Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Teh Euis (TAMAT)

menarik ceritanya
 
5. Membanding-banding

"Asep..... nebeng dong." Sebuah suara halus membuat Asep berpaling.

Tak jauh darinya yang sedang mengeluarkan motor dari parkiran sekolah, berdirilah seorang gadis berkulit hitam dengan hijab putih.

"Anah..... ?" sapa Asep ragu-ragu. Biasanya cewek-cewek di sekolah tak ada yang menyapa kecuali sedang butuh contekan. Dan saat ini mereka bukan sedang ulangan, melainkan sedang akan pulang ke rumah masing-masing.

"Anna, Sep... bukan Anah." Cewek itu mengoreksi pengucapan Asep.

"Iya Anah... ada apa ?" Tanya Asep sambil menyelah sepeda motor punya Kang Oman yang tiap hari sekarang dia pakai ke sekolah.

"Ih si Asep mah.... bukan Anah atuh tapi Anna." Cewek itu cemberut. Asep tertawa, susah sekali menghilangkan logat Sunda-nya yang kental.

"Iya Anah..... aya naon ?" Sekali lagi Asep nanya padahal di awal tadi juga Anna langsung bilang kalau dia mau nebeng.

"Nebeng....." Si Anna kembali meminta untuk ikut. "Udah sore nih, rumah lu di Pasir Lenyap kan ? Kita satu kampung."

Di kampung, rata-rata orang tidak menggunakan lu atau gua sebagai panggilan. Katanya sih itu kasar dan tidak sopan. Jadi ucapan Anna yang menggunakan kata tersebut terasa tidak nyaman di kuping Asep.

"Oooh gitu ?" Seakan si Asep baru tahu, padahal dia sering melihat si Anna di Pasir Lenyap tetapi tak pernah menyapa. "Hayu atuh naek."

Anna menghampiri lalu menaikkan rok abu-abu nya yang sepanjang mata kaki hingga kakinya dari lutut sampai mata kaki terbuka. Tanpa kesulitan dia naik ke boncengan.

"Duduknya masa kaya laki-laki." Asep mengomentari karena duduk seperti itu tidak sesuai dengan adat budaya Pasir Lenyap.

"Ah.... bawel.... hayo maju...." Anna tak perduli.

Si Anna ini gimana sih, nanti kalo mereka diomelin para tetua di kampung kan bisa berabe.

"Wit-wiw...... bobogohan euy....." Sebuah suara terdengar dari belakangnya, meledeknya berpacaran.

"Ah, Atoy.... bukan pacaran ini mah cuma pulang bareng." Jawab Asep menyadari bahwa sobat karibnya yang meledek.

"Emang lu ga mau pacaran sama gua ?" Pertanyaan Anna mengagetkan Asep.

"Bukan begitu..... tapi..." Jawaban Asep tak selesai karena ditimpas oleh Anna.

"Ah sombong lu mah Sep, sok alim." Katanya.

"Sep... nanti sore saya main ke rumah kamu ya." Kata Atoy.

"Jangan Toy, saya mau ada acara di Bale Gede sama bapak-bapak." Asep mengingat bahwa malam itu dia ikut diundang oleh para tetua untuk ikut rembukan di Bale Gede.

"Kamu mah susah diajak main sekarang teh." Atoy menggerutu karena sejak Asep pindah ke Pasir Lenyap makin susah untuk diajak main dan nongkrong. Dulu aja susah, apalagi sekarang.

"Sori Toy, saya jalan dulu." Asep melaju meninggalkan Atoy sambil membonceng seorang cewekdi motornya.

Bremmmmmm

Dudududududududud......

"Asep, lu udah punya pacar ?" Tanya Anna di pertenggahan jalan pulang. Asep tak terlalu mendengar karena suara motornya yang berisik ditambah suara angin yang berkesiur kencang. Dipelankannya sedikit motor tua itu.

"Hah ? apaaaa ?" Tanya Asep setengah berteriak.

Sadar bahwa suaranya tidak terlalu terdengar oleh Asep, maka Anna mendekatkan wajahnya ke telinga Asep yang naik motor tanpa helm. Maklum di kampung, tidak ada petugas lalu lintas yang bisa nilang.

"Lu udah punya pacar belum ?" Suara Anna lebih kencang dari yang tadi, tapi masih belum terdengar juga oleh Asep.

"Apaaa ?"

"Ih kamu mah budeg. Ngga jadi lah nanya-nya." Anna kesal.

"Ngga jelas tau." Kata Asep.

Anna merapatkan tubuhnya ke punggung Asep, bibirnya nyaris nempel ke kupingnya.

"Lu udah ada pacar ?" Pertanyaan Anna sekarang terdengar jelas oleh Asep tetapi otaknya tak mampu berjalan karena di punggungnya telah bersarang dua gumpal daging kenyal yang hangat. Si Anna pake beha apa nggak sih ? Kok berasa banget. Tapi kalau ukuran besarnya kayanya jauh lebih besar punya Teh Yati, Asep membuat perbandingan didalam otaknya. Punya Teh Yati itu emh nyoy nyoy bulat penuh, tapi kalau punya si Anah mah kayanya sekepalan tangan doang. Tapi biarpun kecil ternyata enak juga dan bikin jantung berdesir-desir.

Keplak.

Anna mengeplak kepala Asep.

"Belum punya pacar." Jawab Asep yang disadarkan oleh keplakan tangan Anna di kepalanya.

Tapi Anna sudah malas ngobrol lagi karena ngobrol dengan posisi berboncengan dengan orang budeg sungguh tidak nyaman.

Motor terus merayap tak terlalu kencang di tanjakan. Gigi dua motor tua itu tak sanggup lagi berjalan, dan Asep memindahkannya ke gigi satu. Motor langsung melonjak, dan gumpalan daging empuk di dada Anah menempel erat di punggung Asep.

Lamunan Asep kembali melayang ke Teh Yati, terutama ke pantatnya yang membulat. Apa yang dirasakan Hansip Ajum waktu..... waktu.....

Asep tak sanggup menyebutkan perbuatan itu walaupun hanya dalam hati. Takut dosa.

Haduuh.... kenapa aku jadi begini ?

Tanjakan didepannya kali ini tak begitu tajam, Asep memindahkan motornya ke gigi dua lagi. Dada yanti menjauh dari punggungnya. Sejenak ada rasa lega, sejenak lagi ada rasa penasaran yang nagih.

Asep memindahkan lagi ke gigi satu. Motor itu merandeg, dan dada kecil namun kenyal itu nempel lagi di punggungnya. Gimana rasanya memegang dada perempuan ya ?

"Asep, gigi satu melulu !" Protes Anah, dan Asep segera ngacir pindah ke gigi dua dilanjut ke gigi tiga. Berikutnya Asep tak mengulangi lagi pindah-pindah gigi, takut disadari oleh Ana.

Motor memasuki kampung Pasir Lenyap dengan kecepatan tinggi.

"Belok kiri di depan." Anna memberi petunjuk, dan Asep nurut.

"Besok bareng lagi nggga ?" Tanya Asep penuh harap.

"Belok kanan, terus lurus." Jawab Anah. "Boleh dong nebeng lagi pagi-pagi."

"Belok kiri Sep." Dan Asep kembali belok kiri.

Ketika motor belok ke kiri, sekitar 50 meter di depannya ada sebuah rumah panggung. Seorang lelaki tua berbaju dan celana hijau sedang duduk di bangku kayu. Hati Asep mendadak ciut.

Wak Hansip Ajum, pikirnya.

Ah, aku pura-pura nggak liat aja. Batin Asep.

Asep ngegas motornya, tetapi ditowel Anah di pinggangnya.

"Berenti disitu Sep." Katanya menunjuk ke rumah panggung yang ada Wak Hansip Ajum.

"Rumah gua disitu." Sambungnya memberi tahu.

Aduuh... apakah..... ?

"Tuh bokap gua Sep." Tunjuk Anah pada Hansip Ajum.

Mampus .....

Hati Asep tagiwur berkesiuran ngga jelas.

Motor berhenti di depan Hansip Ajum yang langsung berdiri dari duduknya. Pandangannya lekat pada Asep, setengah melotot.

Anah turun dari boncengan lalu merapikan roknya agar turun kebawah menutupi seluruh kakinya.

"Assalamu'alaikum." Anah menghampiri Hansip Ajum lalu salim. Mata Hansip Ajum tetap tertuju pada Asep yang gugup.

"Lain kali duduk di motor yang bener, Anah." Kata Hansip Ajum galak. Anna tak menjawab bapaknya.

"Besok pagi jemput ya Sep." Anna malah berbalik ke Asep dan memintanya untuk menjemput ke sekolah besok pagi.

Asep tak menjawab, melainkan langsung ngacir ngegas motornya meninggalakan Anna yang bengong dan bapaknya yang masih melotot.

Hatinya bimbang, apakah besok mendingan pergi sendiri aja ke sekolah tanpa menjemput Anah ?


**********


Bale Gede di Kampung Pasir Lenyap tengah ramai malam itu, tepat pada bulan purnama. Seperti biasanya setiap bulan purnama para tetua kampung selalu berkumpul disana untuk membicarakan berbagai hal. Kali ini yang berkumpul bukan hanya para tetua tetapi beberapa pemuda dan gadis-gadis sepantaran Asep berkumpul juga. Beberapa telah Asep kenal, tapi beberapa yang lain tak pernah dijumpainya. Termasuk seorang cewek berambut kecoklatan karena di-cat, tak pernah ia kenal sebelumnya.

"Enok." Kata cewek itu seraya menjulurkan telapak tangan untuk mengajak berkenalan dengan Asep.

"Asep." Jawabnya sambil menyambut tangan Neng Enok. Mata Asep sekarang melakukan scanning dari atas rambut hingga telapak kaki Neng Enok. Mau tidak mau Asep membuat perbandingan.

Hmm... yang ini dadanya lumayan besar walau tidak sebesar Teh Yati. Tapi masih lebih besar dari dada Anah yang cuman sekepalan tangan. Rambutnya yang dicat coklat menunjukkan bahwa Neng Enok sudah terseret arus modernisasi. Barangkali dia sering ke kota.

"Eh... bengong aja." Kata Enok, membuat Asep tersenyum malu.

"Maaf, ngga pernah liat teteh." Jawab Asep yang menduga bahwa Neng Enok berusia diatasnya sehingga dia harus menyebutnya teteh.

"Iya, teteh kuliah di Bandung. Kesini paling seminggu atau dua minggu sekali." Cewek yang tidak cantik namun berbodi aduhai itu menjawab.

"Oooh.... mahasiswi...." Asep manggut-manggut. Pantesan itunya lebih besar.

Duh gusti.... kenapa aku jadi berfikir kesitu terus ?

Asep membatin.

"Abah bilang katanya nanti kamu jadi ketua pengurus Camping Ground, Sep ?" Tanya Enok.

Oooh... Neng Enok ini anaknya Pak Tua Kampung.

"Iya teh... katanya karena saya giat di Pramuka jadi tau seluk beluk perkempingan." Asep menjawab lebih sopan mengingat Neng Enok adalah anak Pak Tua Kampung yang sangat dihormati.

"Jadi minggu depan, temen-temen teteh yang pertama kesini. Tolong disiapin ya Sep jangan bikin malu kampung kita."

Neng Enok meninggalkan Asep yang sibuk menyusun persiapan pembukaan Camping Ground minggu depan. Tetapi mata Asep sempat menjalar ke bagian belakang Neng Enok yang bergoyang lembut ke kiri ke kanan bagai cendol.

Asep heran akan dirinya, kenapa sekarang begitu memperhatikan setiap wanita yang dilihatnya. Dan setiap memandang dada, pantat, atau paha perempuan dia selalu membanding-bandingkan semuanya. Terkadang fikiran itu tak sanggup ditahannya walaupun dia teringat akan dosa. Beberapa kali dia telah mengalami mimpi basah walaupun tak ingat rasanya, tetapi dia sangat ingat bagaimana susahnya membersihkan dan mencuci celananya yang penuh kerak.

Asep meneruskan mencatat kebutuhan barang-barang dan persiapan pembukaan Camping Ground sendirian. Para remaja lain sedang menikmati makanan kecil yang disuguhkan Mak Tua Kampung dan merokok. Di Pasir Lenyap ini seorang anak laki-laki bahkan dibolehkan merokok oleh orang tuanya di usia yang cukup muda.

"Sep." Sesosok lelaki tua bertubuh kurus duduk di depannya.

Wak Hansip Ajum !

Asep segera menghentikan kegiatannya dan dengan cemas menatap wajah Hansip Ajum yang galak.

"Gini Sep...." Hansip Ajum melanjutkan.

Aduh apa yang mau dibicarakan ? Hati Asep gelisah.

"Jangan deketin anak saya si Anah. Awas kalau kamu coba-coba deketin." Ancam Hansip Ajum.

Mulut Asep ternganga, bukan karena apa-apa. Melainkan karena dia tidak pernah merasa berusaha mendekati Anah. Bukankah sebaliknya Anah yang memulai ? Anah yang mulai mendekati dirinya. Lagipula apa untungnya dia mendekati Anah ? Dibandingkan dengan Teh Yati atau Neng Enok, dada Anah tidak ada setengahnya.

Gusti... kenapa di saat genting begini pikiranku masih terus mesum ? Asep berbicara dalam hatinya.

"Awas kamu, Sep." Hansip Ajum meninggalkannya melongo sendirian.


Bersambung
 
menarik ceritanya
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd