Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT MDT - REVIVAL - SEASON 1 (racebannon)

Menurut Kalian, Siapakah "Bastardverse" Best Couple?

  • "Aku" & Dian (The Lucky Bastard)

    Votes: 12 7,5%
  • "Aku" & Nica (The Lucky Bastard)

    Votes: 2 1,3%
  • "Aku" & Anggia (The Lucky Bastard)

    Votes: 41 25,8%
  • Arya & Kyoko (Matahari Dari Timur)

    Votes: 51 32,1%
  • Anin & Zee (Matahari Dari Timur)

    Votes: 2 1,3%
  • Stefan & Semua yang dia tiduri (Matahari Dari Timur)

    Votes: 23 14,5%
  • Amyra & Dipta (Amyra)

    Votes: 6 3,8%
  • Gilang & Saras (Penanti)

    Votes: 2 1,3%
  • Gilang & Tara (Penanti)

    Votes: 3 1,9%
  • Bryan & Tika (Amyra)

    Votes: 1 0,6%
  • Rendy & Anggia (The Lucky Bastard - Matahari Dari Timur)

    Votes: 14 8,8%
  • Adrian & Anggia (The Lucky Bastard - Matahari Dari Timur)

    Votes: 2 1,3%

  • Total voters
    159
  • Poll closed .
MDT SEASON 1 - PART 67

--------------------------------------------

hall_b10.jpg

Selalu siap, kami selalu siap. Sudah manggung yang keberapa ini buat kami? Malam ini kami akan mengadakan acara release party album repackage kami yang untuk pasar Jepang, sekaligus penayangan perdana video klip kami, yang di direct oleh Rendy.

Sang sutradara, Rendy dan beberapa kru, ditemani oleh Anggia sang pacar sedang mengobrol di salah satu sudut venue. Venue ini merupakan Gudang yang hits. Gudang yang dulu menjadi tempat penyimpanan ini sekarang sudah menjadi tempat pameran dan konser yang lumayan hits di kalangan anak-anak muda Jakarta.

Panggung telah siap, screen untuk menampilkan video klip sudah siap. Sekarang masih jam 4 sore. Sedangkan acara dimulai pada pukul 8 malam. Panitia yang dikoordinir oleh pihak sponsor hilir mudik, menyiapkan welcoming booth, sekaligus menata CD-CD yang nanti akan dijual, limited berjumlah 500 keping saja, dengan 50 vinyl juga sedang disiapkan.

Ticketing booth sudah siap. Tentunya harga tiketnya terjangkau, agar makin banyak yang bisa datang. Sponsor yang mendukung kami adalah produk rokok dan bir. Memang kedua produk tersebut lumayan concern pada perkembangan musik indie di tanah air. Dan tak heran juga, suplai rokok dan bir untuk kami banyak sekali, walau semuanya tidak bisa kunikmati.

Stefan dan Anin sedang mengobrol di atas panggung, melihat peralatan kami yang sudah siap. Senjata-senjata kami dalam bentuk drumset, bass dan gitar sudah tertata rapih dan siap digunakan untuk membantai semua yang menonton. Adikku belum datang, dia sedang dalam perjalanan. Kanaya? Jangan harap datang. Sudah lost contact kami sejak kejadian itu. Pahit memang, tapi tampaknya itu yang terbaik bagi semua pihak.

"Hebring kalian" Anggia mendekatiku, karena Rendy tampaknya sedang sibuk mempersiapkan projector dan ruang tembaknya.
"Thanks, dan thanks udah datang juga"
"Sama-sama, dan Dian ama lakinya bakal dateng gak?" tanya Anggia.

"Yang sekantor ama lakinya kan elo"
"Nah, pas gue tanyain, katanya males liat si Bram kalo dateng" senyum Anggia canggung.
"Kita semua males sih kalo dia dateng" tawaku.
"Gue apa lagi"

"Cuman dia ya yang berani ngapa-ngapain si Bram" bisikku agak pelan ke Anggia.
"Gue pernah ngegampar Bram sih pas kuliah" tawa Anggia.
"Woh?"

"Iya, jadi waktu itu gue lagi di kantin kampus, duduk sendiri sambil ngerjain tugas, mendadak dia duduk di sebelah gue, terus basa-basi tai gitu"
"Basa basinya ngapain?" tanyaku ke Anggia.
"Kan rambut gue masih panjang tuh waktu itu, ada rambut yang kena dia, terus dia pegang, sambil bilang, bagus amat rambut lo"

"Ih ga sopan"
"Gue ga pake mikir lagi langsung gue gampar" bangga Anggia. "Tapi ga ada yang liat waktu itu, jadi yaudah, gue juga males cerita ke temen-temen gue, tar dia digebukin Anin ama Rendy lagi" lanjutnya.


"Tapi Rendy dan Anin dua-duanya laki-laki lembut nan damai, mana bias gebukin orang" candaku.
"Bener juga lo, BTW, congrats ya, pasti ga sabar nih mau kawin..." Anggia nyengir sebisanya, melihat tampangku yang senyum-senyum malu. "Tapi hati-hati, kalo sebelum kawin biasanya godaannya banyak"

--------------------------------------------

20160410.jpg

Musik rock instrumental berdentum keras, memenuhi Venue, beberapa saat lagi kami akan naik ke panggung. Venue sudah lumayan penuh, dan bisa kulihat beberapa titik asap rokok mengepul di udara. Aku melihat handphoneku. Ada pesan dari Kyoko.

"Good luck Aya, Semangat!!" kubalas dengan emoticon senyum nyengir dan kukirim selfieku dengan muka sok tegang.

"Sok lucu" komentar Stefan, sambil menghisap rokoknya dalam-dalam.
"Biarin, sirik aje"
"BTW Ya, nih" Stefan memperlihatkan handphonenya. Instagram

"nonton rilis album versi japs nya @hantamanmusic wit the gangs" aku membaca caption dari sebuah foto selfie konyol, seseorang perempuan yang manis, dengan beberapa temannya, di tengah crowd di tempat yang sama dengan kami.

"Terus?" tanyaku heran.
"Arwen kayaknya kesengsem sama elo"
"Masa"
"Keliatan, gue kepoin IG nya dia ga pernah tuh mention dan ngomongin Hantaman sama sekali... Gara-gara Imagine versi elo, dia jadi meleleh" tawa Stefan.

"Versi Eddie Vedder"
"Terserah, tapi yang kayak gini-gini ini gue suka" tawanya.

Anin mendadak mendekati kami, memotong pembicaraan iseng, dengan topik yang membuat Stefan semangat lagi.

"Guys, inget kan rundownnya?"
"Inget" jawabku dan Stefan berbarengan.

Kami akan memainkan sebuah setlist panjang, dan sebelum lagu terakhir, yang memang itu lagu terbaru kami, lampu ruangan akan padam total, dan video klip akan dimainkan lewat projector. Setelah video klip beres, kami akan memainkan lagu itu versi live. Setelah beres, kami akan digiring ke arah pintu keluar, dimana ada booth penjualan CD dan sebagainya, dan kami akan ada disana, untuk melayani penggemar yang mau beli CD, Vinyl, Merchandise, sekaligus mentanda tanganinya jika mereka minta.

Setelah itu ada after party, dimana Pras dari Pierre T akan beraksi dibalik turntable, tentunya after party ini hanya didatangi oleh kami, kru dari sponsor, dan teman-teman dekat kami. Awak Frank's Chamber ada bersama penonton, dan beberapa rekan kami dari band-band lainnya akan bergabung untuk merayakan rilis album versi jepang ini. Salah satu area di tempat ini telah disulap jadi semacam diskotik kecil.

"Mas" Ai datang mendadak dan menyalakan kamera di Handphonenya. Kami berselfie berdua, dengan pose konyol, sepertinya Ai ingin mempostingnya di Instagram. Stefan hanya tersenyum melihat kami berdua dan bersiap-siap untuk meledek.

"Incest nya ga berubah" tawanya.
"Berisik" sahut Ai.

"Udah yuk, kita doa bersama dulu" potong Anin.
"Kayak apaan aja doa bersama, ini kan same old same old lah Nin" keluh Stefan.
"Gapapa, biar berkah" aku menimpali Stefan.

"Yaudah lah" Stefan pun menyerah.

"Oke Guys, kita berdoa, menurut agama dan kepercayaan kita masing-masing...." Anin mulai memimpin doa.
"Kalo sembah kodok gue harus cari kodok dulu kali" potong Stefan bercanda, dengan tidak pada tempatnya.
"Hih!" Anin terlihat kesal. Stefan hanya tertawa kecil sambil membentuk tanda salib, untuk memulai doa.

"Oke, jadi... Mudah-mudahan album ini jadi berkah buat kita, dan jadi jalan buat kita go international lebih jauh lagi, gak cuma sekedar Jepang, kita harus jajah dunia!"
"AMIN"

"Berdoa dimulai" dan kami komat kami, saling berpelukan bahu, seperti tim sepakbola yang siap mencincang lawan mereka di lapangan hijau. Bedanya kini kami akan mencincang para penonton yang siap disiksa oleh kemarahan Stefan dan kawan-kawannya di atas panggung. Aku memperhatikan para personel Hantaman dengan erat.

Anin, dengan badan besar dan kepala plontosnya, memakai jersey Indonesia, polo shirt putih dengan aksen hijau dan lambang apparel asal amerika di dadanya, dengan jeans hitam dan sneakers yang bermerk sama dengan jersey Indonesia tersebut.

Bagas, dengan T-shirt hitam polos dan jeans biru gelap.

Stefan, dengan T-shirt putih longgar, kerah V Neck, celana jeans hitam yang robek di lutut dan boots.

Terakhir aku, dengan Kemeja kotak-kotak merah dan biru, celana jeans biru terang dan sneakers.

Ini baju tempur kami. Tak jauh beda dengan seragam jersey yang biasa digunakan tim sepakbola saat mengganyang lawan mereka. Kami beriringan berjalan ke panggung dari backstage, dan meninggalkan Ai yang tampak antusias di belakang. Musik yang membahana tadi mendadak diam, dan lampu panggung mendadak gelap. Suara manusia sudah riuh, terbit dan tenggelam mencoba memanaskan suasana. Di tengah kegelapan kami naik ke panggung. Pada saat siluet kami terlihat, mereka pun makin memanas.

Siulan, teriakan, dan apapun membuat kami makin bersemangat.

Bagas duduk dengan rapih di balik drum, menggenggam dua batang kayu untuk menggebuk beduk inggris itu. Anin mengalungkan Bass Gibson Thunderbirdnya, yang dibeli di Jepang tahun lalu. Aku sendiri memakai Epiphone Black Beauty, gitar yang diberikan Stefan sebagai pengganti gitarku yang dia rusakkan.

Kami siap.

"Malam, semuanya…." bisik Stefan di microphone. Senyum liciknya terlihat dari balik rambut gondrong dan brewoknya.
"MALAMMMM" jawab penonton yang telah menunggu.

"Kalian nungguin apa?"
"HANTAMANNN"
"Nungguin maneh, koplok!" aku hapal teriakan itu, itu teriakan khas Kang Bimo, dan membuatku tersenyum sambil mencari-cari dengan mataku, dimana dia berada.

"Siapa mau denger musik?" tanya Stefan, dengan retoris.
"WOOOOO"
"Siapa?"
"WOOOOOOO"
"Wo?"

"Kalo mau musik, bukan disini" bisik Stefan. "Tapi kalo mau dengerin orang marah, disini!!" teriaknya, memberi aba-aba pada kami untuk segera membakar tempat itu.

--------------------------------------------

15195810.jpg

Kami telah membakar tempat itu selama satu setengah jam. Lampu blitz dari handphone maupun dari kamera profesional telah dengan lembutnya membelai kami yang sedang beraksi di panggung. Aku sedang menaikkan salah satu kakiku di speaker monitor, memainkan sebuah solo rumit, yang dengan curangnya aku adaptasi dari lagu-lagu Jazz, dan memadukannya dengan raungan kemarahan khas Hantaman. Penonton terkesima.

Mereka disayat-sayat oleh permainan gitarku, dan bahkan mereka tidak tahu kalau sehabis lagu ini, mereka akan melihat video klip kami. Video klip lagu baru kami. Mereka masih terlalu sibuk kusiksa. Mereka masih terlalu sibuk mengikuti irama yang dimainkan oleh Anin dan Bagas secara teratur. Mereka menjaga kedalaman lagu. Mereka sedang bersiap-siap dimarahi oleh Stefan, yang kini sudah memakai pakaian kebesarannya. Yakni tanpa atasan. Tatonya bermandikan cahaya temaram berwarna warni yang bertugas membuat panggung kami menjadi meriah.

Not demi not kumainkan, dengan meraung. Jari-jari tanganku menari, dan aku kemudian berjalan ke bibir panggung, untuk menunjukkan kesombongan jari-jariku, agar para penonton bisa berfantasi soal apa yang bisa dilakukan oleh jari-jari itu di kesempatan lain.

Dan stop!

Mendadak lagu kami berhenti sebelum waktunya. Ini sudah masuk ke dalam settingan kami. Para penonton bingung karena panggung mendadak gelap. Mereka ada yang berteriak-teriak, menyangka telah terjadi kesalahan teknis yang menyebabkan panggung mati total.

Tapi kemudian, ada cahaya tajam yang menyalak dari mulut projector. Mereka lantas tertegun ketika cahayanya menumbuk screen di panggung.

“HANTAMAN NEW SINGLE FOR REPACKAGED ALBUM”

“WAAAAAAAAAAA” teriak para penonton, yang tidak menyangka akan membaca tulisan itu di screen.

“Sebenernya konsepnya sederhana” suara Rendy menggema di ruangan itu. “Nunjukkin agresi, tapi secara absurd” dia menjelaskan konsep video klip itu dengan singkat, dibalut oleh kemasan artsy. Frame beralih ke muka Stefan. “Lagu ini jelasin kalau mereka harus dilawan dengan sama kerasnya” jelasnya soal lagu yang ia tulis liriknya itu. Frame kembali beralih, kini muka Anin. “Yang pasti nonjok, dan soundnya sengaja lebih vintage” senyumnya di screen. Para penonton berusaha dengan seksama menonton konten yang ada di screen.

“Disini tanpa basa basi, energi marahnya bisa lo denger dari semua not yang ada” kini mukaku yang muncul di screen. Dan footage terakhir sebelum masuk ke video klip. Muka Bagas. Dia diam, menatap ke arah kamera, untuk kemudian dalam beberapa detik menghilang.

FIGHT FIRE WITH FIRE

Hantaman

director : Rendy Akbar


Dentuman Bass dan Drum terdengar membahana dari Speaker. Riff-riff gitar meraung, mengisi udara dengan liarnya. Kami berempat ada di sebuah bangunan yang belum jadi, dengan baju yang basah, berjalan mundur. Karena bagi kami, di video klip itu, kami menjalani waktu yang mundur.

Kami terus berjalan mundur, sesuai dengan irama intro lagu, dan mengambil alat-alat musik kami dengan gesture yang aneh. Suara Stefan mulai terdengar, mengikuti gerakan mundur aneh yang liar, dan mendadak air yang membasahi area yang kotor dan berdebu itu naik ke atas, dengan irama air yang ajaibnya sesuai dengan gerakan lagu.

Luar biasa. Aku yang sudah menontonnya pun terbuai lagi oleh betapa indahnya debu, air, dan gerakan kami yang melawan arah waktu bisa bergerak selaras dengan irama lagu. Tak berapa lama kami mengambil ancang-ancang karena video klip tersebut sudah mau beres. Di dalam video itu, kami masih bergerak dengan anehnya, dan lantai sudah menjadi kering, karena tetesan air terakhir sudah naik keatas, melawan gravitasi.

Dan selesai. Kami terlihat kering, dan berpose normal di akhir video klip. Dan suasana pun gelap lagi.

“WOOOOOO” tepuk tangan membahana, mereka semua tampak terhibur dengan video klip tadi.

“Jangan puas dulu” teriak Stefan di microphone. “Kalian harus melawan api dengan api. Lawan mereka dengan cara mereka. Lawan siapa? Siapapun yang menekan kalian!!!!”

Dan kami mulai beringas lagi, meraung-raung dengan suara alat musik kami, untuk menuntaskan malam yang panas itu. Malam yang luar biasa bagi kami itu. Malam yang mengasyikkan, dan malam yang menjadi awal baru bagi karir kami, yakni perilisan album di Jepang, beberapa hari lagi.

--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------

story-10.jpg

“CHEERS!!” After party pun di mulai. Aku duduk di kursi bar dadakan, dan memperhatikan personil yang lain menenggak bir. Bagas sudah tidak minum bir lagi semenjak menikah. Sementara Anin, Sena, Stefan, Rendy, Anggia, Frank’s Chamber, pihak sponsor, kru dan lain-lainnya menenggak bir dengan enaknya. Mumpung gratisan sepertinya. Aku hanya geleng-geleng kepala saja, dan aku mengirimkan file video klip tersebut ke Kyoko lewat sosmed. Dia sudah menunggunya dari tadi.

“Kakakku selalu keren” bisik Ai, mencoba mengalahkan suara musik elektronik yang diputar oleh Pras di turntable.
“Siapa dulu adiknya”
“Gombal” tawa Ai. “Pantesan Kyoko suka, digombalin mulu”
“Monyet”

“Adek sendiri dibilang monyet” tawa Ai, sambil meminum minuman ringan yang ada di depannya. Bagi para bukan peminum, juga disediakan minuman ringan free flow. Lucu tapi. Stefan, seperti biasa sedang mengobrol dengan salah seorang kru perempuan yang tampak menarik. Rendy, Anggia dan Anin tampak mengobrol juga. Lho. Itu? Arwen? Arwen sedang ngobrol dengan Kang Bimo, sedangkan kang Wira merokok di pojok dengan Sena.

“Kok dia bisa masuk?” bisikku ke Ai.
“Siapa?”
“Itu” tunjukku ke Arwen.

“Loh? Kok ada orang lain selain kita-kita yang masuk?”
“Itu Arwen, anak radio” bisikku lagi.
“Ah?”
“Iya tadi pas kita jual-jualin CD dia beli dan minta tanda tangan ke semua orang, tapi aku lupa kayaknya nanda tangan punya dia, soalnya ribet tadi”. Aku nyengir kuda atas kondisi ini, mungkin dia mencariku untuk meminta tanda tanganku.

“Ooo..” Ai melirikku dengan nada aneh, karena dia mendengar, dari nada bicaraku sepertinya aku mengenal dia, dan setahu Ai, aku tidak mengenal Arwen.

“Borokokok! Sini” teriak Kang Bimo, memanggilku ke arah dia dan Arwen.
“Ah?”
“Tuh mas” Ai masih curiga menatapku.

Aku berjalan dengan langkah pelan, ke arah Kang Bimo dan Arwen. “Pingin ngobrol ceunah” bisik Kang Bimo kepadaku. Arwen? Mau ngobrol sama aku? Hah?
“Eh iya, gimana?”
“Selamat ya” Arwen mengulurkan tangannya kepadaku.
“Makasih”

“Selamatnya buat dua hal berarti” senyumnya.
“Jangan ngobrol disini atuh, berisik, di luar aja yu” bisik Kang Bimo kepada kami berdua. Kami berdua mengiyakan dan kami keluar dari ruangan, menuju selasar dan kami pun berdiri tak jauh dari pintu masuk club dadakan itu. Suasana tampak jauh lebih sepi di luar sini.

Kang Bimo mengeluarkan rokok dan menyalakannya, dan ia menawarkannya ke Arwen.
“Roko?”
“Engga Mas, ga ngerokok” senyumnya.

“Bagus kalo gak ngerokok, sehat berarti” tawaku.
“Mas Arya juga gak ngerokok ya?” tanyanya.
“Engga”
“Bagus lah, jangan” senyumnya manis, kulitnya terlihat cerah di tengah malam ini.

“BTW kok bisa masuk?” tanyaku penasaran.
“Sengaja, kan tanda tangan Mas Arya belum dapet, dan kebetulan kenal sama orang sponsornya, pernah jadi presenter di acaranya mereka” dia tersenyum, senyum kemenangan karena dia bisa menyelinap ke dalam after party. Dia lalu merogoh tas nya dan mengeluarkan album yang tadi ia beli.

“Gue doang yang belom?” tanyaku.
“Iya”
“Sini”

Aku mengambil CD itu, dan mengambil spidol yang ia sodorkan. Aku langsung menandatanganinya. Beres. Kukembalikan semua barangnya ke yang punya.

“Dan Selamat ya mas” ucapnya sumringah.
“Makasih” senyumku.
“Atas albumnya sama nikahnya nanti” tawanya.
“Kok tau”

“Ahaha… gue ngintip di IG nya Mas Arya, gapapa ya?” senyumnya terus merekah, dia sangat periang dan tampak selalu ceria. Rambutnya sebahu, asimetris dan gaya berpakaiannya sangatlah berwarna. Wajar, anak radio, penyiar pula.

“BTW, kalo diundang buat main di akustikan di radio gimana Mas?” tanya Arwen lagi, dengan sumringah.
“Laku euy” tawa Kang Bimo yang menghisap rokoknya dalam-dalam.
“Boleh, tapi kita lusa dah jalan ke Jepang, jadi…. Abis dari Jepang kali ya?”

“Siap, tar dikabarin ya Mas, BTW, di Jepang sekalian nikah?” tanyanya lagi.
“Engga, nikahnya disini”
“Wah, di Indonesia?”
“Iya"
“Keren”

“Dateng aja kalo mau” tawarku.
“Serius?” matanya berbinar seakan tidak percaya.
“Serius lah, masa ngundang ke kawinan boongan” aku melirik ke arah Kang Bimo yang pura-pura cuek.

Ini tumben si Maung Bandung, biasanya cerewet dan ngomong ngaco, apalagi ada cewek cakep. Kok sekarang diem aja kayak kentongan siskamling kalau siang-siang? Ah sudahlah.

“Asik, ntar dateng ya” dia terlihat senang dengan tawaranku untuk datang ke pernikahanku.
“Bawa aja pacarnya sekalian”
“Wah, lagi ga ada pacar Mas” senyumnya getir.

“Eh, sori, dan kok aneh tiba-tiba manggilnya pake Mas?” tanyaku. Pertemuan pertama kami di café milik Zulham tampaknya masih tanpa embel-embel Mas.
“Ahaha… Engga, gue liat foto di IG, pas reuni kuliahan Mas, angkatannya lima taun diatas gue soalnya” tawanya.
“Emang satu kampus sama gue?” tanyaku.
“Bukan, gue dulu jaket kuning”

“Gue ada sih kenalan jaket kuning yang…….” aku menerawang ke atas langit, sambil berpikir.
“Si Arwen ieu atuh, kenalan kamu yang anak situ. Tapi saya bingung euy, kalian kenal dimana ya? Perasaan saya tara ngadenge kalian ada ketemu atau abis wawancara Hantaman, atau naon” selidik Kang Bimo.

“Oh, si Arwen rekues lagu pas saya lagi akustikan Kang di café temen…”
“Oh, Mas Arya temennya Bang Zulham?” kaget Arwen.
“Iya”
“Nah saya suka banget ke cafenya, tar kapan-kapan nyanyi lagi disana ya? tar saya bawa temen-temen yang laen..” sahut Arwen dengan antusias.

“Mmm… Boleh”
“Eh terus naha Cuma rikues doang bisa jadi kenal” Kang Bimo tampaknya masih penasaran.
“Ya kenalan abis itu”
“Kenalan gitu aja?” tanyanya menyelidik.
“Abis gimana dong”

“Teu, sugan tukeran kartu nama kitu, mau tukeran info bisnis MLM sama bisnis akua galon” candanya. Terdengar agak dipaksakan memang.

“Eh, Gojeknya dah mau dateng, jalan dulu ya, kan misi malem ini dah selesai” mendadak Arwen memecah suasana.
“Ga bareng temen-temennya? Tadi di IG kayaknya ramean” tanyaku.
“Eh Mas Arya follow gue?” dia terlihat panik.
“Engga, tadi ada temen yang ngasih tau, dia yang follow IG situ” senyumku.

“Oh yaudah… Bye… Sampe ketemu ya” Arwen berjalan menjauh sambil melambaikan tangannya dengan penuh semangat. Aku tertegun, karena tadi entah kenapa rasanya absurd.

Kang Bimo hening, menatapku, menghisap rokoknya dan menggaruk perutnya yang buncit. Dia melempar puntung rokoknya ke tanah dan menginjaknya. Dia lalu meregangkan badannya.

“Maneh nyaho teu?” tanya Kang Bimo.
“Apaan”
“Eta awewe suka sama kamu. Keliatan pisan”

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Woohooo rollercoaster kehidupan Arya Achmad akan segera dimulai kembali!!

Gak sabar nunggu cerita yg belum sempet di posting!!

Semangat suhu RB!!

(Tapi ekspektasi nama penggantinya sebenernya lebih lucu dari "arwen".hehe)
 
namanya cewe di coffee shop ganti kan ya?? tadinya siapa tuh lupa gue.. kalo ga salah juga news anchor
 
MDT SEASON 1 - PART 68

--------------------------------------------

guitar10.jpg

“Besok malem jalan ya?” tanya Ai sambil melihatku yang sedang repot packing.

“Ho oh”
“Dan Packingnya baru sekarang” ledeknya sambil berguling-guling di atas kasurku.

“Engga, itu gitar sama efek udah siap dari tadi pagi kok” keluhku.
“Hmm baru tadi pagi kan?”
“Ya gimana, jumat kemaren kan aku masih manggung, sekarang sabtu, besok minggu malem jalan, kapan lagi packingnya abis?” tanyaku retoris.

“Kan bisa untuk baju dan perlengkapan idup jauh-jauh hari sebelum hari ini…”
“Dan kamu ga bantuin” aku memicingkan mata sinis ke arah Ai.
“Dan aku males bantuin” dia sibuk dengan handphonenya dan terlihat seperti melakukan selfie.

“Ngapain sih kamu?”
“IG Stories”
“Buat apa?”
“Ya gak buat apa-apa” jawabnya.

“Kalo ntar ada orang pervert liat video-video kamu narsis-narsisan gitu gimana dek?” tanyaku dengan sinis.
“Biarin aja”
“Kok gitu?”
“Bisa aja ada cewek pervert yang juga jadiin foto-foto mas objek kan” tawanya sambil mengetik entah apa di handphonenya.

“Ngomongmu dah kayak Stefan” kesalku.
“Biarin”

“Dia udah lumayan gak aneh lagi tuh, tapi masih kerasa surem sih” lanjutku, mendeskripsikan Stefan si anak setan. Eh bukan, orang tuanya malaikat, orang saleh. Stefan si setan berarti. Dia yang setan, bapaknya bukan.

“Bagus bagus, emang musti diajak ngobrol berdua ama sahabat sejatinya, Arya….” Ai tampak tidak fokus kepada ucapanku. Akhirnya aku mengambil bantal duduk di sofa dan melemparkan bantal tersebut ke arah Ai.

“ADUH!” yes, telak kena mukanya.
“Ahaha” tawaku sambil lanjut memasukkan jaket kulitku ke dalam koper.
“Awas tar malem aku acak-acak ini isi koper” Ai bersungut-sungut, tapi tidak membalasku, dia masih sibuk dengan handphonenya.

“Ngobrol ama siapa sih” aku usil bertanya sambil memasukkan beberapa pasang kaos kaki ke salah satu sudut koper.

“Ada deh”
“Stefan?” tanyaku lagi.
“Mau tau aja”
“Cowok laen?”
“Ada deh”

“Sini liat” aku melempar diriku ke kasur, di sebelah Ai dan merebut handphonenya. “Lah… Ini mah Dian…” aku menatap Ai dengan muka malas.
“Nah makanya jangan kepo, Mas…. Cuman ngobrol ama Mbak Dian doang kok situ yang xewot” ucapnya usil dengan menggunakan huruf X di depan kata sewot.

“Engga, kalo Stefan gitu bisa aku tanya-tanya soal dia lebih lanjut, gimana nada bicaranya, apa masih ga jelas kayak sebelum aku ajak ngobrol itu loh…”

“Aku ngobrol ama Stefan selalu aku usahain biasa aja dan gak banyak ngebahas Mas ama Kyoko sih” senyum Ai getir.
“Oh, eh tapi… Jadi penasaran… Kalo kamu nikah ama Stefan ntar, siapa yang ikut agama siapa ya?” usilku.

“Paling kawin di Singapur” jawab Ai cuek sambil membalikkan badannya, punggungnya menghadapku.

“APA?”
“Ahaha… Kagak lah, kayak yang Stefan itu siapaku aja sih……….”

“Kaget sial”
“Ahahahahaha” tawa Ai sambil bangkit, berusaha berlalu dari kamarku. Mungkin dia ingin mencari objek yang lain untuk diganggu.

--------------------------------------------

dsc_8810.jpg

“Dan lo mendadak jadi ngajakin ngopi disini” tawaku di sore hari yang cerah itu, sambil masih membayangkan tadi pagi, segala kekacauan packing yang akhirnya selesai juga sebelum makan siang.
“Biarin” jawab Stefan sambil menghirup aroma kopi racikan Zul.

“Itu arabica Sulawesi Fan, baru dateng kemaren, spesial buat elo!” teriak Zul, atau Zulham.
“Siap” balas Stefan ke arah Zul yang ada di balik peralatan kopinya.

“Emang lo ngerti kopi?” tanyaku sambil berbisik.
“Engga, yang gua tau kopi cuman ada dua, kopi enak sama kopi gak enak” Stefan nyengir dengan muka liciknya ke arahku.

“Lah emang tadi lo pesen apa, kok kayaknya spesifik gitu?”
“Gue Cuma bilang, terserah lo deh gue dikasih apa… Dan sekarang ini yang ada di depan gue. Enak juga tapi” dia menyeruput cairan hitam yang suci itu.

“Kirain lo insaf gitu dari miras terus beralih ke kopi” ledekku.
“Engga, Cuma bosen di tempatnya Cheryl sih, hampir ga ada yang gue kenal orangnya”

“Kan ada Kanaya”
“Semenjak lo ngomong dan malah jadi ga enak ama dia itu, dia jadi ngehindarin gue juga” jawab Stefan dengan datarnya.

Ah Kanaya, biar lah begitu. Tidak usah dipikirkan lagi. Memang pada akhirnya orang-orang memang akan selalu pergi dari hidupmu, dan nanti akan datang orang baru lagi yang mengisi hidup kita. Aku tidak pernah menganggap Kanaya sedekat itu, seintim itu. Beda dengan Karina yang jelas-jelas mantan pacar.

“Terus, dokumen Kyoko udah dateng ke elo kan?” tanya Stefan mendadak.

“Udah, lagi diterjemahin sekarang ama penerjemah bersertifikat, ntar emak gue yang urusin sama sodara bokap gue pas gue di Jepang, gue udah teken banyak surat kuasa buat urusan itu” senyumku.
“Teken…. Bahasa jaman kapan itu, kayak lo dari taun konon aja” ledek Stefan.

“Mong-ngomong, si Anin dah sampe mana sih, ga dateng-dateng ke mari” aku celingukan, melihat parkiran di depan yang begitu sepinya.
“Lelet biasa si kingkong…. Kalo janjian suka ga tepat waktu… Untung untuk urusan ngemanage Hantaman selalu tepat waktu dan firm”
“Tar besok jangan-jangan dia sama juga, dateng lelet ga puguh kayak waktu yang Fuji Rock itu loh” tawaku.

“Di wassap juga kagak bales-bales, pasti lagi nyetir” keluh Stefan.

“Ah kan santai, Cuma nongkrong doang kan sore ini, paling tar malem cari makan….” aku menguap, sambil mataku tertuju ke arah display makanan di café itu. Makanan yang seadanya, hanya cake dan pasta yang rasanya enak memang, tapi standard. Jagoan di café ini memang kopinya Zulham. Dari jaman kuliah dia memang terkenal dengan kopi. Dari mulai iseng suka ngopi di café manapun yang bisa ia temukan, dia mulai mendalami tata cara menjadi barista. Bahkan Tugas Akhirnyapun adalah visualisasi ensiklopedia kopi Indonesia. Luar biasa.

Setelah lulus, aku ingat yang dia lakukan, dia menjual motor kesayangannya demi membeli mesin kopi. Lalu dia mulai berguru, berjejaring, dan memberanikan membuka tempat ini dengan dukungan investor yang ia kenal dari pertemanannya di dunia kopi. Dan sekarang tempat ini terkenal. Dan enaknya, kalau anak alumni kuliahanku mau reuni, tinggal kesini, tak usah cari tempat lain lagi, karena ada tempatnya Zulham.

Gantian aku yang meminum kopi panas yang ada di depanku perlahan, sambil memperhatikan suasana Kemang yang di sore ini belum padat. Malam Minggu, Kemang, mungkin ketika matahari hilang, suasana akan segera ramai.

--------------------------------------------

007px710.jpg

“Dan inilah realita kaum muda urban” keluh Stefan sambil menyantap ayam tersebut.
“Maksudnya?” tanya Anin yang fokus kepada makanannya.

“Nongkrong di café yang hits, terus dateng ke acara-acara hits, tapi makannya lagi-lagi KFC” jawab Stefan.
“Abisan gue lagi pengen sih”
“Bilang aja ga kreatif” ledekku sambil meminum minuman ringan, karena makan malamku sudah habis dari tadi.

“Dan elu gak salah nasinya dua?” tanya Stefan ke Anin.
“Gak salah”

“Dan daritadi kita diliatin beberapa orang lewat, berasa kita band KFC banget ga sih” tawaku sambil bersender dan menerawang ke dalam chattinganku dan Kyoko. Kyoko akan menginap di hotel pada senin malam bersamaku dan aku tidak sabar ingin segera berangkat ke Jepang. Untung kami diinapkan di kamar sendiri-sendiri oleh Titan.

“Anyway, kita bakal ketemu Zee lagi” Stefan membuka suaranya, menatapku dan Anin bergantian.

“Haduh” Anin menarik nafasnya dalam dan menatapku dengan tatapan kosong.
“Dia udah janji ga akan bikin ulah lagi kan?” sahutku menatap Stefan dengan mata yang tajam.

“Janjinya, tapi kita semua tau, si kunyuk besar ini suka ama tu cewek, dan tu cewek suka ama si raja incest ini” tunjuknya dengan menggunakan tulang ayam.
“Bentar gue cuci tangan dulu” Anin lalu bangkit dan berlalu, menyisakan perasaan kesal di meja itu.

“Elo bisa gak sih, bahas gini pas ga ada Anin” aku agak kesal karenanya.
“Kalo gak diginiin, ntar kalo dia gak dapet-dapet tu cewek jadi lebih bentar pasti galaunya, biar dia sadar kalo Zee itu ga suka ama dia”

“Iya tapi ga usah kayak gitu juga kali…” keluhku.

Anin kembali lagi ke meja kami dan mulai minum.

“Nin” tegurku.
“Ya?”
“Mau gue kenalin ama Arwen gak? kayaknya cocok sama elo dan pasti dia jauh lebih asik diajak ngobrol daripada Zee, yang cuek setengah mampus itu” senyumku tipis berusaha menyemangati Anin.
“Jujur tapi gue…..”

“Iya lo love at first sight ama Zee kan? itu tuh palsu tau cintanya biasanya… “ ledek Stefan.
“Kalo gue ngerasanya gitu gimana? sinis Anin ke Stefan.
“Ah, kayak ngobrol ama ABG aja, orang laen dah ngomongin soal kontol ketemu memek, elo cinta-cintaannya masih kayak cinta monyet anak SMP Negri” tawa Stefan dengan mata usil.


“Hmmmm” jawab Anin dengan malas. Ya tapi itulah Anin, yang sensitif, perasa dan lembut.

“Udah, lo coba kenal ama Arwen dulu, anaknya baek, enak diajak ngobrol dan…”

“Iya daripada dia diembat Arya jugaaa” Stefan membuat ekspresi sok lucu di depan Anin, sambil memotong omonganku.
“Lama-lama gue sembur pepsi ni anak” kesal Anin.

“Gapapa, gak bahaya ini kan” ledek Stefan lagi.
“Kampret”
“Wakaka….”

“Udah ya, kenalan ama Arwen, gue line nih sekarang, oke? Oke?” tawarku seperti sales menawarkan mesin penghisap debu ke seorang ibu rumah tangga yang stress karena ulah suaminya yang berselingkuh dengan pembantu tetangga sebelah.

“Ga mau”
“Kenapa? Kan gampang, lebih approachable daripada sama Zee” senyumku.
“Lo mau gak gue suruh pacaran ama cewek yang lebih gampang ditemuin, dan tipe elo banget tapi bukan Kyoko” potong Anin.
“Eh?”

“Jawab”
“Eh…. Emmm….”

“Terus si cewek ini semua orang bilang lebih oke dari Kyoko, bahkan cakepan dia” lanjutnya,

“Gak mau….” jawabku pelan.
“Nah” aku terpaksa menelan ludah mendengar Nah nya Anin.

“Emang kenapa kalo gue suka ama cewek kayak Zee? Karakter Tsunderenya itu loh, lebih pedes dari Anggia…” Anin menerawang jauh ke atas langit-langit. Aku dan Stefan mendadak speechless. Dan aku memberanikan diri bertanya.

“Tsundere Nin, apaan tuh?” tanyaku dengan tololnya.
“Tsundere…. Kalo di anime itu ada tokoh cewek yang galak, dan dingin, tapi lama-lama keliatan sisi hangatnya” Anin sedang mengkhayalkan Zee, tampaknya.

“Hangat? Yang ada mah dia panas, tapi ke si orang ini. Panas bernafsu lagi…” tunjuk Stefan ke Arya. Ya, Arya aku maksudnya.

“Lo semua gak liat sih, gue yakin banget kalo Zee bisa keliatan sisi hangatnya…” mata Anin terlihat berbinar-binar. Tunggu. Aku pernah melihat ekspresinya yang seperti ini, yaitu waktu jaman kuliah, membicarakan Anggia. Kalau memang Tsundere itu seperti apa yang dia katakan, memang, Anggia tipe-tipenya begitu. Judes, cenderung kasar, blak-blakan, tapi kemudian dia bisa menunjukkan sisi hangat dan ramahnya ke orang yang dia sayangi, seperti sahabatnya yang kini menikah dengan Dian, dan Rendy. Rendy terutama pasti.

“Jadi, lo pikir si Zee ini sukebe-sukebe itu?” tawaku.
“Kurang ajar!!” geram Anin. Sukebe artinya cabul.

“Lo hidup di dunia apa sih Nin, lo masih ngidam jadi pilot robot ya?” tanya Stefan, melihat tingkah dan pembicaraan Anin. Bayangkan, bassist Band Rock Indie ternama di Indonesia, dengan tampang tinggi besar, kulit gelap, kepala botak licin dan tampang yang tegas, tapi lumer sama cewek Tsundere.

“Masih sih” tawa Anin menimpali Stefan.
“Nih robot gue, lo pilotin sana” Stefan menyodorkan selangkangannya ke arah Anin.
“Najis” komentarku.

“Jadi yakin banget nih kalo Zee tsundere?” tanya Stefan dengan muka heran.
“Yakin”
“Kenapa?”
“Soalnya deg-deg an nya sama persis kayak waktu gue ketemu Anggia pertama kali” jawab Anin yakin. Seyakin-yakinnya mungkin.

Aku dan Stefan saling menatap dalam heran. Iya, kami lupa Anin adalah otaku. Dan memang dia sebegitunya dengan kebudayaan populer Jepang. Sepertinya ada beberapa detik yang agak lama, prosesi tatapan mataku dengan Stefan terjadi.

“Eh terus kalo Kyoko? Apa dere dong?” tanyaku iseng.
“Kalo Kyoko mah Magical Girlfriend banget” jawab Anin dengan senyum terkembang yang lebar.
“Hah?”

“Iya, tipe cewek yang selalu ada buat elo, terus cintanya kayak gak abis-abis, dan dipertemukan oleh kejadian ajaib yang kayaknya serba kebetulan, ya kayak Bell Dandy nya Oh My Goddess atau Chi nya Chobits” jawab Anin panjang.
“Nih buat elo, magical bones” Stefan lalu memasukkan tulang bekas ayamnya ke dalam minuman ringan milik Anin.

“BANGSAT!”

--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------

54168810.jpg

Minggu malam, Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng, Propinsi Banten. Aku duduk di kursi, dengan menatap tumpukan tas gitar dan koper yang ada di sampingku. Stefan duduk di depanku sambil merokok, pesawat kami jam 10 malam, sekarang jam 7 malam. Anin? Dia belum datang.

Di sebelahku, adikku sedang menyandarkan kepalanya kepadaku. Entah mengapa smoking area di Terminal ini sepi. Mungkin memang sepi.

“Jadi gimana, kakak lo mau kawin, kehilangan pasangan incest dong” tawa Stefan ke adikku.
"Basi gak sih, udah dari taun kapan, becandaannya masih soal incas inces" jawab Ai dengan cueknya, masih tetap bersandar ke bahuku, dan mengambil sebuah selfie yang mungkin akan dia posting di instagram atau entah apalah.

"Kalo orang kagak kenal nyangkain pasti kalian couple tau" lanjut Stefan.
"Kalo orang kagak kenal pasti nyangkain elo maling ayam" ledek Ai.
"Sial"

Ai lantas menjulurkan lidahnya ke arah Stefan, dan kembali fokus ke handphonenya. Aku sedang bertukar pesan dengan Kyoko sekaligus memeriksa Anin, Bagas dan Sena ada dimana.

"Guys? Dimana klean?" tulisku singkat di grup whatsapp.
"Tol dalem kota Bang" jawab Sena.

"Tol dalem kota katanya Fan"
"Kampret, lelet bener tu sepupuan bertiga itu...." kesal Stefan.

"Lah take off nya kan masih lama Fan" bingungku.
"Ya bisa gak sih mereka dateng lebih awal kayak kita, biar gak panik senewen kalo mepet mepet gitu loh"
"Ya kan mereka bukan kita, lagian kapan pernah sih mereka ketinggalan pesawat? Orang gak pernah juga...." aku menerawang langsung ke mata Stefan yang tajam.
"At least gak bikin gue senewen lah" ujarnya sambil menghisap rokok dalam-dalam.

"Stefan, kapan sih elo mau brenti ngerokok?" mendadak Ai menanyakan sesuatu yang out of the blue.
"Hah?"
"Iya, kapan mau berhenti ngerokok?"
"Kagak mau"
"Sepupu gue aja bisa brenti ngerokok, tuh lakinya Mbak Dian... Dia dulu perokok parah banget lho..." jelas Ai mempromosikan suaminya Dian.

"Peduli amat orang laen mah" Stefan pun membakar rokok baru. Memang Stefan, ketika sedang ngobrol santai seperti sekarang, pasti tidak pernah putus merokok.
"Kenapa gak dikurangin aja gitu, ga kasian apa sama paru-paru elo" sinis Ai.

"Lo ga kasian apa kalo gue ga ngerokok ntar stress?"
"Ya apa kek, biar ga ngerokok terus, ngevape gitu apa lah... Biar gak bau juga kalo deket deket sama elo..." keluh Ai, memicingkan matamya, sambil terus bersandar di bahuku. Aku sendiri sudah bosan menunggu terlalu lama. Aku terlalu ingin untuk segera terbang, menyentuh Jepang yang sedang dingin, dan bertemu dengan Kyoko kembali. Lebih tepatnya karena senin malam kami berjanji akan bertemu disana.

"Ngevape? Ya ampun nak... Gue? Ngevape?" tawa Stefan mendadak.
"Iya, emang kenapa? Katanya kan lebih sehat dari rokok" balas Ai.
"Siapa bilang"
"Katanya"

"Ga jelas kalo katanya mah" ledek Stefan. "Daripada gue ngisep barang ga jelas gitu yang ga tau bahaya apa engga, mending gue ngisep rokok aja, yang udah pasti jelas bakal mati kalo gue isep banyak banyak"

"Apaan sih ngomongnya... Lancang amat" keluh Ai.
"Jangan sok perhatian deh ama gue" sinis Stefan dengan muka setengah meledek.

“Emang gak boleh gue perhatian sama elo?” tanya Ai dengan muka menantang. Mendadak kepalanya tegak, dan duduknya agak membungkuk, menatap Stefan dengan tajam.
“Boleh, tapi siapa elo sih, emak gue bukan, kakak gue bukan, lebih muda malah…” Stefan pun merubah posisi duduknya, menjadi condong ke depan dan mereka berdua bertatapan dengan dalam.

“Calon istri”

“HAH?” Ai dan Stefan mendadak melihat ke arahku yang menjawab tadi. Aku tertawa tanpa suara dan menerima tamparan asal dari Ai di bahuku.
“Apaan sih” kesalnya. Dan Stefan pun melempar puntung rokok ke arahku yang tertawa puas.

Mendadak telponku berbunyi. Anin.
“Woi” sapaku.
“Dimana kalian, kita dah nyampe!” serunya dengan tergopoh-gopoh di telpon.
“Santai kali, lo pada dimana?”
“Masih di drop off” jawabnya.

Aku lantas bangkit dan mengangkat ranselku.

“Mari, kita kesana yak sekarang…” dan aku menutup handphoneku tanpa aba-aba.

“Ayo” Stefan berdiri dan mengangkat tasnya.
“Jaga Jakarta ya Dek” aku menepuk kepala Ai dan dia menjawabnya dengan senyum.

Jepang, kami akan kembali lagi. Kami akan menghantam kalian, berturut-turut di tiga kota. Dan Kyoko, tunggu aku, besok malam kita akan bersama lagi seperti bulan lalu di Jakarta.

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
MDT SEASON 1 - PART 69

Hantaman – Japan Februari 201X

Week 1
Senin : Touch down Tokyo, ke penginapan
Selasa : Press Release + Live! @ Tower Records Shinjuku
Rabu : Go To Osaka
Kamis : Live! @ Fandango Osaka
Jumat : -
Sabtu : Live! @ Club Quattro Umeda
Minggu : Go To Kyoto

Week 2
Senin : -
Selasa : Live! @ Live House takutaku Kyoto
Rabu : -
Kamis : Live! @ Kyoto MUSE
Jumat : Go To Tokyo
Sabtu : Live! @ MARZ Shinjuku
Minggu : -

Week 3
Senin : Live! @ Koenji 20000 V
Selasa : -
Rabu : Live! @ Shibuya WWW
Kamis : -
Jumat : Go To Jakarta


--------------------------------------------

welove10.jpg

Jepang. Awal Februari, setelah menempuh perjalanan yang begitu melelahkan malam tadi, pagi tadi kami sampai lagi di Jepang. Negara ini memang menjadi bagian dari hidup kami semenjak dua tahun lalu, semenjak aku pergi sendiri kesini, dan menancapkan kukuku sedikit demi sedikit ke industri musik disini.

Kami sedang berada di kantor Titan, menjelang makan siang. Kairi sedang rapat sebentar bersama beberapa stafnya untuk mendiskusikan entah apa. Tapi hal-hal terkait tur pendek kami, promo album kami dan acara launchingnya besok di Tower record sudah dibahas tadi, sebegitunya kami datang disini, dan ditutup dengan pemutaran video klip kami untuk seluruh karyawan kantor ini.

Walaupun mereka semua mungkin telah melihatnya di youtube, tapi tentu mereka menunjukkan muka senang dan antusias ketika melihat video klip itu. Kesempatan itu juga digunakan Rendy, yang menitipkan portofolionya pada kami, untuk diberikan ke Kairi. Mudah-mudahan kedepannya bakal jadi pembuka rejeki untuk Rendy dan Anggia, haha.

Kantor ini kecil, jika dilihat dari perspektif orang Jakarta yang biasa melihat kantor-kantor yang luas. Gedung tempat kantor Titan berada adalah gedung tiga lantai. Lantai paling bawah, ada Coin Laundry dan Minimarket, lantai dua, ada kantor arsitek, dan lantai ketiganya digunakan oleh Titan. Yang cukup repot, di gedung kecil ini tidak ada lift. Jadi semua harus rela memanjat tangga.

Kami sedang menunggu Kairi dan Shigeo yang sedang rapat, mereka berdua akan membawa kami makan siang, sebelum melepas kami yang sepertinya sudah punya agenda masing-masing di Jepang. Sehabis makan siang, Ilham dan Zee akan menghampiri kami, mereka katanya sedang dalam perjalanan dari Yokohama. Bagas sedang duduk dengan kakunya, Sena sedang celingukan, dan Stefan sedang merokok di balkon yang sempit itu, tidak peduli udara dingin setengah mati.

"Deg-degan gue..." bisik Anin.
"Besok? Yoi... Untung barang-barang kita udah dimasukin ke hotel ya" senyumku ke Anin. Hotel yang akan kami tinggali kamarnya begitu sempit, dan tidak cukup untuk digunakan beramai-ramai. Tapi sangat bersih dan rapih. Untung juga kami ditempatkan sendiri-sendiri, karena dengan itu, Kyoko nanti malam jadi bisa menginap.

"Bukan... Bukan besok" geleng Anin dengan senyum yang susah dikontrol.
"Paan dong"
"Zee" senyumnya lebar, membayangkan perempuan asal Singapura yang cantik itu.

"Ah kirain mikirin release besok" aku menepuk jidatku sendiri.
"Besok juga deg-degan, tapi kalo Zee... ya ampun..."

"Kok ya ampun?"
"Gue deg-degan banget soalnyaa..."
"Nin lo kenapa sih senyum-senyum sendiri gitu?" bingungku.
"Si Zee kan agamanya Islam kan?" tanya Anin mendadak.
"Kalo ga salah gitu"

"Nah pasti kalo kawin ga susah administrasi segala macemnya.... ehehehe"
"Gila lo ya tau-tau mikirin kawin"
"Hehehehehe"

Aku hanya bisa menggelengkan kepala, melihat tingkah Anin yang belum apa-apa sudah salting, padahal belum bertemu dengan Zee. Padahal Zee baru bisa ditemui setelah acara makan siang bersama Kairi. Ya ampun....

"Ah gue nemenin Stefan ah" aku beranjak, lalu pergi ke tempat kami menaruh coat dan jaket kami. Aku mengambil jaket kulitku yang kupercaya bisa menahan dinginnya Tokyo di bulan Februari.

Kubuka pintu balkon dan angin dingin pun menerpa. Aku memperhatikan Stefan yang sedang sibuk dengan handphonenya. Bisa kulihat dia sedang mengirim foto-foto dirinya ke seseorang. Seseorang yang aku hapal foto profil sosial medianya, yakni adikku.

"Dingin banget ya?" tegurku, dan memang walaupun jaket kulit, sarung tangan dan celana jeans yang didalamnya dilapis longjohn bisa menahan dingin, tapi tetap saja, angin masuk dari sela-sela leher, dan semua tempat yang bisa ia lewati.

"Kacau dinginnya" Stefan terus-terusan merokok. Dia sengaja membawa rokok kretek, biar hangat katanya.
"Ga boong" jawabku, sambil memperhatikan jalanan sekitar Nakano, yang sibuk dengan orang lalu lalang.
"Lo ntar ketemu Kyoko kan?"

"Iya, ntar dia nginep"
"Sialan kesempatan" tawa Stefan kecut.

Aku tersenyum pelan sambil menatap kearah langit.

"Lo juga punya kesempatan yang sama kalo lo bisa lebih terbuka sama adek gue"
"Hah?"
"Ayolah Fan, lo bisa agak kalem sama isu pernikahan itu karena lo balik intens ngobrol sama Ai lagi kan?" tanyaku.
"Apaan sih elo.. Biasa aja kali" ucapnya sambil mematikan rokok, dan dengan gerakan cepat ia mengambil sebatang lagi untuk dibakar lagi.

"Gue sih liat sesuatu yang gak biasa" senyumku.
"Dibiasain dong, kontol" balasnya sambil menahan senyum.

--------------------------------------------

c700x410.jpg

"KANPAI!!" gelas-gelas bir dan softdrink berdenting di restoran barbeque itu. Asap-asap rokok bertemu. Di restoran seperti ini, terutama restoran barbeque, memang dipersilahkan merokok. Jepang memang tempat yang cukup ramah untuk perokok.

Segala macam jenis daging, baik itu sapi maupun babi, kami lahap dengan tanpa malu-malu. Terutama Anin dan Sena, mereka terlihat kalap dengan daging yang melimpah.

Aku duduk di pojok, Stefan di sebelahku, dan Kairi ada di sebelah Stefan.

"So you said you want to meet your friends after this?" tanya Kairi ke kami.
"Yes, the ones who accompany us as photographers before" jawabku merujuk ke Ilham dan Zee.
"Tell them to join us" Kairi tampaknya ingin mengajak mereka bergabung juga.

"Well, they're on the way...." Anin memeriksa handphonenya, memastikan Ilham dan Zee berada dimana.
"Okay Then... Just let me know if they could join"

Kairi mencoba menyalakan rokoknya dan Stefan tampak dengan sigap memberikan koreknya ke Kairi. Kairi hanya tersenyum dan membiarkan Stefan menyalakan rokoknya. Sumpah, gerak-gerik Kairi tidak terlihat seperti orang Jepang, tingkah lakunya Amerika sekali.

"What's the story behind this?" Kairi menunjuk ke arah tangan Stefan. Dia menunjuk ke arah sebuah tulisan yang melingkari pergelangan tangannya. Ya, memang itu satu-satunya tato tulisan atau kaligrafi di badan Stefan. Sisanya image.

"I have the right to do anything, you say—but not everything is beneficial. I have the right to do anything—but I will not be mastered by anything... 1 Corinthians 6:12..." jawab Stefan.
"I see" senyum Kairi.

Aku mendadak ingat pada saat dia membuat tato itu. Dia bilang, ayat ini adalah kutipan dari orang-orang yang menentang Paulus, salah satu murid Yesus. Mereka menyangka bahwa mereka berhak untuk melakukan apa saja yang mereka inginkan. Dan Stefan mengatakan dulu, "Gue sepertinya sama seperti para pendosa itu". Dia mengatakannya sambil tertawa.

Dan bisa kulihat sekarang ekspresinya beda, ketika Kairi bertanya soal Tato itu. Dia merasakan bahwa kebebasan, penentangannya terhadap hidup settle seperti orang lain, kini membuatnya merasa tidak nyaman.

--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------

3003_010.jpg

"Lagi-lagi pelukan kayak orang gila" Stefan menggelengkan kepalanya, saat melihat Anin dan Ilham bertemu di Akihabara.
"Biarin, pada kangen parah kan mereka berdua hehe" tawaku melihat mereka berdua melepas rindu. Tak terasa memang sudah lama Ilham dan Anin berpelukan, setelah beberapa menit kami bertemu di Akihabara, di sekitar stasiunnya.

Zee berdiri dengan cueknya dengan senyum aneh melihat Anin dan Ilham. Masih bisa kurasakan ada hal yang agak lain dari tingkahnya di depanku. Dia yang biasanya cuek dan masa bodo, tadi langsung menegur dan menyalamiku dengan senyumnya yang ternyata bisa dibilang manis.

"Congrats ya weddingnya" salamnya tadi. Aku tersenyum, berterimakasih, tapi entah kenapa aku seperti bisa merasakan dia memperhatikanku sampai sekarang. Aneh, tapi sudahlah, mungkin hanya ge-er saja karena kami pernah punya sejarah yang agak tidak enak.

"So, sekarang kemana? Ayo ham anterin gue keliling-keliling sini, Zee juga ikut kan?" tanya Anin ke Ilham dan Zee dengan antusiasnya. Bisa kulihat Zee mengangguk dengan terpaksa ke arah Anin. Bahkan tadi aku malu sendiri ketika kami semua bertemu dengan Ilham dan Zee,dimana Anin tidak bisa menyembunyikan rasa antusiasnya ketika melihat Zee dan menyapa dengan agak gelagapan.

"Mau kemana? Radio Kaikan kan udah elo, Mandarake udah, apa mau blusukan aja cari toko-toko yang agak aneh dan gak umum" senyum Ilham.

Bisa kulihat Stefan berdiri dengan bosannya, Sena celingukan. Sementara Bagas sudah di hotel, dia memilih istirahat dibandingkan dengan jalan-jalan.

"Lo gak merhatiin kita apa, yang ga suka liat-liat maenan atau hal hal yang berbau elo?" tegur Stefan.
"Kita ikut aja lah Fan, daripada ga jelas" balasku.
"Mending gak jelas aja, kemana gitu tempat lain"

"Gue ga mau jauh-jauh, ntar kan ketemu Kyoko di Nakano" senyumku, membayangkan calon istriku.
"Babi, yaudah lah" Stefan dengan malasnya mengikuti maunya Anin. Kami segera melangkah untuk menjelajah Akihabara.

Kami merayap, menyusuri jalanan Akihabara yang ramai. Orang-orang lalu lalang, dengan pakaian khas musim dingin maupun pakaian yang unik di mata kami. Dan perempuan Jepang tahan sekali tampaknya, memakai rok mini di musim dingin.

"Kalo maid cafe yang asik disini dimana?" tanya Anin ke Ilham.
"NO MAID CAFE" teriak Stefan dari belakang.

"Gue juga pengen ke cat cafe" lanjut Anin sambil mencoba mendiamkan Stefan.
"Ngapain jauh-jauh ke sini buat liat kucing" balas Stefan lagi.

"Apaan sih rese, yaudah ke tempat yang semua bisa liat, kalo nonton AKB 48 bisa gak sih dadakan gitu Ham?"
"Gue gak mau nonton gituan" potong Stefan.

"Terus lu maunya kemana?"
"Terserah, ajak gue kemana aja asal ke tempat yang gue mau" kesalnya.
"Gak jelas banget"

"Pertama ke situ dulu deh, gue mau beli rokok" tunjuk Stefan ke sebuah minimarket.
"Rokok lo udah abis lagi?" tanyaku ke Stefan.
"Iya"

"Ikut bang" Sena mendadak mengekor Stefan yang berjalan dengan grasa-grusu ke arah minimarket. Bisa terlihat cara jalannya agak tidak santai, ada aura uring-uringan di setiap langkahnya.

"Kenapa sih temen lo" bisik Anin sambil memperhatikan langkah gontai Stefan merayap ke minimarket.
"Tau" jawabku sambil mengangkat tangan, di tengah udara yang dingin.
"Minggir yuk" Ilham menegur kami, agar kami tidak diam di tengah jalan, dan merapat ke pinggir. Zee mendadak ikut merapat juga dan sekarang dia ada di sampingku.

"What's wrong with him?" tanya Zee, dengan cueknya dengan mata nyaris tanpa ekspresi, walau bisa kulihat ada sedikit senyum di matanya. Aku tau Stefan kenapa, dia masih uring-uringan soal masalahnya dengan pernikahan dan hidup settle. Tapi tak mungkin itu kubicarakan di depan Zee, walau aku ingin sekali membahas soal ini dengan Anin yang tampaknya sekarang jadi sasaran kesewotan Stefan.

"Ga tau" jawabku dengan mengangkat tangan lagi. Come on, masa semua harus aku yang jawab?
"So, how's the preparation going?" senyum Zee mendadak. Senyum?
"Mmm... Baik-baik aja?"jawabku. Dia pasti bertanya soal pernikahan.

"After wedding, kamu not free anymore ya?" tanyanya dengan cuek, dengan senyum, masih, tapi setelah dilihat lama-lama, senyumnya terlihat datar.
"Bisa diatur" jawabku pelan.
"Kalau japanese style family, susah free nya di perempuannya" lanjut Zee, "If melayu style, just like my father, he let my mother rule everything" seringainya dengan muka yang agak terkesan meledek. Meledek ayahnya mungkin.

"Haha" tawaku mencoba merasakan keramahan ala Zee. Jujur aku agak canggung, karena melihat sisi lain darinya yang tidak se cool ini. Yang bisa dibilang asal, yakni ketika mabuk. Tapi yasudahlah, namanya juga orang mabuk.

Dan sejujurnya, walau sempat terpikir hal-hal yang mungkin agak mengganggu darinya, sekarang sudah tidak terasa. Tampaknya ia mencoba ramah untuk menetralkan suasana. Dan mungkin dia aslinya ramah, tapi entah kenapa bisa kulihat gaya dingin dan cueknya sebagai tameng pertama untuk melindungi dirinya dari ibunya yang cerewet. Bisa kubayangkan, pasti tipe-tipe mama-mama melayu arab yang berbadan besar, galak, bolak balik menyuruh anak gadisnya ini memaiak jilbab atau menikah. Jadi yasudah lah, dia bukan ancaman untukku sama sekali, dan bukankah ia telah berjanji untuk menjaga minumnya di depanku?

Yang perlu di khawatirkan sekarang adalah Stefan. Walau ia terus berusaha menekan perasaan tidak nyamannya dan berusaha sok cuek pada dinamika hidup orang lain di sekitarnya, tapi ketidak nyamanannya sangat jelas terlihat. Stefan, entah kenapa dia seperti itu. Aku sudah hapal, dia memang tidak suka komitmen, buktinya, walaupun bergelimang perempuan, dia tidak pernah mau pacaran. Terakhir kali dia pacaran, jaman SMA katanya. Gila, itu berapa belas tahun yang lalu?

Dan aku sangat tidak nyaman dengan kondisi ini. Jujur, aku takut kegalauan dirinya atas ketidaksukaannya pada komitmen membuatnya menjadi menjauh dari kami. Sebagai orang yang masa remajanya dihabiskan untuk merekatkan sebuah keluarga yang hancur karena seorang ayah yang brengsek, aku sangat tidak suka melihat sekelilingku agak kacau balau seperti ini. Itulah kenapa aku begitu memikirkan Stefan, dan Kanaya dulu. Dan pada akhirnya, ketika Kanaya memilih untuk menyingkir dari hidup kami, aku agak sedikit menyalahkan diriku yang terlalu berterus terang padanya, kenapa tidak kulupakan saja soal pengakuannya. Tapi sudahlah, untungnya itu sudah lewat.

“Lama amat si Stefan?” bisik Anin.
“Tau, gue pengen cepet-cepet malem deh, biar bisa cepet ketemu Kyoko dan ga liat kelakuannya Stefan yang makin hari makin kacau gitu” keluhku.

--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------

latte_10.jpg

Hari sudah malam, ada coffee shop yang buka sampai tengah malam di dekat hotel, dimana aku dan Stefan menghabiskan malam itu. Kyoko sedang di jalan, dan aku sangat tidak sabar menunggu dirinya datang. Memang baru sebulan kami berpisah, tapi, buat aku dan Kyoko yang sebentar lagi akan menikah, semua pertemuan berarti. Tentunya.

Malam ini, Ilham dan Zee ikut menginap di sekitar sini, karena besok pagi mereka termasuk tim yang akan ikut ke Tower Records untuk acara launching. Kami akan datang pagi-pagi sekali, jam 7 sudah sampai sana, sebelum toko buka. Tentunya untuk persiapan, juga untuk check sound. Kami akan memainkan beberapa lagu disana.

Ah biarlah itu jadi urusan besok pagi. Sekarang, dengan tidak sabar aku melihat ke handphoneku. Kyoko masih di jalan. Dan aku tak sabar ingin bersamanya malam ini.

Stefan, in the other hand, dia keliatan agak berbeda dari tadi sore. Setelah menahan kesal dan berulang kali menggerutu saat menemani Anin berkelana di Akihabara, dia terlihat agak damai dan sibuk dengan handphonenya. Mungkin dia bicara dengan Ai. Sayang Ai tidak bisa cuti lagi sepanjang 2.5 minggu, kalau bisa tentu dia bisa lebih mengurus Stefan, karena mereka berdua terlihat seimbang. Ai bisa jadi pelampiasan Stefan, yang dari tadi tampak kesal melihat Anin yang berusaha sok akrab dengan Zee yang cuek, Anin yang belanja terlalu banyak, celetukan-celetukan tolol Sena, maupun diskusi ala otaku antara Ilham dan Anin.

“Ngobrol sama adek gue?” tanyaku kepo.
“Mau tau aja si tai” seringainya. Tunggu. Seringainya ini agak mesum. Entah kenapa.
“Ngomongin apa lo sama adek gue, sampe mukanya kayak gitu?” tanyaku lagi.
“Kepo, kayak emak-emak komplek!” jawabnya tegas.

Aku hanya menggelengkan kepala saja, sambil tetap sabar, menunggu Kyoko sambil menyeruput kopi yang enak ini. Kopi yang sebenarnya tidak seenak di tempat Zulham. Walaupun aku tidak tahu menahu soal kopi, buatku ada dua tempat kopi yang sangat luar biasa enak, yakni tempatnya Zulham dan tempatnya Kyou-Kun. Sepertinya lucu pada saat aku menikah nanti, kedua orang iu bertemu dan bertukar ilmu tentang kopi. Menarik.

Eh, mendadak aku pun melihat gerakan aneh dari Stefan. Dia terlihat seperti celingukan juga.

“Ngapain elo?”
“Berisik si bangsat, mau tau aja” jawabnya dengan intonasinya yang seperti biasa.

Sepertinya ada yang aneh, berkebalikan dengan orang pada umumnya, Stefan kalau sedang stress atau sedang banyak berpikir, tata bahasanya jadi lebih rapih daripada biasanya. Namun apabila dia sedang excited atau normal sekalipun, kata-kata kasar justru keluar dengan lancarnya dari mulutnya. Ajaib memang, dan walaupun dia agak-agak egois khas anak orang kaya, dia tetap setia kawan.

“Kaya nyariin orang ya?” bingungku melihat tingkah si setan satu ini.
“Berisik”

Aku menggelengkan kepala saja, dan beralih ke handphoneku, yang ternyata ada pesan dari Kyoko. “Kyoko sudah turun dari kereta, sekarang jalan ke tempat Aya <3”. Yes, sang calon istri akan segera muncul. Aku tak sabar ingin melihatnya berjalan masuk ke dalam coffee shop ini.

“Kyoko bentar lagi dateng Fan” bisikku memberi tahu,
“Ho oh” Stefan kini kembali lagi ke layar Handphonenya. Dan itu benar-benar mengundang rasa ingin tahuku.

“Dek” sapaku di whatsapp. Eh, tapi, aku menyelidik jam berapa Ai terakhir kali online di sosial media. Ternyata sejam yang lalu. Hmm… ah sudahlah, mungkin aku terlalu kepo, terlalu ingin tahu, dan terlalu ingin perhatian terhadap pergerakan Stefan dan Ai.

“Irrashaimase!” teriak pegawai coffee shop tersebut dengan semangat, ketika pintu masuk terbuka. Dan aku sudah hapal akan sosok itu. Ya, Kyoko. Calon istriku, dia datang dengan baju hangatnya, dan membawa tas ransel yang besar. Pasti itu berisi baju ganti. Aku tersenyum melihatnya dan ia pun tersenyum balik kepadaku. Dengan perlahan dia mendekat sambil melambai.

“Hai Aya” ucapnya sumringah, karena akhirnya bisa menemuiku lagi.
“Akhirnya” aku berdiri dengan senyum lebarku, sambil memeluknya erat, ketika dia mendekat.
“Kangen” bisik Kyoko.
“Onaji” sama, jawabku.

“Udah, simpen aja mesra-mesraannya di kamar” celetuk Stefan.
“Ah, Hai Stefan” lambai Kyoko ke Stefan, masih dalam pelukanku.
“Hei” balas Stefan dengan senyum nya yang terlihat culas.

“Yuk, Kamu mau ngopi dulu? Atau mau jalan ke hotel aja?” tanyaku ke Kyoko.
“Hoteru… Ahaha, Pasti Aya sudah capai dan ingin istirahat?” tanya Kyoko kepadaku.
“Yaudah, yuk Fan”
“Bentar”

“Bentar?” bingungku saat Stefan dengan seringai khasnya menatap layar handphonenya.
“Iya, bentar. Emang cuma elo aja yang nungguin orang” jawabnya.
“Oh, elo ada janjian ama orang disini juga? Kok ga bilang” sahutku sambil mempersilahkan Kyoko duduk dengan gerakan tanganku.

“Iya, ah ngapain bilang” senyumnya. Jujur, senyumnya cukup mencurigakan, sehingga aku bertanya-tanya, siapakah orang yang ia maksud. Ah, mungkin teman SMA atau teman kuliahnya dulu, tapi dari raut mukanya sepertinya perempuan. Mungkin teman perempuan yang bisa diajak bobo-bobo bareng gitu kali ya, pikirku nakal.

“Kenapa, Aya?” tanya Kyoko yang tampaknya juga menyadari kalau Stefan sedang menunggu seseorang.
“Dia janjian sama orang juga, kita tungguin deh” bisikku ke Kyoko.
“Ah, okei…” senyum Kyoko sambil menggenggam tanganku. Tentunya dia sudah sangat rindu berdua denganku, seperti kemarin di Jakarta.

“Capek di café?” tanyaku.
“Ah, ano… seperuti biasa, Aya, tida ada kejadian apa-apa yang buat terlalu capai di café” jawabnya. Senang karena bahasa Indonesianya sudah lancar sekali.
“Kyou-Kun gimana?”
“Genki, baik, dia tak sabar mau tonton live nya Aya, dia sudah beli tiket untuk show yang di Tokyo, tapi Kyoko lupa, ano…. Yang tanggal berapa ya?” Kyoko tampak berpikir, mengingat-ingat tanggal.

“Hebring Kyoko, bahasa Indonesianya jadi lancar amat!!” kaget Stefan mendengar gaya nyerocos Kyoko yang walaupun masih berlogat jepang, tapi sangat bisa dimengerti oleh kami.
“Ahahaha, Kyoko berajar, Stefan, jadi bisa” senyumnya.

“Intonasinya clean banget” puji Stefan.
“Pacarnya siapa dulu” aku memotong dan mengacak rambut Kyoko.
“Taik” balas Stefan.

“Irrashaimase!” teriak sang pegawai coffee shop, memotong percakapan kami bertiga.

“Hah” aku tertegun melihat sosok yang masuk.
“Ini dia” senyum Stefan, melihat sosok tersebut.

Aku kaget, benar-benar kaget melihat sosok itu. Aku tidak akan pernah lupa pada perempuan itu. Bukan, bukan karena aku pernah berurusan dengan dia. Dia juga bukan siapa-siapa bagiku. Tapi aku tentu tak akan pernah lupa pada perempuan yang membantu kami pada saat Fuji Rock Festival sebagai Liaison Officer atau LO.

Chiaki.

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
mantab banget suhu ceritanya. kesetia kwn, calon istri setia perfect, karir musik yg keren
 
Haha.. ko namanya c itu jd Arwen c om @racebannon ? Ngk ada nama laen gitu..seperti nama cowok om..wkwk..

Jd arina, ardistya atau luna mungkin om..yg cute2 mengemaskan gitu namanya om..xixi..Arwen..
 
MDT SEASON 1 - PART 70

Hantaman – Japan Februari 201X

Week 1

Senin : Touch down Tokyo, ke penginapan
Selasa : Press Release + Live! @ Tower Records Shinjuku

Rabu : Go To Osaka
Kamis : Live! @ Fandango Osaka
Jumat : -
Sabtu : Live! @ Club Quattro Umeda
Minggu : Go To Kyoto

Week 2
Senin : -
Selasa : Live! @ Live House takutaku Kyoto
Rabu : -
Kamis : Live! @ Kyoto MUSE
Jumat : Go To Tokyo
Sabtu : Live! @ MARZ Shinjuku
Minggu : -

Week 3
Senin : Live! @ Koenji 20000 V
Selasa : -
Rabu : Live! @ Shibuya WWW
Kamis : -
Jumat : Go To Jakarta
[/QUOTE]

--------------------------------------------

latte_10.jpg

“Gak salah?” bisikku ke Stefan, melihat Chiaki masuk, melambai ke arah kami, dan mendekat.
“Apanya yang salah? Emang lo doang yang butuh memek” balas Stefan kasar, dan bisa kurasakan tatapan Kyoko tajam ke arahku, seperti bertanya tanpa suara, kenapa Stefan bicaranya kasar sekali.

“Hi Guys!” sapa Chiaki dengan ramahnya.
“Hi” sapa Stefan, mengambilkan kursi dan seperti mengkondisikan agar Chiaki duduk disebelahnya.

“Ah hai… Hajime mashite, Chiaki desu… Anata wa… Arya-san no kanojo desuka? Onegaishimasu” sapa Chiaki sambil membungkuk ke arah Kyoko, memperkenalkan dirinya, dan bertanya apakah dia adalah Kyoko, pacarnya Arya, yang selama ini sudah dia dengar.
“Ano… Tadashi… Kyoko desu… Onegaishimasu….” Kyoko pun menunduk dengan agak canggung ke arah Chiaki.

“It’s been a long time” sapa Stefan lagi, saat Chiaki duduk dengan manis di sebelahnya.
“Ahaha… Yes, I thought you won’t contact me again” senyum Chiaki dengan sumringah.
“I need to see you though… There’s a lot to catch up” senyum Stefan lagi dengan ramahnya. Mendadak keliarannya agak teredam. Sial. Aku hapal gerakan-gerakan seperti ini, gerak-gerik seperti ini.

“Arya, kalo lo mau cabut duluan gapapa, gue mau ngobrol dulu” senyum Stefan.
“Emm… Oke…” balasku agak ragu. Entah apa yang Stefan katakan ke Chiaki sebelum bertemu, sehingga dia mau datang malam-malam begini.

“So, Chiaki… Mata ne….” sahutku sambil membungkuk ke arahnya, dan bangkit. Aku langsung menggandeng Kyoko yang masih tampak bingung. Kami berjalan keluar coffee shop, menuju hotel, dengan langkah pelan, diterjang angin dingin Tokyo, penghabisan sebelum musim dingin selesai.

“Aya, tadi siapa?” tanya Kyoko.
“Chiaki, yang nemenin kita dari panitia Fuji Rock dulu…”
“Eee…. Memang janjian dengan Stefan? Sebelum ke Tokyo?”
“Aku gak tau…”

“Ee?” bingung Kyoko. Aku juga bingung kenapa mendadak ada Chiaki datang, menghampiri Stefan, dan saat ini aku tidak ingin habis pikir dulu. Mungkin Stefan merasa butuh teman. Tapi teman tidur pastinya, ah sudahlah, aku tidak ingin menjelaskan tingkah Stefan yang seperti itu ke Kyoko. Dia sudah cukup tahu tabiat Stefan seperti apa, dari cerita-ceritaku dulu. Jadi tak perlu kujelaskan lagi. Cuma tadi, rasanya ucapan Stefan agak seperti mengusir kami dengan halus. Entah apa yang berada di pikirannya, dan aku juga tidak menyangka kalau dia masih menyimpan kontak Chiaki.

Tapi ini Stefan, entah kenapa dia tampaknya mencari teman bobo untuk di Tokyo. Terserah lah. Memang begitu orangnya, tapi ini agak di luar kebiasaan. Biasanya dia tidak kembali lagi ke perempuan yang pernah dia tiduri, kecuali terpaksa, atau keduanya sadar kalau hubungan mereka hanya sebatas seks. Entah lah.

--------------------------------------------

image12.jpg

Kami berpelukan berdua, entah kenapa mendadak malas untuk berhubungan seks. Aku memeluk Kyoko yang hanya memakai t-shirt ku dan celana dalam, sedangkan aku telanjang bulat. Kami berpelukan, saling menatap dan mengobrol. Rasanya seperti ini ternyata. Benih-benih nafsu kalah oleh benih-benih rindu.

“So, Stefan kan bukannya dekat dengan Ai-chan, kenapa sama perenpuan lain, Aya?” tanya Kyoko.
“Stefan dekat sama Ai bukan berarti dia pacaran kan, lagian dia emang gitu…. Aku curiga dia janjian sama Chiaki buat one night stand lagi….” senyumku kecut, dan Kyoko tampaknya mengerti.

“Dia masih tidak rela soal kekkon?”
“Keliatannya berusaha rela, dan kayaknya dia mau agak gila-gilaan di Jepang biar gak kesel-kesel amat, tau, emang agak childish sih dia kalo bicarain soal komitmen…”

Aku menggeser badanku sedikit di kasur yang luasnya terbatas itu. Aku menarik Kyoko, mendekatkannya kepadaku, dan menciumi rambutnya.

“Aya, kalau Stefan seperuti itu sanpe tua bagaimana?”
“Biarin”
“Tapi apa Aya tidak ingin lihat Stefan bahagia?”

“Mungkin dia lebih bahagia kayak gitu, tapi kalo disuruh milih, aku bakal suka banget liat dia settle ama Ai, karena mereka berdua keliatan chemistrynya nyambung banget, dan mereka berdua makin hari keliatan makin deket…. Dan entah kenapa kalo ada berita Stefan nakal, kayak mabok parah atau nidurin cewek, Ai gak pernah marah, paling Stefan diledek doang… Padahal aku liat interaksi mereka berdua tuh…..”

“Hai… Kyoko juga liat, mereka tanpak cocok…”
“Ya kan?”
“Dan Aya juga pasti senang kalau satu keruaga dengan Stefan” senyum Kyoko, dan dia agak bersender ke bahuku, menikmati kebersamaan kami. Lucu. Cerita-cerita sebelum tidur, seperti suami istri saja.

Dan bahkan cerita-cerita ini terjadi karena kami berdua malas untuk berhubungan seks. Rasanya lebih baik waktu kami digunakan untuk berbicara, ngobrol, saling kangen dan bercanda. Benar-benar seperti seorang suami istri.

“Pasti, dan aku yakin dia sebenernya pasti suatu hari bakal bahagia di satu hubungan yang khusus, Cuma mungkin dia belom ketemu modelnya aja…. Mungkin ga cocok kali dia nikah, cocoknya kumpul kebo gitu kali…” jelasku.

“Kunpul kebo? Kebo? Osuushi?” tanya Kyoko bingung.
“Emm… Domestic Partnership? Tidak pakai kekkon, maksudnya” senyumku.
“Aaa… Wakarimashita” Kyoko mengangguk.

“Tapi aku gak mau kalo gak nikah, kalo disuruh milih mau kayak gitu atau nikah” senyumku lagi.
“Hai… Kyoko juga maunya Kekkon sama Aya” dia menghirup wangi tubuhku dan menempelkan hidungnya di badanku.
“Kenapa ya orang harus nikah” tawaku.
“Wakaranai, tapi Kyoko suka dengan Kekkon” jawabnya.

“Aku juga suka, apalagi kalo sama kamu, siapa sih yang gak mau nikah sama kamu” candaku sambil memeluknya erat-erat.
“Ada juga orang yang tidak suka Kyoko” dia menjulurkan lidahnya, meledekku.
“Siapa?”
“Bukan Aya”
“Siapa?” tawaku.

“Bukan Aya, haha…”
“Kalo bukan Aya siapa namanya?” godaku.
“Amm…. Dareka?” godanya.

“Siapa”
“Kodama?”
“Apa sih” aku mencium bibirnya dengan lembut, melumatnya dengan rasa nyaman yang luar biasa.

“Demo….. Kyoko rasa, Stefan butuh semacam shock therapy, supaya, ano…. Dia tidak begitu lagi, betul kan Aya?” mendadak Kyoko membahas soal Stefan lagi setelah aku melepas bibirku.
“Iya, tapi shock terapi gimana?”
“Ano… Karo, hidup seperuti Stefan, itu bisa akibatnya kacau” bisik Kyoko, seakan-akan orang lain mendengarkan kami.

“Kaco gimana?”
“Ano… Si perenpuannya, sangka Stefan suka, dan ingin bersama, tapi Stefan tidak mau. Lalu Perenpuannya sakit hati dan jadi ganggu Stefan… Itu Stefan pasti tidak suka, betul Aya?” pikirnya.
“Masuk akal, atau mendadak si cewek hamil, minta tanggung jawab dikawinin, atau ketauan sama orang tuanya si cewek nya Cuma ditidurin tanpa dipacarin atau semacamnya kali ya?” candaku.
“Aa, kalau hamil teraru kasian Stefan” senyum Kyoko.

“Yah, tapi sayangnya sampe saat ini ga ada kejadian apa-apa yang bikin Stefan berhenti kayak gitu, dia selalu dapet aja cewek-cewek yang ga masalah ditidurin sekali terus udah, bahkan jarang ditidurin dua kali…. Makanya aku heran kenapa dia ngontak Chiaki”

“Munkin Cuma untuk bicara, ano… Ngo…b.”
“Ngobrol”
“Ah hai, Ngo Burol…. munkin” lanjut Kyoko.

“Mungkin sih…. Tapi Stefan gak deket juga ama Chiaki, kalo sama orang lain, kayak Cheryl atau Kanaya, ketemuan gitu, ngajak ngobrol, nongkrong, atau sebagainya sih ga bakal jadi apa-apa juga, Stefan paling anti ngapa-ngapain temen soalnya” senyumku ke Kyoko.

“Aaa… Wakarimashita, demo… Munkin serama ini dia selalu kontak dengan Chiaki, tanpa Stefan tahu?” tanya Kyoko.

“Tapi Stefan pernah ML ama Chiaki di Naeba” jawabku.
“E?”

“Iya, makanya aku rada curiga, kayaknya Stefan karena ga ada cewek laen yang bisa dia apa-apain malem ini, jadi dia mendadak kontak Chiaki…. Tau ah” aku menghela nafas dan meregangkan badanku.

“Tau ah” tiru Kyoko sambil tenggelam di dalam pelukanku.
“Niruin aja”
“Ahaha….” senyumnya terkembang di balik pelukanku. Lucu rasanya.

“Besok aku dijemput jam 6 pagi, sekarang udah harus tidur berarti, Kyoko pulang jam?”
“Jam 6 saja, Aya… Besok maram Kyoko kemari lagi?” tanya Kyoko.
“Terserah, asal Kyou-Kun gapapa aja, eh, ngomong-ngomong udah ngomongin soal kamu pindah Jakarta?”

“Ano….” mendadak Kyoko agak kaget, dia memutar matanya, seperti mencari kata-kata yang bertebaran di sekeliling kamar.
“Udah belom?”
“Owarimashita” sudah berarti.

“Terus…”
“Ano, Nii-san birang, besok mau kesini juga, bicara soal itu dengan Aya” gigi putihnya terlihat semua. Kyoko menyeringai aneh, seakan-akan dia habis mengatakan sesuatu yang buruk.
“Gimana?”

“Ah, pokoknya, Nii-san birang tadi, karau mau bicara dengan Aya, soal Jakarta…. hehe, seberum Aya jalan ke Osaka…” senyumnya dengan manis.
“Oke deh… Sekarang kita tidur…” Aku lantas melepas pelukanku, karena memang sesak tidur beneran dengan berpelukan erat seperti itu, saling kapling oksigen yang ada.

“Good night Aya”
“Oyasuminasai……”

--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------

Setengah 5 pagi. Aku masih agak mengantuk. Aku duduk, dan melihat Kyoko masih meringkuk di sebelahku. Aku teringat pembicaraan semalam, soal Kyou-Kun. Sudah jelas ia merestui hubunganku dengan Kyoko, tapi apa yang mau dibicarakan nanti malam? Aku menggaruk kepalaku dan bersiap untuk mandi di kamar mandi sempit itu. Dengan hati-hati aku bergerak, merayap di kasur, agar tidak membangunkan Kyoko.

Gagal.

“Mmmm… Aya… Ohayo…” sapanya sambil membuka matanya sedikit-sedikit.
“Ohayo Kyoko” balasku, sambil tersenyum dengan tidak enaknya, karena telah membangunkan dirinya.

“Aya mau apa?” tanyanya masih dengan muka yang tolol, muka sehabis bangun tidur.
“Mau mandi”
“Dinggin, Aya… Ini Winter..”
“Tau, masa mentang-mentang dingin jadi ga mandi” tawaku.

Aku akhirnya berhasil turun juga dari kasur, dan dengan malasnya mengambil handuk. Barang-barangku belum kubongkar, lebih karena besok kami sudah akan berangkat ke Osaka, menggunakan kereta. Dan lebih baik kami sekarang bersiap-siap dulu, karena nanti akan dijemput. Dengan malas aku pergi ke kamar mandi yang jaraknya hanya beberapa langkah dari tempatku berdiri itu.

“Aya” panggil Kyoko mendadak saat aku akan masuk ke dalam kamar mandi.
“Hai?”
“Isshoni?” tanyanya. Bersama? Aku lantas menengok ke arah tempat tidur. Dan Kyoko pun dengan senyum kecilnya turun dari tempat tidur. Dia berjalan dengan malas, lalu menuju tasnya. Dia mengeluarkan buntelan entah apa, yang kuperkirakan adalah kantong yang berisi baju dan kawan-kawannya. Dia pun mengeluarkan Handuk dari buntelan itu.

“Mandi bareng?” senyumku.
“Hai”

Kyoko lalu menanggalkan t-shirtku yang ia pakai dan celana dalamnya. Tubuh telanjangnya yang indah terlihat begitu mempesona di pagi buta ini. Dia lantas mendekatiku dan mencium bahuku dengan lucunya. Aku memeluknya dan menciumnya dalam-dalam. Dan tak ingin membuang waktu lagi, aku menariknya ke dalam kamar mandi dan segera mengalirkan air di shower.

Tak berapa lama kamudian, kami berdesakan dalam shower yang sempit itu. Air hangat membasuh tubuh kami, memberikan rasa nyaman tersendiri. Aku dan Kyoko saling memandang, dan ada perasaan tidak sabar, kami ingin hidup bersama secepatnya.

Tangan Kyoko dengan perlahan melingkar di leherku, dan kami berdua berciuman dengan lembut dibawah derasnya air hangat, menerpa tubuh kami. Kami berciuman begitu hangat, begitu panas, sehingga kami larut ke kegiatan yang lain. Yang sama sekali jauh dari kegiatan membersihkan diri. Sementara kami berciuman dengan cukup panas, tanganku beralih ke tempat lain.

Kyoko masih memeluk leherku, dan dia sadar, ada tangan yang menyentuh area kewanitaannya. Aku menggesekkannya pelan, berharap bisa merangsang dirinya. Dan memang iya. Aku merasakan nafas berat khas pacarku itu di telingaku. Nafas berat yang selalu enak untuk dirasakan. Disana, dibawah shower itu, aku sedang meraba-raba mulut vagina Kyoko dengan perlahan.

“Aya” bisiknya.
“Hai”
“Condom?”
“Terlambat… dan kita basah disini” bisikku.

Berarti kami sudah sangat mengerti. Tidak ada kondom sama dengan tidak ada penetrasi. Jadi kami akan saling memuaskan dengan cara yang lain. Kyoko tapak masih terus menikmati gesekan tanganku. Aku tahu dengan permainan tangan, pasti dia akan lebih lama orgasme, dan orgasmenya tidak akan seenak penetrasi biasa. Namun demi kepraktisan dan waktu yang juga terbatas, aku mulai mengkaryakan tanganku lebih dahsyat lagi.

Jari tengahku meraba, berusaha masuk ke dalam lubang hangat yang penuh cinta itu. Kugesekkan dengan lebih panas lagi, sementar kami beradu nafas di bawah guyuran air.

“Nggg….” Rintihnya dengan penuh perasaan. Kyoko telah bereaksi dengan membuka kakinya cukup lebar, sehingga tanganku bisa dengan bebas bergerak maju mundur, menstimulasi dirinya dengan seksama. Dan perlahan, jariku mulai masuk ke dalam. Bisa kurasakan dengan tanganku, kehangatan di dalam sana. Kyoko menatap mataku dalam, seakan meminta diriku untuk merangsangnya lebih dan lebih lagi.

Aku tertantang. Dengan gerakan yang konstan dan sabar, tanganku bergerak dan terus bergerak. Kujelajahi dan kucoba untuk tidak melewatkan titik apapun yang bisa kusentuh dengan jariku, sambil mempelajari di bagian mana, rangsangan demi rangsangan yang paling terasa. Selesai memetakan titik tersebut dengan peraaanku, gerakan tanganku pun makin beraturan. Aku berusaha untuk tidak menyentuh daerah lain yang reaksinya kurang.

“Aya… ahhh…” desah Kyoko, di telingaku. Pelukannya terasa makin erat, dan dia memang sengaja tidak menstimulasiku, agar dia bisa dengan segenap konsentrasinya, menerima rangsanganku. Karena memang sulit, bagi perempuan untuk mempertahankan satu seri rangsangan tanpa terdistraksi, maka dia memilih untuk menyimpan fokusnya. Menyimpan fokusnya untuk menerima rangsangan tanganku.

“Mmm…. Aahh… Aya…. Se.. ben..”
“Sebentar lagi?” tanyaku di telinganya. Bisa kurasakan dia mengangguk, di bawah kehangatan air yang dari tadi melindungi kami dari udara dingin Tokyo. Aku menggerakkan tanganku makin liar, karena memang makin lama, makin terasa lancar dan mudah.

“Ahh..” badannya bergetar pelan. Dan dia lantas menghela nafas lega. Da baru saja merasakan orgasme. Orgasme yang tentu saja tidak besar, tapi cukup memuaskan. Dia lantas, menahan tanganku yang tampaknya masih liar.

“Aya, ima.. ano… sekarang, mau apa?” tanyanya. Aku tersenyum.
“Terserah Kyoko”
“Okei”

Dan aku tahu dia berusaha membalas dengan apa. Kyoko langsung duduk dengan lututnya di hadapanku, dan tanpa banyak berkata apa-apa, dia langsung melumat penisku dalam-dalam di mulutnya.

“Hayaku” make it quick. Bisikku. Aku takut kami terlalu lama saling memuaskan diri di bawah shower.
“Mmmn…” jawab Kyoko setuju.

Dia melumat penisku, dan mengulumnya dengan gerakan yang cepat. Ditambah lagi, tangannya menggenggam penisku dengan kencang dan mengocoknya dengan gerakan konstan. Dia bergerak dengan penuh kecepatan, karena tahu, kami tidak punya waktu luang pagi ini. Dan akupun tidak menahan-nahan lagi.

“Kyoko…” memang gerakan yang cepat dan seksama membuat semuanya berakhir begitu cepat.
“Mnnn” Kyoko lalu mengeluarkan penisku dari mulutnya, dan membiarkan spermaku meledak begitu saja. Cairan itu menetes dengan malu-malu ke lantai. Kyoko tersenyum dan langsung berdiri. Untunglah tidak ada yang mengenai mukanya. Dia lalu memelukku.

“Kayaknya pengen mandi terus-terusan sama kamu kalo gini” candaku.
“Onaji” sama.

--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------

tr-110.jpg

Keringat sedikit membasahi mukaku, dan aku menyeka mukaku dengan handuk kecil yang sudah disiapkan panitia. Kami berempat duduk berderetan, dengan dikerumuni beberapa wartawan dan orang-orang yang tadi menonton penampilan live kami, di Tower Records, Shinjuku, Tokyo. Memang sering sekali ada band maupun penyanyi yang baru rilis album, bermain live di sini, walaupun ini adalah toko CD Musik.

Miris, mengingat di Indonesia toko CD musik sudah mati segan hidup tak mau, tapi di negara-negara maju, tempat seperti ini masih sangat laku dan dibanjiri peminat, ditengah serbuan musik digital.

Video musik kami sedang diputar di sebuah Televisi layar lebar, dan setelahnya kami akan meladeni pertanyaan wartawan, dan setelah selesai, kami akan menandatangani CD kami yang sudah dibeli oleh fans.

Kami masih menunggu para wartawan dan orang-orang yang hadir disini selesai menonton video klip kami.

"Kok tulisan gue begini ya namanya" aku memperhatikan papan namaku yang diletakkan di meja di depanku.
"Gimana emang"
"Kalo gue kan namanya Arya, harusnya kalo ditulis pake huruf katakana kan jadi A - RU - YA, ini kok A - YA" bingungku sedikit kesal.

"Nasibnya emang begitu hahaha" bisik Anin, tertawa melihat tulisan itu.
"Gue sih ga bisa gue baca" Stefan melihat tulisan katakana yang mereprentasikan namanya.

"SU - TE - FA - N" bisikku ke Stefan, sambil menunjuk satu persatu huruf katakana yang ada di papan namanya.
"Gak musti lo eja juga, mending lo liat ini deh" senyum Stefan sambil memperlihatkan handphonenya ke mukaku.

"BANGSAT" umpatku pelan, agar tidak menarik perhatian.

Sebuah video yang diputar tanpa suara, menunjukkan adegan blowjob. Ya, Stefan sedang di blowjob oleh Chiaki. Dengan cepat aku langsung menurunkan tangannya karena aku benar-benar tidak ingin melihat alat kelamin Stefan.

"Ahhahaha" tawa Stefan.
"Gue ga bakal bisa lupa itu anjir" kesalku.
"Emang seksi ya cewek kalo di mulutnya ada titit"
"Lo udah liatin titit ke gue berapa kali kalo gitu itungannya?"
"Kan part of the show" tawanya dengan puas.

"Keliatan orang malu bego" tegur Anin.
"Berisik aje perawan"

Anin hanya mendengus dengan kesal dan bersiap dengan pertanyaan-pertanyaan dari wartawan, karena Video Klip sudah selesai diputar. Aku menghela nafas dan menatap ke Chiaki yang ada di kerumunan pengunjung.

"Lo ajak kesini lagi orangnya….." bisikku.
"Hah?" bingung Stefan.
"Itu" tunjukku dengan hidungku ke arah Chiaki, yang memang agak tersembunyi di balik beberapa orang.

"Eh?" Stefan malah makin bingung ketika dia bisa menemukan Chiaki.
"Kok?" aku juga bingung melihat Stefan bingung.

"Semalem soalnya dia ga nginep loh" bisiknya.
"Hah? Gue pikir pulang pagi?"
"Ya... Gue pikir, abis ngewe pergi lah, sempit gitu kamarnya, emang lo pikir gue pacaran, pake peluk-pelukan abis ngewe?" jawab Stefan.
"Kurang ajar banget langsung pulang" aku melipat jidatku sambil menatap Stefan dengan sinis.

"Biarin napa sih, kan dia juga nurut-nurut aja pas gue bilang pulang ya, abis selesai nganu"
"Gitu amat ama cewek"
"Dianya juga mau"

"Udah, bentar lagi wawancara!" bisik Anin dengan nada tegas, dan perhatiannya agak teralihkan dengan obrolan tak jelas aku dan Stefan. Aku dan Stefan terpaksa diam, dan memperhatikan para wartawan yang sudah berbaris di depan muka kami, dan kami berdua tampaknya pura-pura siap dengan semua pertanyaan apapun.

--------------------------------------------



Seperti biasanya, Aninlah yang menjawabi semua pertanyaan kami, terlebih lagi karena Bahasa Jepangnya sungguh lancar, jadi tidak butuh diartikan dalam Bahasa Inggris, setiap pertanyaan yang masuk dari wartawan. Aku dan Stefan, dengan tampang sok serius, dan agak bosan di dalam hati, mulai menyelidik ke orang-orang yang menonton. Mataku tertambat ke Chiaki. Bisa kulihat dia memperhatikan Stefan dari jauh. Stefan sendiri tampak tak sadar dan perhatiannya jelalatan ke tempat banyak perempuan muda berkumpul.

"Fan" bisikku dengan sangat pelan.
"Apaan"
"Itu Chiaki, ngeliatin lo mulu"
"Biarin aje"
"Lo ga curiga apa dia ngeliatinnya gitu banget"

"Udah resiko orang kayak gue disukain cewek, dulu juga ada kan yang kayak gitu, tar gue bilangin pasti juga mundur, tapi ntar aja.... Gue diemin dulu, orang ga ada ngeline atau apa dari tadi malem" jawabnya panjang.

"Tumben"
"Tumben kenapa?"

"Lo biasanya gak seasal ini sama cewek" bingungku.
"Biasa aja kali"

Enggak. Enggak biasa. Stefan yang kukenal tidak seasal ini. Biasanya, caranya dia nidurin perempuan pun tidak dengan cara kontak-kontakan lalu dipanggil untuk datang. Biasanya semuanya terkesan natural, walau modus. Dan dia sepertinya tidak pernah meniduri perempuan yang sama, dua kali, kecuali kalau memang si perempuan juga tipe yang selalu butuh alat kelamin lelaki untuk memuaskannya tanpa hubungan. Dan kalau si perempuan itu susah lepas, alias mulai kelihatan main hati, Stefan langsung melindungi dirinya dengan bertingkah seperti jerk yang benar-benar memutuskan hubungan dengan perempuan. Tapi manggil cewek dan biarin cewek pergi setelah berhubungan seks? Biasanya Stefan menawarkan untuk menginap, biasanya Stefan mengantar pulang. Dan disitulah ada dialog yang lebih dalam soal Stefan dan pandanganya, yang bisa ia sampaikan lewat cerita ringan atau sok-sok curhat soal kesendiriannya ke para perempuan. Itulah yang membuat si cewek akhirnya mengerti kalau urusan mereka berhenti disitu.

Tapi sekarang, sepertinya ada yang menggantung dengan Chiaki. Dan entah kenapa aku curiga Stefan menghubungi Chiaki dengan cara flirting, mengirim bunga-bunga virtual kedalam pemikiran Chiaki. Keliatan banget ini.

"Fan, kasian anak orang"
"Dia juga mau pas gue suruh dateng"
"Tumben lu nidurin cewek yang sama dua kali"
"Gue abis ide, jepang men, dari tadi siang gue udah sange" tawanya.

"Aduh" aku mengaduh pelan, karena Anin menginjak sepatuku untuk menyuruhku diam. Dan aku masih menatap ke Stefan yang benar-benar tampak tak berdosa. Aku menelan ludah dan berharap tampang tak berdosanya bertahan sampai akhir tur.

--------------------------------------------

Kami masih melayani tanda tangan ke beberapa puluh orang yang mengantri. Tidak sebanyak di Indonesia memang yang membeli album kami, tapi tak apa. Mudah-mudahan dengan road-show di tiga kota, kami bisa makin terkenal disini. Sesi manggung sudah selesai, wawancara, perkenalan dan pemutaran video klip sudah selesai, kini kami sedang sesi tanda tangan ke orang yang telah membeli CD atau vinyl kami di acara ini. Antian yang sangat rapih dengan teraturnya terjadi di dalam toko ini. Satu demi satu kami melayani mereka, untuk sekedar berfoto dan bersalaman ataupun memberikan tanda tangan.

Dan, aku sangat hapal muka orang yang ada di antrian paling belakang.

Chiaki.

Hapal karena... Selain Fuji Rock Festival, ya karena hal yang terjadi semalam. Dan image mukanya, disertai pemandangan dirinya sedang melakukan blowjob ke vokalis Hantaman, sudah tidak bisa hilang dari kepalaku. Bisa kulihat dia dengan perlahan berjalan, sesuai antrian, dan meminta tanda tangan mulai dari Bagas, lalu ke Anin, dan kini dia ada di depanku. Aku tersenyum ke Chiaki, dan memegang spidol hitam yang ia sodorkan kepadaku.

"Hi Arya" sapanya.
"Hi" sapaku balik sambil tersenyum. Dan aku langsung menandatangani Sleeve CD nya, yang kebetulan berwarna putih, jadi dengan tinta hitam pasti terlihat jelas.

"Thanks" ujar Chiaki sebelum berpindah ke Stefan.
"Your welcome"

Dan dia memberikan CD kami, ke Stefan dengan gesture super malu-malu, dan muka yang agak memerah. Wait. Stefan terlihat cuek dan tersenyum. Gerak gerik Stefan terlihat begitu biasa-biasa saja, sementara gerakan Chiaki terlihat canggung.

Tunggu. Spidol yang diberikan ke Stefan warnanya lain. Merah. Dan Stefan tampak santai saja menorehkan tinta merah di sleeve CD kami. Aku menelan ludah.

"Add a heart" bisik Chiaki di telinga Stefan, mendadak.
"Sure" jawab Stefan dengan santainya. Dan setelah Stefan selesai dengan permintaan Chiaki, dia membisikkan sesuatu ke telinga Chiaki.

Fan?

Dan Chiaki pun berlalu dengan buru-buru setelah Stefan membisiki Chiaki mendadak. Tentunya dengan muka berseri-seri yang entah bagaimana aku tidak bisa membayangkan perkataan-perkataan jenis apa yang dikatakan Stefan ke Chiaki. Sebusuk apa kata-katanya kali ini? Dan Stefan, kini terlihat seperti jahat di mataku. Baru kali ini aku melihat dia seperti memperalat orang.

Fan?

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd