Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Teh Euis (TAMAT)




9. Warung Teh Euis

Keceriaan Teh Euis menjadi sumber bahagia buat Asep. Dia sangat sayang pada kakaknya.

"Asep.... jagain dulu Adang ya. Ini ada yang beli nasi goreng." Teh Euis ceria sekali.


Asep menggendong Adang dan bermain cilukba dengannya. Teh Euis membuatkan dua porsi nasi goreng untuk dua orang remaja lelaki yang sedang kemping. Saat Teh Euis sibuk memasak, dua remaja itu tersedot perhatiannya pada cantik dan anggunnya Teh Euis.


Warung Teh Euis selalu ramai oleh pengunjung. Entahlah apakah karena masakan Teteh memang enak atau karena daya tarik kecantikannya. Lumayan, hasilnya bisa membuat perekonomian Teh Euis menjadi stabil walaupun hanya buka hari Sabtu dan Minggu saja, yaitu hari dimana camping ground Pasir Lenyap dikunjungi banyak tamu.


Asep sekarang merasa tenang karena dia bisa selalu berada dekat dengan Teh Euis dan Adang. Senin sampai jumat mereka di rumah seperti biasa, sedangkan sabtu minggu mereka bersama juga di warung camping ground.


Atas keberhasilan pengelolaan camping ground, Asep baru saja dikasih sebuah hape android oleh Tua Kampung. Uang kas kampung itu sangat terbantu oleh usaha camping ground yang dikelola Asep.



"Sep.... dua minggu lagi Asep kan ulang tahun ke 17. Mau dibeliin apa sama teteh ? "


Asep tertawa, bahkan hanya dengan mengetahui bahwa Teh Euis ingat pada ulang tahunnya saja sudah membahagiakan.


Asep menggelengkan kepala.


"Ngga usah teh, sayang uangnya" Asep memang tidak menginginkan hadiah apa apa.


"Iiih atuh Sep, ngga apa apa da sekarang mah teteh punya uang. Kan berkat Asep juga teteh diijinkan jualan disini."


Asep tetap menggelengkan kepala.

"Ngga perlu teh, uangnya buat keperluan teteh aja."


"Ih si Asep mah begitu. Yaudah nanti terserah teteh aja hadiahnya mah yah."


Asep hanya tertawa ringan, dalam hatinya dia yakin seyakin yakinnya bahwa tak ada hadiah yang bisa membuatnya terkejut. Dia remaja yang sederhana saja, tak punya keinginan yang aneh-aneh.

"Iya... terserah teteh aja deh "


"Okeee... pokonya mah hadiahnya kejutan." Teh Euis mengacungkan dua jari tanda berjanji.


"Sep pinjem lagi hape nya atuuh. Teteh mau nerusin nonton drakor, mumpung belum ada yang pesan makanan lagi nih."


Teh Euis meminta dengan sikap manja seperti anak kecil. Kedua tangannya memegangi salah satu lengan Asep sambil menggoyang goyangkannya.


Rambut Teh Euis yang tergerai sepunggung ikut bergoyang goyang. Termasuk juga dadanya yang indah.


Asep mengeluarkan hape baru nya dari dalam saku celana dan diberikan ke Teh Euis.


"Asikkk.. " Teh Euis menerima hape dan langsung membuka film drakor yang sedang diikutinya.


"Jangan dihabisin quotanya ya teh."


"Biarin ah mau teteh habisin....... Asep, jagain Adang lagi ya."


Teh Euis tertawa bahagia karena berhasil ngerjain Asep.


Asep cemberut, berpura pura.

Dia sebenarnya sangat senang bisa membuat tetehnya berbahagia.



************



Dari pos jaga pintu masuk area camping, Hansip Ajum sebentar-sebentar berdiri dari duduknya dan memandang ke arah warung-warung yang berderet sekitar 100 meter dari tempatnya berada. Ada lima buah warung yang didirikan disana, yang paling ujung adalah warung Euis.


Asep hampir tidak pernah meninggalkan Euis kecuali kalau dia pergi ke toilet atau sholat di mushola kecil tidak jauh dari warung. Anak buah Asep yang berjumlah tiga orang remaja seumuran dengannya kalau laporan keuangan atau setor uang hasil tiket masuk juga menemuinya di warung, sekalian ngopi dan makan.


Seharusnya aku yang jadi pengelola tempat ini, bukan anak ingusan seperti si Asep dan teman-temannya. Rasa kesalnya terhadap anak itu makin menjadi-jadi tetapi hanya bisa dipendam di hati. Tidak masuk di akal kenapa Pak Tua Kampung lebih mempercayai anak itu daripada dirinya yang sudah lebih lama dikenalnya. Tapi dia tak berani untuk menolak keputusan Pak Tua Kampung. Walaupun dirinya lebih tua, tetapi Pak Tua Kampung lebih berkuasa dan berwibawa.


Nyaris saja dirinya tertangkap basah oleh anak ingusan itu saat melancarkan kegiatannya yang terakhir. Tak habis pikir, kenapa anak ingusan itu bertahan demikian lama sebelum akhirnya roboh tak berdaya karena ajian Halimun Bajra. Dia juga masih tak yakin apakah anak itu sempat melihat dan mengenali dirinya di malam itu ?


Anak itu harus dihilangkan dari wilayah kekuasaannya. Bagaimana caranya mengusir si Asep ? Dia harus mengusir degan cara halus, dengan berstrategi.


Dia juga kesal dengan anaknya yang jelas-jelas menunjukkan rasa suka pada Asep. Mungkin si Asep harus diracun saja pakai Roundup yang biasa dipakai mematikan rumput liar di sawah. Hansip Ajum terkekeh sendirian membayangkan Asep muntah-muntah kena racun, lalu mati meninggalkan Euis sendirian. Dan dirinya bisa berbuat sesukanya pada Euis yang pasti mulus itu.


Sesuatu terlintas di pikirannya. Dipikirnya berulang-ulang, sepertinya idenya bagus juga. Daripada susah-susah melarang si Anah, lebih baik dibiarkan saja dekat dengan si Asep, atau malah didukung supaya anak itu bisa diajak bekerjasama. Tapi si Asep belum tentu mau diajak kerjasama.


Ah.... serba salah.

Hansip Ajum membanting puntung rokoknya ke tanah. Dia curiga anak itu memiliki bekal yang cukup untuk melawan dirinya.


Mungkin harus dites, benarkah anak itu memiliki sesuatu ?


Jam telah menunjukkan pukul 1 malam. Tinggal beberapa orang saja yang masih menikmati malam dengan berbagai kegiatan. Sebagian besar telah tidur di tenda masing-masing. Warung-warung mulai sepi.


Hansip Ajum berdi lagi untuk melihat situasi di warung. Dilihatnya Asep dan Euis duduk bersebrangan di meja warung, mereka masih bermain dengan hapenya. Hansip Ajum tersenyum sinis.

Coba Sep, kamu kuat ngga nih ?


Bibir Hansip Ajum yang telah keriput berkomat-kamit. Dia lalu jongkok dan memegang tanah sambil terus berkomat-kamit. Matanya terpejam, suara yang keluar dari mulutnya hanya terdengar bagai gumaman yang tak jelas.


Angin seakan berhenti bertiup, udara mulai terasa lebih dingin. Hansip Ajum terus membaca mantra. Selapis tipis kabut mulai terbentuk di area camping. Sambil bangkit dari jongkoknya dia mengucapkan mantra tanpa henti. Dilongoknya lagi ke arah warung Euis.


Asep sedang celingukan, Euis jatuh tertidur di meja warung.


Gendeng anak itu, dari gerak-geriknya si Asep sepertinya tengah curiga.


Suara bernyanyi di salah satu tenda berhenti ketika kabut semakin tebal. Tak ada suara sedikitpun yang terdengar. Pun juga binatang malam yang tak lagi bersuara. Orang-orang di area camping mulai tenggelam dalam tidur lelap.


Tapi alangkah kagetnya Hansip Ajum ketika dilihatnya Asep malah berdiri. Beberapa waktu lalu anak itu ambruk juga dibawah pengaruh ilmunya, tapi sekarang aneh sepertinya si Asep tak terpengaruh sama sekali.


Setan alas. Anak itu tak terpengaruh.

Kini Hansip Ajum yakin, Asep memiliki sesuatu yang bisa melawannya. Ia menghentikan bacaannya lalu perlahan menginjak bumi tiga kali. Perlahan-lahan kabut menipis, lalu menghilang. Suara binatang malam kembali terdengar, dan angin mulai bertiup sepoi-sepoi membawa sisa kabut.


Aku harus mencari cara agar si Asep diusir dari kampung.


**********


Asep tengah berkirim pesan dengan Atoy di hape bututnya. Hape androidnya yang masih baru tengah dipakai Teh Euis yang dari sore terus menonton drakor entah sampai berapa episode. Adang sudah tertidur didalam warung.


Ketika asik berkirim pesan, tiba-tiba saja dia mendengar sesuatu jatuh di meja. Dilihatnya hape yang tadi dipegang teh Euis terepas dari tangannya. Teh Euis tertidur dengan pipi menempel di meja warung. Kulit Asep merasakan suatu hawa dingin yang aneh, tetapi segera hilang terganti oleh hawa hangat dari dalam perutnya tepat dibalik pusar.


Dilihatnya ke sekeliling, Selapis kabut tipis menyelimuti sekitarnya.


Celaka.... Halimun datang.


"Teh..... Teh Euis....." Asep menepuk-nepuk pipi Teh Euis yang jatuh tertidur di meja. Teh Euis tak bergerak.


"Teh... bangun." Tapi sekeras apapun Asep menepuk, Teh Euis tak bangun juga.


Asep berdiri dari duduknya, lalu bersiaga. Alarm tanda bahaya di jantungnya berbunyi keras. Kabut turun makin tebal, untung tubuhnya tetap hangat.


Dengan terpicing, dia berusaha melihat ke arah pos jaga yang gelap. Apakah Hansip Ajum yang berbuat ? Matanya tak mampu menembus kepekatan malam. Dia terus berdiri berjaga di samping Teh Euis.


Dari bagian pusarnya, Asep merasa ada aliran hawa yang hangat menjalar ke seluruh tubuhnya. Tenaga dari Halimun Bajra keluar secara otomatis tanpa diperintahnya. Tubuh Asep bertahan dari hawa dingin yang dikirim oleh seseorang, mungkinkah Hansip Ajum ? Asep tak dapat memastikan.


Akhirnya kabut itu perlahan lahan menghilang. Malam kembali dihiasi suara jangkrik, ga'ang, dan teman-temannya. Alarm di jantungnya berhenti. Asep bernafas lega, tapi sekali lagi dia memastikan keadaan dengan memandang ke sekelilingnya.


Hawa panas dari pusarnya telah berhenti. Tetapi sekarang malah berganti menjadi hawa dingin. Asep jadi ingat rasanya seperti mengoleskan balsam untuk kerokan. Kalau hangatnya telah hilang, akan berubah menjadi dingin. Ya, persis seperti itu.


"Teh... pindah tidurnya." Asep menggoyang-goyang badan Teh Euis, tapi tak bangun.


"Teh......" digoyangnya makin kencang, Teh Euis tetap tak bergeming.


Tak mungkin teteh dibiarkan disini, sewaktu-waktu bisa saja halimun itu datang lagi. Sebaiknya kugendong teteh kedalam, pikir Asep.


Asep mengangkat kepala Teh Euis dari meja, direbahkannya kepala Teh Euis di lengan kiri hingga tetehnya itu tengadah dengan bibir terbuka. Satu tangan Asep yang lain menelusup ke balik lututnya. Dengan satu hentakan, tubuh Teh Euis berada dalam gendongannya. Sekali lagi pandangannya berkeliling memperhatikan keadaan. Aman.


Untung tubuh Teh Euis yang langsing tidak terlalu berat. Cuma 51 kilo kalau tidak salah, sama seperti berat tubuh dirinya. Asep melangkah masuk kedalam warung dengan memangku Teh Euis.


Jauh didalam gelap, sepasang mata terus memperhatikan.


Didalam warung, ada sebuah bale-bale kecil beralaskan kasur busa lipat tipis yang dia beli di tukang perabot yang biasa berkeliling kampung seminggu sekali. Bayarnya dicicil sepuluh bulan.


Direbahkannya Teh Euis diatas kasur itu bersisian dengan Adang. Setelah Teh Euis rebah, Asep menarik lengan kirinya dari bawah kepala kakaknya itu, tetapi agak susah. Begitu pula lengan kanannya yang menyangga kaki Teh Euis di balik lututnya.



Asep tertegun.

Hawa dingin sekarang terpancar dari pusarnya ke seluruh tubuh.

Seluruh bagian tubuhnya sekarang kedinginan. Birahinya tiba-tiba terbangkit, menagih kehangatan perempuan.


Oh Gusti..... ini ilmu apa ? Seharusnya dia tak perlu mengikuti saran Pak Tua Kampung. Efek samping dari ilmu ini sungguh menyiksa.


Ditariknya lagi kedua lengannya hingga lepas dari bawah tubuh Teh Euis yang tak kunjung terbangun. Harum nafas Teh Euis sekarang tercium oleh hidungnya. Heran, indra penciumannya menjadi lebih tajam dan sensitif. Harum nafas Teh Euis membangkitkan birahinya lebih kuat lagi. Dipandangnya wajah Teh Euis yang tidur dengan tenang. Suatu rasa penasaran muncul pada dirinya. Dari jarak segini aja sudah tercium harum, bagaimana kalau dari dekat ?


Ah, itu dosa.


Tapi dorongan itu terasa semakin kuat. Asep sekarang merasa tak ada salahnya untuk sekedar menghirup nafas yang dikeluarkan Teh Euis. Bukan mau dicium bibirnya kok.


Asep memejamkan mata, Seketika itu juga indra penciumannya semakin tajam lagi membaui sebuah aroma yang manis lezat. Kelenjar air liurnya bekerja ekstra, dan Asep tak bisa lain kecuali menelan air liurnya.


Glek


Hidungnya menghirup aroma manis yang hangat itu, lalu perlahan mengikuti arah datangnya. Terasa semakin kuat membuai membuat lapar di seluruh syaraf. Tak disadarinya bahwa caranya membaui dan mengikuti aroma manis itu seperti anjing yang mendengus-dengus membaui aroma kelinci buruannya. Air liurnya turun semakin deras, dan berkali-kali dirinya menelan ludah. Yang ada di pikirannya saat ini hanyalah sumber dari aroma manis lezat itu.


Hidungnya menempel di bibir Teh Euis yang sedang terbuka.

Ya.... sumbernya dari nafas teteh.

Dia menghirupnya banyak-banyak seakan tak puas-puas. Aroma itu semakin tajam menggiurkan. Dari setiap hembusan nafasnya, Teh Euis mengeluarkan aroma manis beraneka macam. Seperti pelangi, aroma itu berupa campuran macam-macam aroma, dan dari semua aroma dasar yang membentuknya Asep dapat memilah-milah semuanya.


Ada satu aroma yang sangat halus, namun teramat sangat menggiurkan. Ia ingin menikmati aroma itu lebih banyak lagi.


Asep menghirupnya lagi, berusaha menentukan arah datangnya dari bagian tubuh yang mana. Hidung anjingnya terus mengikuti penuh nafsu, semakin tak sabar.


Ya, aroma itu sekarang makin kuat.....

Asep terus mengikutinya.

Semakin kuat lagi...


Dan Aroma paling mengggairahkan itu telah ia temukan sumbernya.

Asep membuka mata... nyalang penuh nafsu seperti anjing sedang kelaparan.


Baru disadarinya, tubuhnya sedang merunduk.

Pandangan pertama yang dilihatnya adalah.... ah.....


Asep sedang membaui sebuah gundukan indah bertutup kain halus dengan hiasan aneka renda berwarna hitam.


Ini....


Ini....


Asep terperangah tak percaya apa yang sedang dilakukannya.


Dia sedang menghirup-hirup membaui selangkangan Teh Euis yang terbuka. Kepalanya telah masuk ke balik daster yang dikenakan tetehnya itu. Kaki jenjang halus nan mulus itu terbuka lebar, pada pangkalnya berhias celana dalam hitam menutupi sebuah gundukan daging. Pada bagian tengahnya terlihat ada belahan yang nampak menggiurkan.


Melihat itu semua terpampang di pandangannya, akal sehat Asep buyar entah kemana. Hanya nafsu birahi yang menggelegaklah yang menguasai jiwa dan raganya.


Bagai serigala lapar menemu kelinci putih yang montok, Asep melajur nafsu yang dipendamnya. Hidungnya dia benamkan pada selangkangan Teh Euis yang belum juga bangun akibat Halimun Bajra yang tadi sempat datang. Lidahnya menjulur-julur menjilati belahan daging empuk yang hangat. Kehangatannya menjalar membuat panas sekujur tubuh Asep yang tadi sedingin es.


Hidungnya berpesta pora menghirup teguk demi teguk aroma yang teramat sangat menggairahkan. Asep semakin lupa daratan tempat dia menjejakkan kaki di bumi. Rasanya seperti di kahyangan.

Lidahnya tak puas menikmati celah hangat itu karena terhalang sepotong kain celana dalam berenda hitam. Dia menjulurkannya lebih panjang, menyelinap dari karet di samping celah surgawi itu.


Tepat ketika lidahnya menyelinap memasuki celah itu, suatu cairan berasa gurih yang memabukkan melumuri lidahnya.

Dia meneguknya

Dia menjilatnya

Dia ingin lebih banyak

Dia ingin masuk kesana

Lidahnya terjulur maksimal

Menjawil jawil celah itu hingga dalam.


Srigala dalam diri Asep semakin lapar.

Dan Asep menggigit daging empuk yang melingkupi celah itu.


Hap


"A'uzubillahiminassyaitooon."


Tubuh Asep mencelat dari selangkangan Teh Euis, terlempar hingga punggungnya menimpa lantai warung yang hanya berbentuk tanah keras.


Tubuh Teh Euis bergerak-gerak, menggeliat.


Serigala di tubuh Asep menguap, hilang entah kemana, meninggalkan Asep yang duduk di lantai tanah, ketakutan atas apa yang telah diperbuatnya.


Mata Teh Euis terbuka perlahan, lalu menggeliat lagi sambil menguap. Sedetik, mata Teh Euis menangkap sosok Asep yang sedang duduk di lantai tanah.


"Asep, lagi apa ?" Tanya Teh Euis sambil duduk.


"Eh.... ini teh.... " Asep tak mampu menjawab.


"Asep.... teteh barusan mimpi digigit anjing..... hiii... serem Sep." Teh Euis bergidik mengingat mimpinya barusan.


Ada rasa lega pada diri Asep, karena Teh Euis menyangka dirinya bermimpi.


"Kok teteh tidur disini ?" Teh Euis baru menyadari dirinya sudah berada di atas bale-bale didalam warung.


"Tadi teteh ketiduran susah dibangunin, jadi asep pangku kesini. Takut teteh kedinginan." Jawab Asep.


"Iiiih adik teteh baik bangeeeet." Teh Euis terharu, dia bangun dari tempatnya tidur untuk menghampiri Asep. Teh Euis lalu memegang lengan Asep dan memeluknya dengan bahagia.


Asep merasa begitu bersalah.



Bersambung lagi

**********
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd