andytama124
Guru Semprot
- Daftar
- 25 Dec 2014
- Post
- 565
- Like diterima
- 88
2
Setelah Ceng Liong menyelesaikan latihannya, dia tersenyum puas. Dia tahu, dia berhasil dengan pikiran dan celah yang diperiksanya dalam semedinya. Yang dia tidak tahu, sampai sejauh mana kemajuan yang dicapainya. Dia bahkan tidak tahu, bahwa neneknya dan orang tua aneh itu, berdecak kagum tanpa diketahuinya.
Karena bahkan kekuatan sinkang Ceng Liong meningkat begitu jauh dan secara otomatis kekuatan lainnya seperti kekuatan khikangnya, bahkan kekuatan batinnya juga menjadi berlipat. Setelah berhasil melatih tenaganya, Ceng Liong kemudian melakukan pemulihan kondisinya, dan dengan heran dia temukan kebugarannya kembali hanya dengan satu kali upayanya menyalurkan kekuatannya, artinya hanya dalam sekali putaran.
Bahkan, dia merasa tubuhnya menjadi lebih segar dan bahkan lebih bugar, dan dia bergembira untuk hal tersebut. Dan ketika menemukan manfaat dari tuntunan dan petunjuk kakek aneh didepannya itu, maka Ceng Liong kemudian kembali melakukan semedi dan berusaha mencapai kondisi seperti bagaimana awalnya dia berkomunikasi dengan kakek itu. Tetapi, alangkah kagetnya, ketika kemudian dia mampu mendengarkan apa yang sedang dipercakapkan oleh kedua orang sakti dihadapannya:
Baiklah Sinni, rasanya sudah cukup. Dan sudah saatnya engkau melakukan tugas yang sama dengan kakakmu, yakni mewakiliku untuk melaksanakan pesan dan harapan dari kawan-kawanku Kiong Siang Han dan Wie Tiong Lan. Rasanya engkau sudah mencapai tahapan yang sama dengan kakakmu, bahkan untuk kematangan kekuatan batin engkau masih mengunggulinya. Dan rasanya bencana di Tionggoan sudah setengah selesai, apa yang akan engkau lakukan adalah bagian lain yang sama dengan yang akan dilakukan kakakmu
Siancai .. siancai, terima kasih locianpwe. Apa yang harus pinni lakukan ternyata juga banyak bermanfaat bagi pinni sendiri, sungguh malu . sungguh malu, seperti berpamrih saja. Bahkan termasuk juga cucu kami, juga beroleh sesuatu yang luar biasa. Biarlah untuk melengkapi tugas kita bersama, pinni akan melakukannya karena salah satunya juga adalah murid pinni
Sinni, semua ini adalah bagian dari tugas kita masing-masing. Tidak ada budi dan tidak ada pamrih
Siancai . Engkau benar locianpwe. Pinni memang terkadang masih terikat dengan ikatan budi seperti itu. Baiklah, jika demikian pinni akan mohon diri. Mudah-mudahan masih ada pertemuan sebelum pinni mengundurkan diri dari keramaian dunia ini. Liong Jie, engkau tuntaskan apa yang harus engkau kerjakan dan lakukan. Karena lebih banyak dan lebih berat bebanmu dibandingkan kami yang tua-tua ini. Nenekmu mohon diri dan sambil bicara demikian, dengan cara yang lebih luar biasa lagi, bagai menghilang saja Liong-i-Sinni sudah lenyap dari tempat tersebut.
Hm, melulu ilmu ginkang saja, engkau memang sudah tidak akan bertemu tandingan lagi dewasa ini Sinni puji si orang tua aneh.
Siancai, engkau terlalu memuji locianpwe. Titip cucu kami suara itu datangnya dari jauh, tapi terdengar seperti didepan mata saja bagi Ceng Liong yang bergidik melihat kehebatan bibi neneknya yang mendemonstrasikan ginkang yang sulit dipercaya tersebut. Dalam keadaan bersila, neneknya bisa melayang, atau tepatnya menghilang dari pandangan matanya.
Keadaan kembali sepi dan senyap untuk beberapa saat. Sampai kemudian, dalam kondisi kontak batin dengan wujud maya, kembali telinga batin Ceng Liong menangkap ucapan si orang tua:
Anakku, setelah latihan, kemampuanmu menangkap komunikasi batin sudah meningkat tajam. Untuk menyampaikan pikiran, kalimat dan perkataanmu, engkau perlu berlatih lebih jauh, termasuk melatih menyampaikan kalimat dan pikiranmu kepada orang yang belum mampu berkomunikasi dengan cara kita ini.
Pertama, engkau perlu berkonsentrasi memasuki wilayah fisik dan batin orang yang dengannya engkau mau menyampaikan sesuatu perkataan atau kalimat. Kemudian, berkonsentrasi dengan ide atau pesan apa yang ingin disampaikan, dan sampaikan ketika usaha memasuki batin orang bersebut berhasil. Hal ini bagimu untuk saat ini, tinggal melatihnya saja.
Sambil engkau melatihnya, dan bila ada yang ingin engkau tanyakan, boleh langsung engkau tanyakan, jangan khawatir untuk menyela. Dan sambil engkau berlatih, biarlah kuceritakan kepadamu hal hal penting yang perlu engkau ketahui agar pekerjaan dan tugasmu kelak bisa engkau pahami dan kerjakan dengan baik. Beginilah ceritanya:
==============================
Sriwijaya atau dengan lidah orang Tionggoan menyebutnya Shih li fo shih, merupakan sebuah Kerajaan Maritim yang menguasai daerah perdagangan Laut antara China dan India. Bahkan pada umumnya jalur perdagangan di daerah Selatan hingga ke selat Malaka. Kerajaan yang didirikan pada kira-kira tahun 400-an ini, memanfaatkan betul jalur perdagangan laut, menguasainya dan menarik keuntungan atas penguasaan jalur perdagangan itu.
Kerajaan ini mengalami dan dipengaruhi secara kuat oleh 2 agama besar, yakni Hindu dan Budha. Kedua agama besar yang berasal dari India dan jejaknya sangat terasa di wilayah kekuasaan Sriwijaya. Bahkan tradisi dan penamaan orang di wilayah kekuasaan Sriwijaya memang sangat kental dengan khas India, dan hubungan dengan India Selatan juga memang sangat akrab, selain dengan hubungan agama.
Tetapi, belakangan agama Budhalah yang banyak dianut oleh sebagian besar penduduk kerajaan ini. Dan bersamaan dengan itu, interaksi dan hubungan Kerajaan Sriwijaya dengan India dan China menjadi sangat intens, baik melalui jalur perdagangan, maupun diplomatik. Bahkan, terutama dalam urusan agama pun, Sriwijaya menjalin hubungan yang erat dengan kedua Negara tersebut di atas, terutama dengan India Selatan dan menghasilkan kemajuan yang cukup berarti bagi kerajaan penguasa maritime waktu itu.
Pada masa Kerajaan Sriwijayalah agama Budha mengalami kemajuan sangat pesat, bahkan pada masa keemasan Kerajaan inilah, sebuah Candi Budha yang sangat terkenal, yakni Candi Borobudur di Jawadwipa didirikan. Kerajaan ini sendiri berpusat di sebuah sungai yang sangat besar, yang menghubungkan pusat kerajaan itu dengan lautan.
Dan sungai itu jugalah yang menjadi akses Kerajaan itu memasuki perdagangan lewat laut pada masa itu. Sungai besar itu bernama Sungai Musi, dan pelabuhan buat perdagangan terletak tepat di pusat Kerajaan Sriwijaya itu, di tepi sungai besar itu. Dan kelebihan Kerajaan Sriwijaya, memang justru terletak dalam kekuatan Laut mereka yang membuat cakupan atau luas kerajaannya membentang jauh hingga ke Semenanjung melayu (Thailand, Kambodja, dan bahkan terus hingga sebagian Phillipina modern).
Para penguasa Sriwijaya sangat memahami, bahwa kondisi geografis mereka dan keunggulan mereka berada di Laut, dan bukannya darat. Karena itulah, kekuatan utama mereka justru terletak di Laut, penguasaan Lautan melalui armada Laut yang sangat kuatlah yang membuat mereka berjaya. Kehebatan dan kejayaan kerajaan ini, dan pengaruh agama Budha, bahkan terasa jejaknya hingga di Thailand, ketika mereka membangun candi-candi Budha disana, sama seperti yang dilakukan di Jawadwipa.
Pada masa cerita ini, pada kisaran awal tahun 1000-an, Kerajaan Sriwijaya justru sedang mengalami terjangan dan cobaan kiri dan kanan. Raja Kerajaan Sriwijaya yang bernama Maha Raja Sri Tunggawarman, sebetulnya adalah seorang Raja yang bijaksana. Bahkan, dia lebih tepat menjadi seorang Bhiksu ketimbang menjadi seorang Raja yang memiliki kekuatan yang luar biasa dalam mengendalikan kerajaannya.
Karena memang, Maha Raja Sri Tunggawarman, adalah seorang yang saleh dan lebih menekuni agama Budha daripada menekuni ilmu pemerintahan. Akibatnya, banyak kesalahan ponggawanya yang dengan mudah diampuninya, dimaafkannya, dan berdampak pada lemahnya disiplin para pembantunya.
Lama-kelamaan, keadaan ini menjadi semakin parah, bahkan menjalar ke menurunnya disiplin bala tentaranya, karena kurangnya pengawasan ketat dari sang Raja atas para panglima perangnya. Maksud sang Raja sebetulnya tidak salah. Mudah mengampuni dan selalu memberi orang kesempatan untuk berubah.
Tetapi, bagi para pemuja kekuasaan, pemuja uang dan kenikmatan dunia, kekangan disiplin sang Raja yang melonggar, membuat mereka bersimaharajalela. Toch dengan mudah bisa minta ampun, dan akan diberi kesempatan lagi oleh sang Raja. Karena mereka semakin memahami bagaimana cara memperoleh belas kasihan dan pengampunan dari Maha Raja mereka yang bagai Budha Hidup itu.
Kekuatan Kerajaan besar yang tergerogoti dari dalam ini, perlahan namun pasti mulai tercium oleh lawan-lawan potensial Kerajaan Sirwijaya. Dan, adalah Kerajaan Cola di India yang pertama berani menyerang Kerajaan Sriwijaya pada tahun 1017. Hanya saja, serangan pada tahun itu kurang berhasil baik, karena kekuatan armada Sriwijaya masih cukup tangguh menghalau serangan tersebut.
Tetapi, serangan kedua, setelah mempelajari kekalahan dalam serangan pertama, ditambah dengan semakin surutnya disiplin bala tentara Sriwijaya berhasil dengan sukses. Serangan pada tahun 1025 ini, bahkan berhasil menawan Raja Sriwijaya dan menahan serta menawannya untuk dibawa ke Kerajaan Colo.
Kerajaan Sriwijaya, memang masih bertahan beberapa tahun, tetapi kontrolnya atas kerajaan taklukan secara perlahan memudar, dan bahkan pada tahun 1110, Kerajaan Sriwijaya menjadi taklukan sebuah kerajaan kecil di pulau yang sama, Sumatera. Dan pada tahun 1300-an, Kerajaan Sriwijaya tinggal puing dan cerita belaka, ketika kemudian sebuah Kerajaan dari Jawadwipa menyapunya dan menjadikannya sebagai daerah taklukan.
Sebetulnya, sebelum Rajendracola I naik tahta, hubungan segitiga Sriwijaya, India Selatan dan Tiongkok dalam hal ini Kerajaan Sung, sangatlah erat. Bahkan segitiga itu bukan hanya memiliki hubungan diplomatik, tetapi juga hubungan politik dan militer yang sangat erat. Lebih dari itu, hubungan keagamaan dan tukar menukar hadiah, serta pengetahuan juga berlangsung secara baik.
Dan dalam kaitan konflik di Nusantara, hubungan segitiga itu juga dimaksudkan untuk menghadapi Jawadwipa. Hal ini terutama karena hubungan yang kurang begitu baik antara Kerajaan Sriwijaya dengan wangsa Syailendra di Jawa. Tetapi, hubungan segitiga tersebut kemudan bubar ketika Rajendracola I naik tahta di India Selatan, dan bahkan kemudian menyerang Sriwijaya pada tahun 1017, meski tidak menghasilkan apa-apa.
Tetapi, seperti diceritakan didepan, kekuatan Armada Laut Sriwijaya waktu itu masihg berkemampuan hebat dalam menghalau dan menghentikan agresi Rajendracola I yang memiliki ambisi ekspansif tersebut. Dan sejak saat itu, hubungan segitiga tersebut menjadi kurang harmonis dan bahkan terus berkelanjutan sampai pada tahun-tahun panjang kedepan.
Siriwijaya atau Shih li fo shih memang mampu bertahan dari serangan Rajendracola I, Raja dari Kerajaan Cola di India yang memiliki ambisi perluasan kerajaan. Sebelumnya, Rajendracola I memang berhasil menyapu kerajaan-kerajaan sekitarnya sampai ke Srilanka dan menjadikan kerajaan disana menjadi daerah atau kerajaan taklukannya.
Tetapi, dia masih belum sanggup menaklukkan Sriwijaya. Sesudah serbuan Rajendracola I ke Sriwijaya pada tahun 1017, tahun-tahun sesudah pertempuran yang berhasil mengenyahkan serbuan Kerajaan Cola tersebut ditandai dengan perubahan-perubahan yang cukup pesat. Bahkan anehnya terkesan arus masuknya orang-orang dari India, baik karena berdagang maupun karena urusan agama menjadi lebih sering.
Lebih dari itu, terdapat indikasi bahwa masuknya orang-orang India tersebut tidak semata karena keperluan berdagang, tetapi karena maksud-maksud tertentu. Terutama mereka yang termasuk dalam rombongan urusan keagamaan. Dan kondisi ini menjadi lebih sering dan lebih bebas ketika kemudian Raja Sri Tunggawarman atau Sanggramawijayatunggawarman naik tahta pada tahun 1020 menggantikan ayahandanya.
Raja Sri Tunggawarman ini, sebetulnya adalah seorang yang bijaksana, murah hati dan seorang penganut agama Budha yang sangat taat. Karenanya, Raja Sri Tunggawarman ini, bagi banyak orang lebih dipandang tepat menjadi Pendeta Budha ketimbang menjadi Raja dari sebuah Kerajaan sebesar Sriwijaya.
Karena bahkan untuk membunuh seekor semutpun, sang Raja Sri Tunggawarman enggan dan tidak sampai hati. Bagaimana mungkin sang Raja sanggup mengendalikan Kerajaan Sriwijaya yang demikian megah dan besar tanpa rasa tega untuk memberi hukuman terhadap punggawa ataupun pembantunya yang melakukan kesalahan? Dan memang, hal itulah yang kemudian terjadi hari-hari selanjutnya di dalam perkembangan kerajaan besar tersebut.
Dan, kegemaran Raja Sri Tunggawarman untuk belajar dan terus memperdalam ajaran Budha, membuatnya begitu haus untuk bercakap dan berdiskusi dengan banyak ahli agama Budha. Bahkan untuk maksud tersebut, tidak segan dia mengundang Bhiksu dari India bahkan juga Bhiksu dari Jawadwipa yang memiliki pengalaman hidup dan pendalaman keagamaan yang lebih.
Dan karena itu pula, di Sriwijaya jadi semakin banyak dan semakin sering kedatangan Bhiksu Budha dan rombongan yang berkunjung untuk maksud keagamaan. Dan semakin banyaklah pula pendatang asing yang masuk untuk urusan keagamaan dan urusan perdagangan. Hal yang sangat digemari oleh Maha Raja Sriwijaya tersebut, ternyata menghasilkan keadaan dan kondisi di luar istana yang tidak terduga.
Tentu tidak terduga oleh sang Raja, tetapi bagi beberapa orang pintar di lingkungan Sriwijaya, dan bahkan dari Jawadwipa, mampu mencium kondisi yang kurang beres, meskipun kekurangberesan itu sangat sulit untuk mereka buktikan. Tetapi yang jelas, keadaan tersebut semakin kurang menguntungkan bagi Sriwijaya dan bahkan Swarnadwipa dan Jawadwipa secara keseluruhan.
Orang-orang pintar dari India dengan bebas menjelajahi pelosok Swarnadwipa dan bahkan hingga memasuki area kekuasaan Jawadwipa. Dan tidak semua ahli agama Budha dan rombongannya itu adalah orang baik-baik, sama sekai tidak. Karena ada kelompok dan oknum tertentu yang memasuki Swarnadwipa dan Jawadwipa dengan maksud maksud berbeda dari yang diketahui sang Raja. Dan dari sinilah kesemrawutan itu berawal, bahkan mengaduk-aduk bukan hanya tanah India, tetapi juga daerah Tiongkok (Tionggoan), Sriwijaya (Swarnadwipa) dan juga sampai ke Jawadwipa (Jawa).
=======================
Siang itu, nampak seorang tua, paling banyak berusia lebih dari 50 tahunan, dengan wajah berseri sedang menghadap ke sungai. Apa gerangan yang membuatnya senyum-senyum? Bagi orang lain, pasti hal itu terasa aneh. Tetapi, seperti itulah biasanya orang tua yang dikenal sebagai Nelayan Aneh Sungai Musi.
Hampir setiap hari orang tua yang dikenal sebagai Nelayan Aneh Sungai Musi atau sering juga dipanggil Nelayan Sakti Sungai Musi ini, nampak mengail dipinggiran sungai Musi. Sebuah sungai besar yang mengalir dan membelah Pusat Kota Raja Sriwijaya, yang memang terkenal sebagai alur perdagangan yang ramai di Selat Malaka.
Selat perdagangan yang ramai dilintasi pedagang India, Tiongkok, Srilanka, Burma, Thailand dan bahkan Jawadwipa. Tetapi, aktifitas si nelayan ini menjadi aneh bagi kebanyakan, karena tidak pernah saat mengail, orang tua ini mendapatkan bahkan 1 atau 2 ekor ikan sekalipun.
Dan lebih aneh lagi, orang tua ini ternyata tidak suka makan ikan. Karena memang orang tua ini adalah salah seorang pengikut agama Budha yang taat, dan dulunya memang seorang Nelayan. Ketika memeluk agama Budha, Nelayan Tua ini kemudian melanjutkan kegemaran dan keahliannya tanpa mata kail, dan karenanya memang dia tidak pernah memperoleh seekorpun ikan.
Tapi jangan salah duga, Nelayan Tua ini bukan orang sembarangan. Dulunya dia gemar mengembara dari lautan ke lautan, dan bahkan sering berkelana hingga ke daerah Jawadwipa. Dia memang bukan orang sembarangan, bahkan seorang yang memiliki kepandaian yang sangat tinggi, dengan pengalaman yang segudang.
Jikapun Nelayan Tua yang aneh dan sakti ini sering kelihatan berada di tepian sungai musi tahun-tahun belakangan ini, lebih disebabkan oleh keterikatan yang memang disenanginya. Orang tua ini sedang mendidik putra dan putri Panglima Tertinggi Armada Laut Kerajaan Sriwijaya yang sangat berkuasa namun sangat bijaksana dan cinta tanah airnya. Panglima Kerajaan Sriwijaya ini bernama Jayeng Kencana dan memperoleh julukan Malaikat Samudera Raya.
Panglima Armada Laut Kerajaan Sriwijaya ini adalah seorang yang sebetulnya bertubuh biasa saja, sedang-sedang saja, tetapi memiliki kemampuan memimpin yang luar biasa. Kemampuan membangkitkan semangat dan kesanggupan membaca keadaan alam dan posisi lawan dalam pertempuran laut. Karena itu, meski bertubuh sedang, tetapi wibawa yang ditimbulkan orang ini sungguh luar biasa.
Apalagi jika sedang mengenakan pakaian kebesarannya dan berdiri di hadapan pasukannya. Tetapi, Panglima Jayeng Kencana ini adalah tokoh yang rendah hati, dan bila sedang bertempur, lebih suka menanggalkan pakaian kebesarannya, dan bertempur bersama dengan anak buahnya.
Tidak heran bila kemudian Panglima Perang Angkatan Perang di lautan Sriwijaya ini begitu dihormati dan dicintai, bukan hanya oleh anak buahnya, tetapi juga oleh rakyat Sriwijaya. Bahkan Kerajaan-kerajaan taklukan, semua menaruh hormat kepada Panglima yang rendah hati tetapi sangat handal dan sangat berdisiplin ini. Bahkan sang Maha Raja Sriwijayapun menaruh hormat dan sangat mempercayai Panglima Perang Lautan ini.
Siang itu, si Nelayan Aneh Sungai Musi, demikian orang tua itu dikenal pada lebih 10 tahun terakhir sejak menetap di dekat ibukota Sriwijaya, tepatnya dipinggiran sungai Musi, sedang bersiul-siul dan tersenyum memandangi sungai di depannya. Bukan apa-apa. Bukan sedang tegang. Sebaliknya, senyum-senyum dan memandangi sungai di hadapannya seakan tahu bahwa rombongan ikan dalam sungai itu sedang seliweran didekat kail yang tidak bermata itu.
Tetapi untuk itupun, si Nelayan Aneh nampak senyam-senyum belaka. Karena memang, seperti biasanya, untuk kesenangan belaka dia mengail, dan bukannya untuk menangkap seekor dua ekor ikan guna memasuki perutnya. Dan seperti hari-hari biasanya selama 10 tahun terakhir, tidak jauh di belakangnya terdengar seliweran angin.
Tetapi bukan angin biasa, karena datangnya dari dua orang, sepasang anak muda, laki-laki dan perempuan yang sedang melakukan latihan silat. Dan bukan tidak mungkin, senyum si nelayan, karena juga mengagumi gerakan dan kemajuan dua orang anak yang dibimbingnya selama lebih kurang 10 tahun terakhir ini.
Terlebih, jika mengingat, bahwa kedua anak muda yang dilatihnya ini, justru adalah keponakannya sendiri. Nelayan Aneh ini, tanpa seorangpun tahu, sebetulnya adalah Adik kandung dari Panglima Armada Laut Sriwijaya. Bukan sang Panglima yang tak mau mengakuinya, tetapi adalah manusia aneh inilah, yang justru mensyaratkan melatih kemenakannya tetapi tanpa seorangpun tahu dia sebagai adik sang Panglima.
Dan sementara sang Adik bergelimang kemasyuran dan kekayaan di pusat kerajaan Sriwijaya, sang adik, justru memilih tinggal di luar kota, sedikit agak ke pedalaman, dan dipinggir Sungai besar. Dan dengan gubuk seadanya, dia tinggal menyatu dengan alam, bermain dengan ikan sepanjang sungai Musi, dan menyatu dengan alam.
Nampak seperti dia hidup melarat, tapi jangan salah, justru hidup semacam itulah yang justru sangat disukainya. Dan dia sama sekali tidak tertarik hidup di tengah keramaian seperti yang dilakukan dan dikecap oleh kakak kandungnya, sang panglima armada laut Sriwijaya. Sang kakak yang maklum akan keadaan adiknya, tidak pernah memaksa adiknya tinggal di rumahnya yang megah.
Dia sungguh paham gejolak jiwa adiknya, dan dia sangat menghargainya. Bahkan dia sangat menghormati pilihan adiknya, dan mempercayakan kedua anaknya untuk berada di bawah bimbingan adiknya itu. Baik dalam hal Ilmu Silat maupun tuntunan budi pekerti, sang Panglima mempercayakannya kepada adiknya tersebut. Dan tentu, nyaris tak seorangpun tahu kalau waktu senggang dan waktu tertentu kedua kakak beradik yang nampak lembut, sopan dan terpelajar itu, mengunjungi paman mereka untuk latihan Ilmu Silat.
Dan dari angin serangan yang ditimbulkan kedua kakak beradik itu, dapat diketahui, kalau tingkatan mereka dalam ilmu silat sudah bukan sembarangan lagi. Pergerakan mereka sudah menunjukkan tingkat yang cukup tinggi, dan membuat pelatih mereka, paman sendiri, nampak senyum senyum mengikuti pergerakan mereka.
Jelas sekali, ilmu-ilmu tingkat tinggi yang di ajarkannya sudah sanggup diserap dan dimainkan dengan matang oleh kedua anak itu. Bahkan mereka tinggal mematangkannya, dan kiranya penguasaan ilmu mereka tidaklah tertinggal jauh dari kedua muridnya yang lain. Kedua murid yang dipungutnya sebagai anak angkat dalam perjalanan pengembaraannya di Jawadwipa.
Dan kedua anak angkatnya itupun sudah menjadi tokoh-tokoh yang mampu mengangkat nama dan kehormatannya. Karena keduanya adalah panglima pengapit kakaknya di Kesatuan Armada Laut Sriwijaya. Bahkan dalam tugas di darat, mereka sering menjadi petugas yang handal dalam mengendus informasi-informasi yang dibutuhkan (sejenis intelejen). Mengenangkan semuanya, membuat orang tua itu merasa sangat puas.
Meskipun pada bulan-bulan terakhir, dia memperoleh tanda-tanda yang membuat hatinya berdebar-debar. Kewaspadaan dan kematangannya itu yang membuat dia sangat awas. Tetapi, sampai saat ini, Nelayan Sakti Sungai Musi, tetap masih belum mengerti, mengapa tanda-tanda yang tak menyenangkan itu selalu mendatanginya. Meskipun sebagai seorang yang taat terhadap Budha, Nelayan Sakti ini tetap sanggup menahan diri dan tidak panic dengan tanda tersebut.
Seandainya tokoh ini mengerti dan berada di dunia politik, tentunya dia akan cepat menyadari keadaan tersebut. Sayang, dia tidak pernah minat bahkan untuk membicarakannya sekalipun. Itulah sebabnya, dia tidak mengenal dan mengetahui apa gerangan yang sedang terjadi disekitarnya. Dan yang bahkan sebetulnya sudah berada didepan hidungnya.
Tengah dengan asyiknya Nelayan Sakti mengikuti pergerakan muridnya dan menikmati kesenangannya di pinggir sungai, tiba-tiba perasaannya yang sangat peka sedikit terusik. Dan tidak berapa lama kemudian Nelayan Sakti nampak mengerutkan keningnya, berkonsentrasi dan dengan cepat nampak dia memalingkan wajah kearah hutan di pinggir atau seberang Sungai Musi yang ada dihadapannya.
Nampaknya Nelayan Sakti sudah tahu bahwa sesuatu sedang terjadi di sebrang sungai, dan lebih lagi, sesuatu itu adalah kejadian yang tak menyenangkan. Bahkan nampaknya terkait dengan dirinya sendiri. Apakah gerangan? Meski belum mengetahui detail, tetapi jelas pertahanan batinnya terusik. Karenanya Nelayan Sakti kemudian berbisik yang dapat didengar jelas kedua murid mudanya:
Hentikan latihan, dan bersiaga. Jangan kemana-mana sampai aku kembali ketempat ini
Dan begitu selesai Nelayan Sakti menyampaikan pesannya, tiba-tiba tubuhnya seperti terangkat dan melayang ketengah sungai, diikuti dengan pandangan kagum kedua muridnya. Mereka tahu paman dan guru mereka itu memang manusia sakti, tetapi baru sekarang mereka menyaksikan guru mereka mengambang dari bumi dan seperti terbang menyeberangi sungai yang sangat lebar itu.
Sementara itu, Nelayan Sakti sudah sampai di seberang sungai, dan dengan kecepatan yang sulit diikuti pandangan mata, tokoh tua itu melaju kearah sumber suara yang menyentakkan batinnya tersebut. Dan tidak lama waktu yang dibutuhkannya untuk sampai ke tempat darimana sumber suara yang mengusiknya datang. Dan, dengan terkejut dia menyaksikan betapa tubuh salah seorang muridnya sudah bermandi darah, bahkan lengan kirinya sudah buntung, tetapi masih tetap melakukan perlawanan dengan gagahnya.
Meskipun batinnya sudah matang, tetapi menyaksikan anak yang diasuhnya sejak kecil dalam keadaan menyedihkan, terselip kegetiran didadanya, yang dengan cepat ditindasnya. Perlahan dia mendekati arena pertempuran, dan dengan sebuah sapuan berisi salah satu ilmu andalannya, Ajian Inti Lebur Sakheti, meluncurlah angin pukulan membadai yang anehnya bablas saja menembus badan anak muridnya dan memapas serangan tiga orang asing yang mengeroyoknya.
Tetapi untungnya, bukan dengan maksud memukul roboh Nelayan Sakti menyerang mereka, tetapi menahan serangan mereka dan mengundurkan mereka. Tapi akibatnya sudah cukup membuat ketiganya terdorong ke belakang
Setelah Ceng Liong menyelesaikan latihannya, dia tersenyum puas. Dia tahu, dia berhasil dengan pikiran dan celah yang diperiksanya dalam semedinya. Yang dia tidak tahu, sampai sejauh mana kemajuan yang dicapainya. Dia bahkan tidak tahu, bahwa neneknya dan orang tua aneh itu, berdecak kagum tanpa diketahuinya.
Karena bahkan kekuatan sinkang Ceng Liong meningkat begitu jauh dan secara otomatis kekuatan lainnya seperti kekuatan khikangnya, bahkan kekuatan batinnya juga menjadi berlipat. Setelah berhasil melatih tenaganya, Ceng Liong kemudian melakukan pemulihan kondisinya, dan dengan heran dia temukan kebugarannya kembali hanya dengan satu kali upayanya menyalurkan kekuatannya, artinya hanya dalam sekali putaran.
Bahkan, dia merasa tubuhnya menjadi lebih segar dan bahkan lebih bugar, dan dia bergembira untuk hal tersebut. Dan ketika menemukan manfaat dari tuntunan dan petunjuk kakek aneh didepannya itu, maka Ceng Liong kemudian kembali melakukan semedi dan berusaha mencapai kondisi seperti bagaimana awalnya dia berkomunikasi dengan kakek itu. Tetapi, alangkah kagetnya, ketika kemudian dia mampu mendengarkan apa yang sedang dipercakapkan oleh kedua orang sakti dihadapannya:
Baiklah Sinni, rasanya sudah cukup. Dan sudah saatnya engkau melakukan tugas yang sama dengan kakakmu, yakni mewakiliku untuk melaksanakan pesan dan harapan dari kawan-kawanku Kiong Siang Han dan Wie Tiong Lan. Rasanya engkau sudah mencapai tahapan yang sama dengan kakakmu, bahkan untuk kematangan kekuatan batin engkau masih mengunggulinya. Dan rasanya bencana di Tionggoan sudah setengah selesai, apa yang akan engkau lakukan adalah bagian lain yang sama dengan yang akan dilakukan kakakmu
Siancai .. siancai, terima kasih locianpwe. Apa yang harus pinni lakukan ternyata juga banyak bermanfaat bagi pinni sendiri, sungguh malu . sungguh malu, seperti berpamrih saja. Bahkan termasuk juga cucu kami, juga beroleh sesuatu yang luar biasa. Biarlah untuk melengkapi tugas kita bersama, pinni akan melakukannya karena salah satunya juga adalah murid pinni
Sinni, semua ini adalah bagian dari tugas kita masing-masing. Tidak ada budi dan tidak ada pamrih
Siancai . Engkau benar locianpwe. Pinni memang terkadang masih terikat dengan ikatan budi seperti itu. Baiklah, jika demikian pinni akan mohon diri. Mudah-mudahan masih ada pertemuan sebelum pinni mengundurkan diri dari keramaian dunia ini. Liong Jie, engkau tuntaskan apa yang harus engkau kerjakan dan lakukan. Karena lebih banyak dan lebih berat bebanmu dibandingkan kami yang tua-tua ini. Nenekmu mohon diri dan sambil bicara demikian, dengan cara yang lebih luar biasa lagi, bagai menghilang saja Liong-i-Sinni sudah lenyap dari tempat tersebut.
Hm, melulu ilmu ginkang saja, engkau memang sudah tidak akan bertemu tandingan lagi dewasa ini Sinni puji si orang tua aneh.
Siancai, engkau terlalu memuji locianpwe. Titip cucu kami suara itu datangnya dari jauh, tapi terdengar seperti didepan mata saja bagi Ceng Liong yang bergidik melihat kehebatan bibi neneknya yang mendemonstrasikan ginkang yang sulit dipercaya tersebut. Dalam keadaan bersila, neneknya bisa melayang, atau tepatnya menghilang dari pandangan matanya.
Keadaan kembali sepi dan senyap untuk beberapa saat. Sampai kemudian, dalam kondisi kontak batin dengan wujud maya, kembali telinga batin Ceng Liong menangkap ucapan si orang tua:
Anakku, setelah latihan, kemampuanmu menangkap komunikasi batin sudah meningkat tajam. Untuk menyampaikan pikiran, kalimat dan perkataanmu, engkau perlu berlatih lebih jauh, termasuk melatih menyampaikan kalimat dan pikiranmu kepada orang yang belum mampu berkomunikasi dengan cara kita ini.
Pertama, engkau perlu berkonsentrasi memasuki wilayah fisik dan batin orang yang dengannya engkau mau menyampaikan sesuatu perkataan atau kalimat. Kemudian, berkonsentrasi dengan ide atau pesan apa yang ingin disampaikan, dan sampaikan ketika usaha memasuki batin orang bersebut berhasil. Hal ini bagimu untuk saat ini, tinggal melatihnya saja.
Sambil engkau melatihnya, dan bila ada yang ingin engkau tanyakan, boleh langsung engkau tanyakan, jangan khawatir untuk menyela. Dan sambil engkau berlatih, biarlah kuceritakan kepadamu hal hal penting yang perlu engkau ketahui agar pekerjaan dan tugasmu kelak bisa engkau pahami dan kerjakan dengan baik. Beginilah ceritanya:
==============================
Sriwijaya atau dengan lidah orang Tionggoan menyebutnya Shih li fo shih, merupakan sebuah Kerajaan Maritim yang menguasai daerah perdagangan Laut antara China dan India. Bahkan pada umumnya jalur perdagangan di daerah Selatan hingga ke selat Malaka. Kerajaan yang didirikan pada kira-kira tahun 400-an ini, memanfaatkan betul jalur perdagangan laut, menguasainya dan menarik keuntungan atas penguasaan jalur perdagangan itu.
Kerajaan ini mengalami dan dipengaruhi secara kuat oleh 2 agama besar, yakni Hindu dan Budha. Kedua agama besar yang berasal dari India dan jejaknya sangat terasa di wilayah kekuasaan Sriwijaya. Bahkan tradisi dan penamaan orang di wilayah kekuasaan Sriwijaya memang sangat kental dengan khas India, dan hubungan dengan India Selatan juga memang sangat akrab, selain dengan hubungan agama.
Tetapi, belakangan agama Budhalah yang banyak dianut oleh sebagian besar penduduk kerajaan ini. Dan bersamaan dengan itu, interaksi dan hubungan Kerajaan Sriwijaya dengan India dan China menjadi sangat intens, baik melalui jalur perdagangan, maupun diplomatik. Bahkan, terutama dalam urusan agama pun, Sriwijaya menjalin hubungan yang erat dengan kedua Negara tersebut di atas, terutama dengan India Selatan dan menghasilkan kemajuan yang cukup berarti bagi kerajaan penguasa maritime waktu itu.
Pada masa Kerajaan Sriwijayalah agama Budha mengalami kemajuan sangat pesat, bahkan pada masa keemasan Kerajaan inilah, sebuah Candi Budha yang sangat terkenal, yakni Candi Borobudur di Jawadwipa didirikan. Kerajaan ini sendiri berpusat di sebuah sungai yang sangat besar, yang menghubungkan pusat kerajaan itu dengan lautan.
Dan sungai itu jugalah yang menjadi akses Kerajaan itu memasuki perdagangan lewat laut pada masa itu. Sungai besar itu bernama Sungai Musi, dan pelabuhan buat perdagangan terletak tepat di pusat Kerajaan Sriwijaya itu, di tepi sungai besar itu. Dan kelebihan Kerajaan Sriwijaya, memang justru terletak dalam kekuatan Laut mereka yang membuat cakupan atau luas kerajaannya membentang jauh hingga ke Semenanjung melayu (Thailand, Kambodja, dan bahkan terus hingga sebagian Phillipina modern).
Para penguasa Sriwijaya sangat memahami, bahwa kondisi geografis mereka dan keunggulan mereka berada di Laut, dan bukannya darat. Karena itulah, kekuatan utama mereka justru terletak di Laut, penguasaan Lautan melalui armada Laut yang sangat kuatlah yang membuat mereka berjaya. Kehebatan dan kejayaan kerajaan ini, dan pengaruh agama Budha, bahkan terasa jejaknya hingga di Thailand, ketika mereka membangun candi-candi Budha disana, sama seperti yang dilakukan di Jawadwipa.
Pada masa cerita ini, pada kisaran awal tahun 1000-an, Kerajaan Sriwijaya justru sedang mengalami terjangan dan cobaan kiri dan kanan. Raja Kerajaan Sriwijaya yang bernama Maha Raja Sri Tunggawarman, sebetulnya adalah seorang Raja yang bijaksana. Bahkan, dia lebih tepat menjadi seorang Bhiksu ketimbang menjadi seorang Raja yang memiliki kekuatan yang luar biasa dalam mengendalikan kerajaannya.
Karena memang, Maha Raja Sri Tunggawarman, adalah seorang yang saleh dan lebih menekuni agama Budha daripada menekuni ilmu pemerintahan. Akibatnya, banyak kesalahan ponggawanya yang dengan mudah diampuninya, dimaafkannya, dan berdampak pada lemahnya disiplin para pembantunya.
Lama-kelamaan, keadaan ini menjadi semakin parah, bahkan menjalar ke menurunnya disiplin bala tentaranya, karena kurangnya pengawasan ketat dari sang Raja atas para panglima perangnya. Maksud sang Raja sebetulnya tidak salah. Mudah mengampuni dan selalu memberi orang kesempatan untuk berubah.
Tetapi, bagi para pemuja kekuasaan, pemuja uang dan kenikmatan dunia, kekangan disiplin sang Raja yang melonggar, membuat mereka bersimaharajalela. Toch dengan mudah bisa minta ampun, dan akan diberi kesempatan lagi oleh sang Raja. Karena mereka semakin memahami bagaimana cara memperoleh belas kasihan dan pengampunan dari Maha Raja mereka yang bagai Budha Hidup itu.
Kekuatan Kerajaan besar yang tergerogoti dari dalam ini, perlahan namun pasti mulai tercium oleh lawan-lawan potensial Kerajaan Sirwijaya. Dan, adalah Kerajaan Cola di India yang pertama berani menyerang Kerajaan Sriwijaya pada tahun 1017. Hanya saja, serangan pada tahun itu kurang berhasil baik, karena kekuatan armada Sriwijaya masih cukup tangguh menghalau serangan tersebut.
Tetapi, serangan kedua, setelah mempelajari kekalahan dalam serangan pertama, ditambah dengan semakin surutnya disiplin bala tentara Sriwijaya berhasil dengan sukses. Serangan pada tahun 1025 ini, bahkan berhasil menawan Raja Sriwijaya dan menahan serta menawannya untuk dibawa ke Kerajaan Colo.
Kerajaan Sriwijaya, memang masih bertahan beberapa tahun, tetapi kontrolnya atas kerajaan taklukan secara perlahan memudar, dan bahkan pada tahun 1110, Kerajaan Sriwijaya menjadi taklukan sebuah kerajaan kecil di pulau yang sama, Sumatera. Dan pada tahun 1300-an, Kerajaan Sriwijaya tinggal puing dan cerita belaka, ketika kemudian sebuah Kerajaan dari Jawadwipa menyapunya dan menjadikannya sebagai daerah taklukan.
Sebetulnya, sebelum Rajendracola I naik tahta, hubungan segitiga Sriwijaya, India Selatan dan Tiongkok dalam hal ini Kerajaan Sung, sangatlah erat. Bahkan segitiga itu bukan hanya memiliki hubungan diplomatik, tetapi juga hubungan politik dan militer yang sangat erat. Lebih dari itu, hubungan keagamaan dan tukar menukar hadiah, serta pengetahuan juga berlangsung secara baik.
Dan dalam kaitan konflik di Nusantara, hubungan segitiga itu juga dimaksudkan untuk menghadapi Jawadwipa. Hal ini terutama karena hubungan yang kurang begitu baik antara Kerajaan Sriwijaya dengan wangsa Syailendra di Jawa. Tetapi, hubungan segitiga tersebut kemudan bubar ketika Rajendracola I naik tahta di India Selatan, dan bahkan kemudian menyerang Sriwijaya pada tahun 1017, meski tidak menghasilkan apa-apa.
Tetapi, seperti diceritakan didepan, kekuatan Armada Laut Sriwijaya waktu itu masihg berkemampuan hebat dalam menghalau dan menghentikan agresi Rajendracola I yang memiliki ambisi ekspansif tersebut. Dan sejak saat itu, hubungan segitiga tersebut menjadi kurang harmonis dan bahkan terus berkelanjutan sampai pada tahun-tahun panjang kedepan.
Siriwijaya atau Shih li fo shih memang mampu bertahan dari serangan Rajendracola I, Raja dari Kerajaan Cola di India yang memiliki ambisi perluasan kerajaan. Sebelumnya, Rajendracola I memang berhasil menyapu kerajaan-kerajaan sekitarnya sampai ke Srilanka dan menjadikan kerajaan disana menjadi daerah atau kerajaan taklukannya.
Tetapi, dia masih belum sanggup menaklukkan Sriwijaya. Sesudah serbuan Rajendracola I ke Sriwijaya pada tahun 1017, tahun-tahun sesudah pertempuran yang berhasil mengenyahkan serbuan Kerajaan Cola tersebut ditandai dengan perubahan-perubahan yang cukup pesat. Bahkan anehnya terkesan arus masuknya orang-orang dari India, baik karena berdagang maupun karena urusan agama menjadi lebih sering.
Lebih dari itu, terdapat indikasi bahwa masuknya orang-orang India tersebut tidak semata karena keperluan berdagang, tetapi karena maksud-maksud tertentu. Terutama mereka yang termasuk dalam rombongan urusan keagamaan. Dan kondisi ini menjadi lebih sering dan lebih bebas ketika kemudian Raja Sri Tunggawarman atau Sanggramawijayatunggawarman naik tahta pada tahun 1020 menggantikan ayahandanya.
Raja Sri Tunggawarman ini, sebetulnya adalah seorang yang bijaksana, murah hati dan seorang penganut agama Budha yang sangat taat. Karenanya, Raja Sri Tunggawarman ini, bagi banyak orang lebih dipandang tepat menjadi Pendeta Budha ketimbang menjadi Raja dari sebuah Kerajaan sebesar Sriwijaya.
Karena bahkan untuk membunuh seekor semutpun, sang Raja Sri Tunggawarman enggan dan tidak sampai hati. Bagaimana mungkin sang Raja sanggup mengendalikan Kerajaan Sriwijaya yang demikian megah dan besar tanpa rasa tega untuk memberi hukuman terhadap punggawa ataupun pembantunya yang melakukan kesalahan? Dan memang, hal itulah yang kemudian terjadi hari-hari selanjutnya di dalam perkembangan kerajaan besar tersebut.
Dan, kegemaran Raja Sri Tunggawarman untuk belajar dan terus memperdalam ajaran Budha, membuatnya begitu haus untuk bercakap dan berdiskusi dengan banyak ahli agama Budha. Bahkan untuk maksud tersebut, tidak segan dia mengundang Bhiksu dari India bahkan juga Bhiksu dari Jawadwipa yang memiliki pengalaman hidup dan pendalaman keagamaan yang lebih.
Dan karena itu pula, di Sriwijaya jadi semakin banyak dan semakin sering kedatangan Bhiksu Budha dan rombongan yang berkunjung untuk maksud keagamaan. Dan semakin banyaklah pula pendatang asing yang masuk untuk urusan keagamaan dan urusan perdagangan. Hal yang sangat digemari oleh Maha Raja Sriwijaya tersebut, ternyata menghasilkan keadaan dan kondisi di luar istana yang tidak terduga.
Tentu tidak terduga oleh sang Raja, tetapi bagi beberapa orang pintar di lingkungan Sriwijaya, dan bahkan dari Jawadwipa, mampu mencium kondisi yang kurang beres, meskipun kekurangberesan itu sangat sulit untuk mereka buktikan. Tetapi yang jelas, keadaan tersebut semakin kurang menguntungkan bagi Sriwijaya dan bahkan Swarnadwipa dan Jawadwipa secara keseluruhan.
Orang-orang pintar dari India dengan bebas menjelajahi pelosok Swarnadwipa dan bahkan hingga memasuki area kekuasaan Jawadwipa. Dan tidak semua ahli agama Budha dan rombongannya itu adalah orang baik-baik, sama sekai tidak. Karena ada kelompok dan oknum tertentu yang memasuki Swarnadwipa dan Jawadwipa dengan maksud maksud berbeda dari yang diketahui sang Raja. Dan dari sinilah kesemrawutan itu berawal, bahkan mengaduk-aduk bukan hanya tanah India, tetapi juga daerah Tiongkok (Tionggoan), Sriwijaya (Swarnadwipa) dan juga sampai ke Jawadwipa (Jawa).
=======================
Siang itu, nampak seorang tua, paling banyak berusia lebih dari 50 tahunan, dengan wajah berseri sedang menghadap ke sungai. Apa gerangan yang membuatnya senyum-senyum? Bagi orang lain, pasti hal itu terasa aneh. Tetapi, seperti itulah biasanya orang tua yang dikenal sebagai Nelayan Aneh Sungai Musi.
Hampir setiap hari orang tua yang dikenal sebagai Nelayan Aneh Sungai Musi atau sering juga dipanggil Nelayan Sakti Sungai Musi ini, nampak mengail dipinggiran sungai Musi. Sebuah sungai besar yang mengalir dan membelah Pusat Kota Raja Sriwijaya, yang memang terkenal sebagai alur perdagangan yang ramai di Selat Malaka.
Selat perdagangan yang ramai dilintasi pedagang India, Tiongkok, Srilanka, Burma, Thailand dan bahkan Jawadwipa. Tetapi, aktifitas si nelayan ini menjadi aneh bagi kebanyakan, karena tidak pernah saat mengail, orang tua ini mendapatkan bahkan 1 atau 2 ekor ikan sekalipun.
Dan lebih aneh lagi, orang tua ini ternyata tidak suka makan ikan. Karena memang orang tua ini adalah salah seorang pengikut agama Budha yang taat, dan dulunya memang seorang Nelayan. Ketika memeluk agama Budha, Nelayan Tua ini kemudian melanjutkan kegemaran dan keahliannya tanpa mata kail, dan karenanya memang dia tidak pernah memperoleh seekorpun ikan.
Tapi jangan salah duga, Nelayan Tua ini bukan orang sembarangan. Dulunya dia gemar mengembara dari lautan ke lautan, dan bahkan sering berkelana hingga ke daerah Jawadwipa. Dia memang bukan orang sembarangan, bahkan seorang yang memiliki kepandaian yang sangat tinggi, dengan pengalaman yang segudang.
Jikapun Nelayan Tua yang aneh dan sakti ini sering kelihatan berada di tepian sungai musi tahun-tahun belakangan ini, lebih disebabkan oleh keterikatan yang memang disenanginya. Orang tua ini sedang mendidik putra dan putri Panglima Tertinggi Armada Laut Kerajaan Sriwijaya yang sangat berkuasa namun sangat bijaksana dan cinta tanah airnya. Panglima Kerajaan Sriwijaya ini bernama Jayeng Kencana dan memperoleh julukan Malaikat Samudera Raya.
Panglima Armada Laut Kerajaan Sriwijaya ini adalah seorang yang sebetulnya bertubuh biasa saja, sedang-sedang saja, tetapi memiliki kemampuan memimpin yang luar biasa. Kemampuan membangkitkan semangat dan kesanggupan membaca keadaan alam dan posisi lawan dalam pertempuran laut. Karena itu, meski bertubuh sedang, tetapi wibawa yang ditimbulkan orang ini sungguh luar biasa.
Apalagi jika sedang mengenakan pakaian kebesarannya dan berdiri di hadapan pasukannya. Tetapi, Panglima Jayeng Kencana ini adalah tokoh yang rendah hati, dan bila sedang bertempur, lebih suka menanggalkan pakaian kebesarannya, dan bertempur bersama dengan anak buahnya.
Tidak heran bila kemudian Panglima Perang Angkatan Perang di lautan Sriwijaya ini begitu dihormati dan dicintai, bukan hanya oleh anak buahnya, tetapi juga oleh rakyat Sriwijaya. Bahkan Kerajaan-kerajaan taklukan, semua menaruh hormat kepada Panglima yang rendah hati tetapi sangat handal dan sangat berdisiplin ini. Bahkan sang Maha Raja Sriwijayapun menaruh hormat dan sangat mempercayai Panglima Perang Lautan ini.
Siang itu, si Nelayan Aneh Sungai Musi, demikian orang tua itu dikenal pada lebih 10 tahun terakhir sejak menetap di dekat ibukota Sriwijaya, tepatnya dipinggiran sungai Musi, sedang bersiul-siul dan tersenyum memandangi sungai di depannya. Bukan apa-apa. Bukan sedang tegang. Sebaliknya, senyum-senyum dan memandangi sungai di hadapannya seakan tahu bahwa rombongan ikan dalam sungai itu sedang seliweran didekat kail yang tidak bermata itu.
Tetapi untuk itupun, si Nelayan Aneh nampak senyam-senyum belaka. Karena memang, seperti biasanya, untuk kesenangan belaka dia mengail, dan bukannya untuk menangkap seekor dua ekor ikan guna memasuki perutnya. Dan seperti hari-hari biasanya selama 10 tahun terakhir, tidak jauh di belakangnya terdengar seliweran angin.
Tetapi bukan angin biasa, karena datangnya dari dua orang, sepasang anak muda, laki-laki dan perempuan yang sedang melakukan latihan silat. Dan bukan tidak mungkin, senyum si nelayan, karena juga mengagumi gerakan dan kemajuan dua orang anak yang dibimbingnya selama lebih kurang 10 tahun terakhir ini.
Terlebih, jika mengingat, bahwa kedua anak muda yang dilatihnya ini, justru adalah keponakannya sendiri. Nelayan Aneh ini, tanpa seorangpun tahu, sebetulnya adalah Adik kandung dari Panglima Armada Laut Sriwijaya. Bukan sang Panglima yang tak mau mengakuinya, tetapi adalah manusia aneh inilah, yang justru mensyaratkan melatih kemenakannya tetapi tanpa seorangpun tahu dia sebagai adik sang Panglima.
Dan sementara sang Adik bergelimang kemasyuran dan kekayaan di pusat kerajaan Sriwijaya, sang adik, justru memilih tinggal di luar kota, sedikit agak ke pedalaman, dan dipinggir Sungai besar. Dan dengan gubuk seadanya, dia tinggal menyatu dengan alam, bermain dengan ikan sepanjang sungai Musi, dan menyatu dengan alam.
Nampak seperti dia hidup melarat, tapi jangan salah, justru hidup semacam itulah yang justru sangat disukainya. Dan dia sama sekali tidak tertarik hidup di tengah keramaian seperti yang dilakukan dan dikecap oleh kakak kandungnya, sang panglima armada laut Sriwijaya. Sang kakak yang maklum akan keadaan adiknya, tidak pernah memaksa adiknya tinggal di rumahnya yang megah.
Dia sungguh paham gejolak jiwa adiknya, dan dia sangat menghargainya. Bahkan dia sangat menghormati pilihan adiknya, dan mempercayakan kedua anaknya untuk berada di bawah bimbingan adiknya itu. Baik dalam hal Ilmu Silat maupun tuntunan budi pekerti, sang Panglima mempercayakannya kepada adiknya tersebut. Dan tentu, nyaris tak seorangpun tahu kalau waktu senggang dan waktu tertentu kedua kakak beradik yang nampak lembut, sopan dan terpelajar itu, mengunjungi paman mereka untuk latihan Ilmu Silat.
Dan dari angin serangan yang ditimbulkan kedua kakak beradik itu, dapat diketahui, kalau tingkatan mereka dalam ilmu silat sudah bukan sembarangan lagi. Pergerakan mereka sudah menunjukkan tingkat yang cukup tinggi, dan membuat pelatih mereka, paman sendiri, nampak senyum senyum mengikuti pergerakan mereka.
Jelas sekali, ilmu-ilmu tingkat tinggi yang di ajarkannya sudah sanggup diserap dan dimainkan dengan matang oleh kedua anak itu. Bahkan mereka tinggal mematangkannya, dan kiranya penguasaan ilmu mereka tidaklah tertinggal jauh dari kedua muridnya yang lain. Kedua murid yang dipungutnya sebagai anak angkat dalam perjalanan pengembaraannya di Jawadwipa.
Dan kedua anak angkatnya itupun sudah menjadi tokoh-tokoh yang mampu mengangkat nama dan kehormatannya. Karena keduanya adalah panglima pengapit kakaknya di Kesatuan Armada Laut Sriwijaya. Bahkan dalam tugas di darat, mereka sering menjadi petugas yang handal dalam mengendus informasi-informasi yang dibutuhkan (sejenis intelejen). Mengenangkan semuanya, membuat orang tua itu merasa sangat puas.
Meskipun pada bulan-bulan terakhir, dia memperoleh tanda-tanda yang membuat hatinya berdebar-debar. Kewaspadaan dan kematangannya itu yang membuat dia sangat awas. Tetapi, sampai saat ini, Nelayan Sakti Sungai Musi, tetap masih belum mengerti, mengapa tanda-tanda yang tak menyenangkan itu selalu mendatanginya. Meskipun sebagai seorang yang taat terhadap Budha, Nelayan Sakti ini tetap sanggup menahan diri dan tidak panic dengan tanda tersebut.
Seandainya tokoh ini mengerti dan berada di dunia politik, tentunya dia akan cepat menyadari keadaan tersebut. Sayang, dia tidak pernah minat bahkan untuk membicarakannya sekalipun. Itulah sebabnya, dia tidak mengenal dan mengetahui apa gerangan yang sedang terjadi disekitarnya. Dan yang bahkan sebetulnya sudah berada didepan hidungnya.
Tengah dengan asyiknya Nelayan Sakti mengikuti pergerakan muridnya dan menikmati kesenangannya di pinggir sungai, tiba-tiba perasaannya yang sangat peka sedikit terusik. Dan tidak berapa lama kemudian Nelayan Sakti nampak mengerutkan keningnya, berkonsentrasi dan dengan cepat nampak dia memalingkan wajah kearah hutan di pinggir atau seberang Sungai Musi yang ada dihadapannya.
Nampaknya Nelayan Sakti sudah tahu bahwa sesuatu sedang terjadi di sebrang sungai, dan lebih lagi, sesuatu itu adalah kejadian yang tak menyenangkan. Bahkan nampaknya terkait dengan dirinya sendiri. Apakah gerangan? Meski belum mengetahui detail, tetapi jelas pertahanan batinnya terusik. Karenanya Nelayan Sakti kemudian berbisik yang dapat didengar jelas kedua murid mudanya:
Hentikan latihan, dan bersiaga. Jangan kemana-mana sampai aku kembali ketempat ini
Dan begitu selesai Nelayan Sakti menyampaikan pesannya, tiba-tiba tubuhnya seperti terangkat dan melayang ketengah sungai, diikuti dengan pandangan kagum kedua muridnya. Mereka tahu paman dan guru mereka itu memang manusia sakti, tetapi baru sekarang mereka menyaksikan guru mereka mengambang dari bumi dan seperti terbang menyeberangi sungai yang sangat lebar itu.
Sementara itu, Nelayan Sakti sudah sampai di seberang sungai, dan dengan kecepatan yang sulit diikuti pandangan mata, tokoh tua itu melaju kearah sumber suara yang menyentakkan batinnya tersebut. Dan tidak lama waktu yang dibutuhkannya untuk sampai ke tempat darimana sumber suara yang mengusiknya datang. Dan, dengan terkejut dia menyaksikan betapa tubuh salah seorang muridnya sudah bermandi darah, bahkan lengan kirinya sudah buntung, tetapi masih tetap melakukan perlawanan dengan gagahnya.
Meskipun batinnya sudah matang, tetapi menyaksikan anak yang diasuhnya sejak kecil dalam keadaan menyedihkan, terselip kegetiran didadanya, yang dengan cepat ditindasnya. Perlahan dia mendekati arena pertempuran, dan dengan sebuah sapuan berisi salah satu ilmu andalannya, Ajian Inti Lebur Sakheti, meluncurlah angin pukulan membadai yang anehnya bablas saja menembus badan anak muridnya dan memapas serangan tiga orang asing yang mengeroyoknya.
Tetapi untungnya, bukan dengan maksud memukul roboh Nelayan Sakti menyerang mereka, tetapi menahan serangan mereka dan mengundurkan mereka. Tapi akibatnya sudah cukup membuat ketiganya terdorong ke belakang