Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT MDT - REVIVAL - SEASON 1 (racebannon)

Menurut Kalian, Siapakah "Bastardverse" Best Couple?

  • "Aku" & Dian (The Lucky Bastard)

    Votes: 12 7,5%
  • "Aku" & Nica (The Lucky Bastard)

    Votes: 2 1,3%
  • "Aku" & Anggia (The Lucky Bastard)

    Votes: 41 25,8%
  • Arya & Kyoko (Matahari Dari Timur)

    Votes: 51 32,1%
  • Anin & Zee (Matahari Dari Timur)

    Votes: 2 1,3%
  • Stefan & Semua yang dia tiduri (Matahari Dari Timur)

    Votes: 23 14,5%
  • Amyra & Dipta (Amyra)

    Votes: 6 3,8%
  • Gilang & Saras (Penanti)

    Votes: 2 1,3%
  • Gilang & Tara (Penanti)

    Votes: 3 1,9%
  • Bryan & Tika (Amyra)

    Votes: 1 0,6%
  • Rendy & Anggia (The Lucky Bastard - Matahari Dari Timur)

    Votes: 14 8,8%
  • Adrian & Anggia (The Lucky Bastard - Matahari Dari Timur)

    Votes: 2 1,3%

  • Total voters
    159
  • Poll closed .
Luar biasa Om @racebannon, dari TS dengan readernya sama2 luar biasa,
Sampe kalimat yg nyelip ntah dimana bisa tau. Ketinggalan jauh saya.:victory:

Terima kasih Om updatenya.
Tetap semangat om dipagi yg indah ini.
Sukses selalu menyertaimu dan selalu sehat. :top:
 
hmmmmmm... kyoko.. seneng ya kalo punya cewe yg melayani banget gtu.. hahahaha

btw yg udh pernah baca jangan spoiler dong, gw yg belom pernah baca gni lagi enak penasaran kena spoiler kan sialan.. -_-
 
Baru kelar baca maraton nih. Kesimpulan sejauh ini: dramanya dapet, porsi SSnya gak over. Yang gw heran, kok bisa yah ini TS produktif banget? Salut dah...
 
Baru kelar baca maraton nih. Kesimpulan sejauh ini: dramanya dapet, porsi SSnya gak over. Yang gw heran, kok bisa yah ini TS produktif banget? Salut dah...
Ini cerita cuma di posting ulang dan di edit sedikit om.

TS nya emang jago, gue yg baca ulang lagi aja masih asik sendiri bacanya

Suhu RB emang top markotop
 
MDT SEASON 1 - PART 66

--------------------------------------------

sebstu10.jpg

Aku sedang duduk, menikmati kesendirian di sore hari Jakarta yang tenang ini. Cuaca hari ini tidak terasa seperti Jakarta. Tenang, rindang, dan dingin. Terlebih karena hujan baru saja selesai membasahi kota ini. Hana, si kucing abu-abu yang berekor bulat itu sedang berbaring dengan malas di teras studio, menemaniku yang sedang mengobrol dengan Kyoko melalui sosial media. Entah kenapa sore itu seperti ada kontes foto kucing antara aku dan Kyoko. Kami saling berbalas-balasan foto Kodama dan Hana.

Dan ingin rasanya mempertemukan Kodama dan Hana, terlebih juga karena mereka berbeda kelamin, siapa tahu berjodoh seperti aku dan Kyoko. Setelah beberapa waktu, ada beberapa hal yang sudah terjadi dalam hidupku.

Pertama, Pierre T akhirnya telah menyelesaikan album mereka. Album nan idealis mereka, yang dikerjakan dengan segala penuh keribetan, akhirnya selesai juga. Mereka sekarang sedang merencanakan release partynya. Tentunya dengan segala jenis ide yang mereka punya, mereka sangat menginginkan pesta release ini menjadi spesial. Dan terserahlah, aku sebagai produser memang tidak memiliki tugas untuk mengurus release party mereka.

Kedua, tentang Kyoko, dia sudah mengajukan visa ke Kedutaan Indonesia. Ya, biasanya Visa di Indonesia didapatkan dengan cara Visa on Arrival, tetapi batas waktunya paling lama hanya sebulan. Sedangkan Kyoko akan menetap bertahun-tahun. Tentunya dalam mengajukan visa ini, dia sudah melampirkan surat pengantar nikah dengan WNI dari kantor kependudukan di Mitaka sana dan alamatku sebagai domisili nantinya. Nantinya surat keterangan itu akan dikirimkan ke Indonesia, lalu dilegalisir oleh kedutaan Jepang disini.

Urusan KUA? Tentunya sudah kuurus, dengan didampingi oleh saudaraku dari pihak ayah, yang kerja di kementrian hukum dan HAM. Dan dia akan melakukan proses untuk menjadi muallaf di Mesjid Al-Azhar, tak jauh dari rumahku. Aku sudah memberitahu ke Yayasan disana dan mereka tampaknya gembira dengan berita ini. Aku sih biasa saja, tidak peduli Kyoko akan jadi muallaf atau tidak, karena ini keinginan Kyoko sendiri.

Ketiga, pub di Mega Kuningan itu kini menjadi semakin sepi. Kanaya? Sudah keluar dari tempat itu. Tekanannya terlalu besar untuk orang se-hijau Kanaya. Sekarang menurut teman-temanku, Kanaya bekerja di tempatnya Cheryl, turun pangkat menjadi waitress. Sesuatu yang disesalkan sebenarnya. Dan aku sudah tidak lama melihat batang hidungnya setelah kejadian yang tidak enak itu.

Keempat, dua minggu lagi aku akan kembali berangkat ke Jepang, bersama Hantaman. Ilham dan Zee akan mendampingi kami lagi dalam tur tiga kota itu, sekaligus perayaan perpisahan Ilham dengan Jepang, katanya. Studinya sudah hampir selesai dan sebentar lagi dia akan kembali ke Indonesia. Dan itu artinya, menjelang keberangkatan ke Jepang Hantaman akan mengadakan launching album versi pasar Jepang, dan juga pemutaran video klip kami.

Menurut Kyoko, Februari di Jepang sana adalah masa-masa paling dingin dalam setahun. Aku tak bisa membayangkan akan sedingin apa, mengingat waktu pertama kali aku ke Jepang, aku bisa dibilang hampir tidak tahan dengan udara dinginnya.

“Woi” sapa Anin mendadak, dia baru datang, bersama Bagas, sepupunya yang ajaib itu.
“Woi” balasku sambil melambaikan tangan ke mereka berdua.
“Stefan mana?” tanya Anin sambil celingukan.
“Masih dijalan, tadi bilang gue” jawabku.

Ya, di hari senin ini, memang jadwal kami untuk latihan.

Dan soal Stefan…….

Perlahan dia mungkin sudah kembali bisa bercanda lagi seperti biasa. Tapi getirnya masih terasa. Dia terasa seperti menanti masa-masa kejatuhan dirinya. Dia seperti tidak bisa menerima kehilangan teman lagi setelah aku akan menikah. Aku ingin sekali meyakinkannya bahwa aku tidak akan berubah seperti kakak dan adiknya setelah menikah. Tetapi, memang sulit meyakinkannya, terutama ketika kami jadi jarang ngobrol berdua saja seperti dulu. Menurut pengakuan Ai, dia sering mencoba mengajak ngobrol Stefan soal hal ini, tapi biasanya buntu dan berakhir dengan nada-nada kosong dari ucapannya. Selebihnya menghindar, dan mereka berdua pun jadi jarang bertemu, tidak seperti sebelum tahun baru.

Aku ingin sekali mengajak dirinya bicara, tetapi sekarang, aku sudah sulit untuk mengikatnya agar tidak pergi terlalu cepat setelah latihan. Selain tidak ada daun sialan yang bisa membuat kami melayang bersama, keberadaan Ai yang biasanya jadi teman ngobrolnya dengan bebas kini menjadi hambar juga. Entah bagaimana aku harus mengajaknya bicara.

Di sisi lain, kami sudah tidak nongkrong lagi di Mega Kuningan. Stefan beberapa kali minum-minum sendiri di tempat Cheryl, dan aku malas kesana, karena faktor Kanaya.

“Hei” Stefan datang dengan langkah agak gontai mendekatiku. Anin dan Bagas sedang bersiap-siap di dalam studio.
“Hei” balasku sambil senyum tipis dan berdiri.
“Sori nunggu”
“Gapapa”

Stefan menyalakan rokoknya dan dia duduk di teras. Dia melirik ke dalam sebentar, melihat Bagas yang sedang menyetel drumset dan Anin yang sedang menyetem bass.

“Enaknya jadi vokalis, suara lo ga butuh di setem” senyumnya tipis, bermaksud bercanda dengan canggungnya.
“Tapi sekalinya ancur ga bisa dibeli lagi” balasku.
“Gak salah”
“Ntar malem free?” aku mencoba mengajaknya bicara, terpaksa, daripada berlarut-larut lagi.

“Free aja kali”
“Good”
“Emang kenapa?”
“Gapapa, udah lama kita ga ngobrol”
“Ngobrol ama lo kalo gak ngegele gak asik” sahutnya sambil menghembuskan asap rokoknya.

“Kan bisa aja sambil lo minum”
“Gapapa emang kalo ketemu Kanaya?” tanyanya.
“Gapapa harusnya, dan lagian, masih banyak tempat laen kan buat nongkrong, kayak tempat ngopi gitu”

“Ngopi?”
“Iya” senyumku.

“Lo pikir gue cewek rumpi?” sinisnya.
“Temen kuliah gue ada yang punya coffee shop oke di Kemang?” tawarku dengan senyum dipaksakan.
“Punyanya si Zul kan?” teriak Anin dari dalam.

“Iya” sahutku.
“Gue ulang lagi, lo pikir gue cewek rumpi?”
“Cewek rumpi ngopinya di setarbak, caffee latte atau mocha apaan, ini kayak tempatnya Kyou Kun gitu tauk” jawabku panjang.
“Serah, tapi lo yang nyetir” dan Stefan pun menyerah.

“Tar bareng aja kita berempat” senyumku.
“Gue gak” dua kata dari Bagas yang sudah menyimpulkan semuanya.

“Gue juga ga bisaaaaa” rajuk Anin.
“Yowes, gue ama Mas Epan aja” senyumku sambil masuk ke studio.

“Tai”

--------------------------------------------

dsc_8810.jpg

“Lo ngapain sih Fan?” tanyaku bingung, Stefan tampak sedang berusaha mengambil foto perempuan yang sedang duduk nun jauh disana, di pojok sebrang kami. Tentunya dengan diam-diam.

“Cakep soalnya” seringai Stefan.
“Gak elo banget ini… Malah kayak Anin” tawaku.
“Biarin dong, sekali kali” Stefan menyalakan rokoknya, setelah habis mengambil foto secara diam-diam.

“Makanya, sekali-kali, itu gak kayak Stefan banget”
“Emang Stefan harusnya kayak gimana?” Stefan menghirup asap rokoknya dalam-dalam, dan mengeluarkannya dengan cuek.

“Kalo ada yang begituan biasanya langsung cari cara buat ngangkut ke kasur” senyumku aneh.
“Yah….”

“Emang kenapa sih kalo gue kawin?” tanyaku langsung, supaya pikiranku dan pikiran Stefan tak berlarut-larut.

“Yah… Bagus buat lo sih… Bagus buat Kyoko juga kali” jawabnya cuek, menyembunyikan perasaannya.
“Nah… bagusnya apaan?”
“Bagus aja”
“Biasanya ga suka kalo denger berita orang kawin?”
“Siapa bilang?”

Sumpah, rasanya seperti sedang mengajak bicara perempuan yang sedang mens atau PMS.

“Fan, elo…”

“Sori lama” mendadak Zul datang dan menaruh pesanan kami berdua di meja.
“Wah, makasih Zul”
“Gue yang makasih, udah lama juga ga liat elo, terakhir lo kesini pas insiden siram kopi itu kan” tawanya.

“Wah semua masih inget yak” senyumku getir.
“Gimana gak inget, itu epic banget tau….”
“Maap yak lakinya sepupu gue bikin ulah waktu itu” aku meminta maaf atas nama suaminya Dian.

Ya, pernah ada kejadian seperti itu disini. Di tempat ini, suaminya Dian melakukan aksi siram kopi panas ke salah satu teman kuliahnya. Kejadiannya heboh, dan aku melihatnya sendiri. Saat itu acara buka bersama teman-teman kuliahku, dan sang tersangka waktu itu sedang putus dengan Dian. Dia membawa pacarnya waktu itu, seorang gadis mungil berkaca mata yang terlihat lebih muda dari umur aslinya.

Salah seorang temanku yang memang menyebalkan, Bram, mencecar dirinya dengan pertanyaan seputar Dian. Dan akhirnya kopi panas tumpah ruah ke muka Bram. Bram tersulut emosinya dan nyaris terjadi bangku hantam.

Aku melihat kejadian itu dari atas panggung. Aku sedang menyanyikan entah apa, aku lupa, tapi yang pasti lagu alternative rock 90an. Dan waktu itu aku mendadak tercekat, melihat kejadian itu. Entah apa rasanya disiram kopi panas. Mungkin panasnya tak seberapa, tapi malu dan lengketnya luar biasa. Dan entah kenapa ada perasaan puas melihat itu. Harap maklum, Bram memang public enemy laten. Dia memang selalu rajin datang ke acara reuni maupun kumpul-kumpul alumni dan rela repot-repot mengurus acara dan segala urusan tetek bengeknya, tapi kelakuannya memang mengesalkan dan mulutnya sangat tidak bisa dijaga.

Imbang sebenarnya, dan karena itu kami tidak ada yang berani memusuhinya. Bukan tidak berani mungkin, tapi lebih ke malas. Beda dengan suaminya Dian yang memang orangnya baperan. Baperan. Istilah jaman sekarang. Haha.

“Ya, lo tau kan semua orang nunggu kesempatan yang tepat buat nonjok si Bram?” tawa Zul
“Iya sih”
“Dia dapet duluan, enak banget, nyiram kopi lagi” Zul lalu kemudian berlalu untuk kembali ke singgasananya sebagai peracik kopi sekaligus pemilik café.

“Emang ada kejadian apa?” tanya Stefan dengan nada sok cuek. Matanya ternyata sedang memperhatikan perempuan yang tadi, dari jauh.
“Lakinya sepupu gue, si Dian, pernah berantem ama orang disini”
“Oh, rame dong”
“Mayan”

“Ayo gih berantem juga, sama bapak yang duduk disana misalnya” canda Stefan tak lucu. Dan dia sadar kalau itu tak lucu.
“Apaan sih” balasku dengan tatapan bosan.

"Dinikmatin ya Kopinya..." Zul tertawa sambil berlalu, menuju balik counter lagi. Dan Stefan mengalihkan perhatiannya lagi.

“Tuh liat, cewek-cewek rumpi” Stefan melirik dengan matanya ke arah kumpulan disana, meja perempuan tadi dan teman-temannya.
“Daripada lo ngomentari mereka, mending gue tanya lagi ke elo…. Apa yang ngeganggu pikiran elo sejak dari Bandung, gak enak tau liat lo hambar dan keliatan basi kayak gini” aku menyeruput kopi yang luar biasa enaknya itu. Lebih enak dari racikannya Kyou-Kun malah.

“Tau”
“Anjir ngomongnya, udah kayak cewek rumpi lagi PMS” ledekku sambil berusaha membuatnya bicara.

“Dan lo malah yang sekarang bacotnya kedengeran kayak gue” senyum Stefan tipis sambil melirik ke arah meja cewek-cewek rumpi itu.

“Fan, gue ga pernah nyaman liat lo kayak gini, dan gue jadi trauma, inget kejadian A.E.U.G.” jelasku.
“Lo emang pengen banget gue ngomong atau curhat ya? Kedengeran kayak gay best friend banget sih elo” sinis Stefan lagi.
“Terserah, gue Cuma mau bikin Hantaman jadi nyaman lagi” senyumku getir.

“Ada syaratnya”
“Apa, temenin lo minum? Bawa lo ke rumah lagi dengan kondisi mabok? Itu sih selalu siap” balasku.
“Bukan”
“Apa?”

“Itu, cewek yang tadi gue diem-diem foto…” tunjuk Stefan dengan rokoknya.
“Apaan?”

“Lo harus bisa selfie ama dia dan minta nomer telponnya”

“Hah?”

Aku melongo.

“Jangan bengong, kalo lo bisa selfie ama dia dan dapet nomer telponnya, gue paksain supaya gue ngomong deh” Stefan bersandar dengan malas dan lalu menghembuskan asap terakhir dari batang itu, sebelum mematikan rokoknya di asbak.
“Bangsat”
“Lo pikir bakal gue bikin gampang?” tantang Stefan dengan muka sombong.

“Apaan sih”
“Kalo gue bisa cepet…. Tapi gue diem aja sekarang, liat elo… Entah gimana caranya”
“Emang dia siapa juga? Kalo mendadak gue minta selfie sama dia itu aneh”
“Masa gak kenal?”
“Siapa emang?”

“Masih inget Arwen?”
“Lord of the Ring?”

“Bukan bego… Kita pernah di interview sama dia, dia kan penyiar radio” Stefan lantas menyebutkan nama sebuah radio yang terkenal di Jakarta. Stasiunnya ada di Jakarta Selatan, Selatannya lagi.

“Oh… Lupa gue mukanya”
“Noh, yang paling cakep diantara mereka, rambut sebahu asimetris” tunjuk Stefan dengan mulutnya. “Makanya sebenernya gampang kalo mau minta nomer handphone dia dan segala macemnya kan?” tawanya lagi.

Aku tertegun. Pertama, aku rasanya sudah lama tidak melakukan hal ini, dan entah kenapa bayangan Kyoko memenuhi kepalaku.

“Tenang, gue ga akan bilang ke bini lo” Stefan menyalakan rokok lagi sambil mulai meminum kopinya.
“Hmm……” aku masih bingung, dan tampak celingukan. Hingga akhirnya mataku tertuju ke satu sudut. Bukan, bukan ke Arwen. Tapi ke arah panggung kecil, dengan mikrofon yang nangkring disana dan sebuah gitar akustik elektrik yang nganggur. Liat aja Fan, gue juga bakal bikin ini gak gampang buat elo.

Aku beranjak dengan mendadak, dan berjalan ke arah Zul. Stefan tampak menahan senyumnya melihat pergerakanku. Intinya untuk membongkar Stefan, aku akan mencobanya.

“Eh, gue beresin utang manggung gue ya?” aku berbisik pada Zul.
“Eh? Sok aja, tapi gitarnya dah lama gak disetem, masih inget kan nyalain mik sama amplinya gimana?” bingung Zul mendadak.
“Ah gampang”

Aku mulai naik ke atas panggung kecil itu, lalu membuka jaketku dengan gerakan yang sok dibuat canggung. Aku menaruh jaketku di punggung kursi di atas panggung itu, dan mulai mengambil gitarnya. Memang amburadul setemannya. Tapi tak apa. Telingaku cukup sensitif untuk menyetem gitar.

Perlahan aku memperbaiki setemannya dan tak lama kemudian beres. Aku melirik ke arah Stefan yang tampaknya penasaran akan seperti apa langkahku. Dan aku di dalam hati juga bingung, tapi untungnya aku bisa berpikir dengan cepat. Aku bangkit lagi, menyalakan ampli dan microphone. Setelah yakin semuanya baik-baik saja, aku duduk di kursi dan memeluk gitar.

“Malem semuanya” suaraku sedikit bergema di café itu.
“Malem…” kebanyakan dari mereka bingung, termasuk Arwen. Mereka tampak menatap ke panggung dengan tatapan menyelidik. Siapa orang ini? Perlahan-lahan beberapa dari mereka mulai menyadari siapa yang ada di panggung.

“Biasanya Stefan kan ya yang nyanyi” aku menunjuk ke arah Stefan, dan semua orang menatapnya. Dan lantas mereka sadar siapa aku. Aku bisa melihat Arwen melirik ke arah temannya, dengan gerakan mulut yang seakan bertanya, “itu Arya nya Hantaman?” dan temannya mengangguk. Dia lantas mengangguk.

“Malem ini saya mau nyanyi ah, ada utang nyanyi sama café ini soalnya…” senyumku dan lantas kemudian memainkan sebuah lagu yang memang kuhapal.


Ya, Guaranteed dari Eddie Vedder, vokalisnya Pearl Jam. Not demi not kumainkan dan suaraku mun mulai bergema. Suara gitar dan suaraku yang bercampur membuat suasana mendadak hening. Mereka memperhatikan ke arah panggung, memperhatikan aku yang biasanya bersama Hantaman berjingkrakan di panggung, kini memainkan lagu balada manis yang membuat hanyut. Tunggu saja kalau mereka sadar aku dulu sering main di beberapa acara sebagai gitaris Jazz, pasti lebih kaget lagi.

Aku biarkan mereka menikmatinya.

Dan untung lagunya pendek, jadi tak butuh banyak waktu yang kuhabiskan. Aku tersenyum kearah yang menonton, karena mereka kaget Arya bisa nyanyi. Haha. Belasan orang disini, not bad. Dan salah satu dari belasan orang itu Arwen.

Aku lantas menghela nafas.

“Ada yang mau request gak, saya gak prepare apa-apa soalnya” Dan aku melirik ke arah penonton. Beberapa dari mereka antusias dan sekitar tiga orang mengangkat tangannya. Salah satunya adalah Arwen. Gotcha. “Mbak yang sini” aku menunjuk ke arah Arwen. Bisa kulihat dari sudut mataku orang yang lain tampak kecewa karena dia merasa mengangkat tangannya terlebih dahulu. Ya memang benar, ini semua skenario kok. Skenario demi setan yang sedang menahan senyumnya dari tadi.

“Imaginenya John Lennon” senyum Arwen, berharap aku langsung klik dengan lagunya.
“Bentar-bentar, saya cari dulu liriknya” aku mendadak berkutat dengan handphoneku.

“Kapan lagi lo dinyanyiin ama rocker” bisik temannya, dan bisa kudengar dari arah panggung, dan aku pura-pura tidak mendengarnya. Acting natural saja Ya, mereka gak tau ini skenario demi Stefan.

“Eh, bentar… Kok gak ada sinyal ya….” bingungku pura-pura.
“Pake Wifi aja Ya” teriak Zul.
“Wah dipassword ya?” aku beralasan dan aku pura-pura terlihat repot di atas panggung.

“Ah ribet lo, sini gue googlingin” teriak Zul lagi.
“Jangan elo dong yang ribet Zul…. Yang request dong yang ribet” senyumku tipis ke arah Arwen. Dia pun membalas senyumku dan dia bangkit, berjalan pelan ke arahku. Dia lantas memberikan handphonenya ke diriku.

“Pake HP saya aja, biar gak ribet” senyumnya.
“Lah ntar kalo ada yang nelpon gimana?”
“Eh iya ya?”
“Udah kirim aja liriknya sini” pintaku dalam bohong.

“Bentar, saya wassapin mau?”
“Kan ga jelas sinyalnya, smsin aja” tawaku.

“Nomernya berapa?” tanya Arwen.
“087888810952” ucapku pelan, menjauh dari mikrofon.

“Woi jangan tukeran nomer Hape!!” teriak Stefan yang mendadak terlihat bersemangat.
“Berisik” teriakku balas.

Dan tak lama sebuah pesan panjang tiba dari sebuah nomer asing. Nomernya Arwen. Gotcha. Dan satu lagi, selfie.

“BTW, Masih inget gak?” tanyaku pelan, sebelum ia mulai kembali duduk.
“Iya…. Aryanya Hantaman kan?” senyumnya balik menyelidik.
“Gak salah, BTW, Mmm…..” Aku sengaja pura-pura lupa namanya, sambil menunjuk-nunjuk ke dirinya.

“Arwen”
“Ahh.. Iya Arwen, masih di radio yang itu?” tanyaku, merujuk ke stasiun radio, dimana dia bekerja.

“Udah enggak, pindah ke yang lain” jawabnya sambil senyum, sambil memberitahu nama stasiun radio yang tak kalah terkenal juga.

“Udah lama gak ketemu ya?” tawaku.
“Iya, gue sangkain tadi bukan elo” dia tertawa juga, karena agak canggung, jadi tawanya agak garing.

“Jangan ngobrol, Monyet!” teriak Stefan, berusaha menggangguku.

“Berisik” teriakku ke Stefan. “BTW, karena udah lama gak ketemu, harus diabadiin” tawaku ke Arwen, dan langsung dengan gerakan cepat aku membuka kamera handphone dan Arwen pun pasrah, selfie berdua dengan Arya, gitaris Hantaman. Kami berpose seadanya, dan memang kami hampir menempel, tapi tak apalah, posisinya toh tak enak karena aku sedang duduk memeluk gitar.

“Udah cukup, sekarang kita main musik” tawaku.
“Haha, ntar abis main ngobrol ya?” Arwen melambaikan tangannya kepadaku.
“Boleh” balasku. Lalu kemudian dia beranjak dari panggung dan duduk kembali.

“Lo dimodusin kayanya” bisik temannya, dan aku membaca gerak bibirnya, toh agak kedengaran juga, karena suasana memang sepi.

“Kagak ih” jawab Arwen.
“Seriusan”
“Udah dengerin dia nyanyi aja”

“Nah, Imagine kan?” tanyaku lagi ke arah Arwen. Dia mengangguk. Aku sejenak mengintip ke arah Stefan. Dia terlihat tersenyum bangga sambil bertepuk tangan tanpa suara. “Oke, Imagine dari John Lennon”


--------------------------------------------

latte_10.jpg

“Kalo sampe Kyoko tau… Awas lo” aku menunjuk-nunjuk muka Stefan dengan gerakan cepat. Stefan hanya tertawa geli, bertingkah seakan dari tadi dia tidak galau.
“Hebat anak Bu Yuniarti, bener-bener penakluk wanita sejati” komentar Stefan.
“Taik”
“Si Arwennya baper kayaknya men” tawa Stefan.

“Boong”
“Nih”

Stefan memperlihatkan Instagramnya Arwen ke diriku “just found out that @aryaAAG could sing this good, love it!! <3 <3 <3” dan ada foto diriku sedang menyanyi tadi dengan angle yang bagus. Aku tidak menyadarinya. Sedangkan sang pengambil foto sudah pulang, setelah berbicara sedikit denganku. Dan dia tadi melambai lucu kepadaku sebelum pulang.

“Dia follow elu loh, kayaknya patah hati ntar, liat foto elo sama Kyoko dan foto lo bedua pamer cincin tunangan” tawa Stefan.
“Monyet” aku mengacak rambutku dan merebahkan diriku di kursi.
“Ahahahahaha”

“Lo punya utang ngomong ama gue Fan… Kalo sampe malem ini gak ngomong, gue siram kopi juga” kesalku.
“Bentar, gue masih euforia nih, udah lama gue gak seseneng ini” tawa Stefan lagi.

Aku hanya menggelengkan kepala, sambil melihat selfieku berdua dengan Arwen. Ya ampun, mikir apa aku tadi. Setelah dipikir-pikir, kejadian tadi seperti skenario modus mengakrabi perempuan. Tak heran Stefan tak henti-hentinya ketawa.

“Hahhh…. Payah” lanjut Stefan
“Gue payah?”

“Bukan, gue yang payah” senyumnya malas sambil menyalakan rokok.
“Maksudnya?”

“Jadi… Gue jujur aja, gue ngerasa down dan payah akhir-akhir ini, seenggaknya setelah gue tau detilnya elo sama Kyoko mau nikahnya kayak gimana” dia menghela nafas.
“So?”
“Iya, gue kecewa sama diri gue”
“Bukan marah sama gue?”
“Tadinya, tapi lama-lama gue berasa bego, waktu tau gue marah pas denger Kyoko bela-belain pindah agama dan tinggal di Jakarta”

“Dan?”
“Elo sama Kyoko keliatan ga bisa dipisahin, dan kalian berdua udah gak bisa mundur lagi, karena emang itu pilihan kalian” lanjutnya. “Dan gue kecewa sama diri gue, setelah kejadian gue kayak kehilangan kakak dan adik gue, gue kecewa karena gue liat kalian bahagia dengan pilihan untuk nikah dan berkomitmen, sementara gue ngerasa hidup gue bakal ancur kalo gue ngelakuin hal yang sama dengan kalian….”

“Orang kan beda-beda Fan” komentarku.
“Diem dulu”
“eh?”

“Gue ngerasa apa gue emang payah karena ga bisa berkomitmen dan nikmatin rasa settle yang kalian idam-idamkan itu”
“Gapapa juga lo gak mesti settle kalo lo gak suka” balasku.
“Masalahnya gue gak sukanya sampe gue sinis sama kalian” potong Stefan.

“Oh.”
“Dan itu gak wajar… Gue pinginnya bisa biasa aja walau gue gak mau kayak begitu” Stefan menghisap rokoknya lagi.

“Yah gimana ya” aku tampak bingung melihat kondisi pemikirannya. Kompleks. Dia sudah beranjak dewasa, tapi dia sama sekali tidak ingin settle, sampai sebegitu antinya melihat orang yang settle dan berkomitmen. Tetapi dia tidak suka dengan kondisi antipati dirinya. Ia ingin biasa saja, makanya batinnya konflik dan dia jadi lebih banyak diam, terutama akhir-akhir ini.
“Udah gue duga lo bakal bingung Ya” komentarnya.

“Walau gue bingung seenggaknya gue mau denger” balasku.
“Yah, mayan lah, lagian males kalo gue ngobrol hal ini sama adek lo… diceramahin yang ada, dia cerewet banget yak sama gue” ucap Stefan pelan, sambil menerawang ke arah langit-langit café.

“Kalo gue bilang waktu yang bakal nyembuhin perasaan lo ngaruh gak?” tanyaku dengan tololnya.
“Ini aja udah mau sebulan rasanya gak enak gini, ahahaha” tawanya dalam getir.

Aku tersenyum dengan awkwardnya.

“Ah persetan lah Ya, gue nikmatin aja perasaan ancur ini, dan lucu juga elo sama adek lo berusaha ngebongkar gitu, seakan-akan kalian dosa ama gue…”
“Ya gimana Fan, namanya juga temen” aku memainkan jariku di cangkir kopiku.

“Temen… Taik… Sok peduli… Udah lah, kita ke Jepang dulu, terus elo kawin, baru lo boleh mikirin gue” ucapnya pelan, dengan perasaan siap untuk menerjang masa depan yang tak pasti bagi dirinya.

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Bangun pagi, sambil minum kopi, sudah tersaji update dari Om @racebannon,

TOP dah, sukses selalu menyertaimu dalam bekerja dan berkarya. :top:
Dan sehat selalu.
 
orang trauma kalo orangtua nya gak harmonis, ini malah trauma kalo bapak emaknya harmonis.. paaan empan..
 
Bimabet
“Masih inget Arwen?”
“Lord of the Ring?”

Si nganu jadi Arwen Evenstar nya TLOTR.:pandaketawa:
Apa ini tanda2 nya MDT 2 akan di Revival juga om?

Released ulang ya om..ya...ya... plisss

Makasih dulu ah apdetannya:D
 
Terakhir diubah:
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd