Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Teh Euis (TAMAT)

7. Mantra

Langit begitu indah karena malam itu bertepatan dengan siklus bulan mati. Tetapi malam tanpa bulan sesungguhnya menjadi lebih indah karena bintang bintang terlihat sangat jelas dari Pasir Lenyap Camping Ground.

Dua puluh orang mahasiswa begitu puas akan layanan yang disediakan oleh manajemen camping ground. Tempat yang sejuk, pemandangan yang indah dari atas bukit, fasilitas yang cukup baik, membuat semua bergembira.

"Iiih si Asep kemana aja dari sore ngga ada ? tadi kamu dicari sama Neng Enok." Kata Bi Epon sewaktu Asep lewat di warungnya.

Bi Epon adalah salah seorang penduduk yang diberikan ijin untuk berjualan di warung camping ground. Jualannya sederhana saja yaitu kopi dan mi instan. Kebetulan jualan dua hal tersebut modalnya tidak banyak dan sudah pasti menjadi favorit para pengunjung.

"Asep tadi menjelang magrib pulang dulu ke rumah, bi"

"Kamu solat magrib di rumah ? kan disini juga ada musholla atuh Sep."

Bi Epon menuangkan air panas ke gelas yang sudah berisi serbuk kopi, mengoceknya lalu memberikannya pada dua orang mahasiswa yang duduk menunggu.

"Saya teh nengok dulu si Adang sama Teh Euis, takutnya mereka ada perlu apa-apa. Sekalian aja solat magrib sama isya."

"Kamu teh anak baik ya Sep. Untuuung si Euis mah punya adik seperti kamu."

"Udah pinter di sekolah, rajin ngebantu, penuh tanggung jawab."

"Da si Ujang mah anak bibi kerjaannya momotoraaan aja."

Bi Epon memuji Asep setinggi langit sampai Asep merasa malu dipuji seperti itu. Dua mahasiswa yang sedang ngopi tersenyum kepadanya. Asep membalas senyumannya.

"Asep, tadi Enok nyari kamu katanya mau nyalain api unggun, tapi kayu bakarnya ngga ada." Kata salah satu dari mahasiswa itu.

"Oh gitu ? Aa udah minta kayu nya ke Pak Ajum belum ?"

Asep agak heran karena sebetulnya urusan pengadaan kayu bakar untuk api unggun adalah tanggung jawab Hansip Ajum. Seharusnya ditanyakan ke dia.

"Pak Ajum teh yang mana Sep ?" Mahasiswa itu bertanya lagi.

"Itu A, yang tugas jaga di pos masuk."

Urusan kayu bakar memang diserahkan ke Hansip Ajum karena termasuk barang berbahaya. Kalau sembarangan menyalakan api unggun, bisa terjadi kebakaran hutan. Jadi segala sesuatu yang terkait keamanan memang urusan Hansip Ajum.

"Dari sore juga ngga ada di pos eta si Hansip teh, Sep. Paling juga pergi ke istri ketiga-nya" Bi Epon memberi keterangan.

"Istri ketiga ?" Asep baru tahu kalau Hansip Ajum punya istri banyak.

"Ih si Hansip mah udah tua begitu juga masih doyan Sep.... hahaha." Bi Epon tertawa.

"Epon ! Ngomong apa kamu ?" Tidak disangka oleb semua ternyata Hansip Ajum muncul dari gelapnya pepohonan secara tiba-tiba.

"Jangan suuzon, saya tadi sore ngambil kayu bakar dulu di hutan." Hansip Ajum datang sambil menjinjing dua ikat kayu bakar.

Bi Epon langsung berhenti tertawanya, pura-pura membersihkan meja warung.

"Heh ini, sekarang kalian bawa kayunya. Bisa menyalakan sendiri ?" Tanya Hansip Ajum sewaktu mengasongkan kayu bakar ke dua mahasiswa tadi.

"Bisa Pak." Mereka menghentikan minum kopi-nya padahal belum habis.

"Asep, kamu udah kasih tau mereka mengenai batasan acara besok ke air terjun Curug Panganten ?" Hansip Ajum sekarang bertanya ke Asep.

"Belum wak."

"Kamu ini gimana sih ? jadi pengurus tempat ini harusnya kasih tau hal penting seperti itu. Kalau sampai terjadi hal yang tidak diinginkan........ kamu yang tanggung jawab." Hansip Ajum seakan menunjukkan pada para mahasiswa itu bahwa dia lebih berkuasa dari Asep.

"Ehhh..... batasan apa ya pak ?" Dua mahasiswa itu heran.

"Dilarang kesana melebihi waktu azan ashar. Orang sini percaya kalau Curug Panganten adalah tempat Sandikala turun menjelang sore."

Asep sebetulnya enggan menjelaskan itu karena dia sebetulnya kurang percaya legenda setempat tentang Curug Panganten. Tapi dia diam saja.

"Ya sudah, kalian ingat itu. Sekarang saya mau ke pos jaga lagi." Dengan ucapan itu Hansip Ajum berbalik meninggalkan mereka semua.

"Bi, bikin mi goreng satu. "
Asep yang tadi di rumah belum sempat makan memesan mi pada Bi Epon sambil duduk di bangku kayu.

"Aa perlu saya bantu nyalain api unggun ?" tanyanya pada dua orang yang mulai mengangkat kayu bakar.

"Ah ngga usah Sep, kita juga bisa lah." Kata mereka.

Tetapi mereka salah sangka. Dipikirnya menyalakan api unggun itu gampang. Buktinya setengah jam kemudian api unggun tidak bisa nyala juga. Mereka malah balik ke warung Bi Epon dengan tergesa-gesa disertai Enok.

"Bii..... ada jual salep ?" Enok langsung masuk ke warung Bi Epon sementara yang dua orang di belakangnya meringis-ringis.

"Ada apa Neng ? Itu si Aa kenapa ?" Bi Epon bukannya menjawab malah balik bertanya.

"Itu tadi mereka kesulitan nyalain kayu bakar, terus mereka siram pakai hand sanitizer biar cepet nyala, eh malahan tangan mereka yang terbakar."

"Euuuh... gimana atuh, ngga ada obat-obatan di warung sini mah." Bi Epon jadi panik.

"Sep, gimana dong, kamu ngga nyiapin obat buat kelengkapan P3K disini ?" Nada bicara Enok sedikit menyalahkan Asep.

Asep memang melupakan P3K, dia jadi merasa bersalah. Pandangannya terarah pada dua mahasiswa yang meringis ringis terbakar tangannya.

"Aduuuuh.... panas Nok.... ngga kuat..." Mereka mengeluh dengan tangan memerah.

Asep terus memandang mereka, seperti sedang mencari akal.

"Bi.... minta air segelas." Kata Asep dengan tiba-tiba.

"Buat apa Sep ?"

"Cepetan Bi." Asep memaksa tanpa menerangkan untuk apa.

Bi Epon memberikan segelas air putih pada Asep.

"Aa.... saya mohon maaf, coba sini tangannya yang terbakar." Asep menghampiri mereka.

Dua mahasiswa yang sedang kepanasan itu pasrah saja mengulurkan tangan mereka yang merah terbakar.

"Punten ya Aa." Kata Asep.

Tak dinyana, Asep memejamkan mata sambil mendekatkan segelas air putih ke mulutnya, bibirnya mengucapkan sesuatu dalam bahasa Sunda.

pun.... sapun....
tutung tutung ulah kembung
dijampe ku eneng-eneng
disieup ku lancah maung
reuuup...
reuuup...

reuuuuuuup

Asep lalu menyiramkan air putih itu ke tangan mereka yang terbakar.

"Aduuuuuuh..... Sep.... perih..."

Asep tak menggubris keluhan mereka, malah terus menyiram sampai rata. Setelah itu dia memandang mereka dan bertanya.

"Masih perih A ?"

Dua mahasiswa itu saling pandang, lalu menggelengkan kepala.

"Masih panas ?"

Mereka diam merasakan, saling pandang lagi, lalu melihat dengan takjub pada Asep.

"Gimana A, masih panas ?" Tanya Asep sekali lagi.

Dua mahasiswa itu menggelengkan kepala dengan perlahan.

"Asep... kamu belajar ilmu karuhun dari siapa ?" Tanya Bi Epon dan Enok berbarengan.

Asep nyengir.
"Dari abah".


**********

Bintang terlihat semakin jelas ketika api unggun telah mengecil. Tetapi tak ada yang menaruh perhatian pada bintang di langit. Kecuali Asep dan Enok yang saat itu duduk berdampingan di rumput.

"Tuh itu Betelgeuse." Asep menunjuk pada sebuah bintang terang berwarna kemerahan.

"Tau dari mana kamu ?" Enok minyinggungkan bahu nya ke bahu Asep.

"Dari buku di perpustakaan." Jawab Asep ringan. Dia memang hobi membaca.

"Kalau Bimasakti yang mana Sep ?" Enok penasaran sering mendengar nama Bimasakti tanpa pernah tahu yang mana bintangnya.

"Beneran mau lihat ?" Tanya Asep sambil tersenyum.

"Ho'oh." Enok mengangguk penasaran.

"Jangan disini......" Asep bangkit dari duduknya.

"Eh kemana Sep ?" Enok juga berdiri.

"Yuk ikut...." Asep berjalan menjauh, Enok mengikuti.

Apa sih maunya si Asep ? ngajak kemana ?

Eh, malah ke tempat yang gelap.

Mau ngapain dia ?

Tapi Enok tetap mengikuti Asep menjauh dari perkemahan.

Hmmm..... aku pengen tau, si Asep punya niat apa.

Setelah melewati pepohonan besar, di sebuah sabana kecil Asep berhenti. Enok juga berhenti.

"Sini." Kata Asep.

Enok degdegan, mendekat ke Asep. Mereka berhadapan, dekat sekali.

Suara hutan terdengar menyeramkan. Serangga malam bersahut-sahutan. Di kejauhan terdengar suara air terjun Curug Panganten samar-samar.

Enok menunggu, matanya sayu. Dia dapat merasakan pancaran kehangatan dari tubuh Asep.

"Liat ke atas." Bisik Asep.

Enok tambah deg-degan. Ditengadahkannya wajahnya yang memerah padam, matanya terpejam, bibirnya sedikit terbuka.

Enok menunggu.

Dan menunggu.

"Ngapain tutup mata segala ! Coba liat keatas." Asep menertawakannya.

Enok membuka matanya, dan..... takjub atas apa yang dilihatnya.


"Bimasakti seperti selaput awan yang memenuhi langit malam, tetapi cahayanya sangat lemah. Harus dilihat di tempat yang sangat gelap seperti ini." Asep menggurui Enok yang masih takjub melihat langit malam.

"Indah banget...... kamu romantis banget..... Sep."


Terbawa suasana,, Enok tanpa sadar melihat ke langit sambil tubuhnya terus mendekat... mendekat... terus mendekati Asep sampai akhirnya...

Dua benda hangat nan empuk menyentuh dada Asep.

Duh... apa ini..... kenyaaaal.....

Asep menelan ludah dan melihat ke arah dada Enok yang rapat di dadanya.

Gusti.... itu.....

Mata Asep melotot karena dari posisinya sekarang dia dapat mengintip buah dada Enok.

Gedeeeee ....

Sesuatu dalam diri Asep jadi menggeliat, dan jantung Asep berdetak dengan sangat cepat.

Kehangatan terpancar dari tubuh masing-masing. Asep diam tak bergerak dengan nafas tiba-tiba menjadi berat.

Ini si Teh Enok kenapa ? Cuma diajarin cara ngeliat Bimasakti aja kok jadi aneh banget sikapnya ?

Enok adalah mahasiswi yang mengikuti trend. Biarpun tidak cantik tetapi karena modis dan pandai make-up maka Enok terlihat sangat menarik.

Entah siapa yang memulai.
Bibir mereka bertemu.

Tak ada lagi yang memperhatikan Betelgeuse. Tak ada lagi yang perduli Bimasakti.

Dua bibir saling merapat.
Buat Asep, ini adalah ciuman pertamanya. Buat Enok ? entah ciuman ke berapa ribu kali. Selama kuliah di Bandung dia sudah berpengalaman gonta-ganti pacar. Tentu pacaran gaya mahasiswi bukan cuma sekedar berpegangan tangan.

Asep seakan diajari cara berciuman. Dari awalnya diam saja menikmati hangat manisnya bibir perempuan, Asep akhirnya mengikuti apa yang Enok lakukan.

Lembutnya bibir Enok yang ranum serta basah dikecupnya seperti dicontohkan Enok yang berpengalaman.

Lidahnya mengikuti ajaran lidah Enok yang menelusup saling berkait.

Nafas Enok tercium sangat harum menggairahkan.

Tangan Enok yang halus meremas tangannya lalu menariknya, mengarahkan ke sebuah benda yang begitu kenyal. Asep mengikuti arahan Enok, jemarinya meremas dada kenyal yang montok.

Ya Tuhan......
Asep membatin.

Luar biasa nyamannya meremas dada perempuan walaupun hanya dari luar baju.

Tubuh Asep menggigil.

Bahkan apa yang Enok lakukan berikutnya membuat dirinya semakin menggigil. Tak pernah dibayangkannya bahwa seorang mahasiswi tengah menuntun tangannya masuk kedalam baju. Kedalam beha.

Telapak tangannya yang gemetar merasakan permukaan kulit yang begitu halus. Tangan Enok terus menuntunnya masuk lebihd alam.

Kenyal.
Hangat.

Terus masuk lebih dalam lagi sampai seluruh dada kenyal itu berada dalam genggamannya.

Asep menjadi murid yang penurut. Dia tak ingat lagi petuah abah, dia tak peduli lagi urusan kemping, dia tak sadar akan sekeliling.

Sekeliling mereka telah berubah.

Asep membuka mata, karena Enok melepaskan ciumannya yang panas. Di hadapannya, Enok melihat ke kanan dan kiri.

"Sep.... dingin ngga ?" Enok berbisik.

Baru sekarang Asep sadar bahwa udara terasa amat dingin, bahkan tubuhnya menggigil.

"Sep.... liat Sep......" Suara Enok lirih.

Asep melihat ke sekeliling, tak terlihat apapun. Iya betul, tak ada yang bisa dilihat lagi karena sekeliling mereka telah pekat oleh halimun putih yang begitu dingin.

Sesuatu dalam diri Asep berdentang-dentang.

Ini bukan halimun biasa.

"Ini........" Kata Asep.

"Halimun Bajra !" Lanjut Enok.

Mereka bergerak cepat saling melepas pelukan dan seketika berlari ke area perkemahan.


Penduduk Pasir Lenyap tahu, halimun bajra adalah sesuatu yang berbahaya. Jenis kabut yang satu ini sangat jarang muncul, tetapi sekalinya datang biasanya tanaman sayuran mereka akan mati karena halimun bajra membawa udara yang teramat dingin hingga embun akan menjadi butir es.

Dan anehnya halimun bajra yang datang di Kampung Pasir Lenyap selalu diikuti oleh desas-desus bahwa seorang perempuan akan digagahi. Masyarakat menduga, Sandikala lah mahluk yang melakukan perbuatan tersebut.

Tak pernah ada yang membicarakannya secara terbuka, tetapi sudah menjadi rahasia umum dan diceritakan dari mulut ke mulut.

Asep dan Enok terus berlari mendekati area perkemahan. Tetapi semakin dekat, tubuh mereka semakin terasa capek dan lemah. Mereka berlari semakin perlahan.

"Lemes, Sep." Enok berhenti lalu berlutut sambil nafasnya megap-megap.

"Lawan, teh." Gampang saja bilang pada Enok untuk melawan padahal dirinya sendiri juga sama.

Mereka berdua akhirnya memasuki area perkemahan dengan berjalan.

"Sep.... ngantuk." Enok berhenti lagi, tetapi Asep menyeretnya terus.

Area perkemahan pekat tertutup kabut, api unggun sudah padam tetapi bara dari arangnya sepertinya masih nyala karena di balik kabut yang pekat ada yang berpendar oranye.

Asep terus menyeret Enok yang berjalan dengan mata terpejam.

Kenapa begitu ngantuk ?
Kenapa begitu lemas ?

Asep teringat akan sesuatu, mulutnya komat-kamit mengucapkan jangjawokan, sejenis mantra sunda kuno.

pun, sapun....
ka nu di kaler
ka nu di kulon
ka nu di kidul
ka nu di wetan
ka aki nini buyut nu ngawangi

kula neda pangraksa

Mata Asep terbuka kembali, dan melanjutkan berjalan dengan perlahan. Enok rubuh di tanah dan tertidur.

Ini bukan halimun bajra alami.
Ini.... adalah efek ajian Halimun Bajra

Selintas mata Asep dapat menangkap bayangan sebuah tenda yang berpendar oleh cahaya dari lentera bertenaga baterai.
Itu.... tenda para mahasiswi.....

Asep makin mendekat ke tenda.
Matanya masih terbuka, melawan kantuk. Tetapi tenaganya makin lemah.

Sesaat sebelum jatuh terduduk di tanah, dapat terlihat bayangan sebuah sosok tengah bergerak perlahan didalam tenda.
Asep semakin lemah, ia tak mampu bergerak walaupun untuk ngerandang. Jadi dia hanya duduk sambil melihat bayangan itu terus bergerak perlahan.

Asep tau, bayangan itu sedang apa.

Bayangan itu sejenak berhenti, lalu bergetar.
"Nggghhhhh...." terdengar suara mengerang.

Asep terus melawan kantuk, dia ingin melihat sang Sandikala yang dibicarakan masyarakat.

Bayangan itu perlahan berdiri, lalu bergerak ke arah pintu tenda. Asep terus menunggu mahluk itu untuk keluar dari sana, dia ingin melihat bentuknya yang nyata.

Bayangan itu merunduk, lalu keluar.
Dalam wujud Hansip Ajum.

Asep tak sanggup lagi bertahan.
Jatuh tertidur.

Bersambung.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd