Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT MDT - REVIVAL - SEASON 1 (racebannon)

Menurut Kalian, Siapakah "Bastardverse" Best Couple?

  • "Aku" & Dian (The Lucky Bastard)

    Votes: 12 7,5%
  • "Aku" & Nica (The Lucky Bastard)

    Votes: 2 1,3%
  • "Aku" & Anggia (The Lucky Bastard)

    Votes: 41 25,8%
  • Arya & Kyoko (Matahari Dari Timur)

    Votes: 51 32,1%
  • Anin & Zee (Matahari Dari Timur)

    Votes: 2 1,3%
  • Stefan & Semua yang dia tiduri (Matahari Dari Timur)

    Votes: 23 14,5%
  • Amyra & Dipta (Amyra)

    Votes: 6 3,8%
  • Gilang & Saras (Penanti)

    Votes: 2 1,3%
  • Gilang & Tara (Penanti)

    Votes: 3 1,9%
  • Bryan & Tika (Amyra)

    Votes: 1 0,6%
  • Rendy & Anggia (The Lucky Bastard - Matahari Dari Timur)

    Votes: 14 8,8%
  • Adrian & Anggia (The Lucky Bastard - Matahari Dari Timur)

    Votes: 2 1,3%

  • Total voters
    159
  • Poll closed .
Bimabet
MDT SEASON 1 - PART 58

------------------------------------------

guitar10.jpg

Aku meraih gelas yang penuh berisi air dingin itu dan meminumnya perlahan. Kyoko menatapku dengan tajam. Tatapan yang penuh dengan kecurigaan, kekhawatiran dan rasa penasaran. Sedang apa pacarku malam ini? Kenapa ada asbak dan sedikit bau aneh yang tercium dari kamarnya? Arya kan tidak merokok. Arya sedang apa?

“Aya…. apa mau bicara? Ohanashi?” tanyanya.
“Nande mo nai…” jawabku, menghindar.
“No, really…. Aya sedang apa? Aya tida smoking tabako… Sore nani?” tunjuknya lagi ke dalam, ke arah asbak dan puntung. Bukan puntung rokok tentu saja. Kyoko memaksa masuk dan aku tidak bisa menahannya.

“Kore nani? Aya?” Kyoko mengambil puntung lintingan bekas aku membakarnya beberapa waktu yang lalu.
“Ano….”
“Aya, kore wa tabako janai…” ini bukan rokok, selidik Kyoko.
“Hai… Tadashi..” benar, itu bukan rokok.

“Kono mono wa… Nan desuka?” tanya Kyoko dengan bahasa Jepang yang berkalimat lengkap dan tegas. Makin pendek bahasa Jepang, maka makin casual dan makin akrab, semakin panjang, biasanya semakin tegas dan semakin resmi. “Apa ini” yang casual adalah “Kore Nani?”. Sedangkan bentuk yang tegas dan kakunya adalah “Kore wa nan desuka”, atau kalau bertanya, benda apa ini, bentuk tegas dan kakunya adalah “Kono mono wa, nan desuka?”

Aku menghela nafas panjang.

“*****”
“Weed?” tanya Kyoko lagi.
“Hai”
“Ah…” Kyoko tampak memperlihatkan muka iba padaku. Dia menaruh puntung itu di asbak, dan berjalan ke arah pintu. Kuduga dia akan keluar, dan masuk kamarnya dan tidak akan bicara lagi padaku.

Tapi aku salah.

Kyoko menarikku masuk dan menutup kamarku dari dalam. Kyoko lalu duduk di atas kasurku. Dan aku masih berdiri dengan tololnya, dengan kepala yang masih goyang, dan fokus yang tak menentu.

“Aya… Duduk…”
“Hai..” jawabku lemah, dan pasrah. Aku duduk di sofa, menghadap dirinya. Aku sudah bersiap akan berbagai hal yang buruk. Kemarahan Kyoko, atau dia minta putus karena dia tidak suka dengan pemakai *****, sebagaimanapun aku menjelaskannya nanti jika ia mencecarku.

Oke, dan aku terpaksa pasrah menerimanya.

“Doushite?” tanyanya. Kenapa.
“Nani mo nai…” nothing, jawabku bodoh.
“Aya… Doushite? Kyoko wa… Shinpai shite…” Oke, dia khawatir kepadaku.
“Ie… Shinpai shinaide” jawabku tolol, menyuruhnya agar jangan khawatir.

“Aya!” serunya pelan dengan suara yang suprisingly lembut. “Nani ga atta ka?” dia menanyakan apakah ada hal yang terjadi belakangan ini, yang menyebabkan ini semua. Sumpah, rasanya tidak nyaman.

“Ano…”
“Mondai ga aru ka?” apakah ada masalah?
“Arimasen dayo…” ga ada masalah.

“Aya…. Please…” Kyoko bangkit, lalu bersimpuh di depanku, memegang lututku dan satu tangannya lagi dengan lembut membelai rambutku. Aku agak gemetar karena segan. Kenapa ia malah menenangkanku? Apakah dia berkesimpulan dengan aku menghisap *****, berarti ada masalah yang ingin aku lupakan? Sepertinya dia benar.

Dan saat ini perasaanku berkecamuk, apakah aku harus mengatakan yang sebenarnya. Sialan, yasudah, tanggung kepalang basah.

“Can I tell you in English?” tanyaku ke Kyoko.
“Indonesia mo daijobu” senyum tipis Kyoko. Entah senyum itu senyum menahan marah, sedih, atau memang simpati.

“Oke… So… Tentang Kanaya”
“Kanaya?” tanya Kyoko.
“Tadi Kyoko, ketika ketemu Kanaya, apakah memperhatikan sesuatu yang aneh?” tanyaku.
“Aneh… Ano… Kanaya? Tida ada aneh-aneh di Kanaya” jawab Kyoko.

“Di aku?” tanyaku lagi.

Kyoko menghela nafas.

“Hai…. Aya diam terus…” tatap Kyoko dengan tatapan yang dalam. Begitu dalam sehingga aku bisa merasakan matanya menembusku.

“Kyoko tahu kenapa aku diam?” Kyoko hanya menggelengkan kepalanya sambil menyentuh tanganku, dan membelainya lembut.
“Kenapa, Aya?”
“Ya, Kanaya”
“Kanaya, doushite?”

Aku menarik nafas panjang.

“Semalam sebelum Kyoko datang, Kanaya tiba-tiba bilang suka kepadaku”
“…” Kyoko terdiam.
“Dan aku kaget, dan sudah sejauh ini menghindar, sampai tadi”

“Kenapa Aya me-hinda’?” tanya Kyoko.
“Aku tidak enak. Aku masih ingin berteman biasa, aku takut nanti jadi aneh, jadi….”
“Wakarimashita…” bisik Kyoko. Mengerti, katanya. Mengerti apa?

“Demo… Tadi Kanaya tida perihatkan karo suka sama Aya” lanjut Kyoko.
“Bener”
“Ano… Sore arutinya… Dia respect sama Aya dan Kyoko” senyum Kyoko. “Demo… Supaya Aya tida merasa tida enak ragi, Aya harus birang sama Kanaya yang sebenarnya karo Aya masih mau beteman denggan Kanaya” gila, kalimat sesusah inipun dia sudah agak lancar.

Dan aku merasa ada perasaan damai yang aneh. Kyoko tidak terlihat marah sama sekali. Dia hanya mengatakan kepadaku untuk berkata ke Kanaya, kalau aku masih ingin semuanya normal lagi.

“Kyoko tidak marah?” tanyaku.
“Hai… Tida mara…” jawabnya.
“Kenapa?”
“Karena… Ini bukan masalah Aya dan Kanaya. Ini masalah Kanaya, hitori…” masalah Kanaya sendiri. “Dan Aya merasa tida enak pasuti karena takut Kyoko jealous?” tanya Kyoko lagi.

“Ya”
“Berarti Aya sayang Kyoko” Kyoko lalu memeluk leherku. “Tapi waktu itu, Kanaya birang suka sama Aya, kejadiannya bagaimana?” tanya Kyoko.

“Semalem sebelum kamu dateng, aku seneng banget, cerita ke anak-anak, semuanya, kalau aku gak sabar kamu dateng” Kyoko tersenyum mendengarnya. “Aku juga cerita sebegitu hebohnya di depan Kanaya. Dia biasa aja, tapi lama-lama, dia keliatan kesal dan potong omonganku, dia lantas bilang kalau suka, terus pergi…. Dan gak ketemu lagi sampai tadi siang…” ceritaku panjang.

“Hai…. Ini… berarti masarahnya hanya Kanaya suka sama Aya” senyum Kyoko lagi.

Aku menganggukkan kepalaku.

“Aya sukanya sama siapa?” tanya Kyoko pelan.
“Tentu sama Kyoko” aku tersenyum. Sambil menahan diri agar aku tidak menceritakan fling-ku dengan Kanaya sebelum aku berangkat ke Jepang untuk pertama kalinya.
“So… Ano… Kanaya harus dengar dari Aya, kalau Aya tida suka Kanaya. Tapi walau… Kanaya sudah tahu itu, dia harus dengar dari Aya sendiri, karena dia pasuti ingin dengar rangsung, agar dia…. Ano….”

“Agar dia ngerti dan paham dan supaya perasaannya gak lanjut?” tanyaku Ke Kyoko.
“Hai”
“Kalau lanjut gimana?” tanya ku tolol.
“Yang penting Aya mau sama Kyoko?” senyum Kyoko dengan bodohnya.
“Iya” aku tersenyum kecil dan Kyoko membelai rambutku.

“Demo…. Kenapa harus sampai.. Ano..” Kyoko menunjuk ke arah puntungan ***** di atas asbak.
“Pusing, dan ini bisa bikin aku gak pusing lagi”
“Demo…. apa bedanya dengan osake?”
“Beda”
“Sama, Aya… Onaji…”

“Betsu” beda.
“No… Please” bisik Kyoko.
“Please what?” tanyaku.

“Aya jangan pakai itu lagi…. Karo pusing, birang Kyoko… Tak peru hisap benda aneh…. Onegai…” mohonnya sambil memelukku.
“Demo..” Tentu saja itu sudah jadi kebiasaanku dari jaman kuliah, tak semudah itu.
“Just say yes to me please…” mohon Kyoko. “Jangan lagi” mohonnya tanpa tahu apa-apa soal sejarahku dengan *****.

“Kyoko…”
“Please..”
“Kyoko”
“Aya, please…… Don’t… Abunaiyo…” bahaya, katanya.

“Demo…”
“Aya…..” Mohonnya dengan mata yang mengiba.

------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------

649-il10.jpg

“Terus gimana?” tanya Stefan.
“Ya akhirnya gue terpaksa bilang kalo gue ga akan ngegele lagi, biar ga panjang”

Jam sembilan pagi, di rest area tol Jakarta-Bandung. Kyoko masih tidur di mobil, aku menemani Stefan beli minuman di minimarket dan merokok sebentar. Anin dan Sena masih belanja di minimarket, dan Bagas ada di dalam mobil. Dengan diam dan kakunya.

“Soal Kanaya?”
“Ya abis balik dari Bandung entar gue temuin tu anak, biar clear”
“Kok gue ngerasanya si Kyoko lagi-lagi terlalu banyak berkorban ya buat elo? Gue kalo jadi dia pasti bete-bete gak jelas tuh, kalo nangkep pacarnya ngegele, galau mikirin tingkah cewek lain” balas Stefan.
“Fan…”

“Gue serius… Gue ga tau gimana, cuman perasaan gue kok gak enak ya, bukan masalah lo sama Kanaya, tapi gue perasaannya gak enak sama Kyoko” lanjut Stefan.
“Maksudnya mendingan gue ga usah sama Kyoko gitu?” tanyaku dengan nada agak tidak nyaman.
“Bukan, tapi gue takut suatu saat dia bisa meledak sendiri karena dia nahan perasaannya demi elo, demi bisa keliatan ngebelain elo banget, terus submissive kayak gitu, Yamato Nadeshiko banget lah” tawa Stefan.

“Yamato Nadeshiko?” tanyaku.
“Yamato Nadeshiko” Stefan menghisap rokoknya dalam-dalam dan membuang asapnya ke udara.
“Apaan tuh?” tanyaku lagi.

“Gambaran perempuan ideal menurut budaya Jepang. Mungkin di jaman modern ini, udah mulai agak kegerus zaman, tapi masih kerasa di perempuan-perempuan Jepang jaman sekarang loh…”
“Maksudnya ideal itu gimana”
“Ya yang nurut sama suami, loyal, mampu ngurus rumah tangga, feminim, keluarga nomer satu” senyum Stefan.
“Itu gak jelek kan Fan”

“Gak jelek emang, yang jelek kalo dia berkorban terlalu banyak buat jadi orang yang kayak gitu. Dan Kyoko kayaknya gitu banget sama elo. Kalo gue? Udah mencak-mencak gue gak bolehin elo ketemu Kanaya lagi, atau malah gue laporin ke emak lo kalo lo ngeganja. Tapi ini malah sok-sok bijak nyuruh elo ketemu Kanaya, bikin clear masalah, bagus sih, tapi berapa banyak perasaan jealousnya yang dia pendem? Terus pake mohon-mohon meluk-meluk elo biar lo gak ngegele lagi, itu sih parah di mata gue men…” balas Stefan panjang.

“Tapi….”
“Kyoko pantes banget emang buat dikawinin” senyum Stefan. “Gue gak tau ya, apa lo bisa nyaman dan bikin Kyoko gak maksain, gue harap lo bisa kayak gitu, cuman ini cewek setia dan baiknya ke elo keterlaluan banget, dan di mata gue gak wajar, jadi lo harus bener-bener jaga baik-baik perasaannya…. Mungkin nanti kalo lo mau ngegele diem-diem aja ke rumah gue” tawa Stefan.

“Tai…. Ah sudah lah… Tapi yang pasti, kalo soal kawin gue gak bakal mikir dua kali Fan, terutama ngeliat dia nyaman disini” tawaku balik.
“Good for you..” bisik Stefan.

“Tapi, kalo lo bilang suatu saat, dia bakal meledak kalo nahan perasaannya, maksudnya dia bakal ngamuk ke gue gitu?” tanyaku tolol.
“Lo kayak anak kuliahan aja deh, kagak lah, dia pasti meledaknya ke diri sendiri, kecewa kenapa gak kuat, terus nyalahin diri sendiri, stress sendiri, ya kayak yang waktu gue bilangin pas kita di Jepang itu Ya” jelas Stefan.

“Hmm….”
“Iya lo orang baik, baik banget ama cewek, tapi lo ga bisa baca pikiran orang men… Jadi yah, ati-ati aja dah” sahut Stefan ringan, sambil membuang puntung rokoknya ke tong sampah.

“Udah nih” mendadak Sena keluar dan membawa bungkusan minimarket.
“Banyak amat!” teriak Stefan.
“Buat ngemil di hotel juga ntar bang” teriak Sena balik.
“Kampung”
“Dih….” Sena hanya meringis saja. Aku tersenyum sambil berjalan balik ke arah mobil Stefan dan Mang Ujang sudah menunggu disana.

“Neng Kyokonya tidur terus mas ya?” tanyaku saat masuk ke dalam mobil, ke Jok belakang. Di sebelahku Kyoko masih terlelap, dengan memeluk handbagnya.
“Kecapean kali dari kemaren” tawaku. Ya, selain pembicaraan panjang lebarku malah hari dengannya, tentu dia pasti kelelahan menyaksikan resepsi dan akad nikah Bagas.

“Mmm?” Kyoko agak terbangun dan melihatku bersandar di jok mobil. “Hai Aya” senyumnya.
“Hi” sapaku balik sambil menggenggam tangannya.
“Jaran lagi?” tanya Kyoko.
“Ya”
“Kyoko tidur lagi? Atau aya mau bicara?” senyum Kyoko sambil menyenderkan kepalanya ke bahuku.
“Tidur lagi aja, gapapa” senyumku.
“Okei”

Kyoko tampak nyaman, memeluk tasnya. Dandanannya hari ini lucu, celana jeans ¾, sneakers, kemeja, cardigan dan beanies. Dia tampak lebih muda daripada umurnya. Aku menepuk kepalanya dan membiarkan dia terlelap di perjalanan Jakarta ke Bandung ini. Tak sabar rasanya ingin segera memperkenalkan dia ke anak-anak Frank’s Chamber.

------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------

maja-h10.jpg

Benar saja, sesampainya kami di hotel yang masih dalam area venue itu, bahkan sebelum kami selesai beres-beres, ada ketukan di pintu.

“Permisi…. Rum Serpis… Serpis kamar… Serpis payung…” suara dengan logat sunda yang kental itu terdengar di depan pintuku. Kyoko bingung mendengar suara yang kalimatnya amburadul itu, dia sedang mengeluarkan baju ganti dan menatanya di lemari yang tersedia.

“Akang!” teriaku saat membuka pintu, dan muncul Kang Bimo dan Kang Wira di depan pintu.
“Jangan keras-keras euy teriaknyah.. Kamu kayak orang desa, pacar interlokal tapi kelakuan kamu masih wartel” ledek Kang Bimo.
“Eh, aya ningan kabogohna” celetuk Kang Wira.

“Eh iya, kenalin ini Kyoko” Kyoko lantas menghampiri mereka berdua dan menunduk sambil menjulurkan tangannya, untuk berkenalan ala orang Indonesia. Kang Bimo dan Kang Wira malah menunduk, berkenalan ala Jepang.

“Saya Bimo”
“Dan Saya Wira…”
“KAMI DARI!!! BENGKEL MOTOR SARIMAHI BARU, MENGUCAPKAN SELAMAT IDUL FITRI…”

“Belegug siah” Kang Wira lalu menoyor kepala Kang Bimo yang belum belum sudah mengajak Kyoko bercanda. Candaan yang tentu saja disambut Kyoko dengan ekspresi aneh, melihat kelakuan ajaib kedua orang gila ini.

“Ano… Kyoko desu” angguk Kyoko dengan canggung ke mereka berdua.
“Halo… Ano… Kimigayo, suzuki,honda, kawasaki, hitachi, samsung….” Jawab Kang Bimo.
“Atuhlah kamu jangan heureuy wae atuh” tegur Kang Wira sambil menatap sinis ke arah Kang Bimo.
“Maaf abisnyah suka grogi di depan cewek geulis teh”

“Eeee?” Kyoko bingung harus merespon dengan apa.
“Punten, maaf yah, hampura, baturan saya sok heureuy teu puguh” sahut Kang Wira dalam bahasa Sunda.
“Kang, ini dia baru lancar bahasa Indonesia, jangan dibikin pusing pake bahasa sunda dong” keluhku sambil tersenyum simpul.

“Hai… iya, Kyoko bisa bicara Indonesia… Jadi…” Kyoko berusaha menambahkan.
“Jadi kapan kawin kalian teh” potong Kang Bimo.
“Eh? Kawin? Kekkon?” Kyoko tampak panik menanggapinya. Dia berusaha melihat ke arahku, berharap aku mengatakan sesuatu untu menjelaskan situasi super aneh yang dia hadapi sekarang.

“Wah, maap atuh, kalo kejauhan nanyanya” maaf Kang Bimo.
“Kamu kebanyakan becanda ah” tegur Kang Wira, lagi-lagi.
“Maap, grogi kan ketemu yang adem-adem” senyumnya.
“He euh adem siga Adem Sari meureun”
“Ngomong naon sih si gelo”

Dan mereka bertukar-tukaran hinaan, sementara Kyoko masih bingung harus merespon dengan bagaimana.

------------------------------------------

y9054310.jpg

Setelah sedikit kerusuhan tadi, akhirnya Kyoko dan aku berhasil menyiapkan kamar agar nanti malam setelah kami manggung acara tahun baru, bisa ditiduri dengan nyaman. Aku dan Kyoko tidur-tiduran, berpelukan dengan malasnya sambil menunggu waktu makan siang. Tentunya makan siang di Maja House, sambil bicara dengan panitia acara, dan bertemu para penampil, awak /ndif, Frank’s dan beberapa band pembuka sebelum kami manggung.

Sudah lama aku tidak bertemu dengan Kang Arri /ndif dan kawan-kawan. Pasti seru juga.

“Aya, di Indonesia, bahasa ada banyak?” tanya Kyoko langsung ke telingaku dengan bisikannya yang menggoda.
“Iya, tergantung daerah masing-masing”
“Ano… tadi Aya birang, mereka tadi bicara bahasa Sunda?” tanya Kyoko lagi.
“Iya”
“Aa… Ano.. bahasa yang kawaii” senyum Kyoko. “Aya bisa, sunda?”
“Gak bisa” jawabku singkat.

“Demo… Aya perunah birang, kalau Aya ada darah Sunda, demo… Aya tidak bisa Sunda, bahasanya, bagimana bisa?” selidik Kyoko.
“Soalnya aku tinggal di Jakarta”
“And?”
“Emm….”
“?”

“Ah…. Susah ya menjelaskannya….” Tawaku sambil mencium keningnya dan mempererat pelukanku. Kyoko masih tampak bingung atas penjelasanku yang tidak selesai. Tapi dia tampaknya tidak mempedulikannya lagi, dan malah mencium bibirku dengan lucunya. Aku menghindar dan malah melumat bibirnya dengan penuh nafsu. Kyoko menyambutku. Bibir kami berdua saling memagut, saling melumat dengan panasnya. Mata kami berdua terpejam, menikmati ciuman itu. Kami makin berpelukan dengan erat, sambil merasakan lembutnya bibir masing masing.

“Mmmnn…” Kyoko mendesah dalam ciuman bibirku. Aku melepasnya.

“Kyoko?” bisikku.
“Hai?”
“Apakah…. Sudah…bisa…”

“WOI!!” tiba-tiba terdengar suara yang mengagetkan di depan pintu kamar.
“Siapa?” teriakku.
“Udah disuruh makan siang bareng tuh, sambil technical meeting!” suara Stefan terdengar lantang sampai ke dalam kamar.

“BENTAR” teriakku balik.
“Si Kontol pasti lagi ngewe ya!!” balas Stefan.

“Ano…. Kontoru? Murah? Ngewe apa?” tanya Kyoko dengan polosnya.
“Aduh…. Soal itu belom sempet diobrolin ya?” senyumku awkward.
“E?” bingung Kyoko.
“Yaudah, entar ya, kita makan siang dulu.. Taberu” bisikku yang diamini oleh senyum Kyoko.

“CEPET KONTOL!!!”

------------------------------------------

“Oke, jadi jadwal semua udah megang ya… Abis makan, agendanya Check sound, tapi jadwalnya kebalik sama jadwal manggungnya, yang check sound duluan penampil utama” senyum ketua panitia acara malam hari nanti, di meja makan. Kami semua mengiyakan, tentunya karena kami lebih fokus dengan makanan yang ada di atas meja dan dengan obrolan kami masing-masing.

Sena dan Stefan tampak berbisik-bisik mesum dengan Kang Arri /ndif sambil memperhatikan beberapa perempuan yang lalu lalang. Bagas duduk di pojok meja dengan ekspresinya yang kosong, seperti biasa. Pengantin baru yang aneh, yang malah manggung di Bandung sehari setelah hari pernikahannya. Bahkan setahuku, dia tidak merencanakan honeymoon sama sekali. Para pengisi acara yang lainnya malah sibuk mengobrol sendiri, dengan teman mereka masing-masing.

Aku duduk di sebelah Kang Bimo yang dari tadi malah membentuk bentuk-bentuk aneh dengan makanannya. Kang Wira tampak sedang mengobrol dengan Kyoko yang duduk di sebelahku, sambil mengajarkannya bahasa sunda yang sangat basic.

“Si Bagas dah kawin nya, kok malah manggung sih” tanya Kang Bimo sambil berbisik kepadaku.
“Ga tau Kang”
“Ga tau kalo dah kawin apa ga tau kalo kenapa sekarang manggung?”
“Yang kedua”
“Emang semacam ajaib nya jelema teh”
“Yah gitu deh” balasku.

“Ari kamu kapan kawin?” bisiknya lagi.
“Hah? Bakal atuh, tunggu aja” senyumku penuh arti.
“Buruan, keburu pulang ke Jepang”
“Ah dia balik kesana juga ga bakal berubah kok hubungan kita mah” jawabku.
“Sok romantis kamu, ga takut apa disamber ama si Wira” candanya.
“Hahahaha”

“Moal saya mah, ini cocok pisan dikawin Arya yah” sahut Kang Wira mendadak tanpa aba-aba.
“Enya cocok pisan” balas Kang Bimo.

Aku hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum, sambil meraba celana jeansku. Aku lantas melirik ke arah Kyoko yang dari tadi tampak serius berbincang bincang dengan Kang Wira.
“So, bandung bagaimana”
“Tanoshii…” senyum Kyoko.
“Segini mah belum Bandung atuh euy, ini mah lembang, eh, bahkan belom lembang ketang…” sahut Kang Bimo sambil menyalakan rokoknya.

“Aya” Kyoko mendadak tersenyum lebar sambil menatapku dengan malu-malu.
“Apa?”
“Mung anjeun nu ku abdi di pikacinta” senyumnya menahan geli. Aku hanya bingung sambil melongo, mendengar Kyoko berbicara dalam bahasa sunda, Cuma kamu yang aku cinta, katanya.

Dan tawa Kang Bimo serta Kang Wira mewarnai ekspresiku yang mendadak bodoh karena mendengar Kyoko bicara tadi.

------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
MDT SEASON 1 - PART 59

------------------------------------------

maja-h10.jpg

“Aya” Kyoko memberikan gelas minumku yang berisi soda. Dia sendiri menggenggam sekaleng bir dingin. Bir Indonesia enak katanya. Aku hanya bisa mengiyakan saja, karena aku tidak banyak tahu soal minuman keras. Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Kami sudah selesai check sound, dan masih ada beberapa band pembuka yang check sound di venue. Aku dan Kyoko berdiri di balkon restoran, menikmati pemandangan pinggir utara Bandung. Langit belum mulai gelap, tapi kurasa jalan menuju daerah ini sudah mulai ramai oleh para pencari hiburan pergantian tahun.

Aku jadi teringat tahun lalu, dimana aku pertama bertemu dengan Kyoko. Dan sekarang, perempuan manis itu ada di sini, di Indonesia, bersamaku, menikmati liburan musim dinginnya di Indonesia yang hangat.

Kyoko tampak tersenyum menikmati suasana yang indah ini. Di sudut yang lain, teman-temanku dan awak Frank’s serta /ndif sedang ramai mengobrol sambil menikmati suasana dan minuman alkohol ringan berupa bir dan cocktail. Aku berharap tidak ada yang terlalu mabuk nanti malam. Karena akhir-akhir ini sudah dua kali ada kejadian yang parah, karena terlalu mabuk. Yang pertama adalah perkelahian di pub langganan kami di Mega Kuningan, Jakarta itu, dan yang satu ketika kami manggung di Tokyo, di Gravity Rock Bar. Sudah cukup kekacauan yang terjadi tahun ini, mudah-mudahan tahun ini tidak ditutup dengan kekacauan juga.

“Bandung wa… samui ne?” bandung sejuk, bisikku ke Kyoko.
“Karau dibanding dengan Jakarta iya, Aya” jawabnya.
“Senang disini?” tanyaku.

“Mochiron, teman-teman Aya di Bandung menarik… Omoshiro… Aparagi yang tangan penuh tattoo” Kang Bimo maksudnya. “Dan ano… Bahasa Sunda… juga omoshiro… bicaranya rembut dan accent nya bagus” lanjut Kyoko. Aku tersenyum saja. Lucu mengingat darah sundaku yang kental ini, tapi aku sama sekali tidak bisa berbicara Bahasa Sunda.

Ya, ayahku orang sunda, dan ibuku orang jawa. Tapi secara budaya, tentunya budaya jawa lebih kental di keluargaku. Ini lebih tepatnya karena ayahku tidak pernah dekat dengan anak-anaknya dan kami jauh lebih mengenal keluarga besar dari sisi ibuku. Dan aku jadi mengingat ibuku, tadi subuh, saat aku berpamitan dengannya di kamarnya.

--

“Ya, mama senang mendengarnya” ucapnya tadi sambil tersenyum. Senyuman yang tidak akan kulupa seumur hidupku.

--

“So, /ndif wa….” Tanya kyoko.
“Senior”
“Aaa… music nya… ano…”
“Matang?” tanyaku balik.
“Hai…”
“Udah tua sih itungannya mereka, pas taun 90an mereka booming di Indonesia” jelasku.
“Ah… wakarimashita”

“Kyoko, aku mau nanya” aku menyela pemikirannya soal /ndif.
“Nan desuka?”
“Kyoko sejauh ini di Indonesia gimana?”
“Senang. Serain karena ada Aya, di Indonesia juga hangat… Penduduknya hangat dan ramainya menyenangkan…. Terutama… ano… saat kita naik ko…”
“Kopaja?” aku melengkapi kalimatnya.
“Hai” Kyoko tersenyum simpul, tampaknya dia sedang mengingat perjalanan kami ke kota tua naik Transjakarta dan kopaja.

“Senang dengernya” balasku.
“Kyoko juga, senang dengan Aya” Kyoko lantas menyandarkan kepalanya ke bahuku.

“Eh, bobogohan wae, kenalin atuh” suara serak dengan logat sunda yang kental terdengar di belakangku dan Kyoko.
“Eh Kang Arry” Arry/ndif mendatangi kami berdua.

“Ah… Hai… Kyoko” Kyoko lalu bangkit dan menyodorkan tangannya ke Arry /ndif. Dia lalu menyambut tangan Kyoko.
“Pacar kamu ieu nya, ceuk barudak ti Jepang?” tanya Arry.
“Iya Kang” senyumku.
“Udah lama ga ngobrol sama kamu, sekarang datang ke Bandung lagi bawa pacar, kapan dikawin?” candanya.
“Semua orang aja nanyain kawin, hahahahah” tawaku.
“Yah, wajar atuh, masa nanyain kapan mati” seringainya khas.

“Hahahaha bakal kualat kayanya kalo nanyanya begitu”
“Makanya, nanyanya yang berkah atuh, kayak kapan kawin….” Balasnya lagi.
“Sekarang mah mikirin manggung tar malem aja, ya gak Kang” ujarku dengan senyum yang dikulum.
“Ahahaha… yaudah, gabung atuh, jangan berdua mulu, kayak dunia teh punya berdua aja yang lain ngontrak”
“Iya hahahaha”

-------------------------------------------

15195810.jpg

Suasana malam itu sudah sangat ramai. Musik rock khas tahun 70an bergema di panggung. Para pengunjung sudah panas, dengan keramaian mereka yang menunggu pergantian tahun. Aku dan anak-anak Hantaman ada di backstage, bersama dengan Kyoko juga. Sena sudah di depan mixer, menanti giliran Hantaman naik ke panggung untuk memecahkan malam ini, sebelum Franks Chamber dan /ndif makin menghentak, merobek keramaian malam ini sebelum dunia ini berganti kalender.

“Nervous?” tanya Kyoko.
“Not really” jawabku dengan senyum. Gitarku sudah di panggung, aku melemaskan jari-jariku memandang teman-temanku satu persatu. Anin sedang merokok sambil senyum senyum sendiri, melihat ke arah handphonenya, sepertinya dia sedang memperhatikan instagram Zee atau entah apalah. Setahuku dia selalu tahu pergerakan Zee, mengintip lewat instagram, terutama fitur storiesnya yang serupa dengan snapchat. Stefan sedang berusaha bicara dengan salah seorang pegawai Maja House yang bertindak sebagai Liaison Officer kami, yang mendampingi kami. Ya, tentu saja berjenis kelamin perempuan. Sudah kuduga dia akan membawa perempuan itu lagi ke kamarnya nanti. Mudah ditebak.

Bagas?

Si pengantin baru itu sedang diam, duduk di kursi seakan-akan sedang meditasi dengan tatapan mata kosong menyelidik seisi ruangan backstage. Gila, kalau aku jadi dia, sehari setelah menikah aku pasti sudah terbang entah kemana dengan istriku, bisa ke Bali, Lombok, Singapura, maupun… Jepang, Mitaka misalnya. Untuk apa? Jelas-jelas untuk honeymoon. Kapan lagi? Bagas sepertinya idak butuh honeymoon, orang seperti itu. Tapi masa istrinya tidak butuh honeymoon?

Istri ya? Hmm… aku melirik ke Kyoko yang sibuk mengambil foto dengan handphonenya, mengabadikan tampang anak-anak hantaman dan suasana di backstage.

--

Mendadak ingatanku kembali lagi ke tadi subuh, saat berpamitan untuk berangkat ke ibuku. “Mama selalu tahu, kalau semua yang kamu lakukan itu gak pernah egois, dan kamu selalu bisa untuk bikin semuanya jadi baik, ambil contoh keluarga kita, kamu bisa bangkitin lagi keluarga ini sepeninggal papa” tentunya aku tersenyum dengan kecut tadi pagi, karena aku tidak ingin mengingat Ariadi Gunawan lagi, pria yang menjadikan namanya sebagai nama belakangku dan Ai.

Tapi obrolan tadi pagi terus teringat.

--

“Guys, katanya bentar lagi band yang sekarang mau beres…. Siap-siap” teriak Stefan, meneruskan ucapan sang LO kepadanya. Anin lalu menutup layar handphonenya, dan dia kemudian bangkit.
“Yuk” senyumnya, dengan melirik ke arah Bagas yang masih tanpa ekspresi. Selamanya tanpa ekspresi.

“Hup” aku bangkit dan menepuk kepala Kyoko yang duduk di sebelahku.
“Ganbatte” sahut Kyoko sambil tersenyum gemas.
“Yuk, kita bakar Bandung!” teriak Stefan memberi kami semangat.

------------------------------------------

“Malem!” teriak Stefan mengalahkan keriuhan malam itu di Maja House.
“MALEM!!!” teriak para penonon yang sudah berbasuh peluh dan belum tampak capek itu. Jam 9 malam, kami punya waktu sejam untuk merubah tempat yang sudah panas ini menjadi lebih panas lagi. Kyoko tampak di samping belakang panggung, dengan sekaleng bir dingin di tangannya, melihat diriku dari kejauhan dengan matanya yang berbinar. Aku tersenyum ke arahnya dan bersiap menggetarkan senar-senar di tanganku.

“BANDUNG!!! Udah siap tambah tua?” teriak Stefan lagi.
“SIAP!”
“Bagus, elu aja pada tambah tua, gue sih gak pengen” ledek Stefan, yang disambut dengan tertawaan penonton.

“Dying apa kabar dying!!” salah seorang penonton berteriak ke arah Stefan, iseng bertanya soal DIMH.
“Udah mati!!! Kemaren gue solatin!!!” teriak Stefan. Penonton kembali tertawa.

“Udah jangan banyak omong!!!” Mendadak suara drum berdentum dengan kencang, membawa suasana makin panas, Dan suara drum itu kemudian kusambut dengan gitarku, sementara Anin mulai menjaga ketukan, memandu kami agar tetap aman dalam keliaran yang ditimbulkan di panggung. Beberapa orang mulai kembali bergerak, membentuk lingkarang kecil dan saling berdesakan. Penonton yang di pinggir dan dekat bar ampak mulai menikmati irama kotor dalam nada minor yang merusak gendang telinga mereka.

Riff-riff yang menghentak kuberikan, kupersembahkan kepada lautan kecil manusia yang memilih menunggu pergantian tahun baru di sebuah tempat yang hits di Bandung Utara, dengan kulit sebuah restoran yang bergaya kontemporer, namun dengan raungan musik keras di clubnya. Tak salah mereka mengundang kami. Kami bisa membuat malam ini lebih panas dan lebih liar lagi.

Stefan sudah dengan tidak sabarnya berteriak, meracau dan mencoba membuat para pendengarnya memahami kata-katanya, dengan suaranya yang merdu namun merusak, indah namun menghancurkan. Pria berusia 30 yang sepertinya sebentar lagi bertambah umur ini tidak kuasa untuk menumpahkan amarahnya di panggung, melepaskan lirik-lirik frontal berisi kritik dan hinaan, hinaan kepada siapa saja yang ingin dia hina. Baik kepada kehidupan yang selama ini meliputinya, maupun kepada isu-isu yang selalu jadi masalah dunia.

Lautan kecil itu menghimpun tenaga, mentransfernya dengan kekuatan yang perlahan-lahan membuat kami semakin bersemangat untuk menyakiti mereka.

Aku sejenak melirik ke arah Kyoko, dia tampak menikmatinya. Aku tahu ini bukan jenis musik favoritnya. Tapi siapa yang bisa menolak energi kemarahan yang kami hadirkan di panggung? Terutama Kyoko sudah pernah mendengarkan musik kami dipaparkan ke hadapannya dengan intens, saat kami manggung di Jepang sana, yang berakhir dengan kekacauan. Kekacauan karena dia mabuk, salah satunya. Untung malam ini dia sudah berjanji kepadaku bahwa dia tidak akan menyentuh selain bir.

-------------------------------------------

“Gimana?” sahut Stefan ke arah mikrofon dengan nafas yang tersenggal-senggal. Celana jeans berwarna gelap yang sudah robek di lututnya itu menutup bagian bawah tubuhnya. Sedangkan bagian atasnya sudah tanpa pakaian, sudah penuh oleh keringat yang membuat tatonya terlihat mengkilap. Bagas terlihat kalem di balik drumset, dengan tatapan dinginnya yang khas. Anin? Kepala licinnya sudah mengkilap seperti bola bowling. Sementara T-Shirt hitam polosku sudah basah oleh keringat. Bisa kurasakan tetesannya mengalir di leherku, memberikan sensasi geli ringan yang tidak mengganggu.

Pertanyaan Stefan tidak memberi jawaban yang pasti, karena balasan dari penonton yang riuh tidak membuat yang mereka sampaikan terdengar dengan baik, karena pasti jawaban mereka berbeda beda.

“Apaan?” teriak Stefan lagi di mikrofonnya.
“Lanjut!” teriak salah satu orang dari crowd.

“Apaan?”
“Lanjut!!!”
“Kanjut?”

Dan penonton pun tertawa. Inilah Stefan, tidak takut dan tidak pernah ragu untuk berkata-kata kotor di panggung, untung dia sudah bisa menjaganya kalau dia manggung di pentas seni anak SMA, karena kami dulu pernah ditegur dengan keras oleh pihak sekolah karena ulah Stefan. Tapi itu bertahun tahun yang lalu, disaat kami semua belum dewasa, diasaat kami semua masih muda, masih belum jelas arah jalan kami.

Untungnya jalan hidupku sekarang sudah jelas, dia ada disana, di pinggir belakang panggung, sesosok perempuan yang berasal dari negara yang nun jauh disana, terpisah oleh lautan dengan Indonesia. Yang sekarang ada disini karena dia memang juga telah memilihku untuk jadi masa depannya. Dia tersenyum dari jauh kearahku, membuat suasana riuh dan aba-aba Stefan tidak terdengar di telingaku. Semuanya berhenti. Bayangan-bayangan lain soal segala sirkus dengan Zee, Kanaya dan Karina menghilang.

Bahkan tanganku bergerak sendiri.

Not demi not selanjutnya semua terpapar secara otomatis, karena kepalaku memang tidak di panggung. Kapalaku ada bersama Kyoko yang sedang menontonku. Cuma dia yang bisa membuatku merasa tenang seperti ini. Mungkin aku memang sering khawatir oleh tingkahnya yang selalu banyak berkorba, tapi bukanlah itu yang diharapkan oleh setiap orang yang jath cinta? Harapan untuk bisa berkorban demi kebahagiaan orang lain dan dirinya sendiri. Semuanya putih, terang, dan cahaya temaran, keramaian, teriakan, dan dentuman musik keras menghilang dari bayanganku. Sekarang Cuma ada seorang perempuan Jepang yang manis, yang begitu apa-adanya, yang selalu berusaha untuk mendengarku dan membuatku tersenyum. Yang selalu bisa membuat diriku selalu bersemangat lagi walaupun banyak hal yang tampaknya menjadi penghalang untuk kami.

Dan lagu berikutnya pun secara otomatis bermain di tanganku. Bermain not demi not, dengan Stefan sebagai pemimpin, Anin dan Bagas yang menjaga agar semuanya tetap di koridor. Sedangkan aku meraung, meraung secara otomatis untuk memberikan hantaman yang telak bagi semua yang mendengar kami. Kini rasanya lengkap. Lengkap karena kebahagiaanku tampaknya semua ada di tangan. Semua sudah ada dalam genggamanku.

--

Aku teringat akan perkataan ibuku tadi pagi. “Kalau begitu, kamu akan jadi lengkap”

--

Ya, lengkap.

------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------

maja-h10.jpg


“HAPPY NEW YEAR!!!” teriak Arry /ndif di atas panggung, disambut oleh keriaan yang ada di dalam area panggung dan floor. Aku menggandeng dan mencium rambut Kyoko dengan lembut.

“Seramat tahun baru Aya” bisik Kyoko ke telingaku.
“Akemashite omedetou” bisikku balik.

Kyoko tersenyum dengans angat lebar. Ya, ini perayaan tahun baru pertama Kyoko denganku. Tahun lalu dia merayakannya di Jepang dan aku di Indonesia. Aku melirik ke seisi ruangan. DJ sudah mengambil alih acara. Musik keras sudah selesai. Bagas sudah hilang. Anin, Sena, awak-awak Frank’s Chamber, dan /ndif terlihat bahagia dengan minuman mereka masing-masing. Stefan tidak terlihat, mungkin dia sudah berhasil menggaet perempuan lain lagi ke kamarnya.

“Come Kyoko, lihat keluar” aku menggandeng dan menarik Kyoko dengan lembut ke arah balkon restoran lagi. Kami memperhatikan suasana langit kota Bandung, dengan kembang api yang bersahut-sahuan di kejauhan. Aku kembali menyentuh saku celana jeansku, dan memperhatikan t-shirtku yang tadi basah, kini sudah kering kembali. Suasana di balkon restoran kontras dengan suasana di dalam, di luar sini lebih tenang, lebih syahdu, cocok untuk berdua saja dengan Kyoko.

“Aya, mite! Kirei dayo…” dia menunjuk ke rangkaian kembang api yang terlihat indah di ujung sana. Aku hanya mengangguk, dan berdiri di sebelahnya, sambil tetap menggandeng tanganya.

Ngomong-ngomong, bicara soal lengkap. Mungkin ini yang dirasakan setiap pasangan, tentunya yang saling mengisi seperti aku dan Kyoko. Perasaan lengkap. Baru kali ini mungkin aku bisa merasa lengkap. Dengan Kyoko. Dengan orang yang bahkan beberapa tahun lalu tak bisa kubayangkan akan bertemu. Orang yang tadinya benar-benar asing, bertemu dengan banyak faktor kebetulan dan keberuntungan, kini bisa bersama, kami telah bisa menaklukan satu tahun long distance relationship, itu juga prestasi.

Dan kini, aku sudah sampai di titik ini dengannya. Di titik dimana kami berdua sudah tidak bisa lagi hidup apabila tak bersama. Dia telah dengan susah payah berkorban ingin datang kesini, dan aku juga, sudah sejauh ini beusaha mempertahankan keteguhan hatiku dengan terus-terusan memilih Kyoko. Dan tampaknya kini aku sudah tidak akan memilih lagi.

“Kyoko”
“Hai?”

Aku tersenyum kepadanya. Ingatanku kembali lagi ke kejadian tadi subuh, saat aku sedang berpamitan dan bicara dengan ibuku, berdua.

--

“Mama sangat mengerti dan sangat senang mendengarnya” senyum ibuku.
“Makasih ma…” balasku dengan perasaan berbunga-bunga.
“Dan mama mau cerita” lanjutnya sambil berjalan ke arah lemari pakaian. “Dulu, ada masanya bapak kamu itu gak seperti yang kamu kenal”
“Ma… please jangan bawa-bawa papa…”

“Dengerin dulu” senyumnya dengan penuh perasaan keibuan. “Dulu memang ada masanya dimana dia benar-benar jadi seorang yang sangat sempurna, dan mama selalu tunggu dia untuk bisa kembali lagi ke titik itu, walaupun gagal, tapi hari dimana dia kembali selalu mama tunggu” ibuku menarik nafas dalam sambil membuka pintu lemari pakaian.

“Sayangnya penantian mama gak kesampean, dan sekarang giliran kamu…” ibuku menyerahkannya kepadaku. “Dulu, ada zamannya seorang Ariadi Gunawan itu tidak sekacau yang kalian kenal. Jauh dari kata kacau bahkan. Dan mama sudah lupa kapan dia berubah jadi seperti orang yang kalian kenal”

Aku menggenggamnya, terasa sekali teksturnya di dalam genggaman tanganku. “Ma, makasih…”
“Dan sekarang, mungkin sosok bapak kamu yang hilang itu kembali ke diri kamu buat Kyoko” ibuku meneruskan perkataannya. “Bahagiain dia, sebagaimana kamu sudah bikin mama dan Ai bahagia. Jaga dia baik-baik, seperti kamu ngejaga keluarga ini….”

Ibuku lantas memeluk kepalaku, dan membelai rambutku. “Sekarang kamu sudah lengkap.”
“Aku janji, gak akan pernah ngecewain kalian, dan juga aku gak akan pernah ngecewain Kyoko” balasku. “Aku akan nebus kesalahan papa, dan aku juga bakal lanjutin apa yang aku lakuin selama ini ke kalian, ke Kyoko”

Aku tersenyum. Dan ibuku tersenyum juga. Dan pagi itu ikut tersenyum Tak kusangka setelah jauh-jauh melintasi berbagai macam jarak dengan Kyoko, Bandung menjadi puncaknya.

--

“Kyoko”
“Hai”

“Terimakasih udah dateng kesini, aku sayang kamu” bisikku.

“Kyoko juga… terimakasi Aya sudah ada di dunia” balasnya sambil memperlihatkan senyumnya yang manis dan deretan giginya yang rapih. Wajahnya berseri-seri, terlihat bahagia oleh semua rangkaian perjalanan ia di Indonesia. Dan akan kujadikan perjalanan pertamanya di Indonesia ini sebagai perjalanan yang tidak akan mungkin ia lupakan. Tidak. Tidak akan mungkin dia lupa. Dia akan selalu ingat akan perjalanannya kali ini. Dia akan mengingatnya seumur hidupnya. Dia akan terus mengingatnya bersamaku.

“Kamu tau, aku udah nunggu hari ini dari kemaren-kemaren” lanjutku.
“Kyoko juga seralu tunggu saat bertemu Aya”
“Bukan soal itu”
“Ee?”

“Bukan soal kapan kita ketemu” senyumku.

“Anooo… Nandesuka?” Kyoko tampak bingung.
“Tapi soal kita, soal kita bareng terus…”
“Eee? Isshoni?”
“Hai, Isshoni, dokomademo……” Bersama, selamanya.

Aku pun merogoh benda yang tadi pagi ibuku berikan kepadaku. Sebuah logam. Benda logam. Benda logam yang pernah diberikan oleh Ariadi Gunawan yang waktu itu belum menjadi orang yang kukenal, kepada ibuku. Benda logam yang melingkar. Benda logam yang bercahaya kapanpun ia dilihat.

“Eee??”

Aku menunjukkan benda itu di hadapan Kyoko. Aku lantas mengatakannya kepadanya.

“Kekkon shite kudasai” Please marry me. Menikahlah denganku.

Kyoko terbelalak. Matanya terbuka begitu lebar, seakan tidak percaya akan kejadian malam ini. Aku, berdiri di sampingnya, menyodorkan sebuah cincin, cincin yang dipakai oleh ayahku melamar ibuku. Aku berdiri disampingnya, lantas mengatakan, kalau aku ingin menikahinya. Kyoko terpaku.

“Usoo…” bohong, katanya. Ia tampak tidak percaya.
“Hontou….” Iya, benar, aku ingin menikahinya.
“Demo…. Ano…. Usoo….” Dia masih kaget dan bingung. Mukanya tampak memerah. Merah padam. Pupil matanya membesar dan dia tidak bisa mengontrol ekspresinya lagi. Aku tetap tersenyum. Detak jantungku terasa begitu kencang di dadaku. Badanku terasa kaku, walaupun perasaan yang penuh meliputi hati ini.

“Usoo….” Katanya, menahan ekspresi bahagia.
“Kyoko…” bisikku, sambil menggenggam tangannya. Aku tetap memperlihatkan cincin itu di depan mukanya.
“Ano…. “

Mendadak ekspresi mukanya yang begitu kaget berubah menjadi ekspresi senyum yang luar biasa lebar.

“Hai… Totemo Hoshii desu!” jawabnya.

Yes, I want to.

------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
MDT SEASON 1 - PART 60

--------------------------------------------

maja-h10.jpg

Yes, I want to. Yes, I want to. Yes, I want to.

Jawaban Kyoko terus bergema di telingaku dan menyebabkan senyumku terbit dengan cerahnya. Aku tidak bisa mendeskripsikan seberapa bahagianya Kyoko melihatku. Dia kini akan menjadi Mrs. Achmad Ariadi Gunawan. Pasti ini salah satu hal yang sangat ia inginkan. Satu hal yang ia tunggu-tunggu, yaitu saat aku melamarnya. Saat aku mengajaknya untuk menghabiskan waktu bersama sampai tua nanti. Sampai menghilang dari dunia nanti. Selamanya.

Senyumnya terus terkembang saat aku memakaikan cincin itu di jari manisnya. Secara ajaib cincin itu cocok di tangannya. Cincin yang sederhana, berwarna perak, dengan indahnya kini terpasang di tangannya. Dan detik ini terasa sangat ajaib. Waktu seakan-akan berhanti di pergantian tahun ini. Suara riuh rendah dari dalam mendadak berhenti dan sekeliling kami mendadak sepi. Hanya ada kami berdua disini. Hanya ada Arya dan Kyoko. Arya dan Kyoko yang sudah memutuskan untuk hidup bersama, tua dan tumbuh bersama.

“Arigatou… hontou ni…. Terimakasi karena ini semua, Aya” bisik Kyoko.
“Aku yang harusnya bilang terimakasih, dan sekarang aku mesti bilang itu. Makasih karena mau bareng sama aku, makasih karena mau bertahan di hubungan LDR yang susah… “
“Serama ada Aya, semua baik untuk Kyoko”

Aku mencium keningnya dan langsung mencium bibirnya dengan lembut. Dia menariknya perlahan dan tersenyum kepadaku. Kedua tangannya memegang pipiku, seakan tak percaya, kekasihnya yang selama ini lebih banyak bersama dengannya di dunia maya, kini sudah menjadi calon suaminya. Dan untuk saat ini tidak ada apa-apa lagi di kepalaku selain Kyoko. Cuma dia yang ada di pikiranku. Cuma dia yang sekarang memenuhi hatiku. Yang lain slahkan menyinkir dulu, karena tidak akan mungkin lagi siapapun akan lewat dan mengganggu momen ini.

Aku lantas memeluk bahunya, dan membiarkan tubhnya bersandar kepadaku, menikmati dinginnya Bandung Utara. Menikmati kebersamaan kami berdua, yang sekarang sudah berjanji, dengan sadar dan bertanggung jawab, untuk menjadi man and wife. Dan akan kutebus kesalahan ayahku di masa lalu. Aku akan menjadi suami yang baik, akan menjadi ayah yang baik, dan aku berharap bisa memimpin keluargaku nantinya untuk kebahagiaan mereka.

“Kita masuk ke daram?” tanya Kyoko.
“Gak usah, masih pengen disini sama kamu” jawabku.
“Nanti, teman Aya cari kita”
“Gak peduli” bisikku dengan penuh rasa bahagia di dalam hatiku.

Soal masalah tanggal, dengan cara apa, dan dengan bagaimana kami menikah, itu bukan masalah. Selama kami berdua punya komitmen untuk selalu bersama dan ingin menghabiskan sisa waktu berdua, semua hal yang menyulitkan bisa diatasi. Apapun itu, selama masih ada dalam kuasa kami. Sebenarnya pikiran lain benar-benar sedang tidak dapat kuproses di otakku sekarang. Cuma ada Kyoko dan Kyoko yang memenuhinya. Ya, perempuan yang baru saja setuju untuk menjadi istriku, dan sekarang dia sedang bersandar di tubuhku, memperhatikan suasana langit malam di pergantian tahun ini.

“Woi!” mendadak suara Stefan ada di belakang kami. “Dicariin, kirain ada di kamar indehoy, taunya malah pacaran berdua disini” tawanya. Dia mengenggam segelas besar bir.

“Kirain juga lo udah cabut ama cewek” senyumku. Tentunya Stefan bisa melihat bahwa mukaku dan Kyoko tampak sumringah.

“Gak ah” jawabnya pelan sambil meminum bir yang ada di tangannya.
“Oooh… Yaudah, sana gih, balik ke dalem, jangan ganggu gue ama pacar gue” aku pura-pura galak, tentunya dengan diiringi tawa kecil Kyoko.
“Dih, biasa aja kali, kunyuk” sahut Stefan, yang juga pura-pura kesal.

“So, Stefan, seramat tahun baru ya” sahut Kyoko ke Stefan dengan cerianya.
“Selamat tahun baru juga” Stefan menunduk, seperti memberi hormat pada Kyoko. Dan mendadak matanya tertambat ke sesuatu di jari manis Kyoko.

“Whaa………. Bangsat lu, lo ngelamar doi???” tunjuknya ke Kyoko.
“Hehe” tawa Kyoko pelan.
“Menurut elo?” aku sok pura-pura tidak mengerti kata katanya.
“Ah si anjing!!! Itu mendadak ada cincin di tangan, pasti abis ngajak kawin kan si monyet ini, kontol!” umpat Stefan sambil tertawa-tawa.

“Hai…. Aya proposed” jawab Kyoko sambil dengan bangga menunjukkan jari manisnya yang berselimutkan cincin milik ibuku itu.
“Wooo… mantap!!!! Akhirnya anak ini bisa jadi suami juga” tawa Stefan ke arahku.
“Tenkyu men…” balasku.

“Eh gue belom bilang selamat loh” mendadak Stefan mengangkat gelas birnya dan menyiramkannya ke kepalaku. Bir dingin yang berbusa itu membasahi seluruh badanku.
“KONTOL!!” teriakku refleks.

--------------------------------------------

y9054310.jpg

“Hehehe” tawa Kyoko yang duduk di tepi kasur, saat melihatku yang baru saja beres mandi, membersihkan sisa siraman bir di badanku. Aku sendiri masih membayangkan hebohnya anak-anak ketika mereka mengetahui bahwa aku sudah melamar Kyoko dan jawabannya ya. Soal ini, tentu saja Ai dan ibuku tahu persis apa yang akan aku lakukan pada Kyoko di malam pergantian tahun baru ini. Mereka sudah tahu bahwa sebelum Kyoko datang ke Indonesia, bahwa aku mempunyai niat untuk menjadikannya istriku. Ini hanya tinggal menunggu waktu dan momen yang tepat untuk membuat semuanya terasa spesial.

Banyak ucapan selamat yang kuterima tadi. Tentunya mereka semua kaget, karena mereka tidak mengantisipasi kemungkinan akan ada teman mereka yang melamar pacarnya di malam tahun baru. Berkali-kali toast, berkali-kali ucapan selamat dan salaman yang antusias dari mereka semua dari tadi bertubi-tubi kuterima.

Setelah memakai pakaian lagi, aku memeriksa akun instagramku. Ada sebuah foto yang di tag oleh akun instagram resmi Hantaman. Foto aku yang basah oleh bir, dipeluk dari samping oleh Kyoko. Dengan caption “Our dear guitaris @aryaAAG has proposed to his girlfriend and she said yes!!”. Kulihat sudah beberapa ratus like, dan beberapa puluh komentar yang menghiasi foto itu. Kebanyakan dari orang-orang yang kukenal, dan foto itu sudah di repost oleh Dian, Anggia, Rendy, dan aku tertawa senang dalam hati karenanya. Untuk sesaat, sekarang, aku belum ingin memikirkan tentang bicara dengan Kanaya. Aku ingin menikmati saat-saat ini berdua dengan Kyoko terlebih dahulu.

Aku duduk di kasur dan melihat ke arah jam di handphoneku. Jam 2 malam. Saatnya untuk istirahat. Mendadak Kyoko memelukku dari belakang.
“Daisuki” bisiknya.
“Watashi mo” balasku.

Cincin itu melingkar di jari manisnya. Melingkar dengan sempurnanya. Melingkar dengan manisnya. Sungguh lega rasanya. Aku teringat akan perkataan Ai ketika dia mengetahui rencanaku melamar Kyoko.

--

“Akhirnya mimpiku kesampean” ujarnya waktu itu.
“Mimpiku juga ini sih dek hahaha” tawaku.
“Mimpi yang bagus itu kalau mimpi yang diidamkan bersama” lanjutnya.
“Dan aku jadi gak sabar pengen cepet-cepet dia ada di Indonesia”
“BTW, deg-degan gak mikir mau ngelamar?” tanyanya.
“Iya dong”
“Aneh, padahal udah pasti jawabannya iya” tawa Ai.
“Emang ga boleh gitu kalo excited?”

--

Yep. Walaupun 99,99% jawabannya sudah pasti iya, tapi tetap saja excited. Bahkan saat sekarangpun, saat Kyoko memelukku dari belakang. Rasanya ingin cepat-cepat saja menikah dengannya. Rasanya ingin cepat-cepat saja menjadikannya Mrs. Achmad Ariadi Gunawan. Rasanya ingin segera membangun keluarga dengannya, membesarkan anak, menjadikannya ibu dan menjadikanku ayah.

Aku menatap ke wajahnya yang muncul dari belakang bahuku. Dia tersenyum dengan bahagianya. Aya-nya bakal jadi suaminya. Dan Kyoko-ku juga akan jadi istriku.

“Nii-san tadi birang, omedeto buat Aya dan Kyoko” bisiknya. Nice. Sudah pasti Kyou-Kun akan senang dengan berita ini. Pasti dia akan mati-matian memelukku dan bahagia karena aku akan menjadi adik iparnya.
“Seneng dengernya” bisikku langsung ke telina Kyoko.

Aku berbalik mendadak, dengan gerakan yang lembut, untuk meraih bibir calon istriku. Aku menimpa badannya dan lantas dengan penuh perasaan melumat bibirnya. Kami saling berciuman dan berpelukan di atas kasur. Mungkin, dari setahun ini, saat ini, momen inilah yang menjadi momen yang paling indah buat kami berdua. Momen dimana kami berjanji akan bersatu selamanya, menyatukan diri kami dalam ikatan pernikahan.

Sementara itu, tubuhku semakin dirasuki oleh hawa panas yang selama ini tertunda. Aku makin bernafsu menciumi bibirnya dan tampaknya Kyoko pun tidak menghindar. Ciuman kami semakin erat, semakin lekat, seakan-akan bibir kami berdua bersatu, saling membalas dan saling mencintai. Tanpa sadar tanganku meremas pantatnya, seperti berusaha untuk meraba seluruh anggota badannya. Nafas kami berdua semakin memburu dan saling terdengar berat.

“Kyoko” bisikku. “Sayang kamu lagi gak bisa?”
“Gak bisa?” tanyanya balik.
“Iya”
“Ano.. Owarimashita” bisiknya balik.
“Hah?”
“Hai, Ima owarimashitane….”

Haha. Aku tersenyum lebar, tidak bisa menyembunyikan kemesumanku dan Kyoko pun tersenyum malu karenanya. Owarimashita, sudah selesai. Akhirnya.

“So…. Malam ini bisa?”
Kyoko hanya mengangguk. Tak butuh waktu lama buatku, untuk lantas mulai melucuti pakaiannya. Mulai dari celananya, kulepas dengan agak buru-buru, lalu bajunya, semua pakaian luarnya mendadak terlucuti. Kyoko pun membantuku melepaskan bajuku, dan tak lupa di sela-sela sesi saling membugili itu, aku mencoba meredupkan lampu kamar, agar suasana yang cocok untuk kami memadu kasih tercapai.

Kyoko berbaring telentang, dengan tubuhnya yang indah masih tertutupi pakaian dalam berwarna gelap. Dia menutupi perutnya dengan tangannya, dan kakinya saling bertumpuk, seperti meminta diriku untuk membongkar pertahanannya yang tidak rapat itu. Aku tersenyum kepadanya di tengah keremangan kamar, sambil menurunkan penutup badan terakhirku, yaitu celana dalamku. Aku berdiri di tengah kamar, tanpa busana, menatap calon istriku yang hanya berbalut pakaian dalam, yang sedang berbaring di atas kasur dengan segala kecantikannya.

Struktur mukanya yang tegas dan dagunya yang lancip, rambut pendeknya yang terlihat bercahaya, serta lekuk tubuhnya yang begitu menantang, mengundangku untuk segera menggaulinya. Aku lantas berbalik, menuju ke tasku. Aku mengambil pelindung, yang memang sudah dipersiapkan sebelumnya. Untuk jaga-jaga, dan aku tidak berharap akan memakainya malam ini karena aku masih menyangka ia masih dalam fase menstruasi.

Aku lantas merobek plastik untuk segera memakai kondom tersebut. Tapi Kyoko lantas bangkit dan duduk di kasur. Dia tersenyum kepadaku dan menahan tanganku. Ia melirik ke arah penisku yang sudah tegang, lalu menatapku lagi. Jangan langsung pake kondom, let me work it. Sepertinya itu yang ingin dia katakan kepadaku. Dan benar. Dia menarik badanku perlahan, lalu membuka mulutnya untuk menyambut penisku yang berdiri tegak.

“Ahh…. Kyoko… “ bisikku sambil membelai rambutnya, saat ia sudah mengulum penisku. Dia menggerakkan lehernya dengan pelan, perlahan, seperti lapar akan diriku. Aku merasakan bahwa ia dengan penuh passion melahap penisku, dan dia selalu seperti itu. Sepertinya benda ini adalah favoritnya. Dia begitu suka untuk mengulumnya, menjilatinya dan menjadikannya pusat perhatian dirinya. Kyoko mengeluarkan penisku dari mulutnya, lantas mengocoknya pelan dengan tangannya, sambil menjilati kepalanya sambil menatapku manja. Aku hanya bisa menelan ludah melihat adegan ini. Aku hanya bisa diam, berdiri lemah tanpa suara, hanya terdengar nafasku yang berat.

“Mnnn…” desah Kyoko saat penisku masuk lagi ke dalam mulutnya, dan dengan gerakan yang lembut, ia mengocok penisku di dalam mulutnya. Lidahnya terasa menjelajah setiap permukaan penisku dengan penuh perhatian. Rasanya ngilu. Ngilu in a good way. Dan aku sudah tidak sabar untuk bersatu dengan dirinya. Dasar lelaki. Lelaki yang isi kepalanya Cuma berpikir soal senggama. Dasar banyak maunya. Saat pacarmu sedang telaten memberikan salah satu oral seks terbaik di dunia pada dirimu, kau malah membayangkan ada di dalam rahimnya, merasakan kehangatan tubuhnya. Aku hanya menahan tawa, menyadari bahwa pikiranku secara seksual ke Kyoko menguasaiku.

“Aya suka?” tanyanya mendadak, sambil mengocok penisku pelan pelan, dan senyumnya mendadak terlihat sangat nakal, dengan penis masih berdiri tegak di atas mukanya. Aku hanya bisa mengangguk dengan lemah, berharap bisa cepat-cepat merasakan kenikmatan badannya.

Kyoko lantas mengambil kondom dari tanganku, melepaskan bungkusnya, dan dengan telaten memakaikannya ke penisku. Aku terdiam, memperhatikan gerakannya dan membayangkan 1001 cara untuk menggauli Kyoko. Aku sudha tidak sabar untuk melepas pakaian dalamnya, tak sabar ingin meremas dadanya, tak sabar untuk meremas pantatnya, menciuminya, menjelajahi area kewanitaannya, dan membuatnya merasakan kenikmatan yang tubuhku berikan.

Setelah kondom itu terpakai, Kyoko lantas naik ke atas kasur dan memunggungiku. Dia duduk bersimpuh, seperti menantangku untuk melucuti pakaiannya.

Dan kuterima tantangan itu. Kuterima dengan menerkamnya. Kupeluk dirinya dari belakang dan kuciumi bahunya, langsung dengan penuh nafsu. Aku meraba perutnya yang rata, merasakan hangat tubuhnya yang sudah lama kurindukan. Kyoko meremas rambutku dengan tangannya, dan bisa kulirik ia menggigit bibirnya sendiri, menikmati ciumanku di bahunya, yang merayap ke lehernya. Tanganku semakin nakal, ia naik ke atas, meremas buah dadanya dengan perlahan, walaupun nafsuku sudah memuncak, tapi aku berusaha untuk play it slow. Pelan, Ya, pelan.

Jangan terburu-buru. Kyoko akan jadi milikmu selamanya.

Tanganku sudah berhenti meremasnya, tapi malah berpindah kebelakang, berusaha untuk membebaskan buah dadanya dari bra yang menekan. Dengan agak susah payah, akhirnya aku dapat melepaskan pengait bra nya, untuk kemudian melihat sepasang buah dada yang indah, menyembul di badannya, yang dengan luar biasanya terlihat sangat cocok. Langsing, dengan kulit putih bercahaya, kecantikannya yang meneduhkan, dengan organ seks sekunder yang menonjol, yang benar-benar membuatku terpana. Aku kembali meremas buah dadanya sambil menciumi lehernya. Menciumi dirinya. Aku ingin menjelajahi seluruh badannya. Aku ingin segera bersatu dengannya, dan aku mendorong tubuhnya.

Kudorong tubuhnya agar tidur telentang, dan tanpa ampun lagi, aku menarik celana dalamnya turun, dan segera membuangnya ke sudut entah kamar hotel itu. Tanpa banyak bicara lagi aku langsung melumat buat dadanya, melumatnya dengan penuh nafsu, menjelajahi setiap sel yang menutupi dirinya. Menjelajahi dirinya dengan seksama, dengan penuh pikiran kotor di kepalaku.

“Uhh…..” desah Kyoko keenakan saat aku menjilati putingnya yang menegang. Menegang oleh hormon yang pasti mengalir dengan deras di dalam tubuhnya. Desahannya terdengar pelan dan sangat menggoda, membuatku semakin bersemangat untuk meremas buah dadanya dengan penuh penghayatan, sembari lidah dan bibirku terus-terusan menjadikan dirinya objek untuk di jelajahi dan di stimulasi. Tanpa jeda aku merayap, lidahku merayap di seluruh permukaan buah dadanya.

Sambil menstimulasinya dengan gerakan lidahku, tanganku semakin nakal. Jari-jariku mulai dengan bandelnya menjelajahi dan meraih permukaan daerah kewanitaannya.

“Nnnggh…” kagetnya saat jariku berusaha membuat dirinya semakin bernafsu. Kyoko tampak tidak berdaya menerima stimulasi yang kuberikan. Permainan lidahku dan jariku, yang sedang berusaha membuatnya merasakan nikmat dunia, menjadikan dirinya objek nafsuku. Dan dia pasrah. Kyoko memang mau dijadikan objek seksual oleh calon suaminya. Dia selalu memasrahkan dirinya dan memberikan ruang bagiku untuk mencabulinya.

“Aya… ahh…” aku tak tahan lagi. Aku segera bangkit, tanpa menghentikan stimulasi jariku ke permukaan daerah kewanitaannya. Aku lantas meraih bibirnya, melumat bibirnya yang terbuka, menjadi jalur bagi suaranya untuk berpartisipasi dalam perlakuan kenikmatan yang kami lakukan ini. Bibir kami berdua bertemu. Atau lebih tepatnya, saling melumat dalam nafsu. Tidak benar-benar bertemu, karena yang kami lakukan adalah berusaha untuk melumat, memagut, dan mengeluarkan nafsu seksual kami dalam bentuk ciuman. Kyoko tampak sangat menginginkanku. Matanya memancarkan aura kewanitaan. Wanita yang sedang bernafsu tentunya. Sedang bernafsu dan sedang ingin agar lelakinya menjamahnya dan menidurinya malam itu.

“Aya…. Irete…” bisiknya saat aku melepaskan ciumanku, dan sudah merasakan kelembaban dan perasaan basah di jariku.
“Nani?” bisikku, menggodanya.
“Irete kudasai…” put it in.
“Nan no ireru?” masukin apa? godaku sambil malah memasukkan jariku dengan nakalnya ke dalam vaginanya.
“Nggg!” kagetnya saat jariku masuk ke dalam. Jariku mulai bergerak maju mundur, menstimulasinya.

“Aya… ahh… Irete kudasaiyo….. “ desahnya di telingaku. Meminta bagian tubuhku yang tertentu untuk menggaulinya. “Kore ga… Ahhh…” this one, bisiknya sambil meremas penisku dengan tangannya.
“Nan no ireru?” ulangku, menggodanya terus terusan.
“Aya…. Kore..” dia membelai penisku, tak tahan tampaknya dia. Permainan jari memang enak, tapi pasti tak seenak jika kedua kemaluan saling bertemu, saling melengkapi dan saling menjadi satu.

Aku menyerah, kulepas jariku dari dalam lubang vaginanya. Kutarik kakinya, lalu berusaha untuk membalikan badannya. Ia menurut. Posisinya sekarang sudah menungging, siap akan diriku.

“Ahh!” kaget Kyoko, saat penisku masuk dengan ganasnya ke dalam vaginanya. Aku membelai dan meremas pantatnya yang bulat. Aku mulai menggerakkan pantatku, maju mundur. Penisku mulai bergerak di dalam vaginanya yang hangat. “Mmmnn…” Kyoko menikmatinya. Aku menggaulinya dari belakang, aku membuatnya merasakan kenikmatan yang luar biasa. Dia menungging, bertumpu di semua tungkainya, sedangkan tanganku bertumpu pada pantatnya yang indah itu.

Aku terus menggerakkan penisku maju mundur di dalam tubuhnya. Kami berdua merasakan kenikmatan yang sama, merasakan tiap getaran dan gesekan yang terjadi. Kami berdua bersatu. Rasa hangat dan lembab dari vaginanya menjalar lewat penisku, membutakan penglihatanku, membisukan mulutku dan mematikan rasaku.di dalam pikiranku tidak ada apa-apa lagi kecuali gambaran akan tubuh Kyoko, akan setiap bentuk organ seksualnya. Tentunya rasa nikmat yang luar biasa juga terbayang. Terasa dan terbayang, kuran nikmat apa coba.

“Uh… Aya…” dia merintih keenakan dan bersuara. Bersuara yang menggairahkan setiap kali penisku bergerak masuk, memberinya kenikmatan.

Posisi itu menstimulasinya. Dinding vaginanya terasa menyempit, terasa makin nikmat. Buah dadanya bergoyang, menjadikan pemandangan yang luar biasa indah di mataku. Tentunya ekspresi kenikmatannya sangat indah dilihat. Mukanya yang cantik dan sedang keenakan itu tampak begitu luar biasa di mataku.

Aku lantas mencabut penisku dalam satu gerakan cepat. Kyoko kaget dan badannya bergetar. Aku lantas mendorongnya lembut, agar dia berbaring. Dia menghadap samping dan aku segera mengangkat salah satu kakinya, membuka jalan ke lubang vaginanya bagi diriku. Tanpa banyak membuang waktu aku segera memasukkan penisku ke dalam vaginanya. Kyoko merintih tertahan, suaranya tidak keluar saat aku kembali bersatu dengannya. Aku bergerak dengan cepat, bergerak dengan penuh nafsu dan tanpa Kyoko pun tampak menikmatinya. Kyoko tampak lemah, terkuasai oleh perbuatanku. Dia menatapku dengan tatapan pasrah, mengizinkanku untuk menjadikannya milikku selamanya.

“Uhhh…. Uhh…” desahnya seirama dengan gerakan penisku. Nafasnya kurasa makin berat. Bisa kurasakan tubuhnya menegang dan vaginanya terasa makin rapat. Secepat itukah ia terstimulasi? Selama ini butuh waktu yang sedikit lebih lama lagi untuk membantunya mencapai ke puncak kenikmatan. Apakah karena dia sedang merasa bahagia, dan juga menantikan hal ini begitu inginnya, jadi terasa lebih cepat? Ataukah aku yang terlena oleh semua ini?

“Aya… Aya…” tubuhnya menegang, mengeras dan berusaha untuk tidak menahan kenikmatan yang akan datang. Aku semakin semangat menggaulinya, mengetahui bahwa ia bisa orgasme lebih cepat, tentunya itu keuntungan buat kami berdua.

“Kyoko…” bisikku, berusaha untuk memanggil namanya.
“Ahhh… Ahh….”

“Unghhh..” Kyoko menegang, badannya menggelinjang, tanda bahwa dia merasakan kenikmatan. Tapi hanya sebentar kulihat ia bergetar. Mungkin tidak sehebat biasanya, namun tetap, bisa kulihat ada ekspresi kepuasan di matanya. Dia tersenyum tipis. Lalu badannya beringsut perlahan, memaksa penisku lepas. Dia lantas bangkit dan merayap ke arahku.

“Sekarang Aya mau apa?” bisikknya nakal.
Aku tak menjawab dan mencium bibirnya lembut. Kyoko tersenyum, tubuh telanjangnya terlihat indah di mataku. Aku lantas duduk di pinggir kasur, dan mencium pipinya, sambil menariknya untuk duduk di bawah. Aku masih ingin merasakan oral seks yang luar biasa itu. Oral seks yang memuaskanku ketika pertama kali dia menginap di rumahku.

Kyoko menuruti bahasa tubuhku dan dia terus bersimpuh di bawah, duduk dengan bertumpu ke lututnya. Dengan telaten ia membuka kondomku dari penisku. Dia lantas mencium kepalanya.

“Kawaii…” godanya. Tangannya menyentuh pangkalnya dan mengocoknya dengan lembut. Dia menjilat kepalanya pelan, sambil terus melihat ke arahku dengan penuh nafsu. Tak lama kemudian dia menjilati dan membasahi seluruh permukaan penisku. Tunggu, kenapa dia tidak mengulumnya atau berusaha untuk mengeluarkan spermaku di dalam mulutnya seperti kemarin?

Mendadak dia melakukan hal yang tak kusangka-sangka. Dia menjepit penisku di antara kedua buah dadanya. Damn. Dia memegang kedua gunung kembar itu, sambil menggesekkannya ke penisku. Mukanya terlihat sangat menggairahkan dan dia menatapku dengan ekspresi yang priceless. Ekspresi yang luar biasa, membuatku sangat bernafsu. “Mmm…” Kyoko tampak berusaha menggoda dengan gerakannya. Gila. Aku tak menyangka Kyoko akan melakukan ini. Aku lupa istilahnya. Titfuck? Boobjob? Whatever. Ini gila.

“Aya suka?” tanyanya dengan manja. Aku hanya bisa mengangguk seiring buah dadanya menjepit penisku, berusaha untuk membuatku orgasme. Aku masih tolol, masih tak menyangka bahwa dia akan menjadikan payudaranya untuk menstimulasiku. Gerakannya begitu sempurna, seperti tak terbayang olehku. Mukanya tersenyum bahagia, melihat ekspresiku yang tidak karuan, melihat aku begitu bernafsu oleh dirinya.

“Kyoko… ahh…” Aku tidak tahan lagi. Penisku seperti akan meledak oleh stimulasinya. Dia terus menggesekkan penisku diantara payudaranya. Bahkan ia terus meremas buah dadanya agar makin rapat menjepit penisku.

“Nggghh!!” seruku tertahan, saat spermaku dengan tidak sopannya keluar, membasahi tubuhnya. Dada Kyoko penuh oleh sperma. Mukanya terlihat makin bahagia, melihat aku telah terpuaskan.

Sperma membasahi dirinya, permukaan bagian atas payudaranya basah. Dia tersenyum, dan tubuhnya terlihat sangat indah dengan posisi seperti itu. Kyoko. Kekasihku, calon istriku, dia yang selalu berusaha memuaskanku. Selalu berusaha untuk membuatku merasa nyaman dengannya. “So?” tanyanya. Matanya terlihat sangat teduh. Aku menarik dagunya, dan mendekatkan kepalanya ke kepalaku.

“Aishiteru” bisikku.
“Onaji” balasnya.

Dan bibir kami berdua bertemu, menutup percintaan kami malam itu.

--------------------------------------------

Kami berbaring berdua, saling memeluk, sehabis bercengkrama dan berbicara soal impian-impian dan rencana pernikahan kami nantinya. Pembicaraan yang tentunya memenuhi kepalaku. Tidak sabar rasanya ingin segera mengutarakan semua rencana kami ini ke ibuku dan Ai, serta rapat keluarga yang akan terjadi dalam waktu dekat ini.

Kyoko, dengan baju tidurnya, meringkuk manis di sampingku, bersandar pada badanku, berusaha untuk tidur setelah melewati hal-hal yang melelahkan dan menyenangkan hari ini.

Dan ada satu hal yang sebenarnya agak mengganggu pikiranku. Sejak kapan Kyoko jadi begitu ahli? Begitu ahli dalam urusan ranjang? Selama di Jepang, baik saat ketika pertama bertemu maupun ketika Hantaman main disana, dia lebih submissive. Sementara sekarang, mulai dari ketika di rumahku, dia tampak lebih berani dan ada beberapa hal baru yang sebelumnya belum pernah aku rasakan sebelumnya dari dirinya.

Aku menghela nafas dan memberanikan diri bertanya.
“Ano… Kyoko?”
“Hai?” responnya manis, dalam kengantukannya.

“Sejak kapan?”
“Sejak apa Aya?”
“Ano… Fellatio? To…. “ aku memeragakan gerakan boobjob yang tadi ia lakukan dengan awkwardnya. Jujur,sejak kejadian Kanaya, aku rela mendengarkan cerita apapun soal masa lalu Kyoko.

“Aa… Ie…” Kyoko tampak tidak ingin memberitahuku, dia menghindar dengan membalikkan badannya. Aku hanya tersenyum kecut, lalu memeluknya dari belakang, melingkari perutnya.
“It’s okay, tell me” bisikku.
“Hazukashi….” wah, malu dia.
“It’s okay, Kyoko kan bakal jadi istrinya Aya… Gakpapa, bilang aja”

Ya, pasti aku penasaran, kenapa jeda waktu antara Jepang dan Indonesia yang Cuma beberapa bulan ini mendadak membuat aktivitas seksual Kyoko menjadi lebih berani. Tentu aku penasaran.

“Ano… Tomodachi wa… Teman..”
“Teman?” bingungku.

“Hai, teman Kyoko… kekkon shite.. sudah menika… Ano… Kyoko tanya, bagaimana cara yang omoshiro untuk menyenangkan Aya” bisiknya malu-malu. Dan aku kaget.
“Ah?”

Sampai segitunya? Sampe nanya hal-hal yang berbau seksual untuk bikin aku senang?

“Hai… To.. Teman Kyoko juga… pinjamkan DVD… Ano…”
“JAV?” tanyaku dengan muka heran.
“Hehe”

Kyoko tersenyum malu dan lantas seperti bersembunyi di bawah bantal. Dasar Kyoko. Dia selalu punya cara untuk membuatku senang, membuatku bahagia. Awas kamu. Akan kubahagiakan kamu seumur hidup.

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Muantap tenan rek... Seng Update nya fool kabeh... So suka kita jo dgn ngana pe Update... Haha
 
MDT SEASON 1 - PART 61

--------------------------------------------

dsc07310.jpg

Kontras. Aku melirik ke arah Kang Bimo yang duduk di samping istrinya. Istrinya menggendong anak bayi yang usianya hampir setahun. Istrinya berjilbab, dengan tubuh yang agak gemuk, dengan lucunya berinteraksi dengan anak mereka yang tampak gemuk dan sehat. Sementara Kang Bimo, tetap terlihat dengan tato yang memenuhi tangan kirinya, dan jenggot panjang awut-awutannya yang awet.

“Kamu abisin ih makannya” sahut Kang Bimo ke istrinya.
“Abisin atuh, urang mah geus wareg…” jawab istrinya.

Kami sedang makan siang di sebuah restoran legendaris yang terletak di dekat Rumah Sakit Boromeus, Bandung. Semua urusan di Maja House telah selesai. Setelah selesai sarapan dan packing, kami check out, dan memutuskan untuk makan siang bersama sebelum kami kembali ke Jakarta. Kyoko duduk di sebelahku. Stefan, Anin dan Bagas duduk berjajar di sebelah kami. Sena sedang di luar restoran, merokok. Kang Wira sedang asik makan, tak mempedulikan sekitarnya. Sementara Kang Giting sedang asik memeriksan handphonenya.

Stefan mengeluarkan sebatang rokok dan mulai membakarnya.
“Eh kamu!” bentak istrinya Kang Bimo.
“Hah” Stefan kaget.
“Matiin!! Aya budak leutik, gelo!” umpat istrinya Kang Bimo. Kang Bimo Cuma tertawa geli tanpa suara, melihat Stefan dengan pasrah mematikan rokoknya dan kembali bengong. Tampaknya dia terlihat nganggur tanpa rokok.

“Matakna saya teh udah ga pernah ngerokok di rumah” Kang Bimo membuka suara.
“Kamu udah saya bilang jangan ngaroko deui…. Masih aja bandel di luar rumah” sela Istrinya.
“Riweuh ah kamu mah, saya kawin lagi siah”
“Si gelo”

“Mun kawin deui ngajak ngajak atuh euy” sahut Kang Wira dengan mulut penuh makanan.

“Orang gila lu pada semua” celetuk Stefan sambil menahan tertawanya.
“Sia ge gelo, eta awak digambaran kabeh” ledek Kang Bimo.
“Kamu kaya yang ga tatoan aja” kesal Istrinya.
“Tapi kan cuma setangan kiri, moal nambah deui da…” senyumnya.

“Waduk, kemaren-kemaren balik dari Jakarta ada nambah dikit, ngelebar ke kanan di punggung” ujar Istrinya.
“Apal aja kamu mah”
“Saya teh istri kamu. Apal saawak-awak, mulai dari ujung bewok sampe ujung cileuh”

Dan memang benar, kalau dibilang orang sunda senang bercanda. Istrinya Kang Bimo juga bocor. Tinggal Kyoko saja yang bingung karena dia belum mengerti bahasa sunda. Untung kami, awak Hantaman, bisa mengerti karena sering bergaul dengan mereka. Jadi walaupun kami tidak bisa bicara bahasa sunda, setidaknya kami mengerti kalau mereka bicara. Walau begitu, kami tidak mengerti sama sekali kalau mereka bicara bahasa sunda yang sopan dan halus, seperti ketika mereka bicara ke orang yang lebih tua. Bahasa yang unik.

“Eh, kamu jangan lupa fungsi kamu yah” bisik Kang Bimo.
“Oh iya sebentar”

Istrinya Kang Bimo tampak kasak kusuk mengambil sesuatu dari tas yang ia bawa. Tas yang sangat besar memang, sampai tadi saat istrinya datang dengan anaknya, kami bertanya-tanya dalam hati, dia membawa apa dengan tas sebesar itu.

“Nah, ini buat kamu, kan saya pernah janji, kalo kamu ke Bandung saya kasih Piringan Hitam, sekalian buat kado kawinan kamu lah, walau kamu kawinnya masih ngke deui meureun” Kang Bimo memberikan sebuah Piringan Hitam kepadaku.
“Aya… ini Tatsuro Yamashita!” seru Kyoko dengan sumringah.

“Wah Kang… Makasih banget ini” aku melongo dengan Kyoko berdua, memegang Piringan Hitam Tatsuro Yamashita, album For You. Setahuku, Kyoko memang suka sekali dengan Tatsuro Yamashita. Matanya berbinar-binar.

r-217910.jpg

“Kore…. Omiyage… watashitachi ni?” tanya Kyoko kepadaku, memastikan kalau ini benar benar kado untuk aku dan dirinya.
“Tadashi” bisikku, membenarkan kalau ini memang kado untuk kami berdua. Kyoko lantas berdiri dan menunduk ke arah Kang Bimo dan Istrinya.

“Terimakasi…. Kyoko suka sekari dengan Tatsuro Yamashita… Kyoko akan balas nanti karau Kyoko ke Indonesia lagi” dia berterimakasih dengan sangat tulus, dengan mata yang benar-benar berbinar-binar. Kang Bimo sampai panik karenanya. Dia juga berdiri dan seperti menyuruh Kyoko untuk duduk.

“Eh iya sama-sama…. Udah atuh duduk… Saya jadi tengsin, kayak mau ngajakin tanding karate aja” ujarnya disambut tawa kami. Setelah Kyoko duduk lagi dan memeluk piringan hitam itu, aku menepuk punggung Kyoko dan tersenyum kepada Kang Bimo.

“Makasih Kang, ntar kita setel di kawinan kami” tawaku.
“Serius?”
“Bisa jadi” balasku.
“Kalo kalian kawin di Jepang mah saya ga bisa dateng atuh tapi” lanjut Kang Bimo.

Dan pada saat itulah aku dan Kyoko saling tersenyum dan berhadap-hadapan.
“Oshiete” bisik Kyoko, menyuruhku bicara pada mereka.

“Jadi, kita udah ngobrol semalem…. Kita mutusin bakal nikah di Indonesia” bisa kulihat ekspresi teman-temanku. Ada yang kaget seperti Anin, ada yang senyum dan mengiyakan seperti yang lain, dan ada yang diam tanpa ekspresi seperti Bagas. “Kita bakal nikah secara Indonesia, pake hukum Indonesia, dan nanti, pas balik ke Jepang, Kyoko bakal ngurus semua dokumen yang diperluin buat nikah disini” jelasku.

“Tanggalnya?” tana Kang Wira.
“Tentunya sehabis saya tur Jepang sama anak-anak Kang, dan nanti sebelom Kyoko balik ke Jepang, saya mau rapat keluarga dulu, untuk nentuin tanggal” jawabku.

“Tunggu, ala Indonesia, kan yang diakuin sama pemerintah sini itu kan secara agama men” sahut Stefan.
“Iya”
“Emang agama lo sama?” tanya Stefan retoris
“Ya engga lah” jawabku.

“Berarti dia jadi muallaf” ucap Bagas mendadak dengan tanpa ekspresi, bahkan tatapan matanya tidak menatap kami, tapi menatap lurus ke depan. Jujur, kami semua kaget dengan dirinya yang mendadak tiba-tiba bersuara.

“Terus jadi lo bakal masuk islam?” tanya Stefan langsung ke Kyoko.
“Hai!” jawab Kyoko sambil tersenyum, dengan penuh percaya diri.
“Serius?” Stefan bertanya dengan muka yang penuh perhitungan.
“Benar…. Kyoko suda beraja soal Islam waktu di Jepang kemarin, karena Kyoko tahu karau di Indonesia, kekkon harus dengan cara agama” senyum Kyoko.

Stefan hanya mengangguk. Dia menatap mataku tajam. Tatapannya penuh pertanyaan, dan aku tahu apa yang Stefan pikirkan. Pasti soal pengorbanan. Aku hanya tersenyum padanya. Karena aku tahu, semakin aku mengenal Kyoko, dia melakukan semuanya dengan ikhlas.

Dan aku tahu, aku juga harus melakukan semuanya untuk Kyoko dengan ikhlas.

--------------------------------------------

“Emang cari apa sih di F.O?” kesal Anin dengan malasnya, di teras sebuah factory outlet di Jalan Ir H Juanda, yang suka disebut sebagai jalan dago.
“Biarin atuh, namanya juga awewe” jawab Kang Bimo, dimana istrinya sudah langsung menghilang, membawa Kyoko ke dalam factory outlet untuk melihat-lihat. Si Bayi yang lucu itu digendong di sebuah tas yang menyerupai Kangguru di badan Kang Bimo.

“Eh, maksudnya si Stefan, dia kok mendadak blingsatan masuk ke dalem gitu tadi dari parkiran” sambung Anin, agar tidak miskomunikasi.

“Biarin lah, belanja baju” jawabku sambil melihat-lihat instagram, dimana aku melihat selfie konyol Rendy dan Anggia, lalu foto bayinya Dian sepupuku, lalu foto Ai yang bermuka kusut di depan televisi, dan sekian banyak foto teman-temanku lainnya di dalam media sosial itu.

“Centil amat dia”
“Bae ah nu penting hepi” celetuk Kang Bimo, memandangi Sena dan Kang Wira yang ada di pinggir jalan, merokok berdua. Dia menatap dua orang itu dengan perasaan iri. Bagas? Entah kemana dia. Pasti dia hilang entah kemana.

“Kenapa dipanggil jalan dago sih Kang? Kan nama aslinya Ir H Juanda” aku memecah suasana, agar Anin tidak terdengar terlalu kesal akan gerak gerik Stefan.
“Nah, jadi kieu, ini jalan teh emang hits dari jaman dulu, orang kalo mau janjian keluar buat maen teh di jalan ini”
“Terus?”
“Dago… eta teh kependekan dari ngadagoan… Bahasa Sunda, jadi we Dago” lanjutnya.

“Ooo…” aku dan Anin membentuk koor merespon penjelasan Kang Bimo.
“Saya paling inget jalan ini teh pas jaman saya kecil… Waktu Persib juara Liga Indonesia pertama, yang menang lawan Petrokimia di Senayan… Inget dulu euy, idola saya, Robby Darwis…” dia menerawang ke arah Jalan.
“Arak arakan Kang?” tanyaku.
“Iya, gembira pisan saya teh liat Persib juara, mangkaning pas kemaren yang final Piala Presiden di Jakarta sama Liga Indonesia di Palembang saya bela-belain nonton langsung di stadion, bae bahaya oge… Pamajikan mah udah ngadat di imah… Tapi bae, nu penting mah Jayalah Persibku..” ucapnya dengan mata berbinar-binar.

“Nah itu, orang Bandung itu kenapa ya? Kayaknya semuanya suka sama Persib, kalo di Jakarta, temen-temen saya yang suka bola malah dikit banget yang suka Persija, hampir ga ada malah” Anin menerawang bingung.

“Di Jawa Barat, apalagi Bandung, kesukaan sama Persib teh turun temurun, Kakek saya suka Persib, Bapak saya suka Persib, saya suka, nah ntar giliran si Kecil….” senyumnya. “Budaya ngadukung Persib teh bener-bener merasuk di Jawa Barat teh, mangkaning dulu sebelum musim gaya supporter ala Ultras Eropa teh, isinya stadio kalo nonton Persib itu keluarga, pada marawa rantang, siga piknik we… “

“Kalo Persija gak setradisional itu yang Kang?” tanya Anin lagi.

“Teuing, teu ngurusan Persija mah…” ucapnya dengan air muka yang agak berbeda, seperti terganggu. Anin menelan ludahnya. Untuk urusan sepakbola, supporter memang seringkali jadi sensitif.

“Aya!” panggil Kyoko mendadak. Aku berbalik dan melihat pemandangan yang luar biasa. “Hehe” tawa Kyoko.
“Nih pacar kamu kalap, katanya murah gini…” tawa Istri Kang Bimo yang juga tampaknya amazed dengan volume belanja Kyoko.
“Totemo yasui!” sambung Kyoko excited kepadaku. Aku hanya bisa senyum saja, karena kalau dibandingkan dengan harga pakaian di Jepang sana, ya sudah pasti jauh lebih murah.

Mendadak Kyoko berbisik kepadaku.

“Ano…. Yasui wa… Kontol ka?” dan aku secara otomatis menepuk kepalaku. Rupanya aku selama ini belum beres menjelaskan hubungan sebenarnya antara Kontol dan Murah. WTF

--------------------------------------------

649-il10.jpg

“Serius lo?” tanya Stefan dari kursi depan, dengan rokok menyala di tangannya. Mang Ujang ada di sampingnya, menyetir dengan seksama. Kyoko tertidur dengan manisnya di sebelahku, kepalanya bersandar di bahuku.
“Serius apaan?”
“Mau kawin” tegas Stefan.
“Serius, emang kenapa?” aku bingung dengan pertanyaan Stefan.

“Kyoko? Pindah agama? Kawin disini? Jangan bilang kalo dia mau pindah kesini juga” lanjutnya.
“Emang ada pembicaraan soal itu kok” sahutku.

“Ya, orang Jepang itu gak paham sama konsep agama samawi, Islam, Kristen gitu mereka gak paham, mereka agamanya sifatnya lebih seremonial dan tradisi, lebih ke arah spiritual. Beda gak kayak agama-agama dominan disini, ntar dia canggung, terus stress sendiri pas dia ngejalanin” urai Stefan panjang.
“Fan, lo tau kan dia mau masuk Islam tuh biar gampang kawin ama gue?” tanyaku balik.

“Tau, tapi kenapa lo gak kawin disono aja, biar ga usah ada yang pindah agama” balasnya.

“Dia pengen nikah disini, dia insist, dan dia kayaknya kepengaruh ama acara Bagas kemaren” sahutku.
“Kepengaruh ama Bagas atau seperti pemikiran gue? Semua buat Aya? Aku mau ikut suami sampe agama pun ngikut suami?” balas Stefan deras.

“Fan, gue yang nikah kok elo yang sewot sih?” tanyaku.
“Gue gak mau salah satu dari kalian ntar horor hidupnya”
“Horor apaan?”
“Gue gak mau liat temen gue cere gara-gara bininya stress di Indonesia” jawab Stefan.

“Lo berlebihan Fan” tegasku.
“Ya, temen bokap gue banyak bule, kawin sama orang sini, atau sebaliknya, dan rata-rata karena salah satu dari sepasang suami istri itu ga tahan sama perbedaan budaya di negara baru mereka…”

“Dulu alasannya bonyok lo, sekarang orang laen… Udah lah Fan….” aku dengan kesal menarik nafas panjang, memandangi jok depan yang diduduki oleh Stefan.

“Ya terserah sih, gue sih ikut seneng aja kalo lo mau kawin..” sambung Stefan pelan.
“Jangan karena lo takut sama komitmen terus lo cecer gue terus soal Kyoko” lanjutku.
“Hmm iya aja deh” jawab Stefan pelan.

Aku memilih untuk membuang muka ke luar, memandangi jalanan Bandung-Jakarta sore itu. Memandangi kekosongan yang mungkin ada di hati Stefan sehingga ia begitu khawatir soal pernikahanku. Khawatir yang mungkin berlebihan, karena ketika Bagas akan menikah, dia sama sekali tidak terlihat parno. Mungkin karena Bagas orangnya, mungkin. Tapi kupikir tidak adil. Aku ingin mencapai bahagia dengan Kyoko walaupun ada hal-hal pedih yang mungkin akan kami rasakan nanti. Aku tak tahu apa masalah sebenarnya antara Stefan dan komitmen.

Dan aku jadi menghubung-hubungkan masalah Zee dan Anin, yang selalu jadi bahan empuk ledekan Stefan, sehingga Anin bisa sampai emosi dibuatnya. Mungkinkah Stefan seperti “alergi” terhadap hal-hal yang tulus dan butuh pengorbanan? Aku sudah mengenalnya bertahun-tahun, tapi sekarang aku seperti tidak mengenalnya. Stefan yang kutahu selalu asal dan tidak pedulian, kini mulai terlihat sisi rapuhnya. Dan dia hanya terlihat tidak rapuh kalau sedang bersama adikku akhir-akhir ini. Ledekannya soal Zee ke Anin dan kekhawatirannya yang berlebih soal Kyoko, tampak mereda jika dia bersama Ai.

Entahlah. Terlalu banyak yang kupikirkan sekarang. Pernikahan, Zee, Anin, isi kepala Stefan, album yang tidak selesai-selesai. Dan tentunya Kanaya. Kanaya yang sekarang jaraknya terlihat jauh dari mataku. Setidaknya Kyoko sudah mengingatkan, bahwa perlu untuk mendatanginya dan menjernihkan suasana. Tapi tetap saja, ada pikiran yang menggantung di kepalaku.

Sekarang ada satu hal yang menggantung di pikiranku. Jika memang ada kemungkinan aku bersama dengan Zee, jika aku lebih dulu bertemu dengan Zee di Jepang, berarti ada kemungkinan yang sekarang tidur di bahuku ini bukan Kyoko. Tapi Kanaya. Itu mungkin akan terjadi kalau aku tidak berangkat ke Jepang, atau aku sama sekali tidak bertemu dengan Kyoko di Jepang. Kalau aku tidak mengantarkan Kyou-Kun yang mabuk malam itu, mungkin aku tidak akan pernah bisa bertemu dengan Kyoko. Aku tidak akan tahu keberadaan manusia bernama Kyoko Kaede yang sedang ada disini, sekarang.

Mungkin Kanaya. Mungkin itu yang dia harapkan sekembalinya aku dari Jepang. Namun tidak, aku kembali dari Jepang dengan membawa Kyoko. Dan ceritanya sudah terlanjur berjalan seperti ini.

Oh Well. Yasudah lah. Tutup saja mata ini. Biarkan kekesalanku dengan kondisi sekarang hilang seiring tidur dan mimpiku akan pernikahanku dan Kyoko.

--------------------------------------------

sebstu10.jpg

Malam hari, setelah makan malam bersama sekeluarga lengkap plus Kyoko, aku dan Kyoko sedang duduk di dalam studio, di sebuah karpet, menjadikan Bass Drum sebagai sandaran kami. Bahu kami saling bersentuhan dan aku menggenggam tangannya erat. Sebuah piringan hitam berputar dengan nyamannya di turntable, dan suaranya terdengar membahana melalui speaker di dalam studio.


Tatsuro Yamashita – Futari

Mō dare mo inai shizuka na machi ni / di kota yang sepi, dimana tidak ada siapapun
Mō dare no koe mo todoka nai hodo / aku tidak dapat mendengar suara siapapun lagi
Fukaku aisuru futari no kokoro ni wa / dalam hati dua orang yang saling mencintai
Yoru no tsumeta sa mo iki o hisometa mama / dinginnya malam ini menyesakkan nafasku

To keau kage ni shinon de kuru no wa / kamu datang di dalam gelap
Subete o oou tada yami no yoru / malam gelap yang meliputi semuanya
Yoru ga kono mama kurayami e shizun de mo / dan walaupun malam ini menjadi sangat gelap
Futari tsugare ta kokoro wa kakuse nai / kamu tak bisa menyembunyikan hati yang terkoneksi

We’re together and eternally

Ai ga fukai to konnanimo kanashii / menyedihkan, karena cinta itu dalam

Yorisou kage ga toke tara sorede / pada saat kita berpelukan, bayangan mencair
Mō kesshite hanare nai kara boku wa? /aku tidak akan meninggalkanmu lagikah?
Kokoro o tsunagi ae tara sorede / jika hati kita kemudian bersatu
Mō kesshite hanare nai kara boku wa? / aku tidak akan meninggalkanmu lagikah?

Kami saling berpandangan di dalam studio yang dingin itu. Mata kami berdua saling menatap, seperti tidak akan lepas lagi. Akhirnya. Kami akan menikah. Nanti tidak akan ada lagi video call, tidak akan ada lagi pesan-pesan kangen yang berlebihan di media sosial. Hanya ada aku dan dia, berdua, bersama, saling memadu kasih sampai mati nanti.

Sampai mati. Semua sudah diatur, lusa rumah ini akan ramai oleh saudara-saudara sepupuku, oleh para om, tante, dan bude pakdeku, juga kakekku, yang masih tersisa dari keluarga besar ibuku. Saatnya membicarakan pernikahan dengan lebih serius. Saatnya membicarakan prosesi. Saatnya membicarakan hal-hal legal yang membuatku dan Kyoko menjadi suami-istri yang resmi.

Man and Wife.

“Aya” tegur Kyoko, melihat aku menerawang jauh entah kemana.
“Yes?”
“Kyoko tida sabar…. Menjadi Aya no okusan… Haha”
Aku tersenyum. Lebih kepada penggunaan kata ‘Okusan’ tetapi. Di kamus, istri ditulis ‘tsuma’. ‘Okusan’ adalah istilah yang digunakan dengan tidak casual. Lebih formal. Arti lebih dalamnya adalah istri yang diam di rumah, menjadi ibu rumah tangga. Walaupun sering digunakan dalam situasi percakapan normal, aku agak mengharapkan kata ‘tsuma’ keluar dari mulut Kyoko, daripada ‘okusan’.

“Ah…. Finally ya” balasku sambil menepuk kepalanya dan menariknya ke bahuku.
“Ano Aya….” selanya.
“Iya?”
“Tadi Kyoko denga’ Stefan bicara” bisiknya.

Aku lantas menelan ludah, bersiap mendengar hal-hal yang tidak enak dari Kyoko. Entah apa dia tidak suka akan omongan Stefan tadi di mobil, atau dia akan membela dirinya dan mengatakan bahwa dia tidak akan sesubmissive yang dituduhkan oleh tadi? Sebetulnya yang tadi di mobil itu Cuma satu fragmen kecil dari kekhawatiran Stefan soal Kyoko. Tapi cukup setidaknya untuk membuat perempuan manapun khawatir, tentunya.

“So?” tanyaku dengan tetap memeluk bahunya, sementara Tatsuro Yamashita masih menyanyi dengan syahdunya.

“It’s okay kan Kyoko ikut Aya. Normal” bisiknya. “Kyoko suda siap dimanapun sama Aya. Yang penting sama Aya” mukanya terlihat agak kesal. “Kyoko mau kasih riat karau Stefan salah… Kyoko benar rela tinggaru disini sama Aya, semua pasuti bakal baik asalkan sama Aya, kan?” dia berusaha mengkonfirmasi pemikirannya padaku.

Aku mengangguk. Dia sudah pernah menjelaskannya kenapa dia selalu ingin bersamaku. Rasa aman, rasa nyaman, hangat, dan sebagainya dia selalu rasakan kepadaku. Dan aku tentunya merasakan hal yang sama. Aku tidak merasakan hal seperti ini sebelumnya, tidak pernah khawatir. Tidak seperti sewaktu bersama Karina yang penuh dengan kekhawatiran dan kelelahan karena terus-terusan selalu ada masalah. Ataupun perasaan biasa saja dan kosong ketika menghadapi Kanaya. Zee? Itu Cuma lewat saja. Bukan apa-apa.

Kyoko, tentunya, yang sebenarnya aku butuhkan. Perasaan aman yang selalu manusia butuhkan secara wajar selalu kurasakan ketika bersama Kyoko. Semua kemanjaannya, semua perasaan keibuannya, itu yang membuatku nyaman. Rasanya seperti selalu diperhatikan dan diistemewakan.

“Kyoko, tenang saja… Stefan bicara begitu, karena dia gak pernah mau punya komitmen, gak pernah mau bareng sama orang kayak kita sekarang… Jadi, wajar kalo dia mikir seperti itu, khawatir sama komitmen, oke?” aku menenangkannya.
“Hai…” balas Kyoko, dan dia memejamkan matanya, untuk menikmati suasana yang nyaman ini.

“Jangan khawatir ya Kyoko, tinggal disini nanti, kamu bakal aman terus kalo bareng aku dan aku bakal bikin kamu bahagia terus” lanjutku.
“Hai, anata o shinjiteru” balasnya. Aku percaya kamu.

Aku menyentuh pipinya yang lembut, sambil terus menatap ke matanya yang teduh. Senyum lucunya terkembang, dan bibir kami berdua bersentuhan dengan pelan. Ah, andai dia tak harus kembali ke Jepang di akhir minggu nanti. Tapi tak apa, toh aku juga akan ke Jepang bulan depan, untuk rilis album versi Jepang dan manggung di beberapa tempat.

“Kamu gak pengen tinggal di Jepang aja emang sama aku?” tanyaku. Kyoko Cuma menggeleng sambil tersenyum. “Kenapa?” tanyaku lagi.
“Nanti Hantaman?” tanyanya balik.
“Kalau buat kamu aku bisa tinggalin siapapun” balasku. Kyoko menggeleng lagi.

“No… Mereka kan keruaga buat Aya?”
“Yep”
“Karena itu Kyoko ingin di Indonesia… Di Japan seperutinya tingga’ Nii-san keruaga yang dekat dengan Kyoko… Okasan wa… Anak tunggal… Otosan wa… Ano, keruaganya sudah banyak meninggal… Jyadi… Kyoko pikir… Di Indonesia pasti ramai, ada keruaga Aya, ada Hantaman…. And it’s okay, Nii-san bisa pasuti sendiri di Japan” senyum Kyoko. Dia sedang membicarakan tentang Kyou-Kun, dan mungkin mencoba menelaah alasannya ingin tinggal disini bersamaku.

“Paham… Dan Kyou-Kun juga pasti gak sabar pengen aku cepet-cepet jadi adeknya” senyumku.
“Hai” senyum Kyoko balik.

“Ano… Apa nanti Kyoko rubah nama setera menikah?” tanyanya.
“Hah?”
“Jyadi… Kyoko Gunawan?” ucapnya polos.
“Ahahaha…..” aku tertawa mendengarnya.

“Nanika?”
“Kyoko Gunawan……… Ahahaha… aduh……… hahahahahahhahaa” tawaku geli.
“Nande….. Apa yang lucu?” bingungnya.
“Ahahaha… bentar… sakit perut” perutku sampai sakit karena mendadak tertawa dengan sebegitu lepasnya.

“Aya!” rajuk Kyoko karena aku tak berhenti tertawa.
“Kyoko Gunawan… Ya ampuun…. Kayak nama apaan aja”
“Apaan aja? Ayaaa…”
“Kyoko, disini gak biasa nama belakang suami jadi nama istri, mungkin banyak sih yang pake, tapi itu gak resmi, Cuma panggilan doang… Lagian sayang ah, nama bagus Kyoko Kaede, jadi Kyoko Gunawan… Ya robb… Kyoko Gunawan” jelasku masih dalam tawa.

Kyoko cemberut lucu, karena masih bingung kenapa aku tertawa sedemikian rupa mendengar nama Kyoko Gunawan. Karena memang lucu. Terdengar seperti nama anak kecil keturunan chinese, yang baru mau masuk TK, lantas perawakannya gemuk, putih dan lucu. Ada-ada saja. Untung di Indonesia, mengambil nama belakang suami bukanlah tradisi.

Aku menatap ke Kyoko yang masih cemberut. Tanpa aba-aba kucium bibir calon istriku. Ya, calon istriku. Kyoko Kaede. Saatnya nanti, dia akan jadi istriku.

We’re together and eternally

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Mungkin cocoknya Kyoko Ahmad (nyonya Arya Ahmad)? :bingung:

Tapi jadi deg2an, karena setelah happy pasti ada konflik :aduh:
 
MDT SEASON 1 - PART 62

--------------------------------------------

Ramai. Tak seperti biasanya. Sepupu, keponakan, Om, Tante, Pakde, Bude, Kakek dan lala-lala lainnya seperti tidak biasanya, ramai dan memenuhi rumahku. Aku dari jauh memperhatikan Kyoko, yang sedang mengobrol bersama dengan sepupu-sepupuku dan adikku, dengan Dian dan Alika, bayi yang menjadi pusat perhatian di tengah mereka. Beberapa saudara dari sisi almarhum ayahku juga ada, tumben.

Ini karena anaknya Ariadi Gunawan akan menikah. Siapa lagi kalau bukan aku. Rapat keluarga justru berlangsung sangat singkat. Semua dimulai dari pemaparanku soal rencanaku, sekaligus memperkenalkan Kyoko di depan keluarga besarku. Kyoko tentu saja sangat grogi. Mengingat ini pertama kalinya dia ada di posisi seperti itu. Di tengah-tengah keluarga besar ala Indonesia. Untungnya semua berjalan lancar.

Tanggal pernikahan sudah ada. Minggu kedua di bulan Maret. Tidak, kami tidak ingin menunggu lama-lama. Februari, sebulan itu, tentu agak susah menyisipkan pernikahan disana. Karena aku selama dua setengah minggu, mulai minggu pertama sampai minggu ketiga akan berada di Jepang. Tur Tokyo, Kyoto dan Osaka. Kemarin jadwal sudah keluar, Anin sudah memberitahu kami semua. Aku lupa detailnya. Kami belum rapat untuk agenda Rilis album dan tur itu.

Nanti Kyoko pulang ke Jepang, lalu dia akan mengurus semua kelengkapan yang ia butuhkan untuk menikah disini, seperti Surat Keterangan bahwa Kyoko belum menikah dan tidak dalam status pernikahan, lalu juga perizinan untuk menikah dengan WNI, pastinya dari Catatan Sipil di Mitaka sana. Selanjutnya semua dokumen itu akan dikirim ke Indonesia secepatnyam untuk diterjemahkan oleh penerjemah yang bersertifikat dan disumpah, lalu diajukan ke kedutaan Jepang, untuk di legalisir.

Setelah itu semua beres, maka dia akan ke Indonesia, setelah mengurus Visa Tinggal Terbatas di Kedutaan Indonesia di Jepang sana, lalu menikah denganku. Setelah itu, kami akan meminta KITAS (Kartu Izin Tinggal Sementara) untuk Kyoko, sebagai tanda menetap disini. Setelah lima tahun, baru akan diperbaharui lagi, atau apakah Kyoko akan mengajukan permohonan untuk menjadi WNI, aku juga belum tahu. Pembicaraan tadi baru sampai sebatas pengajuan KITAS. Untung ada saudaraku, tepatnya dari sisi ayahku yang bekerja di Kementrian Hukum dan HAM. Dan sekarang aku tidak akan protes lagi kalau ibuku masih suka mengikuti acara keluarga ayahku, ternyata ini gunanya.

Dan karena orang tuaku tidak lengkap dan biaya pernikahan benar-benar dari kantongku sendiri, aku dan Kyoko memilih untuk menikah dengan cara yang paling simple yang bisa dibayangkan. Ijab kabul dan resepsi dibarengkan, di sebuah restoran bertema taman di Jakarta Selatan. Pakaiannya juga simple, hanya jas dan gaun saja. Kyoko akan membawa gaunnya sendiri dari Jepang.

Nanti sebelum pernikahan, seminggu sebelumnya tentunya Kyoko akan menjadi Muallaf. Itu akan dia lakukan secepatnya ketika mendarat nanti. Keputusannya sudah bulat, untuk menikah di Indonesia dan menjalani prosedur pernikahan ala Indonesia.

On the lighter side, teman-temanku di Grup Whatsapp Hantaman sedang ramai membahas seragam apa yang akan mereka pakai di hari pernikahanku. Tentunya tidak ada tugas apa-apa kepada siapapun nanti. Prosesi acaranya Cuma Ijab kabul, lalu makan-makan, prasmanan, dimana aku dan Kyoko tidak akan berdiri di pelaminan, tapi mingle dengan para tamu. Dan jumlah tamunya akan dibatasi. Untuk keluarga hanya sampai ke saudara kandung ayah dan ibuku, beserta anak-anak mereka. Jumlah teman-temanku juga mudah didata, dan dari pihak Kyoko? Yang pasti hanya beberapa orang. Kyou-Kun, seorang adik ayahnya, dan mungkin satu atau dua orang teman dekatnya.

Sekarang aku duduk di sebelah kakek ku, yang sudah sepuh. Ya, ayah dari ibuku. Dia lebih banyak diam dari tadi. Kerjanya hanya tersenyum dan mengobrol pelan saja.

“Calon istri kamu…” bisiknya mendadak mengagetkanku.
“Iya?” jawabku kaget.
“Terlihat punya sifat yang mirip sama ibu kamu” lanjutnya.
“Ahaha… Gimana itu maksudnya Eyang?”
“Nanti lama-lama kamu akan liat. Kalau sekarang sih, Eyang sudah bisa lihat kalau dia mirip sekali sifatnya sama ibu kamu” senyumnya penuh arti. Aku hanya membalas senyumnya saja. Ya mudah-mudahan itu benar. Sifat keibuannya memang sangat terlihat dari pertama bertemu, setahun lalu.

Tak terbayang rasanya, setahun yang lalu, dimana aku pertama kali menginjakkan kakiku di Jepang, lalu pulang membawa sebuah hubungan yang nyata. Hubunganku dengan Kyoko. Hubungan yang sekarang akan berlanjut ke jenjang pernikahan.

Dan kini aku iseng kembali melihat Instagram. Ada postingan terbaru dari adikku. “Can’t wait!! #aryakyokowedding” begitu bunyi caption dari foto aku dan Kyoko yang duduk berdampingan pada saat rapat keluarga tadi. Di jari Kyoko begitu jelas terlihat cincin yang diberikan ibuku. Foto itu tampak sudah beberapa kali direpost, oleh Anin, Ilham, akun official Hantaman, dan beberapa orang lainnya. Gila, media sosial. Dan dari kemarin tak terhitung berapa pesan yang masuk, memberiku selamat dan mengingatkan untuk tidak lupa mengundang mereka.

Termasuk Zee. Walaupun dia tidak bicara soal undangan, tapi mendadak semalam, saat aku sedang bersantai dengan Kyoko, makan berdua di Pondok Indah Mall, sebuah pesan masuk. Dari Zee

--

“I just heard from Ilham and seen your IG. Congrats” isi pesannya.
“Thx” balasku singkat.

--

Tentunya kejadian waktu itu tidak bisa kulupakan. Benar-benar membuatku terganggu. Dan masih ada satu masalah lagi yang belum selesai. Soal Kanaya. Aku tidak tahu kapan aku bisa benar-benar menemuinya. Dan juga dimana, dan juga apa yang harus kukatakan padanya. Kalau Kyoko tidak menganjurkanku untuk mengclearkan suasana dengan Kanaya, mungkin aku memilih untuk diam saja dan pura-pura tidak pernah ada orang yang bernama Kanaya dalam hidupku. Tapi sulit. Karena selama ini dia selalu supportive ke Hantaman dan awaknya.

Ah sudahlah. Intinya aku harus bicara dengannya.

--------------------------------------------

“Capek juga ketemu orang segitu banyak dalam satu waktu” Ai tiduran di sofa, sedangkan aku bersender ke sofa tersebut.
“Capek lah, mana banyak yang nanya-nanya ke aku lagi” tawaku.
“Iya lah, calon penganten… “ Ai sedang sibuk melihat handphonenya, dengan rambut panjangnya tergerai.

“Ai… Bantuin Mama sini, potongin kue yang tadi dari Bude…” teriak ibuku lembut dari dapur.
“Mas Arya aja” jawabnya malas.
“Sini sayang, ntar kamu boleh ngambil stawberry nya yang diatas kuenya lho…..” bujuk ibuku. Mendadak Ai bangun, dengan punggung yang langsung tegak dan berusaha segera bangkit dari sofa.

“Dasar” ledekku.
“Wekk..” Ai menjulurkan lidahnya kepadaku dan segera berlalu ke dapur.

Sudah sore memang, dan saat yang tepat untuk memotong kue tersebut, untuk kami makan berempat. Aku masih duduk selonjoran dengan santai. Aku membuka sosial media dan sedang mengetik sesuatu. Untuk Kanaya.

-Hei, bisa ketemu kapan?- hmm… kesannya kok agak galak.
-Sore, Nay, kapan nih bisa ketemuan- hmm… kesannya kok sok akrab setelah kejadian awkward.
-Bisa ketemu?- hmm… apaan nih?

Dan mendadak suara ibuku membuyarkan lamunanku.

“Ya… Sini, panggil Kyokonya, bilang kuenya udah dipotong gitu…” teriak ibuku lagi dengan lembutnya dari dapur.
“Iya” jawabku pelan dan menutup layar handphoneku. Aku bangkit dan lalu mencari Kyoko. Setelah merayap dengan malas ke dapur, aku melihat bayangan dirinya sedang berjongkok di depan teras studio. Ngapain tu anak? Aku lalu berjalan perlahan menghampirinya.

“Ngapain?” tanyaku.
“Ano… Kore” dia menunjuk ke kerumunan bunga yang memang ada di depan studioku. Aku mendekat dan berusaha menyelidik apa penyebab dia betah jongkok di depan studio.

Dan dari rumpun bunga itu, muncul kepala kecil, dengan mata yang bulat dan ekspresi yang tolol. Mahluk itu berbunyi seadanya. “Nnggyaww..” suaranya pelan, dengan nada penuh iba, namun tetap saja kesombongan khas kucing terasa. Itu terbukti saat aku dengan refleks mengulurkan tanganku untuk memegang kucing abu-abu itu.

Kucing abu-abu yang gemuk. Gemuk, polos, tolol tetapi tetap ada aura sombong. Kucing itu melengos dengan cueknya saat aku berusaha menyentuhnya. sialan.

“Nekochan… Koko ni kitee…” ucapnya dengan logat yang lucu, ke kucing yang beranjak menjauh karena gerakan tanganku. Dan mendadak dengan ajaibnya si kucing abu-abu itu malah mendekat ke Kyoko, dan mau disentuh oleh Kyoko. Dan mendadak naik ke paha Kyoko. Kyoko langsung memeluk kucing itu dan membelainya di bagian tubuh yang membuat kucing itu terlena dengan nyamannya.

Ajaib.

“Kawaii…” Kyoko lantas memerika kelamin kucing tersebut. Tampaknya, dari sepenglihatanku kucing betina. Mendadak aku jadi ingat Kodama. Kucing hitam-putih nan sombong yang menghuni rumah Kyoko, dan aku tersenyum sendiri karenanya.

“Cewek?” tanyaku ke Kyoko.
“Hai”
“Jadi inget Kodama, apa kabar dia?”
“Kodama Genki” jawab Kyoko seadanya. Perhatiannya masih tertuju pada si kucing abu-abu itu.

“Aya”
“Hai?”
“Kore Neko… Kucing ini… Kyoko suka rihat sekitar sini” lanjutnya.
“Ohya?” aku tidak pernah memperhatikannya.

“Hai, pasuti diplihara sekitar sini, atau dia tinngal di dekat ruma Aya” jelasnya.
“Lucunya aku gak pernah liat sih, atau aku aja yang gak apal sama kucing ini ya? Soalnya emang kadang suka liat kucing sih di sekitar sini” tawaku.
“Karo gitu, Kucing bisa diplihara di sini?” tanya Kyoko polos.

“Kayaknya gapapa” jawabku sambil tersenyum. Ya asal nanti jadinya gak malah repot sih, haha.
“Okei…” senyum Kyoko sambil mempermainkan si kucing abu-abu.
“Terus kalo kita piara, kasih nama apa?” tanyaku. “Kodama junior?” lanjutku bercanda.

“Ah… jangan… Nekonya perenpuan, jadi….”
“Ningsih?” candaku.
“Nan no namae dayo?” nama apaan tuh
“Nama lokal” jawabku sambil menahan tawa. Mendadak jadi ingat pembicaraannya soal Kyoko Gunawan.

“Mmm… Karau…. Hana?” tanyanya sambil menunjuk ke kelompok bunga tempat tadi si kucing abu-abu bersembunyi. Hana artinya bunga.
“Hmm…”
“Hana sounds nice…” lanjut Kyoko, dengan muka agak merajuk. Apa sih, kayak mau namain anak aja, pikirku dalam kepalaku dengan gemasnya.
“Hana de! Konnichiwa Hana!” Kyoko mendadak mengajak bicara ke Hana yang sedang berusaha menggeliat dari genggaman tangan Kyoko. Mendadak kucing itu turun dari paha Kyoko dan melengos kembali ke arah bunga-bunga.

Aku mencoba memanggilnya. “Hana..”
“Nggrrwww…” balas si kucing.

“Itu artinya dia ngerespon ya? Kalo dia setuju dinamain Hana?” tanyaku dengan tolol ke Kyoko.
“Wakaranai… Kyoko wa neko janaiyo…” tawa Kyoko sambil berdiri. Ga tau, Kyoko bukan kucing, jawabnya dengan bercanda. Kyoko lalu mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri. Aku meraih tangannya dan lantas kami bergandengan, setelah aku berhasil bangkit, berjalan ke arah dapur, untuk menikmati kue di sore hari yang indah itu. Bisa kubayangkan tahun-tahun ke depan akan seperti ini suasananya setiap hari. Sebuah keluarga yang terdiri dari aku, Kyoko, Mama dan Ai. Keluarga yang hangat dan menyenangkan.

--------------------------------------------

sebstu10.jpg

“Mana bini lo?” tanya Stefan yang sedang merokok di teras studioku malam itu. Ya, lagi-lagi merokok. Kami sedang menunggu Anin. Anin sudah datang sebenarnya. Tapi dia kebelet buang air besar. Jadi kami ditinggal dulu.
“Keluar, makan malem, sama adek gue dan emak gue…”
“Oh” respon Stefan pelan. Aku tahu dia masih memikirkan soal pernikahanku.

“Masih ngerasa ganjel soal rencana gue?” tanyaku menyelidik.
“Gak tau”
“Tumben diem mulu, biasanya gue diledekin, Anin diledekin, atau gak tau apa” lanjutku.
“Hmm” senyumnya ke arahku. Senyum tipisnya yang penuh arti, dengan asap rokok yang berbau tidak enak itu keluar dari hidungnya.

“Ngomong aja Fan, mumpung Anin masih boker….” lanjutku.
“Gue ngomong juga percuma, elo udah bakal kawin Maret entar”
“Jadi lo berharap gue ngerubah rencana gue?” tanyaku
“Enggak sih”

“Atau elo sedang berusaha berkontemplasi kenapa diri lo benci banget ama komitmen?” selidikku.
“Bisa jadi”
“Dan lo jadi makin takut karena gue mau kawin, terus Bagas udah kawin?”

“Lo bicaranya kayak psikolog men…. Udah lah, emang lo juga suka apa kalo gue bahas terus sisi negatif dari pernikahan?” lanjut Stefan, masih dengan nada bicara yang tajam.
“Oke…” responku seadanya.
“Soal gele, jadi lo buang semua?” tanya Stefan.

“Iya”
“Gak sayang?”
“Enggak, tinggal dikit juga” sambungku.
“Oke…” respon Stefan seadanya.

“NAH!! Sori, sampe mana tadi?” Anin mendadak datang dari dalam rumahku, dan di mukanya terlihat sebuah kelegaan yang amat sempurna.
“Belom sampe mana-mana bego… Orang lo dateng langsung be’ol kok” jawab Stefan dengan ekspresi muka yang kesal.

“Nah ini, gue print emailnya tadi, udah dibaca kan?” tanya Anin sambil menunjuk kertas yang ada di tanganku dari tadi.
“udah” jawabku dan Stefan berbarengan. Entah kenapa ada ketegangan yang tidak nyaman diantara aku dan Stefan, walau aku tidak tahu apa itu. Tapi rasanya dingin semenjak kami pulang dari Bandung kemarin.

“Gue jelasin lagi ya… Kita kan 2.5 minggu disana. Hari pertama kita sampe, itu senen malem, kita langsung ke penginapan di Nakano, deket sama kantornya Titan” Anin mengambil nafas panjang mendadak. “Gue mendadak excited lagi gini guys, kalian berdua gimana?” tanya Anin ke aku dan Stefan.

“Lebih biasa aja sih karena beda rasanya sama Fuji Rock” jawab Stefan.
“Segaring itu Fan? Gue sih seneng bisa kesana lagi” komentarku.
“Tau deh”

“Emmm…. Ini udah gue bikin rangkumannya, di halaman selanjutnya, kalian bisa baca kok” sambung Anin untuk memecah suasana garing.

Jadwal Manggung Hantaman di Jepang Februari 201X
Week 1
Senin : Touch down Tokyo, ke penginapan
Selasa : Press Release + Live! @ Tower Records Shinjuku
Rabu : Go To Osaka
Kamis : Live! @ Fandango Osaka
Jumat : -
Sabtu : Live! @ Club Quattro Umeda
Minggu : Go To Kyoto
Week 2
Senin : -
Selasa : Live! @ Live House takutaku Kyoto
Rabu : -
Kamis : Live! @ Kyoto MUSE
Jumat : Go To Tokyo
Sabtu : Live! @ MARZ Shinjuku
Minggu : -
Week 3
Senin : Live! @ Koenji 20000 V
Selasa : -
Rabu : Live! @ Shibuya WWW
Kamis : -
Jumat : Go To Jakarta

“Nice. This is why we don’t hire manager…. Because you’re more than enough” ucap Stefan ringan memuji Anin. Anin hanya nyengir saja.
“Dan bayaran kita, setelah dipotong ama bayar gaji Sena selama disono dan uang saku yang udah gue alokasiin, jadi segini” Anin memperlihatkan sebuah angka di handphonenya.

“Wow” aku kagum, jumlahnya besar juga.
“Langsung buat lo kawin nih Ya” tawa Anin.
“Ahaha, sebenernya buat kawin gue dah ada simpenan sih” balasku.
“Buat sekolah anak kalo gitu”
“Emangnya secepat itu bikin anak” aku menggelengkan kepala sambil tertawa ringan. Kuperhatikan sejenak air muka Stefan. Dia terlihat kaku. Entah mengapa.

“BTW kita bisa ngerasain naik Shinkansen loh!! Dibayarin sama Titan, jadi perjalanan ke Osaka dari Tokyo dan perjalanan dari Kyoto balik ke Tokyo enak….” senyum Anin antusias. Aku tahu apa yang membuatnya antusias untuk ke Jepang. Pasti belanja mainan, umroh ala otaku dan Zee.
“Asik… Gue juga belom pernah naek Shinkansen” jawabku.
“Gue udah pernah sih, waktu kesana sama bonyok…” komentar Stefan ringan.

“Enak gak?” tanya Anin polos.
“Lu kira bakpau enak” jawab Stefan sambil menggelengkan kepalanya dan membakar sebatang rokok lagi.

“Intinya kita ancurin tuh, 7 venue kita di Jepang, kita bakar, ya gak” senyum Anin tampak terkembang lebar, menunjukkan giginya yang putih, kontras dengan warna kulitnya yang sedikit gelap.
“Pasti” jawabku bersemangat. Stefan hanya mengangguk sambil tersenyum tipis.

Dan aku bertanya-tanya, apa yang ada di kepala Stefan sebenarnya.

--------------------------------------------

guitar10.jpg

“Mmm…. Stefan.. wa… munkin dia kawatir, ano… Dia takut Kyoko dan Aya berahir tida baik?” tanya Kyoko dengan nafas agak memburu.
“Bisa jadi, tapi dia paling gak bisa punya pacar dan paling ngehindarin komitmen, mungkin dia ketakutan sendiri liat kita nikah… Uh…” balasku.

“Hai… Ah… Munkin… begitu…. Uhh… Aya… Ah..” desah Kyoko di telingaku.

Dari tadi aku duduk di sofa kamarku tengah malam itu, tanpa celana. Kyoko hanya memakai bra-nya, dan dia pun tanpa celana. Kami sedang berhubugan seks malam itu, secara diam-diam di kamarku. Kyoko ada di pangkuanku, bergerak naik turun perlahan, tanpa suara. Atau setidaknya berusaha untuk tidak bersuara.

Aku memeluk badan Kyoko dengan erat, sambil ikut menggerakkan otot pantatku naik turun, menghunjamkan penisku ke dalam vaginanya yang hangat itu. Bisa kurasakan seluruh tubuhnya memanas, berharap kenikmatan yang ia rasakan ini mungkin tidak berakhir cepat. Nafasnya memburu, sesuai dengan gerakan badannya, pinggulnya yang memberikan kenikmatan yang luar biasa ke dua arah.

“Ano….. atau… Ah…” bisik Kyoko.
“Hmm?”
“Bisa minta, tolong… ano… ke Ai-chan… oshiete, dengan Stefan….” lanjut Kyoko dengan ekspresi muka keenakan.

Lucu. Diskusi sambil making love. Sudah seperti pasangan yang menikah.

“Bisa…. Dia kalau… Ah.. Bicara dengan Ai… Bisa lebih enak kali… Uhh…” Aku meremas pantat Kyoko, yang disambut dengan muka kaget penuh nafsu yang ia tunjukkan kepadaku. Cantik sekali. Cantik sekali calon istriku ini. Tangannya memeluk bahuku, dan nafasnya yang panas terasa di mukaku. Tak jarang kami berdua berhenti berbicara untuk sekedar berciuman.

“Iya…. Besok aku…. bilang… Ah…”
“Aya?”
“Ya?”

“Jangan kawatir, terlalu… Ah…. Kepada Stefan…. Dia teman… Aya… Pasuti, ingin Aya… Bahagia… Ngghh..”
“Iya” Aku memeluknya lebih erat lagi.

Walaupun mendatangkan kebahagiaan, tapi pernikahan yang akan kami jalani nanti bukannya tanpa masalah. Pertama, ketertarikan Zee yang masih abu-abu kepadaku, lalu reaksi Kanaya akan Kyoko akhirnya terbongkar, dan yang terakhir, Stefan. Stefan yang mendadak galau dan jadi agak pendiam setelah aku mengumumkan bahwa Kyoko akan tinggal di Indonesia dan menjalani pernikahan ala Indonesia yang berbasis agama, dia terlihat terkejut. Entah kenapa. Padahal sebelumnya, waktu dia tahu aku ingin menikahi Kyoko, dia terlihat sangat gembira karenanya.

Sudahlah. Kita selesaikan malam ini dulu. Aku akan membuat calon istriku ini merasa menyesal, karena tidak setiap saat bersetubuh denganku.

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd