Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Teh Euis (TAMAT)

8. Curug Panganten


Rombongan peserta camping melanjutkan acara terakhir yaitu hiking ke Curug Panganten tanpa menyadari apa yang telah terjadi pada salah seorang dari mereka. Semua tidur nyenyak tanpa bisa dibangunkan hingga pagi. Hanya Asep yang mampu bangun terlebih dahulu tepat ketika Azan subuh berkumandang dari masjid di kampung.

Enok bangun tak lama setelah Asep selesai sholat subuh.

"Asep, kita harus bicara dengan abah saya."

Asep setuju, jika tempat camping ini ingin terus dibuka maka masalah-masalah yang terkait hal yang mendasar harus diselesaikan terlebih dahulu.

Dan setelah rombongan pulang, Enok dan Asep menghadap Pak Tua Kampung yang juga adalah bapak dari Enok.


Sang tetua manggut-manggut dengan alis mata berkerut saat mendengar penuturan Enok, anak perempuan bungsunya. Tanpa komentar, dia hanya beberapa kali bergumam.

"Ah...." Dan sang tetua terus mendengar cerita anaknya hingga selesai.


"Jadi gitu bah, Sandikala sudah mulai mencari korban lagi." Enok menutup kisahnya dengan suatu kesimpulan.

Jadi Teh Enok tidak tahu kalau yang disebut sebagai Sandikala sebenarnya adalah Hansip Ajum, begitu kesimpulan yang dibuat Asep di hatinya. Asep memutuskan untuk menyimpan rahasia bahwa Sandikala itu menyerupai Hansip Ajum.

Benarkah itu Sandikala yang menyerupai Hansip Ajum, atau sebenar-benarnya Hansip Ajum sendiri ? Asep belum dapat memastikan dan karena alasan itulah dia tidak ingin menceritakan apa yang dilihatnya.

"Abah heran, bagaimana kalian bisa tidak terlalu kena pengaruh Sandikala. Coba jelaskan."

Enok gugup, lalu melirik ke arah Asep yang duduk bersila memandang lantai papan.

"Saya sama Asep sedang melihat bintang di tegalan." Jawab Enok tanpa merinci apa yang tengah mereka lakukan selain melihat bintang.

Pak Tua Kampung berfikir keras.

"Mungkin karena jaraknya, membuat kalian hanya sedikit terpengaruh." Katanya.

"Terus bah, itu..... Asep sepertinya punya bekal." Ragu--ragu Enok melirik lagi ke arah Asep yang masih tetap menatap lantai papan.

"Bener, Sep ?" Tanya Pak Tua Kampung.

Asep tak tahu harus menjawab apa. Dia akhirnya hanya bilang "Ah, bukan apa-apa Pak Tua. Cuma sekedar jangjawokan yang diajarin abah."

"Siapa bapak kamu ?" Telisik sang tetua.

"Pak Suhida, dari kampung Pasir Munding." Jawab Asep.

Mata Pak Tua Kampung menerawang keatas.

"Kakek kamu ?" Dia terus menelusuri silsilah Asep.

"Aki Bayan." Sebuah nama yang Asep tak tahu nama lengkapnya.

Pak Tua Kampung menatap Asep dengan tajam.

"Bayan Natadikusuma ?"

Asep menggelengkan kepala. Tidak tahu nama lengkap aki-nya.

"Hanya ada satu Bayan yang saya kenal. Kalau memang benar, pantas saja kamu bisa bertahan cukup lama dari Halimun Bajra. Kakekmu pada zamannya adalah orang yang paling dihormati di seluruh wilayah Gunung Halimun."

Benarkah ? Asep tak pernah mendapat cerita itu dari abahnya.

"Didalam darah kamu mengalir darah jawara paling terhormat yang di akhir hidupnya mengucilkan diri."

Asep tak pernah mengira.

"Bukan hanya sekedar jawara, tapi dia masih teureuh." Lanjut Pak Tua.

Teureuh, artinya adalah keturunan. Biasanya jika disebutkan masih ada teureuh artinya masih keturunan penguasa Sunda di jaman Pajajaran.

Asep merasa bukan siapa-siapa, apalagi abahnya tak pernah berpesan apapun padanya.

"Asep, kamu sebagai ketua pengelola camping ground harus siap kalau Sandikala beraksi kembali" Nada suara Pak Tua terdengar memohon.

"Bagaimana caranya, Pak Tua ?"

"Halimun Bajra berasal dari Curug Panganten. Air terjun itu memang bukan sembarangan. Untuk dapat bertahan dari Halimun Bajra, kamu harus menyerap tenaga dari sumbernya."

Asep kaget, ia selama ini tak pernah mempelajari hal-hal semacam itu. Abah paling jauh hanya mengajarkan dirinya untuk merapal jampi-jampi sederhanya untuk penyembuhan.

"Kamu tidak perlu belajar, Sep. Darah teureuh yang mengalir dalam dirimu merupakan bekal dari leluhur seperti dijanjikan pesan wangsit karuhun."

"Yang perlu kamu lakukan adalah menyerap sumber Halimun Bajra dari Curug Panganten."

****************

Sore itu selepas Isya, Asep berjalan berdua dengan Pak Tua Kampung ke Curug Panganten. Sepanjang perjalanan di jalan setapak yang gelap dan berliku, Tua Kampung terus memberi wejangan dan peringatan.

"Halimun Bajra sungguh kuat, tetapi kamu harus lebih kuat. Bapa yakin kamu bisa bertahan dari efek samping tenaga Halimun Bajra."

"Apa itu efek sampingnya Pak Tua ?" Asep sedikit khawatir karena baru diberi tahu bahwa Halimun Bajra memiliki efek samping.

"Nanti kamu rasakan sendiri, Sep."

Demikianlah, tengah malam itu Asep nyebur tepat dibawah air terjun Curug Panganten yang menimpa tubuhnya dengan deras. Pak Tua merapalkan jampi-jampi pengantar ritual.

Tepat setelah Pak Tua merapal mantra, dari air yang terjun dengan deras terbentuklah kabut yang semakin lama semakin tebal. Kabut itu begitu dingin mengalahkan dinginnya air yang sedingin es. Tubuh Asep menggigil kencang, giginya bergemeletuk.

Kabut makin tebal hingga sekeliling mereka berdua hanya nampak putih. Perlahan dingin yang menusuki sampai ke tulang sumsum Asep berubah menjadi sejuk.

Tubuh Asep yang gemetaran sekarang menjadi tenang. Akhirnya kabut dingin itu menjadi hangat di tubuhnya.

"Bukan Halimun ini yang menjadi hangat, tetapi tubuh kamu yang telah beradaptasi dengan dinginnya halimun. Kamu beruntung masih ada teureuh, ada keturunan, Sep." Jelas Pak Tua.

Di perjalanan pulang, Pak Tua berpesan lagi.

"Hati-hati dengan efek sampingnya, Sep."

"Apa itu Pak tua ?"

Sejenak Pak Tua berhenti di persimpangan jalan. Dia lalu berkata :

"Halimun Bajra yang sudah masuk di tubuhmu akan mencari kehangatan." Jelas Pak Tua.

Di persimpagan itu Asep berpisah dengan Pak Tua yang sekali lagi berpesan pada Asep untuk menguatkan diri.

Sepanjang melangkah menuju rumah, Asep memikirkan Hansip Ajum yang menghilang entah kemana. Mungkin ke istri ketiganya di kampung lain, atau bahkan mungkin di istri keempatnya.

Rumah telah gelap dan Asep berhati-hati masuk agar tak membangunkan yang sedang tidur.

"Asep.... dari mana aja kamu jam dua malem baru pulang ?" Ternyata Teh Euis belum tidur.

"Diskusi sama Pak Tua Kampung, teh." Asep tidak berbohong karena berbohong itu melanggar sumpah pramuka yang diyakininya.

"Teteh pengen curhat, Sep. Tapi kamu ngantuk nggak ?"

Didalam rumah kenapa terasa lebih dingin daripada diluar ? Pori-pori di sekujur tubuh Asep memucuk.

"Sep, sepertinya teteh harus berusaha cari uang sendiri sampai Kang Oman pulang."

Asep belum menjawab karena dia sedang berangsur-angsur merasa lebih dingin.
Apakah ini yang dimaksud Pak Tua ?
Aku akan butuh kehangatan.

"Menurut kamu gimana kalau teteh buka warung di tempat camping Sep ?"

Tubuh Asep mulai menggigil.

"Sep ?"

"Iya teh, masih ada satu warung yang belum terisi dan Asep bisa bicarain dengan Pak Tua."

"Syukurlah kalau begitu, mudah-mudahan disetujui ya."

Teh Euis mulai mengutarakan rencananya berjualan. Asep mendengarkan tetapi perhatiannya bukan pada apa yang dibicarakan kakaknya itu.

Asep terpikat oleh cantiknya Teh Euis yang semakin disadarinya baru-baru ini.

Nampak Teh Euis tersenyum penuh harapan. Kenapa Teh Euis jadi tambah cantik ya ?

Kulit pipinya nampak hangat kemerahan. Mata Teh Euis memang indah dengan pupil yang lebar hitam. Bulu matanya juga begitu lentik dan panjang.

Apalagi bibirnya yang terlihat penuh dan basah. Bibir Enok saja kalah indah.

Jadi ingat kemarin malam waktu bibirnya bertemu dengan bibir Enok yang empuk. Pasti bibir Teh Euis lebih nikmat kalau dikecup.

Dingin sekali udara.Brrr... Asep menggigil.

Tubuh Teh Euis langsing dengan perut rata, tetapi dadanya..... besar menggelayut indah. Ah, apakah Teh Euis tidak mengenakan beha ?

Hmm.. iya... nampak dari dua buah titik yang agak menonjol di pucuk dadanya. Besarnya mungkin sama dengan Enok tetapi tidak ngondoy padahal sudah pernah menyusui Adang. Bagaimana rasanya menyusu pada puting Teh Euis ?

"Sep....."

"Asep.... !"

"Bengong aja.... bosen ya dengerin teteh ?"

Asep terperanjat, baru ia sadar kalau Teh Euis dari tadi mengajaknya bicara.

"Ya udah, teteh tidur dulu ya. Kamu kayanya cape sekali. Sekarang udah hampir jam tiga."

Teh Euis berdiri dari duduknya. Bagian bawah dasternya yang bergambar spongebob tersingkap.

Asep tambah gemetaran melihat paha Teh Euis yang putih agak pink pertanda kulit yang sehat dengan aliran darah yang lancar.

Teh Euis berdiri lalu meninggalkannya. Mata Asep nyalang melihat goyangan pantat Teh Euis. Kehangatan terpancar dari sana. Samar-samar terlihat garis celana dalamnya.

Aku butuh kehangatan.

"Istirahat Sep, besok teteh curhat lagi ya."

Mata Asep terus mengikuti Teh Euis sampai masuk kedalam kamar, hilang di balik gordeng.

Tubuh Asep menggigil luar biasa.

Mungkin ini yang disebut Pak Tua bahwa aku akan butuh kehangatan. Dan saat itu dirasanya sesuatu didalam celana begitu tegang sampai-sampai sakit terjepit oleh ketatnya celana. Kejantanannya terasa amat gatal ingin diremas

Aku harus menahannya, batin Asep.

Tak kuat oleh rasa dingin, dia segera berbaring ke kasur busanya di sudut ruangan. Sarung dan dua selimut tipis ditarik hingga menutupi seluruh tubuh sampai kepala.

Rasa dingin malah menjadi-jadi. Tubuhnya meringkuk berusaha menghangatkan sendiri. Giginya bergemeletukan tanpa bisa ditahan. Anehnya disaat tubuhnya terasa beku kedinginan, birahinya memuncak. Sesuatu di selangkangannya begitu ingin ditekan ke sesuatu.
Naluri birahi yang tiba tiba datang itu membuat dirinya memeluk guling dengan sangat erat dan Asep mengerang.

"Sep..... kamu kenapa ?" Terdengar suara Teh Euis dari kamar.

"A ... a... a...." Hanya itu yang bisa keluar dari mulutnya. Dia tak mampu mengontrol tubuhnya walaupun untuk sekedar bicara.

"Asep... !" Suara Teh Euis cukup keras memanggil.

"A.......... a........" Tubuh Asep makin gigil.

Gordeng kamar terbuka dan Teh Euis keluar lagi dari kamar lalu menghampiri.

"Asep.... sakit ?"

Tangan Teh Euis menarik selimut yang menutupi kepala Asep. Terlihat wajah Asep pucat dengan bibir membiru.

"Aduuuh.... Asep.... kamu kedinginan. Tunggu sebentar." Kakaknya dengan bergegas masuk ke kamar dan membawa selembar selimut miliknya.

"Pake selimut teteh juga, Sep." Kehawatiran tergambar di wajahnya. dia menyelimuti tubuh Asep.

"Masih dingin ?"

"A.... a..... " Asep akhirnya hanya bisa mengangguk.

"Sebentar teteh buatin kompres hangat." Teh Euis segera ke dapur menjerang air. Asep sudah tak tahan. Dia baru tahu bahwa resiko menyerap tenaga Halimun Bajra demikian menyksa. Seluruh tubyh dari kepala sampai kaki terasa beku.

Teringat akan ajaran dari abah, dirinya berusaha membaca mantra Panyinglar
"Ka.... k .... k.... ka...." Bibirnya berusaha mengucapkan jampe untuk menyembuhkan, tetapi mulutnya tak mampu disuruh bicara. Hanya gemetaran saja.

Teh Euis menghampiri lagi dengan dua buah botol bekas sirup yang telah diisi air panas. Diselipkannya di samping kiri dan kanan Asep.

"Terlalu panas ngga, Sep ?"

Aduuuh.... Teh Euis dalam keadaan khawatir begitu kenapa tambah cantik saja ? Bahkan saat Teh Euis berbicara Asep dapat mencium harum nafasnya walau dari jarak satu meter. Ingin asep menerkam Teh Euis dan menghirup dalam dalam keharuman nafas di bibirnya

Botol air panas yang sekarang dipeluknya tak berasa apa-apa, seperti air biasa saja tak ada kehangatan.

"Sep... teteh harus gimana ? Kamu udah pakai selimut tiga lapis, udah pake kompres botol panas, kok masih kedinginan juga ?" Pandangan mata Teh Euis berkeliling seluruh ruangan, mencari-cari sesuatu yang bisa menghangatkan Asep.

"Kamu sebetulnya tadi dari mana..... ? Jujur Sep, Kok tiba-tiba jadi sakit Sep ?"

Tangan Teh Euis terulur, menyentuh kening Asep untuk memeriksa demamnya.

Ah..... tangan Teh Euis kenapa terasa hangat? Padahal sebotol air yang panas malah tak terasa apa-apa. Kehangatan dari telapak tangan Teh Euis terasa nyaman.

Apakah..... apakah.....
Otak Asep yang beku berusaha berfikir keras.

Apakah dinginnya Halimun Bajra membutuhkan kehangatan dari...... perempuan ?

Tangan Teh Euis masih menempel merasakan suhu tubuh Asep yang dingin seperti orang mati.

Asep menggerakkan tangannya, berusaha sekuatnya agar bisa menyentuh tangan Teh Euis yang hangat.

Aaah.... ya.... tangan Teh Euis hangat.

Jemari Asep meremas tangah Teh Euis yang masih menempel di keningnya. Dengan kedua tangan ditariknya tangan Teh Euis hingga tubuh Teh Euis tertarik merunduk ke arahnya.Kasur busa yang digunakan Asep untuk tidur hanya digelar saja diatas lantai papan. Jadi posisi Teh Euis saat itu berlutut di samping pinggang Asep dengan kepala merunduk kearah dada Asep.

Dari tubuh Teh Euis yang masih berjarak tiga puluh senti, Asep sudah dapat merasakan kehangatan memancar dan mengalir ke tubuhnya sendiri.

"A..... sep.... kedi...nginan... Teh...."

Kehangatan yang terpancar dari tubuh Teh Euis bahkan telah membuatnya dapat berbicara walau terbata-bata.

"Mau ditambah kompres botol panasnya Sep ?" Tanya Teh Euis begitu dekat di wajahnya. Sesuatu di tubuh Asep mendesaknya untuk menggumuli perempuan cantik didepannya. Dia bertahan sekuat tenaga untuk menahan birahi yang memuncak.

"Asep.... hipo...termia... teh..." Bicaranya makin lancar.

Tubuh Asep yang butuh kehangatan ingin menyerap seluruh kehangatan yang dipancarkan Teh Euis. Tanpa dapat ditahan tubuh Teh Euis ditariknya makin kuat, makin melekat. Asep berperang dengan dirinya sendiri. Sebagian dari dirinya teramat menginginkan kehangatan perempuan, sebagian dari dirinya bertahan untuk tidak melakukannya pada teh Euis.

Teh Euis tertarik makin dekat, diatas tubuhnya yang terlentang. Asep menarik lagi, dan tubuh Teh Euis sekarang menindihnya.

"Aaaah......." seketika kehangatan mejalar dari tubuh Teh Euis ke sekujur tubuhnya. Perlahan-lahan rasa dingin itu memudar.

"Oooh..... iya sep, teteh juga sering meluk Adang kalau sedang demam biar demamnya turun." Teh Euis teringat akan metode yang diajarkan di Posyandu untuk menurunkan panas anak atau menghangatkan anak yang sedang sakit.

Tak tahan dengan dingin yang dirasakan, Asep mengangguk, mengiyakan.

"Sini teteh peluk." Teh Euis menindih tubuh Asep yang berselimut tiga lapis. Dari tubuhnya yang kenyal terpancar kehangatan yang menjalari ke seluruh tubuh Asep dan mengusir hawa dingin.

"Nggghhhh....." Asep sekarang masih menggigil, tetapi gigilnya karena menahan gejolak birahi.

"Cepet sembuh Sep.... teteh ngga punya siapa-siapa disini untuk ngebantu teteh sama Adang." Kata Teh Euis dengan tindihan tubuhnya yang makin menekan. Kepala Teh Euis berbaring di dadanya.

Asep tak tega mengorbankan Teh Euis demi menuntaskan nafsu birahinya. Kakaknya yang lemah lembut itu begitu disayanginya.

Sungguh, kehangatan cinta kasih sayang Teh Euis yang penuh perhatian pada seorang adik membuat birahi yang dirasakan Asep jadi dapat dikontrolnya. Perlahan tetapi pasti, Asep yang gemetaran menjadi tenang.

"Nanti pagi-pagi teteh masakin bubur ya Sep."

Asep menggelengkan kepala, merasa bahwa dirinya terlalu merepotkan Teh Euis kalau sampai harus membuat bubur.

"Sebentar juga.... Asep sembuh... teh." Asep menjawab dengan cukup lancar.

Iya, tetehku.... aku sebentar lagi juga sembuh dengan kehangatan yang teteh berikan.

RambutTeh Euis harum.
Asep menghirupnya dalam-dalam.
Memabukkan.

Tubuh Teh Euis yang sedang menindihnya sekarang terasa begitu empuk, apalagi dadanya yang menempel ketat di perut Asep. Tapi Asep mampu bertahan dari godaan dan ujian.

Tiga lapis selimut tak mengurangi rasa nyaman yang dirasakan.

Diluar sadarnya, kedua tangan Asep keluar dari selimut. Dipeluknya pinggang Teh Euis yang ramping.

Hangat dan nyaman sekali.

Sesuatu yang tegang dibalik celananya tertekan oleh perut Teh Euis yang empuk.

Nyaman.

Nyaman sekali.

Tak ingin Asep melepaskan pelukan pada tubuh Teh Euis yang sedang menindihnya.

Aroma harum nafas Teh Euis begitu memabukkan, membuatnya melayang.

Melayang

Dan terus melayang

Dalam rasa yang sangat nyaman.

Asep tertidur dalam tindihan Teh Euis yang beberapa menit kemudian bangkit melepaskan pelukan. Teh Euis duduk di samping Asep yang telah melewati masa kritisnya.

Sekali lagi tangan teh Euis mendarat di kening Asep yang telah tidur dengan tenang. Dengan hati lega, Teh Euis merapihkan selimut yang menutup tubuh adiknya, dan melangkah masuk ke kamar.
Dia tak tahu, adiknya baru saja melewati ujian berat dalam hidupnya


Bersambung
**********
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd