di bibirnya ada darah mengalir. Mata Ridwan yang tadi menyala buas, sekarang redup ketika ia melihat wajah Nayla. Seolah-olah sang macan telah bertemu dengan pawangnya.

“Preman kurang ajar!” kata Luqman. Ia menghadiahi salah seorang yang terkapar itu dengan tendangan.

“Tak apa-apa Rid?” tanya Ari.

“Nggak apa-apa,” jawab Ridwan.

“Iya, nggak apa-apa emang nggak apa-apa. Tapi jangan dipeluk terus dong Nay,” kata Fuad.

Nayla tersadar ia buru-buru melepaskan dekapannya. Ridwan lalu berdiri.

“Mereka diapain terus?” tanya Wahyu.

“Biarin aja, dimakan anjing juga biarin. Biar tahu rasa,” kata Ridwan.

Hari itu pun Nayla bingung. Kenapa tadi sesaat ia merasa kehilangan Ridwan? Ia langsung mengejar Ridwan sampai di tempat itu. Ia tiba-tiba merasa tak ingin kehilangan Ridwan. Ada sesuatu yang ia sendiri bingung untuk mengatakannya. Ada getaran-getaran syahdu disaat ia mendekap Ridwan. Semuanya terjadi secara reflek, yang ia sendiri tak mampu menjelaskannya.


***​


“Bu, aku ingin curhat sesuatu,” kata Ridwan.

“Tumben mau curhat, biasanya dipendam sendiri,” kata ibunya.

Ridwan menemani ibunya duduk di teras sambil menikmati malam minggu. Kalau mungkin anak-anak lain ketika malam minggu ini mereka sedang pacaran dengan gebetannya, kalau Ridwan beda. Ia lebih senang menemani ibunya atau mengerjakan pekerjaan rumah yang menumpuk. Seperti mencuci ataupun setrika. Sebab mereka tak punya pembantu dan harus mengerjakan semuanya sendirian.

“Aku punya sahabat, cewek. Dan sepertinya aku suka ama dia,” kata Ridwan.

“Oh, trus?”

“Tapi aku nggak yakin suka ama dia. Bingung, ibu dulu jatuh cintanya gimana?”

“Ibu cuma jatuh cinta sekali, ya sama ayahmu.”

“Lha, trus koq pisah?”

“Ibumu ini dulu nikah muda. Banyak hal-hal yang memang harus dipikirkan dari sekedar keegoisan. Ibu berpisah dengan ayahmu juga bukan hal yang mudah. Kau masih kecil belum mengerti persoalan ini.”

“Tapi aku sudah besar bu, cerita dong.”

“Menceritakan urusan rumah tangga seseorang nggak baik. Itu sama saja membuka aib. Biarkan itu kami simpan sendiri, toh ibu sama ayah kan masih baik sama kamu.”

Ridwan hanya mengangguk-angguk.

“Kamu perlu bertanya kepada dirimu sendiri. Tentang kesungguhan hatimu,” kata ibunya. “Apakah kau benar-benar mencintainya? Sebab terkadang ada perasaan kasihan kepada seseorang. Terkadang ada perasaan kagum. Ada juga perasaan suka. Ata perasaan benci. Dan semua itu dengan cinta bedanya tipis. Terkadang kita pun tertipu, seharusnya merasa kasihan, eh dianggap cinta . Seharusnya merasa kagum, dianggap cinta juga. Tapi kalau kamu benar-benar tahu bahwa itu cinta. Maka kamu akan merasakannya di sini.”

Ibunya menunjuk ke dada Ridwan.

“Ibu pernah merasakannya dulu. Rasanya sakiiit sekali. Sampai sesak. Padahal saat itu ibu nggak sakit. Jantung berdebar-debar. Efeknya sampai ke seluruh syaraf. Kamu merasakannya?”

“Iya, aku pernah merasakannya.”

“Nah, kalau pernah merasakannya. Artinya kamu sedang jatuh cinta. Berbeda dengan orang yang kasihan. Dia hanya akan merasakannya ketika merasa kasihan kepadanya. Kamu sendiri kapan perasaan itu muncul?”

“Ketika melihat dia.”

“Melihat saja?”

“Iya bu, melihat. Nggak ada yang aneh-aneh. Kadang juga pas di dekat dia. Perasaan ini muncul begitu saja.”

Ibunya lalu menepuk pundak putranya. “Simpan perasaanmu itu. Kamu masih sekolah. Kamu boleh menyukainya, mencintainya, tapi pikirkan dulu sekolahmu. Kalau kamu sudah siap, lamar saja dia.”

“Lho? Koq begitu?”

“Sebab ibu nggak suka lihat anak muda seperti kamu ini pacaran, kerjaan aja belum punya. Kerja dulu, trus lamar saja dia.”

“Tapi bu?”

“Kenapa? Mikirin aja sekolah. Simpan saja perasaan itu, sebab itu yang bikin kamu nantinya jadi semangat. OK?”

Ridwan menghela nafasnya. Ibunya lalu pergi ke dapur menyiapkan makan malam. Mungkin benar kata ibunya. Mikirin pacaran di saat seperti ini bakal bikin konsentrasi belajarnya buyar. Apalagi masih panjang jalan hidupnya. Mungkin benar apa yang dikatakan ibunya, terlebih ibunya lebih banyak makan asam garam kehidupan daripada dirinya.

“Sembilan bintang ya?” gumam Ridwan. Ia lalu beranjak masuk ke kamarnya. Di atas meja belajarnya ada sebuah buku agenda berwarna coklat. Buku itu masih kosong karena memang belum diisi apa-apa oleh Ridwan.

“Kalau misalnya engkau punya sembilan bintang, maka aku juga punya. Baiklah. Sembilan bintangku, yang pertama aku ingin menjadikanmu sebagai bidadari surgaku Nay,” kata Ridwan. Dia lalu menuliskan di buku agenda itu sembilan bintang yang ia cita-citakan. Kemudian setelah itu dia menyimpan buku agenda itu. “Yaa Allah, ijinkan aku untuk bisa menggapai semua bintang-bintangku.”


***​
 
Bimabet
BAB XII

Perpisahan


Ridwan makin yakin ia telah jatuh cinta kepada Nayla. Sebuah perasaan yang nyata, bukan khayalan. Hanya saja ia juga tak tahu harus bagaimana. Dia masih harus konsentrasi terhadap Ujian Akhir Nasional yang akan digelar sebentar lagi. Dan ternyata Nayla memberikan semangat yang luar biasa. Hampir tiap waktu Nayla mengirim pesan agar Ridwan tetap semangat dan terus belajar. Waktu terus berjalan, hingga akhirnya masa itu tiba. Ujian Akhir Nasional selesai. Hasil pun telah diumumkan. Ridwan lulus.

Kemudian yang akhirnya menjadi pertanyaan seluruh murid yang baru lulus adalah “Kemana aku harus kuliah?” Ridwan ingin kuliah ssuai dengan hobinya, yaitu komputer. Dan ia ingin pergi ke Surabaya untuk kuliah di salah satu perguruan ternama di sana.

Acara perpisahan pun diadakan. Dan Nayla dengan bandnya menjadi bintang tamu pada acara itu. Ridwan sepertinya agak bersedih tidak bisa melihat pertunjukkan sahabatnya itu lagi. Perpisahan itu adalah langkah awal bagi para murid yang sudah lulus untuk menghadapi dunia yang sesungguhnya. Entah mereka kerja ataukah melanjutkan kuliah.

“Rid, aku ingin bicara ama kamu sebentar ya?” tanya Shinta.

Tanpa mendengar persetujuan Ridwan, Shinta langsung menggandeng Ridwan untuk meninggalkan ruang acara. Ridwan kebingungan. Ia hanya mengikuti kemana Shinta mengajaknya. Mereka pun sampai di samping gedung, agak jauh dari tempat acara. Shinta lalu tiba-tiba langsung memeluk Ridwan. Ridwan terkejut mendapatkan perlakuan itu. Tiba-tiba Shinta menangis.

“Shin, ada apa?” tanya Ridwan.

“Aku akan kehilangan kamu Rid, aku nggak mau. Aku nggak mau kehilangan kamu,” kata Shinta.

“Tapi lepasin dulu ini, plis.”

Shinta lalu melepaskan pelukannya. Air matanya mengalir di pipinya. Ridwan tak tahu apa yang terjadi.

“Ada apa? Kenapa kamu menangis?”

“Rid, aku....aku....aku...aku suka ama kamu. Aku cinta ama kamu. Aku tak mau berpisah ama kamu Rid.”

Shinta merasa lega bisa mengutarakan isi hatinya selama ini. Walaupun dalam keadaan yang sangat tidak ia inginkan.

“Aku minta maaf selama ini sudah jahat sama kamu. Aku minta maaf selama ini sudah menyakitimu. Tapi itu bukan berarti aku benci ama kamu Rid. Aku sayang ama kamu. Kamu sudah banyak mengubah diriku selama ini. Aku dulu suka menyakiti teman, sekarang sudah tidak lagi. Engkau mengubahku Rid. Dan aku mengatakan perasaanku sekarang kepadaku, kalau aku cinta ama kamu, aku suka ama kamu.”

Ridwan menarik nafas dalam-dalam. Selama ini tak pernah ada cewek yang menembak dia seperti ini. Ia tak pernah menyangka kalau Shinta yang dulu jahat kepadanya sekarang berbaik hati kepadanya. Bahkan malah mencintainya. Ridwan lalu menghapus air mata Shinta. Wajah Shinta yang biasanya terlihat judes itu sekarang seperti kekanakan, cantik, imut, bahkan mungkin hal itu tak pernah disangka oleh Ridwan sebelumnya.

“Aku boleh bertanya kepadamu?” tanya Ridwan.

Shinta mengangguk.

“Dadamu sekarang sesak ndak?”

Shinta menggeleng.

“Jantungmu berdebar-debar?”

Shinta mengangguk.

“Apakah seluruh syarafmu sekarang kaku?”

Shinta menggeleng.

“Ibuku berkata, orang yang jatuh cinta yang luar biasa, maka dia akan mengalami tiga hal ini. Dada terasa sesak, jantung berdebar-debar dan syaraf-syarafnya serasa lumpuh. Engkau hanya merasakan satu macam dari tiga tanda. Artinya itu bukan cinta yang sebenarnya. Aku bisa katakan sebenarnya kamu mungkin kagum kepadaku atau semisalnya.

“Aku telah memaafkanmu. Dan aku yakin kemungkinan engkau tergerak atas apa yang aku perjuangkan selama ini. Dibully selama dua tahun itu tidak mudah. Kau pun akhirnya mengerti perasaanku. Perasaan dihina, dilecehkan, disakiti. Engkau sekarang bisa merasakannya. Tapi aku tak bisa menerima cintamu. Aku tahu kehilangan itu berat, perpisahan itu berat. Itulah kehidupan, ada perjumpaan ada perpisahan. Aku tak akan menyalahkanmu atas cinta yang kau rasakan kepadaku. Tapi kalau kau menganggap ini adalah cinta, maka simpanlah perasaan itu di dalam dadamu. Jangan kau buang, buatlah hal itu sebagai penyemangat dirimu. Agar kau tahu bahwa engkau pernah mencintai seseorang seperti aku yang sebenarnya tak pantas engkau cintai.”

“Apakah sudah ada wanita lain di hatimu?”

Ridwan mengangguk. “Iya, ada.”

“Ternyata, aku keduluan dia ya?”

“Iya, dia sudah mengisi hatiku.”

Shinta menghirup nafas dalam-dalam. “Aku terlalu bodoh mengira bahwa kamu tidak punya tambatan hati. Aku tak menyangkanya. Tapi....terima kasih atas semuanya. Kau tidak marah, tapi kau juga tak menginginkan agar aku membuang perasaan cintaku kepadamu. Mungkin memang benar kalau aku kagum kepadamu. Ini bukan cinta yang sebenarnya. Ridwan, aku ingin engkau tahu. Engkaulah sesuatu terindah yang pernah datang dalam hidupku. Aku tak akan melupakanmu selama-lamanya.”

Shinta tiba-tiba maju dan mencium pipi Ridwan. Ridwan mundur selangkah.

“Maaf, tapi biarkan ini menjadi hadiah perpisahan kita,” Shinta bergegas meninggalkan Ridwan sendirian. Ridwan hanya bisa melihatnya berlari-lari dengan wajah tersipu-sipu meninggalkan tempat itu.

Usai acara perpisahan Ridwan menyenggol Nayla.

“Nay, jalan sebentar yuk?!” kata Ridwan.

“Kemana?” tanya Nayla.

“Ke taman deket sini,” kata Ridwan.

Mereka pun kemudian berjalan-jalan di taman. Agaknya mungkin ini adalah kesempatan terakhir mereka bertemu.

“Mas, jadi ke mana kuliahnya?” tanya Nayla.

“Ke Surabaya sepertinya. Mungkin ini pertemuan kita terakhir di sini. Ntar kalau aku mudik kita ketemuan lagi juga boleh,” kata Ridwan.

“Nggak terasa ya, udah lulus. Perasaan baru kemarin kita ketemu.”

“Masih ingat pertama ketemu?”

“Masih dong, mas nemuin lensa kontakku yang jatuh.”

“Aku bakal merindukan aksi panggungmu setelah ini.”

“Aku juga bakal merindukan suara merdu nasyid mas setelah ini.”

Mereka berdua lalu terdiam. Ridwan dalam hati berkata, 'Ayo katakan, katakan kalau kamu suka ama dia. Katakan!'

Nayla juga sama, 'Ayo Nay, bilang kalau kamu suka sama dia. Jangan nunggu dia yang bilang! Sebentar lagi kalian berpisah'

“Maafkan aku selama ini. Mungkin ada banyak salah,” kata Ridwan.

“Sama-sama Mas.”

Ridwan menjulurkan tangannya yang dikepalkan. Nayla lalu meninju pelan tangan Ridwan. Salamnya yang biasanya dilakukan Ridwan kepadanya.

“Janji, jangan nangis!?” tanya Ridwan.

“Nggak koq, aku nggak bakal nangis,” jawab Nayla sambil matanya berkaca-kaca.

“Itu nangis gitu,” goda Ridwan.

“Nggak, lhoo nggak kan?” Nayla melotot.

Ridwan ketawa. “Menangis saja nggak apa-apa. Sudah sewajarnya anak cewek itu menangis.”

“Tapi aku bukan cewek yang sewajarnya koq.”

“Hahaha. Iya, itulah Nayla. Sampai ketemu lagi nanti. In Syaa Allah.”

Ridwan lalu meninggalkan Nayla. Nayla hanya bisa menatap punggung Ridwan meninggalkan dirinya.

“Mas, katakan kalau kamu mencintaiku. Jangan biarkan aku sendirian di sini,” gumam Nayla. Tetapi Ridwan tidak pernah menoleh kepadanya lagi sampai menghilang dari pandangannya. Nayla pun menangis. Ia menutup wajahnya, lalu berbalik meninggalkan taman itu. Sementara itu dari kejauhan Ridwan ternyata tidak pergi jauh. Ia berbalik lagi ke tempat Nayla berada, tapi Nayla sudah tidak ada lagi di tempat itu. Ridwan menatap kosong. Tak ada lagi wujud Nayla. Tak ada lagi.

“Nay, aku mencintamu. Aku tak ingin meninggalkanmu sendirian di sini. Nayla...”


***​
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd