Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT MDT - REVIVAL - SEASON 1 (racebannon)

Menurut Kalian, Siapakah "Bastardverse" Best Couple?

  • "Aku" & Dian (The Lucky Bastard)

    Votes: 12 7,5%
  • "Aku" & Nica (The Lucky Bastard)

    Votes: 2 1,3%
  • "Aku" & Anggia (The Lucky Bastard)

    Votes: 41 25,8%
  • Arya & Kyoko (Matahari Dari Timur)

    Votes: 51 32,1%
  • Anin & Zee (Matahari Dari Timur)

    Votes: 2 1,3%
  • Stefan & Semua yang dia tiduri (Matahari Dari Timur)

    Votes: 23 14,5%
  • Amyra & Dipta (Amyra)

    Votes: 6 3,8%
  • Gilang & Saras (Penanti)

    Votes: 2 1,3%
  • Gilang & Tara (Penanti)

    Votes: 3 1,9%
  • Bryan & Tika (Amyra)

    Votes: 1 0,6%
  • Rendy & Anggia (The Lucky Bastard - Matahari Dari Timur)

    Votes: 14 8,8%
  • Adrian & Anggia (The Lucky Bastard - Matahari Dari Timur)

    Votes: 2 1,3%

  • Total voters
    159
  • Poll closed .
Udah dobel update. untung belon jauh. Ada Tatsuro Yamashita lagi mantap.

Om @racebannon, memang top.

Sukses selalu menyertaimu Om dan sehat selalu. :top:
 
MDT SEASON 1 - PART 63

--------------------------------------------

wayang10.jpg

Suasana malam itu agak sedikit sejuk, karena memang tadi sore hujan turun dengan derasnya. Dan hujan tersebut sempat menghalangi perjalanan kami ke Taman Mini Indonesia Indah, tepatnya di Candi Bentar. Candi Bentar, salah satu sudut yang terkenal dari TMII, merupakan tempat yang menjadi tempat rutin untuk melaksanakan pagelaran Wayang Kulit di Jakarta. Berbagai macam dalang, dengan berbagai macam cerita sudah mewarnai panggung ini. Jika sebelum hari besar atau malam minggu, yang mentas adalah dalang terkenal yang mungkin kita sudah lihat dia wara-wiri di televisi nasional sebagai bintang iklan obat sakit kepala, di malam hari kerja penampilnya adalah dalang yang tidak seterkenal beliau.

Masih teringat tadi, di saat hujan datang, aku dan Kyoko terpaksa menyingkir dan berteduh di sebuah halte bis. Kami lantas memandangi kemacetan dan kesemrawutan Jakarta, berdua. Pemandangan yang dinikmati oleh Kyoko dengan senyuman yang manis. Senyum yang menyatakan, bahwa ia siap untuk tinggal di hutan ganas khatulistiwa ini, hutan beton tepatnya.

Jakarta, kota yang penuh dengan ketidak teraturan yang beraturan ini, memang selalu menyimpan magnet buat siapapun, untuk membenci sekaligus mencintainya.

Kami duduk berdua sekarang, di pelataran Candi Bentar, untuk menyaksikan lakon Topeng Wojo, yang akan dipentaskan sebentar lagi disini. Beberapa penonton juga ada di area yang sama dengan kami, dan kebanyakan berusia lebih tua dariku. Sekitar 45-60 an, kurasa, rerata umur mereka. Yang tampangnya terlihat masih muda dapat kuhitung dengan jari, termasuk diriku sendiri.

Dan kegiatan malam ini, menonton wayang merupakan inisiatifku. Mungkin ketika aku di Jepang, aku terlalu terlena oleh modernitas dan kepastian yang selalu terpampang di Tokyo. Mungkin tidak ada salahnya jika aku mengimbangi itu semua dengan mengalirkan energi kebudayaan Indonesia kepada Kyok. Tidak ada salahnya. Kaya yang sepertinya terdengar kurang tepat, haha. Bagaimanapun, untuk turis asing seperti Kyoko, hal-hal seperti ini selalu menarik. Dan aku jadi menyesal kenapa aku tidak pernah menyukai kesenian tradisional sebegitunya. Padahal kesenian seperti inilah yang jadi identitas budaya Indonesia.

“Ano, monogatari wa?” Kyoko menanyakan tentang cerita lakonnya.
“Topeng Wojo” jawabku.
“Topen…. Wojo?”
“Tetsu no Kamen”
“Wakarimashita…. Dan… Tentang?” tanya Kyoko lagi.

“Kyoko tahu Mahabarata, wakarimasuka?” tanyaku.
“Mahabaruta… Yomete…” oh, udah pernah baca dia. “India no monogatari, to.. juga terekenal di Indonesia.. Kyoko tahu ceritanya..” senyumnya.

“Nah jadi, di Mahabarata ada tokoh, namanya Gatotkaca, anaknya Bima, salah satu Pandawa” Kyoko manggut-manggut saat aku berusaha menceritakan tentang lakon Topeng Wojo kepadanya. “Gatotkaca dapet hadiah dari para dewa, berupa topeng baja, Tetsu no Kamen, tapi ada orang yang iri, namanya Boma Nakasura, anaknya Krisna” Kyoko memperhatikanku dengan lekat, dia menatapku dengan muka yang penuh rasa ingin tahu.

“Terus, si Boma Nakasura ini mau curi topeng itu dengan berubah wujud jadi Gatotkaca, tapi ketauan ama sepupunya Gatotkaca, yaitu Wisanggeni. Terus Boma Nakasura diberantemin ama Wisanggeni yang dibantu ama Petruk…” aku mengambil nafas.

“Terudengar omoshiro” senyum Kyoko.

“Nah, jadi…”
“Jyangan diceritakan semua, Aya, nanti.......” potong Kyoko.
“Demo Kyoko, ini gak pake Bahasa Indonesia wayangnya, jadi kita harus tau ceritanya dulu kali biar ngerti, kalo bisa bahasanya ya enak, ga tau ceritanya lebih dulu juga asik asik aja” aku memberitahunya sambil mengacak halus rambutnya dengan tanganku. Lucu. Pacaran nonton Wayang Kulit.

“Bahasa apa Aya?”
“Jawa”
“Ah… Hai… Bahasa di Indonesia wa takusan ya….” Banyak, maksudnya.
“Iya, banyak suku dan banyak pulau sih” senyumku.

“Karau begitu, lanjut cerita, Aya”

“Nah, Wisanggeni plus Petruk versus Boma Nakasura ini ga ada yang menang, soalnya Boma Nakasura kabur ke tempat dewa-dewa, di kahyangan, dengan wujud masih wujud Gatotkaca. Diambillah si topeng itu, dan Gatotkaca yang telat dateng keduluan. Akhirnya dia ngejar si Boma Nakasura….”

“Lalu?”
“Ternyata, Petruk punya ambisi juga, dia pengen jadi raja… Sama Wisanggeni, disuruh supaya dia berubah bentuk jadi Boma, dengan cara nyuri baju Boma… Disisi lain, Boma berantem ama Gatotkaca, terus kalah, dia mati”

“Selesai ceritanya Aya?”
“Belom” tawaku.
“Eee…” Kyoko tampak bingung karena ceritanya sepertinya panjang.

“Nah, Boma ini bisa hidup lagi, terus bapaknya, Krisna takut anaknya diberantemin terus, dia nemuin Pandawa, bawa anaknya yang masih berbentuk Gatotkaca, terus ngaku kalo dia Gatotkaca asli dan berhak atas topeng baja itu. Ternyata, setelah dibuktiin mana yang asli dan mana yang bukan di hadapan Pandawa, ya jelas kalah lah Boma, jadi dia harus nyerahin Topeng Baja ke Gatotkaca….. Nah karena Krisna takut Boma dihukum, maka dia bawa si Boma balik ke kerajaannya, yang ternyata si Petruk ada disana, nyamar jadi Boma dan mimpin negara…”

Kyoko lalu tertawa mendengar bahwa Petruk memimpin negara dengan menyamar selama Boma tidak ada di kerajaannya. Tentunya tadi, sebelum berangkat aku menerangkan singkat soal pewayangan dan memberitahukannya anggota-anggota Punakawan dan fungsi mereka sebagai comic relief di lakon Wayang Kulit maupun Wayang Golek.

“Nah lalu…”
“Nomu?” Kyoko menyodorkan tempat minum kepadaku, yang langsung kusambut sambil tersenyum. Dasar, perhatian sekali dia dengan segala sifat keibuannya. Lantas sehabis minum, kubereskan ceritanya.

“Nah, Boma ga bisa balik wujud ke wujud asli, karena Petruk kan berubah jadi Bomanya nyolong baju, jadi Boma harus ambil baju dia lagi dari Petruk. Akhirnya Wisanggeni muncul, nawarin ke Boma, apa dia tetep jadi wujud Gatotkaca dan nerima Topeng Baja dan dia ga punya kerajaan lagi, atau dia balik ke wujud Boma, dengan mendapatkan kerajaannya lagi, tapi ga punya Topeng Baja. Akhirnya dia menyerah, dan dia kembali ke wujud semula”

Akhirnya, selesai juga aku menerangkan cerita Topeng Wojo.

--------------------------------------------

guitar10.jpg

“Totemo Omoshiro…” kenang Kyoko atas lakon yang ia tonton tadi. Aku baru saja memarkirkan motorku di rumahku, di malam yang sudah selarut ini. Kyoko masih terkesima, dan masih berdiri memeluk helm. Sepertinya ia tertegun oleh kemegahan musik gamelan, permainan bayangan oleh sang dalang, serta cerita yang berapi-api yang dia tadi dengar dari mulut dalang, walaupun dalam Bahasa Jawa.

Untung aku sudah riset terlebih dahulu ceritanya, jadi kami bisa lebih menikmatinya tanpa subtitle, apa sih Ya.

Kami berdua lantas berjalan ke lantai atas, dan aku mengantarkan Kyoko ke kamar tamu.

“Seramat tidur Aya…” senyum Kyoko sambil menarik hidungku.
“Oyasuminasai” aku membalasnya dengan menarik hidungnya juga. Tenang Arya, tak lama lagi kalian dalam hitungan dua bulan akan sulit dipisahkan. Tidur bersama setiap hari sebagai suami istri, dan lain-lainnya yang selalu dilakukan bersama. Aku lantas merayap ke kamarku, menutupnya dari dalam, dan segera melempar badanku kekasur. Besok siang ke sore ada rekaman Pierre T lagi, yang memang dalam fase stuck. Dan itu wajar, membuat album itu prosesnya menggila.

Telat, terlambat, dan ketidakpuasan selalu menghampiri para musisi yang sedang membuat album. Dan album soloku apa kabar? Stuck terus-terusan begini? Ah, sudahlah, jangan menambah masalah baru lagi dengan mencoba membuatnya dalam waktu dekat, sudah cukup dengan masalah Kanaya dan Stefan.

Oh ya, hari ini katanya tadi Ai makan malam dengan Stefan. Aku dan Kyoko memang meminta tolong langsung kepada Ai untuk membongkar pemikiran Stefan. Lebih karena mereka berdua menjadi begitu akrabnya, bahkan tampaknya mengalahkan keakrabanku dengan Stefan, setelah pulang dari trip Jepang, yang kami manggung di Fuji Rock Festival. Ai memang kaget tadi disaat aku memintanya secara langsung. Dia bilang, emangnya aku pacarnya dia. Dan ketika aku menjabarkan maksudku lebih lanjut, dia malah makin pusing, katanya, dia kan bukan psikolog.

Memang bukan, tapi aku butuh orang lain yang approach Stefan, dan setidaknya aman dari makian dan segala cercaannya yang mungkin muncul ketika dia sedang emosi. Ini Ai, bukan aku. Setidaknya sampai sekarang, Ai dan Stefan masih lengket berteman tanpa ada konflik diantara mereka.

Setelah permohonan yang alot dan penjelasan yang super panjang lebar dari diriku soal kondisi Stefan akhir-akhir ini, Ai lantas menyerah. Aisyah Ariadi Gunawan menyerah pada kakaknya, Achmad Ariadi Gunawan. Ai tanpa banyak berkata-kata lagi langsung menggunakan sosial media untuk menghubungin Stefan, mengajaknya makan malam bersama. Dan Stefan langsung mau. Sepertinya Stefan pun membutuhkan teman. Teman untuk bicara panjang lebar tanpa harus ada yang merasa gak enak gak enakan.

Dan sekarang aku tidak dalam posisi itu lagi. Entah mengapa Stefan, walaupun dia sangat suportif akan hubunganku dengan Kyoko, dia tampaknya sangat alergi dengan keputusanku untuk menikah, apalagi dengan keputusan Kyoko yng akan tinggal di Indonesia. Ah, sudahlah, biarkan aku dengar berita tentang isi kepala Stefan besok. Langsung dari Ai.

--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------

“Aku udah ngobrol sama Stefan” mulai Ai. Aku menatapnya lekat di meja makan, di pagi hari sebelum semua aktivitas dimulai. Kyoko sedang mandi pagi diatas, sementara aku masih dengan baju tidurku yang terlihat compang camping dan bodoh. Ai sudah siap untuk berangkat ke kantor, dan ibuku sedang menyiapkan sarapan pagi.

“Dan?”

“Mas tau kan, dia biasanya ceplas-ceplos, dan kemaren mendadak dia susah banget dibongkar”
“Terus?”
“Iya, intinya secara gak langsung dia bilang ke aku, kalo dia bener-bener ngerasa kalo pernikahan dan hubungan berkomitmen itu adalah sesuatu yang bodoh” jelasnya.
“Tapi kenapa harus aku yang jadi sasaran? Perasaan pas aku dulu sama Karina dia gak kayak gini, biasa aja” sanggahku.

“Mungkin karena dulu pola hubungan Karina sama Mas seimbang, gak ada yang submissive dan gak ada yang jadi subordinat macem Kyoko sama Mas”
“Dan harap tau hubunganku sama Kyoko polanya gitu karena itu semua otomatis. Gak ada yang maksain dan gak ada yang nyuruh-nyuruh” jelasku.
“Paham, tapi keliatannya Stefan alergi banget sama hubungan yang model gitu”

“Itu egois dong namanya, masa dia yang gak suka, kok aku yang jadi pelampiasan rasa keselnya?”
“Mungkin karena dia bisa protes ke Mas Arya? Kalo ke orang tuanya kita bisa liat sendiri kan? Dia gak berdaya gitu….”

Aku melirik sejenak ke ibuku yang dari tadi mendengarkan tanpa berkomentar. Sejenak ia tersenyum kepadaku, mengharapkan masalah ini cepat selesai sepertinya.

“Dan aku penasaran gimana awalnya dia kayak gitu” bingungku.
“Kemaren aku susah banget ngebongkarnya, mati-matian baru bisa….. Dan itu kita udah kayak orang lagi ngebahas apaan tau sampe lama kita makan malemnya……” Ai tersenyum kaku, memperlihatkan giginya yang putih dan berderet rapih.
“Yakni?”

“Simple sebenernya, pertama dia ngeliat orang tuanya kan, mas tau sendiri. Orang tuanya itu orang tua baik-baik dan kaku, orang gereja banget dan bener-bener orang saleh” Ai lalu menarik nafasnya panjang. “Dia temen nakalnya dari jaman remaja sampe kuliah kan kakaknya sendiri” lanjut Ai.
“Itu aku tau, dan terus?”
“Ya sejak kakaknya nikah, nakalnya ilang, dan jadi kayak orang insyaf gitu, bener-bener jadi kopian bapaknya. Sama istrinya juga keliatan pola hubungannya jadi sama kayak pola hubungan orang tuanya….”

“Oh jadi dia kecewa ya sama kakaknya?” aku mengambil kesimpulan.
“Bisa jadi gitu”
“Kamu tuh lulusan Ekonomi apa psikologi sih dek…” candaku ringan ke adikku.
“Hus, ini mati-matian tau untuk ngebongkar dia, most of the stories kita udah denger semua, tapi kita Cuma tau kulit-kulitnya, kita semua tau kan dia heavy drinker dan jadi brengsek total walau tetep punya moral gara-gara dia jadi ga ada temen bandel….” Jelas Ai panjang.

“Dan di Hantaman dia gak punya temen bandel, paling bandel yang bisa diajak ngobrol masalah yang nakal-nakal Cuma aku doang kan? Anin walau minum dan ngerokok orangnya juga lurus, Bagas apa lagi, dan Sena agak alay… Hahahaha” tawaku.
“Iya, udah gitu mas kan walau ga minum dan ga ngerokok tapi bisa diajak ngobrol sama dia dan jadi tempat lapor kenakalan Stefan kan, dia banyak sombong soal prestasi menjijikannya ke mas kan?” Ai berusaha mengkonfirmasi.
“Yep”

“Dan sebenernya dia kecewa gak Cuma sekali dua kali sama orang tua dan kakaknya, tapi setelah dia kehilangan kebandelan kakaknya, dia berusaha jadiin adeknya temen bandel juga” jelas Ai.
“Nah yang itu aku gak tau”

“Iya, dan akhirnya ilang lagi, adeknya jadi anak baik-baik juga…. Dia kehilangan lagi, bete lagi, total tiga kali, dan dia bilang dia ngerasa kehilangan mas kalo ntar mas nikah…… Dan dia juga khawatir Mas jadi sering bolak balik Jepang, dia juga khawatir pas tau Kyoko mau tinggal di Indonesia karena dia ngerasa Mas bakal habis waktu buat berkeluarga, ngajarin Kyoko gimana caranya tinggal disini, beranak dan segala macem…” lanjut Ai panjang.

“Kedengeran kayak gak pengen tua dia…..” aku berkesimpulan.
“Yah, susah sih…. Dia soalnya tau sendiri kan kayak gimana orangnya….…” Ai mengangkat bahunya.

“Terus aku harus apa?” tanyaku retoris.
“Ngobrol sama dia?”
“Kayaknya jangan sekarang ya? Maksudnya bukan dalam waktu dekat ini…” lanjutku.

“Terus kapan tapi mas, kayaknya butuh dibikin clear deh kalo suasana antar kalian berdua jadi gak enak gak enakan gitu, kalian rekan kerja loh, chemistry nya rusak ntar” sanggah Ai panjang.

“Tau, makanya pusing kan? Di satu sisi, aku gak mau dia meledak lagi kayak jaman ada tawaran rekaman di Jepang buatku itu…. “ aku menarik nafas panjang. “Seenggaknya ntar deh pas Kyoko balik atau pas lagi di Jepang biar suasananya beda buat Stefan”

“Ohayo Gozaimasu minna….” Sapa Kyoko yang baru selesai mandi dan memasuki ruangan dengan muka berseri-seri. Tampaknya pengalaman nonton Wayang Kulit semalam sangat membekas di hatinya.
“Pagi Kyoko” senyum ibuku kepadanya, sedang aku dan adikku tersenyum dengan manis ke arah calon anggota baru keluarga kami itu.

“Okasan, ada yang Kyoko bisa bantu?” tanyanya dengan logat Jepang kentalnya.
“Gak usah sayang, udah mau beres kok, tunggu aja, sebentar lagi kita sarapan bareng” jawab ibuku tanpa melihat ke arah Kyoko karena masih sibuk membereskan masakan untuk sarapan. Masakan yang sudah pasti awet sampai nanti sore. Ibuku selalu membuat makanan untuk seharian sebelum dia berangkat kerja ke apotik. Kyoko akhirnya berjalan dan duduk di sebelah Ai, menuruti perintah ibuku.

“Gimana semalem nonton wayangnya?” tanya Ai dengan cerianya, seakan-akan tadi kami tidak mengobrolkan tentang kesuraman yang Stefan hadirkan diantara kami semua.
“Omoshiro… menari’ sekari” jawab Kyoko sambil mengingatnya. “Tapi, ano…. Karna bahasanya, bukan Indonesia, ano… Bahasa…”

“Jawa” sambungku.
“Hai, jyadi, Kyoko tida mengerti ceritanya, tapi Aya, kasi tau sama Kyoko cerita bagaimana, dan jyadi makin omoshiro” senyumnya.
“Emang Mas Arya ngerti bahasa jawa?” tanya Ai dengan muka penasaran.

Aku Cuma mengangkat bahuku sambil menunjukkan ekspresi muka menyombongkan diri, seakan-akan aku mengerti 100 persen semua yang dikatakan oleh dalangnya semalam. Padahal aku sebelum menonton wayang, aku googling tentang lakonnya, jadi aku sudah tahu ceritanya sebelum menonton. Jadi semalam aku hanya mengkorelasikan cerita yang sudah kubaca dengan adegan yang terlihat di pertunjukkan wayang tersebut. Cukup pintar bukan? Setidaknya kau jadi kelihatan lebih pintar dan lebih berbudaya di depan adik dan calon istrimu.

“Hmmm….. gak bisa dites ya, aku juga susah ngomong jawa” Ai memicingkan matanya, curiga atas klaimku. Bukan klaimku sebenarnya, ini Cuma asumsi yang Ai buat-buat sendiri di kepalanya. “Ma… tolong dong, tes Mas Arya beneran bisa ngomong bahasa jawa apa enggak….” Rajuk Ai dari kejauhan ke ibuku.

“Mendingan kita sarapan bareng yuk…” Ibuku sudah selesai masak dan sedang membawa hasil masakannya ke meja. Aku hanya tertawa mendengar jawaban ibuku dan lantas bertukar senyum dan pandangan ke Kyoko. Maaf Kyoko, kamu datang ke Indonesia, harus menghadapi dan menonton dua masalah pelik, yang pertama soal Kanaya dan kecanggungan yang aneh, dan kedua adalah ngambek-ngambek gak puguh Stefan, entah itu Cuma fase saja atau memang kekecewaan dirinya yang berat pada instirusi pernikahan.

--------------------------------------------

sebstu10.jpg

“Gue harus ngomong gimana ya Ya” Pras membisikiku, saat PierreT sedang istirahat, dimana Mukti dan Raditya sedang berjalan ke minimarket, membeli camilan, minuman ringan maupun rokok.
“Gimana?”
“Waktu gue jalan sama adek lo, rasanya susah banget buat deketin dia”
“Oooh… Haha, maklumin aja, dia gampang buat ilfil ama cowok sih…” aku berusaha memberi penjelasan.

“Tapi herannya sama Stefan bisa lengket gitu yak, kan reputasinya si Stefan rada-rada gimana padahal” lanjut Pras.
“Rada-rada gimana?”
“Kan dia terkenal womanizer, apalagi abis ada gosip dia nidurin Rissa sama Karen” tawa Pras.
“Kan mereka mah temenan, bukan pacaran atau PDKT” jawabku.
“Lo yakin mereka Cuma temenan?”

“Enggak sebenernya”
“Hah terus?” bingung Pras.
“Ya yang bikin gue agak percaya kalo mereka cuman temenan itu ya karena mereka berdua yang berusaha ngeyakinin gue kalo mereka berdua itu ga ada apa-apa” lanjutku dengan senyum tipis.
“Ooh….” Pras berusaha mengerti, walau dia tampaknya masih belum rela bahwa Ai secepat itu ilfil dengannya, di pertengahan tahun kemarin, setelah kami kembali dari Jepang”

Aku hanya nyengir kuda, sambil menyambi mempersiapkan channel baru untuk proses selanjutnya.

“BTW, lo deg-degan gak bakal nikah dalam waktu dekat?” tanya Pras.
“Iya lah pasti”
“Tapi hebat lo pestanya pesta kecil gitu”
“Gak kecil-kecil amat sih, yah, yang penting pantes lah dan kalian semua yang diundang seneng” senyumku.

“Persiapannya gimana?” tanya Pras lagi.
“Persiapannya yang repot” jawabku.
“Iya lah, wajar… Tapi pasti lah, sampe hari H lancar…” lanjutnya diplomatis.
“Thanks”

Repot. Iya, persiapannya repot. Bukan repot membooking tempat, bukan repot mengatur catering, bukan repot mempersiapkan baju dan riasan, bukan. Yang repot adalah persiapan agar pernikahanku bisa diadakan dengan lancar tanpa ada pihak-pihak yang merasakan rugi karena pernikahanku, yakni Kanaya dan Stefan. Itu baru persiapan. Persiapan ke jenjang pernikahan dengan membuang keganjalan, yang terjadi sebelum kita berkeluarga.

Dan dua ganjalan ini benar-benar Pain in The Ass.

Literally.

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Huah meledak nih otak klo saya jdi aya,,, untuk kuat tuh orang,,, kpan y ane bsa dapet jodoh kya gtu,,,
 
Terakhir diubah:
Bentar deh ane mau nanya sama suhu Racebannon, cerita kayak gini nih, yang update sehari bisa sampek 2 atau 3 kali atau lebih itu apa mungkin ceritanya udah selesai dari dulu, trus baru di upload ke forum gitu ya? Maksud ane cerita ini udah tamat/selesai di luar forum dan baru di upload sekarang...
Bener gak sih. :aduh:
 
Bentar deh ane mau nanya sama suhu Racebannon, cerita kayak gini nih, yang update sehari bisa sampek 2 atau 3 kali atau lebih itu apa mungkin ceritanya udah selesai dari dulu, trus baru di upload ke forum gitu ya? Maksud ane cerita ini udah tamat/selesai di luar forum dan baru di upload sekarang...
Bener gak sih. :aduh:

Ini cerita dulu sempet di recall... sekarang di keluarin lagi.. mbantu om RB jawab hehehehe
 
heuheuheu iya kelupaan edit, dipart sebelumnya dah ganti namanya....mudah2an ga direcall lagi
 
MDT SEASON 1 - PART 64

--------------------------------------------

monas10.jpg

Besok. Ya, besok adalah hari terakhir dimana Kyoko ada di Jakarta ini. Tugas berat menanti kami kedepannya, seperti persiapan pernikahan, maupun tur Jepang Hantaman. Setelah menemani Kyoko membeli beberapa oleh-oleh untuk dibawa ke Jepang sana, kini kami berada di salah satu ikon kota Jakarta. Monumen Nasional, atau Monas, yang mungkin dikenal sebelum dibangun sebuah lingga raksasa berwarna putih dan bertahtakan emas, sebagai Lapangan Ikada.

Kyoko duduk di bawah Monumen Ikada, menghadap Monas yang menjulang tinggi. Tangannya menggenggam sebuah botol minuman dingin, sedangkan aku duduk di sebelahnya sambil menatap Monas yang menjulang.

“Jakarta” bisikku ke Kyoko. Kyoko hanya tersenyum saja sambil menatapku dengan tatapan penuh harap. “Setelah kita nikah, kamu bakal tinggal disini” lanjutku.
“Hai…”
“Jakarta ni?” tanyaku.
“Chuzai? Mochiron….” Dia sudah menetapkan hati untuk menetap disini.

“Tashika desuka?” are you sure? Tanyaku
“Hontou…” Kyoko mengangguk dengan semangat.

“Disini gak ada bis bagus, mrt super canggih, dan yang paling penting, disini gak ada Nii-san dan cafenya” aku melanjutkan maksudku.
“Daijobu… Ada Aya” senyumnya berusaha meyakinkanku.
“Gimana soal Kyou-Kun dan café? Itu kan kerjaan kamu, apa udah bilang soal kamu bakal menetap disini?” aku mencoba menilik aransemen hidup Kyoko nantinya di Jakarta.
“Mada… Nanti ketika di sana, Kyoko akan tanya Nii-san” jawabnya.

Oh, berarti Kyou-Kun belum tahu soal rencana Kyoko akan menetap di Jakarta setelah menikah. Aku lantas berpikir, apakah Kyoko sengaja belum memberitahunya, ataukah Kyoko takut Kyou-Kun akan kecewa karena dia jadi sendirian mengurus café?

“Kenapa belum bilang?” tanyaku ke Kyoko.
“Ini harus… e.. to…. Ano… bicara rangsung ke Nii-san” senyumnya, berharap aku berpikir semuanya baik-baik saja. Aku menarik nafas dan menawarkan sesuatu ke Kyoko.
“Apa aku yang ntar harus bilang sendiri ke dia?” tanyaku.
“Tida usah… daijobu Aya…. Biar Kyoko nanti…. Bicara dan nanti ada solusi….. Daijobu ne…”

“Hmmm” aku berpikir panjang hari itu. Iya, pernikahan dan tnggal bersama adalah sesuatu yang harus dipikirkan matang matang, terutama soal aransemen hidup. Tentang bagaimana nantinya aku dan Kyoko bergerak sehari hari. Aku sudah jelas, pekerjaanku banyak dilakukan di rumah. Yang di luar rumah hanyalah gig yang mungkin tidak setiap minggu ada. Sementara Kyoko, dia terbiasa tiap hari melakukan pekerjaan rutin, di café milik dia dan kakanya. Dan aku masih belum membicarakan soal rencana Kyoko nanti setelah menikah dengannya.

“Nanti, setelah kita menikah, rencana Kyoko apa?” tanyaku kepadanya.
“Mm… Shufu ni naru… Kyoko ingin urus Aya, juga Okasan dan Ai chan” senyumnya dengan yakin.

Shufu ni naru. Becoming a housewife. Jadi Ibu rumah tangga.

Ya, di era modern seperti ini, di Indonesia jarang pasti kita mendengar keinginan yang seperti ini. Tapi budaya Kyoko adalah budaya Jepang. Setelah menikah, perempuan akan mengabdi pada suami ataupun keluarga suami. Dia pasti sudah memikirkannya matang-matang, atau malah tidak melalui proses berpikir panjang. Mungkin pemikirannya seperti ini. Aku sayang suamiku, maka aku ingin mengurus dia. Oke, lantas aku akan jadi ibu rumah tangga yang berbakti kepada suamiku, mertuaku dan blabla bla lainnya.

Entah, walaupun kata-kata Stefan sewaktu kami ke Jepang kemarin terngiang-ngiang di telingaku, tetapi setelah melihat kuatnya niat Kyoko dan keteguhan hatinya, aku jadi tidak khawatir akan pilihan Kyoko. Ini adalah sebuah pilihan yang dia ambil dengan niat dan penuh kesadaran pastinya. Dan aku akan berusaha membuatnya super nyaman di Indonesia, di rumahku. Untung ibuku dan Ai terlihat dengan jelas mereka akan sangat welcome ke Kyoko.

Aku meluruskan kakiku, setelah pegal mengantarnya berkeliling Monumen yang sepertinya menjadi pusat kota Jakarta ini. Lumayan, aku jadi banyak mendatangi tempat-tempat wisata lokal, seperti kota tua, TMII dan Monas. Aku jadi malu sendiri karenanya, selama 30 tahun sudah mendiami Jakarta ini, ternyata aku kurang sering mendatangin tempat-tempat wisata domestik. Kota tua kapan terakhir kali aku kesana? Waktu dulu pernah manggung acara Jazz disana. Sedangkan TMII dan Monas? Terakhir kali kesana ya ketika aku kecil. Dan pengalaman pertama menonton wayang dengan Kyoko, selain karena aku tidak pernah menonton wayang secara langsung sebelumnya, tentunya sangat membekas di dalam ingatanku.

“Aya, satu har lagi…” bisik Kyoko.
“Kanaya?”
“Hai”
“Tenang, aku sudah bilang ke dia, aku bakal ketemu dia besok, sehabis kamu ke Bandara” senyumku.

Ya, Kanaya, mungkin bisa dibilang, sebelumnya aku kasihan, atau tidak nyaman berada di dekatnya. Jadi aku harus benar-benar bicara dengan santai saja, agar dia juga tidak sebegitu awkwardnya ketika bicara hanya berdua saja. Aku akan benar-benar bicara kepadanya, kalau aku tidak akan menjauhinya seperti yang mungkin kebanyakan orang takuti. Ya, aku tidak berpikir macam-macam soal Kanaya, aku hanya ingin berteman seperti biasa, dan aku yakin Kanaya juga bisa, mudah-mudahan.

“Aya, ano…. Karau, ada kejadian, ano… seperuti Kanaya, rain kali… bilang rangsung, supaya tida seperti kemarin ya….” Senyum Kyoko penuh arti, atau dengan kata lain yang lebih lugas, mungkin maksudnya adalah, yang tegas ya sayang. Jangan biarin berlarut-larut. Ya, aku menangkap maksudnya, dan tenang, akan kujaga perasaan kita berdua.

“Pasti….” Jawabku. Kyoko lalu bersandar di bahuku, berusaha membenamkan mukanya di badanku. Tanganku secara otomatis membelai rambutnya, untuk membuat dirinya nyaman. Aku lantas teringat soal Zee, soal Kanaya, soal kejadian-kejadian yang menjadi ujian untuk hubunganku dan Kyoko. Pasti kedepannya, akan ada kejadian-kejadian lain lagi yang akan menguji kekuatan hubungan kami berdua. Dan aku tidak akan mengizinkan kejadian-kejadian tersebut untuk merusak hubunganku dengan Kyoko.

Ujian yang nanti akan menerpa kami mungkin akan lebih kuat lagi, mengingat aku dan Kyoko akan segera menikah. Biasanya ujian pernikahan memang berat, jadi aku harus bisa bersikap dan berpikir lebih dewasa lagi. Apalagi aku sudah memutuskan untuk tidak akan menyentuh daun sialan itu lagi. Daun sialan yang untungnya tidak menjadi masalah dengan Kyoko, walaupun dia akhirnya memohon diriku untuk tidak menggunakannya lagi.

“Eciee… Pacaran Bang?” mendadak ada suara yang membuatku kaget. Kyoko pun kaget, dan dia menegakkan tubuhnya kembali, menjauh dari bahuku. Aku melirik ke arah kiri, dan tak jauh dari kami, ada segerombolan anak remaja tanggung yang tertawa-tawa, lari menjauh dari kami. Aku tersenyum saja melihat tingkah mereka, dan aku mendadak lupa kalau ini di Indonesia, bukan Jepang. Aku melirik ke arah Kyoko, yang juga tertawa kecil, baru menyadari kalau ada orang lain yang melihat kebersamaan kami.

Well, setidaknya kebersamaan kami akan menjadi abadi dalam ikatan pernikahan. Man and wife. Arya dan Kyoko.

--------------------------------------------

guitar10.jpg

“Omoi” bisik Kyoko, mengatakan bahwa tubuhku berat. Aku tersenyum dan sedikit menyingkir. Kami berdua bergumul di kasur, sore itu, sebelum adikku dan ibuku pulang dari kegiatan mereka sehari-hari. Ya, tentunya mereka sudah bekerja lagi. Hanya ada aku dan Kyoko di rumah, dan kami menggunakan waktu luang ini untuk bermesraan. Kyoko hanya memakai T-shirtnya, tanpa bawahan sama sekali, dan aku telanjang bulat. Pakaian kami berserakan di lantai kamarku, tidak beraturan, seperti degup jantungku sekarang. Kami baru saja saling melucuti pakaian kami dengan tololnya, lalu saling berciuman, dan bergulingan di kasur.

Aku tadi menimpa tubuh Kyoko dan menciuminya dengan iseng. Tadinya Kyoko ingin beres-beres dan packing agar tidak buru-buru, tapi aku berhasil menggodanya untuk masuk ke kamarku dan melepas bajunya. Well, setidaknya T-shirtnya masih bersisa di tubuhnya, tapi bra nya sudah berhasil terlepas, sehingga pasti di dalam t-shirt itu, buah dadanya yang indah sudah siap untuk dipermainkan.

Kondom sudah tersedia di samping kasur, siap dipakai dan siap untuk menemani pergumulan kami berdua. Percintaan sebelum kami terpisah lagi. berat memang, tapi sehabis Maret nanti, sudah tidak ada lagi LDR, Kyoko akan menjadi legal alien di Indonesia dan memulai petualangan sebagai istrinya Arya.

Aku menarik badannya, menyentuh perutnya yang rata itu di balik T-shirtnya, lalu menciumi lehernya dari belakang. Kyoko merespon dengan menyentuh kepalaku, membelai rambutku dan menempelkan pantatnya ke permukaan kemaluanku.

“Aya… “ bisiknya.
“Nani?”
“Nande mo nai…”

Aku kembali menciumi lehernya dengan lembut, perlahan, menjelajahi seluruh permukaan yang bisa kujangkau, sambil tanganku mendekap perutnya, terus mendekatkan dirinya kepadaku. Kulit bokongnya yang lembut menyentuh penisku, dan itu mampu membuat penisku dengan perlahan berdiri tegak. Penis mana yang tidak akan berdiri jika pantat pacarnya menekan? Tanganku perlahan naik ke atas. Perut kurasa membosankan untuk diraba. Tanganku mulai naik, pelan-pelan mulai mencoba meremas buah dada Kyoko yang sangat indah itu. Bisa kurasakan kulit lembutnya, yang meliputi seluruh permukaan payudaranya. Aku meremasnya dengan lembut, mencoba menstmulasinya dengan gerakan yang teratur.

“Mmmnnn….” Desah Kyoko pelan, keenakan dengan sentuhanku.
“Mhh…” aku menciumi terus lehernya, terpesona oleh wangi alami tubuhnya dan kelembutan kulitnya.

Kyoko bereaksi tepat seperti yang kuinginkan, desahannya, getaran badannya membuatku lebih bergairah. Kyoko berusaha berbalik, sepertinya dia ingin menstimulasiku juga, memberikan kenikmatan pada diriku dengan caranya, tapi aku tidak mengizinkannya, aku ingin mendominasinya. Dan ketika pada akhirnya Kyoko berhasil berontak dan berbalik menghadapku, aku langsung melumat bibirnya dengan penuh gairah.

Kedua bibir kami kembali bertemu, saling melumat. Bisa kulihat dirinya sangat menikmati ciuman kami. Bibir kami saling memagut, dan nafas kami bertemu. Nafas Kyoko dan Arya yang memburu. Tanganku ternyata masih tetap nakal, terus meremas buah dadanya di balik T-shirt nya. Aku akhirnya melepas ciumanku. Aku tersenyum ke arah Kyoko dan lantas mencium hidungnya. Kyoko tersenyum manis ke arahku. Ekspresi mukanya yang tampak polos dan malu-malu malah membuat diriku semakin bergairah.

“I’ll go down there” bisikku.
“Eee?” Kyoko kaget karena tanpa aba-aba aku langsung menyingkap pahanya dan langsung menyerang daerah kewanitaannya. Aku menciumi seluruh permukaan yang bisa kuciumi, dan aku akhirnya tiba pada bagian kewanitaannya yang menjadi perhatian utama. Lidahku lantas langsung menyentuhnya, aku menjilati permukaan bibir vaginanya, merasakan rasa kewanitaan Kyoko.

“Ahhh…” Kyoko merintih keenakan, saat lidahku menyapu bagian intimnya. Tangannya meremas rambutku, dan bisa kurasakan nafasnya menjadi semakin berat. “Aya….” Desahnya tak tahan akan rasa menggelitik yang nikmat, yang menjalar dari daerah tersebut ke seluruh tubuhnya. Tanganku bertumpu di pahanya, kadang membelai permukaan kulitnya yang halus. Tapi sebagian besar waktu, kucurahkan seluruh perhatianku ke lidah dan bibirku, agar terus menstimulasi bagian kewanitaan Kyoko yang penuh akan wangi tubuhnya.

Perempuan ini sempurna untukku. Tak ada cela yang bisa kulihat, terutama apabila dia sedang ada dalam posisi seperti ini. Posisi pasrah menerima semua rangsangan yang kuberikan. Aku terus menjilati dan menciumi bibir vaginanya, dan dia terus merintih, meronta pelan dan bisa kurasakan berat nafasnya.

Ia menikmatinya.

Ia sangat menikmatinya. Kyoko terlihat begitu larut dalam permainan bibir dan lidahku di bawah sana. Dia seperti tenggelam ke dunia yang nikmat, dunia miliknya sendiri dalam fantasi seksualnya yang mungkin ia tahan selama aku tidak bersama dengannya. Kini dia mendapatkannya. Bisa kurasakan bibirnya bergetar setiap kali ia mendesah. Rasanya tak sabar ingin segera menyetubuhi calon istriku ini. Tapi aku masih menikmati reaksinya pada pekerjaanku dibawah sana. Aku masih menikmati gerakan badannya yang bergetar setiap kali aku menjilati titik sensitifnya. Dan tentunya desahan dan rintihannya terdengar seperti musik yang merdu di kepalaku.

“Ayaa… Ahhh… Kimochi…” bisiknya dengan jelas. Dia tampaknya tidak malu-malu lagi untuk bersuara, karena tahu di rumah tidak ada siapa-siapa.
“Mmm…” desahku merespon suaranya. Bisa kurasakan lama kelamaan badannya berusaha berontak. Dan kini waktunya. Aku menarik wajahku dari daerah kewanitaannya. Dan membiarkan Kyoko terkulai di kasurku. Aku dengan puas menatap ke hasil karyaku. Calon istriku terkulai lemah, penuh dengan nafsu membara di matanya yang sayu. Nafasnya berat dan dia menatapku dengan penuh nafsu.

“Irete?” tanyaku.
“Mada…” not yet, katanya.

Kyoko mendadak bangkit duduk dengan gerakan yang lemah, tapi dia langsung menggenggam penisku, dan berusaha agar posisi berbalik. Aku terpaksa menurutinya, karena aku tahu apa yang akan dia lakukan. Sekarang aku berbaring dengan nyamannya di atas kasur, sementara Kyoko yang sudah berbalik bangkit, menggenggam penisku, dia lantas memasukkan penisku ke mulutnya, untuk mengimbangi stimulasiku tadi.

“Uhh….” Desahku saat penisku masuk ke dalam mulutnya yang hangat, yang begitu menggodaku. Bisa kurasakan lidahnya, giginya, bibirnya dan dinding mulutnya semua saling berkontribusi untuk menstimulasiku. Dimulai dari jilatan, gigitan pelan, ciuman, dan yang terutama ketika dia mengulum penisku perlahan, itulah yang luar biasa untukku. Getaran yang kurasakan di penisku menjalar sampai ke otakku, dan mematikan sejenak pemikiranku. Aku yang tadi pintar kini menjadi bodoh. Bodoh oleh rangsangan Kyoko.

Kini aku terbius, terbius oleh stimulasi blowjob yang ia lakukan. Dia dengan telaten menghisap dan mengulum penisku, seakan-akan tidak akan ada lagi kesempatan untuk melakukannya esok hari. Dia dengan penuh perhatian, tidak menyisakan sedikitpun ruang bagi penisku untuk istirahat.

Kyoko terus dan terus memberikan stimulasi yang benar-benar membuatku bisa mati kaku karenanya. Lututku sudah terasa lemas dan otot-otot punggungku menegang, seakan-akan akan timbul ledakan yang tidak sopan dari ujung penisku. Tapi tentunya aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Aku mencoba menahan gerakan kepalanya dengan tanganku. Dan Kyoko berhenti menggerakkan lehernya.

Kyoko lantas menatapku, dengan matanya yang innocent, dengan penis masih bersangkar di mulutnya, seakan bertanya kenapa aku menahannya.

“Come..” bisikku. Kyoko mengerti. Dia lalu melepaskan penisku dari dalam mulutnya, dan membiarkanku memakai kondom untuk kegiatan selanjutnya. Setelah kondom itu terpasang, Kyoko lalu mengerti, dia segera duduk di atas penisku dan membiarkan penisku meluncur masuk ke dalam.

Sudah kepalang basah, sudah mudah untuk melakukan adegan selanjutnya.

“Ngghhh… ahh..” desah Kyoko saat penisku sudah mulai masuk dalam vaginanya. Dia, yang duduk di pangkuanku, masih dalam T-shirtnya, terlihat begitu seksi dan menggoda. Ini yang tidak bisa kutemukan di perempuan lain. Bagaimana dia bisa terlihat begitu innocent, sekaligus terlihat begitu menggairahkan dalam satu waktu. Hanya Kyoko yang bisa seperti ini di mataku.

Lantas aku mulai menggerakkan pantatku dengan pelan, dan Kyoko merespon gerakanku. Ia menaik turunkan pantatnya dan tangannya menggenggam tanganku. Matanya menatap lurus ke arahku dengan segala macam aura penuh nafsu yang bisa ia keluarkan. Aku benar-benar terangsang melihat ekspresi mukanya. Aku menatapnya lurus, menatap badannya yang bergoyang pelan dengan ritme tertentu di atas pangkuanku.

Penisku benar-benar mendapatkan stimulasi yang luar biasa dari lubang vaginanya yang hangat dan lembab. Hangat dan selalu siap memberikan kenyamanan bagiku.

“Aah…” desah Kyoko, seirama dengan gerakan tubuhnya. Aku menikmatinya. Sangat menikmatinya. Bisa kurasakan penisku memompa pelan di dalam vaginanya, saling menyetubuhi dan saling memberikan kenikmatan yang luar biasa. Kenikmatan yang hanya aku rasakan dengan Kyoko. Tidak dengan yang lain. Tidak hanya fisik yang merasakan nikmat, tetapi juga batinku, perasaanku.

Tubuhnya makin lama bergerak dengan liar, bergerak mengikuti rasa panas nafsu yang ada di dalam dirinya. Ia sudah tidak mempedulikan lagi ritme apapun. Aku bangkit, memeluk tubuhnya dan menciumnya, aku berusaha bergerak untuk merubah posisiku, kembali mendominasi Kyoko. Aku memeluknya dengan erat, menimpa tubuhnya, dan bisa kurasakan kedua kakinya sekarang melingkariku.

Karena terbawa nafsu, aku lantas menghunjamkan penisku dengan ritme yang cepat ke dalam vaginanya. Kyoko menikmatinya, bisa dilihat dari ekspresi wajahnya dan desahannya. Dia memelukku dengan kencang.
“Ahh.. Kimochi… Aya… Ahhh… Ahhh…”

Dan aku membungkamnya dengan ciumanku. Yang kurasakan sekarang hanyalah rintihan Kyoko yang tertahan, dengan penisku bergerak maju mundur di dalam tubuhnya, menghunjam tubuhnya dengan kecepatan penuh, berharap ia segera merasakan kenikmatan yang dari tadi ia nantikan. Dan bisa kurasakan ia begitu pasrah, begitu menerima segala stimulasi yang kuberikan ini dengan santainya. Bibir kami berdua saling mencium, saling menempel seperti tak ingin lepas, dan ritme gerakanku terasa makin cepat, terasa makin merangsang.

Tubuhnya bagaikan kaku, tetapi tetap lunglai, karena begitu besarnya kenikmatan yang ia rasakan. Kyoko dan aku merasakan getaran yang sama. Kenikmatan seksual yang berlandaskan perasaan sayang. Stimulasi seksual yang seimbang antara calon suami dan calon istri. Rangsangan penuh nafsu yang juga penuh cinta. Kyoko tampaknya sebentar lagi akan mencapai puncaknya.

“Mmmhhh.. Aya” erangnya tertahan, melepas bibirku. Tangannya mulai menarik rambutku dari belakang, dia tampaknya akan mencapainya.

“Nnngghhh” badannya mulai kaku. “Aaahhhh….” Dia mulai mendesah panjang. Dan terjadilah. Badannya mengejang, menjepit diriku, dan vaginanya terasa makin sempit. Aku tak kuasa untuk menahannya, dan aku bergerak semakin kencang, bermaksud melepaskan hasratku juga.

“Kyoko…”
“Aya…”

Kyoko akhirnya mencapainya, dan dia melepaskan hasratnya melalui gerakan-gerakan kecil tubuhnya. Tubuhnya bergetar, merasakan kenikmatan yang ingin ia rasakan dari tadi. Dan tak terasa, spermaku pun meledak di dalam pelindung, meleleh, bisa kurasakan hangatnya di permukaan kulit penisku.

Kami berdua saling memandang, dengan lemas dan lesu, dan tanpa bicara lagi, kami berciuman dengan hangat.

Kami berdua bersatu sore ini, dengan segala perasan dan nafsu kami. Segala hasrat kami tertumpah, dan kami tak ingin berpisah lagi.

--------------------------------------------

“Hebat amat kamu packingnya” tawaku. Aku melihat Kyoko sedang membereskan pakaiannya. Besok pagi aku akan mengantarnya ke bandara, untuk berpisah sementara. Dua bulan lagi. dua bulan lagi dia akan menjadi Mrs. Arya.
“Hai… supaya banyak masuk ke dalam bag” jawabnya sambil tetap melipat pakaian dengan seksama. Bisa kubayangkan jika nanti aku travelling dengannya, pasti sangat compact dan praktis.

Hari sudah malam. Seluruh anggota keluargaku sudah terkumpul dengan lengkap di rumah. Ibuku sedang beres-beres di dapur, dan Ai seperti biasa sedang malas-malasan di depan televisi, melepas lelahnya bekerja hari ini. Kebiasaannya sehari hari setelah makan malam. Entah apa yang ia tonton, biasanya dia end up menonton saluran televisi yang tidak jelas, terus mengganti-ganti saluran televisi kabel sesukanya. Tapi kebanyakan ia tertambat di saluran yang banyak menyiarkan drama korea maupun dorama jepang.

Aku duduk di kasur kamar tamu, masih memperhatikan calon istriku beres-beres dengan gerakan yang cepat dan terarah. Terlihat bedanya jika aku yang disuruh packing, pasti aku akan kalang kabut mempersiapkannya menjelang detik-detik keberangkatan. Namun itu dulu, ketika usiaku jauh lebih muda. Sekarang, aku sudah punya obatnya. Obatnya adalah packing jauh-jauh hari sebelum berangkat, agar tidak panik.

Dan mendadak.

“Mas Arya!! Mbak Kyoko!!!” teriak Ai dari bawah.
“Apaan sih?” balasku teriak. Kyoko pun kaget, dan langsung menghentikan kegiatannya.

“Sini buruan!!!”

“Nanika?” bingung Kyoko
“Wakaranai…” dan aku pun langsung menggandeng Kyoko untuk segera jalan ke bawah, menghampiri Ai di depan televisi. Kami menemukan dirinya sedang duduk malas, tenggelam di dalam sofa, sambil menunjuk ke arah televisi.

“Liat tuh!”
“Apaan, drama Jepang?”
“Liat pemeran ceweknya!!”

“Loh” aku melongo, dan bolak balik melihat ke arah televisi dan ke arah Kyoko. Aku bingung, dan mengangkat tanganku dan menunjuk ke arah Kyoko. “Kamu?” tanyaku.
“Chigau” Kyoko mengrenyitkan dahunya dan melambaikan tangannya tanda penolakan.
“Mirip banget sama Mbak ku ini… Hahaha” tawa Ai sambil menunjuk ke arah televisi.

msnye010.jpg

Sebuah drama jepang, dengan pemeran perempuan sangat mirip dengan Kyoko.
“Ano hito wa.. Dare?” tanyaku ke Kyoko, menanyakan siapa pemerannya.
“Yoko Maki?” jawab Kyoko.
“Mirip bener”
“Ieee… Chigaimasu…”
“Mirip kok”
“Ieee…”
“Mirip” tawaku melihat Yoko Maki bergerak dengan luwesnya di dalam layar televisi.

“Ayaa….” Rajuk Kyoko yang tampaknya tidak ingin dimirip-miripkan dengan Yoko Maki.
“Itu kamuuu”

“Chigauuu”

“Masih ada hubungan saudara dengan Yoko Maki ya?” tanya Ai iseng. Kyoko hanya menggelengkan kepalanya dengan ekspresi muka yang tolol. Aku tertawa sejadi-jadinya dan merangkul leher Kyoko, lantas mengacak rambutnya.

“Calon bini gue mirip Yoko Maki”
“Ayaaaa…”

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Bimabet
MDT SEASON 1 - PART 65

----------------------------------------

54168810.jpg

Calon istri dan calon suami, mereka berdua sedang ada di sebuah bandara. Bandara Soekarno Hatta namanya. Dimana si calon istri akan pulang ke tempat asalnya. Pulang untuk kemudian kembali lagi ke Jakarta dua bulan kemudian, membawa semua yang sudah dipersiapkan untuk menikah, dan tinggal menetap di Indonesia. Patut disyukuri, saudara dari si calon suami, ada yang bekerja di Departemen Kehakiman dan HAM. Sehingga proses kepengurusan Kartu Izin Tinggal Sementara atau KITAS pasti lebih mudah. Tidak, bukan curang, tapi dibantu informasinya dengan mudah dan didampingi.

Bagasi si calon istri sudah masuk, dan boarding pass sudah di tangan. Sekarang si calon istri dan calon suami sedang makan pagi berdua, saling berhadapan, dimana kaki mereka berdua saling berkaitan, seakan tidak mau lepas. Calon suaminya bernama Achmad Ariadi Gunawan, biasa dipanggil Arya, umur 31 tahun, tahun ini. Pekerjaan adalah musisi dan memiliki sebuah studio rekaman di selatan Jakarta, yang untuk selanjutnya dan sebelumnya selalu dipanggil dengan aku. Ya, dia adalah aku.

Sang istri bernama Kyoko Kaede. Atau kalau menurut orang Jepang, Kaede Kyoko. Sama saja. Umur Kyoko 31 tahun, tumbuh besar di Mitaka, kota di pinggir Tokyo. Pekerjaannya adalah mengelola sebuah café/coffee shop di Mitaka dengan kakaknya. Aku dan Kyoko bertemu setahun lalu, atau sekarang bisa disebut sebagai dua tahun lalu, karena kami bertemu pada bulan Desember. Dan sejak saat itu, kami tak bisa terpisah lagi.

Aku takut, aku takut sebenarnya melepas lagi Kyoko jauh dariku, terutama di saat sekarang. Sekarang Stefan terasa semakin garing dan getir. Kanaya? Oh, ulahnya yang membuat pusing, sesaat sebelum kedatangan Kyoko pun, belum selesai dibereskan. Entah kenapa mereka berdua yang selama ini dekat denganku, kini terasa menjauh. Getir-getirnya dan rasa sinis Sefan akan pernikahan semakin hari semakin terasa. Kami bahkan kembali jarang bercanda lagi di grup whatsapp, hampir seperti dulu, sewaktu aku ada tawaran untuk rekaman di Jepang sana. Tawaran dari A.E.U.G. yang menggangguku itu.

Dan kini, aku merasa malah sikapnya lebih berbahaya lagi daripada waktu itu. Seperti akan ada ledakan jangka panjang. Stefan memang membenci pernikahan dan komitmen, tapi aku tak menyangka dia menjadikanku sebagai pelampiasan ketidak sukaannya kepada dua hal itu. Itu yang kusesalin.

“Aya, nanika?” tanya Kyoko melihat mukaku yang seperti sedang ditekuk itu.
“Stefan… to… Kanaya” jawabku sambil tersenyum getir.

“Wakarimashita…. Aya kan tida mau kehirangan teman?” senyum Kyoko, seakan mengerti apa yang kupikirkan. Ya, dia memang mengerti apa yang kupikirkan. Makanya kami selalu lengket selama ini. Kyoko selalu berusaha membuatku terbuka padanya. Tapi, di satu sisi yang lain, aku selalu sering mengeluh pada Kyoko juga, mulai dari tawaran AEUG, lalu perkelahian pada malam perpisahan Cheryl, lalu masalah dengan Stefan, soal Anin, bahkan masalah yang bisa melukai hatinya seperti soal Kanaya pun selalu ia dengarkan dan dia respon dengan baik.

Sedangkan sejauh ini, masalah yang ia curhatkan kepadaku Cuma masalah tentang false alarm kehamilan saja. Sejauh ini Cuma itu.

“Kyoko”
“Hai”

“Selama ini, apa ada yang bikin Kyoko pusing, ingin diceritain ke aku, atau semacamnya, aku juga pengen kayak Kyoko, ngedengerin aku ngeluh terus” senyumku. Kyoko lantas memutar matanya keatas, seperti sedang mencoba mem-flashback ingatannya.

“Anooo…. Nande….”
“Hmm?” aku berusaha menunggu kata-kata apapun yang mungkin keluar dari mulutnya.

“Nani mo nai” senyumnya. Gak ada apa-apa.
“Masa gak ada satupun?”

“I’m okay, karau ada apa-apa, nanti Kyoko pasti birang sama Aya” senyumnya lagi dan tangannya langsung menggenggam tanganku yang sedang menganggur. Oke, sejauh ini aku percaya, tapi aku akan waspada.

“Suda birang Kanaya nanti akan bicara?” tanya Kyoko masih dengan senyumnya.
“Sudah, semalem, oke katanya, siang ini, sebelum dia kerja” senyumku pahit ke arah Kyoko. Sebenarnya aku masih menyelidik, masa Kyoko tidak cemburu pada kondisi seperti ini?

“Kamu gak kenapa napa soal Kanaya?”
“Eee..?”
“Maksudnya, kamu gak cemburu? Jealous?” tanyaku, berharap mendengar apapun yang mungkin buruk untukku.

“Ie… Karena Kyoko tau, Aya hanya untuk Kyoko” senyumnya masih dengan manis. Sampai titik ini, aku berkesimpulan, bahwa senyum semanis itu tidak mungkin ia palsukan, tidak mungkin ia menipuku dengan senyum palsu, hanya untuk membuatku merasa nyaman atas hubungan ini. Hubungan ini alami, tumbuh dengan sendirinya atas rasa nyaman antara aku dan Kyoko. Jadi tidak mungkin gangguan, atau mungkin “gangguan” dari Kanaya bisa menggoyahkan hubungan aku dan Kyoko.

“Seneng dengernya” bisikku sambil menggenggam tangannya balik.
“Hehe… Kyoko tida sabar tunggu Maret… Ano… Kita…”
“Iya, kita”
“Man” Kyoko menunjuk ke arah diriku. “Waifu” dia menunjuk ke arah dirinya.

“Kamu pasti cantik pake gaun kawinan” bisikku.
“Ahaha…. Aya mo… Kakkoi dayo..” pujinya balik.

Aku tersenyum, dan bandara ini serasa kosong. Bandara ini serasa milik kami berdua. Andaikan begitu, pasti sudah kulumat bibir yang menggoda itu, akan kupeluk dirinya, dan aku tidak ingin melepasnya. Tidak ingin. Aku tidak ingin melepasnya. Dan selangkah lagi, kami berdua akan menjadi suami istri.

----------------------------------------

01937310.jpg

Kyoko telah terbang kembali ke Jepang. Makin lama rasanya bepisah dengan dia, sudah tidak sesedih pertama dulu. Aku masih ingat dinginnya observatory deck di Bandara Haneda sana. Disana kami berciuman, seperti ciuman terakhir bagi kami. Dan setelah ciuman itu, kami berdua malah makin erat. Makin erat walau jarak kami berjauhan.

Aku menyetir dengan pelan, mengurai kemacetan jakarta dengan mobil pinjaman dari adikku. Dan sepertinya kurang begitu praktis bila aku pulang ke rumah dulu, lantas baru ke tempat kerja Kanaya. Lebih baik aku menghabiskan waktu siangku di daerah sekitar sana, karena memang agak repot kalau aku ke radio dalam dulu. Dan sekarang aku sudah berada di Gatot Subroto. Belok ke kiri Kuningan, dan kalau sudah di daerah situ, cukup mudah untuk bermanuver.

Dan aku teringat sesuatu. Aku mengambil dan membuka handphoneku, lantas mencari grup whatsapp alumni kuliahku. Adegan ini tidak untuk ditiru, memainkan handphone sambil menyetir itu bahaya.

“Ren, siang ini lo free gak, gue ada di daerah deket-deket kosan lo nih, makan siang yok” aku memberi pesan dalam grup tersebut.
“Cie yang udah mau kawin nyarinya batangan mulu” komentar Bram, si troublemaker. Mari kita ignore saja yang satu itu.
“Eh emang pacar lo kemana?” tanya Zulham mendadak, ya, dia yang punya coffee shop di Kemang itu.
“Baru naek pesawat tadi pagi ke Jepang lagi”
“Yah, kagak sempet maen ke tempat gue ya? Padahal pengen ngobrol, tuker ilmu gitu soal café” lanjut Zulham.
“Genit amat pacar orang mau dispikin” Bram lagi. mari ignore lagi.

“BTW Rendy kalo jam segini mah masih tidur kali Ya” Anin mendadak muncul.
“Telpon aja biar bangun” suruh yang lain.
“Kecapean kali sekarang tiap malem ngewe Anggia” oke, ini Bram, ignore aja ya.
“Yowis gue telpon ajah”

Aku lantas mencari nomer Rendy di handphone, dan menelponnya. Ini juga tidak untuk ditiru, menyetir sambil menelpon. Dan, nada sambung yang lama mewarnai siang itu.

“Woi” suara kaget Rendy terdengar di ujung sana.
“Woi” balasku.
“Apaan nih”
“Gue ada di Kuningan, makan siang yuk”
“Boleh”
“Setiabudi Building oke?”
“Tapi gue baru bangun banget, belom mandi” jawab Rendy gelagapan.

“Alah, kayak ada bedanya aja mandi ama enggak” ledekku.

“Hehehe” tawanya pelan diujung sana.
“Udah ah, sampe ketemu di sono”

----------------------------------------

header10.jpg

“Jadi, rencananya gimana ntar?” tanya Rendy.
“Abis gue balik dari Jepang, bulan depannya kawin”
“Enak ya si Kyoko mau masuk Islam gitu”

“Gue sih sebenernya gak masalah, kan bisa kawin di Jepang juga, secara dia WNJ”
“WNJ apaan?” tanya Rendy

“Warga Negara Jepang” tawaku.
“Kirain….”

“Tapi doi milih buat kawin disini, kayaknya karena liat kawinannya drummer gue. Padahal menurut gue standar aja, kawinan biasa ala orang Indonesia, apalagi pas ijab kabulnya, udah puluhan kali gue liat proses ijab kabul ga ada tuh yang sampe kebelet pengen ijab kabul” bingungku.

“Ya Kyoko kan baru pertama kali liat, dan itu kan bukan budaya Jepang, jadi mungkin menurut dia itu romantis banget kali ya?” tawa Rendy.

“BTW Anggia gimana?”
“Baik”
“Bukan itu, tapi gimana? Gue suka denger gosip dulu kalo bokapnya Anggia tuh ga suka kalo doi pacaran sama yang bukan Katolik” aku nyengir awkward. Tenang, aku cukup dekat dengan Rendy, sehingga bisa bicara segamblang itu dengannya.

“Yah masalah itu mah, gue sih santai aja…. Jalanin dulu, dan sejauh ini fun” jawab Rendy dengan mantap.
“Seneng dengernya”

“Dan, jadinya, kalian sebelom ke Jepang yang kedua kali buat tur kecil ini, mau showcase dimana, kayaknya kalo di yang Mega Kuningan itu udah ga oke ya? Udah sepi banget gitu” Rendy mendadak merubah arah pembicaraan.
“Nah itu, gue tuh pengennya disana, tapi ya kondisinya ga enak sih” bukan Cuma tempatnya sepi. tapi kondisi dengan Kanaya pasti membuatku agak berpikir dua kali sebelum memutuskan main di tempat itu.

“Gue sebenernya ada ide sih…..” Rendy sedikit berkhayal sambil memasukkan makanan ke mulutnya.
“Apa tuh?”
“Kayaknya menarik kalo outdoor gitu, bikin kayak semacam nonton layar tancep gitu….”
“Outdoor oke, tapi dimana, kalo di lapangan, gitu ngeganggu warga kali” komentarku.
“Iya yah”

Aku berpikir sejenak. Memang butuh acara sebelum ke Jepang. Rilis sendiri album repackaged dan pemutaran perdana video klip kami. Ah, aku ada ide.

“Ren”
“Ya?”

“GSE!!” aku mendadak berbinar, dan pelan-pelan ekspresi Rendy berubah menjadi excited juga.
“NAH!!!”
“GANTENG TUH PASTI, jadi disana bisa screening ala-ala layar tancep juga kan?” tanyaku.
“So Pasti.”

“Deal gak?” tanyaku.
“Deal”
“Siap ntar gue obrolin ke anak-anak” senyumku.

----------------------------------------
----------------------------------------
----------------------------------------

004df610.jpg

Andai aku merokok, mungkin rasanya tidak se-awkward ini. Aku ada di ruangan kantor pub, sendirian. Di Mega Kuningan, jam 3 sore, sebelum pub mulai ramai. Atau mungkin tidak pernah ramai lagi. Sejak keluarnya Cheryl, dan ditambah dengan Cheryl mendadak mendirikan tempat baru di PIM 3, dengan bantuan suaminya yang tajir melintir itu, tempat ini mendadak menjadi sesepi kuburan tua.

Kanaya tidak sejago Cheryl, itu jelas. Tapi pukulan dari Cheryl pun menjadikan kekalahan ini terlihat telak. Sehabis ngantor, orang sudah tidak berminat datang ke sini lagi. Bahkan kami pun sudah tidak pernah bermain disini lagi. Sudah lama. Terakhir kali kami manggung disini adalah ketika acara perpisahan Cheryl. Itu sudah tahun lalu.

Kanaya sedang bersiap-siap untuk buka di luar, bersama dengan karyawan lainnya. Aku? Ya, aku ada disini untuk memenuhi janjiku ke Kyoko. Bicara dengan Kanaya. Bicara agar semuanya baik-bak saja dan tidak ada yang perlu disembunyikan lagi. Entah apakah ini adalah keputusan yang tepat. Tapi aku berharap semuanya baik-baik saja. Mengingat aku dan Kanaya bisa dibilang cukup dekat sebagai teman.

“Sori nunggu” Kanaya mendadak masuk, dan menutup pintu dari dalam.
“Gapapa”

Kanaya lantas menyalakan rokok dan duduk di kursi di depanku. Seakan-akan aku seperti sedang diinterview oleh dirinya.

“Gue ngerasa tolol” Kanaya membuka pembicaraan.
“Karena?”
“Karena gue baru kerasa minim pengalamannya pas di kondisi kayak gini, berasa semua yang gue lakuin di kerjaan ini salah. Mau ngapainpun hasilnya ga ada” jelasnya.
“Hmm…”

“Beda ternyata emang…. Lo tau sendiri kan, gue dari mana bisa kerja disini. Keenakan ngejagain distro, dapet duit, kuliah ga beres, akhirnya kerja serabutan sana sini, jaga distro lah, jaga vape shop lah, ngewaitress lah, eh mendadak gue terdampar disini…..”
“Ya, lo pernah cerita dulu” senyumku, sambil melihat ke arah rokok yang ia hisap.

“Dan sekarang, lo mau ngobrolin masalah apa, keliatannya urgent banget” lanjut Kanaya, dengan perasaan yang sepertinya tertahan.
“Soal kita”
“Oh”

“Gue ngerasa sehabis lo ngomong kayak gitu ke gue, ada hal yang mendadak jadi aneh gue rasain” jelasku.
“Aneh kenapa?”
“Masa gak aneh”
“Iya emang jadi aneh pasti, tapi gue tau resikonya ngomong kayak gitu” ungkap Kanaya, terdengar cuek, atau malah terdengar menghindar? Atau malah terdengar menyembunyikan perasaan?

“Dan gue pikir, itu juga ga sepenuhnya lahir dari diri lo sendiri kejadian itu, bisa juga karena bete dengerin gue ngomongin pacar gue terus”
“Calon Istri” Kanaya mengkoreksi.
“Ya, dan kerjaan yang makin tai kayak gini, jadi pas lo liat ada kesempatan lo ledakin sesuatu, ya lo ledakin” jelasku berusaha fair. “Tapi gue gak mau gara-gara itu, pertemanan kita rusak, kita termasuk temen yang bisa ngobrolin apapun soalnya” senyumku.

Kanaya tersenyum tipis dan mengeluarkan asap rokok dari hidungnya.

“Logis banget ya kalo cowok itu, hahaha” tawanya.
“Yah, gitu lah katanya design otaknya”
“Dan gue tau satu saat lo pasti bakal ngomong soal ini sih” lanjut Kanaya.
“Iya, tapi bisa dibilang ini gara-gara Kyoko gue ngomong sama elo”

“Maksudnya?”
“Kyoko bilang dia ngeliat pertemanan kita cukup baik, jadi dia bilang pertemanan sama elo mesti dijaga”
“Kenapa?” tanya Kanaya dengan ekspresi muka yang mendadak berubah.
“Ya wajar kan?”

“Bukan itu pertanyaan gue, kenapa lo bilang sama dia soal kejadian itu? Alasannya apa?”
“Emang ada yang ngelarang?”
“Bukan, gue Cuma mau tau alasannya apa lo bilang sama dia”

“Karena gue bingung mikirnya, karena dia pacar gue? Karena dia tau semua problem yang gue hadapin?” jawabku retoris.
“Terus reaksinya?”
“Dia gak marah yang pasti”

“Hebat” Kanaya mendadak terlihat kesal.

“Dia cukup sabar orangnya, dan dia cukup ngerti kalo kita itu temen, dan kita gak pernah lebih dari itu” jelasku.
“Kenapa?”
“Ya karena emang kayak gitu”

“Kenapa semua orang dapet apa yang mereka pengen dan gue enggak?” suara Kanaya mendadak terdengar bergetar, seakan ingin pecah. “Kenapa lo mesti pergi ke Jepang dan pulang-pulang bawa pacar?” dia mematikan rokoknya di asbak.

Wait.

Aku tidak siap mendengar ledakan lagi.

“Kenapa lo mesti bisa tahan LDR-an sama dia? Gue yang selalu ada disini buat dengerin elo!” suaranya tertahan. Yang pasti dia menahan emosinya, agar suaranya tidak terdengar keluar office.
“Ini bukan gue yang minta, semuanya otomatis. Lo tau kan kalo perasaan kayak gini gak bisa dipaksain” jawabku, lagi-lagi diplomatis.

“Tau. Tapi kenapa semua orang dapetin apa yang mereka pengen? Suami yang tajir, sampe lo bisa bikin usaha yang sama kayak tempat lo kerja dulu, sampe matiin tempat kerja elo yang dulu, yang berarti lo matiin semua karir pegawai disini, lo bisa ketemu kecengan yang cool dan sama-sama suka anime di Jepang sana, lo bisa nidurin semua cewek-cewek cantik disana sini tanpa ngerasa dosa, lo bisa mendadak nikah sama pacar lo dan keliatan gak punya masalah, dan lo balik dari sana punya pacar? Atau sekarang lebih cocok disebut calon istri?” nafas Kanaya terdengar berat, seperti tersenggal-senggal.

“Tunggu. Ini kok jadi ngelebar gini? Gue tau lo stress, gue tau lo pusing, tapi kayaknya ga bijak kalo lo tadi kayak ngabsen kita gitu” ya, itu pasti ngomongin Cheryl, Anin, Stefan, Bagas dan aku.
“Ya, kalo lo berhenti gak main musik lagi lo bisa kerja kantoran, kalian semua bisa, kalo gue? Gue seumur-umur kerjaan yang gue tau ya gini, serabutan, dan sekarang gue dapet kerjaan yang lumayan gede dari gaji dan tanggung jawabnya, gue malah fucked up. Dan itu bukan gara-gara gue, itu gara-gara Mbak Cheryl”

Mendadak ia menyalahkan Cheryl. Ya aku tahu, Kanaya masih minim pengalaman untuk menggantikan Cheryl, dan ketika Cheryl membuat tempat yang lebih “oke” di selatan Jakarta sana, pukulan ke Kanaya makin telak. Sepinya pub ini jelas bukan salah Kanaya.

“Lo tenang dulu, lo mungkin bisa take your time off, dan nata lagi semuanya kerjaan lo disini”
“Hidup gue kebalik disini, gue balik subuh, bangun siang, dan mulai kerja sore, mana bisa gue take my time? Fisik gue ancur disini Ya, dan kalian semua kayak neken gue…..” Kanaya tampak seperti kehabisan tenaga. Dan dia terdengar sangat childish. Mungkin karena usia. Usianya masih 24 sekarang. Jelas beda dari segi pengalaman, jika dibandingkan dengan Cheryl yang sudah pertengahan 30-an. Cheryl veteran. Dia masih anak kemarin sore. Dan dia pun tertekan, karena merasa tidak bahagia, tapi melihat semua orang di sekitarnya tampak bahagia.

“Nay, lo keliatan bener lagi stress, kalo lo mau, mendingan ambil cuti kek, apa kek, atau lo ajak ngobrol yang punya pub ini, minta asisten atau apa, gue tau lo lagi kacau banget, tapi kalo sampe kita semua yang lo jadiin pelampiasan, itu gak fair banget…. Atau lo bisa cari kerjaan lain, biarin tempat ini mati dengan keegoisan ownernya, seperti yang lo pernah ceritain” aku berusaha menasihatinya.

“Dan elo Ya” sepertinya dia sedang tidak bisa mendengarkan omongan siapapun.
“Kenapa gue?”
“Elo… Lo tau kan kita ngapain aja?”
“Iya gue tau”

“Dan lo bikin itu seakan-akan gak ada harganya”
“Ini kok jadi kayak gini Nay?”

“Lo gak mikirin? Lo ke Jepang, gue nunggu lo balik dan gue harap kita bisa bikin sesuatu disini yang lebih berharga dibanding sekedar temen…. Tapi lo balik bawa Kyoko…. Dan itu bikin apa yang kejadian sama kita sebelom lo ke Jepang itu berasa ga ada harganya…”
“Please… Gak fair kalo lo bawa-bawa itu”
“Dan gak fair lo bisa ketawa-tawa tiap hari sama calon istri lo, lo bisa tamasya tiap hari sama calon istri lo, sementara gue kerja disini, banting tulang hampir tiap hari sampe kayak gini, lo tau gak gimana rasanya?” tanya Kanaya dengan tajam, matanya mulai berkaca-kaca.

“Kanaya, kalo gitu stop. Jangan lanjut ngomong lagi, intinya lo harus tata hidup lo, dan lo gak bisa ngatur hidup ini seperti yang lo mau, itu egois namanya….”
“Lo bicara dari sudut pandang seorang gitaris ternama, jago banget main gitar, punya pacar cantik kayak artis Jepang, not to mention gue udah tau mantan-mantan elo selain Karina kayak gimana bentuknya, kehidupan lo mulus, karir musik lo bagus, lo kayak orang tajir mendadak sok-sok pinter ngomongin kemiskinan, tau gak?” ucap Kanaya dengan ketus.

“Itu gak adil. Lo tau kan kondisi keluarga gue sebelom bokap gue gak ada”
“Gue lagi gak mau denger masalah orang lain”
“Ternyata lo egois” mendadak kesimpulan itu ada di mulutku. “Ternyata lo selama ini iri sama kita, dan itu masalah utamanya… terus ujung-ujungnya kita semua ditembakin satu-satu….”

“Shut up” Kanaya menutup mukanya dengan tangannya.
“Apa-apaan sih?”
“Dan gue tau, cewek yang disukain sama Anin sukanya sama elo. Gue denger dari anak-anak… Lo lucky bastard banget tau gak?”

“Lucky Bastard itu kalo gue gak usaha, terus gue beruntung dengan sendirinya. Lo pikir gue jago main gitar dari lahir? Lo pikir Kyoko suka sama gue karena tiba-tiba? Gak pake proses? Lo pikir gue mau sama Zee?” aku menarik nafas panjang. “Iya, tau, nasib lo lagi buruk, lo lagi stress, tapi jangan orang lain yang lo salahin. Kita semua Cuma mau idup enak, semua orang sama. Perkara nasib mah gimana keberuntungan ama usaha…..”

“Ga mau tau”
“Ya udah”
“Iya, udah… Pulang sana… Gue mau kerja, gue gak mau make up gue luntur” ucap Kanaya dengan tangan masih menutupi wajahnya.
“Terserah” balasku, sambil berdiri dengan malas.

“Lo gak bakal bisa keluar dari stress lo kalo lo mikirin hidup orang lain terus” lanjutku.
“Shut up”

Aku menatap Kanaya dengan iba, sekaligus ada sedikit rasa marah karena pemikirannya. Aku menarik napas panjang. Terlalu panjang malah.

“Oke, gue balik. See you when I see you”

----------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd