----------------------------------------
Calon istri dan calon suami, mereka berdua sedang ada di sebuah bandara. Bandara Soekarno Hatta namanya. Dimana si calon istri akan pulang ke tempat asalnya. Pulang untuk kemudian kembali lagi ke Jakarta dua bulan kemudian, membawa semua yang sudah dipersiapkan untuk menikah, dan tinggal menetap di Indonesia. Patut disyukuri, saudara dari si calon suami, ada yang bekerja di Departemen Kehakiman dan HAM. Sehingga proses kepengurusan Kartu Izin Tinggal Sementara atau KITAS pasti lebih mudah. Tidak, bukan curang, tapi dibantu informasinya dengan mudah dan didampingi.
Bagasi si calon istri sudah masuk, dan boarding pass sudah di tangan. Sekarang si calon istri dan calon suami sedang makan pagi berdua, saling berhadapan, dimana kaki mereka berdua saling berkaitan, seakan tidak mau lepas. Calon suaminya bernama Achmad Ariadi Gunawan, biasa dipanggil Arya, umur 31 tahun, tahun ini. Pekerjaan adalah musisi dan memiliki sebuah studio rekaman di selatan Jakarta, yang untuk selanjutnya dan sebelumnya selalu dipanggil dengan aku. Ya, dia adalah aku.
Sang istri bernama Kyoko Kaede. Atau kalau menurut orang Jepang, Kaede Kyoko. Sama saja. Umur Kyoko 31 tahun, tumbuh besar di Mitaka, kota di pinggir Tokyo. Pekerjaannya adalah mengelola sebuah café/coffee shop di Mitaka dengan kakaknya. Aku dan Kyoko bertemu setahun lalu, atau sekarang bisa disebut sebagai dua tahun lalu, karena kami bertemu pada bulan Desember. Dan sejak saat itu, kami tak bisa terpisah lagi.
Aku takut, aku takut sebenarnya melepas lagi Kyoko jauh dariku, terutama di saat sekarang. Sekarang Stefan terasa semakin garing dan getir. Kanaya? Oh, ulahnya yang membuat pusing, sesaat sebelum kedatangan Kyoko pun, belum selesai dibereskan. Entah kenapa mereka berdua yang selama ini dekat denganku, kini terasa menjauh. Getir-getirnya dan rasa sinis Sefan akan pernikahan semakin hari semakin terasa. Kami bahkan kembali jarang bercanda lagi di grup whatsapp, hampir seperti dulu, sewaktu aku ada tawaran untuk rekaman di Jepang sana. Tawaran dari A.E.U.G. yang menggangguku itu.
Dan kini, aku merasa malah sikapnya lebih berbahaya lagi daripada waktu itu. Seperti akan ada ledakan jangka panjang. Stefan memang membenci pernikahan dan komitmen, tapi aku tak menyangka dia menjadikanku sebagai pelampiasan ketidak sukaannya kepada dua hal itu. Itu yang kusesalin.
“Aya, nanika?” tanya Kyoko melihat mukaku yang seperti sedang ditekuk itu.
“Stefan… to… Kanaya” jawabku sambil tersenyum getir.
“Wakarimashita…. Aya kan tida mau kehirangan teman?” senyum Kyoko, seakan mengerti apa yang kupikirkan. Ya, dia memang mengerti apa yang kupikirkan. Makanya kami selalu lengket selama ini. Kyoko selalu berusaha membuatku terbuka padanya. Tapi, di satu sisi yang lain, aku selalu sering mengeluh pada Kyoko juga, mulai dari tawaran AEUG, lalu perkelahian pada malam perpisahan Cheryl, lalu masalah dengan Stefan, soal Anin, bahkan masalah yang bisa melukai hatinya seperti soal Kanaya pun selalu ia dengarkan dan dia respon dengan baik.
Sedangkan sejauh ini, masalah yang ia curhatkan kepadaku Cuma masalah tentang false alarm kehamilan saja. Sejauh ini Cuma itu.
“Kyoko”
“Hai”
“Selama ini, apa ada yang bikin Kyoko pusing, ingin diceritain ke aku, atau semacamnya, aku juga pengen kayak Kyoko, ngedengerin aku ngeluh terus” senyumku. Kyoko lantas memutar matanya keatas, seperti sedang mencoba mem-flashback ingatannya.
“Anooo…. Nande….”
“Hmm?” aku berusaha menunggu kata-kata apapun yang mungkin keluar dari mulutnya.
“Nani mo nai” senyumnya. Gak ada apa-apa.
“Masa gak ada satupun?”
“I’m okay, karau ada apa-apa, nanti Kyoko pasti birang sama Aya” senyumnya lagi dan tangannya langsung menggenggam tanganku yang sedang menganggur. Oke, sejauh ini aku percaya, tapi aku akan waspada.
“Suda birang Kanaya nanti akan bicara?” tanya Kyoko masih dengan senyumnya.
“Sudah, semalem, oke katanya, siang ini, sebelum dia kerja” senyumku pahit ke arah Kyoko. Sebenarnya aku masih menyelidik, masa Kyoko tidak cemburu pada kondisi seperti ini?
“Kamu gak kenapa napa soal Kanaya?”
“Eee..?”
“Maksudnya, kamu gak cemburu? Jealous?” tanyaku, berharap mendengar apapun yang mungkin buruk untukku.
“Ie… Karena Kyoko tau, Aya hanya untuk Kyoko” senyumnya masih dengan manis. Sampai titik ini, aku berkesimpulan, bahwa senyum semanis itu tidak mungkin ia palsukan, tidak mungkin ia menipuku dengan senyum palsu, hanya untuk membuatku merasa nyaman atas hubungan ini. Hubungan ini alami, tumbuh dengan sendirinya atas rasa nyaman antara aku dan Kyoko. Jadi tidak mungkin gangguan, atau mungkin “gangguan” dari Kanaya bisa menggoyahkan hubungan aku dan Kyoko.
“Seneng dengernya” bisikku sambil menggenggam tangannya balik.
“Hehe… Kyoko tida sabar tunggu Maret… Ano… Kita…”
“Iya, kita”
“Man” Kyoko menunjuk ke arah diriku. “Waifu” dia menunjuk ke arah dirinya.
“Kamu pasti cantik pake gaun kawinan” bisikku.
“Ahaha…. Aya mo… Kakkoi dayo..” pujinya balik.
Aku tersenyum, dan bandara ini serasa kosong. Bandara ini serasa milik kami berdua. Andaikan begitu, pasti sudah kulumat bibir yang menggoda itu, akan kupeluk dirinya, dan aku tidak ingin melepasnya. Tidak ingin. Aku tidak ingin melepasnya. Dan selangkah lagi, kami berdua akan menjadi suami istri.
----------------------------------------
Kyoko telah terbang kembali ke Jepang. Makin lama rasanya bepisah dengan dia, sudah tidak sesedih pertama dulu. Aku masih ingat dinginnya observatory deck di Bandara Haneda sana. Disana kami berciuman, seperti ciuman terakhir bagi kami. Dan setelah ciuman itu, kami berdua malah makin erat. Makin erat walau jarak kami berjauhan.
Aku menyetir dengan pelan, mengurai kemacetan jakarta dengan mobil pinjaman dari adikku. Dan sepertinya kurang begitu praktis bila aku pulang ke rumah dulu, lantas baru ke tempat kerja Kanaya. Lebih baik aku menghabiskan waktu siangku di daerah sekitar sana, karena memang agak repot kalau aku ke radio dalam dulu. Dan sekarang aku sudah berada di Gatot Subroto. Belok ke kiri Kuningan, dan kalau sudah di daerah situ, cukup mudah untuk bermanuver.
Dan aku teringat sesuatu. Aku mengambil dan membuka handphoneku, lantas mencari grup whatsapp alumni kuliahku. Adegan ini tidak untuk ditiru, memainkan handphone sambil menyetir itu bahaya.
“Ren, siang ini lo free gak, gue ada di daerah deket-deket kosan lo nih, makan siang yok” aku memberi pesan dalam grup tersebut.
“Cie yang udah mau kawin nyarinya batangan mulu” komentar Bram, si troublemaker. Mari kita ignore saja yang satu itu.
“Eh emang pacar lo kemana?” tanya Zulham mendadak, ya, dia yang punya coffee shop di Kemang itu.
“Baru naek pesawat tadi pagi ke Jepang lagi”
“Yah, kagak sempet maen ke tempat gue ya? Padahal pengen ngobrol, tuker ilmu gitu soal café” lanjut Zulham.
“Genit amat pacar orang mau dispikin” Bram lagi. mari ignore lagi.
“BTW Rendy kalo jam segini mah masih tidur kali Ya” Anin mendadak muncul.
“Telpon aja biar bangun” suruh yang lain.
“Kecapean kali sekarang tiap malem ngewe Anggia” oke, ini Bram, ignore aja ya.
“Yowis gue telpon ajah”
Aku lantas mencari nomer Rendy di handphone, dan menelponnya. Ini juga tidak untuk ditiru, menyetir sambil menelpon. Dan, nada sambung yang lama mewarnai siang itu.
“Woi” suara kaget Rendy terdengar di ujung sana.
“Woi” balasku.
“Apaan nih”
“Gue ada di Kuningan, makan siang yuk”
“Boleh”
“Setiabudi Building oke?”
“Tapi gue baru bangun banget, belom mandi” jawab Rendy gelagapan.
“Alah, kayak ada bedanya aja mandi ama enggak” ledekku.
“Hehehe” tawanya pelan diujung sana.
“Udah ah, sampe ketemu di sono”
----------------------------------------
“Jadi, rencananya gimana ntar?” tanya Rendy.
“Abis gue balik dari Jepang, bulan depannya kawin”
“Enak ya si Kyoko mau masuk Islam gitu”
“Gue sih sebenernya gak masalah, kan bisa kawin di Jepang juga, secara dia WNJ”
“WNJ apaan?” tanya Rendy
“Warga Negara Jepang” tawaku.
“Kirain….”
“Tapi doi milih buat kawin disini, kayaknya karena liat kawinannya drummer gue. Padahal menurut gue standar aja, kawinan biasa ala orang Indonesia, apalagi pas ijab kabulnya, udah puluhan kali gue liat proses ijab kabul ga ada tuh yang sampe kebelet pengen ijab kabul” bingungku.
“Ya Kyoko kan baru pertama kali liat, dan itu kan bukan budaya Jepang, jadi mungkin menurut dia itu romantis banget kali ya?” tawa Rendy.
“BTW Anggia gimana?”
“Baik”
“Bukan itu, tapi gimana? Gue suka denger gosip dulu kalo bokapnya Anggia tuh ga suka kalo doi pacaran sama yang bukan Katolik” aku nyengir awkward. Tenang, aku cukup dekat dengan Rendy, sehingga bisa bicara segamblang itu dengannya.
“Yah masalah itu mah, gue sih santai aja…. Jalanin dulu, dan sejauh ini fun” jawab Rendy dengan mantap.
“Seneng dengernya”
“Dan, jadinya, kalian sebelom ke Jepang yang kedua kali buat tur kecil ini, mau showcase dimana, kayaknya kalo di yang Mega Kuningan itu udah ga oke ya? Udah sepi banget gitu” Rendy mendadak merubah arah pembicaraan.
“Nah itu, gue tuh pengennya disana, tapi ya kondisinya ga enak sih” bukan Cuma tempatnya sepi. tapi kondisi dengan Kanaya pasti membuatku agak berpikir dua kali sebelum memutuskan main di tempat itu.
“Gue sebenernya ada ide sih…..” Rendy sedikit berkhayal sambil memasukkan makanan ke mulutnya.
“Apa tuh?”
“Kayaknya menarik kalo outdoor gitu, bikin kayak semacam nonton layar tancep gitu….”
“Outdoor oke, tapi dimana, kalo di lapangan, gitu ngeganggu warga kali” komentarku.
“Iya yah”
Aku berpikir sejenak. Memang butuh acara sebelum ke Jepang. Rilis sendiri album repackaged dan pemutaran perdana video klip kami. Ah, aku ada ide.
“Ren”
“Ya?”
“GSE!!” aku mendadak berbinar, dan pelan-pelan ekspresi Rendy berubah menjadi excited juga.
“NAH!!!”
“GANTENG TUH PASTI, jadi disana bisa screening ala-ala layar tancep juga kan?” tanyaku.
“So Pasti.”
“Deal gak?” tanyaku.
“Deal”
“Siap ntar gue obrolin ke anak-anak” senyumku.
----------------------------------------
----------------------------------------
----------------------------------------
Andai aku merokok, mungkin rasanya tidak se-awkward ini. Aku ada di ruangan kantor pub, sendirian. Di Mega Kuningan, jam 3 sore, sebelum pub mulai ramai. Atau mungkin tidak pernah ramai lagi. Sejak keluarnya Cheryl, dan ditambah dengan Cheryl mendadak mendirikan tempat baru di PIM 3, dengan bantuan suaminya yang tajir melintir itu, tempat ini mendadak menjadi sesepi kuburan tua.
Kanaya tidak sejago Cheryl, itu jelas. Tapi pukulan dari Cheryl pun menjadikan kekalahan ini terlihat telak. Sehabis ngantor, orang sudah tidak berminat datang ke sini lagi. Bahkan kami pun sudah tidak pernah bermain disini lagi. Sudah lama. Terakhir kali kami manggung disini adalah ketika acara perpisahan Cheryl. Itu sudah tahun lalu.
Kanaya sedang bersiap-siap untuk buka di luar, bersama dengan karyawan lainnya. Aku? Ya, aku ada disini untuk memenuhi janjiku ke Kyoko. Bicara dengan Kanaya. Bicara agar semuanya baik-bak saja dan tidak ada yang perlu disembunyikan lagi. Entah apakah ini adalah keputusan yang tepat. Tapi aku berharap semuanya baik-baik saja. Mengingat aku dan Kanaya bisa dibilang cukup dekat sebagai teman.
“Sori nunggu” Kanaya mendadak masuk, dan menutup pintu dari dalam.
“Gapapa”
Kanaya lantas menyalakan rokok dan duduk di kursi di depanku. Seakan-akan aku seperti sedang diinterview oleh dirinya.
“Gue ngerasa tolol” Kanaya membuka pembicaraan.
“Karena?”
“Karena gue baru kerasa minim pengalamannya pas di kondisi kayak gini, berasa semua yang gue lakuin di kerjaan ini salah. Mau ngapainpun hasilnya ga ada” jelasnya.
“Hmm…”
“Beda ternyata emang…. Lo tau sendiri kan, gue dari mana bisa kerja disini. Keenakan ngejagain distro, dapet duit, kuliah ga beres, akhirnya kerja serabutan sana sini, jaga distro lah, jaga vape shop lah, ngewaitress lah, eh mendadak gue terdampar disini…..”
“Ya, lo pernah cerita dulu” senyumku, sambil melihat ke arah rokok yang ia hisap.
“Dan sekarang, lo mau ngobrolin masalah apa, keliatannya urgent banget” lanjut Kanaya, dengan perasaan yang sepertinya tertahan.
“Soal kita”
“Oh”
“Gue ngerasa sehabis lo ngomong kayak gitu ke gue, ada hal yang mendadak jadi aneh gue rasain” jelasku.
“Aneh kenapa?”
“Masa gak aneh”
“Iya emang jadi aneh pasti, tapi gue tau resikonya ngomong kayak gitu” ungkap Kanaya, terdengar cuek, atau malah terdengar menghindar? Atau malah terdengar menyembunyikan perasaan?
“Dan gue pikir, itu juga ga sepenuhnya lahir dari diri lo sendiri kejadian itu, bisa juga karena bete dengerin gue ngomongin pacar gue terus”
“Calon Istri” Kanaya mengkoreksi.
“Ya, dan kerjaan yang makin tai kayak gini, jadi pas lo liat ada kesempatan lo ledakin sesuatu, ya lo ledakin” jelasku berusaha fair. “Tapi gue gak mau gara-gara itu, pertemanan kita rusak, kita termasuk temen yang bisa ngobrolin apapun soalnya” senyumku.
Kanaya tersenyum tipis dan mengeluarkan asap rokok dari hidungnya.
“Logis banget ya kalo cowok itu, hahaha” tawanya.
“Yah, gitu lah katanya design otaknya”
“Dan gue tau satu saat lo pasti bakal ngomong soal ini sih” lanjut Kanaya.
“Iya, tapi bisa dibilang ini gara-gara Kyoko gue ngomong sama elo”
“Maksudnya?”
“Kyoko bilang dia ngeliat pertemanan kita cukup baik, jadi dia bilang pertemanan sama elo mesti dijaga”
“Kenapa?” tanya Kanaya dengan ekspresi muka yang mendadak berubah.
“Ya wajar kan?”
“Bukan itu pertanyaan gue, kenapa lo bilang sama dia soal kejadian itu? Alasannya apa?”
“Emang ada yang ngelarang?”
“Bukan, gue Cuma mau tau alasannya apa lo bilang sama dia”
“Karena gue bingung mikirnya, karena dia pacar gue? Karena dia tau semua problem yang gue hadapin?” jawabku retoris.
“Terus reaksinya?”
“Dia gak marah yang pasti”
“Hebat” Kanaya mendadak terlihat kesal.
“Dia cukup sabar orangnya, dan dia cukup ngerti kalo kita itu temen, dan kita gak pernah lebih dari itu” jelasku.
“Kenapa?”
“Ya karena emang kayak gitu”
“Kenapa semua orang dapet apa yang mereka pengen dan gue enggak?” suara Kanaya mendadak terdengar bergetar, seakan ingin pecah. “Kenapa lo mesti pergi ke Jepang dan pulang-pulang bawa pacar?” dia mematikan rokoknya di asbak.
Wait.
Aku tidak siap mendengar ledakan lagi.
“Kenapa lo mesti bisa tahan LDR-an sama dia? Gue yang selalu ada disini buat dengerin elo!” suaranya tertahan. Yang pasti dia menahan emosinya, agar suaranya tidak terdengar keluar office.
“Ini bukan gue yang minta, semuanya otomatis. Lo tau kan kalo perasaan kayak gini gak bisa dipaksain” jawabku, lagi-lagi diplomatis.
“Tau. Tapi kenapa semua orang dapetin apa yang mereka pengen? Suami yang tajir, sampe lo bisa bikin usaha yang sama kayak tempat lo kerja dulu, sampe matiin tempat kerja elo yang dulu, yang berarti lo matiin semua karir pegawai disini, lo bisa ketemu kecengan yang cool dan sama-sama suka anime di Jepang sana, lo bisa nidurin semua cewek-cewek cantik disana sini tanpa ngerasa dosa, lo bisa mendadak nikah sama pacar lo dan keliatan gak punya masalah, dan lo balik dari sana punya pacar? Atau sekarang lebih cocok disebut calon istri?” nafas Kanaya terdengar berat, seperti tersenggal-senggal.
“Tunggu. Ini kok jadi ngelebar gini? Gue tau lo stress, gue tau lo pusing, tapi kayaknya ga bijak kalo lo tadi kayak ngabsen kita gitu” ya, itu pasti ngomongin Cheryl, Anin, Stefan, Bagas dan aku.
“Ya, kalo lo berhenti gak main musik lagi lo bisa kerja kantoran, kalian semua bisa, kalo gue? Gue seumur-umur kerjaan yang gue tau ya gini, serabutan, dan sekarang gue dapet kerjaan yang lumayan gede dari gaji dan tanggung jawabnya, gue malah fucked up. Dan itu bukan gara-gara gue, itu gara-gara Mbak Cheryl”
Mendadak ia menyalahkan Cheryl. Ya aku tahu, Kanaya masih minim pengalaman untuk menggantikan Cheryl, dan ketika Cheryl membuat tempat yang lebih “oke” di selatan Jakarta sana, pukulan ke Kanaya makin telak. Sepinya pub ini jelas bukan salah Kanaya.
“Lo tenang dulu, lo mungkin bisa take your time off, dan nata lagi semuanya kerjaan lo disini”
“Hidup gue kebalik disini, gue balik subuh, bangun siang, dan mulai kerja sore, mana bisa gue take my time? Fisik gue ancur disini Ya, dan kalian semua kayak neken gue…..” Kanaya tampak seperti kehabisan tenaga. Dan dia terdengar sangat childish. Mungkin karena usia. Usianya masih 24 sekarang. Jelas beda dari segi pengalaman, jika dibandingkan dengan Cheryl yang sudah pertengahan 30-an. Cheryl veteran. Dia masih anak kemarin sore. Dan dia pun tertekan, karena merasa tidak bahagia, tapi melihat semua orang di sekitarnya tampak bahagia.
“Nay, lo keliatan bener lagi stress, kalo lo mau, mendingan ambil cuti kek, apa kek, atau lo ajak ngobrol yang punya pub ini, minta asisten atau apa, gue tau lo lagi kacau banget, tapi kalo sampe kita semua yang lo jadiin pelampiasan, itu gak fair banget…. Atau lo bisa cari kerjaan lain, biarin tempat ini mati dengan keegoisan ownernya, seperti yang lo pernah ceritain” aku berusaha menasihatinya.
“Dan elo Ya” sepertinya dia sedang tidak bisa mendengarkan omongan siapapun.
“Kenapa gue?”
“Elo… Lo tau kan kita ngapain aja?”
“Iya gue tau”
“Dan lo bikin itu seakan-akan gak ada harganya”
“Ini kok jadi kayak gini Nay?”
“Lo gak mikirin? Lo ke Jepang, gue nunggu lo balik dan gue harap kita bisa bikin sesuatu disini yang lebih berharga dibanding sekedar temen…. Tapi lo balik bawa Kyoko…. Dan itu bikin apa yang kejadian sama kita sebelom lo ke Jepang itu berasa ga ada harganya…”
“Please… Gak fair kalo lo bawa-bawa itu”
“Dan gak fair lo bisa ketawa-tawa tiap hari sama calon istri lo, lo bisa tamasya tiap hari sama calon istri lo, sementara gue kerja disini, banting tulang hampir tiap hari sampe kayak gini, lo tau gak gimana rasanya?” tanya Kanaya dengan tajam, matanya mulai berkaca-kaca.
“Kanaya, kalo gitu stop. Jangan lanjut ngomong lagi, intinya lo harus tata hidup lo, dan lo gak bisa ngatur hidup ini seperti yang lo mau, itu egois namanya….”
“Lo bicara dari sudut pandang seorang gitaris ternama, jago banget main gitar, punya pacar cantik kayak artis Jepang, not to mention gue udah tau mantan-mantan elo selain Karina kayak gimana bentuknya, kehidupan lo mulus, karir musik lo bagus, lo kayak orang tajir mendadak sok-sok pinter ngomongin kemiskinan, tau gak?” ucap Kanaya dengan ketus.
“Itu gak adil. Lo tau kan kondisi keluarga gue sebelom bokap gue gak ada”
“Gue lagi gak mau denger masalah orang lain”
“Ternyata lo egois” mendadak kesimpulan itu ada di mulutku. “Ternyata lo selama ini iri sama kita, dan itu masalah utamanya… terus ujung-ujungnya kita semua ditembakin satu-satu….”
“Shut up” Kanaya menutup mukanya dengan tangannya.
“Apa-apaan sih?”
“Dan gue tau, cewek yang disukain sama Anin sukanya sama elo. Gue denger dari anak-anak… Lo lucky bastard banget tau gak?”
“Lucky Bastard itu kalo gue gak usaha, terus gue beruntung dengan sendirinya. Lo pikir gue jago main gitar dari lahir? Lo pikir Kyoko suka sama gue karena tiba-tiba? Gak pake proses? Lo pikir gue mau sama Zee?” aku menarik nafas panjang. “Iya, tau, nasib lo lagi buruk, lo lagi stress, tapi jangan orang lain yang lo salahin. Kita semua Cuma mau idup enak, semua orang sama. Perkara nasib mah gimana keberuntungan ama usaha…..”
“Ga mau tau”
“Ya udah”
“Iya, udah… Pulang sana… Gue mau kerja, gue gak mau make up gue luntur” ucap Kanaya dengan tangan masih menutupi wajahnya.
“Terserah” balasku, sambil berdiri dengan malas.
“Lo gak bakal bisa keluar dari stress lo kalo lo mikirin hidup orang lain terus” lanjutku.
“Shut up”
Aku menatap Kanaya dengan iba, sekaligus ada sedikit rasa marah karena pemikirannya. Aku menarik napas panjang. Terlalu panjang malah.
“Oke, gue balik. See you when I see you”
----------------------------------------
BERSAMBUNG