Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

[CERITA DETEKTIF] DETEKTIF KIM BUKU 1: DETEKTIF OBESITAS [by Arczre]

wow.. first case.. kim jadi sekurus apa nanti ya
semangat kiim.. :banzai:
 
:huh:
butuh berapa part ya,
buat kempesin Kim:bata:

:baca::baca::baca:
mantap ini, hujan cerita dari bang Archi, hp ini serasa taman bacaan:)
 
:huh:
butuh berapa part ya,
buat kempesin Kim:bata:

:baca::baca::baca:
mantap ini, hujan cerita dari bang Archi, hp ini serasa taman bacaan:)

Di kasus ini nanti ketika pemaparan deduksi, Kim bakal sangat kurus. :D
 
4. Rasa Penasaran


NARASI TONI

Wawasan dan pengetahuan Kim mengenai banyak hal benar-benar membuatku makin merasa anak ini luar biasa. Kadang juga tingkah polahnya yang lucu dan cara bercandanya yang tidak biasa membuatku semakin suka berdekatan dengan anak ini. Terlebih aku sedikit banyak mulai mengenal kepribadiannya yang unik. Kim ini suka bercanda sebenarnya tapi dengan cara yang aneh. Terkadang juga aku harus berpikir dulu untuk bisa tertawa lepas. Terkadang juga aku nggak mengerti apa yang dibercandain tapi dia tak memprotesku. Biasanya kalau bahan candaannya garing Kim diam begitu saja.

Kesukaan Kim kepada tanaman hias lebih membuatku keheranan. Dia ketika pagi dan sore pasti menyirami tanaman-tanaman hias yang ada di halaman rumah kami. Dia berkata demikian karena di Jerman ia juga punya tanaman-tanaman hias di rumah yang selalu dirawatnya, tapi sangat bersedih karena sudah tidak bisa dirawat lagi. Kim bercerita bahwa rumahnya di Jerman sekarang sudah dijual dengan dibantu oleh salah satu pengacaranya. Katanya hasil penjualan itu cukup lumayan.

Seperti hari ini melihat seorang pemuda dengan tubuh overweight menyiram bunga adalah sesuatu yang menggelikan bagiku. Bahkan dia pun memotongi ranting-ranting yang sudah kering. Mama yang melihat hal itu malah senang. Beliau beberapa kali mengejekku.

“Lihat, Kim rajin banget mau merawat tanaman-tanaman,” kata mama.

“Emang orangnya suka koq, ma,” tukasku.

“Itu artinya kerjaan mama berikurang untuk merawat tanaman-tanaman itu,” kata mama. Beliau kemudian pergi meninggalkanku yang sedang berada di teras bersiap untuk berangkat sekolah.

“Koran!” seseorang pengantar koran datang dan melongok pagar. Kami memang langganan koran tiap hari.

“Lempar saja mas!” ujarku.

“OK,” si pengantar koran bertopi dan berkaos hitam dengan menenteng koran itu melemparkan koran yang sudah digulung ke teras. Aku pun dengan cekatan menangkapnya.

“Koran lokal?” tanya Kim.

Aku mengangguk.

“Biasanya papa yang suka membaca koran seperti ini,” ujarku. “Aku cuma baca kolom bagian remaja dan kriminal. Hehehe.”

“Oh, kriminal ya?” tiba-tiba mata Kim sangat cerah. “Boleh-boleh, coba bacain ada berita apa?”

Aku membalik-balik koran itu dan mencari berita pojok kriminal. Sebuah koran lokal yang sebenarnya jarang memberitakan kasus kriminal kecuali kasus-kasus yang menggembirakan tentang tertangkapnya pelaku curanmor atau pun pelaku tindakan kriminal yang lain. Kadang juga masalah rumah tangga. Tapi pagi itu, aku menemukan sesuatu yang baru dan tidak pernah terjadi di kota ini. Sebuah pembunuhan di siang bolong.

“Seorang wanita ditemukan oleh tukang ojek dengan luka di kepala bersimbah darah. Seorang saksi tukang ojek menemukan gadis itu sudah tak bernyawa. Dari kartu identitas di tubuhnya usianya masih tujuh belas dan tinggal di dekat daerah di mana korban ditemukan. Semua barang-barangnya masih ada. Dari TKP diketahui benda yang digunakan untuk membunuhnya adalah batu yang ada di sekitar TKP. Wow, aku tak menyangka akan ada kasus kriminal seperti ini,” kataku.

Kim menghentikan aktivitasnya menyiram tanaman. “Menarik, apa ada keterangan lain?”

Aku pun membacakan seluruh berita itu. Polisi masih menyelidiki tentang identitas korban dan para saksi. Tak banyak membantu berita kriminal ini. Yang jelas korban dibunuh dengan sengaja. Tak ada barang yang hilang merupakan bukti bahwa sang pelaku memang sengaja untuk membunuhnya. Pembunuh berdarah dingin.

Sambil memakai sepatunya Kim kemudian berkata, “Terkadang, tindakan kriminal itu aneh. Seseorang menghilangkan nyawa orang lain untuk mendapatkan sesuatu darinya. Terkadang juga menghilangkan nyawa orang lain hanya untuk memuaskan nafsunya. Tipe penjahat kedua ini lebih berbahaya daripada yang pertama. Sebab tipe penjahat yang kedua dia tidak akan punya rasa puas untuk melakukan aksi kejahatannya.”

“Menurutmu yang ini?”

“Bisa jadi yang kedua. Selama pelakunya tidak punya motif yang bisa diterima, hal itu akan terulang lagi.”

Aku pun begidik mendengarkan perkataannya.

“Berangkat yuk, keburu telat nanti,” katanya.

Kami berangkat ke sekolah dan lagi-lagi kubonceng dia.

Singkat cerita kami sudah di sekolah dan mengikuti pelajaran-pelajaran. Ketika jam istirahat tiba, Kim tampak duduk di sebuah tempat duduk di luar kelas. Dan dia menikmati cemilannya sambil memainkan ponselnya. Aku pun membiarkannya kemudian meninggalkan dia sendiri menuju kantin. Di kantin aku bertemu dengan Lusi.

“Hai Ton!?” sapanya.

“Hai juga,” jawabku.

“Eh, kemarin itu siapa yang sama kamu? Anak baru?” tanya Lusi. Wah, dia masih ingat peristiwa kemarin. Melihat Kim dalam kondisi “agak langsing” pula.

“Oh, bukan. Temenku,” jawabku ngawur.

“Koq pakai seragam kita?” tanyanya menyelidik. Ia membetulkan kacamatanya sesekali. Celaka, apa aku harus jujur aja ya?

“Iya, dia anak baru. Temen sekelasku,” kataku.

“Oh, begitu,” dia menangguk-angguk. Tapi rasanya ia belum puas. “Namanya siapa? Kenalin dong!”

“Kenalan aja sendiri,” kata Toni.

“Ih, jahatnya,” kata Lusi. “Oke deh, ntar kapan-kapan aja.”

Lusi pergi. Fiuh...kalau sampai dia tahu Kim itu sekarang sedang posisi tubuhnya mekar dia pasti kaget. Aku memesan bakso ke salah satu stand di kantin. Setelah itu kunikmati makan bakso itu sambil menonton televisi. Di kantin itu ada satu-satunya televisi yang menayangkan berita kriminal. Beritanya hangat karena berita tentang kasus seorang wanita yang dibunuh dengan sadis di sebuah gang. Kemudian muncul foto korban. Wah, gila. Cakep juga dia. Sayang sekali nyawanya harus berakhir di tangan pembunuh berdarah dingin.

Saat itulah aku agak bodoh. Yunita celingukan di depanku sambil membawa semangkok bakso. Dia sepertinya bingung untuk mencari tempat duduk. Saat melihatku dia pun menghampiriku. Waduh, mau apa dia? Duduk di depanku. Aku harus gimana? Tiba-tiba aku serasa susah menelan daging bakso yang sudah ada di mulutku, sepertinya nyangkut. Aku lalu memukul-mukul dadaku.

Yunita duduk di depanku dan meletakkan mangkuk baksonya. “Hai Ton? Eh, kenapa kamu?”

Aku memberi isyarat nggak apa-apa. Aku alihkan pandanganku dan memukul-mukul dadaku lagi lalu meluncurlah sebuah pentol bakso utuh dari mulutku jatuh ke lantai menggelinding. Oh tidak, aku muntah bakso di hadapan Yunita. Padahal dia mau makan bakso. Ini sama sekali nggak bagus. Aku menoleh ke arah Yunita. Dia lalu mengerutkan dahi dan alisnya. Perlahan-lahan cewek yang aku suka itu berdiri dan mengambil mangkok baksonya lalu pergi meninggalkanku. Entah kenapa aku menjadi tolol sekali waktu itu. Kejadian ini sama sekali tak keren, rasanya aku ingin mati saja gantung diri saat itu juga. Setelah itu aku hanya bisa memandangi mangkok bakso yang belum habis isinya itu. Tiba-tiba nafsu makanku hilang semuanya. Aku pun langsung pergi meninggalkan kantin, kembali ke kelas.

Kim masih duduk di luar kelas. Dia tampak masih sibuk dengan ponselnya dan memakan camilan. Aku lalu duduk di sebelahnya. Dia menoleh ke arahku.

“Kenapa wajahmu loyo gitu?” tanyanya.

Aku pun menceritakan semuanya. Kim langsung tertawa lepas. Kalau aku ada di hadapannya, mungkin aku akan disembur lagi oleh kunyahannya seperti ketika aku menjemputnya dulu. Dan ini sangat tidak lucu.

“Ini nggak lucu Kim,” kataku.

“Maaf Ton, tapi aku tak bisa menahan diri,” kata Kim sambil menepuk-nepuk pundakku.

“Awas ya, kalau sampai kamu ceritain ke Kak Luna, aku nggak bakal mau nebengin kamu lagi,” ancamku.

“Ok, Ok, tapi aku mau ketawa lagi,” kata Kim. Dia melanjutkan ketawanya. Aku pun meninggalkannya yang masih ketawa ke dalam kelas.

Setelah semua jam pelajaran selesai kami pun pulang. Kami seharusnya pulang sekolah bersama hari itu. Tapi tidak bagi Kim. Dia memilih untuk naik angkot. Apa-apaan ini? Nanti kalau papa sama mama nanyain gimana coba?

“Kim, kenapa nggak bareng aja?” tanyaku.

“Aku mau ngurus sesuatu,” jawab Kim.

“Ngurus sesuatu? Kamu aja lho baru saja tiba di kota ini, sok tahu. Nanti kalau kamu tersesat aku yang disalahin sama mama!” gerutuku.

“Kamu mau ikut?” dia menawarkan diri.

“Ayo aja deh, aku anterin,” jawabku. “Lagi pula, kalau nanti kamu naik angkot. Takutnya angkotnya nggak bisa jalan!”

Kim nggak menjawab.

“Hai!?” panggil seseorang tiba-tiba. Lusi tiba-tiba muncul.

“Oh, Hai,” sapaku.

Dia mengamati Kim. “Anak baru?”

“Iya,” jawab Kim. “Namaku Kim, sepupunya Toni.”

“Oh, sepupu. Sebentar sepertinya kita pernah ketemu deh, di mana ya?” Lusi mengingat-ingat. Celaka di perpustakaan kemarin.

“Ah, nggak. Kamu pasti salah orang. Dia baru datang koq,” jawabku.

“Baru datang?”

“Aku baru datang dari Jerman.”

“Oh iya? Tapi beneran kayaknya pernah ketemu deh. Oh iya, kemarin di perpustakaan!”

Aduh! Celaka.

“Nggak, kamu pasti salah orang, ya nggak Kim?” kataku sambil mengedipkan mata ke arah Kim.

Kim mengangkat alisnya, “Oh, bener kamu salah orang.”

Lusi mengerutkan dahi. “Hmm...iya ya, yang kemarin itu kurusan orangnya, kamu gemukan. Apa kamu punya saudara?”

Kim dan aku menggeleng.

“Aneh,” gumam Lusi.

“Udah ah, Lus. Kami mau pergi. Buru-buru nih,” kataku. Segera aku menggandeng tangan Kim.

“OK, hati-hati ya!?” katanya sambil melambaikan tangan.

Kami berdua langsung buru-buru ke tempat parkir mengambil sepeda motor. Sementara itu Kim bergumam, “Cakep juga ya cewek tadi.”

“Ah, kamu ternyata soal cewek bagus juga seleranya,” kataku sambil menstarter sepeda motor.

“Ya iyalah, emangnya aku gay?” kata Kim. Dia lalu mencubit-cubit bibirnya. Dan saat itulah aku melihat perubahan kepada tubuhnya. Badannya mulai menguap.

“Kamu sedang mikirin apa?” tanyaku.

“Ton, anterin aku ke Jalan Slamet Riyadi!” kata Kim.

“Ngapain ke sana?”

“Udah deh, segera yah. Mumpung otakku sedang panas nih.”

Begitu Kim naik ke sepeda motorku, rasanya ringan. Dia sedang mikirin apa sih? Bagaimana ia bisa menguap seperti ini?

Motorku melaju membelah keramaian jalan raya. Aku tak perlu bingung memikirkan bagaimana Kim berpikir bisa sampai menguap seperti ini. Yang pasti ia sedang memikirkan sesuatu yang sangat berat. Aku tak pernah menyadari bahwa apa yang ia pikirkan benar-benar sesuatu yang berat. Butuh waktu lima belas menit untuk kami bisa sampai ke tempat yang dituju. Kim dan aku berhenti di sebuah gang. Gang itu tampak ada garis polisi di sana.

“Kim, ngapain kita ke sini?” tanyaku.

Tapi, Kim tak menjawabku. Begitu turun dari sepeda motor dia langsung mengencangkan ikat pinggangnya. Karena sekarang ia benar-benar langsung. Bajunya sampai kedodoran. Matanya menatap tajam. Dia langsung masuk ke gang itu dan melewati garis polisi.

“Aku di sini saja ya?” tanyaku.

“Ikut saja! Kunci saja motormu!” jawabnya.

Mau bagaimana lagi? Aku pun turun dari sepeda motor dan aku kunci ganda sepeda motorku di muka gang. Aku berlari-lari kecil mengikuti Kim yang sudah jauh di depan. Gang yang diberi garis polisi ini cukup panjang. Mau apa Kim ke tempat ini? Aku pun jadi penasaran.

“Ada apa sih Kim?” tanyaku.

“Sshh..!” katanya sambil menaruh jari telunjuknya ke bibir.

Kim jongkok di beberapa sudut, lalu berlari hingga ke ujung gang. Di sana ia mendapati sebuah tanda kapur seperti orang korban pembunuhan. Tunggu dulu, ini TKP?? Oh tidak, ngapain anak ini ke TKP pembunuhan?

“Kim, ngapain kita ke sini. Kalau ketahuan polisi bisa gaswat!” ujarku.

“Tenang aja, kita nggak lama koq,” katanya.

“Kau mau main detektif-detektifan? Yang benar aja.”

Kim tak menggubrisku. Di tempat itu ada sebuah tempat yang dilingkari dan ada darahnya pula. Sepertinya itu tempat senjata yang digunakan oleh pelaku untuk membunuh korbannya dan dibuang begitu saja di sini. Berarti senjatanya sesuatu yang besarnya tak lebih berdiameter sepuluh sentimeter. Kim melihat jauh ke depan, sebuah kampung. Kim manggut-manggut.

“Pulang yuk!?” kata Kim.

“Hah? Udah?”

“Iya, udah. Ngapain berlama-lama di sini. Aku laper.”

Aku menepok jidatku. Baiklah, aku ingin meminta penjelasan dari dia. Aku jadi penasaran terhadap apa yang dia lakukan di tempat ini. Kami pun segera pergi dari tempat itu.
***

“Kamu ngapain sih tadi?” tanyaku.

Kami sudah ada di rumah dan bersantai menonton televisi. Kim, seperti biasa menimbun kalori lagi setelah tadi ia benar-benar langsing. Sekarang ia agak gemukan lagi. Kalau melihat hal ini aku serasa di dunia anime dan manga.

“Aku penasaran saja tentang tempat kejadian perkara pembunuhan yang terjadi kemarin,” kata Kim.

“Oh, pembunuhan itu ya? Aku tak terbesit sampai ke sana,” kataku nyengir.

“Dari TKP, aku bisa menyimpulkan sang pelaku benar-benar sadis. Aku tadi sengaja tak ingin mengajakmu karena aku yakin kamu bakal banyak pertanyaan.”

“Ayolah Kim, aku jadi penasaran nih. Apa yang kamu dapat? Kamu tahu siapa pelakunya?”

Kim menggeleng.

“Yaaahh...”

“Emangnya aku dukun bisa tahu siapa pelakunya secepat itu?”

Tiba-tiba aku pun terbesit sebuah ide.

“Gimana kalau kita bikin klub detektif aja Kim?” usulku.

“Hah? Ogah ah.”

“Ayolah, kau pasti juga ingin bukan? Buktinya kau penasaran banget sampai ke TKP pembunuhan. Untung tadi kita nggak ketahuan. Bisa berabe ntar.”

Kim menggeleng-geleng. “Ogah ah, buat apa?”

“Dengerin nih, kalau kita bisa menyelesaikan sebuah kasus, maka kita bisa terkenal. Bisa juga menolong yang lemah dan tentuya kita bisa dapat uang dari hasil jasa kita bukan?”

Kim mengerutkan dahi. “Kamu ini. Sepertinya punya otak-otak bisnis.”

“Ayolah, aku yakin IQ-mu itu memang ditakdirkan untuk ini. Kemampuanmu ini bisa berguna buat orang banyak Kim. Jangan disia-siakan!”

“Bukan masalah disia-siakan atau tidak, tapi...,” Kim pun berpikir lagi.

“Tenang aja deh, kalau kau bisa memecahkan kasus ini. Kita pasti bisa diakui oleh orang-orang sebagai detektif beneran!”

Kim merenung sejenak. “Menolong orang ya? Rasanya hal itu baru saja terlintas di benakku. Ide bagus. Hanya saja aku tak tahu soal bisnis di dalam masalah ini.”

“Serahkan saja urusan bisnis kepadaku. Kau cukup melakukan tugasmu. Aku akan jadi asistenmu. Hahahaha,” kataku sambil pasang muka jahat.

Kim tak menghiraukanku. Dia lalu mengambil cemilannya dan memasukkan ke mulutnya. Sambil menunggu dia mengunyah seluruh makanan yang ada di mulutnya. Aku menunggu penjelasan dari dia.

“Trus?” tanyaku.

“Trus apa?” tanyanya balik.

“Yaelah, aku nunggu dari tadi. Gimana? Apa yang kamu dapat di TKP tadi?” tanyaku.

“Oh, aku nggak dapat apa-apa,” jawab Kim.

“Yah, percuma dong tadi kita ke sana,” kataku.

“Bukan begitu. Pelakunya sangat rapi menghilangkan jejak. Pelakunya kemungkinan besar seorang perokok. Aku hanya menduga saja sih, karena TKPnya sudah bersih. Polisi sudah mengambil bukti-bukti yang dibutuhkan jadi aku tak dapat apa-apa. Terlebih tempat itu banyak lalu lalang dilalui orang. Jadi untuk mengumpulkan informasi sangatlah susah.”

“Lalu kau bisa menyimpulkan sang pelaku perokok?”

“Aku menemukan korek api di gang. Makanya tadi aku berhenti. Ada batang korek api. Aku tak tahu kalau itu milik sang pembunuh atau bukan. Masih perlu banyak penyidikan. Terlebih lagi kalau memang sang pembunuh merokok, pasti ada bukti lain. Sayangnya kita terlambat untuk ke sana, biasanya TKP bakal dirusak, begitulah tipikal di negara kita, terlalu banyak tangan-tangan usil yang menjamah dan ingin tahu. Termasuk kita. Hehehehe. Tapi aku tahu satu hal yang pasti.”

“Apa itu?”

“Pembunuhan ini masih terus belanjut.”

“Kenapa kamu bisa mengambil kesimpulan itu?”

“Ayolah Ton, lihat faktanya, tak ada barang korban diambil. Trauma di kepala? Dipukul dari belakang? Pembunuhan berencana? Pembunuhan berencana yang dilakukan di tempat terbuka? Yang benar saja. Sepertinya akan terus berlanjut.”

*********​

(Bersambung......)

Bikin cerita sambil mikir itu ya ini aja kayaknya :D
Masih bingung bab berikutnya mau pake metode yang sudah aku tulis ataukah aku perlu hapus karena terlalu aneh.
 
Terakhir diubah:
akan sulit menciptakan sebuah kasus chi.. tapi mudah2an akan berjalan mulus
 
Ceritanya bagus, mudah2an bisa sampe tamat.... Ditunggu gan !
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd