2. Wanita dimana-mana Sama
Kampung Pasir Lenyap telah berselimut malam, tak usahlah diceritakan bagaimana kabut disana telah sedemikian pekat membawa udara dingin yang menusuk ke tulang. Suara jangkrik dan kodok bersahut-sahutan ditambah suara binatang malam di kejauhan. Pasti itu berasal dari hutan tutupan yang berada di Gunung Halimun.
Euis berusaha menyalakan suluh yang sudah terpotong-potong seukuran lengannya didalam hawu. Ibu muda beranak satu usia 2 tahun itu tak memiliki kompor gas sehingga untuk memasak dia harus bersusah payah dulu menyalakan hawu. Di sampingnya sudah ada nasi sisa tadi siang untuk dibuat nasi goreng. Sembari menunggu kayu terbakar menjadi bara api panas, Euis mengiris bawang merah yang tadi sore diambilnya dari pekarangan.
Rambut Euis yang hitam sepunggung dibentuk menjadi ikatan ekor kuda agar tak menghalanginya bekerja di dapur.
Dingin sekali malam ini, legging hitam tipis yang dikenakannya tak mampu lagi memberinya kehangatan. Mungkin sudah harus mengenakan kain 'samping' untuk sedikit mengusirhawa dingin. Tapi Kang Oman seringkali memprotesnya kalau mengenakan kain. Katanya kaya nenek-nenek, padahal kain samping atau jarik kalau di jawa tengah memang termasuk pakaian yang lumrah dikenakan wanita disini. Entah itu nenek-nenek, ibu-ibu, bahkan remaja sekalipun.
Euis masih memasak nasi goreng saat suara motor Oman terdengar datang dan parkir di samping rumah. Tanpa disadari, Euis membuka ikatan rambut ekor kudanya agar rambutnya yang hitam tebal tergerai indah. Oman tak langsung masuk ke rumah melainkan membersihkan diri ke kamar mandi yang berada di bagian belakang rumah mereka, terpisah tak terlalu jauh dari rumah panggung. Bersamaan dengan matangnya nasi goreng, Oman membuka pintu dan masuk kedalam rumah panggung berlantai papan itu.
"Adang....." Oman memanggil anak mereka.
"Udah bobo dari tadi, kang. Pulangnya malem amat." Euis membawa sepiring nasi goreng didalam baki lengkap dengan teh tawar yang masih panas mengepulkan uap tipis. Ditaruhnya baki berisi makan malam Oman di lantai papan bertikar plastik.
"Wangi nasi gorengnya kecium dari jauh, Euis. Bikin akang tambah lapar." Oman langsung membuka jaket yang dikenakannya dan duduk di tikar.
"Sok atuh kang dimakan dulu mumpung panas." Euis ikut duduk menemani Oman. Dengan sudut matanya Oman melirik Euis yang terlihat cantik. Dulu waktu gadis, Euis adalah primadona di Pasir Lenyap. Kulitnya kuning bersih tanpa cacat. Walaupun tidak putih tetapi kulit kuning Euis begitu bening sampai samar-samar terlihat urat-urat hijau di tangan.
Sambil mengambil sepiring nasi goreng yang sudah disiapkan, Oman kembali melirik istrinya yang duduk emok membuat leggingnya yang ketat sedikit tertarik keatas memperlihatkan betisnya yang indah. Begitu juga pahanya yang ramping namun berisi masih dapat terlihat samar di balik legging hitam yang tipis itu. Kejantanan Oman sedikit menggeliat, tergugah oleh pemandangan indah yang disuguhkan istrinya yang cantik.
Oman makan dengan lahap karena dari siang dia tidak makan apa-apa. Bahkan jajan di warung pun tidak, karena dia berusaha menghemat hasil narik ojegnya. Setelah makan dan minum teh, dia akan segera mengajak Euis ke tempat tidur.
"Eh iya, ini hasil akang narik hari ini." Katanya sambil merogoh saku celana untuk mengeluarkan beberapa lembar uang yang lusuh. Euis menerima dan langsung menghitungnya.
"Buat apa ini teh kang ?" Tanya Euis yang tentu saja membuat Oman heran.
"Ya buat dapur atuh, emang buat apa lagi."
"Buat beli token listrik sama minyak kayu putih mana ? Dari tadi siang listrik udah bunyi minta dikasih makan juga kang." Euis berbicara sambil merapikan uang yang diberikan Oman lalu dimasukkan di bawah kutangnya.
"Belum lagi besok teh harus bayar arisan kang. Itu aja udah 50 ribu. Belum lagi beli sabun cuci yang udah habis. Masa nyuci baju ngga pakai sabun."
Euis terus nyerocos mengeluhkan berbagai macam biaya yang harus dikeluarkan. Uang sebesar 135 ribu yang tadi didapatnya sudah pasti tak cukup untuk memenuhi kebutuhan Euis besok.
Perlahan, birahi Oman yang sempat tergugah menjadi hilang karena cerocosan Euis tentang pengeluaran uang.
"Iya tapi akang dapetnya cuman segitu, Euis. Mau gimana lagi ?" Jawabnya.
Euis tak menjawab tetapi memasang wajah cemberut. Kalau seperti ini, Oman jadi sering berfikir untuk menerima tawaran kerja dari saudaranya di kota. Beberapa kali saudara Oman mengajaknya untuk kerja di proyek pembangunan jalan tol yang sedang giat dilaksanakan pemerintah. Kerjanya memang cukup berat tetapi katanya uangnya lumayan, belum lagi kalau banyak lemburan.
Oman menyelesaikan suapan nasi goreng terakhirnya. Diseruputnya teh hangat yang mengalirkan kehangatannya ke tubuh Oman yang tadi kedinginan.
"Apa akang harus ke kota, Euis ? Kan akang ditawarin ikut kerja di proyek." Oman mencoba-coba bertanya. Dulu Euis bilang jangan ke kota soalnya Adang masih bayi dan Euis tidak berani kalau ditinggal.
"Kalau memang hasilnya lebih baik, kenapa nggak Kang." Kebutuhan akan uang akhirnya membuat Euis merelakan kalau sampai Oman harus berjauhan dengannya.
"Ya udah, kalau gitu mah besok akang nelepon sodara akang. Mudah-mudahan lowongan kerjanya masih ada."
Oman mengeluarkan sebatang rokok yang disimpan rapi di dompetnya, lalu menyalakannya. Asapnya mengepul ke udara, sebagian lagi ke arah Euis.
"Buat beli roko mah ada, tapi buat yang lain mah meni susah." Euis protes.
"Ih ini akang cuman beli satu batang." Oman meneruskan hisapan rokoknya.
"Tapi kalau akang pergi, Euis mau nyurus si Asep nemenin disini ya kang." Pinta Euis penuh harap. Asep adalah adiknya yang belum lulus SMA. Sekarang Asep masih tinggal dengan Abah dan Emak di kampung lain.
"Memangnya si Asep bakalan diijinin tinggal disini sama Abah ? kan tugas si Asep ngebantu abah di sawah." Sebetulnya Oman agak keberatan kalau Asep tinggal di rumahnya karena artinya beban keuangannya akan lebih berat.
"Pasti boleh, lagian si Asep mah anaknya rajin kang." Sanggah Euis yang teringat oleh Asep yang ringan tangan. Anaknya sangat baik dan sopan, bahkan nilai-nilai di sekolahnya juga sangat bagus.
"Si Asep teh terlalu rajin di sekolah kata si abah juga. Pulangnya sore tiap hari." Oman masih terus berusaha agar Asep tidak perlu sampai tinggal bersama Euis.
"Iya kan dia teh rajin ikut Pramuka. Si Asep teh tergila-gila sama kegiatan alam." Euis malah memuji Asep.
"Ya atuh terserah Euis aja kalau gitu mah." Akhirnya Oman mengalah dan membuat Euis senang.
"Kang pinjem hape." Ujar Euis tiba-tiba. Tak biasanya Euis pinjem hape, biasanya kalau ada perlu juga Euis pake hape cinitnit jadul miliknya.
"Buat apa Euis ?" Oman penasaran.
"Mau nonton drakor.... kata ibu-ibu tetangga rame katanya." Euis malu-malu menjelaskan.
"Ih kuota internet akang ngga akan cukup buat nonton film mah." Oman tak jadi memberikan hape android miliknya, takut kuotanya habis.
"Ah, akang mah. Tipi ngga ada, radio rusak, hape ngga ada kuota. Euis teh perlu hiburan atuh kang." Euis cemberut, tetapi cemberutnya Euis malah membuat wajahnya makin lucu dan cantik. "Nanti kalau akang jadi kerja di kota, Euis mau dibeliin hape." Pintanya.
"Iyaaaaa...." Jawab Oman terpaksa. Kalau tidak di-iya-kan maka pasti dia tak akan dapat jatah malam ini.
"Euis..... yuk...." Ajak Oman memberi kode.
Euis mengangguk, dan mereka bersamaan masuk ke kamar.
Malam yang dingin, udara luar yang berkabut, gerimis tipis yang turun, semua tak terasa lagi oleh mereka berdua yang berbagi kehangatan di tempat tidur.
Bersambung