DRAMA TAMAT MDT - REVIVAL - SEASON 1 (racebannon)

[phoenix007]

Dear all, hari ini tampaknya saya akan sangat sibuk. Mungkin updatenya agak terhambat ya.

Thx

Gx pa" take ur time

 

[chountoul]

Dear all, hari ini tampaknya saya akan sangat sibuk. Mungkin updatenya agak terhambat ya.

Thx

Gak masalah om yg penting RL paling utama dan semoga kesibukannya cepat kelar dan dapat segera meluncur apdetannya.
Gitu aja terus doanya reader

 

[Arieskun]

Dear all, hari ini tampaknya saya akan sangat sibuk. Mungkin updatenya agak terhambat ya.

Thx

Semangat ya om.. Gpp yg penting ada Update.. Dr pada gak sama sekali

 

[pelisaurus]

Ok
Ditunggu om update nya

 

[folksong]

Dear all, hari ini tampaknya saya akan sangat sibuk. Mungkin updatenya agak terhambat ya.

Thx

telat setaun jg tetp ditunggu hu.
tambah sibuk tambah rejeki

 

[racebannon]

MDT SEASON 1 - PART 56

--------------------------------------------

“Kawaii….” Ekspresi gemas Kyoko begitu terlihat dengan jelas saat dia menggendong Alika, anak Dian, sepupuku. Alika yang masih 3-4 bulan itupun terlihat nyaman di gendongan Kyoko. Ya, Kyoko memang juga menyukai anak-anak. Aku bisa melihatnya, selama kami berdua jalan di jepang, aku selalu memperhatikan dirinya memandang gemas ke anak-anak yang lewat.

“Udah cocok tuh” canda Dian sambil duduk santai di atas sofa, memperhatikan Kyoko yang berdiri menggendong sang bayi.
“Sayang laki lo gak ada di mari” tawaku.

“Kan gawe doi, emangnya elo, main musik dapet duit” balas Dian.
“Sembarangan”

“Udah, buruan dikawin, ntar lepas loh” lanjut Dian.
“Berisik ah elo”

“Aya… So cute…” sahut Kyoko sumringah.
“Nah tuh, pengen bocah dah pacar lo…” tawa Dian

Kyoko melirik ke arahku dengan senyum penuh arti. Ya, aku mengerti kok. Suatu saat nanti pasti kami berdua akan memilikinya juga. Nanti Kyoko pasti akan menggendong anaknya sendiri. Dan anak itu harus kupastikan ayahnya adalah aku, dan aku jadi senyum-senyum sendiri karenanya.

“Mikirin apa sih ni orang” Dian bingung melihat aku senyum-senyum sendiri.
“Engga”
“Ga jelas, pasti mikir jorok” ledeknya.
“Jorok itu kayak comberan, guling-guling disawah, muntah, gitu ya” balasku.

“Ano… sumimasen.. Dari tadi…Kyoko tida bisa berenti berpiki… Kalau Dian-san mirip sekari dengan Ai-chan” ucap Kyoko memotong candaanku dengan senyumnya yang lucu, sambil sedikit-sedikit melirik ke arah Dian.
“Kan saudara” jawabku.
“Udah sering kok saya dibilang gitu” senyum Dian. “Tapi bahasa Indonesia nya Kyoko lancar banget loh” kagumnya.

“Ahahaha… terimakasi…” senyum Kyoko, masih menggendong Alika, sepertinya tidak akan dilepas-lepas olehnya, pikirku.
“Belajar mulu dia di Jepang, katanya pengen kalo kesini Indonesianya dah bisa buat ngomong dimana-mana” aku menambahkan.
“Terus Jepang elo gimana?” tanya Dian.

“Nah itu…” aku menggaruk-garuk kepala.
“Aya kurang rajin beraja nya…” tambah Kyoko.
“Elu mah urusan musik aja ya jago, dari dulu juga pelajaran apapun nilainya jelek” ledek Dian.
“Emangnya elo, bu dokter, rangking mulu, waktu sma sombong banget situ…” balasku.

“Haha” tawa Kyoko sambil mendengar pertengkaran lucu-lucuanku antara diriku dan Dian.
“Mau denger pendapat gue? Biasanya kalo lo punya pacar dulu selalu nanya pendapat gue…” bisik Dian saat dia melihat Kyoko lebih fokus ke sang bayi.

“Hus”
“Cocok sama elo…. Udah” senyum Dian sambil memperlihatkan deretan giginya yang putih itu.

“Itu mah dah pasti”
“Wek” Dian menjulurkan lidahnya. “BTW Kyoko-san…” tegur Dian.
“Hai?” Kyoko tampak kaget karena perhatian penuhnya ke Alika teralihkan.

“Bawa aja bayinya, kalo suka” canda Dian.
“Eeee?Nani?” Kyoko tampak kaget dan bingung.
“Hahaha…”

“She’s just kidding… bercanda” sahutku dengan muka datar.

Kyoko hanya nyengir malu, karena dari tadi terlihat memang Kyoko menggendong Alika dengan penuh perasaan, seperti melihat seorang ibu sedang menggendong anaknya sendiri. Dan aku dalam hati tersenyum, semakin lama aura hangat Kyoko mulai menular ke lingkunganku. At least lingkungan keluarga besarku pun pasti senang melihat Kyoko dan interaksinya dengan dunianya. She will be a good wife and mother, I think.

--------------------------------------------

“Gokil” Stefan melirik ke dalam dapur, di sela-sela latihan. Anin sedang merokok dan Bagas sedang….. entahlah, dia di dalam, tampak tidak berpindah dari singgasana di balik drum dan handphonenya ia genggam dengan erat. Cukup aneh, mengingat dia lusa menikah, wajar apabila dia meminta kita libur latihan dulu, tapi menurut Anin, dia tidak menolak ketika diajak latihan.

Stefan sedang bingung melihat Kyoko begitu cekatan di dalam dapur. Segala macam bunyi dan gerakan lincahnya mewarnai dapur dengan auranya. Stefan sepertinya sudah tidak sabar untuk menunggu masakan Kyoko selesai.

“Dia baru dua hari disini udah kayak yang punya rumah gitu masaknya” komentar Stefan.
“Yah, wajar, dia dari awal udah janji mau masak kan disini, lagian lo tau sendiri dia jago masak banget” balasku.
“Gak wajar dia sih… Rasa masakannya dah kayak dewa gitu, jadi chef bisa tu anak”
“Kan skill masaknya dapet dari sekolahan…”
“Tapi ini gila men, rasa rumahan tapi kalo dijual bisa mahal” Stefan terus berusaha menekankan pendapatnya kalau masakan Kyoko itu magical.

Anin mendadak muncul di dekat aku dan Stefan, tampaknya dia juga penasaran ada keriaan apa di dapur. "Gokil" bisiknya sambil melihat aksi Kyoko.

"Lo ngikutin gue aja komen-komen gokil" sela Stefan.
"Suka-suka dong" balas Anin dengan muka gusar.

"BTW sepupu lu kan lusa nikah? Kok masih mau latihan sih?" tanya Stefan dengan pandangan heran ke arah Anin.

"Jangan tanya gue... Gue cuma nanya ke dia kemaren, mau libur dulu gak karena lusa kawinan dia, dia bilang ga usah, sampe ketemu di studio.... Gue juga bingung, emak gue aja udah repot bantu-bantu ortunya doi" jawab Anin panjang, dengan muka yang tak kalah herannya dengan kami berdua.

"Asli ajaib banget sepupu lo, terus dia juga mau aja lagi besoknya abis kawin langsung jalan ke Bandung buat manggung?" tanyaku.
"Pas ada tawaran buat manggung malam taun baru dimanapun, gue udah nanya ke dia, mau di skip aja gak, karena dia bakal kawin, dia jawab ga usah.... Terus gue mesti apa?" jawab Anin.

"Biarin lah, emang ajaib, makin serem gue lama-lama ama kelakuannya" komentar Stefan sambil berlalu, ke teras studio sambil menyalakan rokoknya.

"Yaudah latihan lagi kita, sambil nungguin makan malem kita beres" senyumku ke arah Anin sambil ikut berjalan bersama Stefan.

--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------

"Sah juga akhirnya" bisik Stefan dalam setelan jas nya, siang itu.

"Ssst" aku berbisik menyuruhnya diam, sambil duduk diantara para tamu undangan ijab kabul antara Bagas dan Istrinya. Kyoko duduk disebelahku dalam dress berwarna cream yang cantik, sementara aku menggunakan kemeja batik lengan panjang. Dari tadi kulihat Kyoko tampak begitu seksama memperhatikan rangkaian proses ijab kabul, sambil sedikit-sedikit berbisik bertanya kepadaku kalau ada ucapan yang terlalu sulit, terutama doa-doa yang disampaikan oleh penghulu.

"Abis ini lo ngapain? Resepsinya kan baru malem" bisik Stefan. Sementara itu sanak saudara Bagas dan Istrinya tampak mendekati mereka, memberikan selamat dan berfoto-foto setelah selesai proses ijab kabul.

"Balik paling... Gak nyaman pake baju rapih-rapih kelamaan" jawabku.
"Temenin yuk kemana gitu, gue ga ngantor kan hari ini, gue udah sengajain ga masuk hari ini" lanjut Stefan sambil berdiri.

"Mending kita foto-foto dulu ama pengantin baru"
"Serius, kita jalan kemana gitu siang ampe malem, ajak pacar elo"

"Males..." jawabku.
"Cobain ke tempatnya Cheryl yuk... Penasaran gue, Anin biarin aja, pasti dia ntar jadi seksi repot kan buat ntar resepsi"

"Mending gue balik"
"Kalo balik kasian tar cewek lo hapus make up lagi, tar pake make up lagi...."

"Eh nani?" Kyoko mendengar percakapan kami.
"Enggak, dia pengen nongkrong dimana gitu abis ini sambil nunggu resepsi" bisikku.
"Nong.. kuronggu?"
"Ano..."

"Ayo lah men, capek gue kalo bolak balik rumah atau kemana, kalo siang-siang enak katanya tempatnya Cheryl buat ngopi..." bujuk Stefan.
"Ano... Stefan wa.. tsukare chatta. Dokka de mattari koohi demo shinai?" aku menjelaskan kalau Stefan ingin bersantai and maybe grab some coffee.

"Ah hai... Okei... Ayo, demo... Suda jam segini..." Kyoko melihat ke arah jam tangannya. "Sebenta lagi Aya harus... Ano... Shora Jum-at?" senyum Kyoko, mengatakan sesuatu yang sama sekali tidak kusangka-sangka.

"Haaa" aku melongo karena tanpa kusangka Kyoko mengingatkanku soal Jum'atan.
"Hah?" Stefan juga tampak kaget mendengar Kyoko berbicara soal Jum'atan.

"Ahaha... Kyoko suda baca - baca soa isuram seberum ke sini, juga... Ano, karena akan lihat penikahan cara isuram... Jadi banya' baca ano... Duru Aya birang aya Moslem but not a good one, jadi Kyoko tiba-tiba ingat soa' shora jum-at untuk moslem yang pria" jelasnya panjang.

WTF. Iya aku ingat, waktu Kyoko panik karena ada kaldu babi di salah satu makanan yang disajikan saat christmas dinner tahun lalu. Tentunya setelah dia menanyakan kenapa aku tidak pernah merayakan natal. Tunggu. Dia mempelajari Islam? Jangan bilang dia juga sudah mempelajari bagaimana tatacara menikah di Indonesia? Aku tersenyum dan menepuk kepalanya. Hal-hal semacam inilah yang membuatku semakin menyayanginya sekaligus semakin khawatir karena bisa saja dia berkorban terlalu banyak untuk melakukan hal-hal seperti ini.

--------------------------------------------

Dan sehabis jumatan, sambil menunggu resepsi nanti malam, kami sudah berada di Pondok Indah Mall 3, di tempatnya Cheryl yang baru. Interior yang kekinian, dan penaataan tempat yang lebih modern memungkinkan tempat ini bisa berfungsi sebagai restoran dan coffee shop pada siang hari dan pada malam hari ada area yang bisa digunakan sebagai dancefloor dan ada area DJ Booth nya.

Pada siang hari, karena design ruangannya yang ciamik, cahaya matahari masuk dengan sempurna dan membuat suasana lebih segar yang membuat para pengunjung dapat betah dengan nyamannya. Design yang sama juga memungkinkan hingar-bingar malam hari terlihat dari kejauhan, mengundang orang untuk datang berkunjung. Kami bertiga, aku, Kyoko dan Stefan telah duduk dengan manis dan melihat-lihat menu.

Kyoko berbisik kepadaku, memberitahukan apa yang mau ia pesan. Aku mengangguk mengerti, sementara Stefan masih membolak-balik halaman menu.

“Mbak, pesen red velvet cakenya satu slice, terus untuk minumnya caffe latte satu, cappuccino satu ya…” aku mulai memesan untuk diriku dan Kyoko.
“Aya, tida pesan makanan?” Tanya Kyoko.
“Engga, masih kenyang tadi pas di akad nikah” jawabku.

“Kalau saya, ini deh, minta Heineken aja yang botol besar”
“Siang-siang mesen bir?” aku bingung melihatnya.

“Biarin” jawab Stefan cuek. “Oh iya mbak, Cherylnya ada?” Tanya Stefan ke waitress yang melayani kami.

“Ada mas” jawabnya.
“Panggilin dong, bilang ada temennya” pinta Stefan.
‘Lagi ada tamu Mas, tapi nanti saya bilangin pasti” senyum si Waitress.
“Oke tenkyu” balas Stefan sambil mengeluarkan rokok dan membakarnya.

“Ngapain pake bilang-bilang kalo ada kita ke Cheryl?” aku berbisik ke arah Stefan. Kyoko tampak sibuk memperhatikan dan menikmati sekelilingnya.
“Knapa emang”

“Gapapa, rada agak ga nyaman aja gue kalo dia negor kita terus gue mesti ngedengerin snob-snob nya” senyumku kecut.
“Ah santai aja”

Tak berapa lama pesanan kami semua datang dan kami masing-masing sibuk mengobrol, apapun yang bisa diobrolkan. Terutama banyak pertanyaan Kyoko soal prosesi akad nikah tadi. Pertanyaan-pertanyaan seputar detail, dan bagaiman resepsi ala orang Indonesia pun menjadi bahan pertanyaannya. Tentunya sangat berbeda dengan di Jepang. Di Jepang, pernikahan tradisional sedang tidak popular di kalangan para pengantin baru. Mereka lebih suka pernikahan ala barat atau hanya di catatan sipil saja. Berbeda dengan di Indonesia, di Indonesia pernikahan baru dinyatakan sah apabila sesuai hukum agama calon mempelai dengan mendaftarkan diri di kantor urusan agama. Sedangkan di Jepang, catatan sipil lah yang menentukan sah atau tidaknya pernikaha, untuk urusan prosesi agama, tidak diwajibkan dalam hukum Jepang.

Jadi jangan disalahkan kalau lantas para mempelai melakukan prosesi suka-suka sendiri. Pernikahan ala barat, yang tentunya mengacu ke agama Kristen dan dilakukan di gereja menjadi sangat popular, walaupun jumlah orang Kristen di Jepang tidak banyak. Karena sifatnya hanyalah seremonial dan perayaan, bukan sebagai penentu sah atau tidaknya pernikahan.

Oleh karena itu muncul anekdot di Jepang, yakni “lahir dengan upacara Shinto, menikah dengan upacara Kristen, dan meninggal dengan upacara Buddha”. Karena kebanyakan orang Jepang tidak mengikat dirinya ke agama apapun, dan dalam sehari-hari mereka lebih banyak melaksanakan kegiatan-kegiatan spiritual yang bersifat turun temurun dan tradisi, yang kita kenal sebagai Shinto.

Kyoko tampak antusias mendengarkan penjelasanku dan Stefan soal budaya dan prosesi pernikahan di Indonesia, terutama dari sudut pandang agama mayoritas dan persyaratan-persyaratannya. Entah kenapa perasaan khawatirku soal pengorbanan Kyoko yang tampak terlalu besar bisa sedikit demi sedikit menghilang. Mungkin karena aku merasakan perasaan nyaman Kyoko ketika bersamaku. Mungkin juga akhirnya kekhawatiran-kekhawatiran ku tidak terbukti karena melihat bahasa tubuhnya yang bisa dibilang tidak menunjukkan sedikitpun rasa tidak nyaman.

“Eh kalian, akhirnya main kesini juga, rapih amat” Mendadak Cheryl muncul entah dari mana.
“Halo sayang… Apa kabar” Stefan bangkit dan memeluk Cheryl.
“Gue ulang lagi deh, rapih amat kalian”

“Abis dari akad nikahnya si Bagas, ntar malem resepsi, males kalo balik dulu soalnya” jawab Stefan.
“Hah… nikah?” kaget Cheryl.

“Iya”
“Kaget gue, orang kayak gitu punya pacar?”
“Udah lama pacarannya tau” senyumku sambil sedikit menyapa Cheryl.

“Ih Arya sama siapa?” senyum Cheryl ke arah Kyoko.

“Kyoko…” Kyoko berusaha berkenalan ala Indonesia dengan mengulurkan tangannya untuk bersalaman sambil berdiri. Gerakannya agak sedikit awkward karena cara berkenalan orang Jepang tidak seperti itu.
“Ah… Ini pacarnya Arya ya, lagi di Indonesia nih berarti”
“Iya” jawabku seadanya.

“Gue masuk lagi ya, masih ngobrol” lanjut Cheryl.
“Siapa sih tamunya, sombong amat” ledek Stefan.

“Si Kanaya” tawa Cheryl.

“Lah ngapain dia ke mari”
“Dia ngobrol soal kemungkinan dia gawe disini, udah stress katanya disono…. Ya wajar lah, ga ada gue disana, udah pasti bangkrutnya” jelas Cheryl panjang.

“Yowis sana gih” sahut Stefan pelan.

Dan mendadak aku hening, sambil menatap ke langkah Cheryl menjauhi kami. Kanaya. Aku sampai lupa soal Kanaya. Dan sekarang mendadak ingat lagi. Perasaan awkward mendadak meliputi diriku. Kanaya. Memang mau tak mau cepat atau lambat Kyoko pasti akan bertemu Kanaya, tapi tidak secepat dan setiba-tiba ini. Super kampret. Stefan menatapku dengan muka aneh, entah muka tidak enak atau muka menahan tawa. Tidak jelas.

“Kanaya men” bisiknya.

“Iya tau” Aku meregangkan badanku. Tentunya Stefan sudah tahu soal kejadian malam itu, sehari sebelum Kyoko datang. Ledakan kecil yang bisa jadi problem. Setidaknya problem di perasaan Kanaya dan perasaanku, tapi lebih ke perasaan tidak enak pada Kanaya yang sudah selama ini kuanggap sebagai teman dekat. Tentunya situasi seperti sekarang membuatku tidak nyaman.

“Ano… Kanaya wa… Aya no tomodachi yo?” Kyoko memastikan kepadaku soal nama Kanaya yang dia dengar.
“Hai… Ano Kanaya” Ya, Kanaya yang itu. Dan selanjutnya Kyoko tersenyum.

“Jya… Suda sering dengar cerita Aya tentangg Kanaya, jadi sekarang bisa betemu rangsung ya” lanjut Kyoko dengan nada antusias. Tentunya karena aku sering menceritakan soal Kanaya dan supportnya kepada aku dan teman-temanku.

“Haha” tawa Stefan kecil sambil menatapku aneh. Mendadak Stefan mengambil handphonenya dan menendang kakiku pelan, memberiku tanda untuk melihat handphoneku. Stefan mengirimkan pesan untukku.

“Lo udah cerita sama Kyoko soal kejadian kemaren itu?”
“Ya enggak lah” jawabku.
“Terus?”
“Ga tau”
“Aneh nih pasti situasinya”
“Aneh buat gue ama Kanaya sih, buat pacar gue engga”
“Yowis telen aja lah ya wkwkwkwkwkwk”
“Mau gimana lagi”
“Dia bakal nyamper kesini gak ya?” Tanya Stefan lagi.
“Harusnya nyamper”
“Kalo engga sih gapapa, tapi aneh aja, kan kita pada kenal ama dia”
“Ah udah lah”

Dan konsentrasi kami semua terpecah ketika sosok yang familiar bagi kami datang menghampiri. Dengan jeans robek, sneakers, tank top abu-abu dan jaket kulit, Kanaya menghampiri kami.

“Hai Guys” senyumnya.

--------------------------------------------

BERSAMBUNG

 

[pelisaurus]

Akhirnya update jg

Lanjut om

 

[Arieskun]

Halo juga guys... Wkwkwk super awkward...

 

[Antikiem]

Dear all, hari ini tampaknya saya akan sangat sibuk. Mungkin updatenya agak terhambat ya.

Thx

Kami senantiasi menanti suhu

 

[chountoul]

Makan malam bareng masakan Kyoko di rumah Arya di skip yah atau cuma perasaan aku aja.

Makasih apdetnya om

 

[meong--jalu]

awkward moment, begin..!

lanjut y suhu. always like it.
baca MDT tiap hari, bukannya enek kalo kebanyakan tp malah nagih.
apalagi Kyoko, uh... jangan sampe rusak deh.

 

[RusGold]

Here we go. 4 more chapters to go today

 

[Jeff_The_Killer]

katanya Arya udah mulai nakal ya di mdt 2 , kasihan Kyoko

 

[pelisaurus]

Makan malam bareng masakan Kyoko di rumah Arya di skip yah atau cuma perasaan aku aja.

Makasih apdetnya om

Bukan nya itu MDT 2 ya om, yg kyoko buat resep Cafe nya Zul?

 

[kuciah]

Ketinggalan jauh lagi sama Om @racebannon,
Tiap dibuka udah beberapa Part,

Terima kasih updatenya Om race.
Sukses selalu menyertaimu dan selalu sehat.

 

[chountoul]

Bukan nya itu MDT 2 ya om, yg kyoko buat resep Cafe nya Zul?

Kalau yg ntu kan peresmiannya Kyoko gawe ke Cafe nya Zul. Nah yang ini Kyoko masak utk keluarga Arya & anak2 Hantaman.

Biar jlas ntar kita tanya om @racebannon aja deh buat klarifikasi.

Kepada om @racebannon waktu & tempat dipersilahkan

 

[wisnuwardhana]

meski baca ulang kenapa masih geregetan dan penasaran yak
jari bung RB ini emang magis
bung ane ada ide buat cerita side story dengan sudut pandang si sena. menurut bung RB bijimana?

 

[nativeblue]

Ga ada bosen bosennya gw baca ini...

 

[DianTemimbok]

Masih belum ada lanjutannya ya... Masa hari ini cuma satu part updatenya...

 

[racebannon]

MDT SEASON 1 - PART 57

--------------------------------------------

“Oh jadi kemarin ke Kota Tua?” tanya Kanaya dengan sumringah ke Kyoko. Kyoko mengangguk sambil tersenyum simpul ke Kanaya. “Dan naik Transjakarta?” lanjut Kanaya.
“Ah.. Hai… Ano.. Juga naikku…. Ko…”

“Kopaja” aku membantu menjawabkan.
“Jahat banget ya, pacarnya dateng ke Indonesia, disuruh naek Kopaja” tawa Kanaya.
“Ano… Seberunarnya… Kyoko yang mau naik… Supaya tahu basu di Jakarta” jawab Kyoko dengan riangnya.

“Jadi si Kyoko tuh pengen terbiasa naek bis di Jakarta gitu loh” Stefan menjelaskan.
“Di Jepang biasa sih ya” senyum Kanaya.

Senyum yang mungkin dipaksakan. Aku dari tadi tidak menatap muka Kanaya sama sekali, dari mulai dia menghampiri meja kami, lalu berkenalan dengan Kyoko, dan lalu bergabung bersama kami bertiga. Kanaya ada disini untuk membicarakan kemungkinannya pindah ke tempatnya Cheryl. Tentunya Pub langganan kami makin hari makin menyedihkan, apalagi setelah kami memutuskan untuk tidak mengisi acara tahun baru disana. Dan kesedihannya mungkin ditambah dengan niat Kanaya untuk pindah. Tentunya tidak sebagai manajer lagi, karena posisi manajer sudah dipegang penuh oleh Cheryl. DIa jadi manajer/owner/apapun yang mungkin disini dan dia menguasai semua hal yang bisa dikuasai disini. More freedom dan more control. Tentunya karena keberadaan tempat ini diprakarsai oleh dirinya dan suaminya.

“Jadi berarti… Lo pindah kesini jadi apa?” tanya Stefan.
“Belom tau, untuk ngemanage jelas ga mungkin. Mbak Cheryl full control banget disini” jawab Kanaya.

Aku membuang muka ke arah lain, terdiam dan tidak melakukan apa-apa di hadapan Kanaya. Bisa kurasakan tatapan Kyoko terasa menatapku menyelidik. Aku menatapnya balik sambil tersenyum kecil. Tidak, aku tidak nyaman berada di dalam situasi ini. Kepalaku berulang kali memformulasikan beberapa kemungkinan yang sedang dirasakan Kanaya. Tentunya perasaan tidak enak yang mungkin ia rasakan juga menulariku. Tidak nyaman rasanya.

“Emang dia ga butuh bantuan gitu, buat ngejalanin tempat ini?” lanjut Stefan.
“Ga tau, makanya itu kan gue nawarin diri, tapi kalo emang dia ga butuh bantuan dalam ngemanage, kalo emang yang ada cuman jadi waitress doang, gue sikat aja sekalian, daripada gue makin garing disana, kebawa-bawa ama sepinya…..” jawab Kanaya panjang.

“Sayang padahal kita masih suka nongkrong disana loh”
“Ya kan pengunjung yang diharapin ga cuman kalian bertiga doang….. Ini aja hampir semua band yang besar disitu udah ga pernah main lagi, terutama sejak acaranya Mbak Cheryl kemaren….. “

“Hmm” Stefan tampak berusaha berpikir.

Dan aku tampak berusaha menghindari Kanaya. Aku yang biasanya banyak bicara, kini diam, seribu bahasa, dan berharap Kanaya segera menyelesaikan urusannya disini.

“Ntar gue mungkin ga bisa dateng ya” Kanaya memberitahu kami sambil menatapku, yang terus terdiam tanpa respon. Tentunya Kanaya bicara soal resepsi pernikahan Bagas.
“Kenapa?” tanya Stefan
“Kerja lah…”
“Yah… kasian”

Dan aku tetap diam. Dengan anehnya.

“Kyoko gimana so far di Indonesia?” Kanaya mendadak mengalihkan perhatiannya ke Kyoko.
“E?” Kyoko tampak kaget, karena dari tadi Kyoko mengamati diamku.
“Hehe” Kanaya tersenyum ke arah Kyoko dengan santainya. Atau mungkin dengan tidak santai di dalam hati dan kepalanya.

“Ano…. Jakarta menarik… Dan… Ramai” jawab Kyoko.
“Rame karena macet ya?”
“Haha… Hai.. Tapi… Dengan motorcycle… Rebi mudah untuk perugi di Jakarta”
“Kyoko enak dong diboncengin terus”
“Haha”

“Lo kok diem aja sih” sahut Stefan dengan isengnya.
“Enggak” jawabku.
“Hmmmm” Stefan pasti bisa melihat keanehan tingkahku, yang mendadak jadi diam seribu bahasa. Dan Kanaya juga pasti bisa.

Ya, dan aku lebih memilih diam, diam sementara Kanaya dan Stefan terus saling bicara, seperti tidak pernah ada yang terjadi pada malam itu. Seperti Kanaya tidak pernah mengatakan hal yang membuatku jadi tidak nyaman berada dalam situasi sekarang. Sesekali Kanaya berusaha mengajak bicara Kyoko, yang tentunya disambut dengan baik olehnya. Situasi yang tidak aneh sebenarnya. Sejak awal aku sudah ingin Kanaya dan Kyoko saling mengenal. Tapi kenyataan bahwa Kanaya menyatakan perasaannya kepadaku, itu merupakan kenyataan yang memusingkan. Tidak aneh, tapi waktunya tidak tepat. Tidak tepat sehingga membuat suasana komunikasi antara diriku dengan Kanaya jadi aneh.

Bisa kurasakan aura-aura kekecewaan dan penyesalan, yang sebenarnya harusnya tidak menggangguku. Aku telah memilih dan nyaman bersama Kyoko, dan tidak pernah sedikitpun memikirkan soal Kanaya dalam koridor hubungan dan perasaan. Oleh karenanya aku jadi tidak bisa bertindak wajar di depan Kanaya. Aku hanya diam, berusaha untuk tidak bicara, karena aku tahu dalam hatinya, Kanaya merasakan perasaan yang berat melihatku bersama Kyoko.

Aku melihat ke arah jam tanganku. Dan waktu berjalan sungguh lambat, waktu seakan-akan tersendat, diiringi oleh suara Kanaya, Stefan dan Kyoko yang bersahut-sahutan. Sementara aku hening. Hening, membuang muka, dan melihat entah ke arah mana. Andai saja melihat-lihat handphone di tengah percakapan dapat kulakukan sekarang, tapi aku terlalu malas untuk merogoh ke saku celanaku dan mengambilnya.

“Aya?” Kyoko menegurku
“Hm?”
“Nanika?”
“Nani mo nai…” nothing.
“Hontou?”
“Mondainai…” no problem.

Aku kembali menatap Kyoko dengan muka datar. Ah. Sial. Kenapa harus ada di situasi seperti ini? Yang bisa kulakukan sekarang hanyalah berdoa di dalam diam, berharap percepatan waktu itu nyata. Setidaknya dari detik ini sampai acara resepsi Bagas nanti.

--------------------------------------------

“Stefan…. Terimakasi….” Kyoko membungkukkan badannya ke Stefan saat kami berdua diturunkan di depan rumahku. Dan aki melambai lemah pada mobil Stefan yang tampaknya akan berlalu.

"Take care ya! Sampe ketemu besok pagi... Gue jemput jam 7" teriak Stefan dari dalam mobil.

Yep, besok tanggal 31 kami akan berangkat langsung ke Bandung, Maja House sudah menunggu kami. Sebenarnya gila juga Bagas, baru nikah tapi sudah langsung manggung besoknya. Mana istrinya tidak ikut pula.

Aransemen besok, dua mobil akan beriringan, mobil Stefan yang disetiri supirnya yang setia akan diisi oleh Stefan, Aku dan Kyoko. Sedang mobil Anin diisi oleh Sena dan Bagas. Ai tidak ikut kali ini, dia ada acara sendiri dengan teman-temannya. Gitarku dan peralatan yang wajib dibawa besok telah siap. Satu koper yang berisi pakaian gantiku dengan Kyoko pun sudah siap. Lucu. Seperti suami istri trip bareng, satu koper.

Besok tampaknya menyenangkan.

Tapi malam ini tidak. Pikiranku masih terganggu dengan pertemuan mendadak dengan Kanaya tadi. Aku tidak siap. Dan tingkahku jadi aneh. Diam, diam dan diam. Cuma itu yang bisa kulakukan tadi, sebelum kami pergi ke resepsi pernikahan Bagas. Pernikahan yang ramai memang, tapi minim teman-temannya Bagas. Ramai oleh saudara dan teman-teman orang tua. Masih teringat mukanya yang begitu datar tadi di pelaminan. Seakan-akan dia tidak berada disana. Entah ada dimana dan entah apa yang dia pikirkan.

Dan apa pula yang tadi ada dalam pikiran Kanaya setelah pertemuan mendadak itu? Tingkahnya pun terlihat normal, malah aku yang terlihat aneh. Ah sudahlah.

"Aya... Daijobuka?" tanya Kyoko melihat gerak-gerikku yang tampak lambat dan ekspresiku yang datar.

"Gapapa kok... Tidur yuk... Dah malem, besok kita pagi-pagi" jawabku sekenanya. Kyoko hanya terdiam dan mengangguk. Aku membuka sepatuku dan merayap ke lantai atas bersama Kyoko. Kyoko mengikuti langkahku yang pelan. Bisa kurasakan aura khawatirnya, dan aku ingin bicara padanya soal perasaan tak enak ini. Tapi aku takut malah membuatnya terluka dan menyakitinya. Terutama setelah melihat Kyoko versi mabuk yang benar-benar melindungiku dari Zee waktu itu, sampai berani main fisik segala.

Aku takut kalau aku mengatakan perasaanku dan menceritakan soal kejadian dengan Kanaya semalam sebelum Kyoko datang, Kyoko malah akan menjadi cemburu, dan malah jadi khawatir ketika pulang nanti. Karena kemungkinanku untuk bertemu dengan Kanaya tinggi, dan banyak pertemuan yang tidak bisa begitu saja dihindari.

"Aya, really? Aya tidak kenapa-napa?" tanya Kyoko sebelum dia masuk kamar tamu.

"Hontou, daijobu... Jya... Oyasumi..." aku berusaha berbohong dengan mengatakan aku baik-baik saja dan kemudian mencium keningnya sebelum pintu itu ditutup. Aku berjalan dengan malas ke kamarku, menutup pintunya, menguncinya dan lantas melemparkan tubuhku ke atas kasur, tanpa membuka pakaianku terlebih dahulu.

--------------------------------------------

Sudah 15 menit. 15 menit aku terdiam, menatap langit-langit.

Pikiran berkecamuk di kepalaku. Tidak tahan rasanya dengan perasaan seperti ini. Coba kalau Ai sudah pulang, atau aku hanya berdua saja dengan Stefan, bisa kubicarakan dengan mereka. Jacob.. Kemana orang itu akhir-akhir ini. Semenjak ada Kyoko memang aku lebih sering mengeluh dan curhat padanya. Tapi khusus yang satu ini tampaknya tidak bisa.

Kalau aku bicarakan dengan Kyoko, tentu dia akan cemburu dan dia akan merasa tidak nyaman setiap ada kemungkinan aku bertemu dengan Kanaya. Sebaik apapun Kyoko, pasti dia akan merasakan kecemburuan apabila ada seseorang perempuan yang ada di lingkungan pacarnya terang-terangan menyukai pacarnya. Ambil contoh saja soal Zee. Walaupun situasi itu adalah situasi mabuk, ingat betapa protektifnya Kyoko kepadaku.

Dan kalau aku tidak bicarakan dengan Kyoko, rasanya kok seperto menyembunyikan sesuatu dengannya? Rasanya seperti kucing-kucingan dan situasi dengan Kanaya pun jadi semakin tidak jelas.

Persetan.

Aku bangkit dan mengambil kotak pusakaku. Walaupun isinya sudah sedikit, tapi wajib kubakar malam ini. Biarkan pikiranku melayang dan santai sejenak sebelum aku memikirkannya lagi. Kuambil sejumput, kutata dalam kertas rokok dan kulinting dengan rapih. Tak lupa aku melipat dan menggulung kertas agar terbentuk "filter" yang memudahkanku menghisapnya.

Air purifier? Check

Deodorizer? Check

Korek api? Check

Bakar.

--------------------------------------------

Beberapa menit berlalu dan aku duduk dengan tololnya di atas sofa. Aku menghisap asap daun itu dan melayangkan diriku sendiri ke udara. Aku terlena dan mencoba melupakan. Mencoba membayangkan hal-hal yang indah saja, Jepang, Kyoko, dan hal-hal lucu yang akhir-akhir ini terjadi.

Lupakan sejenak Kanaya. Tenanglah, dia cuma teman. Mau apa dia kalau memang dia suka sama aku?

Tapi.... Perasaan tak enak itu kembali muncul sedikit-sedikit. Perasaan kecemburuan Kyoko sepertinya terasa. Aku menghisap lagi banyak banyak. Daun sialan. Sayuran sialan. ***** sialan. Selalu bisa bikin tenang di kala hati berkecamuk seperti ini.

Dan mendadak.

Suara ketukan kudengar di pintu.

"Aya?"

Shit. Aku mematikan puntung yang ada di tanganku, menyemprotkan deodorizer sejadi-jadinya dan dengan terburu-buru membuka pintu.

"Aya... Apa mau bicara... Chotto..." Kyoko memperhatikan ekspresi mukaku yang aneh. "Kao ga.... Aka... Daijobu?" dia memperhatikan mukaku agak memerah dan sudah pasti matakupun merah juga.

"Aya?" Kyoko tampak bingung melihatku.
"Hmm.... Ya?" jawabku asal.
"Ano... Kore... Bau apa?" shit. Baunya masih tersisa.
"Nani mo nai" jawabku, menyembunyikan sesuatu yang sudah kulakukan tadi. Aku bilang tidak ada apa-apa, nothing.

"Sore nani?" apa itu. Shit. Kyoko menunjuk ke asbak yang potongan lintingannya masih ada.
"Ano...."
"Aya... Kitsuen shite imasenka?" kamu kan gak merokok, tanyanya.

"Ano... Are wa... Tabako janai..." bukan rokok, kukatakan padanya. Sialan, kalimat-kalimatku tampaknya jadi aneh dan seperti tidak terkontrol.
"Mochiron.... Tabako no nioi janaiyo...." selidik Kyoko. Tentu saja bukan bau rokok, katanya. Ya, tentu saja, dia pasti hapal bau rokok, karena kakaknya merokok dan di dalam cafenya bebas merokok.

Shit.

"Nanishiteruno... Aya..." dia tampak bingung, dan bertanya aku sedang apa.
"Ano..... Hon'no sukoshi...." cuma sedikit aja. Sedikit apa sih tolol, ngomong apa sih lo.

"Aya, sedang apa... Jyawab Kyoko..." tegas Kyoko sambil berusaha melihat ke balik punggungku. Dia masih memakai dressnya yang tadi. "Kyoko khawatir sama Aya... Jadi Kyoko mau tanya.... Tapi, ima.. Aya sedang apa?" bingungnya. "Nioi... Ano... Bau apa ini?" tanyanya lagi

Shit.

Bagaimana menjelaskannya?

"Ano?" suara yang keluar dari mulutku terdengar agak aneh dan aku terbatuk.
"Aya... Nomu?" dia bertanya apakah aku butuh minum.
"Daijobu...."
"Ah... Chotto ne.." sebentar katanya. Dan selanjutnya dia melangkah tanpa cela ke bawah, tampaknya mengambilkan minum untukku. Aku bersandar di bibir pintu dan merangkai puluhan kata-kata, dan tak satupun menjadi kalimat sempurna. Apa yang harus kukatakan padanya?

"Sayang, aku ngeganja karena aku pusing, temenku si Kanaya bilang dia cinta sama aku. Ya, cinta" gak mungkin aku bicara seperti itu.

Atau.

"Sayang, pusing nih, makanya aku ngegele, mau coba? Enak loh, ntar kalo kita dah nikah kita jadi suami istri ngefly"

Fuck. Atau...... Bicara yang sejujurnya dengan cara baik-baik. Tapi itu butuh waktu sekitar beberapa saat lagi, setengah jam lagi mungkin, untuk menurunkan efek fly dari benda yang kuhisap ini.

Sial. Ada berapa detik lagi sebelum Kyoko kembali kesini membawa air minum? Alasan apa dan penjelasan macam apa yang harus kukatakan kepadanya? Apa yang harus kulakukan? Detik-detik berlalu dengan lambat dan semuanya terasa berputar. Gila. Ini ngefly paling gak enak yang pernah kurasakan.

Suara langkah kaki terdengar naik ke lantai dua. Apakah aku harus kabur dan menutup pintu? Tolol. Mana bisa begitu. Bagaimana kalau Kyoko tidak suka drngan pemakaian *****? Bagaimana kalau ia jadi benci padaku bukan karena kasusku dan Kanaya, tapi karena *****. Akankah ia menganggap aku pemakai narkoba biasa? Apakah dia bisa menerima penjelasanku soal pandanganku kepada *****?

Fuck. Langkah itu semakin mendekat. Tolol. Tolol lo. Mikir apa lo mendadak mau ngegele pas pacar lo lagi nginep. Kenapa lo gak sok galau aja, sok capek, minta dipeluk-peluk, cium-cium, sok-sok minta dimanjain, pura-pura capek, atau apa lah. Kenapa Ya? Tolol.

Tolol sumpah. Harus bilang apa lo ke pacar lo? Gimana kalo nanti Kyoko bilang ke orang-orang rumah? Pikiranku liar karena memang sedang terbang. Sialan. Sialan. Sialan.

"Aya" Kyoko mendekatiku sambil memberikan gelas berisi air. Mukanya terlihat khawatir sekaligus curiga.

Gila. Ini pertama kalinya aku berharap tidak bersama dengannya. Pertama kalinya. Apa yang harus kulakukan?

--------------------------------------------

BERSAMBUNG